Perempuan dan Warisan dalam Islam
Al-Qur’an mengatakan, “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi orang perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.”
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa para perempuan juga seperti para laki-laki mewarisi dan mempunyai bagian tertentu. Ayat-ayat warisan turun di saat perempuan di dunia khususnya di kalangan arab jahiliyah tidak mempunyai nilai dan kedudukan. Di zaman jahiliyah para lelaki malu atas berita memiliki anak perempuan. Dan betapa banyak mereka menguburkan hidup-hidup anak-anak perempuan tak berdosa. Harta orang yang meninggal hanya sampai kepada anak-anak laki-laki atau anak laki-laki yang lebih tua. Dan anak-anak perempuan dilarang dari warisan. Kecuali sang ayah dalam wasiatnya menentukan suatu untuk anak-anak perempuannya atau saudara laki-lakinya memberikan sesuatu kepada saudari-saudarainya karena kasihan. Disinilah ketika ayat tentang warisan turun dan menentukan juga bagian warisan kepada anak-anak perempuan, sebagian orang-orang merasa heran atas adanya syariat hukum seperti ini.
Imam Fakhrurrozi berkenan dengan turunnya ayat menulis: Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Aus bin Tsâbit Al-Anshâri meninggal dunia. Dia meninggalkan tiga anak perempuan dan seorang istri. Lalu dua orang dari putra paman mereka dengan nama Suwaid dan ‘Arfajah yang merupakan washinya datang membawa pergi semua harta ayah mereka. Istri Aus datang menemui Rasulullah Saw. dan menceritakan kejadiannya seraya berkata, “Dua orang washi Aus sama sekali tidak memberikan sesuatu kepada tiga orang putriku.” Rasulullah Saw. Bersabda, “Kembalilah engkau ke rumahmu sampai kita tunggu apa yang akan diperintahkan oleh Allah. Setelah itu ayat di atas turun dan menunjukkan bahwa para lelaki dan para perempuan keduanya mewarisi.”
Iya, Islam dalam zaman seperti ini dengan adanya syariat warisan kepada perempuan memberikan kepribadian kepadanya dan menganggapnya dalam urutan laki-laki. Tetapi dalam syariat Islam ditentukan bahwa Allah Swt. di dalam Al-Qur’an berfirman, “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. Dan untuk dua ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkannya, jika yang meninggal itu mempunyai anak. Jika orang yang meniggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga, jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidan mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Pertanyaan:
Dalam hukum warisan dikritik dan mereka mengatakan:
Kenapa berkenaan dengan perempuan dibedakan dan bagian warisannya separuh bagian laki-laki? Bukankah ini kezaliman dan pembedaan?
Jawaban:
Dalam menjawab harus dikatakan: Bagian warisan perempuan dan laki-laki dan perbedaan diantara keduanya tidak boleh dipisahkan dari seluruh hukum, dan keputusan-keputusan yang berhubungan dengan mereka.
Benar bahwa Islam dalam masalah warisan membedakan antara perempuan dan laki-laki namun perbedaan ini berdasarkan pandangan realistis dan tanggung jawab-tanggung jawab harta yang diletakkan di pundak laki-laki. Dalam hukum Islam suami harus mempersembahkan sesuatu sebagai mahar kepada istrinya. Semua pengeluaran-pengeluaran istri dan anak-anaknya juga tanggung jawabnya. Dari situ suami harus bekerja dengan giat dan menyediakan semua biaya kehidupan.
Adapun istri tidak wajib bekerja dan memberikan biaya kehidupan. Hingga apabila dia mempunyai harta, dia tidak harus mengeluarkan biaya kehidupan. Tetapi dia bisa menyimpannya untuk dirinya dan semua hartanya yang dia peroleh melalui dia bekerja atau mahar atau hibah (pemberian) atau warisan atau setiap jalan yang halal lainnya adalah berhubungan dengan dirinya dan dia bisa menyimpan semuanya. Sementara suami menurut pandangan syariat dan hukum harus memenuhi semua biaya kehidupan dirinya dan istrinya dan semua anggota keluarganya.
Oleh karena itu, istri dalam semua harta suaminya diantaranya warisan yang menjadi bagiannya adalah sama dan secara tidak langsung berada dalam otoritasnya. Sementara bagian warisan istri bisa tetap tidak tersentuh untuknya. Karena hal yang demikian Islam ingin membantu kepada lain-lain melalui hukum warisan.
Dengan memperhatikan secara seksama persolan-persoalan ini, apakah bisa dikatakan: Berkenaan dengan warisan perempuan dibeda-bedakan?
Apabila kalian melihat dengan bijaksana, kalian akan membenarkan bahwa tidak hanya dalam persoalan perempuan yang tidak dibedakan tetapi dia juga dibantu. Dalam hadis-hadis juga dijelaskan dengan alasan ini.
Imam Ridha as berkata, “Alasan bahwa warisan perempuan adalah separuh warisan laki-laki adalah di saat perempuan menikah, dia mengambil dari laki-laki. Sementara yang laki-laki harus memberi. Dengan alasan ini warisannya lebih banyak. Alasan lainnya adalah perempuan merupakan istri laki-laki dan pemakan nafkahnya. Namun tidak wajib kepada perempuan (istri) memberi pengeluaran suami dan dalam keadaan butuh, suami membantunya. Oleh karena itu bagian warisan laki-laki lebih banyak.
Allah Swt. Berkenaan dengan hal ini berfirman, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.”
Hisyam bin Salim meriwayatkan: Ibnu Abi Al-‘Auja’ berkata kepada Ahwal, “Mengapa dalam warisan perempuan yang lemah (tidak mampu) memperoleh satu bagian sementara laki-laki yang kaya mendapat dua bagian?” Hisyam menjawab, “Aku juga bertanya seperti ini kepada Imam Al-Shâdiq as” Dalam jawabannya beliau berkata, “Diyat orang dewasa, memberi nafkah, berjihad dan tanggungjawab-tanggungjawab yang lain tidak wajib bagi perempuan. Namun segala contoh biaya-biaya tersebut wajib bagi laki-laki. Oleh karena itu dalam warisan, laki-laki memperoleh dua bagian dan perempuan mendapatkan satu bagian.”