Menuju Peradaban Ilmu yang Berakar: Catatan Reflektif dari Konferensi Filsafat dan Islamisasi Pengetahuan(2)
Untuk menghindari stagnasi dan fragmentasi konsep, Prof. Mottaghi mengusulkan tujuh langkah strategis bagi integrasi ilmu dan Islam. Langkah pertama adalah menyepakati definisi. Selama kita berbeda dalam memahami apa itu ilmu, Islamisasi, dan integrasi keilmuan, maka seluruh wacana hanya akan berakhir pada perdebatan terminologi. Langkah kedua adalah menyepakati kosakata keilmuan. Istilah yang kabur hanya melahirkan pemikiran yang kabur. Ketiga, umat perlu menyusun paradigma epistemologis bersama sebagai kerangka berpikir kolektif. Keempat, paradigma tersebut harus diterjemahkan dalam bentuk kurikulum di perguruan tinggi agar dapat diwariskan. Kelima, kita harus melakukan studi komparatif internasional agar tidak bergerak tanpa peta global. Keenam, integrasi ilmu harus dilakukan melalui kerja kolektif lintas disiplin dan institusi, bukan secara individual. Ketujuh, harus dibangun lembaga pemikiran agar gagasan tidak berakhir bersama wafatnya tokoh.
Dalam menyampaikan pandangannya, Prof. Mottaghi juga menyoroti karakter masyarakat Indonesia yang memiliki kedekatan alami dengan pertanyaan metafisik, nilai, dan dimensi spiritual kehidupan. Ini bukan kelemahan, tetapi kekuatan yang jarang dimiliki bangsa-bangsa modern yang terjebak dalam positivisme dan materialisme ekstrem. Di tengah arus globalisasi dan krisis makna yang melanda dunia, masyarakat Indonesia justru memiliki modal kultural untuk membangun epistemologi ilmu yang tidak hanya logis dan empiris, tetapi juga transendental.
Dengan karakter demikian, peran dosen, pemikir, dan akademisi filsafat bukan sekadar menjadi pengajar teori, tetapi penjaga arah moral, spiritual, dan intelektual bangsa. Mereka bukan sekadar penyampai konsep, tetapi pembimbing orientasi berpikir masyarakat. Inilah yang oleh Prof. Mottaghi disebut sebagai amanah intelektual. Maka gelar doktor, profesor, atau filsuf bukan tanda kemuliaan, tetapi penanda tanggung jawab.
Pada bagian akhir pidatonya, Prof. Mottaghi membagikan pengalaman pribadi yang sangat menyentuh. Ketika orang Indonesia mengetahui bahwa beliau adalah dosen filsafat, mereka menunjukkan penghormatan yang mendalam. Dari pengalaman kecil itu, beliau menyadari bahwa menjadi ilmuwan bukanlah kebanggaan, melainkan beban moral yang harus dipertanggungjawabkan melalui kerja nyata, bukan sekadar wacana. Dalam perspektif beliau, filsafat harus menjadi suara kehidupanbukan label akademik.
Oleh karena itu, perjalanan menuju integrasi ilmu dan Islam bukan proyek singkat atau proyek individual. Ia adalah perjalanan peradaban yang memerlukan kesabaran, keterbukaan intelektual, ketekunan, dan kerja kolektif generasi demi generasi. Tantangannya besar, tetapi seperti semua kerja besar dalam sejarah Islam, ia dimulai dari kesadaran bahwa ilmu bukan sekadar untuk diketahui tetapi untuk dihidupkan, diamalkan, dan diwariskan.

