Kebahagiaan dalam Islam (2)
Begitu pula dalam konteks jihad, Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا لَقِيتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُوا وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu berjumpa dengan pasukan (musuh), maka teguhkanlah hatimu dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.” (QS. al-Anfal [8]: 45)
Ayat ini menunjukkan bahwa kemenangan sejati tidak semata-mata ditentukan oleh strategi militer, tetapi juga oleh keteguhan jiwa yang bersandar pada dzikrullah.
Islam memandang manusia sebagai makhluk bebas. Kebebasan ini menjadi prinsip fundamental yang menjadikan kebahagiaan sebagai hasil dari pilihan dan usaha manusia. Setiap amal perbuatan akan kembali kepada pelakunya, dan dengan demikian tanggung jawab atas kebahagiaan ada pada diri manusia itu sendiri. Segala pandangan yang menafikan kebebasan manusia tidak sejalan dengan prinsip dasar Islam.
Kebahagiaan dalam Islam bukan sekadar kondisi psikologis, melainkan keadaan eksistensial yang berpuncak pada kedekatan dengan Allah. Ia diraih melalui kombinasi usaha rasional, moral, dan religius. Kebahagiaan sejati lahir dari penyucian jiwa, takwa, dzikrullah, serta orientasi ilahiah.
Dengan demikian, Islam memandang kebahagiaan moral dan eksistensial sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan. Dunia dan akhirat bukanlah dua realitas yang berlawanan, melainkan dua tingkat eksistensi yang saling melengkapi. Kebahagiaan hakiki adalah kesinambungan ruhani yang menemukan puncaknya di akhirat, ketika manusia berjumpa dengan Allah

