Naraca Kebenaran Dan Kebatilan

sambungan "pandangan dunia"...
Sudut Pandang Islam

Pandangan Islam jelas berbanding terbalik dengan pandangan Marxisme. Sebagaimana yang telah saya isyaratkan pada awal pembahasan ini, al-Quran mengakui bahwa proses penciptaan alam semesta berdasarkan pada hak (kebenaran). Dan hak tersebut merupakan wujud otentik (ashîl). Sebaliknya, al-Quran tidak mengakui bahwa yang buruk (bâtil) merupakan sebuah wujud otentik (ashîl), sekalipun tidak menafikan atau menolak adanya hal tersebut. Dari sisi ini, al-Quran merasa optimistis terhadap sejarah, dan mengakui bahwa manusia memiliki otentisitas atau keaslian (ashâlah). Al-Quran juga tidak mengatakan keberadaan manusia semata-mata sebagai alat, dan berjalan dalam sejarah secara terpaksa dan buta. Semua itu dikarenakan al-Quran meyakini bahwa keimanan memiliki otentisitas (ashâlah). Al-Quran meyakini bahwa secara substansial (dzâtî), manusia cenderung pada kejujuran, amanat, dan keadilan. Dalam pandangan al-Quran, manusia adalah makhluk yang hanîf (yang lurus), cinta kebenaran (al-haq), di mana di dalam dirinya terdapat kecenderungan fitriah pada kesempurnaan, kebaikan, dan kebenaran. Pada saat yang sama, manusia juga memiliki kebebasan dan kehendak untuk memilih, sehingga terdapat kemungkinan dirinya akan menyimpang dari jalur fitriahnya; menolak kebenaran, berbuat kezaliman, dan berbohong. Al-Quran mengakui bahwa semua itu merupakan bentuk perjalanan yang bersifat sementara.

Lebih lanjut, pandangan ini menegaskan bahwa kebatilan hanyalah sesuatu yang bersifat relatif, sampingan, dan tak lebih dari sekadar bayangan yang tak bernilai. Lantas darimanakah munculnya kezaliman? Dalam hal ini dapat diketahui bahwa orang yang zalim adalah orang yang tidak lagi menuruti rasa ketuhanan yang ada dalam dirinya, la mengikuti jalan selain Allah, yakni jalannya para setan.

Kebatilan atau keburukan muncul dikarenakan terjadinya perubahan arah perjalanan. Ini dimungkinkan lantaran adanya kelaziman (keharusan) dari keberadaan manusia yang memiliki kehendak untuk memilih dan kebebasan. Kebenaran (al-haq) adalah sesuatu yang esensial, sementara kebatilan bukan sesuatu yang bersifat esensial. Antara sesuatu yang esensial dengan yang non-esensial senantiasa akan terlibat dalam perselisihan dan peperangan. Akan tetapi, bukan berarti kebenaran (al-haq) senantiasa mengalami kekalahan sementara kebatilan (al-bâtil) senantiasa meraih kemenangan. Segala sesuatu yang ada dan bersifat langgeng, dan yang senantiasa menjaga kelangsungan jalannya roda kehidupan serta peradaban adalah kebenaran (al-haq). Sedangkan kebatilan hanyalah sebuah bayangan belaka dan tak lebih dari sekadar percikan api, yang kemudian akan padam dan musnah. Di manapun, bentuk fitrah manusia adalah sama. Sekalipun di Rusia. Dari sepuluh juta orang Komunis, kemungkinan besar lima jutanya terdiri dari orang-orang yang lalai. Jika Anda meneliti seratus sembilan puluh juta orang lainya, maka Anda akan menyaksikan bahwa di antara mereka banyak terdapat orang yang memiliki fitrah cemerlang. Mereka itu bisa dikatakan sebagai Muslim fitri, tepamya Muslim secara fitrah, yakni Muslim yang sehat. Jika kondisi masyarakat sebagaimana diungkapkan para pendukung Marxisme memiliki sisi gelap yang lebih kuat dari sisi cerahnya, sisi buruknya lebih kuat dari sisi baiknya, maka pada hakikatnya mereka akan saling berbohong dan berkhianat satu sama lain. Seorang yang tidak bertakwa dan tidak memiliki keimanan, mustahil dapat dijadikan tumpuan masyarakat.

Antara keberadaan masyarakat yang sakit dengan keberadaan masyarakat yang dikuasai keburukan tentunya sungguh amat berbeda. Janganlah Anda memiliki pandangan yang muluk-muluk, sebab hal itu bukanlah sebuah tolok ukur bagi keberadaan masyarakat. Keberadaan masyarakat identik dengan keberadaan seorang manusia. Para ahli hikmah (filosof) mengatakan bahwa kondisi yang menjaga kelangsungan dan kestabilan hidup atau tubuh seseorang berada di antara dua batasan. Misalnya, tekanan darah manusia yang harus berada di antara dua batasan. Jika kurang dari batasan, manusia akan meninggal dunia, begitu pula jika melebihinya. Karenanya, tekanan darah harus berada pada batasan yang seimbang. Manusia senantiasa menjaga kondisi tubuhnya agar selalu berada dalam keadaan seimbang. Kadar urea (zat yang terdapat dalam air seni) yang terlampau kurang atau melebihi batasan yang seharusnya tidak baik bagi tubuh. Sel-sel darah putih dan darah merah tidak boleh kurang dan melebihi batasan tertentu. Atau, zat gula yang tidak boleh kurang atau melampaui kadar yang sesuai dengan kebutuhan tubuh. Demikian pula dengan keberadaan masyarakat. Apabila hak dan hakikat yang terdapat dalam masyarakat tidak mencapai batasan yang semestinya, maka masyarakat tersebut akan sekarat, untuk kemudian mati. Dan bila terdapat sebuah masyarakat yang kondisinya stagnan, maka dapat kita ketahui bahwa masyarakat tersebut berada di antara dua batasan kebatilan, baik itu yang bersifat terlalu berlebih-lebihan (ifrâth) maupun terlalu kurang (tafrîth). Kedua batasan tersebut berdiri pada posisi yang sejajar. Sedangkan, jika kondisinya bersifat seimbang, maka keberadaan suatu masyarakat akan terus mengalami perkembangan. Sebaliknya, suatu masyarakat mungkin saja berada pada posisi melampaui batasan sisi ini atau melampaui batasan sisi yang lain. Lantas, masyarakat manakah yang dinyatakan al-Quran telah mengalami kebinasaan? Masyarakat tersebut adalah masyarakat yang dikuasai oleh kebatilan.

Al-Quran senantiasa menegaskan bahwa suatu masyarakat mesti berada dalam posisi seimbang dalam arti yang sesungguhnya. Dengan demikian, suatu masyarakat menjadi sakit tidak lain dikarenakan ia telah dikuasai kebatilan. Kita tidak boleh keliru menentukan keduanya (kebenaran dan kebatilan). Peperangan antara kebenaran dan kebatilan senantiasa terjadi. Datangnya kebatilan yang menutupi kebenaran hanya bersifat sementara. Kebatilan tidak memiliki kekuatan untuk tetap menutupi kebenaran. Dan pada akhirnya, ia akan tersingkirkan dengan sendirinya. Kebatilan merupakan wujud sampingan, bersifat sementara, dan tak lebih dari sekadar parasit. Sedangkan wujud yang senantiasa ada adalah kebenaran. Karenanya, masyarakat yang lebih cenderung pada kebatilan akan dianggap musnah. Kecenderungan pada kebatilan secara penuh berarti memutuskan diri dari kebenaran, dan itu berarti bergerak menuju kemusnahan. Kebatilan merupakan sesuatu yang dihukumi sebagai kematian. la mengalami kematian dari dalam. Sebagaimana acap dikatakan bahwa pada masa sekarang ini peradaban fulan telah mati, yakni mengalami kehancuran dan kepunahan. Peradaban tersebut tengah sekarat dan mengalami kematian dari dalam. Sebagian kematian tidak mesti terjadi secara sekaligus, melainkan secara berangsur-angsur.

Argumentasi Al-Quran

Sebagian ayat-ayat al-Quran yang menyinggung masalah kebenaran dan kebatilan seyogianya diperhatikan dan ditafsirkan dengan seksama.

1. Pada awal pembahasan yang berkenaan dengan "Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang," dikatakan bahwa ke-Maha Pengasihan Allah bersifat esensial (al-ashâlah). Keperkasaan, kemurkaan, kesombongan, serta pembalasan dendam merupakan sifat-sifat Allah. Namun sifat-sifat tersebut hanyalah sampingan (taba’î) semata yang muncul dari sifat luthf (kelembutan)-Nya. Dari sudut pandang yang amat tinggi ini, tak ada satupun keberadaan melainkan di situ terdapat Allah, ke-Maha Pengasih-an-Nya dan ke-Maha Penyayang-an-Nya. Segala yang ada merupakan kebaikan, kesempurnaan, serta kemurahan. Sedangkan keburukan, kekurangan, dan ketiadaan merupakan segenap hal yang bersifat relatif (nisbi) dan sampingan (taha’î) belaka.

Dalam sistem keberadaan (al-wujûd) ini, kebaikan dan kebenaran bersifat dominan dan esensial. Adapun kebatilan bersifat non-esensial dan akan segera musnah. Sedangkan yang tetap tegar dan kuat hanyalah kebenaran itu sendiri. "Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah,"[13] "Dan tetap kekal Zat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemulia-an."[14] Sepanjang sejarah umat manusia, pandangan semacam inilah yang lebih dominan. Pandangan ini menegaskan bahwa kemenangan senantiasa berpihak pada kebenaran dan pemerintahan kebenaran akan dapat menaklukan seluruh pemerintahan kebatilan. "Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (al-Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai."[15]

2. Dalam ayat yang terdapat dalam surat al-Baqarah dipaparkan adanya tiga kelompok yang saling bertolak belakang; kelompok mu'minin, kafirin, dan munafiqin.

Kelompok mukminin memiliki keimanan kepada hal yang gaib (metafisika), menjalankan shalat dengan benar, tertib, dan sempurna, menginfakkan hartanya, beriman pada sekolah (madrasah)nya yang merupakan sekolah Ilahi (madrasah Ilâhiah), serta meyakini keberadaan alam akhirat. Inilah kelompok yang akan berhasil dalam kehidupannya dan akan dengan leluasa berjalan di jalur hidayah Ilahi.

Sedangkan pada saat menjelaskan orang-orang kafir, al-Quran menyajikan ilustrasi yang sungguh jelas. Orang-orang kafir diibaratkan sebagai seorang murid yang gurunya telah berusaha dengan berbagai cara untuk memberi peringatan kepadanya, namun ia masih belum juga mampu membimbingnya ke jalan yang lurus. Dan ketika ayah si murid datang, sang guru mengatakan kepadanya, "Pak, biarkan saja anak ini, ia adalah sosok manusia yang tak mungkin dapat dibenahi." Kekufuran (pengingkaran) terjadi setelah datangnya ajakan dan penjelasan. Tatkala mengingkari apa-apa yang telah dipaparkan, maka nasihat apapun sudah tidak lagi berguna dan tidak akan menyentuh jiwa mereka, "Sesungguhnya orang-orang kafir sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman." "Allah telah mengunci mati hati mereka dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat."[16]

Dalam menjelaskan keberadaan orang-orang munafik (munâfiqîn), nampaknya al-Quran lebih memberikan penekanan. Banyak ayat-ayatnya yang mengupas tentang keadaan mereka. Orang munafik (munâfiqîn) ialah orang yang menggunakan agama demi menghancurkan agama itu sendiri. Dalam kehidupannya, mereka akan menampakkan dirinya seolah-olah orang yang (taat) beragama. Namun sebenamya dalam batinnya tertanam permusuhan yang hebat terhadap agama. "Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian, padahal mereka itu sesungguknya bukan orang-orang yang beriman." "Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu diri mereka sendiri sedang mereka tidak sadar."[17]

Pada hakikamya, mereka tengah menipu dan mengelabui Allah. Mereka hendak mengelabui kebenaran dan orang-orang mukmin. Akan tetapi, al-Quran mengatakan bahwa mereka semua tidak akan pernah meraih keberhasilan. Dalam perkiraan mereka, masyarakat mudah tertipu dan tidak mengetahui serta tidak memiliki perasaan sama sekali terhadap adanya maksud buruk mereka.

Seorang sufi menarik arang dengan memperalat kebenaran,

Membangun tipu muslihat dan mempermainkan penganut kebenaran,

Permainannya terbongkar dan tipuannya gagal,

Karena ia bermain sulap di hadapan orang yang mengetahui rahasianya.

Al-Quran menjelaskan cara penipuan semacam itu dan mengatakan bahwa mereka telah menipu orang-orang yang benar dengan modus tersebut:

"Dan apabila mereka berjumpa dengan orang 'orang yang beriman, mereka mengatakan: 'Kami beriman .' Dan apabila mereka kembali kepada setari'setan mereka, mereka mengatakan: 'Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok'."[18]

Mereka beranggapan bahwa dirinya amat cerdik; ketika duduk bersama orang-orang beriman, mereka mengatakan, "Ya, kami adalah dari kelompok kalian." Akan tetapi, tatkala duduk bersama saudara yang sebenarnya, yakni para setan, mereka mengatakan, "Keimanan kami hanyalah pura-pura dan lahiriah belaka, dan hati kami bersama kalian, kami hanya mempermainkan mereka!"

Kemudian al-Quran mengatakan: "Allah akan (membalas) olok-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan."[19] Pada dasarnya, perbuatan yang mereka lakukan akan merugikan diri mereka sendiri. Dalam hal ini, justru Allah sendirilah yang akan mempermainkan mereka, di mana sunah alam akan membuat mereka senantiasa menjadi bahan tertawaan dan berada dalam kebutaan serta kebingungan tanpa akhir.

Kemudian terdapat sebuah penjelasan yang amat menakjubkan: "Perumpamoan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api menerangi sekelilingnya, Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat."[20] Mereka senantiasa melakukan berbagai "nukri"[21], dan akalnya senantiasa digunakan untuk memenuhi kepentingan hawa nafsu dan setan (alhasil, sebagaimana perasaan dan insting, akal bagi manusia merupakan sebuah cahaya dan petunjuk). Seseorang yang menggunakan akalnya demi melaksanakan "nukri"-nya serta menentang hidayah (petunjuk) agama, laksana seseorang yang menyalakan api di kegelapan padang pasir, lalu menggunakan cahaya tersebut untuk menemukan jalan. Ketika dinyalakan, api tersebut akan memberikan manfaat dan menjadikan tempat di sekitarnya terang benderang. Namun, Allah Swt dengan segera akan memadamkan api tersebut dan membiarkannya tetap berada dalam kegelapan. "Mereka tuli, bisu, dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar)."[22] Dalam hal ini, mereka bukan hanya akan berada dalam kegelapan. Lebih dari itu, Allah akan membungkam fungsi pendengaran, lidah, dan penglihatannya. Orang yang melihat secercah pelita yang nampak di kejauhan akan memperoleh petunjuk bagi jalan yang ditempuhnya. Begitu pula jika telinganya dalam keadaan terbuka, sekalipun berada dalam kegelapan, seseorang akan mampu mendengar suara unta atau klakson mobil, yang karenanya ia akan mengetahui jalan yang mesti dilalui. Atau bila mulumya terbuka, tentu ia akan mampu berteriak, sampai orang yang berada disekitar situ mendengarnya, untuk kemudian membimbingnya melintasi jalan tersebut. Akan tetapi, bagi orang-orang munafik, semua kemampuan tersebut (mendengar, melihat, dan berbicara) telah sirna.

"Atau (seperti arang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh, dan kilat; mereka menyumbat telinga mereka dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati. Dan Allah meliputi orang-orang yang kafir."[23] Ini merupakan perumpamaan al-Quran yang lebih keras lagi. Kita acapkali melihat di langit berkelebat cahaya petir yang bersifat sekejap, untuk kemudian lenyap dan padam. Namun, dikarenakan cahaya kilat tersebut diiringi suara guntur, mereka pun segera meletakkan ujung jari ke lubang telinganya. Karenanya, bisa disimpulkan bahwa mereka akan makin kesulitan untuk menemukan jalan, terlebih untuk mencapai tujuannya.

Dengan demikian, al-Quran berkeyakinan bahwa berbagai bentuk penipuan tidak akan pernah memperoleh hasil. Al-Quran tidak mengatakan bahwa alam semesta diatur di atas prinsip penipuan. Lagi pula, al-Quran menolak logika yang menyatakan bahwa perjalanan sejarah terjadi atas dasar pemaksaan, penipuan, dan kegelapan. Dalam logika al-Quran, kendati kehidupannya didominasi dan dikepung keburukan, kejahatan, serta kezaliman, namun keberadaan (kebenaran dan kebaikan, —peny.) masyarakat akan tetap eksis. Tatkala Nabi yang mulia SAWW bersabda: "Kerajaan dapat hidup berdampingan dengan kekufuran, namun tidak akan dapat hidup bersama kezaliman," artinya, kendatipun kita melihat suatu kezaliman berada pada puncaknya —sebagaimana misalnya Nadir Syah yang seluruh tingkah lakunya merupakan kezaliman— namun keberadaan masyarakamya tidaklah demikian. Benar, bahwa pada masa itu Nadir Syah telah membangun sebuah menara yang tersusun dari ribuan kepala manusia. Namun apabila dilakukan semacam penelitian secara seksama terhadap berbagai kelompok yang terdapat dalam masyarakat saat itu, atau membuat semacam sensus, maka Anda akan menyaksikan bahwa di tengah-tengah masyarakat, kejujuran lebih dominan dari kebohongan, dedikasi lebih dominan dari pengkhianatan, dan ketakwaan lebih dominan dari kefasikan. Entitas masyarakat harus dilihat secara menyeluruh, khususnya pada pendirian dan sikap yang dimiliki orang per orang.

3. Berkenaan dengan ayat-ayat yang terdapat dalam surat ash-Shâffât. Di akhir surat ini, dijelaskan bahwa para nabi pasti akan mendapatkan pertolongan. Selain itu dijelaskan pula berbagai persoalan yang berhubungan dengan risalah para nabi (pembahasan ini berulang kali dijelaskan al-Quran dalam sejumlah ayatnya). "Dan sesungguhnya telah tetap janji Kami kepada hamba-hamba Kami yang menjadi rasul, (yaitu) sesungguhnya mereka itulah yang pasti mendapat pertolongan. Dan sesungguhnya tentara Kami itulah yang pasti menang."[24] Firman Kami yang terdapat dalam ilmu Kami tidak akan dapat berubah: Para hamba Kami yang menyampaikan risalah Kami, utusan-utusan Kami, mereka semua benar-benar berada di bawah perlindungan dan penjagaan Kami, dan hanya mereka yang akan memperoleh kemenangan. Sesungguhriya hanya pasukan Kami yang akan meraih kemenangan. Dalam hal ini, apakah kemenangan yang dimaksud al-Quran adalah kemenangan militer? Dengan kata lain, apakah setiap kali seorang nabi atau para pengikut seorang nabi, seorang yang benar, seorang wali Allah, seorang imam, jika berperang akan senantiasa meraih kemenangan, sementara orang atau beberapa orang yang menjadi lawannya akan senantiasa menderita kekalahan? Jelas tidak demikian. Al-Quran sendiri mengungkapkan adanya pembunuhan secara keji terhadap para nabi Allah, seperti: "Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi yang memang tidak dibenarkan dan membunuh orang'Orang yang menyuruh manusia berbuat adil, maka gembirakanlah mereka bahwa mereka akan menerima siksa yang pedih."[25] Dalam ayat tersebut diungkapkan bahwa para nabi, wali-wali Allah, para pendukung keadilan, dan penyeru keadilan akan terbunuh. Dengan demikian jelas bahwa maksud kemenangan tersebut bukanlah kemenangan militer, melainkan kemenangan pasukan Allah, kemenangan orang-orang yang benar. Sebabnya, peperangan mereka bersifat ideologis demi mempertahankan akidah, yang karenanya pula kemenangan yang akan diraih adalah kemenangan ideologis. Benar, bahwa dari aspek lahiriah, peperangan terjadi secara kemiliteran. Namun, di samping itu terdapat pula peperangan yang tidak mengandung unsur tersebut. Adakalanya, peperangan timbul lantaran didorong oleh motif politik, sebagaimana peperangan yang dilakukan para raja Iran dan Romawi. Pihak pertama menginginkan suatu kawasan tertentu masuk ke dalam wilayahnya, sementara pihak yang lain juga menghendaki hal yang sama. Dalam ketegangan semacam itu, terkadang pihak pertama berhasil mengalahkan pihak kedua. Dalam bentuknya yang lain, peperangan juga bisa ditimbulkan oleh motif ekonomi, di mana kedua belah pihak menggelar peperangan demi menguasai sumber kekayaan tertentu.

Dewasa ini, bisa kita saksikan di berbagai belahan dunia banyak sekali peperangan yang meletus lantaran dipicu motif-motif semacam itu. Khususnya apabila suatu kawasan memiliki posisi strategis dari sisi kemiliteran. Mengapa para adikuasa begitu sensistif dan menaruh perhatian yang besar terhadap Aden yang merupakan kota yang cukup kecil, atau Yaman Selatan yang tidak begitu penting? Suatu tempat yang memiliki sumber kekayaan, sumber minyak, akan memiliki daya sensitifitas yang sangat kuat. Sekarang ini, banyak terjadi peperangan yang dipicu faktor ekonomi. Peperangan tersebut dimaksudkan untuk memperoleh berbagai sumber ekonomi, bukan memperluas wilayah pemerintahan. Ketika berperang dengan India, tujuan Inggris bukanlah untuk memperluas wilayah pemerintahannya, melainkan mewujudkan keinginannya untuk menjadikan India sebagai tempat penjualan seluruh produk dagangannya, sembari pula tentunya merampok seluruh sumber kekayaan alamnya.

Berbeda dengan itu, terdapat pula peperangan dan perjuangan yang dilandasi faktor akidah dan ideologi. Peperangan tersebut terjadi dikarenakan adanya keinginan untuk menyebarkan suatu bentuk ideologi dan pemikiran, serta hendak menyingkirkan berbagai rintangan yang menghalangi sehingga penyebaran tersebut berjalan mulus. Imam Ali as menjelaskan bahwa berbagai peperangan yang terjadi pada masa awal Islam dipicu oleh faktor ideologi, "Dan mereka membawa berbagai pandangan hati (bashîrah)-nya pada pedang-pedang mereka." Mereka membawa akal, kepandaian, pengetahuan, dan pemahamannya pada pedang-pedang mereka. Mereka menginginkan agar dengan pedang-pedang tersebut, masyarakat menjadi sadar dan tidak memiliki tujuan yang lain. Mereka tidak memiliki keinginan untuk mengambil suatu apapun dari masyarakat, sebaliknya mereka malah ingin memberi sesuatu, yakni penglihatan hati (bashîrah) dan pengetahuan. Kemenangan yang berhasil diraih para nabi bukanlah kemenangan militer. Jika kita melihat peperangan yang terjadi antara Imam Husain as dengan pasukan Yazid dan Ibnu Ziyad dari sisi militer yang bersifat lahiriah semata, maka bisa dikatakan bahwa Imam Husain as mengalami kekalahan, sementara Yazid meraih kemenangan. Namun, bila kita memandang pada inti permasalahannya, maka peperangan tersebut merupakan manifestasi dari peperangan pemikiran dan akidah (ideologi). Pemerintahan Yazid merupakan perlambang dari usaha untuk membinasakan akidah dan pemikiran Islam. Sementara Imam Husain as merupakan simbol perjuangan dan peperangan yang ditujukan demi menghidupkan pemikiran Islam. Dalam hal ini, kita mesti melihat apakah Imam Husain as berhasil meraih tujuannya ataukah tidak.

Apakah beliau berhasil menghidupkan pemikiran Islam di seantero dunia ataukah tidak? Jawabannya, sebagaimana telah kita saksikan, adalah berhasil. Selama tiga belas abad, selalu terdapat kemenangan dalam setiap tahunnya, yakni 'Asyûrâ’. Arti dari "Kullu yaumin ‘Asyûrâ’ wa kullu ardhin Karbalâ'," (Setiap hari adalah 'Asyûrâ’ dan semua tanah adalah Karbala) adalah setiap hari bersama nama Imam Husain as berjuang melawan berbagai bentuk kezaliman dan kebatilan, dan menghidupkan keadilan serta kebenaran. Inilah yang disebut dengan kemenangan! Adakah bentuk kemenangan yang lebih tinggi darinya? Para Yazid dan para Ibnu Sa’ad telah pergi. Namun keberadaan para Husain, para Abbas, para Zaenab senantiasa abadi. Jelas, keberadaan mereka (orang-orang yang benar) kekal secara pemikiran dan ideologis, bukan secara pribadi. Bahkan mereka merupakan penguasa dan pemimpin masyarakat sepanjang masa. Ya, mereka telah wafat. Namun mereka akan tetap hidup kekal dan abadi.

4. Sekaitan dengan ayat-ayat yang terkandung dalam surat al-Anbiyâ'. Pada ayat 16, 17, dan 18 dari surat ini, Allah Swt menjelaskan tentang proses penciptaan langit dan bumi. Dalam hal ini, Allah menegaskan bahwa sistem alam ini diciptakan di atas dasar kebenaran (al-haq) dan bukan pada kebatilan dan kesia-siaan: "Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya dengan bermain-main.""Sekiranya Kami hendak membuat sesuatu permainan, tentulah Kami membuamya dari sisi Kami. Jika Kami menghendaki berbuat demikian, (tentulah Kami telah melakukannya)." Kemudian dikatakan,: "Sebenarnya Kami melontarkan yang haq kepada yang batil lalu yang haq itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu lenyap. Dan kecelakaanlah bagimu disebabkan kamu menyifati (Allah dengan sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya)." Ayat ini menjelaskan tentang kekuatan kebenaran serta kelemahan dan ketidakberartian kebatilan. Secara lahiriah, kebatilan boleh jadi mengalahkan kebenaran. Namun itu sifamya hanya sementara. Sebaliknya, secara tiba-tiba kebenaran akan melesat dari busurnya dan membunuh kebatilan tanpa ampun. Kata "qadzf” memiliki arti "melempar", sedangkan "damgh" artinya "tempurung kepala". Pernyataan tersebut dapat diibaratkan dengan sebutir peluru yang terbuat dari unsur-unsur kebenaran. Dengan peluru itu, kita menembak kepala kebatilan dengan kuat dan jitu sehingga otaknya hancur berantakan. Kemudian kita akan menyaksikan bahwa kebatilan telah musnah. Sejak dahulu sampai kapanpun, kebatilan akan selalu lenyap, selalu musnah.

Terdapat sejumlah orang yang nampaknya telah melakukan penafsiran yang cukup mengena terhadap ayat tersebut. Yaitu:

Setelah beberapa saat terselubungi kebatilan, kebenaran akan datang memerangi kebatilan, dan ia datang dengan serangan yang hebat dan mematikan. Allah melakukan semua itu melalui perantaraan manusia. Secara tidak disangka-sangka, kalian akan melihat kebenaran muncul laksana angin topan yang menghancurkan, menghempaskan, serta melemparkan kebatilan jauh-jauh.

Lihatlah, betapa al-Quran memiliki sikap optimistis terhadap peperangan yang terjadi antara kebenaran dan kebatilan. Al-Quran mengatakan, janganlah kalian merasa gentar terhadap bayang-bayang kebatilan, janganlah kalian gentar menghadapi berbagai usaha yang dilakukan kebatilan, karena pada akhirnya kebenaran akan mengalahkan kebatilan. Kebenaran senantiasa akan meraih kemenangan. "Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi."[26]

Sepanjang sejarah, kebenaran senantiasa berperang dengan kebatilan. Dan al-Quran menjanjikan bahwa kemenangan terakhir berpihak pada kebenaran, di mana kebatilan tidak lagi tersisa barang secuilpun. Situasi paling akhir dari episode sejarah kehidupan inilah yang diyakini al-Quran. Karena itu, al-Quran senantiasa berpesan, hendaklah kalian beriman, dan janganlah merasa sedih, "Janganlah kamu bersikap lemah dan janganlah (pula) kamu bersedih hati."[27] Dengan beriman, kalian akan senantiasa diiringi keagungan. Janganlah kalian merasa takut dikarenakan jumlah kalian sedikit dan jumlah mereka banyak. Janganlah kalian gentar lantaran mereka memiliki kekayaan yang melimpah ruah. Janganlah kalian merasa takut terhadap senjata dan kekuatan mereka yang cukup banyak. Hendaklah kalian melengkapi diri hanya dengan iman dan keyakinan. Hendaklah kalian menjadi mukmin sejati, manusia sejati. Jika kalian telah mencapai keadaan demikian, maka sejak saat itu pula kemenangan telah ada dalam genggaman kalian.

Topik lain yang dapat disimpulkan dari ayat ini adalah bahwa gerakan revolusi tersebut dilandasi oleh kekuatan serta konsistensi terhadap kebenaran. Revolusi yang diupayakan para pejuang kebenaran tidak sebanding dengan revolusi yang dilandasi pada kepentingan perut. Para pendukung kebenaran bangkit dikarenakan sikap konsisten mereka terhadap kebenaran, bukan karena tuntutan perut. Namun tesis yang dirumuskan sekelompok orang yang menyangka komitmen al-Quran untuk melindungi kaum tertindas, bahwa, "Kita senantiasa menjadikan orang-orang yang lapar sebagai pasukan, dengan tujuan hanya agar perut mereka menjadi kenyang," jelas tidak benar!

Al-Quran mengatakan bahwa komitmen pergerakan dirinya ditujukan demi memenuhi kepentingan orang-orang tertindas. Kendatipun, mungkin saja di antara orang-orang yang bangkit tersebut bukan hanya terdiri dari orang-orang tertindas sendiri, melainkan juga terdapat orang-orang yang tidak tertindas. Pada dasarnya, al-Quran tidak menerima seseorang yang berjuang demi perumya. Islam akan menolak orang semacam itu, "Barangsiapa yang berhijrah demi mendapatkan harta atau demi mendapatkan wanita, maka hijrahnya itu adalah kepada apa-apa yang dijadikan tujuan hijrahnya."[28] Nabi mulia SAWW menegaskan bahwa Islam tidak akan menerima siapapun yang berhijrah demi memperoleh harta ataupun tawanan wanita yang kemudian dinikahinya. Setiap orang yang berhijrah demi Allah dan Rasul-Nya harus mengharap pahala dan karunia Illahi. Islam mengatakan bahwa tujuan dari peperangan yang kita lakukan adalah untuk menyelamatkan orang-orang tertindas, bukan hanya sekadar membuat perut mereka kenyang.

Kami menggerakkan sekelompok orang-orang yang beriman dan konsisten pada kebenaran, "Sebenarnya Kami melontarkan yang hak kepada yang batil lalu hak itu menghancurkannya."[29] Artinya, dari kebenaran tersebut, Kami menciptakan suatu kekuatan revolusioner yang kemudian Kami lontarkan pada kebatilan. Kekuatan revolusioner ini laksana peluru yang menembus jantung musuh. Kata "bil-haq" berarti "dengan kekuatan kebenaran", "dengan orang-orang yang benar", dan dari kebenaran itulah Kami membuat peluru, yang kemudian Kami tembakkan kuat-kuat ke kepala kebatilan, sehingga otaknya hancur lebur. Karenanya, kebatilan secara tiba-tiba akan tersungkur dan musnah. Kebatilan bukanlah apa-apa, kecuali sekadar bayang-bayang yang selama ini menakutkan kalian.

"Maka dengan serta merta yang batil itu lenyap."[30] Al-Quran tidak mengatakan bahwa kebatilan nantinya akan musnah, melainkan mengatakan bahwa kebatilan merupakan 'sesuatu yang musnah', kebatilan pasti hilang.

5. Pada ayat ke-17 dari surah ar-Ra'd, al-Quran memberikan sebuah metafora yang sangat menarik dan memiliki arti yang mendalam berkenaan dengan kebenaran dan kebatilan: "Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah'lembah menurut ukurannya," Allah menurunkan dari langit, hujan air yang jemih dan penuh berkah, yang dicurahkan pada gunung-gunung dan bukit-bukit, yang darinya kemudian mengalir ke lembah-lembah dan sungai-sungai, yang menampungnya sesuai dengan kapasitas masing-masing. "Maka arus itu membawa buih yang mengambang,"[31] maka aliran air (banjir) ini disertai buih yang mengambang di atasnya. "Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti arus itu," sebagaimana ketika logam diletakkan di atas api untuk dibuat perhiasan dan peralatan lainnya, akan tampak buih semacam itu pada permukaan cairan logam tersebut; bahan aslinya tetap berada di bawah sedangkan sisa-sisanya yang tidak terpakai akan memenuhi permukaan cairan logam itu. "Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang batil,"[32] demikianlah Allah membuat perumpamaan antara kebenaran dan kebatilan.

Di sini, sebagian mufasir mengatakan bahwa dengan hal itulah, Allah membuat perumpamaan antara kebenaran dan kebatilan. Sementara sebagian lainnya mengatakan bahwa demikianlah Allah membenturkan antara kebenaran dan kebatilan, yakni demikianlah benturan yang terjadi antara kebenaran dan kebatilan; benturan terjadi sebagaimana benturan antara air dan buih.

"Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tidak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia maka ia tetap di bumi,"[33] adapun buih akan hanyut dan lenyap, sedangkan segenap hal yang bermanfaat bagi masyarakat akan tetap eksis di atas bumi. Dalam pandangan kesusasteraan, penetapan hukum tergantung pada sebuah sifat. Dengan kata lain, sifat tersebut merupakan sebab dari penetapan hukum. Al-Quran tidak mengatakan, "air tetap eksis" atau "logam tetap eksis", tetapi menyatakan bahwa apa-apa yang memberikan manfaat bagi masyarakat akan tetap eksis. Dikarenakan memberi manfaat, baik, dan menguntungkan, maka air dan logam akan tetap eksis. Keberadaannya dikarenakan ia memberikan manfaat dan keuntungan. Sedangkan sesuatu yang tidak menguntungkan, tidak bermanfaat, serta tidak layak, akan musnah, lenyap, dan dijatuhi hukum (karena sifatnya tidak memberikan manfaat, maka musnah, —pent.). "Demikianlah Allah membuat berbagai perumpamaan,"[34] Allah menjelaskan berbagai perumpamaan berkenaan dengan hal itu. Darinya, kita jelas dapat mengambil beberapa topik yang amat menarik.
Kebenaran dan Kebatilan: Antara Keaslian Wujud dan Bayang-bayang

"Maka arus itu membawa buih yang mengembang."[35] Al-Quran menyatakan bahwa buih tersebut memenuhi permukaan air dan menutupinya sedemikian rupa, sehingga jika seorang dungu menyaksikan peristiwa tersebut, ia tidak akan mengetahui hakikat peristiwa itu. Perhatiannya hanya tertuju pada tumpukan buih yang tengah mengalir keras di permukaan, sementara air hujan yang mengalir dengan deras di bawah buih tersebut sama sekali lolos dari pengamatannya. Dikarenakan buih tersebut menyelubungi permukaan air, sementara mata indrawi hanya sanggup melihat sisi lahiriahnya semata, dan tidak mampu melihat hakikat serta apapun yang terdapat di dalamnya, maka yang terlihat hanyalah buih belaka.

Demikian pula halnya dengan kebatilan yang selalu menunggangi kebenaran dan menyelubunginya. Penunggangan dan penyelubungan terjadi sedemikian rupa, sampai-sampai jika seseorang semata-mata melihat kenyataan sebuah masyarakat dari sisi luarnya dan tidak melihat sisi dalamnya, maka yang tamp.ak hanyalah pribadi-pribadi yang memiliki kedudukan dan posisi tertentu, serta orang-orang yang menjadi pusat perhatian masyarakat. Umpama jika kita menengok kembali Negeri Iran pada abad ke-13. Orang pertama yang akan kita perhatikan adalah Nashiruddin Syah. Darinya kita akan menyangka bahwa seluruh individu dalam masyarakat tersebut identik dengannya. Padahal, kalau saja seluruh individu dalam masyarakat tersebut tak ubahnya seperti Nashiruddin Syah, maka kemungkinan besar tak seorang pun warga Iran yang masih hidup sampai sekarang ini. Apabila seluruh individu tersebut seperti Harun ar-Rasyid, dan memiliki watak serta perilaku yang persis sama dengannya, mustahil masyarakat Islam akan tetap eksis sampai sekarang. Sebabnya, Harun ar-Rasyid merupakan simbol dari kezaliman, kebohongan, kelicikan, pengumbaran hawa nafsu, perbuatan cabul, dan tindakan asusila. Apakah jika saat itu kita berkeliling ke seluruh desa-desa di negara Islam, kita akan menjumpai kenyataan bahwa seluruh individu tersebut tak ubahnya pribadi Harun ar-Rasyid? Dengan kata lain, apakah kita akan menyaksikan kenyataan bahwa seluruh masyarakat memiliki sifat yang identik dengan sifat Harun ar-Rasyid? Apakah setiap pekerja, petani yang memiliki keahlian dan kemahiran, juga pedagang, memiliki kepribadian semacam Harun ar-Rasyid? Mereka saling berbohong satu sama lain? Saling berkhianat? Berbuat cabul, dan tidak bertakwa? Tidak, mereka sama sekali tidak demikian! Harun ar-Rasyid dapat tetap hidup dikarenakan terdapamya orang-orang yang bersedekah secara sembunyi-sembunyi. Juga dikarenakan kejujuran, amanat, serta perbuatan hak (benar) yang mereka lakukan. Seandainya pun kini terdapat seribu orang yang memiliki karakter sama persis dengan Harun ar-Rasyid, namun hal itu juga tidak dapat dijadikan ukuran bahwa kebatilan telah mengalahkan kebenaran.

Jika Anda mengadakan studi tentang agama Nasrani yang telah diselewengkan itu, lantas Anda memasuki desa-desa dan kota-kota, apakah setiap pendeta yang Anda jumpai merupakan orang yang rusak dan kotor? Demi Allah, 70-80% dari mereka adalah orang-orang yang memiliki keimanan, ketakwaan, keikhlasan, dan atas nama Isa al-Masih dan Maryam, mengajak masyarakat pada ketakwaan, kejujuran, dan kesucian diri. Mereka tidak bersalah dan akan masuk ke dalam surga. Begitu pula dengan para pendetanya. Dengan demikian, mesti dibedakan antara para rohaniawan busuk yang tengah memegang tampuk kekuasaan dan juga para paus, dengan sebagian besar misionaris dan pengikut agama Nasrani.

Apa yang kita lihat hanyalah "buih yang mengambang," buih yang mengapung di atas air. Akan tetapi, tatkala merasuk ke tengah-tengah masyarakat, kita akan menyaksikan dengan jelas siapa sebenarnya yang menjalankan roda kehidupan masyarakat. Mereka adalah orang-orang yang tidak pernah kita duga sebelumnya. Kalian akan melihat bahwa mereka merupakan orang-orang yang berpegang teguh pada kebenaran dan kejujuran. Apakah para sopir yang bersusah payah dan dengan mempertaruhkan nyawanya menjalankan mobilnya dari satu kota ke kota lainnya, berharap dalam sehari mampu menghasilkan uang sebanyak Rp.150,000 sampai Rp.200,000, dan juga para petani yang senantiasa bekerja keras dan bersusah payah untuk menghasilkan panen yang banyak, bisa dijadikan bukti bahwa keburukan tengah mendominasi kebaikan? Sama sekali tidak! Sebagian besar dari mereka tetap berada dalam fitrah suci Islam dan nilai kemanusiaannya. Andaikata seseorang menengok keadaan seluruh pegawai yang bekerja di pabrik-pabrik, mungkin ia akan terperanjat melihat bagaimana dalam kondisi kerja semacam itu, para pegawai tersebut masih tetap memiliki optimisme terhadap agama, dan jiwa mereka dipenuhi keimanan meluap-luap.

Dengan demikian, sebagian besar masyarakat terdiri atas orang-orang yang memiliki kebaikan, yang pada gilirannya mendominasi (mengalahkan) kerusakan yang ada di sekelilingnya. Memang, terkadang kita menyaksikan pula adanya kerusakan dalam diri mereka. Namun, munculnya hal itu tak lebih sebagai akibat dari kebodohan, kedangkalan pemahaman, serta ketidaktahuan. Mereka tidak bisa dipersalahkan lantaran mereka adalah orang-orang yang bodoh. Dengan kata lain, hal itu tidak dapat dijadikan ukuran untuk menyatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang rusak, bejat, dan menyimpang.

Dari pembahasan itu, dapat disimpulkan bahwa kebenaran dan sistem yang benar merupakan wujud asli, tidak ubahnya dengan keberadaan air yang mengalir kuat dibawahnya, yang akan membawa masyarakat maju ke depan. Sementara kebatilan mengapung di permukaan dan menutupi keberadaan aliran air. Makanya tak heran apabila yang tampak kemudian (di pelupuk mata orang dungu, — peny.) hanyalah kebatilan belaka.
Kebenaran-Otonom, Kebatilan-Parasit (Benalu)

Persoalan lain yang dapat digali dari perumpamaan al-Quran tersebut berkenaan dengan simbiosa antara kebenaran dan kebatilan. Dalam hubungan tersebut, kebatilan menghisap saripati makanan milik kebenaran, sehingga dikarenakan itulah ia dapat hidup dan berjalan. Dengan begitu, pada hakikatnya tenaga yang dimiliki kebatilan bukanlah berasal dari saripati makanan miliknya sendiri, melainkan milik kebenaran. Dan kebatilan sanggup bergerak hanya dengan menggunakan tenaga milik kebenaran.

Buih yang mengapung di permukaan air tidak bergerak dengan tenaganya sendiri. Buih tersebut bergerak lantaran adanya gerakan air di bawahnya. Ketika Muawiyah berada di muka bumi dan melakukan bermacam-macam tindak kebatilan, sesungguhnya bukanlah dirinya yang menjadi sumber tenaga penggerak masyarakat, dan hakikat tenaga penggerak tersebut bukanlah Muawiyah. Dalam lubuk hati masyarakat tidak terdapat sifat-sifat Muawiyah! Yang terdapat di situ hanyalah sifat kenabian, keimanan, dan maknawiah. Akan tetapi, kemudian Muawiyah menunggangi tenaga-tenaga tersebut.

Begitu pula dengan Yazid yang telah membantai Imam Husain as, yang mengatakan, "Husain terbunuh oleh pedang datuknya."[36] Husain as telah terbunuh oleh pedang kakeknya, yaitu Rasulullah SAWW! Dari satu sisi, arti dari ungkapan tersebut bisa dibenarkan. Bahwa mereka telah menggunakan tenaga Rasulullah SAWW untuk membunuhnya (Imam Husain as). Itu dikarenakan dalam upaya menggerakkan masyarakat, mereka berseru, "Wahai kuda Allah, naiklah dan bergembiralah atas sorga," hai para penunggang Allah, naiklah (ke punggung kuda kalian), dan bergembiralab atas sorga yang akan kalian huni.

Imam Muhammad al-Baqir as mengatakan bahwa 30.000 orang telah berkumpul bersama guna membantai kakeku Husain as, "Dan masing-masing mendekatkan diri kepada Allah dengan (menumpahkan) darahnya."[37] Setiap orang mendekatkan diri kepada Allah dengan cara membantai Imam Husain as, sebab mereka berkeyakinan bahwa Yazid merupakan pengganti Rasul SAWW. Dan dikarenakan Husain bin Ali as bangkit menentangnya, maka mau tak mau (Husain as) harus diperangi.

Kebatilan menghunuskan pedang milik kebenaran dan mengarahkannya pada kebenaran itu sendiri. Dengan demikian, kebatilan telah menggunakan kekuatan kebenaran. Kekuatan tersebut pada hakikamya milik kebenaran. Namun, kemudian ia dimanfaatkan oleh kebatilan, layaknya cacing parasit yang hidup dalam tubuh manusia, yang menghisap sari-sari makanan dan darah. Semakin banyak mengkonsumsi (sari-sari makanan tersebut), makin gemuk pula tubuhnya (cacing tersebut). Sebaliknya, manusia yang dihisap oleh cacing tersebut akan menjadi kurus, lesu, pucat, pandangan matanya berubah, dan tenaganya menjadi lemah.

Al-Quran mengatakan bahwa pada dasarnya, tatkala banjir mengalir dengan deras, yang bergerak dan memiliki kekuatan untuk menghanyutkan apa-apa yang mengapung di atasnya adalah air semata. Namun yang Anda lihat tak lebih dari buih yang tengah bergerak. Jika tak ada air, maka buih tersebut tak akan dapat bergerak kendati hanya selangkah kaki. Namun dikarenakan di bawahnya terdapat aliran air, buih tersebut kemudian menunggangi dan memanfaatkan tenaganya (air). Dalam dunia ini, kebatilan senantiasa memanfaatkan tenaga kebenaran. Umpama berkenaan dengan kejujuran dan kebohongan. Dalam hal ini, kejujuran merupakan kebenaran, sedangkan kebohongan adalah kebatilan. Apabila di dunia ini tidak terdapat kejujuran, di mana tak ada seorangpun yang berkata jujur, dan seluruh masyarakat saling berbohong (ayah kepada anak, anak kepada ayah, istri kepada suami, suami kepada istri, teman kepada teman), maka kebohongan tak akan dapat terus dipertahankan, lantaran tak seorangpun yang akan percaya. Sekarang ini, mengapa kebohongan masih terbilang bermanfaat, bahkan terkadang seseorang perlu melakukannya? Sebab, kini masih banyak orang yang berkata benar. Dikarenakan dirinya sendiri serta orang-orang lain senantiasa berkata benar, maka tatkala ia berbohong, mereka akan menduga bahwa perkataan (bohong)nya juga benar (bukan suatu kebohongan) dan akhirnya termakan tipuan tersebut. Dengan demikian, pada dasarnya kebohongan menggunakan tenaga kejujuran. Apabila tidak terdapat kejujuran, seseorang tak akan tunduk pada kebohongan. Dan dikarenakan kebohongan dianggap sebagai kebenaran, akhirnya mereka pun tertipu; jika tidak demikian, di mana mereka mengetahui dengan benar bahwa hal itu merupakan sebuah kebohongan, tentu mereka tak mungkin mengikutinya. Demikian pula halnya dengan kezaliman.

Jika di dunia ini tidak terdapat keadilan, tak mungkin pula terdapat kezaliman. Jika antara satu individu dengan individu lainnya tidak saling mempercayai, dan satu sama lain hendak mencuri, maka saat itu orang yang paling zalim pun tak akan sanggup mencuri. Orang zalim tersebut hanya mampu mencuri tatkala masyarakat yang ada memperhatikan fitrah, menjaga kehormatan dan harga diri, saling mempercayai antara satu sama lain, dan menjaga keadilan. Seluruh tenaga kebenaran tersebut kemudian dimanfaatkan dan disalahgunakannya (orang zalim). Masyarakat itulah yang senantiasa menjaga kekokohan berbagai sendi kehidupannya. Dan dalam tubuh masyarakat semacam itulah, orang zalim tersebut dapat melakukan pencurian.

Jika Anda mendengarkan siaran radio yang dipancarkan dari berbagai stasiun radio yang ada di seluruh penjuru dunia, Anda tak akan mendapatkan radio-radio tersebut menyiarkan berbagai bentuk tekanan atau intimidasi, umpama dengan mengatakan, "Kami hendak berbuat kelaliman," ataupun, "Kami hendak mencuri dan merampok sumber kekayaan negara fulan." Namun, semua radio tersebut akan berbicara tentang keadilan, perdamaian, serta hak asasi manusia. Padahal, sebagian besar dari mereka, bahkan boleh dikatakan hampir keseluruhannya, senantiasa berbicara bohong. Mereka pada dasarnya berlindung di bawah kata-kata tersebut; di bawah naungan kebebasan, mereka justru menginjak-injak kebebasan. Sampai-sampai ada yang mengatakan, "Wahai kebebasan, dengan mencatut namamu, ciptakan kejahatan bagaimana yang tidak pernah terjadi di dunia ini." Semua itu merupakan arti yang sebenarnya dari pernyataan, "Kebatilan memakan sari-sari makanan kebenaran." Kekuatan zalim Nashiruddin Syah, Harun ar-Rasyid, atau Muawiyah diperoleh dan bersumber dari kekuatan masyarakat. Jika tidak begitu, mereka tentu tak akan memiliki kekuatan apapun.

Ada sebuah kisah yang saya kira tepat untuk disampaikan di sini. Alkisah, terdapat seorang alim yang berasal dari daerah Fars (Iran Selatan) berkunjung ke kota Teheran. Sewaktu berada di losmen, ia mendapati seluruh uangnya ludes tercuri. Di kota tersebut, ia tak memiliki kenalan seorangpun. Lantas, ia pun kebingungan. Dalam benaknya terlintas cara untuk mendapatkan uang. Perintah Amirul Mukminin Ali as kepada Malik al-Asytar ditulisnya kembali secara indah di atas selembar kertas yang bagus. Kemudian, tulisan tersebut dihadiahkan kepada perdana menteri yang berkuasa saat itu, dengan harapan, selain memberi petunjuk (kepada perdana menteri tersebut), dirinya juga akan selamat dari musibah yang menimpanya.

Orang alim mulia ini bersungguh-sungguh dalam menulis perintah tersebut yang tentunya menyita banyak waktu. Setelah rampung, pergilah ia menemui sang perdana menteri dengan membawa hasil usahanya. Tatkala hadiah itu diserahkannya, perdana menteri tersebut berkata, "Apa ini?" la menjawab, "Perintah Amirul Mukminin as kepada Malik al-Asytar." Perdana menteri memperhatikan tulisan tersebut barang sejenak dan melanjutkan pekerjaannya. Orang alim itu telah lama duduk menanti, sampai dirinya sudah tak sabar lagi, dan beranjak hendak keluar meninggalkan ruangan tersebut. Namun sekonyong-konyong sang Perdana Menteri melihatnya dan mengatakan, "Saudara, silahkan duduk." Orang mulia inipun kembali duduk dan menanti. Dalam ruangan itu banyak orang yang hilir mudik, datang dan pergi, sampai akhirnya ia pun bangkit kembali dan hendak meninggalkan ruangan. Perdana menteri mengatakan, "Saudara silahkan duduk." Semua yang ada di situ telah pergi kecuali para pelayan istana. Kembali dirinya bangkit dan hendak meninggalkan ruangan. Lagi-lagi perdana menteri mengatakan, "Saudara duduklah, saya ada urusan sedikit denganmu." Kemudian ia menyuruh para pelayan yang ada di ruangan tersebut untuk keluar, sembari memerintahkan penjaga pintu untuk menutup pintu dan tidak memperbolehkan seorangpun masuk ke dalam ruangan itu. Perdana Menteri tersebut berkata kepada orang alim itu, "Kemarilah!" Ketika telah duduk di sampingnya, Perdana Menteri itu bertanya kepada orang alim tersebut,"Untuk apa engkau tulis semua ini?" la menjawab, "Karena engkau adalah seorang perdana menteri, dan saya ingin memberimu sebuah hadiah. Saya pikir, tak ada hadiah yang lebih patut saya persembahkan kepadamu selain perintah Amirul Mukminin Ali as. Karena perintah itu merupakan undang-undang pemerintahan, dan aturan-aturan pemerintahan Islam." Perdana menteri berkata, "Kemarilah." Kemudian dengan berbisik, ia bertanya kepada orang alim tersebut, "Apakah Ali sendiri telah mengamalkan undang-undang ini?" Orang alim menjawab, "Ya, ia telah mengamalkannya." Perdana Menteri berkata, "la sendiri telah mengamalkan semua undang-undang ini, namun apa yang didapatkannya selain kekalahan? Keberhasilan apa yang telah diperolehnya sehingga engkau datang kemari dan memberiku undang-undang ini untuk kemudian aku amalkan?"

Orang alim itu menjawab, "Kenapa engkau tidak membicarakan semua ini kepadaku di hadapan masyarakat, namun engkau menunggu sampai semuanya keluar? Bahkan para pelayan pun engkau perintahkan untuk keluar, dan engkau berbicara kepadaku dengan cara berbisik-bisik? Engkau takut pada siapa? Engkau takut pada masyarakat ini? Engkau takut kepada siapa, selain kepada Ali as, yang pengaruhnya telah tertanam dalam jiwa masyarakat. Sekarang ini ke manakah Muawiyah? Muawiyah yang menjalankan pemerintahan semacam engkau, di manakah ia sekarang? Engkau juga terpaksa mesti mengutuk Muawiyah. Jika demikian, Ali as tidak kalah."

Bahkan pada masa sekarang ini, pemikiran Ali-lah yang memiliki pendukung. Kemenangan berpihak pada kebenaran. Memang, semua ini hanyalah sebuah perumpamaan. Namun, tak bisa dipungkiri, ia telah menjelaskan sebuah hakikat!

Khutbah ke-50 dari Nahj al-Balâghah memaparkan dengan jelas bahwa kebatilan telah memanfaatkan kebenaran. Imam Ali as dalam khutbahnya mengatakan, "Sesungguhnya sebab munculnya fitnah ialah hawa nafsu yang dituruti,"[38] sesungguhnya sebab-sebab terjadinya fitnah dan kekacauan adalah mengikuti hawa nafsu. Manusia yang terpengaruh hawa nafsu, pada gilirannya tidak menyembah Allah Swt, namun mereka menyembah hawa nafsunya serta memenuhi berbagai tuntutannya!

"Dan hukum-hukum yang diada-adakan (bid'ah)," kemudian mereka membuat-buat hukum (bid'ah). Bagaimana cara yang harus ditempuh seseorang demi menuruti hawa nafsunya? Tentunya dengan menggunakan dan memanfaatkan tenaga kebenaran, mencampuradukan bid'ah dengan agama. Sebabnya ia mengetahui bahwa tenaga untuk itu bersumber dari agama. Jika ia mengatakan, "Ini adalah ucapan saya," tentunya tak seorangpun yang akan mendengarkannya. Karena itulah ia akan menjelaskan sesuatu dengan mengatasnamakan agama, sembari mengatakan, "Ayat al-Quran itu maksudnya adalah demikian...." Selanjutnya, ia juga membuat berbagai kepalsuan terhadap ucapan-ucapan Nabi SAWW (Rasul berkata demikian...), Imam Ja’far ash-Shâdiq (Imam berkata demikian...), dan seterusnya. la hendak memanfaatkan tenaga yang dimiliki al-Quran, Nabi SAWW, dan para imam as. Setiap hal yang bukan berasal dari agama diberinya label agama. "Dan padanya (hukum-hukum itu) menentang kitab Allah," hukum-hukum (yang bid'ah) tersebut bertentangan dengan kitab Allah.

"Dan dengan hukum-hukum itu orang-orang saling bersekutu tetapi tidak sesuai dengan agama Allah,"[39] ketika itulah orang-orang bersatu dan berkomplot, serta membentuk partai atau perkumpulan yang tidak berdasarkan pada agama Allah, melainkan berdasarkan bid'ah.[40] Dalam usaha mendukung berbagai bid'ah, mereka senantiasa menyebarkannya kepada masyarakat. Seluruh bid'ah tersebut mereka kemas dalam bentuk agama.

Kemudian Imam Ali as menyebutkan kandungan filosofi dari persoalan tersebut. Sungguh, betapa indahnya penjelasan beliau berikut ini, "Apabila kebatilan murni dan tidak bercampur dengan yang hak, ia tidak akan tersembunyi dari para pencari kebenaran (murtâdin),"[41] jika kebatilan tidak bercampur dan bergabung dengan kebenaran, tentunya or-ang-orang yang mencari kebenaran tidak akan menyimpang dari jalan yang benar. Sebagian besar masyarakat merupakan "murtaad"[42], pencari kebenaran. Namun, mereka (para pembuat bid'ah) kemudian datang dan mencampuradukan kebatilan dengan kebenaran. Ulah mereka tersebut menjadikan masyarakat kebingungan. Masyarakat lantas mengira bahwa kebenaran identik dengan kebatilan. Dan pada akhirnya, masyarakat pun akan mengkonsumsi kebatilan yang menggunakan label kebenaran tersebut. Jika kebatilan terpisah dari dan tidak tercampur aduk dengan kebenaran, para pencari kebenaran tentu akan mengetahui (mana kebenaran dan mana kebatilan) dengan mudah. Alhasil, sebagian besar masyarakat terdiri dari para pencari kebenaran, bukan pencari kebatilan. "Dan jika hak itu terlepas dari lapisan kebatilan, para pembencinya (hak) akan terbungkam," dan jika kebenaran dipisahkan dari lapisan kebatilan, ucapan orang-orang batil tersebut tentu tak akan memiliki arti. Apabila kebenaran dan kebatilan saling bercampur menjadi satu, tentu akan ada sekelompok orang yang mengira bahwa itu merupakan kebenaran murni. Kendatipun jika ia memperhatikan dampak yang ditimbulkan darinya (hak palsu itu) hanyalah keburukan belaka. Para penentang Islam, menyatakan dengan menggebu-gebu, "Agama dan mazhab yang kalian anut juga rusak dan menyimpang." Mereka sesungguhnya tidak mengetahui bahwa kerusakan tersebut merupakan dampak negatif yang ditimbulkan dari kebatilan, bukan dari kebenaran!! Kebenaran sama sekali tidak akan melakukan sesuatu yang menyebabkan mulut para penentang agama menjadi berkoar-koar semacam itu.

Sejarah kehidupan Muawiyah telah menjelaskan hakikat tersebut. Apa yang menyebabkan Muawiyah mampu merebut tampuk kepemimpinan? la dengan lihai telah menggunakan kekuatan kebenaran, dengan kekuatan masyarakat yang "murtâd" (pencari kebenaran), penuntut kebenaran, hanîf, dan pencari hakikat. Muawiyah telah memanfaatkan mereka yang baru saja mengenal Islam, yang jiwanya haus akan keislaman. Tatkala Usman berada di bawah ancaman pembunuhan dikarenakan ulahnya sendiri, Muawiyah sama sekali tidak memberikan bantuan kepadanya. Sebabnya, Muawiyah tidak memiliki kepentingan terhadap Usman. Yang ada dibenaknya hanyalah bagaimana cara menyabot tampuk kepemimpinan. Dalam pikirannya, jika Usman terbunuh, maka kematiannya justeru lebih bermanfaat daripada hidupnya. Karena itu, ia (Muawiyah) kemudian mengutus para mata-matanya untuk mengambil baju Usman yang berlumuran darah, juga potongan jarinya. Begitu mereka berhasil mendapatkannya, dengan segera Muawiyah menggantung baju Usman tersebut di alun-alun Syam atau di masjid besar Damaskus. Di sana ia naik ke atas mimbar dan mulai meneteskan air mata buayanya. la lantas mengatakan, "Wahai masyarakat, mereka telah membantai khalifah Rasulullah yang mazlum itu, dan ini adalah baju khalifah tersebut." Gemuruh tangis masyarakat pun sekonyong-konyong memenuhi angkasa.

Muawiyah selama berhari-hari membuat masyarakat menangis seperti itu, dan senantiasa mengungkapkan kemazluman khalifah Nabi tersebut, sembari membacakan ayat, "Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan."[43] Ayat tersebut memang menegaskan bahwa jika seseorang terbunuh secara zalim, maka Allah memberikan hak kepada walinya untuk melakukan qishâs (pembalasan). Akan tetapi, dalam upaya membalas secara hukum atas pembunuhan tidak diperbolehkan untuk dilakukan secara berlebih-lebihan. Sesungguhnya, dia adalah orang yang mendapatkan pertolongan. Muawiyah berseru, "Wahai masyarakat, apakah kalian hendak mengatakan bahwa kita ini mesti diam saja dalam menghadapi kejahatan besar yang dilakukan pada Islam?" Mereka semua menjawab, "Tidak, kami semua dengan tulus hati siap untuk berjuang." Kemudian ia mengumpulkan masyarakat dan menggiringnya ke medan pertempuran untuk melawan Imam Ali as. Dengan demikian, akan tampak bahwa sebenarnya Muawiyah tidaklah memiliki kekuatan apapun. la hanya memanfaatkan kekuatan al-Quran dan Nabi SAWW. Kemudian Muawiyah mengutus Yazid bin Abîh, seorang pembantai haus darah, untuk bergabung dengan masyarakat. Lantas, apa komentar masyarakat terhadap kebijakan tersebut? Mereka mengatakan, "Inilah kebijakan Islam, inilah ajaran agama. Lihatlah bagaimana siasat pemerintahan Islam itu." Sikap semacam itulah yang menyebabkan para penentang Islam mengolok-olok Islam.

Kemudian Imam Ali as bersabda, "Namun diambilnya seikat dari yang ini dan seikat dari yang itu, kemudian keduanya dicampur-baur."[44] Akan tetapi, mereka mengambil sebagian dari kebenaran dan sebagian lagi dari kebatilan, kemudian keduanya dicampur-aduk. Dalam hal ini, segenggam nilai kebenaran dan segenggam nilai kebatilan dicampur menjadi satu, kemudian disuapkan ke mulut masyarakat. Ulah semacam ini laksana seseorang yang mencampur tepung gandum dengan tepung arzan (biji-bijian untuk makanan burung), untuk kemudian dijualnya ke pasar! Ketika pembelinya memakan roti tersebut, ia sama sekali belum menyadari bahwa roti tersebut terbuat dari campuran kedua tepung tadi. Baru pada keesokan harinya, mereka akan merasakan bahwa roti yang mereka makan semalam bukan terbuat dari tepung gandum murni. "Pada tahap ini, iblis menaklukkan teman-temannya, dan yang mampu melepaskan diri hanyalah mereka yang sebelumnya telah diberi suatu kebijakan oleh Allah."[45]Disinilah para setan menguasai teman-temannya. Sarana yang digunakan setan tersebut adalah kebenaran; yakni kebenaran yang telah bercampur kebatilan, kebenaran yang berjubah kebatilan. Inilah makna yang dapat disimpulkan dari ayat di atas, bahwa kebatilan menghisap sari makanan kebenaran, sementara ia sendiri tidak memiliki tenaga yang orisinil, dan hanya mencuri tenaga milik kebenaran. Jika tidak ada air, maka buih tidak akan mampu beringsut kendati hanya sejengkal. Ketika kita melihat kebatilan sanggup bergerak, itu tak lain dikarenakan ia menunggangi pundak kebenaran. Lihatlah bagaimana al-Quran menunjukkan bahwa kebatilan tidak memiliki nilai dan arti sama sekali.

Kemenangan Lahiriah dan Kemenangan Akhir

Jika hanya dipandang secara sederhana dan lahiriah semata, bukan secara ilmiah dan logis, maka akan terkesan bahwasannya kebatilan mampu bergerak dan berputar. Umpamanya seorang anak yang sepanjang umurnya tidak pernah melihat banjir, sehingga tidak mengetahui apakah dan dari manakah asalnya banjir. Tatkala melihat banjir yang deras, anak tersebut hanya akan menjumpai gumpalan buih yang tengah mengalir. la sama sekali tidak berpikir bahwa selain buih, terdapat sesuatu yang lain!

Kebatilan memang bisa meraih kemenangan secara lahiriah dan menguasai kawasan yang luas. Namun, pada akhirnya ia tetap akan terkalahkan. Al-Quran mengatakan, perluaslah pandanganmu, dan dalam melihat sebuah masyarakat, janganlah engkau hanya melihat bagian luarnya saja. Apabila kalian hendak meneliti dan mengkaji peristiwa yang terjadi seratus tahun silam, janganlah kalian memproyeksikannya pada sosok Nashiruddin Syah, dengan berbagai permainan cinta, foya-foya, serta kezalimannya, lantas kalian mengatakan bahwa pada masa itu, seluruh masyarakat memiliki perangai seperti Syah. Janganlah kalian menyimpulkan bahwa semua masyarakat yang hidup saat itu identik dengan Nashiruddin Syah. Janganlah kalian jadikan Nashiruddin Syah sebagai cermin yang memantulkan keadaan riil masyarakat saat itu.

Jika memang semacam itu, bagaimana kalian mampu menjelaskan munculnya pengaruh besar dari fatwa pengharaman tembakau yang dikeluarkan Mirza Syirazi? Ketika Nashiruddin Syah bersama perdana menterinya memanfaatkan kelengahan dan kejahilan masyarakat untuk kemudian memberikan konsesi kepada orang-orang asing, justru sejumlah rohaniawan yang cemerlang dan brilian di ibu kota dan kota-kota lainnya menyerukan berbagai slogan yang ditujukan demi menyadarkan masyarakat. Salah satunya, fatwa yang dikeluarkan Mirza Syirazi, yang menggema dari kota Samirrâ' (Irak) sampai Iran. Tatkala sampai di Iran, fatwa itu, laksana sebuah bom berkekuatan besar, pun meledak dan menimbulkan guncangan yang dahsyat, yang menjadikan masyarakat sadar, bangkit, dan mengecam kebijakan Nashiruddin Syah dalam pengistimewaan perusahaan-perusahaan asing. Kenyataan ini menunjukkan bahwa faktor keimanan masih menguasai jiwa masyarakat. Penguasa sebenarnya adalah sesuatu yang hakiki. Wanita-wanita pada masa itu, sebagaimana peristiwa yang terjadi pada masa awal Islam, dengan susah payah keluar dari rumah untuk menyemangati para suaminya dengan menyatakan, "Kalian harus melawan dan jika tidak, kalian tidak berhak pulang ke rumah, dan kita tak sudi menerima kepulangan kalian." Kisah ini sekaligus menjadi bukti nyata bahwa Nashiruddin Syah tidak dapat dijadikan tolok ukur atas kondisi masyarakat yang ada pada masa itu. Benar, masyarakat pada masa itu tidak memiliki pengetahuan yang memadai, namun itu tidak identik dengan kejahatan. Mereka (para kaki tangan Nashiruddin Syah) memang sengaja melanggengkan kondisi masyarakat agar senantiasa berada dalam kebodohan. Namun, itu bukan berati masyarakat yang hidup pada masa itu semata-mata terdiri dari orang-orang yang rusak dan jahat. Sekarang, marilah kita tengok masa seratus tahun sebelumnya, yaitu pada saat Nadir Syah membangun menara dengan menggunakan kepala-kepala manusia.

Dapatkah Nadir Syah dijadikan sebagai tolok ukur atas kondisi masyarakat yang ada pada masa itu? Menurut pendapat al-Quran, "Tidak bisa." Pribadi-pribadi semacam itu—yang terkenal dalam sejarah, tak ubahnya dengan gelembung buih, sehingga janganlah kalian menjadikan mereka sebagai tolok ukur. Seandainya seluruh masyarakat memiliki sifat yang identik dengan Nadir Syah, mereka pasti telah hancur berantakan.

Al-Quran mengatakan, jika semua masyarakat memiliki karakter yang sangat jahat, buruk, zalim, dan pembohong, pasti Kami telah membinasakan mereka. Masyarakat semacam itu mustahil tetap eksis. Mereka pasti tidak akan dapat bertahan lama dan segera binasa. Untuk apakah al-Quran menjelaskan peristiwa pembinasaan masyarakat terdahulu? Al-Quran mengatakan, bahwa banyak kaum yang hidup sebelum kalian, yang ketika sebagian besar dari mereka berbuat kerusakan, Kami segera memusnahkan mereka semua. Jika memang demikian, ketika sebuah masyarakat tetap eksis, itu menunjukkan bahwa sebagian besar dari mereka bukanlah orang-orang yang rusak dan asusila. Jumlah mereka yang rusak sebenarnya sangatlah sedikit, dan mereka laksana buih yang mengapung di atas air.

Penampakan dan pergerakan kebatilan hanya terjadi dalam beberapa waktu saja dan sifatnya hanya sementara. la muncul, namun kemudian dengan cepat akan lenyap dan musnah. Ada sejumlah hadis yang bentuknya menyerupai pepatah, "Kebenaran memiliki kerajaan, dan kebatilan berputar-putar." Kebenaran memiliki kekuasaan dan tetap eksis, sedangkan kebatilan hanya memiliki bentuk semata yang dengan cepat akan lenyap dan binasa. Juga pada hadis lain, "Kebatilan berputar-putar kemudian lebur." Kebatilan bergerak berputar-putar, untuk kemudian lebur dan musnah! Sementara itu, kebenaran memiliki jalur yang pasti dan tetap abadi. Sampai di sini kiranya cukup jelas bahwa kebatilan dapat muncul ke permukaan berkat adanya kebenaran, ibarat munculnya buih atau bayangan seseorang. Jelas, apabila kebenaran tidak eksis, kebatilan pun tak akan pernah ada. Itu dikarenakan dalam setiap upayanya, kebatilan senantiasa mencatut nama kebenaran dan hidup di bawah sinar serta naungan kebenaran.

Kebenaran semacam air sungai yang mengalir dan ditunggangi berbagai kotoran dan membawa serta berbagai macam sampah. Kemudian sampah-sampah tersebut membentur ke sana-sini sehingga akhirnya terbentuklah buih-buih yang kotor dan menjijikan. Keberadaan buih-buih tersebut merupakan suatu keniscayaan yang muncul dari gerakan dan aliran alamiah air.[]

[1] As-Sajdah: 7.

[2] Thâhâ: 50

[3] Diceritakan bahwa raja yang berkuasa pada masa itu mengatakan kepadanya, "Aku hendak memberikan kepadamu suatu jasa yang paling baik, dan aku akan membebaskanmu dari keburukan kehidupan ini." Kemudian raja membunuhnya.

[4] Al-Baqarah: 30.

[5] Ibid.

[6] Ibid.

[7] Majma' al-Bayân, jilid 8, hal. 303; Bihâr al-Anwâr, jilid 3, hal. 281. Dinukil dari buku Ghawâli al-La'âlî dengan tanpa kalimat "yumajisânihi" (menjadikannya Majusi); Tafsir al-Burhân, jilid 4, hal. 263, hadis ke 29, dinukil dari Sheikh Thabarsi dalam buku Jâmi' al-Jawâmi'.

[8] At-Taubah: 33.

[9] An-Nûr: 55.

[10] Istilah "Materialisme Sejarah" sama sekali tidak pernah dipakai Marx dalam berbagai literaturnya. Istilah ini baru muncul beberapa tahun setelah kematian Marx. Adalah Michonef (atau menurut Anthony Giddens, adalah Friedrich Engels, —peny.) yang pertama kali mencetuskan istilah tersebut, yang kemudian menjadi terkenal. Adapun istilah yang akan kita jumpai dalam berbagai literatur Marx adalah "materialisme mengambil pelajaran dari sejarah", yang artinya, mengambil pelajaran dari kehidupan.

[11] Al-Hadîd: 25.

[12] Plato sama sekali tidak mampu mendirikan sebuah kota kecil berdasarkan ide-idenya. Pada akhir usianya, ia tidak lagi meyakini kebenaran tesisnya tersebut.

[13] Al-Qhashash: 88.

[14] Ar-Rahmân: 27.

[15] At-Taubah: 33.

[16] Al-Baqarah: 6-7.

[17] Al-Baqarah: 8-9.

[18] Al-Baqarah: 14.

[19] Al-Baqarah: 15.

[20] Al-Baqarah: 17.

[21] "Nukri" merupakan istilah dari bahasa Parsi yang artinya perbuatan jahat.

[22] Al-Baqarah: 18.

[23] Al-Baqarah: 19.

[24] Ash-Shâffât: 171-173.

[25] A^li ‘Imrân: 21.

[26] An-Nûr: 55.

[27] A^li ‘Imrân: 139.

[28] Hadis ini tercantum dalam buku Al-Jâmi' ash-Shaghîr, jilid 1, hal. 1. Dan dalam buku Munyatul Murîd, hal. 27, dengan bentuk yang demikian, “Sesungguhnya amal perbuatan itu mesti dengan niat, dan setiap orang itu tergantung pada niamya, barangsiapa yang hijrahnya itu dikarenakan Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya demi mendapatkan dunia, demi mendapatkan wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya itu adalah kepada yang menjadi tujuan dari hijrahnya itu."

[29] Al-Anbiyâ': 18.

[30] Ibid.

[31] Ar-Ra'd: 17. Kata zabadan berarti "buih", dan kata râbiyan berarti "naik" atau "muncul ke permukaan". Kata zabadan râbiyan artinya, "buih yang memenuhi permukaan air."

[32] Ibid.

[33] Ibid.

[34] Ibid.

[35] Ibid.

[36] Bihâr al-Anwâr, jilid 44, hal. 298.

[37] Al-lrsyâd, Sheikh Mufid, jilid 2, hal. 92, cetakan Ilmiah Islamiyah; Bihâr al-Anwâr, jilid 45, hal. 39.

[38] Nahj al-Balâghah, "Faidh al-Islam", khutbah ke-50, hal. 137.

[39] Ibid.

[40] Di sini, yang dimaksud dengan bid'ah ialah bukan segala sesuatu yang baru, tetapi sesuatu yang baru disandarkan pada agama. Yakni sesuatu yang bukan bagian dari agama digambarkan seolah-olah itu merupakan bagian dari agama, dan sesuatu yang bukan bagian dari agama dianggap sebagai bagian dari agama. Bid'ah dan pengada-adaan semacafn ini adalah diharamkan. Seperti yang dilakukan Abu Hurairah tatkala menjadi penguasa Makkah. Saat itu datang kepadanya seseorang yang tengah menghadapi kesulitan yang membawa bawang merah dari kota 'Akkah untuk dijual di Mekkah, akan tetapi tak seorang pun yang mau membelinya. Dan keadaan bawang merah itu hampir rusak. Kemudian ia mendatangi Abu Hurairah dan meminta pertolongan darinya. Pada hari jumat, Abu Hurairah naik ke atas mimbar dan berseru, "Aku telah mendengar dari kekasihku Rasulullah bahwasanya beliau bersabda: 'Barangsiapa yang memakan bawang merah dari 'Akkah dan dia berada di Makkah, maka wajib atasnya surga.'" Yakni siapa saja yang berada di kota Makkah dan memakan bawang merah dari kota 'Akkah, ia pasti akan masuk surga. Seketika itu masyarakat berjubel dan berkerumun seperti lebah serta saling berebut membeli bawang merah asal kota 'Akkah tersebut. Dan agama tidak membenarkan seseorang untuk berbuat bid'ah semacam ini.

[41] Nahj al-Balâghah, "Faidh al-Islam", khutbah ke-50, hal. 137.

[42] Arti kata "murtâd" sama dengan arti kata "hanîf' yang terdapat dalam al-Quran.

[43] Al-Isrâ': 33.

[44] Nahj al-Balâghah, "Faidh al-Islam", khutbah ke-50, hal. 137.

[45] Ibid.