Induksi dalam Perspektif Gradasi Wujud (6)
Al-‘Aql al-Kulli (Akal Universal)
Berikutnya adalah konsep al-‘aql al-kulli atau Akal Universal dalam filsafat Sadra. Ini merupakan prinsip intelektif kosmik yang menjadi sumber dan horizon kesatuan pengetahuan. Akal Universal ini adalah realitas intermedial antara Yang Mutlak dan dunia partikular, dan merupakan wadah bagi forma-forma universal dan prinsip-prinsip eksistensial yang mendasari keteraturan kosmos.
Prinsip ini memberikan jawaban terhadap kritik Kuhn tentang relativitas paradigmatik dari induksi. Kuhn menunjukkan bahwa ilmuwan melakukan induksi dalam konteks paradigma tertentu, dan pergeseran paradigma mengubah cara interpretasi data. Ia menyimpulkan bahwa sains tidak berkembang secara kumulatif dan objektif, melainkan melalui revolusi yang bersifat tidak rasional sepenuhnya. Namun bagi Sadra, pergeseran paradigma tidak berarti relativisme epistemologis, melainkan refleksi dari tingkatan partisipasi manusia yang berbeda terhadap Akal Universal.
Fisika Newton dan fisika Einstein, misalnya, tidak saling meniadakan secara mutlak. Keduanya adalah tajalli atau manifestasi dari tingkatan Akal Universal yang berbeda. Fisika Newton merupakan pencerahan pada tingkat fenomenal yang lebih lahiriah, sementara fisika Einstein merupakan pencerahan pada tingkat struktural yang lebih dalam.
Keduanya valid pada tingkatannya masing-masing, dan revolusi ilmiah dari Newton ke Einstein bukanlah penggantian kebenaran dengan kebenaran yang berbeda, melainkan tasa’ud epistemik atau kenaikan gradasional dalam struktur pengetahuan yang berpartisipasi dengan tingkat Akal Universal yang lebih tinggi.
Sebagai ilustrasi, dapat dibayangkan seseorang yang melihat sebuah gunung dari kejauhan. Gunung tersebut tampak kecil dan berwarna biru karena efek atmosferik. Ini adalah satu “paradigma” persepsi. Kemudian ia mendaki dan sampai di puncak gunung tersebut. Sekarang ia melihat bahwa gunung itu besar, terdiri dari berbagai jenis batuan, ditumbuhi pepohonan, dan seterusnya. Ini adalah “paradigma” persepsi yang berbeda. Kedua paradigma ini tidak saling meniadakan, melainkan merupakan tingkatan kebenaran yang berbeda tentang realitas yang sama. Paradigma pertama tidak salah, tetapi parsial dan superfisial. Paradigma kedua lebih komprehensif dan mendalam.
Demikian pula, dalam perkembangan sains, setiap paradigma merepresentasikan tingkat partisipasi terhadap Akal Universal. Induksi yang dilakukan dalam setiap paradigma adalah valid pada tingkatannya, dan revolusi ilmiah adalah proses tadrij atau gradasi menuju pencerahan yang lebih tinggi. Ini bukan relativisme di mana semua paradigma setara, melainkan hirarki epistemik di mana paradigma yang lebih tinggi mencakup dan melampaui paradigma yang lebih rendah. Dengan demikian, Kuhn benar bahwa induksi tidak objektif dalam pengertian netral-paradigmatik, tetapi Sadra menunjukkan bahwa ini tidak berarti subjektivisme atau relativisme, melainkan gradualitas dalam pencapaian kebenaran.
Beberapa Catatan Penutup
Tulisan ini berupaya menjawab problema induksi berbasis filsafat Mulla Sadra.
Lima kritik tajam terhadap induksi terhadap induksi dapat dipahami ulang dan dijawab tanpa ditolak secara total melalui kerangka ontologis dan epistemologis yang komprehensif.
Hume benar bahwa tidak ada pembuktian logis formal untuk validitas induksi, namun Sadra menunjukkan bahwa validitas induksi tidak terletak pada logika formal melainkan pada keteraturan ontologis wujud yang bertingkat. Popper benar bahwa verifikasi induktif tidak dapat memberikan kepastian absolut, namun filsafat Sadra mengindikasikan bahwa kepastian bersifat gradasional berdasarkan intensitas kehadiran eksistensial. Russell benar bahwa enumerasi sederhana adalah falasi, namun filsafat Sadra memberikan alternatif wacana bahwa induksi sejati adalah gerak substansial menuju pemahaman esensial. Goodman benar bahwa pilihan predikat mempengaruhi induksi, namun dalam kerangka fikir filsafat Sadra ada kriteria ontologis untuk membedakan predikat yang valid dari yang artifisial. Kuhn benar bahwa induksi terikat paradigma, namun dalam kerangka fikir filsfat Sadra paradigma bisa dipandang tingkatan partisipasi terhadap Akal Universal, bukan relativisme sewenang-wenang.
Sintesis dari kelima respons ini dapat dirumuskan dalam prinsip fundamental filsafat Sadra bahwa pengetahuan adalah gerak dari yang eksternal menuju yang internal, dari yang manifes menuju yang tersembunyi. Induksi, dalam kerangka ini, bukanlah semata-mata metode logis untuk menyusun proposisi umum dari proposisi partikular, melainkan proses ontologis-epistemologis di mana subjek pengenal berpartisipasi dalam keteraturan eksistensial realitas. Setiap langkah dalam proses induktif merupakan gradasi dalam kesatuan eksistensial antara akal manusia dan struktur kosmos.
Maka induksi bukanlah metode yang total tertolak dalam epistemologi, melainkan bisa menjadi jalan yang sahih untuk menaiki tangga kebenaran secara bertahap bila dipahami dalam kerangka pikir yang tepat. Dari tingkat pengetahuan zhonni atau dugaan, melalui tingkatan-tingkatan keyakinan yang semakin kuat, menuju yaqin atau kepastian tinggi, dan pada puncaknya mencapai pengetahuan huduri atau kehadiran langsung yang merupakan puncak epistemologi Sadra.
Induksi adalah manifestasi dari gerak substansial pengetahuan, dari dunia empiris partikular menuju pemahaman universal, dari fenomena lahiriah menuju esensi batiniah.
Dengan demikian, dalam perspektif hikmah muta’aliyah Mulla Sadra, induksi mungkin dapat didefinisikan ulang sebagai gerak epistemik dalam gradasi wujud yang memantulkan keteraturan eksistensial, bukan sekadar kebiasaan psikologis atau agregasi data empiris. Induksi, alih-alih gagal memberikan kepastian, justru membangun jalan menuju kepastian yang bertingkat-tingkat, di mana logika, ontologi, dan pengalaman bersatu dalam satu proses integral menuju hikmah atau kebijaksanaan yang tinggi. Barangkali hal ini bisa menjadi kontribusi filsafat Sadra dalam menafsirkan ulang problem induksi yang telah menjadi perdebatan panjang dalam tradisi filsafat Barat.

