Ingatan Adalah Kearifan Orang Banyak
“Ingatan rakyat serupa bangunan candi/kekejaman penguasan setiap jaman/ terbaca di setiap sudut dan sisi/yang menjulang tinggi,” demikian tulis Wiji Thukul dalam sajak pamfletnya “Apa Penguasa Kira”. Wiji hari ini hilang tak tahu rimbanya. Ia dihilangkan paksa oleh penguasa otoriter Orde Baru. Rezim yang membenci rakyat sendiri.
Hari ini, membaca penggalan sajak Wiji Thukul ini memulihkan ingatan. Bahwa, kekuasaan, tak boleh lagi memusat. Menjadi tirani. Karena, demokrasi yang diperjuangkan orang seberani Wiji, merupakan ikhtiar menjadikan kekuasaan untuk orang banyak. Kekuasaan yang bersandar pada hakikat manusia dan kemanusian. Seperti yang secara terang terlulis pada Pasal 1 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948), “Semua umat manusia dilahirkan bebas dan sama dalam hak dan martabat. Mereka dikaruniai akal budi dan hati nurani, dan harus bersikap satu sama lain dalam semangat persamaan.”
Di tahun 1998, saya lupa persis bulannya, ada kumpul-kumpul di YLBHI, Jalan Diponegoro 74. HJC Princen (LPHAM), Mulyana W Kusumah (Sekjen KIPP Indonesia), Standar Kia (KIPP), Mochtar Sindang (KIPP), Aderito de Jesus Soares (ELSAM), N Wirakusumah (Pipham), Agus Edi Santoso (Lapasip), Dadang Tri Sasongko (YLBHI), Chatibul Umam Wiranu (PMII), dan beberapa kawan-kawan yang hadir. Pertemuan ini membicarakan perlunya organisasi yang menentang tindak kejahatan negara terhadap warga negaranya.
YLBHI, memang saat rezim antikritik Orde Baru berkuasa adalah oase bagi mereka yang memimpikan keadilan. Di gedung tua itu, ada banyak pertukaran gagasan. Berbagai diskusi dan debat dilakukan oleh kalangan aktivis prodemokrasi. Ada banyak organisasi “perlawanan” dilahirkan di gedung ini. Satu diantaranya adalah rencana mendirikan people organization (organisasi rakyat), yang akan menggenapkan perlawanan terhadap otoriterian Orde Baru. Organisasi itu kemudian dinamai KOMITE INDONESIA untuk PENCEGAHAN PELANGGARAN HAK-HAK ASASI MANUSIA (KIPP-HAM).
Dalam dokumen elektronik yang yang saya temukan, atas “kebaikan hati” mesin pencari internet Google, komite ini pada tanggal 3 Maret 1998, membuat sikap politik yang dijuduli, “PANDANGAN UMUM ATAS PIDATO PERTANGGUNGJAWABAN PRESIDEN/MANDATARIS MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA.” Dokumen ini ternyata masih tersimpan di mailing list (Milis) apakabar@clark.net. Milis ini, di masa itu adalah satu diantara sumber berita “bawah tanah”. Di masa seperti itu, sikap semacam ini tentu bukan tindakan yang biasa-biasa saja. Bisa dianggap subversif.
Mungkin, tanpa mesin pencari internet Google, saya akan kehilangan detil ingatan tentang peristiwa kumpul-kumpul di atas. Seperti Milis apakabar, Google adalah pengait ingatan antar kita. Sesama orang kebanyakan. Penghubung yang awalnya saling tak terhubung. Inilah yang disebut kearifan orang banyak oleh James Surowiecki, di bukunya “The Wisdom of Crowds”. Surowiecki menulis demikian, “Kecerdasan ini, atau kita sebut kebijaksanaan orang banyak dalam bentuk yang berbeda-beda. Itulah sebabnya mengapa mesin pencari internet Google dapat memindai miliaran halaman web dan menentukan satu halaman web berisi informasi yang dicari.”
Google lahir dari semangat berbagi, lahir atas pertemuan “tidak sengaja” antara Larry Page dan Sergey Brin di tahun 1995. Saat itu, Larry yang baru lulus dari Universitas Michigan hendak melanjutkan kuliah di Stanford. Sedang Brin, kala itu adalah mahasiswa yang bertugas untuk memperkenalkan Page terhadap lingkungan baru kampusnya. Pada tahun 1997, alamat Google.com didaftarkan (belum dipakai). Inspirasinya dari kata “googol”, termin dalam ilmu matematika yang merujuk pada angka 1 yang diikuti seratus angka nol dibelakangnya. Harapan dari nama itu bagi Page dan Brin adalah menyediakan informasi sebanyak-banyaknya.
Atas kearifan inilah, saya menjadi ingat kembali, bahwa KIPP-HAM bernyali mengritik rezim yang berkuasa saat itu, “Secara umum, dalam dua tahun terakhir telah terjadi lebih banyak peristiwa pelanggaran hak-hak sipil dan politik, utamanya dalam penyelenggaraan pemilu. Dalam Pidato Pertanggungjawaban Presiden/Mandataris MPR RI tidak dipaparkan pada perkembangan aparatur negara guna memberikan gambaran jelas mengenai fungsi dan peranan aktualnya dalam pembangunan bangsa.” (lengkapnya bisa dilihat di http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1998/03/04/0036.html)
Belakangan KIPP-HAM berganti nama menjadi KontraS. “Kontra Soeharto!” (lihat http://nefosnews.com/post/editorial/selamat-jalan-mas-mul-semoga-mulia). Agus Edi Santoso yang mengusulkan nama ini. Usul serupa ini memang kerap lahir. Identitas menjadi penting, untuk menandai “pihak sana” atau “pihak sini”. Untuk menguatkan hati dan pikiran atas tiap-tiap pilihan yang diyakini. Satu cara untuk meneguhkan langkah.
Demikianlah ingatan. Ia memerlukan kawan. Ingatan rakyat memang kerap berbeda dengan ingatan penguasa. Dan, atau mereka yang ingin berkuasa. Ingatlah, bahwa ingatan rakyat sekuat bangunan candi. ()
Hari ini, membaca penggalan sajak Wiji Thukul ini memulihkan ingatan. Bahwa, kekuasaan, tak boleh lagi memusat. Menjadi tirani. Karena, demokrasi yang diperjuangkan orang seberani Wiji, merupakan ikhtiar menjadikan kekuasaan untuk orang banyak. Kekuasaan yang bersandar pada hakikat manusia dan kemanusian. Seperti yang secara terang terlulis pada Pasal 1 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948), “Semua umat manusia dilahirkan bebas dan sama dalam hak dan martabat. Mereka dikaruniai akal budi dan hati nurani, dan harus bersikap satu sama lain dalam semangat persamaan.”
Di tahun 1998, saya lupa persis bulannya, ada kumpul-kumpul di YLBHI, Jalan Diponegoro 74. HJC Princen (LPHAM), Mulyana W Kusumah (Sekjen KIPP Indonesia), Standar Kia (KIPP), Mochtar Sindang (KIPP), Aderito de Jesus Soares (ELSAM), N Wirakusumah (Pipham), Agus Edi Santoso (Lapasip), Dadang Tri Sasongko (YLBHI), Chatibul Umam Wiranu (PMII), dan beberapa kawan-kawan yang hadir. Pertemuan ini membicarakan perlunya organisasi yang menentang tindak kejahatan negara terhadap warga negaranya.
YLBHI, memang saat rezim antikritik Orde Baru berkuasa adalah oase bagi mereka yang memimpikan keadilan. Di gedung tua itu, ada banyak pertukaran gagasan. Berbagai diskusi dan debat dilakukan oleh kalangan aktivis prodemokrasi. Ada banyak organisasi “perlawanan” dilahirkan di gedung ini. Satu diantaranya adalah rencana mendirikan people organization (organisasi rakyat), yang akan menggenapkan perlawanan terhadap otoriterian Orde Baru. Organisasi itu kemudian dinamai KOMITE INDONESIA untuk PENCEGAHAN PELANGGARAN HAK-HAK ASASI MANUSIA (KIPP-HAM).
Dalam dokumen elektronik yang yang saya temukan, atas “kebaikan hati” mesin pencari internet Google, komite ini pada tanggal 3 Maret 1998, membuat sikap politik yang dijuduli, “PANDANGAN UMUM ATAS PIDATO PERTANGGUNGJAWABAN PRESIDEN/MANDATARIS MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA.” Dokumen ini ternyata masih tersimpan di mailing list (Milis) apakabar@clark.net. Milis ini, di masa itu adalah satu diantara sumber berita “bawah tanah”. Di masa seperti itu, sikap semacam ini tentu bukan tindakan yang biasa-biasa saja. Bisa dianggap subversif.
Mungkin, tanpa mesin pencari internet Google, saya akan kehilangan detil ingatan tentang peristiwa kumpul-kumpul di atas. Seperti Milis apakabar, Google adalah pengait ingatan antar kita. Sesama orang kebanyakan. Penghubung yang awalnya saling tak terhubung. Inilah yang disebut kearifan orang banyak oleh James Surowiecki, di bukunya “The Wisdom of Crowds”. Surowiecki menulis demikian, “Kecerdasan ini, atau kita sebut kebijaksanaan orang banyak dalam bentuk yang berbeda-beda. Itulah sebabnya mengapa mesin pencari internet Google dapat memindai miliaran halaman web dan menentukan satu halaman web berisi informasi yang dicari.”
Google lahir dari semangat berbagi, lahir atas pertemuan “tidak sengaja” antara Larry Page dan Sergey Brin di tahun 1995. Saat itu, Larry yang baru lulus dari Universitas Michigan hendak melanjutkan kuliah di Stanford. Sedang Brin, kala itu adalah mahasiswa yang bertugas untuk memperkenalkan Page terhadap lingkungan baru kampusnya. Pada tahun 1997, alamat Google.com didaftarkan (belum dipakai). Inspirasinya dari kata “googol”, termin dalam ilmu matematika yang merujuk pada angka 1 yang diikuti seratus angka nol dibelakangnya. Harapan dari nama itu bagi Page dan Brin adalah menyediakan informasi sebanyak-banyaknya.
Atas kearifan inilah, saya menjadi ingat kembali, bahwa KIPP-HAM bernyali mengritik rezim yang berkuasa saat itu, “Secara umum, dalam dua tahun terakhir telah terjadi lebih banyak peristiwa pelanggaran hak-hak sipil dan politik, utamanya dalam penyelenggaraan pemilu. Dalam Pidato Pertanggungjawaban Presiden/Mandataris MPR RI tidak dipaparkan pada perkembangan aparatur negara guna memberikan gambaran jelas mengenai fungsi dan peranan aktualnya dalam pembangunan bangsa.” (lengkapnya bisa dilihat di http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1998/03/04/0036.html)
Belakangan KIPP-HAM berganti nama menjadi KontraS. “Kontra Soeharto!” (lihat http://nefosnews.com/post/editorial/selamat-jalan-mas-mul-semoga-mulia). Agus Edi Santoso yang mengusulkan nama ini. Usul serupa ini memang kerap lahir. Identitas menjadi penting, untuk menandai “pihak sana” atau “pihak sini”. Untuk menguatkan hati dan pikiran atas tiap-tiap pilihan yang diyakini. Satu cara untuk meneguhkan langkah.
Demikianlah ingatan. Ia memerlukan kawan. Ingatan rakyat memang kerap berbeda dengan ingatan penguasa. Dan, atau mereka yang ingin berkuasa. Ingatlah, bahwa ingatan rakyat sekuat bangunan candi. ()