KISAH PERNIKAHAN PARA MA'SHUM

BAB I

MUKADIMAH
Bismillâhirrahmânirrahîm

Allah Yang Maha Bijaksana telah meletakkan keinginan dan naluri yang beraneka ragam dalam diri manusia, sehingga dengan perantara itu ia dapat menyempurnakan kehidupan material dan spiritualnya. Yang penting di antara naluri-naluri itu harus terdapat keseimbangan, sehingga tidak ada dominasi satu atau beberapa naluri terhadap naluri-naluri fitri yang lain. Jika tidak demikian, manusia akan mengalami stagnasi dalam rangka mewujudkan pengembangan diri yang menyeluruh dan ia tidak akan dapat menggapai kesempurnaan dan kebahagiaan.
Menurut terminologi para ulama etika, agama Islam yang suci menginginkan penyeimbangan seluruh fungsi naluri manusia, bukan menonaktifkan seluruh fungsinya. Di antara faktor utama pengontrol naluri adalah pernikahan dan pembentukan keluarga.
Pernikahan akan memberikan arti kepada kehidupan. Seorang pemuda yang datang melamar seorang gadis, ia akan ditanya, 'Apakah engkau berani menghadapi kehidupan?' Pertanyaan ini artinya, apakah ia memiliki kesiapan untuk memikul tanggungjawab?
Jadi, pernikahan bukan hanya sekadar sarana untuk membebaskan diri dari kesendirian, bahkan ia merupakan jalan untuk mencapai kesehatan, kebersamaan, dan kesatuan naluri. Dan ini adalah yang paling penting."1
Dengan menelaah cerita dan kisah pernikahan ahlul bait as, kita akan mampu menggambarkan tiga pesan penting berikut ini bagi para pembaca budiman: seni menciptakan cerita yang menarik, kesucian pernikahan, dan sunah ahlul bait yang terpuji. Karena, masyarakat secara umum akan tertarik mendengarkan kisah kehidupan orang-orang yang mulia.

Sejajar dengan Kisah-kisah Al-Quran
Kisah pernikahan ahlul bait as adalah sebuah kisah pertalian suci yang dimulai antara Nabi Muhammad saw dan Khadijah, Imam Ali as dan Sayidah Fathimah az-Zahra`, sampai antara Imam Hasan al-'Askari as dan ibunda Imam Mahdi as. Sebagian besar kisah ini serasi dengan kisah-kisah al-Qur'an dan terkait dengannya. Oleh karena itu, penulis dalam menukilnya-dengan menggunakan referensi-referensi historis dan tekstual hadis-selalu berusaha memperhatikan keistimewaan-keistimewaan kisah-kisah al-Qur'an.
Tujuan utama al-Qur'an dalam menyampaikan kisah-kisah tersebut adalah mengantarkan umat manusia dari jalan yang gelap menuju jalan petunjuk yang terang-benderang. Demi mencapai tujuan utama itu, kadang-kadang sebuah cerita dipaparkan dengan metode yang menarik dan memukau. Kisah itu tidak disampaikan berdasarkan khayalan atau dongeng fiktif, namun berlandaskan pada metode seni baru dan realita yang tidak dapat diragukan lagi. Mengenai metode al-Qur'an dalam memaparkan kisah dan cerita ini, kita harus membuat satu pembahasan tersendiri dengan tema "Metode al-Qur'an dalam memaparkan cerita."2
Berkenaan dengan tujuan utama kisah-kisah al-Qur'an, Ayatullah Ja'far Subhani menyatakan: "Al-Qur'an dalam beberapa ayatnya menjelaskan tujuan memaparkan kisah-kisahnya: Pertama, memberikan nasihat (Q.S. Yusuf: 11), kedua, kesatuan tujuan dakwah para nabi (Q.S. An-Nahl: 36), dan ketiga, memperkuat semangat Rasulullah saw (Q.S. Hud: 12)."3
Dengan mengambil bukti-bukti dari ayat al-Qur'an, beliau menyebutkan karakter-karakter kisah-kisah al-Qur'an sebagai berikut:

a. Realistis.
b. Menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang pernah terjadi.
c. Memilih kisah-kisah (bukan sembarang kisah).

Menghindari Fiksi
Kisah pernikahan ahlul bait as tidak berbau fiktif. Akan tetapi, karena tuntutan sastra dan keprigelan dalam menulis cerita, penulis memandang perlu untuk membeberkan kondisi dan karakter kedua belah pihak (pria dan wanita). Di samping itu, pihak lelaki secara keseluruhan adalah orang-orang yang terjaga dari dosa (maksum), sedangkan pihak wanita, kecuali Sayidah Fatimah tidak terjaga dari dosa dan berasal dari kalangan orang-orang biasa.
Dengan demikian, jika dalam kisah pernikahan yang terdapat dalam buku ini terlihat satu adegan khusus, seperti kisah cinta Khadijah dan Muhammad al-Amin, maka itu semua adalah penjelasan atas semua cinta-kasih suci sebagai dasar utama sebuah cerita yang menarik. Membuang sebagian alur cerita yang aneh dan tidak ada hubungannya dengan cerita-cerita historis dan hadis sengaja kami lakukan, karena hal itu tidak sesuai dengan kedudukan ahlul bait as. Pembaca yang budiman dapat menelaah hal tersebut dalam kisah pernikahan Rasulullah saw dengan Zainab binti Jahsy, mantan istri anak angkat beliau, Zaid, padahal telah turun ayat-ayat yang tegas dan hadis-hadis yang gamblang berkenaan dengan hal ini. Dan Anda akan memahami bahwa alur cerita tak sopan itu tidak sesuai dengan kedudukan Raslullah saw, meskipun orang-orang yang menukilnya adalah para ulama kenamaan.
Mengikuti metode al-Qur'an dalam memaparkan suatu cerita dan kisah adalah cara yang terbaik. Dalam al-Qur'an, Allah telah memaparkan kisah Nabi Yusuf dan Zulaikah dengan metode yang terindah. Di permulaan surah Yusuf, Ia berfirman, "Kami akan menceritakan kepadamu kisah terbaik."
"Pemaparan kisah Yusuf seperti yang dikisahkan oleh al-Qur'an adalah pemaparan yang terbaik. Sebab, meskipun cerita itu adalah cerita romantis, al-Qur'an telah menceritakannya sedemikian rupa sehingga tidak seorang pun dapat menceritakannya sesantun dan seindah itu."4
Salah satu contoh dari metode pemaparan al-Qur'an yang terindah dan terbaik itu dapat kita baca dalam ayat 23 dimana Ia berfirman,

وَ رَاوَدَتْهُ الَّتِيْ هُوَ فِيْ بَيْتِهَا عَنْ نَفْسِهِ وَ غَلَّقَتْ الْأَبْوَابَ فَقَالَتْ هَيْتَ لَكَ قَالَ مَعَاذَ اللهِ إِنَّهُ

رَبِّيْ أَحْسَنَ مَثْوَايَ إِنَّهُ لاَ يُصْلِحُ الظَّالِمُوْنَ

"Wanita yang ia (Yusuf) berada di rumahnya itu merayunya. Ia menutup pintu dan berkata, 'Kemarilah!' Ia (Yusuf) berkata, 'Aku berlindung kepada Allah. Sesungguhnya Ia adalah Tuhanku. Ia telah memperbaiki kedudukanku. Sesungguhnya orang-orang zalim tidak akan berbahagia".
Berkenaan dengan ayat tersebut, Ayatullah Subhani menulis, "Memperhatikan kandungan ayat tersebut dapat mengenalkan kita kepada ketegasan dan kesopanan penjelasan al-Qur'an. Sekarang, kami akan menyebutkan poin-poin ayat ini:

a. Dalam bahasa Arab, kosa kata 'râwada' mengandung arti meminta dengan memaksa. Kosa kata ini mengindikasikan bahwa permintaan istri pembesar Mesir itu disertai dengan paksaan. Akan tetapi, demi menjaga kesopanan cara pemaparan cerita, al-Qur'an tidak menjelaskan apa yang dikehendaki olehnya. Tentu hal itu tidak lain adalah hubungan seksual.

b. Al-Qur'an tidak menyebutkan nama wanita yang memaksa itu. Ia tidak menyebutkan nama Zulaikah atau istri seorang pembesar Mesir yang mengadakan pemaksaan itu. Bahkan, ia hanya mengenalkannya dengan ucapan 'allatî huwa fî baitihâ'. Yaitu, seorang wanita yang Yusuf berada di rumahnya. Meskipun wanita itu berkuasa atas Yusuf dari segala sisi, al-Qur'an tetap menyebutkan ketegaran Yusuf yang luar biasa.

c. Jumlah 'ghallaqotil abwâb' (ia menutup seluruh pintu) mengindikasikan tempat bercinta yang amat harmonis. Akan tetapi, aspek ini tidak ditegaskan secara jelas dan gamblang.

Kalimat 'qôlat haita lak' (bergegaslah menggapai apa yang telah tersedia bagimu) adalah akhir ucapan sang wanita untuk dapat memperdaya Yusuf. Akan tetapi, Yusuf tetap menolak dan bertindak tegas, tanpa ia merasa tergoda."5
Keindahan dan cara memilih kosa kata dalam ayat-ayat berikutnya (ayat 24 dan 25) adalah salah satu keajaiban dan mukjizat al-Qur'an.
Dr. Syarif ketika berbicara tentang kandungan arti jumlah 'wa qod syaghafahâ hubban' menulis, "Dalam bahasa Arab, banyak kosa kata yang menunjukkan arti cinta; hubb, wala', 'azm, 'isyq, qorm, dan lain sebagainya. Akan tetapi, semua kosa kata itu hanya memiliki satu tingkatan dari arti cinta. Oleh karena itu, arti dari kata hubb dan wudd sudah pasti. Begitu juga dengan kosa kata syaghaf. Para ahli bahasa mengatakan bahwa syaghaf adalah suatu cinta dimana orang yang dihinggapinya tidak akan takut tercemar nama baiknya. Pokoknya apa pun boleh terjadi asal yang diinginkannya terwujud. Al-Qur'an sangat memperhatikan sesuatu yang detail semacam ini."
Tujuan kami dalam mengemukakan poin-poin di atas adalah bahwa dalam memaparkan seni bercerita, kita harus menghindari efek pendidikan yang buruk. Ketika membaca peristiwa terperdayanya Abdurrahman bin Muljam al-Muradi dalam perangkap Qutham (wanita yang ingin dinikahinya), saya sangat menyayangkan metode menulis sebagian para penulis. Menurut hemat saya, memaparkan cerita kegenitan dan rayuan Qutham tidak membawa manfaat yang signifikan. Selayaknya kita harus belajar dari kesopanan cara pemaparan al-Qur'an dan sejarah ahlul bait as dalam memaparkan suatu cerita atau kisah.

Pesan Utama dan Penutup
Pernikahan adalah sebuah perintah Ilahi. Dalam Kitab-Nya, Ia berfirman, "Nikahilah wanita yang baik bagi kalian". Pembentukan keluarga sangat penting dalam logika al-Qur'an, sehingga di samping ia memerintahkan untuk melakukan pernikahan lebih dari satu, ia memperingatkan, "Jika kalian takut tidak dapat berbuat adil, maka cukuplah satu."6
Masalah kepemimpinan kaum lelaki atas wanita yang telah disebutkan dalam surah an-Nisâ`: 34, bukan berarti kepemimpinan kaum lelaki yang bersifat sewenang-wenang. Al-Qur'an dalam surah ar-Rûm: 21, di samping menunjukkan tanda-tanda kekuasaan yang ada di bumi dan langit, Ia juga menyebutkan pernikahan, "Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya, Ia telah menciptakan bagi kalian istr-istri dari diri kalian sendiri supaya kalian dapat merasa tenteram bersama mereka, dan menciptakan kecintaan dan rahmat di antara kalian. Sesungguhnya dalam hal itu terdapat tanda-tanda (keagungan) bagi kaum yang mau merenung."
Apakah logika al-Qur'an tersebut sesuai dengan kepemimpinan kaum lelaki yang bersifat sewenang-wenang? Apakah indahnya ungkapan 'litaskunû ilaihâ' (supaya kalian dapat merasa tenteram bersama mereka) tidak mengindikasikan kefleksibelan dan ketenangan? Apakah ungkapan 'wa ja'ala bainakum mawaddah' tidak mengindikaskan rasa kasih-sayang dan persahabatan? Apakah Allah yang Rasul-Nya menyatakan bahwa talak adalah perbuatan halal yang paling dibenci (abghodh al-halâl) memperbolehkan kesewenang-wenangan lelaki terhadap wanita? Dalam lanjutan ayat 'ar-rijâl qowwâmûna 'alan-nisâ`' itu, Allah juga menjelaskan perihal wanita yang enggan menaati suaminya (nâsyizah). Hanya dalam kondisi pembangkangan istri, suami berhak untuk melakukan tiga hal untuk menjadiikan istri taat kembali. Pada hakikatnya, tiga hal itu adalah cara untuk mencari solusi, sehingga mahligai rumah tangga tidak sampai pada jurang perpisahan. Tiga hal itu adalah menasihati, pisah ranjang, dan "memukul", sebagaimana telah dijelaskan dalam al-Qur'an.
Kisah pernikahan ahlul bait ini kami persembahkan bagi pengantin pria dan wanita yang teguh dalam memerangi penyimpangan nilai-nilai agama, baik secara teoritis (ilmiah) maupun praktis.

17 Syawal 1422

Babai Amuli


BAB II

HIKMAH PERNIKAHAN RASULULLAH SAW
Ketika Anda berhadapan dengan seorang pemuda terpelajar, mungkin ia dengan semangat kritisnya akan bertanya kepada Anda, "Saya sedang mencari hakikat, dan saya tidak memiliki urusan dengan jawaban-jawaban kontradiktif para penulis dan orator Barat ataupun selain Barat. Sebetulnya apa hikmah poligami Rasulullah saw?
Para ahli sejarah menulis bahwa minimal Nabi saw memiliki 11 istri. Mereka adalah Khadijah, Saudah, 'Aisyah, Hafshah, Zainab binti Khuzaimah, Ummu Habibah, Ummu Salamah, Zainab binti Jahsy, Jawiriyah, dan Maimunah. Dan masih ada beberapa sahaya yang menjadi hak milik Baitul Mal. Mariah al-Qibthiyah adalah seorang sahaya yang menjadi istri resmi Rasulullah saw dan darinya beliau mempunyai seorang putra bernama Ibrahim. Mereka juga menulis, di antara sebelas wanita itu, dua orang (Khadijah dan Zainab binti Khuzaimah) meninggal dunia di saat Rasulullah masih hidup dan kesembilan orang lainnya meninggal setelah beliau wafat."
Ini adalah sebuah pertanyaan yang menarik. "Akar mayoritas penyelewengan agama dan etika generasi muda harus kita cari di sela-sela pemikiran dan keyakinan mereka (para intelektual). Dari sisi agamis, pola pikir generasi ini belum tercerahkan sebagaimana mestinya. Dan dari sini, ia sangat memerlukan pencerahan. Jika terdapat sebuah problema dalam membimbing generasi ini, pada umumnya hanya terbatas pada pemahaman bahasa dan logikanya. Pada waktu itulah setiap orang akan merasakan bahwa generasi muda ini tidak selalu menentang kebenaran bahkan ia memiliki kesiapan yang sangat besar untuk menerima hakikat agama."1
Anda, pembaca budiman, pasti mengetahui bahwa maksud kami adalah generasi muda yang sedang mencari hakikat dan kebenaran dan ingin mengarungi kehidupannya dengan merenungkan pengetahuan agama. Selanjutnya, dari pertanyaan-pertanyaan kritis yang diutarakannya, ia ingin memetik bunga-bunga jawaban yang semerbak mewangi sehingga kehidupannya menjadi bahagia nan tenteram.
Para ahli sejarah berasumsi bahwa penulis buku Tamaddun-e Islam va Arab (Kebudayaan Islam dan Arab), Dr. Gostave Lebon asal Prancis adalah seorang penulis yang jujur dimana dalam menggambarkan wajah kebudayaan Islam dan Arab, pandangan-pandangannya layak diacungi jempol. Kami pun setuju dengan hal itu. Akan tetapi, kami juga mengharapkan dari Anda untuk bersikap obyektif dan kritis.
Apakah orang yang menulis demikian, "Abul Fida`, seorang sejarawan Arab, dengan bersandarkan kepada ucapan para sahabat Rasulullah saw. Ia menyifatinya demikian, 'Akal beliau lebih sempurna dari akal semua orang. Dalam berpikir, beliau lebih unggul dari seluruh manusia. Beliau tidak berbicara sia-sia, selalu sibuk mengingat Allah, selalu menghadapi masyarakatnya dengan wajah tersenyum, dan ...'
Di samping itu semua, seperti pendapat para ahli sejarah Arab, Nabi Muhammad adalah seseorang yang selalu menjaga diri, pemikir, sedikit berbicara, bertindak hati-hati, berhati baik, dan ...
Menurut cerita, Rasulullah saw bukan orang terpelajar, dan kami pun menerima pendapat ini. Karena, jika ia adalah orang yang terpelajar, ia pasti menyusun al-Qur'an dengan lebih baik, dan jika ia adalah orang yang terpelajar, ia tidak akan mampu menyebarkan agama barunya. Karena, hanya orang yang tidak terpelajarlah yang memahami kondisi orang-orang yang tidak terpelajar."2 Apakah orang yang menulis demikian ini masih dapat dianggap sebagi seorang penulis yang jujur?
Apa yang dinukil oleh ilmuan Kristen dari Abul Fida` dan selainnya ini, serta pendapatnya, "Dan kami pun menerima ucapan ini, karena jika ia adalah seorang terpelajar, ia akan manyusun al-Qur'an secara lebih baik", adalah pertanda kekurangan informasi penulis akan asbab nuzul dan pengumpulan al-Qur'an. Begitu juga, di bagian kedua pasal tersebut3, ia juga memberikan penilaian-penilaian tidak benar, namun tulisan ini tidak selayaknya untuk mengkritisinya lebih jauh. Satu hal yang berhubungan dengan buku tersebut dan mungkin menjadi senjata utama para intelektual dan penentang Islam, seperti Salman Rusydi adalah pandangannya sebagai berikut, "Hanya satu hal yang dapat dijadikan alat untuk mengkritik Nabi yang tak tertandingi ini, yaitu, kecintaannya kepada wanita. Meskipun usianya sudah mencapai 50 tahun, ia tidak mencukupkan diri dengan istri pertamanya, Khadijah. Dan kecintaan ini tampak semakin meraja-lela di akhir-akhir usianya. Ia tidak pernah menutu-nutupi kecintaannya kepada wanita. Karena, ia sendiri pernah berkata, 'Dari dunia kalian ini hanya tiga hal yang kucintai: minyak wangi, wanita, dan, shalat, cahaya mataku.'"
Selanjutnya ia menulis, "Muhammad tidak memandang usia wanita yang hendak diambil. Karena, ia menikah dengan Aisyah yang masih berusia sepuluh tahun dan juga dengan Maimunah yang sudah berumur lima puluh tahun. Kecintaanya kepada wanita sudah sangat keterlaluan sehingga suatu hari ia memandang istri Zaid, anak angkatnya dan rasa cinta kepadanya merekah di hatinya. Oleh karena itu, Zaid menceraikan istrinya supaya dapat menikah dengan Nabi. Melihat peristiwa ini, Muslimin menjadi gundah-gulana. Malaikat Jibril setiap hari turun untuk datang menemuinya dan membawakan ayat-ayat yang menyatakan bahwa pernikahan itu dikarenakan sebuah kemaslahatan belaka. Oleh karena itu, kaum Muslim diam seribu bahasa dan tidak berani membicarakannya lagi."

Jawaban atas Tuduhan
Jawaban atas tuduhan-tuduhan penulis dan orang-orang sepemikiran dengannya dapat didapatkan dengan jelas dari nukilan penulis sendiri. Ia kadang-kadang mencampur-adukkan antara argumentasi dan klaim yang hal itu hanya dapat dipahami oleh pembaca yang kritis. Di sini, kami hanya akan menyebutkan hal itu secara sepintas. Dan bagi para pembaca yang ingin mengetahui lebih mendetail, kami sarankan untuk merujuk kepada buku tafsir al-Mîzân edisi Persia, jilid 2 dan 4, serta dua buku berharga Nezâm-e Huqûq-e Zan dar Islam dan Mas`aleh-ye Hejâb.

Pertama, ia menulis, "Nabi yang tak tertandingi". Kami ingin bertanya, tak tertandingi dalam hal apa? Berdasarkan etika insani dan Islami, serta kesempurnaan-kesempurnaan yang dimiliki oleh Rasulullah saw, dalam buku tersebut Anda tidak mungkin menjawab, "Tak tertandingi dalam mencintai wanita , yakni mengumbar syahwat."

Kedua, ia menulis, "Meskipun usianya sudah mencapai lima puluh tahun, ia tidak mencukupkan diri dengan istri pertamanya, Khadijah". Kami ingin bertanya, "Berapakah usia Rasulullah saw ketika beliau menikah dengan Khadijah?" Anda akan menjawab, "Pada usia dua puluh lima tahun". Apakah di usia-usia bergeloranya jiwa muda ini, selain julukan al-Amîn, ia memiliki julukan yang lain? Apakah antara usia dua puluh lima tahun hingga lima puluh tahun itu, yang sepuluh tahunnya adalah periode kenabian beliau di Makkah dengan segala tuduhan tidak benar yang dilontarkan oleh para pembesar Quraisy, seperti pembohong, gila, penyihir, dan lain-lain, adakah seseorang dari mereka yang menuduh beliau sebagai seorang pengumbar syahwat yang tak tahu malu? Bukankah sebaliknya di hadapan iming-iming material dan duniawi mereka, beliau menolak semua itu demi menjaga keagungan kalimat lâ ilâha illallôh?

Ketiga, ia menulis, "Kecintaannya kepada wanita ini tampak semakin meraja-lela di akhir-akhir usianya." Kami ingin bertanya, "Apakah yang dimaksud dengan akhir-akhir uasia beliau adalah sepuluh tahun periode Madinah? Apakah tahun pertama Hijriah yang beliau selalu sibuk dengan memperkuat pondasi-pondasi pemerintahan Islam, membangun masjid-masjid, dan mengadakan perdamaian dengan kabilah-kabilah yang ada waktu itu? Ataukah tahun kedua Hijriah hingga beliau meninggal dunia yang selama periode itu beliau harus menghadapi delapan puluh empat lebih peperangan yang dipaksakan melawan Abu Sufyan, antek-antek Abu Jahal, Abu Lahab, dan kaum munafik? Gostave Lebon dan para penulis yang memiliki pemikiran serupa dengannya harus menjawab semua pertanyaan itu. Melihat rumah Rasulullah saw sebagai tempat turunnya wahyu dan terletak di samping masjid, rumah Allah, dan shalat malam adalah wajib bagi beliau, serta semua istrinya, selain Aisyah, adalah janda dan wanita-wanita yang sudah lanjut usia, kapankah dan dengan semangat apa beliau dapat mempraktikkan kecintaan kepada wanita yang kalian maksudkan itu, khususnya ketika masa mudanya beliau lalui di gunug-gunung Makkah dan bersama Khadijah di bawah tekanan musyrikin?

Keempat, ia menulis, "Kecintaanya kepada wanita sudah sangat keterlaluan sehingga suatu hari ia memandang istri Zaid ..." Kami ingin bertanya, "Siapakah Zaid itu? Siapakah istri Zaid itu? Ia adalah putri bibi (misanan) beliau, putri Umaiyah bin Abdul Mutalib.4 Apakah mungkin Rasulullah saw menikahkan putri bibinya dengan Zaid pada tahun 5 Hijriah, lima tahun terakhir umur beliau, dan beliau belum pernah melihatnya sehingga "suatu hari ia memandang istri Zaid" dan Allah mencari-cari alasan untuk merekomendasikan pernikahan tersebut? Apakah demikian cara berpikir seorang ilmuwan tentang seorang Nabi yang tak tertandingi dan penghulu para zahid dan orang-orang suci di dunia ini? Untung saja ia masih menulis, "Hal itu didasarkan oleh sebuah kemaslahatan."

Rasa Malu dan Kesucian Rasulullah saw
- Asma` binti Abu Bakar, saudari Aisyah pernah datang bertamu ke rumah Rasulullah saw dengan mengenakan pakaian tipis sehingga anggota-anggota tubuhnya kelihatan. Beliau memalingkan wajahnya darinya sambil bersabda, "Wahai Asma`, jika seorang wanita sudah berusia balig, maka anggota badannya tidak boleh kelihatan kecuali ini dan ini". Beliau menunjuk wajah dan kedua telapak tangannya.5
- Pada persitiwa haji Wadâ', seorang wanita muda datang menjumpai Rasulullah saw untuk menanyakan suatu permasalahan. Fadhl bin Abbas sedang menunggangi kuda di belakang beliau. Lirik dan pandang mereka saling bertemu. Rasulullah saw mengerti bahwa mereka berdua saling melirik, dan wanita muda itu yang seharusnya memperhatikan jawaban permasalahannya, namun ia malah memfokuskan perhatiannya pada Fadhl, pemuda beliau yang tampan itu. Beliau memutar kepala Fadhl dengan tangannya seraya berkata, "Seorang pemudi dan pemuda (jika saling melihat), maka saya takut setan meletakkan kakinya di antara mereka."6
- Rasulullah saw pernah mengambil baiat dari kaum wanita. Akan tetapi, beliau tidak berjabatan tangan dengan mereka. Beliau memerintahkan supaya mendatangkan air sebelanga. Beliau mencelupkan tangannya ke dalam air itu dan memerintahkan mereka untuk mencelupkan tangan mereka. Beliau menjadikan hal itu sebagai cara berbaiat dengan kaum wanita.
Peristiwa ini telah disepakati oleh para sejarawan dan ahli tafsir. Para sejarawan menceritakannya dalam peristiwa pembebasan Makkah dan para ahli tafsir menyebutkannya dalam tafsir surah al-Mumtahanah ayat 12.
Aisyah berkata, "Selama hidupnya, tangan Rasulullah saw tidak pernah menyentuh tangan tangan seorang wanita yang bukan muhrimnya."
Dalam sebuah riwayat, Aisyah pernah ditanya, "Bagaimanakah akhlak Rasulullah saw?" Ia menjawab, "Akhlak Rasulullah saw adalah akhlak al-Qur'an. Allah telah mendidiknya dengan al-Qur'an." Jelas bahwa akhlak Qurani ini berdiri tegak di atas pondasi tazkiah dan penyucian diri.
Al-Waqidi meriwayatkan bahwa Abdullah bin Zaid al-Hudzali berkata, "Saya pernah melihat rumah-rumah Rasulullah saw ketika Umar bin Abdul Aziz memerintahkan supaya rumah-rumah itu dimusnahkan. Temboknya terbuat dari tanah liat mentah, kamar-kamarnya terbuat dari kayu dan pelepah kurma yang dilapisi tanah liat. Aku menghitung kamar-kamar itu dan seluruhnya berjumlah sembilan kamar." Tujuan menukil pernyataan itu adalah kami ingin menunjukkan kesederhanaan kehidupan Rasulullah.
Al-Waqidi menukil dari Mu'adz bin Muhammad al-Anshari dari 'Atha` al-Khurasani bahwa ia berkata, "Saya pernah mendengar Sa'id bin Mussayyib berkata, 'Demi Allah, saya sangat mengharapkan kamar-kamar itu dibiarkan seperti semula dan tidak digabungkan dengan bagian masjid atas perintah Walid bin Abdul Malik, sehingga masyarakat Madinah dan setiap orang yang datang ke Madinah melihat bagaimana Rasulullah saw menjalani kehidupannya. Hal ini akan menyebabkan mereka hidup dengan kezuhudan dan menghindari kehidupan mewah.'"
Abu Umamah bin Sahl bin Hanif al-Anshari sebagai saksi mata atas penghancuran kamar-kamar itu berkata, "Seandainya mereka tidak menghancurkan kamar-kamar itu dan membiarkannya seperti keadaan semula sehingga masyarakat tidak membangun rumah dengan penuh kemewahan dan melihat sejauhmana Allah ridha atas kehidupan Rasul-Nya, padahal semua kunci harta dunia berada di tangannya."7
Itulah Nabi Islam yang agung, hamba Allah termulia yang telah menjalani kehidupan dan meninggal dunia dengan penuh kesucian. Inilah kisah pernikahan Muhammad dan ahlul baitnya sebagai simbol kejujuran dan penunjuk jalan hidayah.
Ya Allah, curahkan shalawat atas Nabi Muhammad saw dan keluarganya.
Imam Ali as berkata,

إِنَّ الْمَرْأَةَ رَيْحَانَةٌ وَ لَيْسَتْ بِقَهْرَمَانَةٍ

Sesungguhnya wanita itu adalah bunga yang semerbak mewangi, bukan seorang pekerja kasar.8

Kisah Pernikahan Rasulullah saw Dengan Khadijah
Siang dan malam hati Khadijah telah terpikat oleh Muhammad Amin. Ia selalu mencari alasan untuk mendekatkan dirinya kepada putra Abu Thalib yang yatim itu. Ia terbakar dalam api cinta kepada putra Aminah itu. Siang hari ia selalu gundah dan di malam hari ia tertidur pulas dalam harapan untuk menyatu dengannya.
Suatu malam, dalam mimpinya Khadijah melihat matahari berputar-putar di atas Makkah, lalu turun ke bawah di dalam rumahnya. Ia menceritakan mimpi tidurnya itu kepada Waraqah bin Naufal. Waraqah menyingkap takbir mimpinya dengan berkata, "Engkau akan menikah dengan orang agung yang ketenarannya akan mendomisai jagad raya ini."9
Kecintaan kepada Muhammad Amin adalah kecintaannya kepada kejujuran dan spiritualitas, sebuah kecintaan kepada Tuhan Muhammad yang selama empat puluh tahun ia selalu bermunajat kepada-Nya di gua Hira`.
Jangan Anda mengira bahwa kecintaan putri Khuwailid, seorang wanita terkenal dan terhormat di Makkah itu adalah sebuah kecintaan fiktif. Atau Anda berpikiran bahwa kecintaannya bukanlah kecintaan suci dan tak bermakna. Tidaklah demikian. Khadijah adalah seorang wanita berakal yang seluruh wujudnya telah dikuasai oleh api asmara terhadap Muhammad al-Amin.
Khadijah tidak hanya terpesona oleh ketampananan Muhammad al-Amin yang menarik hati itu, sebagaimana kecintaan Zulaikha kepada Yusuf. Ia pernah mendengar dan melihat bahwa jagad raya ini tenteram karena keberadaannnya.

Persiapan Pernikahan
Abu Thalib sebagai orang besar di kalangan Quraisy dan dikenal dengan kedermawanan, keberanian, dan keteguhan jiwa sangat prihatin terhadap kondisi kehidupan keponakannya yang serba sulit. Ia mengambil keputusan untuk mengutarakan keinginannya kepadanya. Suatu hari ia berkata kepadanya, "Khadijah putri Khuwailid, salah seorang saudagar (kaya) Quraisy sedang mencari seorang yang dapat dipercaya untuk diserahkan tanggungjawab mengurus dagangannya dan membawanya ke negeri Syam (Syiria). Alangkah baiknya jika engkau memperkenalkan dirimu kepadanya."
Untuk seorang pemuda berusia dua puluh lima tahunan seperti Muhammad yang masih dikuasai oleh rasa malu, usulan semacam itu amatlah berat baginya. Di sisi lain, kepribadian tinggi yang dimilikinya tidak mengizinkannya untuk melakukan hal semacam itu.
"Paman, Khadijah telah mengenal kejujuran dan amanahku. Mungkin ia sendiri yang akan mengutus seseorang kepadaku untuk mengutarakan usulan seperti usulan Anda itu", jawabnya singkat.
Dan memang itulah yang terjadi. Karena ia sangat mengenal pemuda jujur Makkah itu dan juga mengetahui kondisi kehidupannya yang serba sulit. Menurut sebagian pendapat, ia juga mengetahui perundingan yang telah terjadi antara Muhammad al-Amin dan Abu Thalib. Ia mengutus seseorang untuk memanggil Muhammad. Ketika pertama kali bertemu dengannya, ia berkata, "Satu hal yang membuatku tertarik kepadamu adalah kejujuran dan akhlakmu yang baik. Saya siap memberi dua kali lipat (upah) dari yang biasa kuberikan kepada orang lain dan mengutus dua budak bersamamu untuk menjadi pembantumu selama dalam perjalanan."
Muhammad menceritakan apa yang telah terjadi kepada pamannya. Sang paman menjawab, "Kejadian ini adalah sebuah perantara untuk sebuah kehidupan yang telah Allah skenariokan untukmu. Ini adalah sebuah rezeki yang telah Allah anugerahkan kepadamu."
Rombongan pedagang Quraisy telah siap untuk berangkat. Setelah sampai di tujuan, semua barang dagangan terjual habis. Dan mereka juga melakukan transaksi di pasar Tuhâmah dengan membeli barang-barang dagangan yang diperlukan sewaktu mereka kembali ke daerah asal mereka. Rombongan dagang Khadijah yang memiliki laba melimpah di bawah kepemimpinan Muhammad itu akhirnya pulang kembali ke Makkah.
Sesampainya rombongan di Makkah, salah seorang budak yang bersama Muhammad itu berkata kepada Khadijah, "Anda memiliki berita bagus. Rombongan dagangmu telah kembali dari Syam dengan membawa laba yang melimpah dan barang-barang dagangan yang sangat bagus."
"Apa yang telah kalian katakan itu? Kalian pasti memiliki kenangan indah dalam perjalanan kali ini. Coba ceritakan kepadaku", kata Khadijah.
Maisarah menceritakan dua kenangan indah kepadanya: Pertama, Muhammad al-Amin berselisih pendapat dengan seorang pedagang dalam suatu masalah. Pedagang itu berkata kepadanya, "Bersumpahlah demi Lâta dan 'Uzzâ. Barulah akan kuterima ucapanmu." Muhammad al-Amin menjawab, "Makhluk paling hina dan paling kubenci adalah Lâta dan 'Uzzâ yang kau sembah itu."10 Kedua, di Bushra, Muhammad al-Amin duduk di bawah sebuah pohon untuk beristirahat. Salah seorang Rahib melihatnya dari tempat peribadatannya. Ia menghampirinya dan menanyakan namanya. Ketika mendengar nama Muhammad al-Amin, ia berkata, "Orang ini adalah nabi yang telah banyak kubaca kabar gembira berkenaan dengannya."
Melalui kisah-kisah mengesankan itu dan pengenalannya yang yang telah lama terhadap pemuda istimewa Makkah itu, api cinta Khadijah semakin berkobar. Di samping memberikan upah sesuai dengan kontrak dagang, Khadijah juga memberikan hadiah kepadanya sehingga Muhammad dapat memperbaiki kondisi hidupnya. Semua yang diterimanya dari Khadijah itu diserahkan kepada pamannya, Abu Thalib. Adalah benar bahwa Muhammad adalah seorang pemuda teladan, memiliki kemampuan manajemen hidup yang baik, sehingga keluarga-keluarga mulia Makkah merasa bangga ketika dapat menjalin hubungan kekeluargaan dengannya. Akan tetapi, Abu Thalib adalah orang terhormat dan pelindungnya.

Tata Cara Meminang
Khadijah menceritakan segala yang diketahuinya tentang Muhammad al-Amin kepada Waraqah bin Naufal. Dan Waraqah, orang pintar dari Arab yang telah mengenal Muhammad sebelum Khadijah mengenalnya, membenarkan semua ceritanya.
Pembenaran Waraqah itu menyebabkan Khadijah semakin menaruh hati kepada nabi yang dijanjikan itu. Bahkan dengan tegas ia menolak mentah-mentah semua pembesar Arab yang datang untuk meminangnya. Para pembesar seperti 'Uqbah bin Mu'ith, Abu Jahal, dan Abu Sufyan adalah di antara para peminang Khadijah.
Tidak aneh-seperti kesaksian para ahli sejarah dan penulis biografi-jika Khadijah berkata kepada Muhammad, "Putra pamanku, dengan pengenalanku terhadap dirimu, aku sangat berharap dapat menikah denganmu."
Muhammad Al-Amin itu pun menjawab, "Seyogianya aku mengutarakan masalah ini kepada paman-pamanku sehingga aku dapat mengambil keputusan atas dasar musyawarah dengan mereka."
Sebagian ahli sejarah juga menulis, seorang wanita bernama Nafisah binti Aliyah, salah seorang sahabat Khadijah menyampaikan pesannya kepada Muhammad dengan berkata, "Mengapa di malam hari engkau tidak menyinari kehidupanmu dengan seorang istri? Jika aku mengajakmu kepada keindahan, kekayaan, dan kemuliaan, maukah kau menerimanya?"
Muhammad bertanya, "Siapakah maksudmu?"
"Khadijah", jawabnya.
"Apakah ia rela dengan kondisi hidupku ini?"
"Ya. Tentukanlah harinya sehingga wakilnya dan seluruh kerabatmu duduk bersama untuk membicarakan pesta pernikahan."11
Inilah Khadijah dan dunia indah kehidupan Muhammad al-Amin, seorang pemuda kharismatik Makkah yang tampak agung di mata seluruh masyarakatnya. Tuhannya pun memuliakannya. Khadijah adalah seorang wanita pemburu yang sangat mahir sehingga ia enggan menangkap "buruan" kecuali keponakan Abu Thalib yang yatim, meskipun sahabatnya yang berwawasan pendek dan musuhnya sering mencelanya dalam pilihannya yang suci itu.
Perdagangan itu hanya sebuah alasan untuk mewujudkan keinginan Khadijah yang jelas, sehingga ia dapat mengungkapkan kecintaannya yang membara dan keinginannya kepada kekasihnya tanpa perantara. Ia pernah berkata kepada Muhammad, "Engkau telah menguasai seluruh pikiranku. Aku mencintaimu seperti yang dikehendaki oleh Tuhanmu dan sesuai dengan keinginanmu."
Mimpi Khadijah sudah mendekati kenyataan. Ia membaca takwil mimpi indahnya itu di sekujur tubuh putra Aminah itu. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia berkata kepada dirinya, "Ya Tuhan, apakah takdir menentukan demikian bahwa aku adalah wanita pertama yang dicintai oleh al-Amin, Muhammad yang orang lain harus tersiksa dan terkatung-katung demi menjalin hubungan dengannya?"