Imamah(Khalifah Rasulullah Saw)

Bagian Pertama: Pengertian Umum

Arti Imamah dan Khilafah
Al-Imâmah secara literal (lughawi) berarti "kepemimpinan". Al-Imâm berarti "pemimpin". Dalam terminologi Islam al-Imâmah bermakna "otoritas semesta dalam seluruh urusan agama dan dunia, yang menggantikan peran Nabi Saw. Al-Imâm berarti: "Seorang (pria) yang - menggantikan Nabi - memiliki hak untuk memerintah secara mutlak dalam urusan kaum muslimin baik dalam urusan dunia maupun akhirat.
Kata "seorang (pria)" menunjukkan bahwa seorang wanita tidak dapat menjadi seorang imam. "Memerintah secara mutlak" tidak termasuk mereka yang memimpin salat - mereka juga dipanggil imam - tapi dalam konteks salat jamaah. Tetapi mereka tidak memiliki otoritas mutlak. Dalam suksesi nabi, suksesi tersebut menunjukkan perbedaan antara seorang nabi dan seorang imam. Imam menjalankan otoritas ini secara tidak langsung, melainkan menjalankan tugas ini untuk menggantikan kedudukan Nabi.
Kata "khilafah" berarti "pergantian" dan "al-khalifah" bemakna "pengganti". Dalam terminologi Islam "al-khilafah" dan "al-khalifah" secara praktis menandakan arti yang sama dengan "al-imamah" dan "al-imam".
Adapun al-Wisayah berarti "pelaksanaan wasiat" dan "al-Wasi" bermakna "pelaksana wasiat". Secara signifikan maknanya sama dengan "al-khilafah" dan "al-khalifah".
Menarik untuk diperhatikan bahwa banyak nabi-nabi sebelumnya juga khalifah dari nabi-nabi pendahulunya, jadi mereka adalah nabi dan khalifah; sementara nabi-nabi yang lain (yang membawa syari'at baru) bukan khalifah dari nabi-nabi sebelumnya. Dan diantara mereka ada yang menjadi khalifah nabi-nabi tetapi bukan nabi.
Masalah imamah dan khilafah telah meretas - memecah - keutuhan kaum muslimin dan mempengaruhi pola-pikir, falsafah dari kelompok yang berbeda yang telah sedemikian hebat sehingga persamaan yang ada yakni tauhid, meyakini Allah (at-Tauhid) dan nabi (nubuwwah) tidak lagi dapat diselamatkan dari pandangan-pandangan yang berbeda ini.
Inilah subjek yang menjadi perdebatan yang paling hebat dalam teologi (ilmu kalam) Islam. Banyak kaum Muslim yang telah menulis ratusan kitab tentang masalah khilafah. Masalah yang ada dihadapan penulis, bukan apa yang harus ditulis; melainkan apa yang tidak harus ditulis. Dalam karya kecil seperti ini - anda tidak dapat menyentuh seluruh ragam aspek dari permasalahan ini - biarkan mereka mencarinya sampai detail ihwal topik-topik yang dibahas di dalam buku ini. Buku ini hanya menyuguhkan sebuah garis besar dari ikhtilaf yang ada diantara beberapa madzhab dalam Islam tentang masalah khilafah.
Mungkin dengan menyebutkan bahwa dalam Islam terbagi dalam dua madzhab yang berbeda dalam menyikapi masalah ini, dapat membantu para pembaca dalam berurusan dengan masalah ini. Madzhab Sunni meyakini bahwa Abu Bakar adalah khalifah pertama selepas Nabi Saw. Madzhab Syiah meyakini bahwa 'Ali bin Abi Tâlib merupakan Imam dan Khalifah setelah wafatnya Nabi Saw.
Perbedaan azasi ini telah menuntun kepada perbedaan-perbedaan yang ada yang akan dijelaskan pada bagian-bagian selanjutnya dari buku ini.

Ikhtisar Perbedaan
Nabi Saw bersabda dalam sebuah hadits yang validitasnya diterima oleh seluruh madzhab dalam Islam:
"Umatku akan terbagi menjadi tujuh puluh firqah (bagian), seluruhnya akan binasa kecuali satu firqah ".
Pencari keselamatan akan selalu - tentu saja - tanpa lelah berusaha untuk mencari tahu masalah ini kemudian menemukan jalan yang benar - jalan keselamatan -, dan memang mesti bagi setiap orang untuk mencarinya, melakukan yang terbaik dan tidak pernah berputus asa untuk mencari kebenaran. Tapi ini hanya mungkin bila ia memiliki sebuah pandangan yang jernih dalam menyikapi perbedaan-perbedaan yang ada di sekelilingnya, dan membuang segala bias dan prasangka, menguji suatu kebenaran dengan pemikiran yang matang dan dewasa, senantiasa berdoa kepada Allah Swt agar membimbingnya kepada jalan kebenaran.
Atas alasan ini, saya mengajukan secara singkat di sini ikhtilaf-ikhtilaf yang penting dan konflik-konflik yang ada kita hadapi bersama dengan argumen-argumen, dalil-dalil dan penalaran yang sehat dari setiap madzhab, dalam rangka memudahkan kita mencapai kebenaran yang kita cari. Pertanyaan-pertanyaan utama yang mengemukan di sini adalah:

1. Apakah pengganti Nabi, pengangkatannya dari Allah Swt atau diserahkan sepenuhnya kepada umat untuk memilih siapa saja yang mereka kehendaki sebagai pengganti Nabi?

2. Dalam kasus terakhir, apakah Allah atau Nabi menyerahkan kepada umat kaidah-kaidah sistematis yang mengandung aturan-aturan dan prosedur bagi pengangkatan seorang khalifah, atau apakah umat dengan kesepakatan yang mereka capai sebelum mengangkat seorang khalifah, menyiapkan seperangkat aturan-aturan yang mereka terapkan dalam mengangkat seorang khalifah, atau apakah umat bertindak berdasarkan kepada apa yang mereka anggap perlu pada suatu waktu dan memanfaatkan kesempatan yang ada.

3. Apakah akal dan dustur Ilahi menuntut adanya syarat-syarat dan kualifikasi dalam diri seorang imam atau seorang khalifah? Jika demikian, apa saja syarat-syarat dan kualifikasi tersebut?

4. Apakah Nabi Saw menunjuk seseorang sebagai khalifahnya dan penggantinya atau tidak? Jika memang menunjuk seseorang, siapa orang tersebut? Jika tidak, mengapa?

5. Setelah wafatnya Nabi Saw, siapa yang dikenali sebagai khalifahnya dan apakah orang ini memiliki kualifikasi-kualifikasi yang ada sebagai syarat untuk menjadi seorang khalifah?

Perbedaan Azasi
Akan menghemat waktu, jika kita menjelaskan permulaan sebab azasi ikhtilaf ihwal tabiat dan karakter imamah dan khalifah. Apakah
karakteristik utama yang ada pada urusan imamah? Apakah seorang imam, pertama dan utama, adalah seorang penguasa sebuah kerajaan? Atau ia merupakan khalifahtullâh dan khalifaturasul?
Karena imamah dan khilafah diterima secara umum sebagai pengganti Nabi, pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak dapat dijawab hingga keputusan dibuat berdasarkan kepada karakter asasi seorang nabi. Kita harus memutuskan apakah seorang nabi adalah penguasa sebuah kerajaan atau merupakan wakil Tuhan di muka bumi.
Dalam sejarah Islam, kita temukan suatu kelompok yang bila ditinjau dari misi kedatangan Nabi Saw, terlihat sebuah usaha yang ingin mendirikan sebuah kerajaan. Pandangan mereka bersifat material, tidak maknawi; gagasan-gagasan mereka bertumpu pada pengumpulan harta, kecantikan dan kekuasaan. Mereka - secara tabiat - menisbahkan motif-motif yang mereka bangun kepada Nabi Saw.
Seperti pada kasus 'Utbah bin Rabi'ah - bapak mertua Abu Sufyan - yang diutus untuk menjumpai Nabi menyampaikan pesan suku Quraisy.
"Wahai Muhammad! Jika engkau menginginkan kekuasan dan wibawa, kami akan menjadikan engkau sebagai maharaja di Makkah. Apakah engkau berhasrat menikah dengan putri bangsawan? Engkau dapat meminang putri tercantik di negeri ini. Apakah engkau ingin emas dan perak? Kami dapat menyediakanmu segalanya bahkan lebih dari itu. Tapi engkau harus meninggalkan dakwahmu yang menyerang kami dan menghina nenek-moyang kami yang menyembah berhala."
Suku Quraisy hampir pasti yakin bahwa Muhammad akan menanggapi tawaran yang menggiurkan itu. Tapi Nabi Muhammad Saw membacakan sebuah ayat suci al-Qur'an sebagai jawaban beliau - berisikan ancaman - kepada suku Quraisy itu. "Jika mereka berpaling maka katakanlah: "Aku telah memperingatkanmu dengan petir yang menimpa kaum Aad dan kaum Tsamud." (Qs. Fussilat:13)
'Utbah sangat emosional dengan ancaman yang nyata ini. Ia tidak menerima Islam, tapi memberikan nasihat kepada kaum Quraisy supaya tidak mengganggu Muhammad dan melihat bagaimana ia akan berjalan dengan suku-suku lainnya. Suku Quraisy mengklaim bahwa 'Utbah pun telah terpengaruh sihir Muhammad.
Kemudian ia ingin menyerahkan urusan Muhammad kepada suku-suku lain. Di satu sisi, ketika Nabi Saw hijrah ke Madinah dan suku Quraisy berperang satu sama lainnya, suku-suku yang lain berpikir lebih baik meninggalkan Muhammad kepada sukunya sendiri. 'Amr bin Salamah, seorang sahabat Nabi berkata:
"Bangsa Arab menantikan suku Quraisy menerima Islam. Mereka berkata bahwa Muhammad harus diserahkan kepada kaumnya sendiri. Jika ia muncul sebagai pemenang, tanpa ragu dia adalah seorang Nabi yang hak. Ketika Mekkah ditaklukkan, seluruh suku-suku berlomba-lomba untuk menerima Islam."
Oleh karena itu, dan menurut mereka, kemenangan adalah kriteria kebenaran! Jika Muhammad Saw ditaklukkan, maka ia akan dipandang sebagai pendusta!!
Pandangan bahwa misi suci ini tidak lain kecuali sebuah urusan duniawi yang berulang kali diumumkan oleh Abu Sufyan dan kaumnya (Bani Umayyah, -penj.).
Pada waktu kejatuhan Mekkah, Abu Sufyan meninggalkan Mekkah untuk menghindar dari kekuatan pasukan muslim. Ia terlihat oleh Abbas - paman Nabi - yang membawanya ke hadapan Nabi dan memberi nasihat kepada Nabi bahwa sebaiknya ia diberikan perlindungan dan penghormatan, dengan harapan semoga ia dapat menerima Islam.
Untuk menyingkat cerita ini, al-'Abbâs membawa Abu Sufyan untuk melihat-lihat lasykar Islam. Ia menunjukkan kepada Abu Sufyan orang-orang besar dari suku yang berlainan dalam susunan pasukan Islam. Sementara itu, Nabi Saw melewati pasukannya yang berseragam hijau. Abu Sufyan berteriak: "Wahai 'Abbâs! Sesungguhnya kemenakanmu telah memperoleh sebuah kerajaan!". Al-'Abbâs berkata: "Celakalah engkau! Ini bukan kerajaan; ini adalah kenabian."
Di sini, kita melihat dua pandangan yang saling berseberangan. Pandangan Abu Sufyan tidak berubah. Ketika 'Utsman menjadi khalifah, Abu Sufyan datang kepadanya dan memberi nasihat, "Wahai putra Umayyah! Kini kerajaan ini telah datang padamu, mainkanlah ia sebagaimana anak kecil bermain bola dan serahkanlah secara turun- temurun kepada sanak keluargamu. Ini adalah hakikat kebenaran; kita tidak tahu apakah surga dan neraka ada atau tidak."
Lalu, ia pergi ke Uhud dan menendang kuburan Hamzah (paman Nabi), dan berkata: " Wahai Abu Ya'la! Lihatlah kerajaan yang engkau berperang atasnya akhirnya telah datang kepada kami."
Pandangan yang sama diwarisi oleh cucunya yang berkata: Bani Hasyim telah bermain dengan kerajaan; namun akhirnya kini tidak ada kabar, juga tidak ada wahyu yang turun sama sekali."
Jika pandangan seperti ini dianut oleh kaum muslimin, niscaya ia menyamakan imamah dengan penguasa. Sesuai dengan pemikiran semacam ini, fungsi utama Nabi adalah sebagai penguasa kerajaan, Oleh karena itu, siapa saja yang mengendalikan kekuasaan adalah pengganti sah Nabi Saw.
Tapi masalah yang mengedepan kemudian adalah lebih dari sembilan puluh persen nabi-nabi yang diutus tidak memiliki kekuasaan politik; dan kebanyakan mereka menjadi tumbal atau korban kekuasaan-kekuasaan politik pada masanya. Kejayaan mereka tidak terletak pada takhta dan mahkota, namun pada syahadah dan pengorbanan. Jika karakteristik utama kenabian adalah kekuasaan politik dan penguasaan, maka barangkali - bahkan - tidak ada 50 (dari 124.000) nabi-nabi yang diutus akan bertahan dengan gelar Ilahi mereka sebagai nabi.
Jadi, sangat jelas bahwa karakteristik utama Nabi Saw tidaklah pada kekuasaan politik, tapi pada khalifatullah, dan bahwa perwakilan ini tidak dianugerahkan kepadanya oleh orang-orang; namun perwakilan ini dianugerahkan oleh Allah Swt sendiri.
Demikian juga, pengganti Nabi, karakteristik utamanya juga tidak pada kekuasaan politik; melainkan pada kenyataan bahwa ia adalah wakil Allah Swt, dan perwakilan ini tidak akan pernah dianugerahkan oleh manusia, perwakilan ini niscaya dan mesti dari Allah Swt sendiri. Singkatnya, jika seorang imam adalah wakil Allah Swt, maka yang mengangkatnya sebagai wakil juga haruslah Allah Swt.

Sistem Kepemimpinan Dalam Islam
Pernah suatu waktu, sistem pemerintahan monarki adalah satu-satunya sistem pemerintahan yang dikenal oleh manusia. Pada saat yang bersamaan, ulama-ulama muslim mengagungkan sistem monarki dengan berkata: "Raja adalah bayangan Tuhan," seakan-akan Tuhan memiliki bayangan! Kini di abad kiwari, demokrasi sedang digemari dan ulama-ulama Sunni tanpa mengenal lelah menegaskannya dalam artikel-artikel, buku-buku dan risalah-risalah mereka, bahwa sistem pemerintahan Islam berdasarkan sistem pemerintahan demokrasi. Mereka bahkan terlalu cepat mengklaim bahwa demokrasi didirikan oleh Islam, dengan melupakan kota republik Yunani. Pada babak kedua dari abad ini, sosialisme dan komunisme telah mendapatkan perhatian khusus oleh negara-negara yang sedang berkembang atau pun yang sudah berkembang; dan saya tidak terkejut mendengar bahwa banyak cendekiawan muslim menegaskan bahwa Islam mengajarkan dan menciptakan sosialisme. Beberapa orang di Pakistan dan di beberapa tempat yang lain, telah menciptakan slogan "Sosialisme Islam". Apa maksud dari "Sosialisme Islam" ini, saya tidak tahu. Tapi saya tidak akan terkejut jika dalam sepuluh atau dua puluh tahun ke depan orang-orang seperti ini akan memulai mengklaim bahwa Islam juga mengajarkan komunisme.
Seluruh kecenderungan "berubah bersama angin" ini sedang membuat sebuah lelucon dari kepemimpinan Islam. Beberapa waktu yang lalu dalam sebuah majelis kaum muslimin di sebuah negara di Afrika, seorang pemimpin muslim menyebutkan bahwa Islam mengajarkan: Taati Allah, taati Rasulnya dan penguasa di antara kalian". Dalam jawabannya, seorang presiden (yang kebetulan adalah seorang penganut Katolik Roma yang setia) berkata bahwa ia sangat menghargai hikmah dari perintah untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya; tapi ia tidak dapat mengerti logika dibalik perintah itu mentaati penguasa kalian ini.
Bagaimana jika seorang penguasa itu tidak adil dan seorang tiran? Apakah Islam memerintahkan kaum muslimin untuk mentaatinya secara membabi-buta tanpa sedikit pun perlawanan.
Pertanyaan yang rasional menuntut jawaban yang rasional pula. Hal ini tidak dapat dipandang remeh. Kenyataan bahwa orang yang mengundang kritikan pedas, melakukan hal itu karena kekeliruan dalam menafsirkan al-Qur'an.
Mari kita uji sistem kepemimpinan dalam Islam. Apakah ia berwarna demokratis? Definisi terbaik demokrasi diberikan oleh Abraham Lincoln (Presiden Amerika yang ke-16, 1861-1865) ketika ia berkata bahwa demokrasi adalah "Pemerintahan rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat".
Akan tetapi dalam Islam, bukanlah pemerintahan dari rakyat, namun pemerintahan dari Allah Swt. Bagaimana manusia dapat memerintah diri mereka sendiri? Mereka memerintah diri mereka sendiri dengan membuat aturan-aturan sendiri; dalam Islam, hukum tidak dibuat oleh manusia, tapi oleh Allah Swt; hukum ini diajarkan tidak berdasarkan kesepakatan dan keputusan manusia, tapi oleh Nabi Saw sesuai dengan perintah dari Allah Swt. Manusia tidak memilki suara dalam legislasi; mereka diminta untuk mengikuti segala ketentuan yang dibuat oleh Allah Swt, tanpa ada komentar atau usulan tentang hukum-hukum ini dan legislasi.
Sampai pada frase "oleh rakyat", mari kita timbang bagaimana manusia memerintah diri mereka sendiri. Mereka melakukannya dengan memilih penguasa mereka sendiri. Nabi Saw merupakan orang yang memangku badan eksekutif, hukum dan seluruh otoritas dalam pemerintahan Islam, dan beliau tidak dipilih oleh manusia. Dalam kenyataannya, jika penduduk Mekkah dibolehkan untuk memilih sendiri, mereka akan memilih, 'Urwah bin Mas'ud (dari suku Taif) atau al-Maulid bin Mughira (dari Mekkah) sebagai nabi Allah! Menurut al-Qur'an, "Dan mereka berkata: "Mengapa al-Qur'an ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari satu dua negeri (Mekkah dan Taif) ini."
Jadi, Nabi Saw tidak hanya seorang kepala negara agung dari negara Islam yang ditunjuk tanpa konsultasi manusia, namun kenyataanya beliau dipilih bertentangan dengan keinginan mereka. Nabi Saw adalah pemegang otoritas tertinggi dalam Islam. Beliau menggabungkan personalianya dalam fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif dalam pemerintahan; dan beliau tidak dipilih oleh manusia (rakyat).
Dengan demikian, Islam bukan pemerintahan rakyat, bukan "oleh rakyat". Tidak ada legislasi oleh rakyat; eksekutif dan yudikatif tidak bertanggung jawab kepada rakyat, juga bukan sebuah pemerintahan untuk rakyat".
Sistem Islam , sejak awal hingga akhir, adalah untuk Allah. Segala sesuatunya harus dilakukan semata-mata untuk Allah; jika dilakukan untuk rakyat, maka ini disebut sebagai "syirik tersembunyi". Apa saja yang anda lakukan - apakah salat atau sadaqah, amal sosial atau keluarga, ketaatan kepada orang tua atau cinta kepada tetangga, memimpin salat berjamaah atau memutuskan sebuah perkara, memasuki medan perang atau menyepakati perdamaian - harus dilakukan "qurbatan ilallah" (sebagai pendekatan kepada Allah), untuk meraih keridaan Allah. Dalam Islam, segalanya untuk Allah.
Singkatnya, bentuk pemerintahan Islam adalah pemerintahan Allah melalui perwakilan-Nya, untuk meraih keridaan Allah.
Pemerintahan ini adalah pemerintahan teokrasi, dan merupakan tabiat dan karakter kepemimpinan Islam, dan bagaimana pengaruh makna ayat di atas berkenaan dengan ketaatan, akan kita lihat pada bagian terakhir dari buku ini.



Bagian Kedua: Persfektif Madzhab Syiah

Keharusan Imamah
Menurut pandangan Syiah, imamah adalah sebuah pranata yang mesti ada, sesuai dengan hukum akal. Dengan rahmat Allah Swt yang menjadikan hamba-hamba-Nya taat dan menjaganya dari maksiat, tanpa paksaan. Dalam ilmu kalam Syiah, sifat rahmat adalah wajib bagi Allah Swt. Ketika Allah menghendaki seseorang melakukan sesuatu, Dia mengetahui bahwa manusia tidak dapat melakukannya atau ia akan menemui kesulitan untuk melakukannya tanpa memperoleh bantuan dari-Nya. Kemudian, jika Allah tidak membantunya, maka perbuatan itu bertentangan dengan tujuan Allah sendiri. Jelasnya, kelalaian ini adalah batil menurut ukuran akal. Oleh karena itu, sifat rahmat adalah wajib bagi Allah Swt.
Imâmah adalah rahmat dari Allah Swt. Karena sebagaimana yang kita ketahui ketika manusia memiliki seorang pemimpin (rais) dan pembimbing yang mereka taati, yang membela kaum tertindas dari penindasan dan menahan kaum penindas, maka ia akan menarik mereka lebih dekat kepada kebaikan dan menjauh dari kerusakan dan penyimpangan, dan karena lutf, wajib bagi Allah Swt untuk mengangkat seorang imam untuk membimbing dan memimpin umat setelah wafatnya Nabi Saw.

Superioritas
Kaum Syiah meyakini bahwa; sebagaimana Nabi Saw, seorang imam harus lebih unggul dari umat dalam segala keutamaan, seperti ilmu pengetahuan, keprawiraan, ketakwaan dan amal saleh, dan dia harus memiliki ilmu yang sempurna tentang hukum-hukum Allah. Jika tidak; dan kedudukan ini diamanahkan kepada orang yang setingkat di bawah orang yang memiliki kesempurnaan, yaitu inferior lebih diutamakan ketimbang superior, maka perbuatan ini adalah perbuatan keliru menurut hukum akal dan bertentangan dengan Keadilan Ilahi. Oleh karena itu, tidak ada orang inferior yang akan menerima imamah dari Allah Swt bilamana hadir seorang yang lebih superior daripada dia.

Ma'sum
Kualifikasi yang kedua adalah ismah (keterjagaan dari dosa dan salah). Jika imam tidak ma'sum maka ia akan dapat dengan mudah terjebak dalam kesalahan dan juga berpotensi untuk mengelabui orang.
Pertama-tama, dalam kasus seperti ini (bila seorang imam berbuat salah), kita tidak dapat mempercayai terhadap apa yang dikatakan dan didiktekan kepada kita.
Kedua, seorang imam adalah penguasa dan pemimpin umat, dan umat harus mengikutinya tanpa reserve (tedeng aling-aling) dalam segala hal. Sekarang, jika ia berbuat dosa, orang-orang pasti akan mengikutinya untuk berbuat dosa. Tak tertahankannya kedudukan ini bersifat jelas (badihi); karena ketaatan dalam perbuatan dosa adalah batil, haram dan terlarang. Lagi pula, akan berarti bahwa ia harus mentaati dan mengingkarinya pada saat yang bersamaan; yaitu, ketaatan kepadanya akan menjadi wajib dilarang, yang secara nyata bila diikuti akan tampak konyol (absurd).
Ketiga, jika memungkinkan bagi seorang imam untuk berbuat dosa, akan menjadi kewajiban bagi orang lain untuk mencegahnya (karena wajib bagi setiap muslim untuk melakukan amar ma'ruf). Dalam keadaan demikian, imam akan terhina; wibawanya akan berakhir, jangankan akan menjadi pemimpin umat, ia akan menjadi pengikut imam (ma'mum), dan imamahnya tidak akan berguna.
Keempat, imam adalah pembela hukum Allah dan perkara ini tidak akan diamanahkan kepada tangan-tangan yang penuh dosa juga tidak kepada orang-orang yang akrab dengan salah. Atas alasan ini, kema'suman menjadi syarat mutlak kenabian; dan pertimbangan-pertimbangan yang membuatnya niscaya dan esensial dalam kasus seorang nabi, juga berlaku pada seorang imam dan khalifah.
Pembahasan ini akan dikaji lebih jeluk pada bagian akhir dari buku ini (Ulul Amr Harus Ma'sum)

Pengangkatan oleh Allah
Seperti dalam kasus para nabi, kualifikasi-kualifikasi yang disebutkan tersebut tidak memadai sehingga dapat secara otomatis membuat seseorang menjadi imam. Imamah bukanlah sebuah pekerjaan yang diminta; tapi sebuah penunjukan yang dianugerahkan oleh Allah.
Dengan alasan ini, Syiah Itsna Asyariyah meyakini bahwa Dialah (Allah) yang berhak untuk memilih pengganti Nabi; dan umat tidak memiliki pilihan, intervensi dalam hal ini, dan kewajibannya hanya mengikuti titah Ilahi yang telah menunjuk seorang imam atau khalifah baginya.

Ayat-ayat Qur'an
Ayat-ayat berikut ini menegaskan pandangan-pandangan Syiah.
"Dan Tuhanmu yang menciptakan apa yang dia kehendaki dan memilih-Nya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka." (Qs.al Qasas:68)
Ayat ini secara jelas menunjukkan bahwa manusia tidak memiliki hak dalam memilih; pemilihan ini sepenuhnya berada di tangan Allah Swt.
Sebelum menciptakan Adam, Allah memberi kabar kepada para malaikat; "...Sesungguhnya Aku ingin menjadikan seorang khalifah di muka bumi..." (Qs.al-Baqarah:30)
Kemudisn para malaikat menyatakan protes mereka dengan santun, protes mereka ini ditepis dengan firman-Nya, "...Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang kalian tidak ketahui..." (Qs. al-Baqarah:30)
Jika para malaikat ma'sum ini tidak diberikan sedikit pun peluang untuk berkata dalam penunjukan seorang khalifah, bagaimana mungkin manusia yang dapat berbuat dosa (fallibel) berharap untuk mengemban seluruh otoritas atas penunjukan ini?
Allah sendiri mengangkat Nabi Daud sebagai khalifah di muka bumi;
"Wahai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah dk muka bumi..." (Qs. Saad:26)
Dalam setiap masalah Allah menisbatkan pengangkatan khalifah atau imam secara eksklusif kepada diri-Nya. "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu Imam bagi seluruh umat manusia. Ibrahim berkata: "Dan dari keturunanku." Allah berfirman: "Janji-Ku ini tidak mengenai orang yang zalim." (Qs. al-Baqarah:124)
Ayat ini membawa kita kepada jawaban yang benar dari banyaknya pertanyaan mengenai imamah.
Pertama, Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku ingin menjadikan engkau sebagai seorang Imam bagi manusia." Ayat ini menunjukkan bahwa status imamah adalah pegangkatan-Ilahi; di luar urusan umat.
Kedua, "Perjanjianku ini tidak termasuk orang-orang yang zalim." Hal ini dengan jelas menunjukkan bahwa seorang non-ma'sum tidak dapat menjadi seorang imam. Secara logis, kita dapat membagi manusia ke dalam empat kelompok:
1. Kelompok yang tetap berlaku tidak adil selama masa hidupnya.
2. Kelompok yang tidak pernah berlaku zalim.
3. Kelompok yang awalnya zalim namun kemudian menjadi adil.
4. Kelompok yang awalnya adil namun kemudian menjadi zalim.

Ibrahim As, terlalu tinggi kedudukannya untuk memohon imamah yang termasuk kelompok yang pertama atau yang keempat. Dan kini tersisa, dua kelompok (kedua dan ketiga) yang dapat dimasukkan dalam doa Ibrahim tersebut. Namun, Allah Swt menolak salah satu dari keduanya yaitu, kelompok yang awalnya tidak adil kemudian menjadi adil. Kini tersisa, hanya satu kelompok yang memenuhi kualifikasi untuk memegang posisi imamah - mereka yang sama sekali tidak pernah berbuat zalim selama hidupnya, yaitu ma'sum.
Ketiga, Terjemahan literal dari akhir ayat tersebut adalah:
Perjanjianku tidak akan mencapai orang-orang zalim. Perhatikan, Allah tidak berkata, "Orang zalim tidak akan mencapai perjanjianku", karena yang demikian ini bermakna bahwa ia berada di dalam kekuasaan manusia - meskipun ia seorang yang adil - untuk mencapai kedudukan imamah. Kalimat present (mudâre) tidak menyisakan kesalahpahaman, secara jelas menunjukkan bahwa menerima amanat imamah tidak berada dalam pengurusan manusia; urusan ini sepenuhnya berada di tangan Allah secara eksklusif dan Dia memberi kepada siapa yang Dia kehendaki.
Lalu sebagai aturan umum, disebutkan, "Kami telah menjadikan mereka itu sebagai imam yang memberi petunjuk dengan perintah Kami." (Qs.al-Anbiya:73)
Ketika Nabi Musa As menghendaki perdana menterinya untuk membantunya, ia tidak menunjuk seseorang dengan menggunakan otoritasnya sebagai nabi. Ia berdoa kepada Allah Swt: "Dan anugerahkan kepadaku seorang pembantu dari keluargaku, Hârun saudaraku." (Qs.Taha:29-30) Dan Allah berfirman, "Sesungguhnya telah diperkenankan permintaanmu , wahai Musa." (Qs.Taha:36)
Seleksi Ilahia ini diberitakan kepada umat melalui nabi atau imam sebelumnya. Deklarasi ini disebuti nass = spesifikasi; determinasi, pengangkatan pengganti imam oleh nabi atau imam sebelumnya. Seorang Imam sesuai dengan keyakinan Syiah, harus mansus dari Allah, yaitu diangkat oleh Allah untuk kedudukan tersebut.

Mukjizat
Jika seseorang tidak mendengar nass tentang sebuah penuntut imamah, maka satu-satunya jalan untuk memastikan kebenaran klaimnya itu adalah melalui mukjizat.
Secara umum, setiap orang bisa saja mengklaim bahwa ia adalah seorang imam atau khalifah nabi dan ma'sum, namun sebuah mukjizat adalah satu-satunya alat penguji kebenaran dalam hal ini. Jika pengklaim dapat membuktikannya dengan sebuah mukjizat untuk menopang klaimnya, maka tanpa ragu, klaimnya akan mudah diterima oleh umat. Namun jika ia tidak dapat membuktikannya dengan sebuah mukjizat, maka jelas bahwa ia tidak memenuhi kualifikasi atas imamah dan khalifah, dan klaimnya ini adalah sebuah klaim palsu.

Dapat Menjadi Teladan
Praktik yang berlaku secara umum dalam memilih penggantinya (atas perintah Allah) berlaku tanpa intervensi ummat.
Sejarah nabi-nabi tidak menyodorkan satu contoh sebagai pengganti nabi dipilih melalui voting dari pengikutnya. Tidak ada alasan mengapa pengganti Nabi Saw yaitu hukum Allah yang mapan ini harus berubah, Allah berfirman, "...dan kamu sekali-kali tiada akan mendapatkan perubahan pada sunnah Allah." (Qs. al-Ahzab:62)

Alasan-alasan Logis
Alasan yang sama yang membuktikan pengangkatan seorang nabi adalah hak prerogatif Allah, membuktikan dengan kekuasaan yang sama bahwa pengganti nabi juga harus diangkat oleh Allah. Seorang imam atau khalifah; sebagaimana nabi, ditunjuk untuk melaksanakan tugas dari Allah Swt. Jika ia diangkat oleh manusia, loyalitasnya yang pertama tentu saja bukan untuk Allah, melainkan untuk orang-orang yang akan "bersandarkan kepada otoritasnya". Ia akan selalu berupaya untuk mencari keridaan manusia, karena jika mereka menarik kepercayaan mereka dari dirinya, ia akan kehilangan jabatannya. Sehingga ia tidak akan melaksanakan kewajiban agama tanpa ada rasa takut atau selera; pandangannya akan senantiasa dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan politik. Kemudian, tugas dari Allah tentu saja akan terabaikan.
Di samping itu, sejarah Islam menyajikan bukti-bukti melimpah yang menyoroti ajaran-ajaran agama yang ditunjukkan oleh khalifah yang diangkat oleh manusia. Jadi argumen ini tidak hanya bersifat ilmiah, tapi juga sarat dengan bukti-bukti sejarah.
Juga, hanya Allah yang mengetahui keadaan batin (inner feelings) dan pikiran seseorang; tidak ada yang dapat mengetahui tabiat asli seseorang. Boleh jadi seseorang bersikap seolah-olah sebagai orang yang bertakwa dan beriman hanya untuk memberikan kesan kepada kerabat dan koleganya dan bertujuan untuk meraih nikmat duniawi. Contoh-contoh sikap seperti ini banyak ditemukan dalam catatan sejarah. Sebagai misal, kisah Abdul Malik bin Marwan yang meluangkan hampir seluruh waktunya di masjid untuk berdoa dan membaca Al-Qur'an. Ia sedang membaca Al Qur'an ketika kabar tentang kematian ayahnya sampai kepadanya dan orang-orang menantikan untuk berbaiat kepadanya sebagai khalifah baru. Ia kemudian menutup al-Qur'an dan berkata, "Kini saatnya berpisah denganmu!"
Dengan demikian, kualifikasi yang diperlukan untuk menjabat kedudukan sebagai khalifah dan imam hanya dapat diketahui secara hakiki oleh Allah, dan hanya Allahlah yang memiliki hak prerogatif untuk mengangkat seorang imam atau khalifah.

Kema'suman para Imam
Kini, mari kita amati apa yang dikatakan oleh al-Qur'an tentang Ahl al-Bait Nabi Saw.
Sesuai dengan al-Qur'an, 'Ali, Fâtimah, Hasan, Husain adalah orang-orang yang terjaga dari dosa dan ma'sum pada saat Nabi Saw wafat. Ayat Tathir berbunyi sebagai berikut, "...Sesungguhnya Allah bermaksud menghilangkan dosa darimu, wahai Ahl al-Bait dan mensucikanmu sesuci-sucinya." (Qs. al-Ahzab:33)
Secara umum disepakati bahwa keempat nama yang tersebut di atas adalah Ahl al-Bait dan adalah orang-orang yang terjaga dari dosa dan terbebas dari segala nista.
Kalimat sebelumnya dan sesudah ayat ini dialamatkan kepada para istri Nabi dan kata ganti (dâmir) dalam ayat ini merupakan gender muannats. Tetapi kata ganti yang digunakan dalam ayat ini mengandung gender mudzakkar. Alasan mengapa ayat ini ditempatkan dalam bentuk mudâre' tidak terlalu sulit untuk ditebak. Almahrum "Allamah Pooya" menulis dalam catatan kaki No. 1857 dengan terjemahan al-Qur'an oleh S.V.Mir Ahmed Ali.
Kandungan ayat ini; berkenaan dengan kesucian Ahl al-Bait yang telah disucikan oleh Allah Swt, memerlukan sebuah penjelasan yang layak untuk dikomentari dalam konteks yang benar. Kandungan ayat ini merupakan sebuah ayat yang terpisah dengan sendirinya. Pewahyuannya juga terpisah pada peristiwa khusus namun ditempatkan di sini karena ia berhubungan dengan para istri Nabi Saw. Letak ayat ini; jika kita kaji secara seksama, menegaskan bahwa ia memiliki tujuan dan alasan yang signifikan dibaliknya. Ketika mengalamatkan pada awal-awal ayat dalam bentuk gender muannats, ada transisi dalam alamat dari mu'annats kepada mudzakkar. Ketika merujuk secara bersama-sama kepada Rasulullah Saw, pronomina ini juga secara konsisten bercorak muannats. Karena sebuah gabungan antara pria dan wanita, secara umum gender mudzakkar yang digunakan. Transisi seperti ini dalam penggunanaannya didalam gramatika bahasa, memberikan penjelasan bahwa klausa ini sedikit berbeda dengan yang digunakan untuk kelompok yang lain dari yang pertama, dan telah secara serasi ditempatkan di sini untuk menunjukkan perbandingan kedudukan Ahl al-Bait di hadapan para istri Nabi Saw.
Amr bin Abi Salamah yang dibesarkan oleh Rasulullah Saw, meriwayatkan:
"Ketika ayat ini turun, Nabi Saw berada di kediaman Ummu Salamah. Pada saat pewahyuan surat ini: "Sesungguhnya Allah ingin menjauhkan dosa darimu wahai Ahl al-Bait! Dan mensucikanmu sesuci-sucinya", Rasulullah Saw mengumpulkan putrinya Fatimah, putra Fatimah, Hasan dan Husain, dan suaminya, 'Ali, dan menutupi mereka termasuk dirinya, dengan kisa(kain)-nya dan berkata kepada Allah Swt, Wahai Tuhanku, mereka inilah keturunanku! Jagalah mereka dari setiap bentuk kekotoran, dan sucikan mereka sesuci-sucinya.
Ummu Salamah, istri budiman Rasulullah Saw, menyaksikan peristiwa ini dengan penuh takjub, dengan rendah-hati, ia meminta kepada Rasulullah, "Wahai Rasulullah! Dapatkah aku bergabung dengan mereka?" Kemudiam dijawab oleh Rasulullah, "Tidak. Tetaplah ditempatmu, sesungguhnya engkau adalah orang yang memiliki kemuliaan."
Di sini bukan tempatnya menyebutkan referensi-referensi mengenai ayat ini; namun, saya ingin menukil Maulana Wahiduz Zaman, seorang ulama Sunni terkemuka, yang terjemahan dan tafsir Qur'annya beserta bukunya Anwârullughah (sebuah kamus al-Qur'an dan Hadits) adalah di antara salah satu referensi yang diakui. Ia menulis tafsir tentang ayat ini: "Beberapa orang berpikir bahwa ayat ini khusus untuk anggota keluarga yang memiliki hubungan darah dengan Nabi Saw, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain. Penerjemah ini berkata bahwa hadits sahih dan mempunyai sanad yang baik hingga Rasulullah mendukung pendapat ini, karena ketika Rasulullah Saw sendiri mengumumkan bahwa anggota keluarga ini hanya mereka ini (lima orang), maka menerima dan meyakininya menjadi wajib. Satu lagi tanda kebenaran dari pandangan ini adalah bahwa pronomina-pronomina yang digunakan sebelum dan setelah ayat ini adalah mua'annats, sementara dalam ayat ini adalah mudzakkar...'
Kembali ia berkata dalam Anwârul Lughah: " Pandangan yang benar adalah bahwa hanya lima orang yang termasuk dalam ayat tathir ini (Rasulullah, 'Ali, Fâtimah, Hasan dan Husain), meskipun dalam penggunaan Bahasa Arab, istilah Ahl al-Bait juga digunakan untuk para istri. Beberapa orang yang membuktikan ayat ini bahwa kelima orang ini adalah ma'sum dan tanpa dosa. Tapi jika tidak ma'sum, maka tentu saja mereka mahfuz (terjaga dari perbuatan dosa dan salah).
Saya telah menukil dua referensi di atas dan ingin menunjukkan bahwa tidak hanya Itsna 'Asyariyah yang mengklaim pendapat di atas, namun ulama Sunni juga menegaskan klaim ini, sesuai dengan kaidah gramatika bahasa Arab dan hadits-hadits sahih Rasulullah, hanya 'Ali, Fâtimah, Hasan dan Husain yang dimaksud ayat ini, disamping Rasulullah sendiri. Juga, jelas pandangan yang mengatakan bahwa kelima orang ini adalah tanpa dosa, disuarakan oleh ulama Sunni. Nampaknya akhirnya mereka berkata jika mereka tidak ma'sum (secara teori) mereka pasti terjaga dari salah dan dosa (secara praktik).
Ada banyak ayat dan hadits yang membenarkan ismah Ahl al-Bait, tapi karena masalah ruang dan waktu tidak memberikan banyak tempat untuk saya memaparkannya secara lebih detail, meskipun dalam bentuk yang singkat.

Keutamaan 'Ali As
Afdaliyyah (keutamaan) dalam Islam berarti "kelayakan untuk mendapatkan ganjaran yang lebih dari Allah Swt karena amal saleh".
Seluruh kaum muslimin sepakat bahwa superioritas ini tidak dapat diputuskan oleh pandangannya sendiri atau perspektifnya sendiri dan tidak ada jalan lain untuk mengetahuinya kecuali melalui al-Qur'an dan Hadits. Al-Gazali, ulama sunni yang terkenal, telah menulis:
"Hakikat superioritas (afdaliyyah) adalah apa yang ada di hadapan Allah Swt; dan sesuatu yang tidak dapat diketahui kecuali oleh Nabi Saw."
Kebanyakan saudara-saudara Sunni kita percaya bahwa keutamaan itu sesuai dengan kalifah yang berurutan seperti ini, Abu Bakar, lalu 'Umar, kemudian 'Utsmân dan seterusnya 'Ali As.
Akan tetapi keyakinan ini tidak memiliki bukti sama sekali, juga tidak menjadi keyakinan orang-orang Sunni pada masa-masa awal. Selama masa hidup Nabi Saw, kita temukan sahabat-sahabat utama seperti Salmân al-Faris, Abu Dzar al-Ghifari, Migdâd al-Kindi, 'Ammâr bin Yasir, Khabbab bin al-Artt, Jabir bin 'Abdullah al-Ansari, Hudzaifah bin Yamani, Abu Said al-Khudri, Zaid bin Arqâm, dan banyak lagi yang lain yang meyakini bahwa 'Ali As adalah lebih utama di antara seluruh Ahl al-Bait dan para sahabat.
Ahmad bin Hanbal pernah sekali waktu ditanya oleh anaknya tentang pandangannya mengenai siapa yang lebih superioritas. Ia berkata: "Abu Bakar, 'Umar dan 'Utsmân". Dan anaknya bertanya lagi: "Dan bagaimana dengan 'Ali bin Abi Tâlib?" Ia menjawab: "Ia dari Ahl al-Bait. Ia tidak dapat dibandingkan dengan yang lain."
Ubaidullah Amristari menulis dalam bukunya yang populer Arjahul Matâlib: "Karena keutamaan bermakna: memiliki lebih banyak ganjaran; buktinya hanya dapat diketahui melalui hadits (Sunnah) Nabi Saw....dan jika terdapat hadits-hadits yang saling bertentangan satu-sama lainnya, maka hadits yang sahih harus diterima dan hadits yang kuat harus dibedakan dengan hadits yang lemah."
"Al-Allamah ibn 'Abdil Barr menulis dalam kitabnya al-Isti'âb ihwal ahadits (plural dari hadits) yang telah dinukil tentang keutamaan Amirul Mukminin 'Ali As, bahwa: Imam Ahmad bin Hanbal, al-Qadi Ismâ'il ibn Ishâq, Imam Ahmad 'Ali bin Su'aib an-Nasa'i dan al-Hafiz Abu 'Ali an-Naisapuri, telah berkata: " Tidak ada hadits yang datang dengan mata rantai hadits (sanad) yang baik tentang keutamaan para sahabat melebihi riwayat yang menukil keutamaan 'Ali bin Abi Tâlib As".
Oleh karena itu, jika kita melihat keutamaan eksklusif Amirul Mukminin 'Ali dan berpikir tentang alasan yang menyebabkan ia dapat meraih sedemikian tinggi ganjaran di hadapan Allah Swt, kita akan mengakui bahwa hanya dialah yang memiliki keutamaan setelah Nabi Saw.
Penulis dahulu adalah seorang Sunni; dan ia telah membahas masalah ini secara lebih jeluk pada bagian ketiga, halaman 103-516, tentang buku yang dimaksud di atas.
Jelasnya, saya tidak dapat menyediakan di sini daftar ayat-ayat dan hadits-hadits mengenai keutamaan 'Ali As. Akan memadai untuk berkata bahwa ada 86 ayat-ayat al-Qur'an yang memuji keutamaan 'Ali As dan hadits-hadits tentang keutamaannya tidak dapat dihitung.
Lalu, harusnya lebih jelas bahkan bagi seorang pengamat amatir bahwa 'Ali adalah insan yang paling utama di antara seluruh kaum muslimin selepas Nabi Saw.

Pengangkatan 'Ali
Selepas memberikan catatan singkat tentang ismah dan afdaliyyah 'Ali bin Abi Talib As, kini tiba saatnya pertanyaan terpenting ihwal pengangkatannya oleh Allah Swt.
Dalam beberapa kesempatan, Nabi Saw telah mendeklarasikan bahwa 'Ali adalah pengganti dan khalifah setelah beliau.
Hakikatnya bahwa deklarasi terbuka yang pertama kali dari kenabian dilakukan dalam berbagai kesempatan ketika deklarasi terbuka yang perdana ihwal kekhalifaan 'Ali dibuat. Tepatnya pada waktu "Da'wah Dzu l 'Asyira"
Ketika ayat: (Dan berilah peringatan kepada kerabatmu yang terdekat) diturunkan, Nabi Saw memerintahkan 'Ali As untuk menyediakan makanan dan mengundang anak-keturunan 'Abdul Muttâlib (Bani Abdul Muttâlib) sehingga Nabi dapat menyampaikan firman Allah Swt kepada mereka. Selepas acara tersebut, Nabi Saw bermaksud untuk berbicara kepada mereka, akan tetapi Abu Lahab mencegahnya dengan berkata: "Sesungguhnya, saudaramu ini telah lama memperdayakanmu!".
Orang-orang yang hadir ketika itu setelah mendengar ucapan Abu Lahab ini, membubarkan diri.
Pada hari berikutnya, Rasulullah Saw kemudian mengundang mereka lagi pada hari berikutnya. Setelah perjamuan, beliau bersabda kepada mereka: "Wahai Bani 'Abdul Muttalib, Demi Allah, Aku tidak kenal seorang pun dari bangsa Arab yang datang kepada umatnya lebih baik dari apa yang aku bawa untuk kalian. Aku datang membawa sesuatu untuk kebaikan kalian baik di dunia maupun di akhirat. Aku telah diperintahkan oleh Allah Swt untuk mengajak kalian kepada-Nya. Oleh karena itu, siapa di antara kalian yang ingin membantuku dalam urusan ini sehingga ia akan menjadi saudaraku (akhi), pelaksana wasiatku (wasiyyi) dan khalifah sepeninggalku?"
Panggilan ini adalah panggilan pertama ketika Rasulullah Saw berdakwah secara terbuka kepada mereka dalam hubungannya untuk menerima beliau sebagai utusan dan Rasul Allah Swt; beliau juga menggunakan kalimat: "akhi wa wasiyyi wa khalifati" - "saudaraku, pelaksana wasiatku, khalifahku" - dengan alasan bahwa dialah yang akan membantunya dalam menunaikan misi Rasulullah Saw. Ketika itu mereka semua diam dan tidak menjawab seruan Nabi serta mundur teratur menghadapi seruan ini, kecuali seorang yang paling muda di antara mereka yaitu 'Ali bin Abi Talib. 'Ali bin Abi Talib berdiri dan berkata: "Aku bersedia menjadi penolongmu, wahai Rasulullah."
Nabi Saw kemudian menaruh tangannya di balik leher 'Ali dan berkata: "Inna hadza akhii wa wasiyyi wa khalifati fikum, fasma'u lahu wa ati'u - Sesungguhnya dia ini adalah saudaraku, penggantiku dan khalifahku di antara kalian; dengarkan dan taatilah dia -."

Ayat Wilayah
Selain itu, pada banyak kesempatan, banyak ayat-ayat dan hadits-hadits yang mengingatkan kaum musliminin bahwa 'Ali adalah wali mereka setelah Nabi Saw. Salah satu ayat yang paling penting berkenaan dengan wilayah Imam 'Ali adalah, "Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan salat, dan menunaikan zakat, sedang mereka dalam keadaan ruku'." (Qs. al-Maidah:55)
Para ulama, baik Sunni atau Syi'ah, sepakat bahwa ayat ini diturunkan sebagai penghormatan keapda Imam 'Ali. Ayat ini secara gamblang menunjukkan bahwa hanya ada tiga wali bagi kaum mukmin. Pertama, Allah Swt, kedua, Rasul-Nya, ketiga, 'Ali (dan sebelas Imam setelahnya).
Abu Dzar al-Ghifari berkata bahwa suatu hari ia sedang melaksanakan salat bersama Rasulullah Saw ketika seorang pengemis datang ke Masjid Nabi. Tidak ada seorang pun yang memenuhi permintaanya. Pengemis itu menengadahkan tangannya ke arah langit dan berkata: "Ya Allah, Engkau sebagai saksi, aku datang ke Masjid Nabi dan tidak seorang pun yang memberikan sesuatu kepadaku". 'Ali yang sedang ruku' ketika itu, menunjukkan jari manisnya yang dilingkari cincin kepada pengemis itu. Pengemis itu datang mendekat dan mengambil cincin itu, kemudian pergi. Kejadian ini terjadi di hadapan Nabi yang menengadahkan wajahnya ke langit dan berdoa:
"Tuhanku, saudaraku Musa telah memohon kepada-Mu untuk dilapangkan dadanya (sadr) dan membuat pekerjaannya menjadi mudah, menghilangkan kelunya lidah sehingga orang dapat memahami perkataanya, lalu Engkau menunjuk seorang saudara dari kerabatnya, sebagai wasir, dan menguatkan punggungnya dengan kehadiran Harun, dan menjadikan Harun sebagai mitra kerjanya. Tuhanku! Engkau berkata kepada Musa, Kami akan menguatkan tanganmu dengan saudaramu. Tidak seorang pun yang kini dapat berhubungan dengan kalian berdua....Tuhanku! Aku adalah Muhammad dan Engkau telah memberikanku keutamaan, Lapangkan dadaku, jadikan pekerjaan mudah bagiku, dan dari kerabatku, tunjuk 'Ali sebagai wasirku. Kuatkan punggungku dengannya." Belum lagi Rasulullah Saw menyelesaikan doanya, Jibril As datang membawa ayat yang disebutkan di atas.
Di sini bukan tempatnya untuk menyebutkan seluruh sumber rujukan dari hadits ini (hadits ini berjumlah ratusan). Ayat ini dan doa Rasulullah Saw secara bersamaan dan terpisah menunjukkan pengangkatan 'Ali sebagai Wali kaum musliminin selepas Rasulullah Saw.

Deklarasi Resmi Ghadir Khum
Seluruh deklarasi-deklarasi yang dinyatakan sebelumnya dapat diklasifikasikan sebagai pendahuluan dari deklarasi resmi Ghadir Khum.
Peristiwa ini telah disepakati oleh para sejarawan dan ulama dari dua madzhab. Di sini kami akan menunjukkan betapa persiapan dan preparasi besar dibuat untuk mendeklarasikan 'Ali sebagai pengganti Nabi Saw.
Ghadir Khum (Telaga Khum) terletak di sebuah tempat bernama Jufah, tepatnya berada di antara kota Mekkah dan Medinah. Ketika Nabi Saw dalam perjalanan ke pulang, selepas menunaikan ibadah haji terakhir, malaikat Jibril datang membawa perintah penting Allah Swt, "Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu) berarti kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia..." (Qs. al-Maidah:67)
Nabi Saw segera berhenti dan memerintahkan seluruh orang-orang yang telah berada di depan untuk kembali, dan beliau menantikan hingga orang itu berkumpul. Setelah orang-orang berkumpul, sebuah mimbar didirikan dengan meletakkan pelana unta sebagai bantalannya; duri-duri akasia telah disapu. Nabi Saw menaiki mimbar dan menyampaikan khutbah yang panjang.
Hari itu adalah hari yang amat terik; orang-orang yang hadir terpaksa harus menarik jubah-jubah mereka dari kepala hingga kaki.
Nabi Saw menyampaikan khutbah penting beliau kepada umat sebagai berikut:
"Ayyuhannas!" Ketauhilah bahwa Jibril telah datang kepadaku berulang kali membawa perintah-perintah dari Allah Swt, Sang Maha Kasih, bahwa aku harus berhenti di tempat ini dan memberitahukan kepada setiap orang, hitam dan putih, bahwa 'Ali, putra Abi Talib, adalah saudaraku dan wasi (pengganti) dan khalifah, dan imam setelahku. Kedudukannya bagiku laksana Harun bagi Musa, hanya saja tidak ada nabi setelahku, dan ia adalah wali kalian di sisi Allah dan Nabi-Nya.
Ayyuhannas! Sesungguhnya Allah telah menunjuk 'Ali sebagai Imam dan Amir kalian. Ketaatan kepadanya adalah wajib bagi seluruh kaum Muhajirin dan Ansar, dan mereka yang mengikutinya dengan baik; dan para penghuni kota dan kaum Badui, bangsa Arab dan 'Ajam, seorang merdeka dan budak sahaya, orang tua dan muda, besar dan kecil, hitam dan putih. Perintahnya harus ditaati, perkataannya harus dibinding, dan dusturnya bersifat wajib bagi seluruh kaum Mukminin yang meyakini ke-Esaan Tuhan. Laknat bagi mereka yang menentangnya dan rahmat bagi mereka yang mengikutinya, dan meyakininya adalah seorang Mukmin sejati.
"Ayyuhannas!" Sekarang adalah saat-saat terakhir aku berdiri pada perhelatan ini. Oleh karena itu, dengarkan, taati dan berserahlah kepada ketentuan Tuhanmu.
Sesungguhnya, Allah adalah Rabb dan Tuhanmu; kemudian setelah-Nya, Nabi-Nya, Muhammad, yang berkhutbah di hadapan kalian adalah mawlamu; kemudian setelahku, 'Ali adalah mawla kalian, sesuai dengan ketentuan Allah Swt. Kemudian setelah dia, Imamah akan terus berlanjut melalui anak-keturunanku lewat keturunan 'Ali hingga hari kalian bertemu Allah dan Nabi-Nya.
"Ayyuhannas!" Renungkanlah al-Qur'an dan pahami ayat-ayatnya; renungkan ayat-ayat muhkamnya dan jangan kalian melangkah ke ayat-ayat mutasyabih, tidak ada satu pun dari kalian yang dapat menjelaskan peringatannya dan menguraikan kepadamu maksudnya kecuali orang ini ('Ali) yang tangannya aku angkat dihadapanku. Dan Aku berkata kepada kalian bahwa barang siapa yang menjadikan aku sebagai Mawlanya maka 'Ali adalah Mawlanya; dan dia 'Ali putra Abu Talib, saudaraku, wasiku; Wilayahnya telah diwajibkan oleh Allah, Sang Maha Kuasa, Maha Tinggi.

Para Imam yang lain secara singkat telah ditunjuk dalam khutbah ini. Dan mereka disebutkan secara panjang lebar dalam hadits-hadits yang lain.
Misalnya, pada satu kesempatan ditujukan kepada Imam Husain, Rasulullah Saw berkata: "Engkau adalah Imam, anak dari seorang Imam, saudara seorang Imam, sembilan dari keturunanmu akan menjadi Imam, yang kesembilan adalah Qaim mereka."
Bahkan seoarang pengamat sambil lalu tidak akan mengabaikan kenyataan ini, masalah ini adalah masalah yang amat-sangat penting bagi Islam dan atas hal ini mengapa Nabi Saw, di bawah perintah Tuhan, membuat seluruh persiapan untuk memenuhi tujuan ini. Menyampaikan kepada mereka pada hari yang sangat terik di bawah siraman matahari siang, beliau naik di atas mimbar untuk menyampaikan pengumuman penting ini.
Pertama-tama, beliau mengabarkan kepada hadirin akan kepergian beliau yang tidak lama lagi dan meminta mereka untuk menyaksikan bahwa beliau telah menjalankan tugas-tugasnya. Lalu beliau bertanya: "Apakah aku lebih memiliki wilayah atas diri kalian melebihi wilayah atas diri kalian sendiri?". Seluruh hadirin berseru bahwa beliau memiliki hak atas diri mereka melebihi hak mereka atas diri mereka sendiri. Nabi Saw berkata: "Barang siapa yang menjadikan aku Mawla, maka 'Ali adalah Mawlanya." Pada akhir khutbah, beliau memanjatkan doa untuk 'Ali, "Wahai Allah!" Cintailah orang yang mencintainya, dan musuhi orang yang bermusuhan dengannya; Bantulah orang yang menolongnya, dan tinggalkan orang yang meninggalkannya."
Ketika acara pelantikan selesai, ayat ini diturunkan, "...Hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah kuridai Islam itu jadi agama bagimu...."(Qs. al-Maidah:3)
Komunikasi Ilahi ini secara jelas menunjukkan bahwa karena penunjukan imamah 'Ali, agama telah disempurnakan, rahmat dan anugerah Ilahi dilengkapkan, dan Islam diterima oleh Allah Swt.
Atas kedatangan berita gembira dari firdaus ini, kaum Mukminin menyampaikan ucapan selamat kepada 'Ali di hadapan Nabi Saw dan banyak pujangga merangkai syair pada peristiwa bersejarah ini. Seluruh kenyataan ini tercatat dalam kitab-kitab sunnah sebagaimana akan terlihat pada halaman selanjutnya.