Meraih Ridha Ilahi dan Kebahagiaan (2)
Amal Manusia dan Peran Alam Semesta
Al-Qur’an dan hadis menegaskan bahwa perbuatan manusia menjadi penentu utama apakah ia akan masuk surga atau neraka. Dalam surah Al-A‘raf, Allah menggambarkan keadaan penghuni surga yang penuh syukur, seraya menegaskan bahwa surga diwariskan sesuai amal yang mereka kerjakan:
وَنَزَعْنَا مَا فِي صُدُورِهِم مِّنْ غِلٍّ… تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ
“Dan Kami cabut segala dendam yang ada dalam hati mereka; mengalir di bawah mereka sungai-sungai… dan diserukan kepada mereka, ‘Itulah surga yang telah diwariskan kepadamu disebabkan apa yang dahulu kamu kerjakan.’” (QS. Al-A‘raf [7]: 43; bdk. QS. Az-Zukhruf [43]: 72)
Dengan demikian, amal manusia adalah cermin nasibnya. Al-Qur’an menegaskan:
اقْرَأْ كِتَابَكَ كَفَىٰ بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ حَسِيبًا
“Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada hari ini sebagai penghisab terhadapmu.” (QS. Al-Isra’ [17]: 14)
Hal ini sekaligus menolak pandangan fatalistik bahwa kebahagiaan atau kesengsaraan ditentukan oleh bintang atau peredaran langit.
Menolak Fatalisme: Tanggung Jawab Amal
Al-Qur’an mengutip pengakuan para penghuni neraka:
قَالُوا رَبَّنَا غَلَبَتْ عَلَيْنَا شِقْوَتُنَا وَكُنَّا قَوْمًا ضَالِّينَ
“Mereka berkata, ‘Ya Tuhan kami, kesengsaraan kami telah mengalahkan kami, dan kami adalah kaum yang sesat.’” (QS. Al-Mu’minun [23]: 106)
Pengakuan ini mencerminkan kecenderungan manusia untuk menyalahkan takdir. Namun, menurut penjelasan Imam Ja‘far ash-Shadiq as, kesengsaraan tersebut bukanlah akibat paksaan (jabr), melainkan buah dari amal perbuatan mereka sendiri (Syaikh Shaduq, At-Tauhid, hlm. 356).
Dalam riwayat lain, beliau menegaskan: “Allah menamakan orang-orang beriman sebagai mukmin karena amal-amal baik mereka.” (Hurr al-‘Amili, Wasā’il al-Shī‘ah, jilid 15, hlm. 317, hadis 20625).
Dengan demikian, tanggung jawab penuh atas kebahagiaan atau kesengsaraan terletak pada manusia sendiri. Tidak ditemukan dasar kuat dalam literatur Islam yang menjadikan bintang atau benda langit sebagai faktor penentu nasib manusia. Jika ada riwayat yang tampak mendukungnya, maka harus dipahami secara metaforis, bukan literal.
Walhasil, kebahagiaan sejati dalam Islam bersumber dari ridha Allah, diperoleh melalui iman, amal saleh, takwa, dan penyucian jiwa. Amal manusia adalah tolok ukur yang menentukan akhir hidupnya, bukan bintang atau takdir buta. Islam menolak determinisme kosmik dan menegaskan kebebasan serta tanggung jawab manusia. Dengan demikian, kebahagiaan adalah buah dari kesadaran spiritual, kesalehan moral, dan kedekatan dengan Allah.

