Keraguan-keraguan Orang-orang Yang Tidak Meyakini Wilayatul Faqih
Kesimpulan kita tentang wilayatul faqih adalah demikian:
1- Wilayah dan pemerintahan seorang faqih adalah termasuk konsekwensi yang tidak dapat terpisahkan dari Islam, bahkan menurut Imam Khomeini dengan melihat kepada sisi-sisinya dan seluruh bab-bab fikih adalah termasuk hal-hal apriori yang tidak butuh argumentasi apalagi terdapat juga argumen-argumen rasional dan tekstual (naqli) dalam hal itu.
2- Menjadi sebuah keharusan bagi umat Islam dalam rangka merealisasikan dan menjalankan hukum Islam, dalam kondisi-kondisi yang tepat di bawah kepemimpinan ahli-ahli fikih (fuqaha’), untuk memproklamasikan perlawanan dan memberantas sistem pemerintahan tidak adil serta menggantikannya dengan pemerintahan Ilahi di bawah pengawasan wali faqih, walaupun hal ini menuntut pengorbanan jiwa dan harta, dan ringkasnya kaum Muslimin tidak boleh sekalipun menyerah di bawah naungan pemerintahan zalim, akan tetapi harus bangkit dan tidak perlu menyesal dalam mengorbankan jiwa dan harta, sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Muslimin pada permulaan Islam berlomba-lomba membela Islam dan agama Allah swt dan apabila mereka terbunuh di jalan ini maka mereka akan memperoleh derajat tinggi sebagai syuhada’.
Sekarang kita akan membahas keraguan dan pandangan orang-orang yang mengingkari wilayatul faqih dan berkeyakinan bahwa di masa ghaibah (Imam Mahdi), seorang fakih tidak memiliki sedikit pun wilayah dan juga tidak ada hak untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah zalim, kita akan lihat apakah argumen mereka? Dan dengan neraca apa mereka melontarkan hal tersebut?
Dengan merujuk kepada kitab-kitab dan ucapan-ucapan mereka ketika mengkaji jelas bahwa dalam rangka menafikan wilayatul fakih dan mengingkarinya mereka mengatakan: Kita tidak memiliki satu pun argumen yang membuktikan adanya sebuah wilayah yang dimiliki fuqaha’ pada masa ghaibah, adapun riwayat-riwayat yang digunakan untuk membuktikan hal tersebut sebagian dari sisi dilalah (indikasi) dan yang lain dari sisi sanad memiliki problem, oleh karena itu tidak dapat diterima, maka terpaksa prinsip pertama “tidak adanya wilayah seseorang terhadap orang lain” harus diterima dan seorang fakih juga tidak memiliki sedikit pun wilayah terhadap rakyat.
Dan dalam rangka menjawab kebangkitan melawan pemerintahan tidak adil bersandar kepada serangkaian riwayat yang menyatakan: “Setiap kebangkitan sebelum kemunculan Imam Mahdi as dapat dipastikan akan mengalami kekalahan, dan setiap bendera yang berkibar sebelum bendera beliau as, maka pemiliknya adalah thaghut dan tidak dibenarkan untuk berkumpul disekitar mereka”. Oleh karena itu kaum Muslimin pada masa ghaibah tidak memiliki tugas dan kewajiban untuk bangkit melawan para penguasa zalim dan thaghut, akan tetapi hanya wajib beramar makruf dan nahi munkar secara lisan, itu pun dengan persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan dalam kitab amar makruf seperti adanya persangkaan akan berdampak, aman dari marabahaya dan lain-lain, dan hanya cukup berdoa secara umum untuk keselamatan orang-orang yang ditindas oleh pemerintahan tidak adil dan untuk kehancuran mereka, sehingga Allah swt mengirim Imam Mahdi as yang akan menyelamatkan mereka dari cengkeraman para penguasa zalim dan keji, dan mereka diperkenankan berada dalam jamaah Imam Mahdi pada masa itu dan bangkit mengadakan perlawanan dan bila gugur maka akan memperoleh kesyahidan, karena wilayah Imam Mahdi telah terbukti dan gerakan beliau as pasti akan memperoleh hasil dan tidak akan terkalahkan. Namun pada masa ghaibah, wilayah fuqaha’ belum terbukti bagi kita dan juga kebangkitan mereka tidak akan meraih kemenangan, dan tentunya perlawanan orang-orang dalam jamaah mereka dan pengorbanan jiwa dan harta tidak hanya tidak terhitung dalam kesyahidan, bahkan termasuk dalam kategori “menjerumuskan diri kepada kehancuran”, oleh karena itu pada masa ini jalan terbaik adalah berpangku tangan dan menunggu kemunculan sang Imam as.
Hal ini akan kita bahas dalam tiga aspek:
1- Kita akan lihat apakah problema riwayat-riwayat yang digunakan sebagai argumen dari sisi dilalah atau sanad akan menafikan wilayatul fakih atau tidak?
2- Kita juga akan menyaksikan riwayat-riwayat yang digunakan mereka sebagai bahan argumentasi yang menyatakan: Setiap kebangkitan sebelum kebangkitan Imam Mahdi as akan mengalami kekalahan, termasuk jenis riwayat apa dan pada kondisi mana serta dilontarkan kepada siapa-siapa saja?
3- Apakah kita memiliki argumen-argumen yang mewajibkan kebangkitan melawan penguasa zalim, bahkan kebangkitan bersenjata atau tidak?
Pertama
Kita akan kaji hal pertama ini dari dua sudut:
1- Metode kajian kita untuk menetapkan wilayatul fakih memiliki perbedaan fundamental dengan metode orang-orang sebelumnya, karena orang-orang sebelumnya melihat wilayatul fakih sebagai sebuah hal yang telah disepakati dan diterima, setelah itu mereka mencari argumen untuk itu dan berusaha menemukan riwayat-riwayat untuk membuktikan klaim mereka kemudian memaparkannya sebagai argumentasi. Di pihak lain terdapat orang-orang yang mengingkari wilayatul fakih dan mereka berusaha mencari kelemahan riwayat-riwayat tersebut dari sisi sanad atau dilalah, dengan demikian otomatis orang-orang yang mendukung wilayatul fakih akan kehilangan argumen. Akan tetapi kita menempuh sebuah metode yang apabila kita tidak memiliki riwayat-riwayat tersebut, wilayatul fakih akan tetap dapat kita buktikan, apalagi kita juga memiliki riwayat-riwayat tersebut, oleh karena itu kita akan menjelaskan riwayat-riwayat tersebut sebagai pendukung argumentasi rasional disamping argumentasi-argumentasi lain untuk wilayatul fakih, sedangkan argumentasi dasar kita adalah dengan merujuk kepada seluruh hukum fikih dan hukum akal, karena setiap bab dari bab-bab fikih akan dikembalikan hukum-hukumnya kepada seorang hakim. Dari sisi lain kitab-kitab fikih ini tidak ditulis untuk masa Imam Mahdi as, namun merupakan undang-undang bagi kaum Muslimin pada masa ghaibah dan dengan melihat bahwa hukum-hukum tersebut tetap berlaku pada masa ghaibah dan dilarang merujuk kepada para hakim atau penguasa zalim serta dengan melihat kepada kondisi-kondisi yang telah ditentukan untuk seorang pemimpin atau imam dalam kepemimpinannya, maka otomatis akan dapat dipastikan penetapan sebuah pemerintahan hak itu pun di bawah kepemimpinan wakil-wakil umum Imam Zaman as –yakni fuqaha’ yang memenuhi persyaratan sebagai seorang pemimpin-, baik itu kita memiliki hadis maqbulah dari Umar bin Handholah ataukah tidak, apakah sanadnya lemah atau dapat dipercaya.
2- Tidak semua riwayat yang digunakan sebagai argumen memiliki problem dari sisi sanad atau dilalah dan orang-orang yang mengakui wilayatul fakih tidak memegang argumen riwayat sama sekali, akan tetapi sebagian riwayat dari sisi sanad adalah shahih dan muwatstsaq dan sebagian yang lemah atau kedha’ifan sanad telah diterima dan diamalkan oleh ulama, sementara kedha’ifan sanad riwayat-riwayat tersebut telah ditutupi dengan amal ulama, dari sisi dilalah juga tidak seperti yang diperkirakan oleh orang-orang yang mengingkari wilayatul fakih, bahkan secara keseluruhan dari riwayat-riwayat tersebut permasalahan wilayatul fakih pada masa ghaibah kubra dapat disimpulkan dengan baik.
Ringkasnya, pada masa ghaibah bukan berarti kita tidak memiliki sebuah argumen pun untuk membuktikan wilayatul fakih, sehingga kita harus kembali kepada prinsip pertama “tidak adanya wilayah seseorang terhadap orang lain” dan fuqaha’ sabagaimana orang-orang biasa tidak memiliki wilayah sama sekali, bahkan wilayah fuqaha’ sebagaimana wilayah Nabi Muhammad saw dan para Imam maksum as keluar dari prinsip pertama.
Kedua
Orang-orang yang berkeyakinan bahwa sebelum kemunculan Imam Mahdi as setiap gerakan atau kebangkitan akan mengalami kekalahan dan setiap bendera yang berkibar pengibarnya adalah penguasa zalim, dan tidak diperkenankan untuk berkumpul dalam jamaah tersebut, dan mereka mempercayai bahwa pada masa ghaibah kaum Muslimin tidak memiliki tugas dan kewajiban yang disebut dengan kebangkitan melawan para penguasa zalim dan atau membentuk sebuah pemerintahan bernama pemerintahan hak, akan tetapi tugas dan kewajiban mereka hanya sebatas beramar makruf dengan tingkatan bawahnya yakni secara lisan, itu pun ketika merasa aman dari bahaya. Mereka bersandarkan kepada serangkaian riwayat yang mayoritanya dikoleksi oleh almarhum Syeikh Hurr ‘Amuli dalam kitab “Wasail Al-Syi’ah”[2], yang apabila kita mengkaji dan memahami maksudnya, maka makna-makna riwayat-riwayat lain yang terdapat dalam kitab-kitab lain juga akan jelas –semisal sebuah riwayat yang terdapat dalam mukaddimah Shahifah Sajjadiyah dan yang lainnya,[3] karena seluruh riwayat ini memiliki keserupaan dan dari satu jenis. Namun sebelum masuk dalam kajian riwayat-riwayat itu ada baiknya kita menyinggung beberapa poin yang sangat bermanfaat dan berpengaruh dalam memahami makna-makna riwayat-riwayat tersebut.
Hal pertama yang harus diperhatikan, setiap kebangkitan dari siapa pun walaupun melawan penguasa zalim tidak dapat dibenarkan, akan tetapi seseorang yang telah mengumpulkan sekelompok orang di sekitarnya dan bangkit melawan kezaliman dan kerusakan, harus memenuhi persyaratan seorang pemimpin dan atau melakukan kebangkitan dengan perwakilan dan izin seorang yang seperti itu, maka apabila seseorang yang tidak memiliki ilmu, keadilan dan kejujuran dan menyeru orang-orang ke arahnya, dan tujuannya adalah menggulingkan penguasa zalim dan menggantikannya dengan dirinya sendiri sementara ia sendiri tidak memiliki hak memimpin dalam syareat suci, kebangkitan yang demikian ini tentunya tidak dapat dibenarkan. Oleh karena itu pada masa Imam Sadiq as terjadi berbagai kebangkitan melawan Bani Umayyah atau Bani Abbas dan terdapat orang-orang yang menyeru untuk bangkit, para sahabat Imam Sadiq as meminta kejelasan taklif kepada beliau as mengenai partisipasi dalam kebangkitan-kebangkitan semacam itu, Imam Sadiq as dalam jawabannya bersabda: Apabila seseorang dari keluarga Nabi Muhammad saw bangkit dan meminta kalian untuk membantunya maka lihatlah apakah tujuan orang tersebut dari kebangkitannya? Untuk apa dan dengan kepemimpinan siapa hal itu dilakukan? Dan janganlah kalian bandingkan setiap kebangkitan dengan kebangkitan Zaid bin Ali bin Husain as dan janganlah kalian katakan bahwa kebangkitan Zaid dibenarkan maka setiap kebangkitan dapat dibenarkan karena Zaid adalah seorang alim dan jujur (benar) dan ia tidak menyeru orang-orang kepada dirinya sendiri akan tetapi menyeru dengan keredhoan dari keluarga Muhammad saw dan apabila ia mencapai kemenangan dalam jalan ini maka ia akan memenuhi janjinya, yakni menyerahkan kebenaran kepada imam maksum dan ia sendiri tidak memiliki motifasi apa-apa.
Sebagaimana yang anda saksikan, Imam Sadiq as bersandarkan kepada ilmu dan kejujuran serta cara seruan Zaid. Kemudian Imam as bersabda: “Apabila terdapat orang-orang seperti Zaid adalah baik, adapun mereka yang bangkit pada hari-hari ini, hingga saat itu mereka tidak memiliki kekuatan dan belum ada bendera yang dikibarkan dengan nama mereka, mereka tidak ingin mendengarkan ucapan kami dan tidak mematuhi kami, apa yang terjadi ketika suatu hari kelak mereka memegang bendera. Artinya mereka tidak memenuhi persyaratan dalam kepemimpinan dan kebangkitan dan juga tidak siap mendengarkan ucapan imam maksum, walaupun slogan mereka seperti slogan Zaid akan tetapi dalam praktek mereka mengerjakan yang sebaliknya”.[4]
Dalam hal ini juga terdapat sebuah riwayat yang dinukil dalam kitab Wasail Al-Syi’ah[5] yang darinya dapat disimpulkan dengan baik bahwa orang-orang yang bangkit harus memenuhi syarat-syarat dalam kepemimpinan, diantaranya harus sebagai orang yang paling alim dari semuanya, paling pandai dalam menentukan hukum-hukum Allah dari Al-Qur’an dan sunnah, oleh karena itu seseorang bernama Abdul Karim bin ‘Utbah berkata: Di Makkah kita sedang duduk di hadapan Imam Sadiq as, tiba-tiba sekelompok orang dari Mu’tazilah[6] masuk dan berkata: Oleh karena Bani Umayyah sedang ribut dan saling membunuh, dan mereka membunuh Walid sang penguasa dan khalifah, maka kita mengambil keputusan untuk membaiat seseorang yang memiliki akal dan agama serta memiliki hubungan dengan Rasulullah saw, yakni Muhammad bin Abdullah bin Al-Hasan dan kita telah berbaiat. Oleh karena itu kami juga memohon kepada anda yang memiliki banyak pengikut untuk berbaiat kepadanya.
Setelah mengucapkan puji syukur kepada Allah dan ucapan-ucapan lain, Imam Sadiq as bertanya kepada mereka apabila kalian bangkit dan memperoleh kemenangan dari ahli kitab atau Majusi atau orang-orang musyrik atau orang-orang yang menyembah berhala bagaimanakah perlakuan kalian terhadap mereka?
Mereka menjawab bahwa kita akan melakukan hal ini dan itu, dan dalam jawaban mereka semua orang-orang kafir dianggap satu dan mengatakan kita akan memperlakukan mereka dengan sama.
Imam as menjawab: Dari siapakah kalian mempelajari hukum-hukum tersebut? Mereka menjawab bahwa orang-orang mengatakan demikian. Imam as menjawab: Bertaqwalah kalian kepada Allah! Orang yang ingin bangkit dan mengendalikan urusan kaum Muslimin serta menyeru orang lain kepadanya, harusla orang yang paling berpengetahuan, dan tidak ada yang lebih alim darinya di tengah-tengah khalayak, bila tidak demikian maka orang tersebut akan tersesat dan juga menjadi sesab kesesatan orang lain. Oleh karena itu Imam Sadiq as menukil dari ayah beliau as Imam Baqir as dari Rasulullah saw yang bersabda: “Barangsiapa yang menyabet orang lain dengan pedangnya dan menyeru orang-orang kepadanya dan di tengah-tengah kaum Muslimin terdapat orang yang lebih alim darinya maka ia adalah sesat yang memaksakan”.[7]
Oleh karena itu kebangkitan-kebangkitan yang dilakukan pada masa para imam as terdapat dua macam, salah satunya disetujui dan yang lain yang tidak memiliki persyaratan layak tidak disetujui mereka. Perlawanan-perlawanan seperti yang dilakukan oleh Zaid bin Ali bin Al-Husain as dan Yahya bin Zaid serta Husain Syahid Fakh termasuk yang disetujui oleh para imam suci as, karena mereka (para syahid tersebut) marah atau tidak setuju dengan kondisi yang disetir oleh penguasa zalim karena Allah dan melakukan perlawanan karena beramar makruf dan nahi munkar, dan apabila menang, mereka akan mengembalikan hak kepada pemiliknya.
Akan tetapi kebangkitan-kebangkitan seperti kebangkitan Bani Abbas dan Abu Muslim Khurasani melawan Bani Umayyah, dan kebangkitan Muhammad bin Abdullah bin Al-Hasan yang dikenal dengan Nafs Zakiyyah dan saudaranya Ibrahim bin Abdullah melawan Mansur Dawaniqi, serta kebangkitan Zaid An-Nar saudara Imam Ridho as melawan Bani Abbas tidak didukung dan disetujui oleh para imam suci as, walaupun tampaknya sebagian mereka melontarkan seperti slogan Zaid bin Ali bin Al-Husain as (yakni menyeru khalayak pada keridhoan keluarga Muhammad saw) akan tetapi dalam prakteknya tidak demikian, bahkan tujuan utama dari keridhoan keluarga Muhammad saw adalah mereka sendiri yang bermotifasi memimpin umat Islam yang menurut pandangan Syi’ah tidak ada perbedaan antara kekuasaan Bani Umayyah dan Bani Abbas atau Zaid An-Nar dan Makmun Abbasi sebagai bentuk nyata kekuasaan zalim dan keji, karena neraca dalam menentukan sebuah kekuasaan zalim adalah tidak adanya pengesahan dan tanda tangan dari Allah dan pihak Rasulullah saw dalam kepemimpinan pemerintahan tersebut, dan dalam prakteknya juga kedua kelompok (Bani Umayyah dan Bani Abbas) bersikap sama terhadap para imam as dan bahkan kelompok kedua lebih buruk dari pertama.
Apabila terdapat sebuah riwayat dari para imam maksum as –dengan melihat pada kondisi masa itu- yang menginsrtuksikan kepada para sahabat untuk berpangku tangan dan tinggal diam di rumah serta menghindari partisipasi dalam kebangkitan ini, maka kita tidak boleh langsung mengambil riwayat tersebut sebagai argumen atas kecaman setiap kebangkitan dan kita redam setiap suara mazlum yang melawan penguasa zalim oleh karena Imam Sadiq as pernah bersabda kepada Sadir Shairufi untuk “berpangku tangan dan berdiam diri di rumah” dan “jangan ikut serta dalam setiap kebangkitan manapun karana akan mengalami kekalahan dan pemimpinnya adalah zalim”. Akan tetapi harus dilihat macam apakah kebangkitan yang dilakukan, dan dipimpin oleh siapa-siapa saja? Apabila kebangkitan seperti Zaid dan Yahya serta Husain Syahid Fakh bukan saja tidak boleh dikecam akan tetapi harus diikuti dan didukung, meskipun tidak sampai pada kemenangan puncak karena dengan kebangkitan semacam ini hujjah telah sempurna dan tampak jelaslah rupa kekuasaan penguasa zalim, bila semua memilih berdiam diri maka hal itu menjadi kesamaran bagi umat yang akan menganggap kebatilan sebagai kebenaran dan hukum-hukum yang tidak sesuai dengan Islam sebagai hukum-hukum Islam.
Apabila kebangkitan seperti yang dilakukan oleh Bani Abbas dan Sadat Hasani maka harus ditolak dan tidak boleh diikuti karena tujuannya menggulingkan penguasa dan menggantikannya dengan penguasa lain yang sama sepertinya, semisal gerakan-gerakan yang dilakukan oleh sebagian pihak dan kelompok menentang penguasa zalim Syah yang sejak pertama kebangkitan mereka, Imam Khomeini ra dan pengikut setia beliau telah melarang rakyat untuk mengikutinya, karena apabila mereka berhasil dan mengambil alih kendali urusan maka mereka akan bertindak lebih buruk dari Syah dan antek-anteknya sebab mereka tidak lebih baik dari rezim keji Syah dari sisi religius dan juga dari sisi metode politik.
2- Poin lain yang harus diperhatikan dalam rangka memahami riwayat-riwayat tersebut adalah permasalahan seputar Imam Mahdi (kemahdawian atau Mahdiisme) yang dinukil dari Nabi Muhammad saw dari berbagai jalur: “Dari keluargaku (ahlul bait) akan bangkit seorang yang akan menggulung para penguasa zalim, merusak istana-istana kezaliman di atas kepala mereka dan akan menghamparkan keadilan, tiada pemerintahanpun di dunia yang tidak tunduk kepadanya”. Dan masih banyak lagi riwayat-riwayat seperti ini yang juga diucapkan dari lisan suci Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as, Imam Hasan as dan Imam Husain as. Oleh karena itu beberapa orang telah mengaku diri sebagai Mahdi mau’ud (yang dijanjikan), dan mengambil baiat dari orang lain untuk dirinya sendiri dengan mengatas namakan sebagai Mahdi dan melakukan kebangkitan melawan penguasa zalim, sebagai contoh Mahdi Abbasi yang adalah salah satu dari khalifah Bani Abbas mendapatkan julukan seperti itu. Atau Muhammad bin Abdullah bin Al-Hasan yang terkenal dengan Nafs Zakiyyah mengambil baiat dari orang-orang atas nama Mahdi mau’ud, dan bahkan meminta kepada Imam Sadiq as supaya membaiatnya sebagai Mahdi keluarga Muhammad dan bangkit melawan Bani Umayyah dalam jamaahnya, akan tetapi Imam Sadiq as tidak bersedia membaiatnya, dan oleh karena itulah Abdullah bin Hasan (ayah Muhammad bin Abdullah) membenci Imam Sadiq as dan melontarkan kata-kata yang tidak pantas kepada beliau as sebagaimana yang dinukil dalam Irsyad Mufid dari “Maqatiluth Thalibin” Abul Faraj: Abdullah bin Hasan mengadakan sebuah jamuan dan mengundang Bani Hasyim untuk membaiat puteranya Muhammad. Jamuan tersebut juga dihadiri oleh Saffah dan Mansur Dawaniqi. Ketika itu Abdullah berkhutbah, setelah menyebut hamdalah ia mengatakan: Kalian semua mengetahui bahwa puteraku Muhammad adalah Mahdi yang telah dijanjikan, maka marilah kita membaiatnya”. Kemudian ia pergi kepada Imam Sadiq as yang hadirjuga ketika itu. Abdullah pada mulanya sangat menghormati Imam Sadiq as dan mendudukkan beliau as disampingnya dan mulai berkata: Semua orang telah membaiat puteraku, maka silahkan anda juga berbaiat. Imam Sadiq as menjawab: Jika maksudmu adalah bahwa puteramu Muhammad adalah Mahdi dari keluarga Muhammad saw yang dijanjikan dan sekarang ini harus memulai kebangkitan umumnya, maka tidaklah benar, karena puteramu bukanlah Mahdi yang dijanjikan dan juga masa Imam Mahdi as belum sampai. Akan tetapi jika makdus kalian ingin menyatakan kemarahan kalian demi Allah dan bangkit untuk beramar makruf nahi munkar, maka tidak ada halangan, akupun akan bersama kalian namun aku tidak akan membaiat puteramu Muhammad, dan engkau yang adalah ayahnya dan syeikh dari kabilah kami ambillah tampuk kepemimpinan untuk bangkit dan aku akan bekerja sama dengan kalian”.
Ketika Abdullah bin Hasan melihat Imam Sadiq as tidak bersedia membaiat puteranya yang bernama Mahdi mau’ud dan menolak kemahdawiannya, ia sangat marah dan berkata: Engkau sendiri sangat tahu bahwa hal itu bukanlah demikian dan aku bersumpah demi Allah, engkau tidak diberitahu oleh Allah dari ilmu ghaibNya akan tetapi kehasudan terhadap puterakulah yang membawamu kepada sikap demikian”.[8]
Sebagaimana yang dapat disaksikan dalam hadis ini, Muhammad bin Abdullah bin Hasan melakukan kebangkitannya dengan nama Mahdi mau’ud dan mengambil baiat dari orang-orang untuk dirinya sendiri.
Sangat tepat sekali di sini kita menukilkan hadis dari kitab Kafi yang disebutkan dengan detail oleh almarhum Kulaini bahwa Muhammad bin Abdullah bin Hasan pada permulaan kebangkitannya di Madinah melawan Mansur Dawaniqi bermusyawarah dengan Isa bin Zaid yang adalah salah seorang kepercayaannya mengenai pengambilan baiat dari seluruh Bani Hasyim, Isa bin Zaid mengatakan: Datangkanlah Jakfar bin Muhammad as sebelum semua orang dan ambillah baiat darinya sehingga yang lain akan terpaksa berbaiat, ketika Imam as datang Isa bin Zaid berkata: Aslim taslim (Menyerahlah maka anda akan selamat). Imam Sadiq as bertanya: Ada apa ini? Apakah seorang nabi setelah Muhammad saw telah diutus? Muhammad berkata: Tidak, akan tetapi berbaiatlah sehingga jiwa, harta dan anak-anak anda akan aman. Setelah terjadi perdebatan yang sangat lama dan panjang, Isa bin Zaid menatap Imam Sadiq as dan berkata: Jika engkau masih berkata lagi maka akan aku retakkan mulutmu. Dan pada akhirnya wakil Muhammad berdiri dan menghantam bagian belakang kaki Imam Sadiq as serta membawa beliau as keluar dari acara pertemuan tersebut dan menjebloskan ke dalam tahanan kemudian mengambil akih seluruh harta benda beliau as dan keluarga beliau yang tidak berbaiat kepada Muhammad.[9]
Dengan melihat riwayat-riwayat ini, menjadi jelas problem nyata kebangkitan orang-orang seperti Muhammad bin Abdullah yang tergolong orang-orang baik dan dikenal dengan Nafs Zakiyyah, apalagi kebangkitan orang-orang seperti Abu Muslim, Bani Abbas dan Zaid An-Nar. Dan dengan mengamati hal-hal ini apabila terdapat sebuah hadis yang dilontarkan dari Imam Sadiq as misalnya yang menginstruksikan kepada para sahabat untuk berdiam diri dan tidak ikut serta dalam kebangkitan, apakah dari hadis tersebut dapat disimpulkan bahwa setiap kebangkitan sebelum kebangkitan Imam Mahdi as dikecam dan akan mengalami kekalahan dan pemimpinnya adalah pemimpin zalim? Ataukah tidak demikian, kita harus mengenal kebangkitan-kebangkitan tersebut dari yang lainnya, tidak boleh membandingkan sebuah kebangkitan seperti yang dilakukan oleh Zaid bin Ali bin Husain as dengan yang dipimpin oleh Zaid An-Nar, harus melihat pimpinan-pimpinan dan tujuan kebangkitan tersebut dan setelah itu kita duduk untuk menghukuminya. Untungnya mayoritas riwayat yang ada dalam kitab-kitab hadis dan yang dipergunakan oleh orang-orang yang menentang kebangkitan seperti riwayat-riwayat berikut yang menyatakan “Barangsiapa bangkit sebelum kebangkitan Imam Mahdi as, maka tidak atas dasar kebenaran dan kami tidak ridho dengannya serta tidak akan berakhir dengan kemenangan” hal melihat pada kebangkitan-kebangkitan yang biasanya dilakukan oleh sadat atau sayid-sayid (keturunan Nabi saw) dengan mengatas namakan sebagai Mahdi mau’ud dan para Imam maksum as mengecam jenis kebangkitan-kebangkitan ini dan sama sekali tidak mendukungnya, bukannya mengecam setiap kebangkitan dengan niatan apapun walaupun dengan niatan beramar makruf dan nahi munkar dan ketika berakhir dengan kemenangan akan mengembalikan hak kepada yang berhak. Buktinya adalah riwayat Maqatiluth Thalibin yang dinukil dari Irsyad tersebut di atas yang mana Imam Sadiq as membagi kebangkitan menjadi dua bagian. Dengan demikian jika hal itu untuk kerelaan Allah dan bermaksud beramar makruf dan nahi munkar maka tidak ada kecaman dari para Imam maksum aswalaupun pada akhirnya tidak mencapai kemenangan, akan tetapi minimal manfaatnya adalah merusak hegemoni kekuasaan penguasa zalim dan menyempurnakan hujjah (itmamul hujjah) kepada makhluk Allah serta memberikan tanda bahaya kepada kaum mukminin bahwa kekuasaan ini bukanlah kekuasaan yang hak dan tidak diwajibkan untuk mengikuti undang-undang dan peraturannya.
3- Poin ketiga yang harus dicermati adalah bahwa kebangkitan melawan penuasa zalim walaupun benar dan di bawah kepemimpinan pimpinan yang adil, juga tetap memiliki persyaratan dan mukaddimah yang harus dipenuhi sebelumnya dan apabila belum terpenuhi ingin melakukan kebangkitan maka otomatis disamping akan mengalami kekalahan juga pasti tidak akan membuahkan hasil walaupun bisa jadi setelah memenuhi mukaddimah-mukaddimah juga mengalami kekalahan.
Akan tetapi jika dilaksanakan sebelum tersedianya lahan, maka bisa jadi akan dengan cepat akan mengalami kekalahan dan juga akan membentuk kesan buruk di antara khalayak. Maka dengan demikian kebangkitan atas nama kebenaranpun juga dalam sebagian kondisi tidak diperbolehkan, akan tetapi sebelumnya harus terbuka lahan bagi khalayak dan selanjutnya dilakukan kebangkitan dan kaum Muslimin tidak selayaknya untuk mengorbankan jiwanya dengan sia-sia dan menjadi korban dari emosi dan perasaan; karena –menurut ungkapan Imam Sadiq as- dalam permasalahan jiwa tidak ada artinya untuk mencoba, sebab setelah terbunuh tidak ada lagi nyawa sehingga seseorang akan lebih teruji dalam usaha-usaha berikutnya,[10] maka dari pertama harus dilakukan dengan perhitungan matang sehingga tidak ada korban jiwa demi keinginan dan emosi atau perasaan. Di sinilah akan semakin jelas arti sebagian dari riwayat-riwayat yang dijadikan argumentasi oleh mereka yang tidak setuju dengan kebangkitan karena setelah mengkaji dengan sempurna mengenai seputar riwayat-riwayat tersebut diketahui bahwa seseorang yang menjadi sasaran dari ucapan Imam sadiq as (mukhatab) dan diinstruksikan untuk berdiam diri adalah termasuk orang-orang yang berperangai bersih akan tetapi emosional yang setiap saat ingin melakukan kebangkitan, Imam Sadiq as menginstruksikan kepada orang seperti ini untuk pergi ke rumah dan berdiam diri sehingga tiba masanya, oleh karena itu Sadir Shairufi, Abdus Salam bin Na’im dan sebagian sahabat lain menjadi gembira ketika melihat pasukan Abu Muslim Khurasani terbentuk dan berharap alangkah baiknya jika pasukan tersebut menuju Imam Sadiq as dan beliau as mengambil alih tampuk kepemimpinan, oleh karena itu sebuah surat dilayangkan kepada beliau as dan menginginkan untuk melakukan kebangkitan karena pasukan telah siap. Imam Sadiq as melempar surat itu ke tanah dan bersabda: “Aku bukanlah pemimpin atau imam mereka”[11]dan kalian juga jangan tergesa-gesa karena segala sesuatu ada masanya, yakni jika maksud kalian adalah supaya aku melakukan kebangkitan dengan nama Mahdi mau’ud, maka itu ada tanda-tandanya yang diantaranya adalah Mahdi Mau’ud akan membunuh Sufyani, jika kalian lihat bahwa persyaratn-persyaratannya telah terpenuhi maka ikut sertalah kalian juga. Imam Sadiq as mengenal Abu Muslim dengan baik apa yang telah dilakukannya, sebelumnya di Khurasan dia bekerja untuk Ibrahim Abbasi dan setelah terbunuhnya Ibrahim dia mengambil baiat untuk Abul Abbas Saffah dan sekarang pasukan besar telah bersiap siaga untuk Saffah bukan untuk Imam Sadiq as akan tetapi para sahabat yang mukhlis namun tidak mengetahui situasi dan kondisi menyangka mereka adalah para pendukung ahlul bait Nabi Muhammad saw yang apabila Imam Sadiq as menginginkan, mereka akan menyerahkan diri dalam ikhtiar Imam Sadiq as, oleh karena itu para sahabat mengira bahwa Imam Sadiq as telah kehilangan sebuah kesempatan baik dan menyia-nyiakan pasukan yang berjumlah besar. Ketergesa-gesaan ini tidak hanya menghambat usaha namun bahayanya adalah 100 persen, dan hal ini muncul dari omosi atau ketidaktahuan akan situasi dan kondisi.
4- Hal lain yang harus diperhatikan dalam memahami sebagian dari riwayat-riwayat ini adalah bahwa kebangkitan yang berhasil yang dengan artian penuh mencabut kekuasaan zalim dari akarnya, menggulung dasar kezaliman serta membentangkan keadilan, adalah hanya kebangkitan Imam Mahdi as dari keluarga Nabi saw dan jika seseorang mengklaim yang demikian dan atau orang lain berharap yang demikian dari apapun kebangkitan dengan nama kebenaran, adalah salah dan tidak pada tempatnya; dan kebangkitan-kebangkitan yang dilakukan sebelum kebangkitan Imam Mahdi as adalah termasuk dalam kategori amar makruf dan nahi munkar dan menjadi mukaddimah untuk kebangkitan beliau as. Yang menarik di sini adalah almarhum Sayyid bin Thawus dalam kitab “Iqbal” menukil sebuah hadis dari Imam Sadiq as bahwa sebelum kebangkitan Imam Mahdi as seorang sayyid dari keuarga Nabi Muhammad saw akan bangkit dan kebangkitannya sebagai pembuka jalan bagi kebangkitan Imam Mahdi as.[12]
Orang-orang yang tidak setuju dengan kebangkitan bersenjata menyangka apabila sebuah kebangkitan tidak akan memperoleh keberhasilan 100 persen maka tidak boleh dilakukan dan oleh karena kebangkitan Imam Mahdi as adalah satu-satunya kebangkitan yang disertai kesuksesan sempurna maka wajib ikut serta di dalamnya, akan tetapi kebangkitan-kebangkitan yang lain oleh karena tidak memiliki keberhasilan sempurna maka mengikutinya juga tidak diperbolehkan. Mereka melupakan bahwa Islam adalah agama yang memerangi kezaliman dan kerusakan dan wajib atas setiap muslim untuk memerangi orang-orang zalim dan penindas, walaupun kezaliman dan penindasan tidak akan berkurang karena seorang muslim mengamalkan tugas dan kewajibannya, apalagi kebangkitan-kebangkitan dan perlawanan-perlawanan menentang para penindas pada umumnya memperoleh keberhasilan dan hegemoni para tirani akan hancur karena pengaruh kebangkitan-kebangkitan tersebut, oleh karena itu kebangkitan melawan para penguasa zalim di bawah persyaratan-persyaratan khusus dan dalam pengawasan wali amr Muslimin adalah wajib dan tidak diperbolehkan menarik tangan untuk melakukan perlawanan dan hanya berpangku tangan di rumah serta menunggu kemunculan Imam Mahdi as yang akan membebaskan orang-orang mazlum dari bencana orang-orang zalim hanya dengan alasan bahwa kebangkitan tersebut tidak akan berhasil 100 persen, akan tetapi kaum Muslimin –sesuai riwayat-riwayat yang ada- memiliki kewajiban yang demikian dan harus melakukan amar makruf dan nahi munkar walaupun tugas tersebutsampai pada tahap puncaknya yaitu kebangkitan bersenjata.
5- Poin penting lain yang tidak boleh dilupakan adalah sebagian riwayat yang dijadikan landasan oleh mereka yang tidak menyetujui kebangkitan bersenjata adalah termasuk dalam berita-berita ghaib; artinya para imam maksum as menurut ilmu dan pengetahuan ghaib yang dimiliki mengetahui sampai kapan pemerintahan Bani Umayyah akan bertahan dan setelah mereka, giliran pemerintahan Bani Abbas. Dan di antara para imam maksum as hanya Imam Mahdi as yang berhasil membentuk pemerintahan. Dan dialah yang menang atas semua tarani zalim dan memberantas dasar kezaliman dan penindasan. Hal ini telah jelas bahkan bagi sebagian sahabat imam-imam, maksimal mereka tidak mengenal perwujudan dan bentuk nyata Mahdi mau’ud dan meyakini setiap imam sebagai Mahdi mau’ud oleh karena itu terkadang mereka menyodorkan usulan kepada Imam Baqir dan Imam Sadiq as supaya bangkit dengan nama Mahdi mau’ud dari keluarga Nabi Muhammad saw dan menggulung hamparan kezaliman, akan tetapi para imam as mengatakan bahwa kami bukanlah Mahdi mau’ud tersebut, dan siapa saja dari keluarga kami yang juga bangkit pada masa ini dengan nama Mahdi mau’ud akan mengalami kekalahan dan kalian jangan berkumpul di sekitar mereka dan jangan ikut dalam kebangkitan-kebangkitan tersebut, karena kebangkitan Mahdi as tersebut memiliki tanda-tanda yang hingga saat ini belum terjadi. Oleh karena itu para imam suci as dengan melihat pada ilmu dan pengetahuan semacam ini tidak melakukan kebangkitan dan juga tidak mengijinkan kepada para sahabat untuk ikut andil di dalamnya; karena mereka as telah mengetahui bahwa kebangkitan-kebangkitan semacam ini bukan hanya tidak memajukan usaha bahkan akan menghalangi kemajuan agama budaya mereka.
Note:
[1] Diterjemahkan oleh Imam Ghozali.
[2] Wasail Al-Syi’ah, jilid 11, bab 13 dari bab-bab “Jihad Al-‘Aduw, hal 35.
[3] Seperti riwayat-riwayat 14 bab 12 dari bab-bab “Jihad Al-‘Aduw” dalam MustadrakAl-Wasail.
[4] Lihat Wasail Al-Syi’ah, jilid 11 dari bab-bab “Jihad Al-‘Aduw, bab 13, hal 36.
[5] Wasail, jilid 11, bab 9 dari bab-bab “Jihad Al-‘Aduw”, hal 28, hadis 2.
[6] Sebuah mazhab dari Ahlus Sunnah
[7] Wasail, jilid 11, bab 9, dari bab-bab “Jihad Al-‘Aduw Wa Ma Yunasibuhu”, hal 28, hadis 2.
[8] Lihat: Irsyad Mufid, hal 277.
[9] Kafi, jilid 1, hadis 17, hal 259.
[10] Wasail, jilid 1, bab 13, hadis 1.
[11] Wasail, jilid 11, hal 37, hadis 8.
[12] Iqbalul A’mal, amalan-amalan ketiga belas Rabiul Awwal.
1- Wilayah dan pemerintahan seorang faqih adalah termasuk konsekwensi yang tidak dapat terpisahkan dari Islam, bahkan menurut Imam Khomeini dengan melihat kepada sisi-sisinya dan seluruh bab-bab fikih adalah termasuk hal-hal apriori yang tidak butuh argumentasi apalagi terdapat juga argumen-argumen rasional dan tekstual (naqli) dalam hal itu.
2- Menjadi sebuah keharusan bagi umat Islam dalam rangka merealisasikan dan menjalankan hukum Islam, dalam kondisi-kondisi yang tepat di bawah kepemimpinan ahli-ahli fikih (fuqaha’), untuk memproklamasikan perlawanan dan memberantas sistem pemerintahan tidak adil serta menggantikannya dengan pemerintahan Ilahi di bawah pengawasan wali faqih, walaupun hal ini menuntut pengorbanan jiwa dan harta, dan ringkasnya kaum Muslimin tidak boleh sekalipun menyerah di bawah naungan pemerintahan zalim, akan tetapi harus bangkit dan tidak perlu menyesal dalam mengorbankan jiwa dan harta, sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Muslimin pada permulaan Islam berlomba-lomba membela Islam dan agama Allah swt dan apabila mereka terbunuh di jalan ini maka mereka akan memperoleh derajat tinggi sebagai syuhada’.
Sekarang kita akan membahas keraguan dan pandangan orang-orang yang mengingkari wilayatul faqih dan berkeyakinan bahwa di masa ghaibah (Imam Mahdi), seorang fakih tidak memiliki sedikit pun wilayah dan juga tidak ada hak untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah zalim, kita akan lihat apakah argumen mereka? Dan dengan neraca apa mereka melontarkan hal tersebut?
Dengan merujuk kepada kitab-kitab dan ucapan-ucapan mereka ketika mengkaji jelas bahwa dalam rangka menafikan wilayatul fakih dan mengingkarinya mereka mengatakan: Kita tidak memiliki satu pun argumen yang membuktikan adanya sebuah wilayah yang dimiliki fuqaha’ pada masa ghaibah, adapun riwayat-riwayat yang digunakan untuk membuktikan hal tersebut sebagian dari sisi dilalah (indikasi) dan yang lain dari sisi sanad memiliki problem, oleh karena itu tidak dapat diterima, maka terpaksa prinsip pertama “tidak adanya wilayah seseorang terhadap orang lain” harus diterima dan seorang fakih juga tidak memiliki sedikit pun wilayah terhadap rakyat.
Dan dalam rangka menjawab kebangkitan melawan pemerintahan tidak adil bersandar kepada serangkaian riwayat yang menyatakan: “Setiap kebangkitan sebelum kemunculan Imam Mahdi as dapat dipastikan akan mengalami kekalahan, dan setiap bendera yang berkibar sebelum bendera beliau as, maka pemiliknya adalah thaghut dan tidak dibenarkan untuk berkumpul disekitar mereka”. Oleh karena itu kaum Muslimin pada masa ghaibah tidak memiliki tugas dan kewajiban untuk bangkit melawan para penguasa zalim dan thaghut, akan tetapi hanya wajib beramar makruf dan nahi munkar secara lisan, itu pun dengan persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan dalam kitab amar makruf seperti adanya persangkaan akan berdampak, aman dari marabahaya dan lain-lain, dan hanya cukup berdoa secara umum untuk keselamatan orang-orang yang ditindas oleh pemerintahan tidak adil dan untuk kehancuran mereka, sehingga Allah swt mengirim Imam Mahdi as yang akan menyelamatkan mereka dari cengkeraman para penguasa zalim dan keji, dan mereka diperkenankan berada dalam jamaah Imam Mahdi pada masa itu dan bangkit mengadakan perlawanan dan bila gugur maka akan memperoleh kesyahidan, karena wilayah Imam Mahdi telah terbukti dan gerakan beliau as pasti akan memperoleh hasil dan tidak akan terkalahkan. Namun pada masa ghaibah, wilayah fuqaha’ belum terbukti bagi kita dan juga kebangkitan mereka tidak akan meraih kemenangan, dan tentunya perlawanan orang-orang dalam jamaah mereka dan pengorbanan jiwa dan harta tidak hanya tidak terhitung dalam kesyahidan, bahkan termasuk dalam kategori “menjerumuskan diri kepada kehancuran”, oleh karena itu pada masa ini jalan terbaik adalah berpangku tangan dan menunggu kemunculan sang Imam as.
Hal ini akan kita bahas dalam tiga aspek:
1- Kita akan lihat apakah problema riwayat-riwayat yang digunakan sebagai argumen dari sisi dilalah atau sanad akan menafikan wilayatul fakih atau tidak?
2- Kita juga akan menyaksikan riwayat-riwayat yang digunakan mereka sebagai bahan argumentasi yang menyatakan: Setiap kebangkitan sebelum kebangkitan Imam Mahdi as akan mengalami kekalahan, termasuk jenis riwayat apa dan pada kondisi mana serta dilontarkan kepada siapa-siapa saja?
3- Apakah kita memiliki argumen-argumen yang mewajibkan kebangkitan melawan penguasa zalim, bahkan kebangkitan bersenjata atau tidak?
Pertama
Kita akan kaji hal pertama ini dari dua sudut:
1- Metode kajian kita untuk menetapkan wilayatul fakih memiliki perbedaan fundamental dengan metode orang-orang sebelumnya, karena orang-orang sebelumnya melihat wilayatul fakih sebagai sebuah hal yang telah disepakati dan diterima, setelah itu mereka mencari argumen untuk itu dan berusaha menemukan riwayat-riwayat untuk membuktikan klaim mereka kemudian memaparkannya sebagai argumentasi. Di pihak lain terdapat orang-orang yang mengingkari wilayatul fakih dan mereka berusaha mencari kelemahan riwayat-riwayat tersebut dari sisi sanad atau dilalah, dengan demikian otomatis orang-orang yang mendukung wilayatul fakih akan kehilangan argumen. Akan tetapi kita menempuh sebuah metode yang apabila kita tidak memiliki riwayat-riwayat tersebut, wilayatul fakih akan tetap dapat kita buktikan, apalagi kita juga memiliki riwayat-riwayat tersebut, oleh karena itu kita akan menjelaskan riwayat-riwayat tersebut sebagai pendukung argumentasi rasional disamping argumentasi-argumentasi lain untuk wilayatul fakih, sedangkan argumentasi dasar kita adalah dengan merujuk kepada seluruh hukum fikih dan hukum akal, karena setiap bab dari bab-bab fikih akan dikembalikan hukum-hukumnya kepada seorang hakim. Dari sisi lain kitab-kitab fikih ini tidak ditulis untuk masa Imam Mahdi as, namun merupakan undang-undang bagi kaum Muslimin pada masa ghaibah dan dengan melihat bahwa hukum-hukum tersebut tetap berlaku pada masa ghaibah dan dilarang merujuk kepada para hakim atau penguasa zalim serta dengan melihat kepada kondisi-kondisi yang telah ditentukan untuk seorang pemimpin atau imam dalam kepemimpinannya, maka otomatis akan dapat dipastikan penetapan sebuah pemerintahan hak itu pun di bawah kepemimpinan wakil-wakil umum Imam Zaman as –yakni fuqaha’ yang memenuhi persyaratan sebagai seorang pemimpin-, baik itu kita memiliki hadis maqbulah dari Umar bin Handholah ataukah tidak, apakah sanadnya lemah atau dapat dipercaya.
2- Tidak semua riwayat yang digunakan sebagai argumen memiliki problem dari sisi sanad atau dilalah dan orang-orang yang mengakui wilayatul fakih tidak memegang argumen riwayat sama sekali, akan tetapi sebagian riwayat dari sisi sanad adalah shahih dan muwatstsaq dan sebagian yang lemah atau kedha’ifan sanad telah diterima dan diamalkan oleh ulama, sementara kedha’ifan sanad riwayat-riwayat tersebut telah ditutupi dengan amal ulama, dari sisi dilalah juga tidak seperti yang diperkirakan oleh orang-orang yang mengingkari wilayatul fakih, bahkan secara keseluruhan dari riwayat-riwayat tersebut permasalahan wilayatul fakih pada masa ghaibah kubra dapat disimpulkan dengan baik.
Ringkasnya, pada masa ghaibah bukan berarti kita tidak memiliki sebuah argumen pun untuk membuktikan wilayatul fakih, sehingga kita harus kembali kepada prinsip pertama “tidak adanya wilayah seseorang terhadap orang lain” dan fuqaha’ sabagaimana orang-orang biasa tidak memiliki wilayah sama sekali, bahkan wilayah fuqaha’ sebagaimana wilayah Nabi Muhammad saw dan para Imam maksum as keluar dari prinsip pertama.
Kedua
Orang-orang yang berkeyakinan bahwa sebelum kemunculan Imam Mahdi as setiap gerakan atau kebangkitan akan mengalami kekalahan dan setiap bendera yang berkibar pengibarnya adalah penguasa zalim, dan tidak diperkenankan untuk berkumpul dalam jamaah tersebut, dan mereka mempercayai bahwa pada masa ghaibah kaum Muslimin tidak memiliki tugas dan kewajiban yang disebut dengan kebangkitan melawan para penguasa zalim dan atau membentuk sebuah pemerintahan bernama pemerintahan hak, akan tetapi tugas dan kewajiban mereka hanya sebatas beramar makruf dengan tingkatan bawahnya yakni secara lisan, itu pun ketika merasa aman dari bahaya. Mereka bersandarkan kepada serangkaian riwayat yang mayoritanya dikoleksi oleh almarhum Syeikh Hurr ‘Amuli dalam kitab “Wasail Al-Syi’ah”[2], yang apabila kita mengkaji dan memahami maksudnya, maka makna-makna riwayat-riwayat lain yang terdapat dalam kitab-kitab lain juga akan jelas –semisal sebuah riwayat yang terdapat dalam mukaddimah Shahifah Sajjadiyah dan yang lainnya,[3] karena seluruh riwayat ini memiliki keserupaan dan dari satu jenis. Namun sebelum masuk dalam kajian riwayat-riwayat itu ada baiknya kita menyinggung beberapa poin yang sangat bermanfaat dan berpengaruh dalam memahami makna-makna riwayat-riwayat tersebut.
Hal pertama yang harus diperhatikan, setiap kebangkitan dari siapa pun walaupun melawan penguasa zalim tidak dapat dibenarkan, akan tetapi seseorang yang telah mengumpulkan sekelompok orang di sekitarnya dan bangkit melawan kezaliman dan kerusakan, harus memenuhi persyaratan seorang pemimpin dan atau melakukan kebangkitan dengan perwakilan dan izin seorang yang seperti itu, maka apabila seseorang yang tidak memiliki ilmu, keadilan dan kejujuran dan menyeru orang-orang ke arahnya, dan tujuannya adalah menggulingkan penguasa zalim dan menggantikannya dengan dirinya sendiri sementara ia sendiri tidak memiliki hak memimpin dalam syareat suci, kebangkitan yang demikian ini tentunya tidak dapat dibenarkan. Oleh karena itu pada masa Imam Sadiq as terjadi berbagai kebangkitan melawan Bani Umayyah atau Bani Abbas dan terdapat orang-orang yang menyeru untuk bangkit, para sahabat Imam Sadiq as meminta kejelasan taklif kepada beliau as mengenai partisipasi dalam kebangkitan-kebangkitan semacam itu, Imam Sadiq as dalam jawabannya bersabda: Apabila seseorang dari keluarga Nabi Muhammad saw bangkit dan meminta kalian untuk membantunya maka lihatlah apakah tujuan orang tersebut dari kebangkitannya? Untuk apa dan dengan kepemimpinan siapa hal itu dilakukan? Dan janganlah kalian bandingkan setiap kebangkitan dengan kebangkitan Zaid bin Ali bin Husain as dan janganlah kalian katakan bahwa kebangkitan Zaid dibenarkan maka setiap kebangkitan dapat dibenarkan karena Zaid adalah seorang alim dan jujur (benar) dan ia tidak menyeru orang-orang kepada dirinya sendiri akan tetapi menyeru dengan keredhoan dari keluarga Muhammad saw dan apabila ia mencapai kemenangan dalam jalan ini maka ia akan memenuhi janjinya, yakni menyerahkan kebenaran kepada imam maksum dan ia sendiri tidak memiliki motifasi apa-apa.
Sebagaimana yang anda saksikan, Imam Sadiq as bersandarkan kepada ilmu dan kejujuran serta cara seruan Zaid. Kemudian Imam as bersabda: “Apabila terdapat orang-orang seperti Zaid adalah baik, adapun mereka yang bangkit pada hari-hari ini, hingga saat itu mereka tidak memiliki kekuatan dan belum ada bendera yang dikibarkan dengan nama mereka, mereka tidak ingin mendengarkan ucapan kami dan tidak mematuhi kami, apa yang terjadi ketika suatu hari kelak mereka memegang bendera. Artinya mereka tidak memenuhi persyaratan dalam kepemimpinan dan kebangkitan dan juga tidak siap mendengarkan ucapan imam maksum, walaupun slogan mereka seperti slogan Zaid akan tetapi dalam praktek mereka mengerjakan yang sebaliknya”.[4]
Dalam hal ini juga terdapat sebuah riwayat yang dinukil dalam kitab Wasail Al-Syi’ah[5] yang darinya dapat disimpulkan dengan baik bahwa orang-orang yang bangkit harus memenuhi syarat-syarat dalam kepemimpinan, diantaranya harus sebagai orang yang paling alim dari semuanya, paling pandai dalam menentukan hukum-hukum Allah dari Al-Qur’an dan sunnah, oleh karena itu seseorang bernama Abdul Karim bin ‘Utbah berkata: Di Makkah kita sedang duduk di hadapan Imam Sadiq as, tiba-tiba sekelompok orang dari Mu’tazilah[6] masuk dan berkata: Oleh karena Bani Umayyah sedang ribut dan saling membunuh, dan mereka membunuh Walid sang penguasa dan khalifah, maka kita mengambil keputusan untuk membaiat seseorang yang memiliki akal dan agama serta memiliki hubungan dengan Rasulullah saw, yakni Muhammad bin Abdullah bin Al-Hasan dan kita telah berbaiat. Oleh karena itu kami juga memohon kepada anda yang memiliki banyak pengikut untuk berbaiat kepadanya.
Setelah mengucapkan puji syukur kepada Allah dan ucapan-ucapan lain, Imam Sadiq as bertanya kepada mereka apabila kalian bangkit dan memperoleh kemenangan dari ahli kitab atau Majusi atau orang-orang musyrik atau orang-orang yang menyembah berhala bagaimanakah perlakuan kalian terhadap mereka?
Mereka menjawab bahwa kita akan melakukan hal ini dan itu, dan dalam jawaban mereka semua orang-orang kafir dianggap satu dan mengatakan kita akan memperlakukan mereka dengan sama.
Imam as menjawab: Dari siapakah kalian mempelajari hukum-hukum tersebut? Mereka menjawab bahwa orang-orang mengatakan demikian. Imam as menjawab: Bertaqwalah kalian kepada Allah! Orang yang ingin bangkit dan mengendalikan urusan kaum Muslimin serta menyeru orang lain kepadanya, harusla orang yang paling berpengetahuan, dan tidak ada yang lebih alim darinya di tengah-tengah khalayak, bila tidak demikian maka orang tersebut akan tersesat dan juga menjadi sesab kesesatan orang lain. Oleh karena itu Imam Sadiq as menukil dari ayah beliau as Imam Baqir as dari Rasulullah saw yang bersabda: “Barangsiapa yang menyabet orang lain dengan pedangnya dan menyeru orang-orang kepadanya dan di tengah-tengah kaum Muslimin terdapat orang yang lebih alim darinya maka ia adalah sesat yang memaksakan”.[7]
Oleh karena itu kebangkitan-kebangkitan yang dilakukan pada masa para imam as terdapat dua macam, salah satunya disetujui dan yang lain yang tidak memiliki persyaratan layak tidak disetujui mereka. Perlawanan-perlawanan seperti yang dilakukan oleh Zaid bin Ali bin Al-Husain as dan Yahya bin Zaid serta Husain Syahid Fakh termasuk yang disetujui oleh para imam suci as, karena mereka (para syahid tersebut) marah atau tidak setuju dengan kondisi yang disetir oleh penguasa zalim karena Allah dan melakukan perlawanan karena beramar makruf dan nahi munkar, dan apabila menang, mereka akan mengembalikan hak kepada pemiliknya.
Akan tetapi kebangkitan-kebangkitan seperti kebangkitan Bani Abbas dan Abu Muslim Khurasani melawan Bani Umayyah, dan kebangkitan Muhammad bin Abdullah bin Al-Hasan yang dikenal dengan Nafs Zakiyyah dan saudaranya Ibrahim bin Abdullah melawan Mansur Dawaniqi, serta kebangkitan Zaid An-Nar saudara Imam Ridho as melawan Bani Abbas tidak didukung dan disetujui oleh para imam suci as, walaupun tampaknya sebagian mereka melontarkan seperti slogan Zaid bin Ali bin Al-Husain as (yakni menyeru khalayak pada keridhoan keluarga Muhammad saw) akan tetapi dalam prakteknya tidak demikian, bahkan tujuan utama dari keridhoan keluarga Muhammad saw adalah mereka sendiri yang bermotifasi memimpin umat Islam yang menurut pandangan Syi’ah tidak ada perbedaan antara kekuasaan Bani Umayyah dan Bani Abbas atau Zaid An-Nar dan Makmun Abbasi sebagai bentuk nyata kekuasaan zalim dan keji, karena neraca dalam menentukan sebuah kekuasaan zalim adalah tidak adanya pengesahan dan tanda tangan dari Allah dan pihak Rasulullah saw dalam kepemimpinan pemerintahan tersebut, dan dalam prakteknya juga kedua kelompok (Bani Umayyah dan Bani Abbas) bersikap sama terhadap para imam as dan bahkan kelompok kedua lebih buruk dari pertama.
Apabila terdapat sebuah riwayat dari para imam maksum as –dengan melihat pada kondisi masa itu- yang menginsrtuksikan kepada para sahabat untuk berpangku tangan dan tinggal diam di rumah serta menghindari partisipasi dalam kebangkitan ini, maka kita tidak boleh langsung mengambil riwayat tersebut sebagai argumen atas kecaman setiap kebangkitan dan kita redam setiap suara mazlum yang melawan penguasa zalim oleh karena Imam Sadiq as pernah bersabda kepada Sadir Shairufi untuk “berpangku tangan dan berdiam diri di rumah” dan “jangan ikut serta dalam setiap kebangkitan manapun karana akan mengalami kekalahan dan pemimpinnya adalah zalim”. Akan tetapi harus dilihat macam apakah kebangkitan yang dilakukan, dan dipimpin oleh siapa-siapa saja? Apabila kebangkitan seperti Zaid dan Yahya serta Husain Syahid Fakh bukan saja tidak boleh dikecam akan tetapi harus diikuti dan didukung, meskipun tidak sampai pada kemenangan puncak karena dengan kebangkitan semacam ini hujjah telah sempurna dan tampak jelaslah rupa kekuasaan penguasa zalim, bila semua memilih berdiam diri maka hal itu menjadi kesamaran bagi umat yang akan menganggap kebatilan sebagai kebenaran dan hukum-hukum yang tidak sesuai dengan Islam sebagai hukum-hukum Islam.
Apabila kebangkitan seperti yang dilakukan oleh Bani Abbas dan Sadat Hasani maka harus ditolak dan tidak boleh diikuti karena tujuannya menggulingkan penguasa dan menggantikannya dengan penguasa lain yang sama sepertinya, semisal gerakan-gerakan yang dilakukan oleh sebagian pihak dan kelompok menentang penguasa zalim Syah yang sejak pertama kebangkitan mereka, Imam Khomeini ra dan pengikut setia beliau telah melarang rakyat untuk mengikutinya, karena apabila mereka berhasil dan mengambil alih kendali urusan maka mereka akan bertindak lebih buruk dari Syah dan antek-anteknya sebab mereka tidak lebih baik dari rezim keji Syah dari sisi religius dan juga dari sisi metode politik.
2- Poin lain yang harus diperhatikan dalam rangka memahami riwayat-riwayat tersebut adalah permasalahan seputar Imam Mahdi (kemahdawian atau Mahdiisme) yang dinukil dari Nabi Muhammad saw dari berbagai jalur: “Dari keluargaku (ahlul bait) akan bangkit seorang yang akan menggulung para penguasa zalim, merusak istana-istana kezaliman di atas kepala mereka dan akan menghamparkan keadilan, tiada pemerintahanpun di dunia yang tidak tunduk kepadanya”. Dan masih banyak lagi riwayat-riwayat seperti ini yang juga diucapkan dari lisan suci Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as, Imam Hasan as dan Imam Husain as. Oleh karena itu beberapa orang telah mengaku diri sebagai Mahdi mau’ud (yang dijanjikan), dan mengambil baiat dari orang lain untuk dirinya sendiri dengan mengatas namakan sebagai Mahdi dan melakukan kebangkitan melawan penguasa zalim, sebagai contoh Mahdi Abbasi yang adalah salah satu dari khalifah Bani Abbas mendapatkan julukan seperti itu. Atau Muhammad bin Abdullah bin Al-Hasan yang terkenal dengan Nafs Zakiyyah mengambil baiat dari orang-orang atas nama Mahdi mau’ud, dan bahkan meminta kepada Imam Sadiq as supaya membaiatnya sebagai Mahdi keluarga Muhammad dan bangkit melawan Bani Umayyah dalam jamaahnya, akan tetapi Imam Sadiq as tidak bersedia membaiatnya, dan oleh karena itulah Abdullah bin Hasan (ayah Muhammad bin Abdullah) membenci Imam Sadiq as dan melontarkan kata-kata yang tidak pantas kepada beliau as sebagaimana yang dinukil dalam Irsyad Mufid dari “Maqatiluth Thalibin” Abul Faraj: Abdullah bin Hasan mengadakan sebuah jamuan dan mengundang Bani Hasyim untuk membaiat puteranya Muhammad. Jamuan tersebut juga dihadiri oleh Saffah dan Mansur Dawaniqi. Ketika itu Abdullah berkhutbah, setelah menyebut hamdalah ia mengatakan: Kalian semua mengetahui bahwa puteraku Muhammad adalah Mahdi yang telah dijanjikan, maka marilah kita membaiatnya”. Kemudian ia pergi kepada Imam Sadiq as yang hadirjuga ketika itu. Abdullah pada mulanya sangat menghormati Imam Sadiq as dan mendudukkan beliau as disampingnya dan mulai berkata: Semua orang telah membaiat puteraku, maka silahkan anda juga berbaiat. Imam Sadiq as menjawab: Jika maksudmu adalah bahwa puteramu Muhammad adalah Mahdi dari keluarga Muhammad saw yang dijanjikan dan sekarang ini harus memulai kebangkitan umumnya, maka tidaklah benar, karena puteramu bukanlah Mahdi yang dijanjikan dan juga masa Imam Mahdi as belum sampai. Akan tetapi jika makdus kalian ingin menyatakan kemarahan kalian demi Allah dan bangkit untuk beramar makruf nahi munkar, maka tidak ada halangan, akupun akan bersama kalian namun aku tidak akan membaiat puteramu Muhammad, dan engkau yang adalah ayahnya dan syeikh dari kabilah kami ambillah tampuk kepemimpinan untuk bangkit dan aku akan bekerja sama dengan kalian”.
Ketika Abdullah bin Hasan melihat Imam Sadiq as tidak bersedia membaiat puteranya yang bernama Mahdi mau’ud dan menolak kemahdawiannya, ia sangat marah dan berkata: Engkau sendiri sangat tahu bahwa hal itu bukanlah demikian dan aku bersumpah demi Allah, engkau tidak diberitahu oleh Allah dari ilmu ghaibNya akan tetapi kehasudan terhadap puterakulah yang membawamu kepada sikap demikian”.[8]
Sebagaimana yang dapat disaksikan dalam hadis ini, Muhammad bin Abdullah bin Hasan melakukan kebangkitannya dengan nama Mahdi mau’ud dan mengambil baiat dari orang-orang untuk dirinya sendiri.
Sangat tepat sekali di sini kita menukilkan hadis dari kitab Kafi yang disebutkan dengan detail oleh almarhum Kulaini bahwa Muhammad bin Abdullah bin Hasan pada permulaan kebangkitannya di Madinah melawan Mansur Dawaniqi bermusyawarah dengan Isa bin Zaid yang adalah salah seorang kepercayaannya mengenai pengambilan baiat dari seluruh Bani Hasyim, Isa bin Zaid mengatakan: Datangkanlah Jakfar bin Muhammad as sebelum semua orang dan ambillah baiat darinya sehingga yang lain akan terpaksa berbaiat, ketika Imam as datang Isa bin Zaid berkata: Aslim taslim (Menyerahlah maka anda akan selamat). Imam Sadiq as bertanya: Ada apa ini? Apakah seorang nabi setelah Muhammad saw telah diutus? Muhammad berkata: Tidak, akan tetapi berbaiatlah sehingga jiwa, harta dan anak-anak anda akan aman. Setelah terjadi perdebatan yang sangat lama dan panjang, Isa bin Zaid menatap Imam Sadiq as dan berkata: Jika engkau masih berkata lagi maka akan aku retakkan mulutmu. Dan pada akhirnya wakil Muhammad berdiri dan menghantam bagian belakang kaki Imam Sadiq as serta membawa beliau as keluar dari acara pertemuan tersebut dan menjebloskan ke dalam tahanan kemudian mengambil akih seluruh harta benda beliau as dan keluarga beliau yang tidak berbaiat kepada Muhammad.[9]
Dengan melihat riwayat-riwayat ini, menjadi jelas problem nyata kebangkitan orang-orang seperti Muhammad bin Abdullah yang tergolong orang-orang baik dan dikenal dengan Nafs Zakiyyah, apalagi kebangkitan orang-orang seperti Abu Muslim, Bani Abbas dan Zaid An-Nar. Dan dengan mengamati hal-hal ini apabila terdapat sebuah hadis yang dilontarkan dari Imam Sadiq as misalnya yang menginstruksikan kepada para sahabat untuk berdiam diri dan tidak ikut serta dalam kebangkitan, apakah dari hadis tersebut dapat disimpulkan bahwa setiap kebangkitan sebelum kebangkitan Imam Mahdi as dikecam dan akan mengalami kekalahan dan pemimpinnya adalah pemimpin zalim? Ataukah tidak demikian, kita harus mengenal kebangkitan-kebangkitan tersebut dari yang lainnya, tidak boleh membandingkan sebuah kebangkitan seperti yang dilakukan oleh Zaid bin Ali bin Husain as dengan yang dipimpin oleh Zaid An-Nar, harus melihat pimpinan-pimpinan dan tujuan kebangkitan tersebut dan setelah itu kita duduk untuk menghukuminya. Untungnya mayoritas riwayat yang ada dalam kitab-kitab hadis dan yang dipergunakan oleh orang-orang yang menentang kebangkitan seperti riwayat-riwayat berikut yang menyatakan “Barangsiapa bangkit sebelum kebangkitan Imam Mahdi as, maka tidak atas dasar kebenaran dan kami tidak ridho dengannya serta tidak akan berakhir dengan kemenangan” hal melihat pada kebangkitan-kebangkitan yang biasanya dilakukan oleh sadat atau sayid-sayid (keturunan Nabi saw) dengan mengatas namakan sebagai Mahdi mau’ud dan para Imam maksum as mengecam jenis kebangkitan-kebangkitan ini dan sama sekali tidak mendukungnya, bukannya mengecam setiap kebangkitan dengan niatan apapun walaupun dengan niatan beramar makruf dan nahi munkar dan ketika berakhir dengan kemenangan akan mengembalikan hak kepada yang berhak. Buktinya adalah riwayat Maqatiluth Thalibin yang dinukil dari Irsyad tersebut di atas yang mana Imam Sadiq as membagi kebangkitan menjadi dua bagian. Dengan demikian jika hal itu untuk kerelaan Allah dan bermaksud beramar makruf dan nahi munkar maka tidak ada kecaman dari para Imam maksum aswalaupun pada akhirnya tidak mencapai kemenangan, akan tetapi minimal manfaatnya adalah merusak hegemoni kekuasaan penguasa zalim dan menyempurnakan hujjah (itmamul hujjah) kepada makhluk Allah serta memberikan tanda bahaya kepada kaum mukminin bahwa kekuasaan ini bukanlah kekuasaan yang hak dan tidak diwajibkan untuk mengikuti undang-undang dan peraturannya.
3- Poin ketiga yang harus dicermati adalah bahwa kebangkitan melawan penuasa zalim walaupun benar dan di bawah kepemimpinan pimpinan yang adil, juga tetap memiliki persyaratan dan mukaddimah yang harus dipenuhi sebelumnya dan apabila belum terpenuhi ingin melakukan kebangkitan maka otomatis disamping akan mengalami kekalahan juga pasti tidak akan membuahkan hasil walaupun bisa jadi setelah memenuhi mukaddimah-mukaddimah juga mengalami kekalahan.
Akan tetapi jika dilaksanakan sebelum tersedianya lahan, maka bisa jadi akan dengan cepat akan mengalami kekalahan dan juga akan membentuk kesan buruk di antara khalayak. Maka dengan demikian kebangkitan atas nama kebenaranpun juga dalam sebagian kondisi tidak diperbolehkan, akan tetapi sebelumnya harus terbuka lahan bagi khalayak dan selanjutnya dilakukan kebangkitan dan kaum Muslimin tidak selayaknya untuk mengorbankan jiwanya dengan sia-sia dan menjadi korban dari emosi dan perasaan; karena –menurut ungkapan Imam Sadiq as- dalam permasalahan jiwa tidak ada artinya untuk mencoba, sebab setelah terbunuh tidak ada lagi nyawa sehingga seseorang akan lebih teruji dalam usaha-usaha berikutnya,[10] maka dari pertama harus dilakukan dengan perhitungan matang sehingga tidak ada korban jiwa demi keinginan dan emosi atau perasaan. Di sinilah akan semakin jelas arti sebagian dari riwayat-riwayat yang dijadikan argumentasi oleh mereka yang tidak setuju dengan kebangkitan karena setelah mengkaji dengan sempurna mengenai seputar riwayat-riwayat tersebut diketahui bahwa seseorang yang menjadi sasaran dari ucapan Imam sadiq as (mukhatab) dan diinstruksikan untuk berdiam diri adalah termasuk orang-orang yang berperangai bersih akan tetapi emosional yang setiap saat ingin melakukan kebangkitan, Imam Sadiq as menginstruksikan kepada orang seperti ini untuk pergi ke rumah dan berdiam diri sehingga tiba masanya, oleh karena itu Sadir Shairufi, Abdus Salam bin Na’im dan sebagian sahabat lain menjadi gembira ketika melihat pasukan Abu Muslim Khurasani terbentuk dan berharap alangkah baiknya jika pasukan tersebut menuju Imam Sadiq as dan beliau as mengambil alih tampuk kepemimpinan, oleh karena itu sebuah surat dilayangkan kepada beliau as dan menginginkan untuk melakukan kebangkitan karena pasukan telah siap. Imam Sadiq as melempar surat itu ke tanah dan bersabda: “Aku bukanlah pemimpin atau imam mereka”[11]dan kalian juga jangan tergesa-gesa karena segala sesuatu ada masanya, yakni jika maksud kalian adalah supaya aku melakukan kebangkitan dengan nama Mahdi mau’ud, maka itu ada tanda-tandanya yang diantaranya adalah Mahdi Mau’ud akan membunuh Sufyani, jika kalian lihat bahwa persyaratn-persyaratannya telah terpenuhi maka ikut sertalah kalian juga. Imam Sadiq as mengenal Abu Muslim dengan baik apa yang telah dilakukannya, sebelumnya di Khurasan dia bekerja untuk Ibrahim Abbasi dan setelah terbunuhnya Ibrahim dia mengambil baiat untuk Abul Abbas Saffah dan sekarang pasukan besar telah bersiap siaga untuk Saffah bukan untuk Imam Sadiq as akan tetapi para sahabat yang mukhlis namun tidak mengetahui situasi dan kondisi menyangka mereka adalah para pendukung ahlul bait Nabi Muhammad saw yang apabila Imam Sadiq as menginginkan, mereka akan menyerahkan diri dalam ikhtiar Imam Sadiq as, oleh karena itu para sahabat mengira bahwa Imam Sadiq as telah kehilangan sebuah kesempatan baik dan menyia-nyiakan pasukan yang berjumlah besar. Ketergesa-gesaan ini tidak hanya menghambat usaha namun bahayanya adalah 100 persen, dan hal ini muncul dari omosi atau ketidaktahuan akan situasi dan kondisi.
4- Hal lain yang harus diperhatikan dalam memahami sebagian dari riwayat-riwayat ini adalah bahwa kebangkitan yang berhasil yang dengan artian penuh mencabut kekuasaan zalim dari akarnya, menggulung dasar kezaliman serta membentangkan keadilan, adalah hanya kebangkitan Imam Mahdi as dari keluarga Nabi saw dan jika seseorang mengklaim yang demikian dan atau orang lain berharap yang demikian dari apapun kebangkitan dengan nama kebenaran, adalah salah dan tidak pada tempatnya; dan kebangkitan-kebangkitan yang dilakukan sebelum kebangkitan Imam Mahdi as adalah termasuk dalam kategori amar makruf dan nahi munkar dan menjadi mukaddimah untuk kebangkitan beliau as. Yang menarik di sini adalah almarhum Sayyid bin Thawus dalam kitab “Iqbal” menukil sebuah hadis dari Imam Sadiq as bahwa sebelum kebangkitan Imam Mahdi as seorang sayyid dari keuarga Nabi Muhammad saw akan bangkit dan kebangkitannya sebagai pembuka jalan bagi kebangkitan Imam Mahdi as.[12]
Orang-orang yang tidak setuju dengan kebangkitan bersenjata menyangka apabila sebuah kebangkitan tidak akan memperoleh keberhasilan 100 persen maka tidak boleh dilakukan dan oleh karena kebangkitan Imam Mahdi as adalah satu-satunya kebangkitan yang disertai kesuksesan sempurna maka wajib ikut serta di dalamnya, akan tetapi kebangkitan-kebangkitan yang lain oleh karena tidak memiliki keberhasilan sempurna maka mengikutinya juga tidak diperbolehkan. Mereka melupakan bahwa Islam adalah agama yang memerangi kezaliman dan kerusakan dan wajib atas setiap muslim untuk memerangi orang-orang zalim dan penindas, walaupun kezaliman dan penindasan tidak akan berkurang karena seorang muslim mengamalkan tugas dan kewajibannya, apalagi kebangkitan-kebangkitan dan perlawanan-perlawanan menentang para penindas pada umumnya memperoleh keberhasilan dan hegemoni para tirani akan hancur karena pengaruh kebangkitan-kebangkitan tersebut, oleh karena itu kebangkitan melawan para penguasa zalim di bawah persyaratan-persyaratan khusus dan dalam pengawasan wali amr Muslimin adalah wajib dan tidak diperbolehkan menarik tangan untuk melakukan perlawanan dan hanya berpangku tangan di rumah serta menunggu kemunculan Imam Mahdi as yang akan membebaskan orang-orang mazlum dari bencana orang-orang zalim hanya dengan alasan bahwa kebangkitan tersebut tidak akan berhasil 100 persen, akan tetapi kaum Muslimin –sesuai riwayat-riwayat yang ada- memiliki kewajiban yang demikian dan harus melakukan amar makruf dan nahi munkar walaupun tugas tersebutsampai pada tahap puncaknya yaitu kebangkitan bersenjata.
5- Poin penting lain yang tidak boleh dilupakan adalah sebagian riwayat yang dijadikan landasan oleh mereka yang tidak menyetujui kebangkitan bersenjata adalah termasuk dalam berita-berita ghaib; artinya para imam maksum as menurut ilmu dan pengetahuan ghaib yang dimiliki mengetahui sampai kapan pemerintahan Bani Umayyah akan bertahan dan setelah mereka, giliran pemerintahan Bani Abbas. Dan di antara para imam maksum as hanya Imam Mahdi as yang berhasil membentuk pemerintahan. Dan dialah yang menang atas semua tarani zalim dan memberantas dasar kezaliman dan penindasan. Hal ini telah jelas bahkan bagi sebagian sahabat imam-imam, maksimal mereka tidak mengenal perwujudan dan bentuk nyata Mahdi mau’ud dan meyakini setiap imam sebagai Mahdi mau’ud oleh karena itu terkadang mereka menyodorkan usulan kepada Imam Baqir dan Imam Sadiq as supaya bangkit dengan nama Mahdi mau’ud dari keluarga Nabi Muhammad saw dan menggulung hamparan kezaliman, akan tetapi para imam as mengatakan bahwa kami bukanlah Mahdi mau’ud tersebut, dan siapa saja dari keluarga kami yang juga bangkit pada masa ini dengan nama Mahdi mau’ud akan mengalami kekalahan dan kalian jangan berkumpul di sekitar mereka dan jangan ikut dalam kebangkitan-kebangkitan tersebut, karena kebangkitan Mahdi as tersebut memiliki tanda-tanda yang hingga saat ini belum terjadi. Oleh karena itu para imam suci as dengan melihat pada ilmu dan pengetahuan semacam ini tidak melakukan kebangkitan dan juga tidak mengijinkan kepada para sahabat untuk ikut andil di dalamnya; karena mereka as telah mengetahui bahwa kebangkitan-kebangkitan semacam ini bukan hanya tidak memajukan usaha bahkan akan menghalangi kemajuan agama budaya mereka.
Note:
[1] Diterjemahkan oleh Imam Ghozali.
[2] Wasail Al-Syi’ah, jilid 11, bab 13 dari bab-bab “Jihad Al-‘Aduw, hal 35.
[3] Seperti riwayat-riwayat 14 bab 12 dari bab-bab “Jihad Al-‘Aduw” dalam MustadrakAl-Wasail.
[4] Lihat Wasail Al-Syi’ah, jilid 11 dari bab-bab “Jihad Al-‘Aduw, bab 13, hal 36.
[5] Wasail, jilid 11, bab 9 dari bab-bab “Jihad Al-‘Aduw”, hal 28, hadis 2.
[6] Sebuah mazhab dari Ahlus Sunnah
[7] Wasail, jilid 11, bab 9, dari bab-bab “Jihad Al-‘Aduw Wa Ma Yunasibuhu”, hal 28, hadis 2.
[8] Lihat: Irsyad Mufid, hal 277.
[9] Kafi, jilid 1, hadis 17, hal 259.
[10] Wasail, jilid 1, bab 13, hadis 1.
[11] Wasail, jilid 11, hal 37, hadis 8.
[12] Iqbalul A’mal, amalan-amalan ketiga belas Rabiul Awwal.