Ratu Balqis menemukan surat di samping singgasannya. Ia mengambil dan membacanya. Saat itu ia tahu bahwa surat tersebut ditulis seseorang yang agung dan berisikan permasalahan yang amat berat. Segera saja ia mengumpulkan orang-orang kerajaannya dan memusyawarahkan isi surat itu. Mereka berkata, “Kita punya kekuatan yang tangguh dan mampu berperang melawan mereka. Kita sama sekali tak akan pernah menyerah.”
Namun Ratu Balqis lebih cenderung memilih jalan damai ketimbang berperang. Ia sedar bahawa peperangan hanya akan mengakibatkan kehancuran dan kehinaan. Selama masih dapat diselesaikan lewat jalan damai, pikirnya, tentu tidak perlu mengobarkan api peperangan. Ia memutuskan untuk mengirim hadiah yang amat berharga kepada Sulaiman. Setelah itu, ia akan menanti kabar yang dibawa paa utusannya.[1]
Dalam musyawarah itu Ratu Balqis berkata, “Dengan mengirim hadiah kepada Sulaiman, aku hendak menguji. Jika benar seorang nabi, tentu ia tak akan cenderung pada dunia dan tak akan menerima hadiah kita. Namun jika seorang raja, niscaya ia akan menerimanya. Nah, bila ia memang seorang nabi, kita tak punya kekuatan dan kemampuan untuk menghadapinya. Kita harus tunduk dan menyerah kepadanya.”
Ratu Balqis memerintahkan orang-orangnya memasukkan berbagai jenis permata berharga ke dalam peti untuk dihadiahkan kepada Nabi Sulaiman, seraya mengatakan kepada mereka, “Bawalah permata ini kepada Sulaiman dan hadiahkanlah kepadanya”.
Sebagian orang mencatat, Balqis mengirimkan Sulaiman masing-masing 500 budak lelaki dan perempuan. Para budak wanita dikenakan pakaian lelaki sedangkan budak lelaki dikenakan pakain wanita. Di telinga budak lelaki diberi anting-anting dan tangannya diberi gelang. Sedangkan di kepala para budak perempuan diletakkan topi yang indah. Ia menegaskan dalam suratnya, “Jika engkau benar-benar seorang nabi, pasti mampu membedakan mana budak lelaki dan mana budak perempuan.”
Mereka dimasukkan ke kendaraan yang dihiasi emas yang mengangkut batu permata dalam jumlah cukup besar.
Lalu ia (Ratu Balqis) berkata kepada utusan khususnya, “Begitu sampai, lalu engkau melihat wajah Sulaiman dalam keadaan marah, ketahuilah bahwa ia seorang raja. Jika menyambutmu dengan ramah dan muka manis, ketahuilah ia seorang nabi.”
Utusan Ratu Balqis penguasa Saba beserta rombongan akhirnya sampai di istana Nabi Sulaiman. Mereka segera menyerahkan semua hadiah yang dibawa.
Namun dikarenakan tujuan Nabi Sulaiman as adalah menyelamatkan mereka secara maknawi, maka beliau as sama sekali tidak terpesona gemerlap hadiah yang dibawa. Tatkala beliau as menyaksikan mereka dan berbagai hadiah yang dibawa, dengan tegas beliau as berkata: “Apakah (patut) kamu menolong aku dengan (menghadiahkan) harta kepadaku? Apa yang diberikan Allah kepadaku lebih baik daripada apa yang diberikan-Nya kepadamu; tetapi kamu merasa bangga dengan hadiahmu.” (al-Naml:36)
Kemudian Nabi Sulaiman as berkata kepada utusan khusus Ratu Saba: “Kembalilah kepada mereka kami akan mendatangi mereka dengan balatentara yang tidak kuasa mereka melawannya dan pasti kami akan megusir mereka dari negeri itu sebagi orang-orang bina dan mereka dan menjadi tunduk patuh.” (al-Naml:37)
Utusan khusus Ratu Balqis beserta rombongannya kembali ke Yaman dengan membawa kembali hadiah yang dibawa.
Mereka menceritakan kebesaran keagungan dan kekuatan Nabi Sulaiman as kepada ratu.
Ratu Balqis mau tak mau harus tunduk dan menyerah kepada perintah Nabi Sulaiman as (untuk mengesakan Alah). Demi menyelamatkan diri dan rakyatnya, tak ada cara lain kecuali selain bergabung dengan umat Nabi Sulaiman as. Kemudian Ratu Balqis bersama para pembesar kerajaan meninggalkan Yaman dan bertolak menuju Syam (Syiria) untuk menemui Nabi Sulaiman as. Ia ingin melihat dari dekat sekaligus meneliti pribadi dan karakter Nabi Sulaiman as.
Tatkala mendapat kabar tentang keberangkatan Ratu Balqis dan orang-orangnya menuju Syam (Syiria) Nabi Sulaiman as berkata kepada orang-orang dekatnya, “Siapakah di antara kalian yang mampu mendatangkan singgasana Ratu Saba sebelum ia datang kemari.”
‘Ifrît (salah satu pemimpin bangsa jin) berkata, “Saya akan mendatanggkannya untuk Anda sebelum Anda bangkit dari duduk.” Namun Ashif bin Barkhiya dengan menggunakan ilmu dari kitab samawi berkata, “Saya akan mendatangkan singgasana itu sebelum mata anda berkedip.”
Tak lama, Nabi Sulaiman as menyaksikan singgasana Ratu Saba sudah berada di sampingnya. Segera saja beliau as bersyukur kepada Allah dan berkata: “Ini termasuk karunia Tuhanku untuk menguji aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya).”
Kemudian Nabi Sulaiman as memerintahkan untuk merubah sebagian bentuk singgasana. Itu dimaksudkan agar ketika Balqis datang dan dipertanyakan apakah ini singgasannya, Nabi dapat melihat bagaimana jawabannya.
Tak lama, Balqis beserta rombongannya datang menemui Nabi Sulaiman. Seseorang menunjuk ke arah singgasana itu dan bertanya, “Apakah singgasanamu seperti ini?” Balqis dengan cerdik menjawab, “Seakan-akan ini adalah singgasana itu.”
Akhirnya Balqis menyadari bahwa itu adalah singgasananya yang didatangkan lebih awal dari kedatangannya berkat mukjizat. Akhirnya ia pun tunduk pada kebenaran dan menerima agama Nabi Sulaiman as. Pada dasarnya, jauh sebelumnya ia telah menyaksikan tanda-tanda kenabian Nabi Sulaiman as. Alhasil, ia memeluk agama yang dibawa Nabi Sulaiman as. Menurut kabar yang termasyhur, Nabi Sulaiman as akhirnya menikahi Ratu Balqis. Keduanya bersama-sama membimbing dan mengarahkan masyarakat menuju peribadahan kepada Tuhan yang Mahaesa.
Pada masa Ayatullah Burujurdi, diadakan rencana untuk membangun sebuah masjid dan pusat kajian Islam di kota Hamburg, Jerman.
Ayatullah Burujurdi mengutus seseorang ke Hamburg untuk membeli tanah bagi bangunan masjid itu. Orang tersebut berangkat dan membeli sebidang tanah. Lalu ia kembali menemui Ayatullah Burujurdi. Namun sebagian orang memberitahu Ayatullah Burujurdi bahwa letak tanah yang dibeli itu kurang layak dan kurang bagus.
Kemudian Ayatullah Burujurdi berkata kepada utusan yang membeli tanah itu, “Saya dengar bahwa letak tanah yang Anda beli itu kurang layak dan kurang bagus. Ini amat tidak sesuai bagi sebuah masyarakat yang cenderung memandang sesuatu dari sisi lahiriah. Jangan sampai di mata mereka, kita termasuk orang-orang yang rendah dan hina. Di sana terdapat berbagai agama lain yang bangunan tempat ibadahnya cukup megah dan mewah. Karena itu tidak layak bagi kita untuk mendirikan bengunan yang lebih rendah dari bangunan mereka.”
Orang itu menjawab, “Wahai Tuan, apakah Anda menginginkan saya membeli tanah di atas kota Hamburg dan di tepi pantai? Yempat di sana amat mahal.”
Beliau menjawab, “Ya, belilah tanah di tempat yang layak. Saya akan menjamin dananya. Apakah Anda mengira bahwa Anda membeli tanah itu untuk pribadi saya? Tidak, tempat itu untuk Imam Zaman (Imam Mahdi). Karenanya, ia harus berada di kawasan yang terhormat agar jangan sampai muslimin dihina dan dilecehkan.”
Kemudian dibangunlah sebuah masjid agung di kota Hamburg di atas sebidang tanh yang letaknya cukup strategis dan luasnya lebih kurang 4.000 meter persegi. Masjid itu terletak di tepi sebuah danau, “Saya telah melihat masjid itu dan sempat shalat di dalamnya. Masjid itu benar-benar megah dan indah. Letaknya yang di tepi danau menjadikannya semakin bertambah indah dan mentereng .”
Almahum Ayatullah Sayyid Jawad Burujurdi (saudara Allamah Bahr al-‘Ulûm), kakek ketiga dari Ayatullah Burujurdi, memiliki kepribadian yang agung dan disegani di kawasan Iran bagian Barat dan kota Brujurd. Beliau amat bersungguh-sungguh dalam mengurusi dan membantu berbagai keperluan orang-orang miskin. Pada tahun 1242 Hijriah Qamariah, beliau wafat di kota Brujurd dan kuburnya tidak pernah kosong dari orang-orang mukmin yang menziarahinya.
Ayatullah Burujurdi bercerita bahwa semasa beliau tinggal di kota Brujurd, pada suatu malam, beliau bermimpi memasuki sebuah rumah yang dikatakan orang-orang di dalamnya ada Rasulullah saww.” Lalu saya masuk ke dalamnya dan memberi salam kepada orang yang ada di situ. Saya duduk di salah satu tempat kosong di ujung majelis. Saya menyaksikan Rasulullah saww tengah duduk di tengah majelis, sementara para ulama dan para zahid (orang-orang zuhud) duduk di kanan-kiri beliau saww. Diantara mereka yang duduknya paling dekat dengan Rasulullah adalah Sayyid Jawad. Di sini saya merenungkan, padahal diantara ulama itu, masih ada yang lebih alim dan lebih zuhud dari Sayyid Jawad. Lalu, mengapa Sayyid Jawad lebih dekat kepada Rasulullah ketimbang yang lain? Tiba-tiba Rasulullah saww bersabda, ‘Sayyid Jawad lebih giat dari yang lain dalam mengurusi masyarakat dan memberi jawaban positif pada mereka yang membutuhkan bantuan!’”
Seorang sahabat Ayatullah Burujurdi mengatakan dirinya pernah berada di rumah Ayatullah Burujurdi dan duduk bersama beliau. Di luar rumah terdapat sebuah majelis Di situ, seseorang dengan suara keras berkata, “Marilah kita bersalawat demi keselamatan Imam Zaman dan Ayatullah Burujurdi.” Saat itu pula beliau berjalan ke arah pintu dan memukulkan tongkatnya dengan keras ke pintu. Orang-orang yang ada di halaman rumah merasa takut dan khawatir, jangan-jangan ada sesuatu yang tidak berkenan di hati beliau. Beberapa orang bergegas masuk ke rumah untuk melihat apa sebenarnya yang terjadi.
Ayatullah Burujurdi berkata, “Siapakah yang menyejajarkan namaku dengan nama mulia Imam Zaman. Usirlah orang itu dan jangan kalian izinkan datang lagi ke rumah ini.”
Suatu hari, raja Arab Saudi datang ke Iran dan mengirim utusan utuuk menyerahkan bermacam-macam hadiah kepada Ayatullah Burujurdi. Ayatullah Burujurdi hanya menerima sebagian hadiah; beberapa al-Quran dan secarik kain Kabah, seraya mengembalikan yang lainnya. Dengan hadiah-hadiah itu, si Raja berharap dapat bertatap muka dengan Ayatullah Burujurdi (sebagaimana disampaikan utusannya). Tapi Ayatullah Burujurdi menolaknya. Tatkala ditanya soal alasan penolakannya, beliau menjawab, “Orang ini (Raja Arab Saudi), jika datang ke Qum, tidak berziarah ke makam suci Sayyidah Fathimah al-Ma’shumah. Ini jelas sebuah penghinaan terhadap beliau. Saya sama sekali tak dapat menerima hinaan ini.”
Dua orang ‘abid (sebut saja bernama Ahmad dan Hamid) bersama-sama tinggal di sebuah gua di atas gunung. Keduanya sibuk beribadah kepada Allah. Hubungan persahabatan keduanya begitu dekat. Seolah-olah keduanya merupakan satu jiwa.
Suatu hari Hamid turun gunung menuju kota untuk membeli daging. Sesampainya di dekat penjual daging, ia melihat seorang wanita cantik berdiri di depan penjual. Pandangannya tertuju kepada wanita cantik itu. Ia kontan dikuasai hawa nafsu sehingga terjalinlah hubungan yang melanggar syariat. Sering kali ia keluar masuk rumah wanita itu.
Perbuatan tersebut berlangsung selama berhari-hati. ‘Abid lainnya, Ahmad, menunggu kedatangan sahabatnya kembali ke gua untuk melanjutkan ibadahnya. Namun ia tidak mendapat kabar soal keadaan sahabatnya itu. Terpaksa ia pun turun kekota untuk mencari sahabatnya yang sudah lama tidak kembali ke gua. Sewaktu memasuki kota dan menanyakan ke sana ke mari, ia tahu bahwa sahabatnya itu telah menyimpang dan berbuat dosa.
Ahmad seorang ‘abid yang tidak kaku. Namun punya hati yang hidup dan pikiran yang terang. Ketimbang menjauhi Hamid, ia memikirkan cara untuk menyelamatkannya dari dosa. Ia memperoleh informasi bahwa Hamid berada di rumah wanita itu. Demi menjumpai Hamid, ia mendatangi rumah wanita itu. Benar, Hamid berada di rumahnya. Dengan penuh rasa gembira, ia mendekati Hamid dan memeluknya serta menanyakan keadaannya. Dengan penuh rasa malu. Hamid berkata, “Siapa kamu? Aku tidak mengenalmu?”
Ahmad menjawab, “Hai saudaraku, aku tahu peristiwa yang menimpamu. Aku amat menyukaimu dan kamu adalah orang yang paling mulia di hatiku. Bagaimana mungkin aku dapat berpisah darimu? Marilah kita kembali ke tempat kita semula.”
Hamid tertarik dengan ajakan Ahmad. Ia pun bersedia kembali bersama Ahmad ke gua untuk bertobat dengan sebenar-benarnya dan menjauhi dosa.
Dengan demikian, Ahmad―dengan cara yang indah―telah melaksanakan tugasnya sebagai sahabat. Ia telah menyelamatkan sahabatnya itu.. Apakah ada cara yang lebih baik dari ini? Ataukah Hamid dibiarkan tanggelam dan hanyut dalam dosa dan sengsara?
Allah Swt memfirmankan Nabi Daud as untuk menemui Nabi Danial as dan menyampaikan kepadanya: Engkau sekali berbuat dosa (yakni meninggalkan yang utama [tarkul aulâ]) kepada-Ku, lalu Aku ampuni, lalu untuk keduakalinya engkau berbuat dosa, dan Aku pun mengampunimu, untuk ketigakalinya engkau berbuat dosa kepada-Ku, dan Aku tetap mengampunimu, nam«n sekiranya engkau berbuat dosa untuk yang keempat kali, Aku tak akan mengampunimu.
Nabi Daud as berangkat menemui Nabi Danial as dan menyampaikan firman Allah tersebut. Kemudian Nabi Danial as berkata kepada Nabi Daud as, “Hai Nabi Allah, engkau telah menyampaikan tugasmu.”
Tengah malam, Nabi Danial as berdoa dan bermunajat kepada Allah seraya berkata, “Ya Allah, Nabi-Mu, Daud as telah menyampaikan firman-Mu kepadaku; yang jika aku berbuat dosa untuk keempat kalinya, Engkau tak akan mengampuniku. Maka aku bersumpah demi kemuliaan-Mu, sekiranya Engkau tidak menjagaku, maka aku akan bermaksiat kepada-Mu, bermaksiat kepada-Mu, bermaksiat kepada-Mu.”
Benar. Meninggalkan dosa jelas berat dan sulit. Karennya, untuk itu harus memohon bantuan dan petolongan Allah Swt ini sebagimana tercantum dalam al-Quran: “Dan jika tidak Engkau hindarkan dariku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka berbuat dosa) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.” (Yûsuf: 32) Juga dalam surat lainnya: Sesungguhnya wanita itu telah berkeinginan (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun berkeinginan untuk (melakukannya) dengan wanita itu andaikata ia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. (Yûsuf: 24)
Ya, tatkala Yusuf akan diperdaya hawa nafsunya dan menghadapi keadaan yang menyeretnya ke lembah dosa, burhân Allah (yakni ilmu iman dan pengetahuan), maqam ishmah dan kenabiannya serta permohonan pertolongannya kepada-Nya, menjadikannya selamat dari semua itu.
Menurut riwayat saat itu, terdapat sebuah patung yang dijadikan sesembahan isteri Aziz (Zulaikha). Tiba-tiba pandangan Zulaikha tertuju pada patung itu. Ia merasa malu hati dan berusaha menutupi patung itu dengan sehelai kain. Yusuf yang menyaksikan peristiwa ini merasa heran dan berkata, “Kamu merasa malu pada patung yang tak punya akal dan perasaan ini. Lalu, bagaimana mungkin aku tidak merasa malu kepada Tuhanku yang melihat segala perbuatanku?”
Bakkarah keturunan Hilali adalah seorang wanita tegar dan pemberani yang tinggal di Madinah. Ia pendukung setia Imam Ali bin Abi Thalib. Berbagai musibah dan bencana yang menimpanya menjadi tua dan buta. Namun ia memiliki hati yang terang dan muda. Suatu hari, tatkala Muawiyah yang sedang berada di puncak kekuasaannya datang ke Madinah yang mengadakan mejelis pertemuan, Bakkarah menghadirinya.
Terjadilah dialog antara dirinya dengan Muawiyah.
Muawiyah, “Hai bibi! bagaimana keadaanmu?”
Bakkarah, “Baik, wahai pemimpin!”
Muawiyah, “Waktu telah membuatmu menderita.”
Bakkarah, “Benar, waktu memiliki tinggi dan rendah; orang yang berusia panjang akan menjadi tua, dan orang yang mati akan musnah.”
Amr bin ‘Ash, penasihat Muawiyah, juga hadir di majelis itu. Ia ingin menjadikan Muawiyah memusuhi wanita itu. Ia berkata, “Demi Allah, wanita ini telah melantunkan syair yang menghinamu dan memuji Ali bin Abi Thalib.” Kemudian ia melantunkan syair yang dimaksud.
Marwan juga hadir dalam majelis itu. Ia melantunkan syair lain yang lagi-lagi dinishahkan kepada wanita itu. Begitu pula dengan Said bin ‘Ash yang berkata, “Demi Allah, Bakkarah telah melantunkan syair-syair ini (pujian untuk Ali bin Abi Thalib dan kutukan kepadamu).” Ia melantunkan syair yang dimaksud.
Kemudian Muawiyah mengutuk dan menghina Bakkarah.
Dengan penuh keberanian, Bakkarah menjawab, “Hai Muawiyah! Sepak terjangmu telah membuat kedua mataku buta, lisanku kaku. Demi Allah! Aku telah melantunkan syair-syair itu dan tak perlu aku tutup-tutupi darimu.”
Muawiyah tertawa dan berkata, “Sekalipun demikian, aku tak akan menahan diriku untuk berbuat baik kepadamu. Katakanlah kepadaku, apa keperluanmu agar aku dapat memenuhinya.”
Bakkarah menjawab, “Sekarang ini aku tidak membutuhkan sesuatu darimu.” Kemudian ia meninggalkan majelis dengan penuh kewibawaan dan keagungan. Ia melenggang tanpa menghiraukan sedikitpun para budak uang yang berkerumun di sekeliling Muawiyah.
Sejujurnya, darimanakah munculnya ketegaran dan keberanian jiwa wanita tua tersebut? Semua itu tak lain karena ia digembleng dan dididik dalam madrasah Imam Ali bin Abi Thalib.
Pada ritual ibadah haji, seorang pengikut setia dan murid teladan Imam Ja’far al-Shadiq bernama Abu Basyir ikut bersama beliau menunaikan ibadah haji. Ia dan Imam Ja’far al- Shadiq bersama-sama mengelilingi (tawaf) Kabah.
Saat itu Abu Basyir berkata kepada Imam al-Shadiq, “Apakah Allah akan mengampuni semua orang yang jumlahnnya cukup banyak ini, yang datang guna melaksanakan ibadah haji?”
Imam Ja’far al-Shadiq menjawab, “Hai Abu Basyir, sebagian besar orang-orang yang engkau saksikan ini adalah kera dari babi.”
Abu Basyir bertanya, “Tunjukkanlah kepadaku hakikat mereka.” Lalu Imam Ja’far al-Shadiq mengusapkan kedua telapak tangan beliau ke kedua mata Abu Basyir, seraya mengucapkan beberapa kalimat. Tiba-tiba Abu Basyir melihat sebagian besar mereka yang mengeliligi Kabah adalah kera dan babi. Ia merasa takut. Lalu Imam Ja’far al-Shadiq kembali mengusapkan dua telapak tangannya ke kedua mata Abu Basyir. Sekonyong-konyong ia pun kembali melihat mereka secara normal. Kemudian beliau berkata, “Jangan khawatir, engkau bersamaku di surga. Bergembiralah, engkau tidak termasuk golongan penghuni neraka. Demi Allah, tiga orang, bahkan dua orang, bahkan seorang dari kalian tak akan masuk neraka.”
Seorang wanita cerdik menikahkan puterinya. Di malam pernikahan, tatkala hendak mengantarkan puterinya ke rumah suaminya, ia memanggilnya dan memberi pesan kepada sang puteri; bahwa demi mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sejahtera, harus dijalankan sepuluh perkara.
Ia berkata, “Anakku! Ketahuilah, engkau telah berpisah dengan kehidupan yang telah menyatu dengan darah dan dagingmu. Rumah yang akan engkau huni benar-benar asing bagimu. Di sana engkau akan bersanding dengan seorang teman yang belum engkau kenal baik. Jadilah budaknya agar ia juga menjadi budakmu. Dengarlah sepuluh pesan ini dan amalkanlah agar engkau berbahagia di rumah barumu.
1. Jadikanlan sifat qana’ah (merasa cukup) sebagai landasan hidup rumah tanggamu bersama suamimu.
2. Berusahalah selalu mendengar dan patuhi ucapan suamimu.
3. Pandanglah suamimu dengan lembut dan rendah hati
4. Jagalah kebersihan dan keharumanmu.
5. Jagalah harta suamimu dan ketahuilah bahwa menjaga harta suami adalah dengan perkiraan (dalam pengeluaran) dan tidak berlebih-lebihan.
6. Hormatilah sanak kerabat suamimu, dan ketahuilah bahwa sikap ini hnya dapat engkau lakukan dengan kesadaran dan kebijaksanaan.
7. Persiapkanlah makanan suamimu dengan baik dan tepat waktu, karena rasa lapar dapat memicu munculnya berbagai perkara yang tidak menyenangkan.
8. Jagalah ketenangan saat suami sedang beristirahat, karena adanya gangguan dalam tidur akan membangkitkan amarah.
9. Janganlah engkau membongkar rahasianya, karena jika rahasinya terbongkar, engkau tak akan pernah selamat dari tipudaya (makar)nya.
10. Taatilah dirinya, karena melanggar perintahnya―yang masih berada dalam batasan syariat―menyebabkan hatinya dipenuhi rasa benci kepadamu.
Anakku! Jika pesanku ini engkau laksanakan dengan baik, tabah, dan penuh semangat, yakinlah bahwa engkau akan menarik hati dan kasih sayang suamimu yang dengannya engkau akan memiliki kehidupan yang indah bersama suamimu.”
Ayatullah Syaikh Muhammad Taqi Bafqî adalah orang alim dan arif yang bertakwa sekaligus mujahid. Pada masa Ayatullah Syaikh Abdul Karim al-Hâ’irî, beliau merupakan salah seorang guru terkemuka di Hauzah Ilmiyah Qum. Pada tahun 1322 Hijriah Syamsyiah (1943 Masehi), beliau meninggal di tempat pengasingannya di kota Rayy. Di situ, beliau dikuburkan dalam masjid Bala-ye Sar yang terletak di sekitar makam suci Sayyidah Fathimah al- Ma’shumah.
Pada hari raya Nu Ruz (tahun baru) tahun 1306 Hijriah Syamsyiah (bertepatan dengan 27 Ramadhan 1346 Hijriah Qamariyah), banyak orang hadir di makam suci Sayyidah Ma’shumah. Saat itu keluarga Reza Khan Pahlevi datang ke kota Qum dan hendak berziarah ke makam Sayyidah Ma’shumah tanpa mengenakan hijab. Tatkala hendak memasuki makam Sayyidah Ma’shumah, dikarenakan sikap melecehkan dan menghina ini, mereka menghadapi kegusaran masyarakat. Seorang ruhaniawan bernama Sayyid Nazhim Wa’idh mengajak masyarakat melaksanakan amar makruf nahi mungkar.
Kabar demikian sampai ke telinga Ayatullah Syaikh Muhammad Taqi Bafqî. Kemudian beliau mengirim pesan kepada keluarga Reza Khan sebagai berikut, “Jika kalian adalah muslim tidak selayaknya kalian hadir di tempat suci ini dalam keadaan semacam itu. Sekiranya kalian bukan muslim, kalian juga tidak berhak (untuk masuk).” (Karena orang kafir tidak dibenarkan memasukinya).
Keluarga Reza Khan tidak mengindahkan peringatan Ayatullah Bafqî. Akhirnya, almarhum Ayatullah Bafqî sendiri yang datang ke makam suci Sayyidah Ma’shumah dan memberi peringatan keras kepada keluarga Reza Khan. Kejadian ini nyaris memicu kebangkitan masyarakat melawan pemerintahan Syah.
Kepolisian menyampaikan kabar kepada Reza Khan bahwa keluarganya (isteri dan kedua anaknya, Syams dan Asyraf) ditahan di sebuah ruangan atas perintah para ruhaniawan. Keduanya tidak dibenarkan memasuki ruangan Makam Sayyidah Ma’shumah tanpa mengenakan hijab.
Reza Khan sendiri beserta satu unit pasukannya datang ke Qum untuk membebaskan keluarganya. Ia memasuki ruangan makam Sayyidah Ma’shumah dengan mengenakan sepatu serta memukuli dan memaki Ayatullah Bafqî.
Atas perintah Syah Reza Khan, Syaikh Muhammad Taqi ditengkurapkan dan Syah memukulinya dengan sebuah tongkat. Syaikh menjerit, “Wahai Imam Zaman, tolonglah aku!” Kemudian sosok alim dan bertakwa itu dijebloskan ke penjara untuk beberapa waktu. Setelah keluar penjara, beliau sepanjang hidupnya berada dalam pengawasan polisi. Biar begitu, beliau tetap sibuk beribadah.
[1] al-Naml: 29-35.