Pendidikan Lebih dari Sekadar Sekolah ; Sebuah Refleksi Filosofis dari Relasi Rasulullah dan Imam Ali (2)
Rasulullah dan Imam Ali: Model Guru dan Murid yang Ideal
Gambaran ideal tentang pendidikan dapat ditemukan dalam hubungan antara Rasulullah dan Imam Ali as. Sejak kecil, Ali hidup dalam pengasuhan langsung Rasulullah. Ia tidak hanya belajar dari perkataan Nabi, tetapi menyerap ilmu dari seluruh dimensi kehidupan beliau: cara beliau berbicara, beribadah, bermuamalah, memimpin, hingga berperang. Hubungan guru-murid dalam konteks ini melampaui dimensi kognitif ia menjadi relasi eksistensial, di mana murid tumbuh dalam habitus gurunya.
Imam Ali sendiri berkata:
“Rasulullah memelihara aku di dalam pangkuannya sejak kecil. Ia menaruhku di dada-Nya dan membaringkanku di tempat tidurnya. Aku mencium bau harum tubuhnya, dan ia mengunyah makanan lalu memberikannya padaku. Ia tidak pernah menemukan kebohongan dalam ucapanku, dan tidak pula kelemahan dalam perbuatanku.”
(Nahj al-Balaghah, khutbah 192)
Kutipan ini menunjukkan bahwa pendidikan yang diterima Ali bukan sekadar transfer of knowledge, melainkan transmission of being perpindahan nilai, karakter, dan visi hidup melalui kedekatan eksistensial. Rasulullah tidak hanya “mengajar” Ali, tetapi “membentuk” dirinya secara menyeluruh melalui keteladanan (uswah hasanah), pengalaman langsung, dan keterlibatan penuh dalam realitas kehidupan kenabian.
Pendidikan sebagai Teladan dan Pengalaman
Dari relasi Rasul dan Ali, kita belajar bahwa ilmu sejati tidak hanya diperoleh lewat lisan, tetapi juga lewat ru’yah (melihat), mushāhadah (menyaksikan), dan tajribah (mengalami). Pendidikan sejati terjadi ketika seorang murid tidak hanya mendengar, tetapi melihat bagaimana gurunya hidup. Maka, dalam Islam, guru tidak hanya disebut muʿallim (pengajar) tetapi juga murabbī yang membimbing, menumbuhkan, dan menuntun.
Inilah sebabnya para ulama menekankan pentingnya memilih guru yang rabbānī, yakni guru yang bukan hanya alim tetapi juga memiliki integritas moral dan spiritual. Imam Musa al-Kazhim as bahkan menegaskan: “Tidak ada ilmu sejati kecuali dari seorang ‘alim rabbānī.” Guru yang hanya berbicara tanpa memberi teladan ibarat “dinding tanpa fondasi” tampak megah, tetapi mudah runtuh.
Bersambung...

