Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Fikih Praktis Sayidina Ali Dalam Perspektif Ahlus Sunnah

0 Pendapat 00.0 / 5


Oleh: Muhammad Ali Khairullahi

Imam Ali adalah pribadi yang memiliki pandangan yang menonjol di pelbagai disiplin ilmu agama. Dalam mazhab Ahlus Sunnah, ucapan dan perbuatan beliau menjadi salah satu sumber fikih. Hal ini dikuatkan dengan beberapa pernyataan beberapa ulama Ahlu Sunah di bawah ini:

1.Dasuqi mengatakan, “Dalam azan, Ali ra. mengucapkan Hayya ‘alâ Khairu al-‘Amal setelah Hayya ‘alâ al-Fâlah.”
2.Saat menjelaskan pandangan Imam Ali ra. mengenai puasa, Nawawi meriwayatkan bahwa Sayidina Ali ra. memulai puasa dan berbuka dengan melihat hilal.
3.Syarbini mengatakan, “Ali ra. menjelaskan bahwa usia minimal masa hamil seorang wanita adalah enam bulan.” Syarbini juga mengatakan, “Berdasarkan keluasan ajaran Islam dan kandungan ayat Al-Qur’an, Ali ra. memberikan kesempatan yang cukup kepada seorang yang telah murtad agar ia dapat bertaubat dan kembali ke jalan yang benar.

Sabda Rasulullah saw yang berbunyi, “Aku adalah kota Ilmu dan Ali adalah pintunya”, telah mengungkap posisi strategis Imam Ali dalam dunia Islam. Sayidina Ali adalah pribadi yang memiliki pandangan yang menonjol di pelbagai disiplin ilmu agama. Tiada yang dapat menandinginya dalam menguasai ilmu-ilmu ilahiah. Para urafa’ berbangga saat silsilah spiritual mereka berujung kepada Imam Ali. Demikian pula para fukaha merasa tenang dan yakin saat mereka menjadikan ucapan serta perilaku Imam as sebagai landasan bagi fatwa mereka. Alhasil, seluruh pencari ilmu—secara langsung atau tidak—belajar dari pintu ilmu Ilahi tersebut.
Makalah ini mencoba untuk mengkaji pandangan Sayidina Ali dalam beberapa permasalahan fikih di kitab-kitab Ahlus Sunnah dan sama sekali tidak menyinggung fikih Syiah. Tujuannya adalah kami ingin menunjukkan bahwa Sayidina Ali bukan hanya menjadi imam, teladan dan sumber ilmu agama bagi para pengikut Syi’ah, namun dalam sumber fikih Ahlus Sunnah pun ucapan dan perilaku beliau menjadi rujukan dan dasar fikih mazhab Ahlus Sunnah. Karena saking luas dan banyaknya ucapan dan perilaku Sayidina Ali yang menjadi dasar fikih Ahlus Sunnah maka kami hanya mengisyaratkan beberapa contoh darinya. Oleh karena itu, berikut ini kami akan mengemukakan beberapa pandangan fikih Sayidina Ali sesuai dengan urutan bab fikih dalam pandangan Ahlu Sunnah:

1- Fikih Praktis Sayidina Ali dalam Azan

Salah satu permasalahan yang dibahas dalam kajian fikih Ahlus Sunnah dan Syi’ah adalah bagian dan kalimat azan. Sebenarnya kajian ini cukup luas namun di sini kami hanya mengisyaratkan satu hal saja. Dalam catatan pinggir kitab fikihnya yang berharga, Dasuqi menukil dari salah satu fuqaha Ahlus Sunnah bahwa kalimat “as-salâmu ‘alâ Rasulillah” harus dibaca sebelum azan Subuh untuk pertama kalinya pada masa Yusuf Shalahuddin Ayyubi di negeri Mesir dan Syam. Hal ini berlangsung hingga tahun 777 H dimana pada tahun itu Shalahuddin Barlasi memerintahkan untuk mengubah kalimat tersebut menjadi “as-Shalâtu wa as-Sâlamu ‘Alaika yâ Rasulallah.” Perubahan ini pun terjadi pada masa Sultan Manshur Haji bin Asyraf dimana ia memerintahkan untuk membaca salam serta shalawat kepada Nabi saw selepas azan. Perubahan ini terjadi pada tahun 791 H hingga seterusnya. Kemudian Dasuqi mengatakan, “Ali menambahkan kalimat “Hayya ‘alâ Khairu al-‘Amal” dalam azan setelah kalimat “Hayya ‘alâ al-Fâlah” dan hal ini menjadi bagian dari keyakinan Syi’ah hingga saat ini.” (Dasuqi, juz 1, hal. 193).
Patut diperhatikan di sini bahwa berdasarkan riwayat-riwayat Ahlul Bait, ulama Syiah bersepakat bahwa kalimat “Hayya ‘alâ Khairu al-‘Amal” merupakan bagian dari azan dan Bilal al-Habasyi pun mengumandangkan kalimat tersebut dalam azan Subuh. Selain itu, banyak kalangan sahabat yang menyatakan bahwa kalimat tersebut merupakan bagian dari azan.
Sayyid Murtadha mengatakan, “Ulama Ahlus Sunnah meriwayatkan bahwa di sebagian masa hidup Rasulullah saw kalimat “Hayya ‘alâ Khairu al-‘Amal” telah dikumandangkan dalam azan, akan tetapi mereka menyatakan bahwa kalimat ini telah dihapus (naskh). Sudah barang tentu mereka yang menyatakan bahwa kalimat tersebut telah dihapus haruslah menyampaikan argumen dan bukti. Sayangnya tidak ada bukti yang mereka sampaikan.” (Sayid Murtadha, 1415 H, hal. 137).
Ibnu Arabi mengatakan, “Kalimat “Hayya ‘alâ Khairu al-‘Amal” pernah dikumandangkan pada masa Rasulullah saw. Diriwayatkan bahwa pada masa perang Khandaq umat Islam sedang sibuk menggali parit. Saat tiba waktu shalat, muazin mengumandangkan “Hayya ‘alâ Khairu al-‘Amal”. Oleh karenanya, mereka yang menjadikan kalimat tersebut sebagain bagian dari azan tidaklah melakukan kesalahan. Bahkan jika riwayat ini benar, maka mereka telah mengikuti apa yang dilakukan mereka (sahabat) atau paling tidak mereka telah menciptakan sunah hasanah (tradisi yang baik). (Ibn `Arabi, 1987 Masehi, juz 1, hal. 400).
Dengan demikian, penambahan kalimat “Hayya ‘alâ Khairu al-‘Amal” dalam azan dikenal sebagai fikih praktis Sayidina Ali dalam azan.

2-Fikih Praktis Sayidina Ali dalam Wudu

Salah satu pembahasan yang mendapat perhatian dalam kitab-kitab fikih Ahlus Sunnah adalah boleh atau tidaknya mengusap bagian atas sepatu atau yang sejenisnya saat berwudu. Syarbini dalam kitab fikihnya menukil bahwa Sayidina Ali saat menjawab pertanyaan beberapa orang yang mengatakan, “Dengan jalan ijtihad, kami sampai kepada kesimpulan bahwa diperbolehkan bagi seseorang untuk mengusap bagian atas sepatu dan yang sejenisnya saat berwudu”, mengatakan, “Seandainya ajaran Islam dapat dijelaskan menurut pendapat dan pandangan serta keinginan pribadi, maka secara alamiah seorang akan lebih condong untuk mencuci bagian bawah sepatu daripada mengusap bagian atasnya.” (Syarbini, 1377, juz 1, hal. 67).
Dengan menukil riwayat dan ucapan Imam Ali, Syarbini hendak menjelaskan bahwa menurut Sayidina Ali ijtihad yang dihasilkan dari pendapat pribadi dan kecenderungan tertentu tidaklah sejalan dengan syariat Islam.

3-Fikih Praktis Sayidina Ali dalam Shalat

Setelah menyebutkan sabda Nabi saw yang berbunyi, “Barangsiapa yang tidak membaca surat al-Fatihah dalam shalatnya, maka shalatnya tidak sah”, Imam Nawawi menjelaskan padangan Imam Ali menyangkut masalah ini seraya mengatakan, “Sayyidina Ali ra. membaca surat al-Fatihah pada dua raka’at pertama shalat dan membaca tasbih arba’ah (Subhanallah wal hamdulillah wa laila ha illa-allah Allahu Akbar) pada rakaat ketiga dan keempat. (Nawawi, jus 3, hal. 362).
Saat menjelaskan keadaan khusyu’ yang dimilliki orang-orang mukmin ketika mereka menunaikan shalat, Syirwani berpegangan kapada ayat yang berbunyi, Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya (QS. al-Mukminun: 1-2) lalu ia mengatakan, “Sayidina Ali sebagai panafsir Kitab Allah menjelaskan bahwa makna khusyu’ dalam ayat ini adalah kelembutan hati dan mencegah anggota badan dari melakukan gerakan tambahan/ekstra dan memusatkan konsentrasi hanya kepada Allah Swt. (Syirwani, 1985 M, juz 2, hal. 101).

4- Fikih Praktis Sayidina Ali dalam Puasa

Saat menjelaskan pandangan Sayidina Ali dalam menentukan permulaan bulan Ramadan, Imam Nawawi mengatakan, “Dengan cara melihat hilal, Sayyidina Ali akan memulai puasa, dan ketika bulan tidak dapat dilihat maka beliau akan memulai bulan Ramadhan setelah sempurnanya bulan Sya’ban.” Hal ini didukung oleh pernyataan Walid bin ‘Utbah, “Pada masa kekhalifahan Ali kami pernah menunaikan puasa selama 28 hari. Namun Ali memerintahkan kami untuk meng-qadha (mengganti) puasa satu hari.” Khatib menegaskan—dalam suatu penjelasannya—bahwa bulan Ramadan waktu itu 29 hari. (Nawawi, jus 6, hal. 421).

5- Fikih Praktis Sayidina Ali dalam Jihad

Salah satu kajian yang dibahas dalam bab jihad adalah perang dengan orang-orang yang memberontak/menentang pemerintahan Islam yang sah. Hajawi, penulis kitab al-Iqnâ’ menyebutkan bahwa orang-orang yang melanggar batasan-batasan (hukum-hukum) Allah Swt dan memberontak pemimpin atau pemerintahan Islam yang sah tergolong sebagai kelompok bughât (yang menyimpang dari kebenaran). Lalu ia mengatakan, kata “bagha” berasal dari “dzalama” (berbuat aniaya) dan “tajawaza `an hadd’ (melampaui batas). Yang demikian itu karena orang-orang yang memberontak pemerintahan Islam sebenarnya mereka telah keluar dari kebenaran dan dasar hal ini adalah ayat yang berbunyi, Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (QS. al-Hujurat: 9). Hajawi mengatakan, “Kelompok kedua yang berdasarkan Al-Qur’an kita diperintahkan untuk memerangi mereka adalah kaum Muslimin yang menentang imam. Oleh karenanya, berdasarkan ayat inilah Sayidina Ali ikut serta dalam perang Shiffin dan Nahrawan dan berjihad dengan mereka yang memberontak pemerintahan Ilahi yang sah.” (Hajawi, juz 2, hal. 202).
Sebagaimana Anda perhatikan, Hajawi yang notabene termasuk fukaha Ahlus Sunnah mendukung pandangan dan tindakan Sayidina Ali dalam jihad dan menganggapnya sebagai pandangan fikih dan pemerintahan Ali. Bahkan Hajawi membenarkan tindakan Sayidina Ali tersebut dengan mencari pembenaran melalui ayat Al-Qur’an. Sehingga sesuai dengan perintah Al-Qur’an, Ali harus memerangi orang-orang yang melawan pemerintahan Ilahi.

6-Fikih Praktis Sayidina Ali dalam Mengadili

Salah satu kajian yang dibahas dalam permasalahan qadha’ (peradilan) ialah qadhi (hakim) harus bersikap adil terhadap kedua belah pihak yang bersengketa dan tidak boleh memihak salah satunya. Namun di dalam kitab Fathu al-Wahhab disebutkan bahwa jika salah satu dari dua pihak yang saling berselisih adalah seorang Muslim dan satunya seorang kafir, maka hakim dapat menempatkan seorang yang Muslim pada posisi yang lebih baik. Penulis kitab tersebut menyandarkan fatwanya kepada perbuatan dan pandangan Sayidina Ali. Dikisahkan, suatu hari terjadi perselisihan antara Ali dan seorang Yahudi. Lalu mereka pun datang ke seorang hakim. Sesampainya mereka di pengadilan, Ali duduk di sisi hakim Syuraih seraya berkata, “Jika pihak yang berselisih denganku adalah seorang Muslim maka aku akan duduk di sebelahnya dan menghadap ke arah hakim.” (Anshari 1418 H, juz 2, hal. 371).
Imam Malik dan Imam Ahmad menyatakan bahwa Sayidina Ali memiliki pandangan khusus tentang kejahatan para budak. Sebagai contoh, bila seorang budak wanita dan budak laki-laki melakukan suatu dosa khusus, Sayidina Ali memerintahkan agar keduanya dihukum cambuk sebanyak lima puluh kali, seraya menegaskan, “Jika budak baik laki-laki ataupun perempuan melakukan kesalahan seperti ini, maka kedua-duanya akan mendapatkan hukuman cambuk yang sama.” Berdasarkan pandangan Sayidina Ali, ulama Ahlus Sunnah pun menfatwakan hukum yang serupa. (Ibid, hal. 180).

7-Fikih Praktis Sayidina Ali Mengenai Usia Minimal Kehamilan

Salah satu kajian fikih Islam adalah berapa lama usia minimal kehamilan? Para fukaha Syiah dan Ahlus Sunnah berbeda pendapat dalam hal ini. Syarbini, seorang ulama Ahlus Sunnah memaparkan pandangan Sayidina Ali mengenai masalah ini. Menurut pandangan Amirul Mukminin Ali, berdasarkan beberapa ayat Al-Qur’an masa minimal kehamilan seorang wanita adalah enam bulan. Kemudian Syarbini menukil riwayat yang menjelaskan metode Imam Ali dalam menyimpulkan hukum dari Al-Quran sebagai berikut: Allah Swt berfirman, Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan. (QS. al-Ahqaf:15). Dan dalam ayat lain Allah berfirman, Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. (QS. Al-Baqarah: 233) Ayat pertama mengatakan bahwa masa hamil plus masa menyusui adalah 30 bulan, sedangkan ayat kedua menyatakan bahwa masa menyusui adalah 2 tahun atau 24 bulan. Jadi masa menyusui adalah 24 bulan, sedangkan sisanya, yaitu 6 bulan adalah masa kehamilan. Karena itu, menurut pandangan Sayidina Ali usia minimal kehamilan seorang wanita adalah enam bulan. (Syarbini, juz 3, hal. 338).

8-Fikih Praktis Sayidina Ali Berkenaan dengan Isteri yang Kehilangan Suami

Kajian fikih Islam yang lain adalah masalah suami yang hilang (tidak ketahuan entah pergi kemana). Yakni, bila seorang suami hilang dalam jangka waktu lama dan tidak diketahui kabar dan nasibnya, maka bagaimanakah keadaan/status sang isteri serta hingga kapan ia harus menunggu? Dalam kitab Mugniyu al-Muhtâj, Syarbini mengisyaratkan pandangan Sayidina Ali dan mengatakan, “Apabila seorang suami menghilang begitu saja dan dan tidak ada berita mengenainya, maka sang isteri tidak dapat menikah kembali sehingga ia benar-benar yakin bahwa suaminya telah meninggal dunia. Sebab, Imam Syafi’i meriwayatkan bahwa Sayiidina Ali ra. mengatakan, “Seorang isteri yang kehilangan suaminya sebenarnya ia sedang menghadapi cobaan dan tidak ada pilihan baginya kecuali bersabar. Ia tidak diperbolehkan menikah kembali sehingga ia mendengar kabar akan kematian sang suami.” Untuk menjelaskan pendapat ini, Syarbini mengatakan, “Hal ini berdasarkan “prinsip tetap hidup” (ashl baqa`ul hayat). Yakni, bila seorang suami hilang maka hukum sebelumnya diberlakukan kepadanya. Jadi, sebelum hilang suami hidup dan sampai saat ini ia pun dianggap tetap hidup. Inilah yang dimaksud prinsip “tetap hidup”. Hukum ini tidak berlaku bila sang istri yakin terhadap kematian suaminya dimana keyakinan ini dapat diperoleh melalui berita yang diampaikan oleh dua orang yang adil atau tersebar luasnya berita akan kematiannya alias menjadi omongan di sana-sini.” (Syarbini, hal. 397).

9-Fikih Praktis Sayidina Ali Berkaitan dengan Batasan Hukuman Bagi Pemabuk

Pembahasan mengenai batas hukuman bagi seorang peminum khamer (minuman keras) dijelaskan dalam bab Hudud (batasan-batasan). Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah saw mencambuk seorang yang meminum khamer dengan kayu atau yang sepertinya sebanyak empat puluh kali. Pada masa kekahalifahan Abu Bakar seorang pemabuk dijatuhi hukuman cambuk sebanyak empat puluh kali. Namun di masa kekhalifahan Umar bin Khattab, Sayidina Ali pernah ditanya mengenai batas hukuman bagi peminum khamer lalu beliau menjawab, “Batas hukuman bagi seorang peminum khamer adalah delapan puluh kali cambukan.” Sayidina Ali memberi alasan bahwa seorang yang meminum khamer akan kehilangan kesadaran dan orang yang kehilangan kesadarannya akan mengigau. Saat mengigau ia akan mencaci/mengatakan sesuatu yang tidak layak kepada orang lain. Dan hal ini akan menimbulkan kebohongan. Karena itu batas hukuman bagi seorang yang menyebarkan kebohongan adalah delapan puluh kali cambukan, sehingga batasan yang sama juga berlaku bagi orang yang meminum khamer. (Anshari, Ibid, hal. 288).
Anda dapat perhatikan bahwa pembahasan tentang meminum khamer memiliki perjalanan sejarah yang dimulai dari zaman Rasulullah saw hingga masa Khalifah Umar. Sedangkan Sayidina Ali dikenal sebagai penggagas ide ini, yaitu penetapan delapan puluh kali cambukan sebagai hukuman bagi pemabuk. Dan hingga saat ini para ulama pun menfatwakan sesuai dengan pandangan beliau.
Syarbini juga mengkisahkan tindakan Sayyidina Ali ra. dalam kitabnya, yaitu: Ali menjatuhkan hukuman delapan puluh kali cambukan terhadap seorang lelaki tua yang meminum khamer pada bulan Ramadhan. Kemudian di hari berikutnya beliau mencambuknya sebanyak dua puluh kali. Beliau berkata kepada orang tua tersebut, “Hukuman cambuk sebanyak delapan puluh yang kamu terima kemarin sebagai hukuman karena kamu telah meminum khamer, sedangkan dua puluh kali cambukan sekarang ini sebagai hukuman karena kamu berani menentang Allah dan menodai kesucian bulan Ramadan.” (Syarbini, ibid, juz 4, hal. 189).
Apa yang dilakukan Imam ini menjadi dasar dan sumber fatwa para ulama Ahlus Sunnah dalam masalah ini. Tidak hanya itu, mengenai cara mencambuk pun para ulama Ahlus Sunnah berpegangan kepada tindakan Sayidina Ali dimana beliau mengajarkan untuk mencambuk pelbagai bagian badan (tidak hanya satu tempat).

10-Fikih Praktis Sayidina Ali dalam Menentukan Hukuman Bagi Seorang yang Murtad

Menurut pendapat ulama Ahlus Sunnah, orang yang keluar dari agama Islam alias murtad, baik laki-laki maupun perempuan hendaknya ia diminta untuk bertaubat dari tindakan buruknya tersebut (pada hakikatnya taubat ini dilakukan sebelum hukuman mati yang ditetapkan untuknya karena orang yang murtad akan mendapatkan hukuman mati). Dalam pandangan Ahlus Sunnah, melalui Islam seorang akan menjadi terhormat (darah, harta, dan kehormatannya harus dijaga-pen.). Walaupun sekarang ini ia menyatakan bahwa dirinya bukan lagi sebagai seorang Muslim, namun kehormatan ini masih melekat pada dirinya. Oleh karenanya, hendaknya ia diajak untuk bertaubat dari perbuatannya tersebut. Bila ia bertaubat dan kembali ke agama Islam, maka ia akan terbebas dari hukuman apapun.
Hanya saja pembahasan yang menjadi perhatian para fukaha Ahlus Sunnah dalam masalah ini ialah berapa lama jangka waktu yang patut diberikan kepada seorang yang murtad agar ia bertaubat dan kembali kepada agama Islam? Saat menyampaikan masalah ini, Hajawi menukil pandangan yang populer di masa kekhalifahan Umar dimana seorang yang murtad diberikan waktu selama tiga hari untuk bertaubat. Ia mengatakan, “Imam Malik bin Anas, pendiri mazhab Maliki mengeluarkan fatwa sesuai dengan pandangan Umar tersebut. Yakni, bila si murtad tidak kembali kepada agama Islam setelah berakhirnya tempo tiga hari, maka ia dijatuhi hukuman mati.” Hajawi menganggap pandangan Umar tersebut lemah lalu ia menukil riwayat Sayidina Ali yang memerintahkan untuk memberikan kesempatan dua bulan kepada seorang yang murtad. Seandainya ia bertaubat dan kembali kepada agama Islam, maka taubatnya akan diterima dan Islam pun harus diterima serta ia wajib dibebaskan supaya dapat kembali melanjutkan kehidupan normalnya sehari-hari.
Masih berdasarkan riwayat Sayidina Ali yang dinukil oleh Hajawi disebutkan bahwa seandainya seorang murtad yang telah menyatakan taubat kembali mengulang perbuatan tercelanya maka hendaklah ia diberi kesempatan dua bulan lagi untuk kembali bertaubat dan meninggalkan akidah batilnya. (Hajawi, ibid, juz 2, hal. 206).
Jadi, sebagaimana riwayat Sayidina Ali yang dinukil oleh Hajawi dijelaskan bahwa beliau memberikan kesempatan selama dua bulan kepada seorang yang murtad untuk kembali bertaubat. Pandangan beliau ini berbeda dengan pandangan beberapa sahabat lainnya. Pandangan dan hukum yang beliau utarakan ini berpijak kepada ayat, Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: "Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah terhadap) orang-orang dahulu. (QS. al-Anfal: 28).

11-Fikih Praktis Sayidina Ali dalam Kisas

Salah satu pembahasan yang dikemukakan dalam fikih kisas adalah kesesuaian antara kisas dan bentuk kejahatan. Yakni, jika seseorang berbuat kejahatan hingga melukai orang lain, maka ia akan dijatuhi hukuman yang sesuai dengan kadar luka yang diderita oleh korban. Tidak syak lagi, pelaksanaan ketetapan ini begitu sulit. Oleh karena inilah, banyak kasus kisas yang kemudian diganti dengan denda atau ganti rugi. Namun pada masa lalu hukuman kisas sebisa mungkin untuk diterapkan. Berkenaan dengan hal ini, Dasuqi mengatakan, “Pada masa Khalifah Usman bin Affan ada seorang lelaki yang memukul orang lain sehingga menyebabkan korban pemukulan itu kehilangan salah satu matanya. Usman sebagai Khalifah masa itu memerintakan agar pelaku tersebut dijatuhi hukum kisas. Usman merasa kesulitan dan bingung saat berusaha menjalankan hukum tersebut: apakah mata pelaku harus dipukul sehingga terluka atau ada cara yang lain? Akhirnya problem ini disampaikannya kepada Sayidina Ali. Ali memberikan solusi seperti ini, “Hendaknya kalian menggunakan cermin. Dengan meletakkan sehelai kain di atas mata orang itu dan memantulkan sinar matahari ke matanya maka penglihatannya akan rusak.” (Dasuqi, ibid, hal. 254).

Kesimpulan

Dari pelbagai pembahasan di atas kita dapat menyimpulkan bahwa Sayidina Ali sebagai sosok yang tercerahkan dengan ilmu-ilmu Ilahiah memiliki pandangan yang jelas dan dalam berbagai bab fikih. Dan pandangan beliau tersebut diterima sebagai salah satu rujukan/sumber hukum fikih oleh ulama Ahlus Sunnah.

Referensi:

1-Al-Qur’an al Karim
2-Ibn Arabi, Muhyiddin, al Futuhat al Makkiyah, Kairo, 1987 M.
3-Anshari, Zakaria, Fathul Wahhab, Dar al Kutub al `Ilmiyyah, Beirut, 1418 H.
4-Hajawi, Musa, al Iqna`, Darul Ma`rifah, Beirut.
5-Dasuqi, Muhammad bib Arofah, Hasyiyah as Suqi `ala Asy Syarhil Kabir, Dar al Ihya al Kutub al `Arabiyah, Beirut.
6-Sayid Murtadha, `Alamul Huda, al Intishar, Jami`ah Mudarrisin, Qom, 1415 H.
7-Syarbini, Syamsyuddin Muhammad, al Iqna fi Halli al Fazh Abi Suja`, Darul Ma`rifah, Beirut.
8- Syarbini, Syamsyuddin Muhammad, Mughni al Muhtaj, Dar al Ihya at Turats al `Arabi, Beirut, 1377 H.
9-Syirwani, Abdul Hamid, Hawasyi asy Syirwani, Dar al Ihya at Turats al `Arabi, Beirut, 1985 M.
10-Nawawi, Muhyiddin,al Majmu` fi Syarhi al Muhaddab, Darul Fikr, Beirut.