Menuju Peradaban Ilmu yang Berakar: Catatan Reflektif dari Konferensi Filsafat dan Islamisasi Pengetahuan(1)
Dalam wacana keilmuan Islam kontemporer, kita sering mendengar istilah seperti filsafat ilmu, epistemologi Islam, dan Islamisasi pengetahuan. Namun sebagaimana disampaikan Prof. Hossein Mottaghi dalam Konferensi Filsafat & Islamisasi Ilmu Pengetahuan, sesungguhnya apa yang kita diskusikan hari ini bukanlah sesuatu yang sepenuhnya baru. Peradaban manusia telah lama berbicara tentang asal-usul ilmu, tujuan ilmu, validitas pengetahuan, serta hubungan antara wahyu dan akal. Pertanyaan yang relevan pada masa kini bukan lagi “apa yang baru”, tetapi “apa yang harus kita lakukan agar wacana ini tidak berhenti sebagai teori dan idealisme?”
Dalam konteks ini, Prof. Mottaghi mengajukan satu pertanyaan penting: apakah kita hanya ingin menjadi pengulang sejarah intelektual ataukah kita akan menjadi generasi yang melanjutkan, meluruskan, dan menyempurnakan kerja intelektual yang telah dimulai para ulama dan cendekiawan Muslim terdahulu? Pertanyaan ini sederhana tetapi sangat fundamental. Ia menyentuh inti dari krisis intelektual umat Islam: kita kaya dengan narasi dan jargon, tetapi sering miskin dalam implementasi dan metodologi.
Salah satu persoalan mendasar dalam proyek Islamisasi ilmu saat ini adalah ketiadaan keseragaman paradigma. Para tokoh besar seperti Syed Muhammad Naquib al-Attas dan Ismail Raji al-Faruqi telah memberikan fondasi penting, tetapi keduanya membawa pendekatan yang berbeda sehingga memunculkan variasi epistemologi yang sulit disatukan tanpa dialog serius. Di satu sisi kita berbicara tentang penyucian kategori pengetahuan (worldview purification), di sisi lain kita berbicara tentang rekonstruksi ilmu modern berbasis tauhid. Namun tanpa fondasi metodologis yang disepakati bersama, wacana Islamisasi ilmu sering berhenti pada level slogan akademik diucapkan dalam konferensi, ditulis dalam jurnal, tetapi tidak terimplementasi dalam kurikulum pendidikan atau kebijakan ilmu pengetahuan.
Pada titik ini, Prof. Mottaghi menawarkan perspektif yang menarik: sebelum Islamisasi ilmu, kita membutuhkan proses pribumisasi ilmu. Ini adalah konsep yang jarang disentuh dalam wacana besar keilmuan Islam. Menurutnya, ilmu pengetahuan baik yang datang dari Barat maupun dari tradisi klasik Islam tidak boleh diterima begitu saja tanpa proses penerjemahan konteks sosial, budaya, dan intelektual. Ilmu harus hadir sesuai kebutuhan masyarakat, bukan sekadar meniru struktur pemikiran luar. Tanpa proses ini, ilmu hanya menjadi pengetahuan asing yang tidak menyatu dengan denyut kehidupan umat. Dengan kata lain, ilmu harus berakar (rooted), bukan sekadar hadir sebagai aksesoris intelektual.
Bersambung...

