Islam Dalam Statistik Indonesia
“Muhammadiyah yang berada disini sejak tahun 1922, tetap tak berubah pengikutnya tetap 80 orang. Tetapi Syiah, pada 2004 lalu cuma delapan orang, sekarang sudah mencapai 600 orang lebih pengikutnya,”kata calon wakil Bupati Sampang terpilih Fadhillah Budiono, saat kami bertemu di rumahnya yang sederhana hampir tengah malam.
Malam itu sengaja kami ingin bertemu menjajaki sikap wakil yang berpasangan dengan Bupati Fanani Hasib, berkaitan dengan nasib penganut Syiah di Sampang, Madura, Jawa Timur. Fanani dan Fadhilah alias 2 F, baru saja memenangkan pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Sampang, mengalahkan incumbent, Noer Tjahja. Fanani sebelumnya adalah wakil Noer, sedangkan Fadhillah pernah dua kali menjabat sebagai Bupati mulai tahun 1995. Dia juga pernah menjadi Kepala Polisi Resor Sampang.
Saya tak paham maksud arah pembukaan pembicaraan di atas. Apakah, maksudnya mengecam cara-cara Syiah berdakwah, sehingga pengikutnya bertambah pesat dalam waktu singkat?
Dulu, saat saya masih remaja, saya dijejali info-info soal kristenisasi. Tentang orang orang nasrani atau misonaris memberi mie instant atau bantuan-bantuan makanan atau lainnya pada orang susah beragama Islam, lalu lama-lama si penerima bantuan itu beralih agama. Entah benar atau tidak cerita itu, tapi terus memenuhi otak saya. Karena terus menerus diceritakan bahkan menjadi khotbah dimana-mana dalam setiap kesempatan di masjid atau majelis taklim, sehingga menjadi suatu kebenaran yang dipercaya.
Orang-orang Islam, seolah takut dan merasa rendah diri. Para pengkhotbah itu bercerita, menurut saya telah merendahkan orang-orang Islam, yang mau menjual murah imannya hanya untuk mie instant atau bantuan-bantuan lain berupa kebutuhan sehari-hari atau pendidikan. Lalu statistik persentase ukuran populasi pemeluk suatu agama dalam suatu negara menjadi ukuran.
Paman saya almarhum, seorang dokter yang akif berdakwah beberapa tahun sebelum meninggal. Dunia kedokteran dan bisnis sudah bukan tak menarik ditekuninya. Pada masa aktif berdakwah, banyak orang Tionghoa (Cina) beralih keyakinan dan masuk memeluk agama Islam. Tiap minggu ada saja mualaf (begitu sebutan orang yang baru memeluk agama Islam) baik beramai-ramai dalam suuatu upacara di masjid atau tempat tertentu atau secara individu di rumah pamanku saja.
Bukan hanya Tionghoa yang beralih agama memeluk agama Islam juga beberapa orang Bali yang beralih dari agama Hindu kepada Islam. Bahkan paman turut mencarikan pasaran karya seni orang Bali itu, yang semula membuat patung orang atau binatang, beralih membuat kerajinan atau pahatan (juga patung) berupa buah-buahan atau pepohonan.
Paman saya juga aktif mendatangi kantung-kantung pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI) diBlitar Selatan. Bahkan saya pernah ikut dengannya berceramah di suatu kampung di Wlingi (Mlinggi) memperingati Maulid Nabi Muhammad SAWW. Acara maulid di kampung kantung bekas pengikut PKI itu diadakan tak jauh dari kandang domba. Bau tai kambing masih terasa menusuk hidung. Tak ada tuduhan Islamisasi pada paman saya itu bahkan puja-puji dan rasa bangga banyak orang termasuk dirinya.
Lalu kini di Madura, khususnya Sampang, seperti tuduhan wakil Bupati (yang belom dilantik) dan juga Bupati yang sudah tidak terpilih lagi dan banyak orang disana terhadap Syiah. Timbul sejumlah pertanyaan, apakah berkembangnya atau bertambahnya pengikut Syiah di Sampang, berkaitan dengan progresifnya pendakwah Syiah? Salah seorang ketua MUI dari unsur Nahdlatul Ulama (NU) dan juga politikus Partai Golkar, Slamet Effendi Yusuf, pernah menuding pada seorang Ustad Syiah, bahwa dia merrasa prihatin ada dakwah Islam Syiah terhadap nahdliyin. Apa benar? Bukankah Presiden Abdurahman Wahid atau Gus Dur pernah bilang, bahwa NU itu secara kultural ada Syiah atau Syiah minus imamah.
Lalu kenapa ada tuduhan Syiahisasi terhadap pengikut sunni (Imam Syafii/Asyari)? Bukankah, pengikut NU pernah mengeluh masjidnya direbut kaum yang melarang tahlil, maulid atau baca qunut dan mengajarkan pentingnya khilafah dunia? Bahkan karena ketakutan itu bahkan di Sidoarjo, Jawa Timur, Masjid NU harus disertifikasi agar tak direbut kaum begituan (ada yang menyebut wahabi atau puritan).
Saya tak tahu statistik secara jelas, berapa banyak orang Islam di Indonesia? Lalu orang mana yang disebut orang Islam (muslim)? Jika berdasarkan kartu anda penduduk (KTP), karena kartu identitas itu masih mencantumkan kolom agama, tentu akan besar. Namun jika, orang berbeda mazhab, organisasi keagamaan atau Islam KTP (abangan) dianggap sesat atau bukan Islam, tentu statistik orang Islam dalam populasi kita akan berkurang banyak. Apalagi kalau mencantumkan orang korup, pembunuh, pemerkosa atau kriminal lain sebagai bukan Islam, bahkan jauh berkurang lagi.
Perlu duduk bersama lagi antar tokoh-tokoh agama Islam berbagai sekte dan organisasi di Indonesia untuk merumuskan apa yang dimaksud orang Islam. Tentu saja bersamaan dengan itu, perlu dikaji ulang atau direorganisasi Majelis Ulama Indonesia dari semula seperti organisasi masyarakat (saya tak tahu persis bentuk organisasi MUI yang tercantum dalam akte, itupun kalau ada). Jika pada masa orde baru adanya MUI untuk meredam tokoh-tokoh Islam yang kritis terhadap pemerintahan Soeharto. Karena gaya pemerintahannya yang korup, menindas dan tidak “islami”.
Lalu kini MUI dipenuhi orang-orang Islam yang dulu ditindas, bergabung dengan bekas para penindas untuk menindas kelompok lain. Tentu saja sembari jual fatwa dan sertifikat halal. Jangan malu untuk memulai kembali demi kejayaan Islam di masa depan dan utuhnya negara Indonesia. Kita mulai di tahun baru 2013 ini yang bertepatan dengan bulan kedua dalam kalendar Islam (safar/sapar). Tentu saja perkataan seorang pejabat dalam pembukaan artiikel ini, tak perlu terjadi. Berani?
Bogor, 1 Januari 2013 pukul 01.07
Malam itu sengaja kami ingin bertemu menjajaki sikap wakil yang berpasangan dengan Bupati Fanani Hasib, berkaitan dengan nasib penganut Syiah di Sampang, Madura, Jawa Timur. Fanani dan Fadhilah alias 2 F, baru saja memenangkan pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Sampang, mengalahkan incumbent, Noer Tjahja. Fanani sebelumnya adalah wakil Noer, sedangkan Fadhillah pernah dua kali menjabat sebagai Bupati mulai tahun 1995. Dia juga pernah menjadi Kepala Polisi Resor Sampang.
Saya tak paham maksud arah pembukaan pembicaraan di atas. Apakah, maksudnya mengecam cara-cara Syiah berdakwah, sehingga pengikutnya bertambah pesat dalam waktu singkat?
Dulu, saat saya masih remaja, saya dijejali info-info soal kristenisasi. Tentang orang orang nasrani atau misonaris memberi mie instant atau bantuan-bantuan makanan atau lainnya pada orang susah beragama Islam, lalu lama-lama si penerima bantuan itu beralih agama. Entah benar atau tidak cerita itu, tapi terus memenuhi otak saya. Karena terus menerus diceritakan bahkan menjadi khotbah dimana-mana dalam setiap kesempatan di masjid atau majelis taklim, sehingga menjadi suatu kebenaran yang dipercaya.
Orang-orang Islam, seolah takut dan merasa rendah diri. Para pengkhotbah itu bercerita, menurut saya telah merendahkan orang-orang Islam, yang mau menjual murah imannya hanya untuk mie instant atau bantuan-bantuan lain berupa kebutuhan sehari-hari atau pendidikan. Lalu statistik persentase ukuran populasi pemeluk suatu agama dalam suatu negara menjadi ukuran.
Paman saya almarhum, seorang dokter yang akif berdakwah beberapa tahun sebelum meninggal. Dunia kedokteran dan bisnis sudah bukan tak menarik ditekuninya. Pada masa aktif berdakwah, banyak orang Tionghoa (Cina) beralih keyakinan dan masuk memeluk agama Islam. Tiap minggu ada saja mualaf (begitu sebutan orang yang baru memeluk agama Islam) baik beramai-ramai dalam suuatu upacara di masjid atau tempat tertentu atau secara individu di rumah pamanku saja.
Bukan hanya Tionghoa yang beralih agama memeluk agama Islam juga beberapa orang Bali yang beralih dari agama Hindu kepada Islam. Bahkan paman turut mencarikan pasaran karya seni orang Bali itu, yang semula membuat patung orang atau binatang, beralih membuat kerajinan atau pahatan (juga patung) berupa buah-buahan atau pepohonan.
Paman saya juga aktif mendatangi kantung-kantung pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI) diBlitar Selatan. Bahkan saya pernah ikut dengannya berceramah di suatu kampung di Wlingi (Mlinggi) memperingati Maulid Nabi Muhammad SAWW. Acara maulid di kampung kantung bekas pengikut PKI itu diadakan tak jauh dari kandang domba. Bau tai kambing masih terasa menusuk hidung. Tak ada tuduhan Islamisasi pada paman saya itu bahkan puja-puji dan rasa bangga banyak orang termasuk dirinya.
Lalu kini di Madura, khususnya Sampang, seperti tuduhan wakil Bupati (yang belom dilantik) dan juga Bupati yang sudah tidak terpilih lagi dan banyak orang disana terhadap Syiah. Timbul sejumlah pertanyaan, apakah berkembangnya atau bertambahnya pengikut Syiah di Sampang, berkaitan dengan progresifnya pendakwah Syiah? Salah seorang ketua MUI dari unsur Nahdlatul Ulama (NU) dan juga politikus Partai Golkar, Slamet Effendi Yusuf, pernah menuding pada seorang Ustad Syiah, bahwa dia merrasa prihatin ada dakwah Islam Syiah terhadap nahdliyin. Apa benar? Bukankah Presiden Abdurahman Wahid atau Gus Dur pernah bilang, bahwa NU itu secara kultural ada Syiah atau Syiah minus imamah.
Lalu kenapa ada tuduhan Syiahisasi terhadap pengikut sunni (Imam Syafii/Asyari)? Bukankah, pengikut NU pernah mengeluh masjidnya direbut kaum yang melarang tahlil, maulid atau baca qunut dan mengajarkan pentingnya khilafah dunia? Bahkan karena ketakutan itu bahkan di Sidoarjo, Jawa Timur, Masjid NU harus disertifikasi agar tak direbut kaum begituan (ada yang menyebut wahabi atau puritan).
Saya tak tahu statistik secara jelas, berapa banyak orang Islam di Indonesia? Lalu orang mana yang disebut orang Islam (muslim)? Jika berdasarkan kartu anda penduduk (KTP), karena kartu identitas itu masih mencantumkan kolom agama, tentu akan besar. Namun jika, orang berbeda mazhab, organisasi keagamaan atau Islam KTP (abangan) dianggap sesat atau bukan Islam, tentu statistik orang Islam dalam populasi kita akan berkurang banyak. Apalagi kalau mencantumkan orang korup, pembunuh, pemerkosa atau kriminal lain sebagai bukan Islam, bahkan jauh berkurang lagi.
Perlu duduk bersama lagi antar tokoh-tokoh agama Islam berbagai sekte dan organisasi di Indonesia untuk merumuskan apa yang dimaksud orang Islam. Tentu saja bersamaan dengan itu, perlu dikaji ulang atau direorganisasi Majelis Ulama Indonesia dari semula seperti organisasi masyarakat (saya tak tahu persis bentuk organisasi MUI yang tercantum dalam akte, itupun kalau ada). Jika pada masa orde baru adanya MUI untuk meredam tokoh-tokoh Islam yang kritis terhadap pemerintahan Soeharto. Karena gaya pemerintahannya yang korup, menindas dan tidak “islami”.
Lalu kini MUI dipenuhi orang-orang Islam yang dulu ditindas, bergabung dengan bekas para penindas untuk menindas kelompok lain. Tentu saja sembari jual fatwa dan sertifikat halal. Jangan malu untuk memulai kembali demi kejayaan Islam di masa depan dan utuhnya negara Indonesia. Kita mulai di tahun baru 2013 ini yang bertepatan dengan bulan kedua dalam kalendar Islam (safar/sapar). Tentu saja perkataan seorang pejabat dalam pembukaan artiikel ini, tak perlu terjadi. Berani?
Bogor, 1 Januari 2013 pukul 01.07