Wilayatul Faqih dalam Perspektif Ayatullah Behjat
Untuk mengenang arwah agung Ayatullah Uzhma Muhammat Taqi Behjat, pada kesempatan ini kami menurunkan sebuah tulisan tentang satu sisi dari sekian banyak sisi kehidupan arif besar ini; yaitu konsep Wilayatul Faqih. Apakah ia bersikap pro atau kontra dalam menanggapi sistem pemerintahan yang sudah dimplementasikan dalam kancah kehidupan sosial di Iran ini?
Secara ringkas dapat diklaim, Ayatullah Behjat memiliki pandangan yang positif terhadap konsep ini. Berbeda dengan ulama-ulama besar yang seperingkat dengan dirinya di Hauzah Ilmiah Qom. Ia berangkat ke kota suci Najaf Asyraf pada periode Masyruteh II. Di pelancongan ini, ia banyak berjumpa dengan para tokoh Gerakan Masyruteh. Banyak juga statemen-statemen bernilai historis yang ia nukil dari mulut mereka.
Setelah kembali ke Iran, Ayatullah Behjat menyaksikan dari dekat setiap transisi dan perpindahan kekuasaan yang terjadi di Negara Republik Islam Iran ini. Ia malah banyak menghadapi fenomena-fenomena politik yang bergejolak kala itu. Akan tetapi, tanpa ikut terjun langsung ke arena politik, ia senantiasa memberikan pembelaan kepada sistem pemerintahan Islam yang terbentuk berkat revolusi Islam ini. Ia juga banyak memberikan masukan-masukan berharga berkenaan dengan keabsahan sebuah pemerintahan Islam.
Untuk lebih mengenal pandangan politik Ayatullah Behjat, mari kita telusuri terlebih biografinya berikut ini.
Ayatullah Behjat Fumani dilahirkan pada tahun 1917 M. di kota Fuman, sebuah kota yang terletak di Propinsi Gilan, di sebuah keluarga yang taat beragama. Ayahnya, Karbalai Mahmud, adalah seorang yang dipercaya masyarakat kala itu. Di samping bekerja di tokonya sendiri, ia selalu dipercaya oleh masyarakat untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang mereka hadapi. Seluruh surat berharga dan akte kepemilikan masyarakat banyak ia simpan sebagai amanat. Di samping itu, ia juga memiliki bakat sebagai penyair. Banyak syair yang telah ia lantunkan dalam mengenang Ahlul Bait as, khususnya Iman Husain as.
Muhammad Taqi adalah anak kelima dari keluarga ini. Ia mengenyam pendidikan Sekolah Dasar di kota tempat kelahirannya. Setelah tamat SD, ia mengenyam pendidikan agama di tempat kelahirannya jua. Pada usia 14 tahun, ia pindah ke Irak dan berdomisili di kota Karbala. Ia diam di Karbala selama 4 tahun dan pelajaran utama Fiqih dan Ushul Fiqih berhasil ia pelajari di kota ini.
Pada tahun 1933 M., ia pindah ke kota Najaf Asyraf untuk melanjutkan studi. Di kota ini, ia menamatkan bagian akhir jenjang pendidikan tingkat tinggi di bawah asuhan guru-guru besar seperti Syeikh Murtadha Thaliqani, Muhammad Hadi Milani, dan Sayid Abul Qasim Khui.
Setelah itu, ia bergabung dengan kuliah yang dibimbing oleh para ulama besar seperti Sayid Abul Hasan Isfahani, Aqa Dhiya' Iraqi, Mirza Na'ini, dan Syeikh Husain Gharawi Isfahani yang lebih dikenal dengan Syeikh Kumpani.
Ayatullah Behjat lebih banyak menimba ilmu pengetahuan dari Syeikh Kumpani. Untuk itu, ulama besar ini lebih banyak mempengaruhi tata cara berpikir dan sikap Ayatullah Behjat. Syeikh Kumpani adalah salah seorang murid besar Akhund Khurasani. Setelah sang guru meninggal dunia, Syeikh Kumpani memiliki posisi yang sangat istimewa di kalangan ulama.
Mata kuliah yang diberikan terkenal sangat berat, tapi sangat berbobot. Untuk itu, kuliah ini hanya dapat dihadiri oleh pelajar-pelajar agama yang berbobot. Jika kuliah yang diberikan oleh para guru besar Najaf dihadiri oleh banyak pelajar, kuliah Syeikh Kumpani hanya diminati oleh sejumlah jari tangan saja.
Di samping kemampuannya dalambidang Fiqih dan Ushul Fiqih, ia juga dikenal sebagai orang ahli muraqabah, diam, dan muhasabah. Ia selalu merenungkan dan sangat jarang berbicara. Jika ia menghadiri sebuah majelis yang menyulut pembahasan di kalangan ulama, ia hanya berdiam diri.
Syeikh Kumpani selalu duduk di majelis di mana ada tempat kosong. Ia sangat rendah hati, berakhlak mulia, dan sangat tenang. Sekalipun ia memperoleh harta warisan yang melimpah, ia memberikan seluruh harta ini kepada fakir miskin. Ia sendiri tidak memiliki apa-apa.
Ayatullah Behjat yang selalu menyebut Syeikh Kumpani dengan sebutan "Guru Kami" memiliki kriteria yang sangat dekat dengannya, baik dari sisi pondasi Ushul Fiqih dan Fiqih, metode pengajaran, mapun pemberian perhatian terhadap zikir dan ibadah harian. Mereka yang pernah membaca atau mendengar kondisi atau pelajaran Syeikh Kumpani pasti merasakan sebuah daya tarikh khusus.
Syahid Mutahari sendiri, lantaran Ayatullah Behjat pernah menimba pengetahuan dari Syeikh Kumpani, menyarankan kepada para pelajar agama untuk menghadiri pelajaran Ushul Fiqih Ayatullah Behjat.
Akan tetapi, satu hal yang lebih menambahkan keserupaan suluk individual dan amaliah Ayatullah Behjat ini dengan Syeikh Kumpani, serta membedakan Ayatullah Behjat dari para ulama semasanya. Yaitu pelajaran irfan yang pernah ia timba dari seorang arif masyhur kala itu; yaitu Ayatullah Sayid Ali Qadhi.
Kemungkinan besar, salah satu faktor yang mendorong Ayatullah Behjat untuk berpindah ke Najaf dan meninggalkan Karbala adalah kehadiran Ayatullah Sayid Ali Qadhi di Najaf. Oleh karena itu, pada usia 18 tahun, Ayatullah Behjat memberanikan diri berpindah ke Najaf dan menjadi murid Ayatullah Qadhi selama bertahun-tahun.
Kala itu, kota Najaf Asyraf, di samping kemampuan dalam bidang ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, juga menjadi tempat yang menarik bagi para pesalik cinta seperti Behjat. Keberadaan para arif di kota ini menambah kekuatan atmosfir kota Najaf dan melumpuhkan setiap pencari cintai sejati.
Menurut penuturan Ayatullah Behjat sendiri, di makam suci Amirul Mukminin Ali as, lebih dari 70 orang membaca doa Abu Hamzah Tsumali dalam qunut shalat witir mereka; sebuah realita yang senantiasa mengkhawatirkan Ayatullah Behjat bisa hal ini sirna atau berkurang dari kalangan para pelajar agama.
Ayatullah Sayid Ali Qadhi sendiri adalah salah seorang murid Syeikh Al-Syari'ah Isfahani dan Akhund Khurasani. Dalam dunia irfan, ia telah berhasil menggapai maqam yang sangat tinggi. Sangat masyhur bahwa ia sering bermalam di Masjid Kufah dan Sahlah. Shalat panjang dan rintihan tangisnya mampu meluluhkan hati para pesalik ulung seperti Ayatullah Behjat, Allamah Tabatabai, dan Syahid Dastghaib.
Ayatullah Behjat, Hasil Didikan Ushul dan Irfan Najaf
Ayatullah Behjat adalah sebuah titik pertemuan Syeikh Kumpani dan Sayid Ali Qadhi. Berkah ilmiah dan irfani kedua ulama ulung ini berpindah kepada orang lain melalui tangan Ayatullah Behjat.
Untuk itu dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa Ayatullah Behjat adalah buah dari dua aliran Ushul Fiqih dan irfan Hauzah Ilmiah Najaf Asyraf di penghujung periode kebangkitan Masyruteh. Salah satu kriteria penting hauzah ini adalah rasionalisme, irfan, dan perhatian khusus terhadap perkembangan dan masalah politik.
Perhatian khusus Ayatullah Behjat terhadap konsep imamah, kontinyuitasnya dalam membaca doa dan doa ziarah yang datang dari para Imam Maksum as, hidup sederhana, menghindari ketenaran, perhatian khusus terhadap atribut pelajar agama, dan penekanan khusus untuk merenungkan kandungan hadis, semua ini mengingatkan kita pada suluk Kumpani dan Qadhi pada masa kini.
Tapi, hanya satu yang penting dalam dunia politik bagi seorang pemuda seperti Ayatullah Behjat kala itu; yaitu refleksi Kebangkitan Masyruteh di tengah Hauzah Ilmiah Najaf. Ia memahami betul jalan yang ditempuh oleh mereka yang setuju dengan kebangkitan ini ataupun mereka yang menentangnya. Ia berkali-kali mengulas semua ini kepada murid-muridnya selama mengajar di Iran.
Ayatullah Behjat memiliki sikap seperti Sayid Kazhim Yazdi yang menentang Kebangkitan Masyruteh (kondisi politik yang terjadi pra revolusi Iran). Ia, berbeda dengan gurunya, Mirza Na’ini, sangat enggan menunjukkan pembelaan terhadap kebangkitan ini.
Tidak berbeda dengan para ulama tradisional yang terpengaruh oleh pukulan telak terhadap ulama beberapa tahun setelah Kebangkitan Masyruteh usai, Ayatullah Behjat hanya mengawasi perjalanan politik dari pantai dan tidak pernah memasukkan diri dalam dialog-dialog politik yang sering dilakukan oleh para ulama yang lain.
Ayatullah Behjat tidak meyakini bahwa Masyruteh adalah pengejawantahan pemerintahan Islam. Menurut penilaiannya, berbeda dengan pandangan Mirza Na’ini, Masyruteh adalah sebuah usaha untuk menghilangkan sesuatu yang buruk dengan perantara sesuatu yang lebih buruk.
Mungkin lantaran faktor ini, di kelas kuliah kecil-kecilan yang sempat ia bimbing di Najaf, Ayatullah Behjat mengupas tuntas kepemimpinan politik fuqaha. Beberapa masa menjelang setelah itu, ia meyakini bahwa kepemimpinan ini adalah satu-satunya bentuk pemerintahan yang dapat menyandang predikat Islam di masa Ghaibah ini.
Setelah 16 tahun di Irak, Syeikh Kumpani mengharamkan kepada Ayatullah Behjat untuk bertaklid kepadanya. Sang guru mengeluarkan ijazah ijtihad untuknya. Akhirnya, pada tahun 1945, Ayatullah Behjat kembali ke Iran. Setelah mendengar bahwa seluruh gurunya telah meninggal dunia, ia mengurungkan niat untuk kembali ke Irak dan mengambil keputusan untuk berdomisili di kota suci Qom.
Ayatullah Behjat memasuki kota Qom setelah para ulama terbebaskan dari kondisi buruk yang diciptakan oleh rezim Ridha Khan.
Kala itu, Hauzah Ilmiah Qom sedang merombak diri di bawah kepemimpinan Ayatullah Burujerdi. Dan realita ini dapat memberikan kesempatan bagi seorang mujtahid baru seperti Ayatullah Behjat untuk mengembangkan diri.
Pertama kali, Ayatullah Behjat bergabung dengan kuliah Bahtsul Kharij yang dibimbing oleh Ayatullah Hujjat Kuhkamarei, salah seorang marja' agung dari tiga marja' yang hidup kala itu. Hal ini terjadi setelah Ayatullah Syeikh Abdul Karim Ha'iri meninggal dunia.
Selang beberapa waktu, Ayatullah Behjat mengikuti kuliah yang dibimbing oleh Ayatullah Burujerdi bersama para ulama yang lain. Ia dapat mencerna seluruh mata kuliah dengan baik dan dikenal sebagai pengkritik guru terulung.
Kematangan ilmiah Syeikh Kumpani di kalangan para ulama Ushul Fiqih menjadi lahan utama bagi sang murid; yaitu Ayatullah Behjat untuk mengembangkan pandangan-pandangannya di kalangan para pelajar agama yang lain. Hal ini menjadi faktor pendorong bagi mereka yang sudah lama ingin mendengarkan pandangan Syeikh Kumpani dalam bidang Ushul Fiqih melalui mulut sang murid.
Sekalipun demikian, metode pengajaran Ayatullah Behjat, tidak jauh berbeda dengan sang guru, sangat berbeda dan tidak dapat membuat semua orang tertarik. Berbeda dengan metode kuliah yang dibimbing oleh ulama-ulama lain, Ayatullah Behjat hanya melontarkan sebuah masalah. Lalu, ia mengajukan beberapa pertanyaan dan jawaban yang mungkin bisa disimpulkan dari masalah tersebut.
Metode seperti ini hanya dapat membangkitkan para pelajar agama yang ahli telaah untuk menghadiri kuliahnya dan dapat menciptakan kehangatan pembahasan.
Ada satu hal yang menonjolkan kemasyhuran Ayatullah Behjat di kalangan Hauzah Ilmiah Qom. Yaitu suluk akhlak dan irfannya. Di samping tawasul ajaib yang sering ia lakukan kepada Ahlul Bait as, Ayatullah Behjat juga memiliki banyak keramat yang sangat jarang kita dengar dari mulutnya secara langsung.
Berdasarkan pernyataan para saksi dan mereka yang senantiasa menyertai Ayatullah Behjat sebagai pendamping setia, ia tidak pernah meninggalkan satu pun hal-hal yang sunah dan juga tidak pernah melakukan satu pun hal-hal yang makruh. Jika ia menghendaki, ia dapat melihat apa yang ada di belakangnya. Mimpinya dapat dijadikan hujah bagi orang lain.
Menurut penuturan Ayatullah Misbah Yazdi yang sudah berguru kepada Ayatullah Behjat selama 15 tahun, mungkin mereka yang tidak mengenal Ayatullah Behjat dari dekat akan berpikiran bahwa seluruh perhatian Ayatullah Behjat hanya tertuju kepada ibadah, shalat, dan pelajaran. Ia tidak pernah memiliki perhatian terhadap masalah politik dan sosial. Tidak demikian. Ia memiliki perhatian penuh terhadap masalah politik dan sosial yang sedang berkembang di tengah masyarakat.
Akan tetapi, sebagai ganti ia terjun langsung menangani masalah-masalah seperti ini, ia senantiasa berpesan kepada murid-murid untuk memberikan perhatian khusus terhadap masalah-masalah seperti ini.
Argumentasi Ayatullah Misbah Yazdi atas klaim ini cukup kuat. Yaitu, jika mereka yang memiliki kemampuan ilmiah dan spiritual tidak memberikan perhatian terhadap masalah politik, maka akan tiba suatu hari dimana urusan politik dan dunia akan dipegang oleh mereka yang bukan ahlinya, dan masyarakat akan menyeleweng dari jalan yang sebenarnya.
Perlu diingat di sini, maksud Ayatullah Yazdi daru statemen seperti ini bukan berarti Ayatullah Behjat terjun langsung dalam kancah politik praktis. Kegiatan-kegiatan kebudayaan dapat menjadi bentuk manifestasi masalah ini tanpa harus bertentangan dengan posisinya sebagai seorang marja agung.
Berdasarkan dokumen dan bukti-bukti yang ada, sekalipun Ayatullah Behjat tidak memiliki peran langsung dalam proses Revolusi Islam Iran, tapi ia mendukung gerakan revolusi ini dan memiliki pengaruh besar terhadap para ulama yang terjun langsung dalam kancah revolusi kala itu. Menurut keyakinan sebagian tokoh, Ayatullah Behjat adalah salah satu dari tiga pilar Revolusi Islam Iran di samping Allamah Tabatabai dan Imam Khomeini ra.
Di penghujung tahun 60-an, Ayatullah Behjat selalu menekankan bahwa para penguasa sedang menghancurkan agama Islam. Pada suatu hari, seseorang mengatakan kepada Ayatullah Behjat, bukankah Ayatullah Khomeini sudah terlalu keras dalam menghadapi Syah Pahlevi? Ia menjawab, "Apakah kamu tidak memberi kemungkinan bahwa Ayatullah Khomeini terlalu lamban?"
Mungkin maksud Ayatullah Behjat adalah sebenarnya Ayatullah Khomeini sudah seharusnya mengumumkan jihad kolektif.
Ayatullah Muhammad Hadi Fiqhi pernah bercerita, "Ketika Imam Khomeini diasingkan, Ayatullah Behjat dalam ruang kuliah mengatakan bahwa tidak adakah orang yang berani membunuh para penguasa ini?"
Ayatullah Behjat memiliki hubungan yang sangat akrab dengan Imam Khomeini ra. Setelah Imam Khomeini meninggal dunia, Ayatullah Behjat menjadi marja' Mazhab Syiah. Banyak ulama besar seperti Ayatullah Baha'uddini mengakui kemarja'an Ayatullah Behjat.
Pemerintahan Islam pada Periode Ghaibah
Berbeda dengan pandangan para ulama yang menentang pendirian pemerintahan Islam pada masa Ghaibah, Ayatullah Behjat meyakini bahwa mendirikan pemerintahan Islam adalah wajib dan kita memiliki kemampuan untuk memanajemennya. "Kita harus mencegah setiap orang yang ingin menghambat usaha pendirin pemerintahan Islam ini," tegasnya pada sebuah kesempatan.
Iya, dalam pandangan Ayatullah Behjat, mendirikan pemerintahan Islam pada masa Ghaibah harus diiringi dengan penerapan ajaran-ajaran Islam secara sempurna dan menghindari segala bentuk kepentingan yang dapat mengabaikan hukum-hukum Islam.
Argumentasi kokoh banyak dilontarkan oleh Ayatullah Behjat dalam mendukung pemerintahan Islam dan pengejawantahan hukum-hukum Islam, serta keberlangsungan kehidupan politik masyarakat pada masa Ghaibah. Di antaranya adalah argumentasi berikut:
Dalam menghadapi masa Ghaibah Kubra, kita hanya memiliki tiga pilihan berikut ini:
Pilihan pertama: kitab Allah dan seluruh hukum agama harus diliburkan.
Pilihan kedua: kitab Allah dibiarkan berjalan sendiri dan dia sendiri akan menjadi faktor kekekalan dirinya sendiri.
Pilihan ketiga: kitab Allah memerlukan pemimpin dan penjelas; yaitu wali amr dan faqih yang memenuhi syarat.
Pilihan pertama secara rasional dan terktual adalah batil, karena agama Islam adalah agama pamungkas yang harus terus menjadi penunjuk jalan bagi umat manusia hingga hari kiamat kelak.
Pilihan kedua juga tidak dapat dipertanggungjawabkan, karena setiap undang-undang tidak akan bisa berpraktik sendiri. Pasti diperlukan seseorang yang mempraktikkan dan menjalankannya.
Mau tidak mau kita harus memilih pilihan ketiga. Tentunya, seorang Wali Faqih harus terbuka tangannya supaya bisa membentuk seluruh instansi dan badan-badan yang diperlukan oleh sebuah masyarakat. Wali Faqih harus bisa menggunakan seluruh kemampuannya untuk memanajemen masyarakat. Oleh karena itu, ia harus memiliki seluruh kekuasaan seorang Imam Maksum as kecuali posisi imamah.
Secara ringkas dapat diklaim, Ayatullah Behjat memiliki pandangan yang positif terhadap konsep ini. Berbeda dengan ulama-ulama besar yang seperingkat dengan dirinya di Hauzah Ilmiah Qom. Ia berangkat ke kota suci Najaf Asyraf pada periode Masyruteh II. Di pelancongan ini, ia banyak berjumpa dengan para tokoh Gerakan Masyruteh. Banyak juga statemen-statemen bernilai historis yang ia nukil dari mulut mereka.
Setelah kembali ke Iran, Ayatullah Behjat menyaksikan dari dekat setiap transisi dan perpindahan kekuasaan yang terjadi di Negara Republik Islam Iran ini. Ia malah banyak menghadapi fenomena-fenomena politik yang bergejolak kala itu. Akan tetapi, tanpa ikut terjun langsung ke arena politik, ia senantiasa memberikan pembelaan kepada sistem pemerintahan Islam yang terbentuk berkat revolusi Islam ini. Ia juga banyak memberikan masukan-masukan berharga berkenaan dengan keabsahan sebuah pemerintahan Islam.
Untuk lebih mengenal pandangan politik Ayatullah Behjat, mari kita telusuri terlebih biografinya berikut ini.
Ayatullah Behjat Fumani dilahirkan pada tahun 1917 M. di kota Fuman, sebuah kota yang terletak di Propinsi Gilan, di sebuah keluarga yang taat beragama. Ayahnya, Karbalai Mahmud, adalah seorang yang dipercaya masyarakat kala itu. Di samping bekerja di tokonya sendiri, ia selalu dipercaya oleh masyarakat untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang mereka hadapi. Seluruh surat berharga dan akte kepemilikan masyarakat banyak ia simpan sebagai amanat. Di samping itu, ia juga memiliki bakat sebagai penyair. Banyak syair yang telah ia lantunkan dalam mengenang Ahlul Bait as, khususnya Iman Husain as.
Muhammad Taqi adalah anak kelima dari keluarga ini. Ia mengenyam pendidikan Sekolah Dasar di kota tempat kelahirannya. Setelah tamat SD, ia mengenyam pendidikan agama di tempat kelahirannya jua. Pada usia 14 tahun, ia pindah ke Irak dan berdomisili di kota Karbala. Ia diam di Karbala selama 4 tahun dan pelajaran utama Fiqih dan Ushul Fiqih berhasil ia pelajari di kota ini.
Pada tahun 1933 M., ia pindah ke kota Najaf Asyraf untuk melanjutkan studi. Di kota ini, ia menamatkan bagian akhir jenjang pendidikan tingkat tinggi di bawah asuhan guru-guru besar seperti Syeikh Murtadha Thaliqani, Muhammad Hadi Milani, dan Sayid Abul Qasim Khui.
Setelah itu, ia bergabung dengan kuliah yang dibimbing oleh para ulama besar seperti Sayid Abul Hasan Isfahani, Aqa Dhiya' Iraqi, Mirza Na'ini, dan Syeikh Husain Gharawi Isfahani yang lebih dikenal dengan Syeikh Kumpani.
Ayatullah Behjat lebih banyak menimba ilmu pengetahuan dari Syeikh Kumpani. Untuk itu, ulama besar ini lebih banyak mempengaruhi tata cara berpikir dan sikap Ayatullah Behjat. Syeikh Kumpani adalah salah seorang murid besar Akhund Khurasani. Setelah sang guru meninggal dunia, Syeikh Kumpani memiliki posisi yang sangat istimewa di kalangan ulama.
Mata kuliah yang diberikan terkenal sangat berat, tapi sangat berbobot. Untuk itu, kuliah ini hanya dapat dihadiri oleh pelajar-pelajar agama yang berbobot. Jika kuliah yang diberikan oleh para guru besar Najaf dihadiri oleh banyak pelajar, kuliah Syeikh Kumpani hanya diminati oleh sejumlah jari tangan saja.
Di samping kemampuannya dalambidang Fiqih dan Ushul Fiqih, ia juga dikenal sebagai orang ahli muraqabah, diam, dan muhasabah. Ia selalu merenungkan dan sangat jarang berbicara. Jika ia menghadiri sebuah majelis yang menyulut pembahasan di kalangan ulama, ia hanya berdiam diri.
Syeikh Kumpani selalu duduk di majelis di mana ada tempat kosong. Ia sangat rendah hati, berakhlak mulia, dan sangat tenang. Sekalipun ia memperoleh harta warisan yang melimpah, ia memberikan seluruh harta ini kepada fakir miskin. Ia sendiri tidak memiliki apa-apa.
Ayatullah Behjat yang selalu menyebut Syeikh Kumpani dengan sebutan "Guru Kami" memiliki kriteria yang sangat dekat dengannya, baik dari sisi pondasi Ushul Fiqih dan Fiqih, metode pengajaran, mapun pemberian perhatian terhadap zikir dan ibadah harian. Mereka yang pernah membaca atau mendengar kondisi atau pelajaran Syeikh Kumpani pasti merasakan sebuah daya tarikh khusus.
Syahid Mutahari sendiri, lantaran Ayatullah Behjat pernah menimba pengetahuan dari Syeikh Kumpani, menyarankan kepada para pelajar agama untuk menghadiri pelajaran Ushul Fiqih Ayatullah Behjat.
Akan tetapi, satu hal yang lebih menambahkan keserupaan suluk individual dan amaliah Ayatullah Behjat ini dengan Syeikh Kumpani, serta membedakan Ayatullah Behjat dari para ulama semasanya. Yaitu pelajaran irfan yang pernah ia timba dari seorang arif masyhur kala itu; yaitu Ayatullah Sayid Ali Qadhi.
Kemungkinan besar, salah satu faktor yang mendorong Ayatullah Behjat untuk berpindah ke Najaf dan meninggalkan Karbala adalah kehadiran Ayatullah Sayid Ali Qadhi di Najaf. Oleh karena itu, pada usia 18 tahun, Ayatullah Behjat memberanikan diri berpindah ke Najaf dan menjadi murid Ayatullah Qadhi selama bertahun-tahun.
Kala itu, kota Najaf Asyraf, di samping kemampuan dalam bidang ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, juga menjadi tempat yang menarik bagi para pesalik cinta seperti Behjat. Keberadaan para arif di kota ini menambah kekuatan atmosfir kota Najaf dan melumpuhkan setiap pencari cintai sejati.
Menurut penuturan Ayatullah Behjat sendiri, di makam suci Amirul Mukminin Ali as, lebih dari 70 orang membaca doa Abu Hamzah Tsumali dalam qunut shalat witir mereka; sebuah realita yang senantiasa mengkhawatirkan Ayatullah Behjat bisa hal ini sirna atau berkurang dari kalangan para pelajar agama.
Ayatullah Sayid Ali Qadhi sendiri adalah salah seorang murid Syeikh Al-Syari'ah Isfahani dan Akhund Khurasani. Dalam dunia irfan, ia telah berhasil menggapai maqam yang sangat tinggi. Sangat masyhur bahwa ia sering bermalam di Masjid Kufah dan Sahlah. Shalat panjang dan rintihan tangisnya mampu meluluhkan hati para pesalik ulung seperti Ayatullah Behjat, Allamah Tabatabai, dan Syahid Dastghaib.
Ayatullah Behjat, Hasil Didikan Ushul dan Irfan Najaf
Ayatullah Behjat adalah sebuah titik pertemuan Syeikh Kumpani dan Sayid Ali Qadhi. Berkah ilmiah dan irfani kedua ulama ulung ini berpindah kepada orang lain melalui tangan Ayatullah Behjat.
Untuk itu dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa Ayatullah Behjat adalah buah dari dua aliran Ushul Fiqih dan irfan Hauzah Ilmiah Najaf Asyraf di penghujung periode kebangkitan Masyruteh. Salah satu kriteria penting hauzah ini adalah rasionalisme, irfan, dan perhatian khusus terhadap perkembangan dan masalah politik.
Perhatian khusus Ayatullah Behjat terhadap konsep imamah, kontinyuitasnya dalam membaca doa dan doa ziarah yang datang dari para Imam Maksum as, hidup sederhana, menghindari ketenaran, perhatian khusus terhadap atribut pelajar agama, dan penekanan khusus untuk merenungkan kandungan hadis, semua ini mengingatkan kita pada suluk Kumpani dan Qadhi pada masa kini.
Tapi, hanya satu yang penting dalam dunia politik bagi seorang pemuda seperti Ayatullah Behjat kala itu; yaitu refleksi Kebangkitan Masyruteh di tengah Hauzah Ilmiah Najaf. Ia memahami betul jalan yang ditempuh oleh mereka yang setuju dengan kebangkitan ini ataupun mereka yang menentangnya. Ia berkali-kali mengulas semua ini kepada murid-muridnya selama mengajar di Iran.
Ayatullah Behjat memiliki sikap seperti Sayid Kazhim Yazdi yang menentang Kebangkitan Masyruteh (kondisi politik yang terjadi pra revolusi Iran). Ia, berbeda dengan gurunya, Mirza Na’ini, sangat enggan menunjukkan pembelaan terhadap kebangkitan ini.
Tidak berbeda dengan para ulama tradisional yang terpengaruh oleh pukulan telak terhadap ulama beberapa tahun setelah Kebangkitan Masyruteh usai, Ayatullah Behjat hanya mengawasi perjalanan politik dari pantai dan tidak pernah memasukkan diri dalam dialog-dialog politik yang sering dilakukan oleh para ulama yang lain.
Ayatullah Behjat tidak meyakini bahwa Masyruteh adalah pengejawantahan pemerintahan Islam. Menurut penilaiannya, berbeda dengan pandangan Mirza Na’ini, Masyruteh adalah sebuah usaha untuk menghilangkan sesuatu yang buruk dengan perantara sesuatu yang lebih buruk.
Mungkin lantaran faktor ini, di kelas kuliah kecil-kecilan yang sempat ia bimbing di Najaf, Ayatullah Behjat mengupas tuntas kepemimpinan politik fuqaha. Beberapa masa menjelang setelah itu, ia meyakini bahwa kepemimpinan ini adalah satu-satunya bentuk pemerintahan yang dapat menyandang predikat Islam di masa Ghaibah ini.
Setelah 16 tahun di Irak, Syeikh Kumpani mengharamkan kepada Ayatullah Behjat untuk bertaklid kepadanya. Sang guru mengeluarkan ijazah ijtihad untuknya. Akhirnya, pada tahun 1945, Ayatullah Behjat kembali ke Iran. Setelah mendengar bahwa seluruh gurunya telah meninggal dunia, ia mengurungkan niat untuk kembali ke Irak dan mengambil keputusan untuk berdomisili di kota suci Qom.
Ayatullah Behjat memasuki kota Qom setelah para ulama terbebaskan dari kondisi buruk yang diciptakan oleh rezim Ridha Khan.
Kala itu, Hauzah Ilmiah Qom sedang merombak diri di bawah kepemimpinan Ayatullah Burujerdi. Dan realita ini dapat memberikan kesempatan bagi seorang mujtahid baru seperti Ayatullah Behjat untuk mengembangkan diri.
Pertama kali, Ayatullah Behjat bergabung dengan kuliah Bahtsul Kharij yang dibimbing oleh Ayatullah Hujjat Kuhkamarei, salah seorang marja' agung dari tiga marja' yang hidup kala itu. Hal ini terjadi setelah Ayatullah Syeikh Abdul Karim Ha'iri meninggal dunia.
Selang beberapa waktu, Ayatullah Behjat mengikuti kuliah yang dibimbing oleh Ayatullah Burujerdi bersama para ulama yang lain. Ia dapat mencerna seluruh mata kuliah dengan baik dan dikenal sebagai pengkritik guru terulung.
Kematangan ilmiah Syeikh Kumpani di kalangan para ulama Ushul Fiqih menjadi lahan utama bagi sang murid; yaitu Ayatullah Behjat untuk mengembangkan pandangan-pandangannya di kalangan para pelajar agama yang lain. Hal ini menjadi faktor pendorong bagi mereka yang sudah lama ingin mendengarkan pandangan Syeikh Kumpani dalam bidang Ushul Fiqih melalui mulut sang murid.
Sekalipun demikian, metode pengajaran Ayatullah Behjat, tidak jauh berbeda dengan sang guru, sangat berbeda dan tidak dapat membuat semua orang tertarik. Berbeda dengan metode kuliah yang dibimbing oleh ulama-ulama lain, Ayatullah Behjat hanya melontarkan sebuah masalah. Lalu, ia mengajukan beberapa pertanyaan dan jawaban yang mungkin bisa disimpulkan dari masalah tersebut.
Metode seperti ini hanya dapat membangkitkan para pelajar agama yang ahli telaah untuk menghadiri kuliahnya dan dapat menciptakan kehangatan pembahasan.
Ada satu hal yang menonjolkan kemasyhuran Ayatullah Behjat di kalangan Hauzah Ilmiah Qom. Yaitu suluk akhlak dan irfannya. Di samping tawasul ajaib yang sering ia lakukan kepada Ahlul Bait as, Ayatullah Behjat juga memiliki banyak keramat yang sangat jarang kita dengar dari mulutnya secara langsung.
Berdasarkan pernyataan para saksi dan mereka yang senantiasa menyertai Ayatullah Behjat sebagai pendamping setia, ia tidak pernah meninggalkan satu pun hal-hal yang sunah dan juga tidak pernah melakukan satu pun hal-hal yang makruh. Jika ia menghendaki, ia dapat melihat apa yang ada di belakangnya. Mimpinya dapat dijadikan hujah bagi orang lain.
Menurut penuturan Ayatullah Misbah Yazdi yang sudah berguru kepada Ayatullah Behjat selama 15 tahun, mungkin mereka yang tidak mengenal Ayatullah Behjat dari dekat akan berpikiran bahwa seluruh perhatian Ayatullah Behjat hanya tertuju kepada ibadah, shalat, dan pelajaran. Ia tidak pernah memiliki perhatian terhadap masalah politik dan sosial. Tidak demikian. Ia memiliki perhatian penuh terhadap masalah politik dan sosial yang sedang berkembang di tengah masyarakat.
Akan tetapi, sebagai ganti ia terjun langsung menangani masalah-masalah seperti ini, ia senantiasa berpesan kepada murid-murid untuk memberikan perhatian khusus terhadap masalah-masalah seperti ini.
Argumentasi Ayatullah Misbah Yazdi atas klaim ini cukup kuat. Yaitu, jika mereka yang memiliki kemampuan ilmiah dan spiritual tidak memberikan perhatian terhadap masalah politik, maka akan tiba suatu hari dimana urusan politik dan dunia akan dipegang oleh mereka yang bukan ahlinya, dan masyarakat akan menyeleweng dari jalan yang sebenarnya.
Perlu diingat di sini, maksud Ayatullah Yazdi daru statemen seperti ini bukan berarti Ayatullah Behjat terjun langsung dalam kancah politik praktis. Kegiatan-kegiatan kebudayaan dapat menjadi bentuk manifestasi masalah ini tanpa harus bertentangan dengan posisinya sebagai seorang marja agung.
Berdasarkan dokumen dan bukti-bukti yang ada, sekalipun Ayatullah Behjat tidak memiliki peran langsung dalam proses Revolusi Islam Iran, tapi ia mendukung gerakan revolusi ini dan memiliki pengaruh besar terhadap para ulama yang terjun langsung dalam kancah revolusi kala itu. Menurut keyakinan sebagian tokoh, Ayatullah Behjat adalah salah satu dari tiga pilar Revolusi Islam Iran di samping Allamah Tabatabai dan Imam Khomeini ra.
Di penghujung tahun 60-an, Ayatullah Behjat selalu menekankan bahwa para penguasa sedang menghancurkan agama Islam. Pada suatu hari, seseorang mengatakan kepada Ayatullah Behjat, bukankah Ayatullah Khomeini sudah terlalu keras dalam menghadapi Syah Pahlevi? Ia menjawab, "Apakah kamu tidak memberi kemungkinan bahwa Ayatullah Khomeini terlalu lamban?"
Mungkin maksud Ayatullah Behjat adalah sebenarnya Ayatullah Khomeini sudah seharusnya mengumumkan jihad kolektif.
Ayatullah Muhammad Hadi Fiqhi pernah bercerita, "Ketika Imam Khomeini diasingkan, Ayatullah Behjat dalam ruang kuliah mengatakan bahwa tidak adakah orang yang berani membunuh para penguasa ini?"
Ayatullah Behjat memiliki hubungan yang sangat akrab dengan Imam Khomeini ra. Setelah Imam Khomeini meninggal dunia, Ayatullah Behjat menjadi marja' Mazhab Syiah. Banyak ulama besar seperti Ayatullah Baha'uddini mengakui kemarja'an Ayatullah Behjat.
Pemerintahan Islam pada Periode Ghaibah
Berbeda dengan pandangan para ulama yang menentang pendirian pemerintahan Islam pada masa Ghaibah, Ayatullah Behjat meyakini bahwa mendirikan pemerintahan Islam adalah wajib dan kita memiliki kemampuan untuk memanajemennya. "Kita harus mencegah setiap orang yang ingin menghambat usaha pendirin pemerintahan Islam ini," tegasnya pada sebuah kesempatan.
Iya, dalam pandangan Ayatullah Behjat, mendirikan pemerintahan Islam pada masa Ghaibah harus diiringi dengan penerapan ajaran-ajaran Islam secara sempurna dan menghindari segala bentuk kepentingan yang dapat mengabaikan hukum-hukum Islam.
Argumentasi kokoh banyak dilontarkan oleh Ayatullah Behjat dalam mendukung pemerintahan Islam dan pengejawantahan hukum-hukum Islam, serta keberlangsungan kehidupan politik masyarakat pada masa Ghaibah. Di antaranya adalah argumentasi berikut:
Dalam menghadapi masa Ghaibah Kubra, kita hanya memiliki tiga pilihan berikut ini:
Pilihan pertama: kitab Allah dan seluruh hukum agama harus diliburkan.
Pilihan kedua: kitab Allah dibiarkan berjalan sendiri dan dia sendiri akan menjadi faktor kekekalan dirinya sendiri.
Pilihan ketiga: kitab Allah memerlukan pemimpin dan penjelas; yaitu wali amr dan faqih yang memenuhi syarat.
Pilihan pertama secara rasional dan terktual adalah batil, karena agama Islam adalah agama pamungkas yang harus terus menjadi penunjuk jalan bagi umat manusia hingga hari kiamat kelak.
Pilihan kedua juga tidak dapat dipertanggungjawabkan, karena setiap undang-undang tidak akan bisa berpraktik sendiri. Pasti diperlukan seseorang yang mempraktikkan dan menjalankannya.
Mau tidak mau kita harus memilih pilihan ketiga. Tentunya, seorang Wali Faqih harus terbuka tangannya supaya bisa membentuk seluruh instansi dan badan-badan yang diperlukan oleh sebuah masyarakat. Wali Faqih harus bisa menggunakan seluruh kemampuannya untuk memanajemen masyarakat. Oleh karena itu, ia harus memiliki seluruh kekuasaan seorang Imam Maksum as kecuali posisi imamah.