SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG
Kesimpulannya, sahabat ini oleh Ahlul Sunnah juga termasuk orang yang diragukan. Namun sebagaimana yang telah saya katakan tadi, bahwa pendirian kita Ahlul Sunnah menganggap semua sahabat Nabi itu “Udhul”. Dengan demikian, maka Abu Hurairah juga diusahakan untuk diberi “excuse” sehingga kita mengatakan bahwa Abu Hurairah ini harus kita percayai karena Hadits-hadits yang diriwayatkannya banyak sekali.

Dia meriwayatkan mungkin lebih dari 5000 buah Hadits. Adapun pertanyaan anda: Apakah hal ini tidak sampai mengurangi syariat?

Jawabannya saya kira tidak, sebab Hadits-hadlts yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah juga diriwayatkan oleh sahabat-sahabat yang lain dan diriwayatkan pula melalui jalur-jalur Imamiyah secara khusus. Jadi bukan Abu Hurairah saja yang meriwayatkannya tetapi juga sahabat-sahab yang lain.

Misalnya saja tentang Bab Wudhu atau Bab Tayamum Abu Hurairah meriwayatkan, sahabat-sahabat lain yang dipercaya oleh Imamiyah juga meriwayatkan, demikian juga sahabat-sahabat selain Abu Hurairah yang dianggap semuanya “udul” oleh Ahlussunnah juga meriwayatkan, dan tidak mesti dari jalur Abu Hurairah saja. Juga Abu Hurairah ini oleh Syi‘ah dianggap sebagai perawi yang suka menambah. Yakni menguatkan pendirian Nabi dengan pendirian beliau sendiri inisalnya Hadits yang berbunyi:

“Ummatku di hari kiamat nanti akan dibangkitkan oleh Allah dalam keadaan wajah, kedua tangan dan kakinya serta tempat-tempat yang terkena air wudhu akan bersinar.”[16]

Kemudian Hadits ini ada tambahannya: “Barangsiapa yang bisa menambah selain dan itu maka lakukanlah.”

Jadi menambah batas wudhu bukan hanya batas siku tetapi ditambah hingga ke pangkal lengan karena tambahan itu nanti menyala juga di hari kiamat: Ketika Abu Hurairah ditanya tentang hal ini, ia menjawab bahwa yang terakhir tambahan itu bukan dari Nabi tetapi dari Abu Hurairah sendiri. Ahlussunnah meriwayatkan dan menerima seperti itu, sedang kaum Syi’ah tidak menerima hal itu. Sebab menurut mereka, kita tidak boleh menambah sabda Nabi. Jadi apa yang dibawa oleh Rasul sebagaimana ayat yang mengatakan “Sampaikan apa yang diturunkan kepadamu…” kita juga menyampaikan apa yang dibawa oleh Rasul tanpa kita tambah, walaupun mungkin niat Abu Hurairah baik, yang maksudnya menambah agar tidak sampai persis dan juga untuk hati-hati (lil ihtiyat) jangan sampai ngepas.

Tetapi Syi’ah tidak bisa menerima hal yang seperti ini. Syi’ah itu bermaksud menghendaki ketegasan dan kejelasan dan mengatakan ini tidak betul dan kami tidak mau tambahan ini. Karena itu mereka mengatakan bahwa Hadits riwayat Abu Hurairah di atas ini adalah tambahan.

Dan ada lagi di dalam Hadits Bukhari, ketika Abu Hurairah ditanya -di dalam Bab Nafaqah- apakah ini dari sabda Nabi? Dia menjawab tidak, ini dan kantong Abu Hurairah.

Menurut Imamiyah, hal ini fatal. Dalam hal-hal seperti ini Syi’ah tidak bisa menerima. Bukan hanya orang-orang lmamiyah saja yang tidak percaya dengan Abu Hurairah bahkan Sayyidina Umar bin Khattab sendiri pernah meragukannya. Ketika Abu Hurairah dipanggil dari Bahrain oleh Khalifah Umar, ia datang sambil membawa oleh-oleh berupa barang dan harta benda, kemudian ditanya oleh Sayyidina Umar: “Apa ini semua? Dia menjawab: Ini kuda-kuda saya yang beranak dan ini hadiah-hadiah dari orang-orang itu.” Umar bin Khattab menolaknya: Tidak, semua ini harus kau kembalikan ke Baitul Mal. Ia menjawab lagi: Wahai Amirul Mu’minin, ini hadiah!

Kata Amirul Mu’minin: Kalau kau tidak memegang jabatan itu dan kau tinggal di rumah tanggamu, apa ada kiranya orang-orang yang memberi kamu hadiah ? Kembalikan semuanya ke Baitul Mal! Abu Hurairah bersikeras: Saya akan mewakafkannya. Umar marah, Kembalikan ke Baitul Mal sebelum aku pukul engkau. Kamu boleh mewakafkan sesuatu yang datang dari ayahmu atau dan warisan ayahmu, tetapi ini adalah hak kaum muslimin dan kamu harus mengembalikannya kepada mereka.[17]

Hadits-hadits dan riwayat-riwayat semacam ini kita yang meriwayatkan. Kita tidak boleh menyalahkan Syi’ah, kita tidak boleh gegabah, bukankah hal-hal seperti itu kita sendiri yang meriwayatkannya? Kalau kita konsekwen menyalahkan Syi’ah, kita harus menghapus hadits-hadits yang ada dalam Bukhari dan lain-lain yang berkenaan dengan Abu Hurairah ini.

Kesimpulannya, kita tidak boleh menyalahkan Ahlussunnah --yang menganggap Abu Hurairah itu orang yang “udhul” dan juga tidak boleh menyalahkan Syi’ah --karena mereka melihat adanya riwayat yang meragukan.

Saya kira dua Madzhab ini masih ada dalam jalur yang wajar dan sehat, menurut ilmu pengetahuan dan ijtihadnya masing-masing. Sebagaimana kita, Syi’ah juga menghendaki segala sesuatu yang datang kepada mereka dan para sahabat, seharusnya sudah selektif (terpilih), tidak sembarang sahabat.

Mereka tahu bahwa yang datang kepada mereka itu adalah masalah agama atau Ad-Din yang harus dibawa oleh orang-orang yang sangat jujur, tidak sombong, tidak korupsi dan lain sebagainya.

Maka dari itu mereka menganggap bahwa kriteria ini tidak dimiliki oleh Abu Hurairah sehingga kita dengan mereka berbeda dalam masalah Abu Hurairah.

Sedangkan masalah agama tidak ada hubungannya dengan masalah ini sebab hadits-hadits tentang agama (hukum) diriwayatkan oleh sahabat-sahabat yang lain. Walaupun umpamanya Syi‘ah meniadakan riwayat Abu Hurairah secara keseluruhan dan meniadakan riwayat sahabat-sahabat yang memerangi Sayyidina Ali yang akan merebut Khalifah secara kudeta, serta mengeroyok Utsman bin Affan, kita tidak boleh salahkan mereka. Sebab orang yang ingin menyalahkan Syi’ah dalam hal ini maka tidak ada kesetiaannya terhadap ukhuwah dan kepada Islam.

Mahasiswa: Selain riwayat Abu Hurairah, riwayat-riwayat siapa lagi dari sahabat Nabi yang tidak dipakai oleh Syi‘ah?

Ustadz Husein: Imamiyah tidak memakai riwayat yang disampaikan oleh orang-orang yang hadir bersama Sayyidatuna A’isyah Ra di dalam peperangan Onta untuk memerangi Ali dan juga yang hadir di dalam peperangan Siffin bersama Muawiyah yang memerangi Imam Ali di Siffin.

Imamiyah menganggap hadits-hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang seperti mereka ini adalah tidak kuat, sebab orang-orang ini melanggar perintah Rasul Saww: “Barangsiapa yang keluar (membatalkan) bai ‘atnya, maka apabila Ia mati, maka matinya mati jahiliah.”[18]

Jadi mereka yang memerangi Ali dianggap Imamiyah sebagai orang-orang yang kesalahannya luar biasa (tidak dimaafkan), mereka ini hadits-haditsnya tidak dipakai. Alhamdulillah, jalur-jalur selain mereka masih cukup sehingga syariat Islam sampai kepada kita dan sampai pula kepada Imamiyah. Kita bisa melihat apakah mereka kekurangan?

Kalau kita masih meragukan, bila kita tolak hadits-hadits yang dibawa oleh Abu Hurairah kemudian Syariat Islam akan hilang separoh? Kita lihat saja Imamiyah yang sama sekali tidak memakai hadits-hadits Abu Hurairah. Walaupun mereka menolak Abu Hurairah dan sekian banyak sahabat lainnya, toh Fiqih mereka lengkap, Ushul dan Tauhid mereka komplit. Semua ini diambil oleh mereka dari jalur para Imam mereka dan para sahabat yang simpati kepada Ahlul Bait.

Insya Allah di kalangan saudara-saudara yang berkecimpung di dalam bidang-bidang’ ilmu pengetahuan dengan cara ilmiah tidak akan sulit meneliti hadits-hadits yang dibawa oleh Syi‘ah Imamiyah dan hadits-hadits yang ada di tangan kita. Insya Allah hal ini tidak sukar bagi saudara apabila ada waktu untuk mempelajarinya.

Mudah-mudahan apa yang saya terangkan tentang Abu Hurairah ini, khususnya juga yang diriwayatkan di dalam kitab-kitab shahih Bukhari-Muslim sebenarnya membuat kita Ahlussunnah? meragukannya, sebab beliau mengatakan -sebagaimana yang telah saya katakan tadi- ketika ditanya “Apakah kamu mendengar ini dari Rasulullah?” Beliau menjawab: Tidak, -sambil bergurau- ini berasal dari kantong Abu Hurairah. Anda bisa melihat ini dalam Shahih Bukhari juz 7 hal. 63 di kitab Nafaqah (Bab Wujubun Nafaqah ala Ahli wal Iyal). Dengan demikian orang bisa ragu, tetapi karena kita sudah terlanjur mempunyai kaidah semua sahabat “udul”, maka kita tidak bergerak dari kaidah itu, dan hal itu tidak ada masalah, yang penting kita tidak memaksa orang lain untuk percaya pada sistem atau cara Imamiyah dalam menanggapi sahabat seperti Abu Hurairah dan lain sebagainya.

Juga kita tidak boleh mencaci atau mengkafirkan mereka kalau mereka menganut sistem atau aliran itu. Yang penting kita harus berdiri di tengah dan memikirkan ukhuwah, jangan sampai terpecah hanya karena masalah-masalah seperti ini.

Kelima: Hadits Qur‘an wa Sunnati atau Hadits Qur ‘an wa Ithrati?

Mahasiswa: Kami pernah satu hadits tetapi ada dua pengakuan terhadap hadith tersebut adalah Hadits Tsaqalain yang menyebutkan tentang Kitabullah wa sunnati mohon penjelasan?

Ustadz Husein: Sebenarnya hal itu ada dua Hadits yang satu menurut jalur Ahlul Bait atau Imamiyah yang berbunyi sebagai berikut: “Aku tinggalkan pada kalian dua pusaka yang berharga, Al-Qur’an dan Ithrah Ahli Baitku, kalau kalian berpegang teguh pada keduanya kalian tidak akan sesat.”

Menurut Syi‘ah Imamiyah hadits tersebut hampir dikatakan mutawatir, bukan hanya shahih saja. Kalau hadits ini kita tinjau dari kitab-kitab standar kita Ahlussunnah (lihat catatan kaki no. 6) maka kita menganggap hadits ini yang menyebutkan “Ithrati”, kita Ahlussunnah menganggapnya shahih. Hampir semua kitab hadits meriwayatk an hadits Ithrah ini kecuali Bukhari. Imam Muslim meriwayatkannya dalam Kitab Fadhoil Ahlul Bait; Imam Turmudzy, An-Nasa’i dalam kitabnya Al-Khoshois, dan Ahmad dalam Musnadnya, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, Kanzul Ummal, Ath-Thobakot dan lain-lain Dan juga di dalam tafsir lbnu Katsir, Jama‘ul Ushul dan lain-lain.

Tadi kita Ahlus Sunnah sendiri menganggap Hadits ini shahih: Sedangkan hadits serupa tetapi menyatakan kitabullah wa sunnati dan itu pun hanya terdapat pada dua jalur saja. Kita Ahlul Sunnah membenarkannya dan tidak mau mengambil yang lain yakni kitabullah wa ithrati padahal hadits itu lebih kuat dan lebih banyak,[19] tetapi hanya “Kitabullah wa sunnati” yang dipakai.

Hadits kitabulah wa sunnati rasulihi maksudnya ialah “Kami meninggalkan dua hal bagimu, Kitab Allah dan Sunnahku”, Hadits ini menurut kita Ahlussunnah shahih dan bahkan kita berpegang dengannya.

Namun bagi Imamiyah yang saya anggap mereka itu teliti sekali, mengatakan bahwa justru hadits -wa sunnati- ini tidak tepat dan tidak sesuai dengan keadaan serta kenyataan di saat itu (Lihat Kitab: Li akuna ma’ashodiqin oleh Muhammad At-Tijani As-Samawi).

Menurut kenyataan sejarah, Nabi melarang sahabat menulis hadits Beliau. Sayyidina Abu Bakar, Umar dan Utsman pun melarang menulisnya sehingga sunnah Nabi yang merupakan ucapan Beliau, pengakuan suatu tindakan yang dilakukan sahabat atau ikrarnya, kemudian perbuatan Beliau sendiri. Ketiga-tiganya itu tidak pernah terbukukan sebab ada larangan.[20]

Walaupun larangan itu oleh sebagian golongan sebagai sesuatu yang naif sebab dikatakan khawatir bercampur aduk dengan Al-Qur’an. Hal ini saya kira mustahil sebab Allah telah berjanji akan memelihara Al-Qur’an itu dan segala gangguan dan juga bahasa Al-Qur’an itu dan sastranya demikian indah dan jauh berbeda dengan hadits.

Kalau orang Arab apalagi yang hadir di zaman Nabi khususnya yang muslim, tidak mungkin keliru atau salah membedakan antara hadits Rasulullah Saww dan Al-Qur’an. Oleh karena itu konon diriwayatkan bahwa Nabi tidak pernah mengajarkan sunnahnya.[21]

Jadi bila Nabi bertindak atau bersabda maka sahabat mencatatnya.[22] Tetapi kadangkala tidak semua sahabat hadir pada waktu itu sehingga kadang-kadang satu sunnah Nabi hanya disaksikan oleh seorang sahabat saja. Sehingga banyak sahabat misalnya tidak faham tentang cara tayammum.[23] Ada sahabat yang tidak tahu bagaimana cara mengusap sepatu dalam berwudhu, sebab mereka tidak melihat Rasulullah Saww berbuat demikian.

Jadi praktis yang terbukukan waktu itu yang berwujud kitab hanyalah Al-Qur’an.[24] Oleh karena itu Nabi bersabda: “Aku tinggalkan padamu Kitab Allah dan Ithrahku.”

Kalau sunnah Beliau benar-benar tidak tercatat, tidak mungkin orang berpegangan dengan sesuatu yang tidak ada (belum terwujud saat itu). Ketika Nabi sedang sakit keras dan beliau minta kertas dan tinta -sebagaimana yang telah diriwayatkan Bukhari-[25] untuk menuliskan wasiat, namun Sayyidina Umar menjawab: Ya Rasulullah! Cukup bagi kami Al-Qur’an.

Dengan susunan kalimat Sayyidina Umar ini -Yakfina Kitabullah- dan sama sekali tidak menyebut Sunnah, berarti -kalau kita mau jujur dan berprasangka baik- Sayyidina Umar tidak akan berpegang dengan Sunnah yang memang waktu itu belum tercatat dan belum terbukukan. Jadi Sayyidina Umar bukan menolak Sunnah walaupun ada Syi‘ah yang radikal mengatakan Umar menolak Sunnah, jadi termasuk ingkar sunnah tetapi sebagian lain mengatakan tidak demikian, sebab Umar pada waktu itu belum melihat adanya sunnah, sehingga dia bilang “Cukup Al-Qur’an”. Kemudian sunnahnya bagaimana?

Sunnahnya tentunya apa-apa yang ada di dada mereka, yang mereka ingat. Dan ini relatif tidak bisa apalagi yang memimpin tidak All round (menguasai sepenuhnya) dalam menghafal semua sunnah. Karena itu dengan prasangka yang baik kita harus menganggap bahwa -waktu itu sunnah belum terbukukan- Jika umpama sunnah waktu itu sudah ada (terbukukan) maka kita bisa menghukum Sayyidina Umar kafir, karena dia menolak sunnah. Oleh karena sunnah belum ada maka Umar berpegangan dengan apa yang sudah ada yakni Al-Qur’an.

Alasan lain ialah ketika Nabi Saww hidup, Beliau tidak pernah mengajarkan sunnahnya kepada ummatnya tetapi Beliau hanya mengajarkan Al-Qur’an.[26]

Jadi yang dikatakan sunnah adalah ucapan Beliau dan lain-lainnya itu belum ada yang mencatat (membukukan)nya dan belum terdaftar oleh semua sahabat. Kadangkala sebagaimana yang telah saya katakan tadi sunnah itu hanya didengar oleh seorang sahabat saja. Jadi Nabi tidak mengajarkan sunnah itu. Sunnah baru dibukukan dan ingatan para sahabat kira-kira satu abad setelah Nabi Saww wafat. Tepatnya di zaman Bani Abbas.

Perbedaan pendapat antara sahabat tentang memerangi kaum murtad di zaman khalifah Abu Bakar adalah salah satu bukti bahwa sebagian sahabat lupa akan sunnah Nabi yang belum terbukukan saat itu.

Peristiwa peperangan dengan kaum Riddah atau kaum murtad yang terjadi pada bulan-bulan pertama masa pemerintahan Abu Bakar yaitu menghadapi orang-orang yang menolak mengeluarkan zakat. Abu Bakar memutuskan untuk memerangi mereka dan Umar sedianya menolak dengan alasan mereka itu tetap mengucapkan syahadat, tetapi akhirnya Umar setuju. Pada awalnya Umar berdalil untuk menentang tindakan Abu Bakar, akhimya karena kuat dan kerasnya pendirian Abu Bakar maka Umar tertarik dengan pendirian Abu Bakar dan Ahl Riddah (yang tidak mau membayar zakat) itu.

Andaikata sunnah Nabi pada waktu itu sudah dibukukan tentu kedua sahabat besar ini tidak akan lupa akan peristiwa yang disaksikan oleh kedua beliau itu sendiri dan mereka tahu bahwa kejadian itu sampai turun ayat Al- Qur ‘an: “Yaitu peristiwa Tsa‘labah.”

Tsa’labah adalah salah seorang sahabat yang tidak mau mengeluarkan zakat di zaman Nabi dan dihadapi oleh Nabi sendiri sampai ada ayat yang turun karena peristiwa itu, namun terhadap Tsa’labah ini Nabi tidak membunuhnya. Jadi membunuh orang yang tidak mengeluarkan zakat tidak cocok dengan sunnah Nabi pada waktu itu. Tidak ada sahabat yang tidak tahu tentang masalah Tsa’labah ini, termasuk sahabat Abu Bakar dan Umar. Hal ini menunjukkan bahwa sunnah Nabi tidak terbukukan, kalau memang terbukukan tentunya mereka akan merujuk ke sunnah itu.

Oleh karena itu hadits yang menyebut “sunnati” itu menurut mereka tidak bisa dipastikan benar. Selain itu ada beberapa alasan yang terbaca oleh kita dalam hadits-hadits baik dari amalan-amalan sahabat yang bertentangan dengan sunnah Nabi andaikata mereka tahu, niscaya tidak akan mereka lakukan dan kita tidak berani mengatakan bahwa mereka sengaja bertindak dengan ijtihad sedangkan nash ada tetapi mungkin saja mereka ijtihad kerana sunnah tida ada atau tidak terdaftar, sedang yang bersangkutan tidak ingat sunnah itu. Jika mereka benar-benar tidak tahu tentang sunnah beliau dalam beberapa masalah maka bagaimana Nabi memesankan agar berpegangan dengan sunnah yang belum ada itu?

Setelah lama Rasulullah Saww wafat baru sunnah Nabi itu terbukukan. Orang yang pertama membukukannya adalah Imam Malik dan pembukuan tersebut dilaksanakan setelah terjadinya peperangan Jamal, peran g Siffin dan perang Nahrawan dan juga setelah peristiwa Al-Harra di mana ketika itu Madinah Rasulullah Saww dibuka bagi kaum angkara murka. Banyak sahabat yang terbunuh dalam peperan gan-peperangan dan peristi’wa itu. Ummat Islam saat itu terpecah menjadi dua kelompok:

Kubu Ali dan keluarga Nabi Saww dan kubu sahabat-sahabat pada umumnya. Yang lebih parah lagi adalah perpecahan antara kubu Ali dan Muawiyah. Para perawi yang ada mendekati Muawiyah, dan oleh Imamiyah hadits-hadits mereka tidak dipakai.

Jadi hadits “sunnati” menurut Imamiyah tidak ada, yang ada hanya hadits “a ithrati hal ini bisa dipertanggungjawabkan oleh kita Ahlus sunnah maupun oleh mereka kaum Syi’ah.

Dalam hadits “wa itrah” Nabi Saww seakan akan menyatakan, “Qur’an itu kutinggalkan atau Kitabullah itu saja yang aku tinggalkan padamu, adapun mengenai pelaksanaannya yaitu mandatarisnya adalah Ahlul Bait dalam arti keseluruhan.

Oleh karena itu, Ali oleh Imamiyah dianggap sebagai sahabat yang paling alim dan hal ini sudah diaksiomakan di zaman Abu Bakar, Umar dan Utsman. Ketiga sahabat ini kalau menghadapi suatu masalah pasti pergi menjumpai Ali dan bertanya kepadanya. Nabi bersabda: “Aku kotanya ilmu dan Ali adalah pintunya.”[27]

Karena itu menurut Syi’ah, lebih aman berpegang teguh kepada Itrah. Ah lus sunnah juga meriwayatkan “wa itrati” dan Syi’ ah Imamiyah juga meriwayatkan hadits wa ithrati, jadi kita menemukan titik temu dengan Syi‘ah dalam masalah ini walaupun antara kita dan mereka mempunyai jalur masing-masing. Adapun “wa sunnati” hanya ada pada jalur kita dan itupun han ya dua atau tiga jalur. Karena itu Syi‘ah menolak nya dengan alasan-alasan sebagaimana yang telah saya paparkan yakni pada waktu itu sebelum dibukukan atau belum ada.

Mahasiswa: Sebenarnya jawaban Ustadz tadi cukup jelas dan gamblang. Secara pribadi, saya bisa menjawab mana yang lebih shahih dan yang lebih bisa diterima antara hadits “sunnati” dan “itrati”. Namun saya ingin mendapat penjelasan yang lebih pasti dan Ustadz. Yakni mana yang lebih shahih, hadits “sunnati” dan “itrati”?

Ustadz Husein: Saya sendiri menganggap bahwa kedua pendapat Sunnah dan Syi ‘ah itu sudah cukup jelas. Kalau pendapat Imamiyah “wa sunnati” tidak mungkin diucapkan oleh Nabi sebab Nabi tidak akan mungkin meninggalkan sesuatu yang tidak berwujud (konkrit) atau lengkap.

Nabi hanya meninggalkan sesuatu yang konkrit yaitu Al-Qur’an. Jadi para sahabat walaupun yang buta huruf tidak bisa baca Al-Qur’an, kemudian mereka memerlukan satu ayat, mereka bisa bertanya kepada orang-orang yang hafal (huffadz), tetapi masalah sunnah mereka memerlukan keterangan dan waktu itu tidak ada satu pun kitab yang bisa dijadikan rujukan oleh mereka, sedangkan mereka memerlukan sunnah itu. karena, pada waktu itu sunnah terpencar-pencar di dada para sahabat dan tidak semua sahabat hadir ketika Nabi mengucapkan sesuatu, maka sulit kita percaya bahwa Nabi meninggalkan sesuatu yang belum konkrit, masih abstrak, yang masih diingat oleh satu orang sedang orang lain tidak ingat. Nabi tidak meninggalkan barang seperti itu tetapi beliau meninggalkan Al-Qur’an.[28]

Bahkan kalau saya tidak salah, Bukhari sendiri menyatakan ketika ditanya apakah Nabi meninggalkan wasiat atau tidak, Nabi hanya mewasiatkan Kitabullah (tanpa wa sunnati). Saya kira riwayat Bukhari ini lebih tepat dipegangi oleh Ahlussunnah.

Keenam: Apakah Mungkin di Zaman Setelah Nabi SAWW, ada pemalsu-pemalsu Hadits?

Mahasiswa: Dengan keterangan Ustadz itu akhirnya kami merasa bingung, karena Ustadz mengatakan “Kitabullah wa sunnati”; ternyata sunnah-sunnah zaman Nabi tidak dibukukan. Tetapi mengapa toh sampai juga kepada kita dan dipakai oleh kita Ahlussunnah Kemudian, apakah mungkin di zaman itu ada pemalsu-pemalsu hadits?

Ustadz Husein: Bila kita telah membaca sejar ah dengan teliti tanpa ada rasa fanatisme dan taqlid, maksudnya kita benar-benar bersikap neutral, maka bisa saja kita menerima pendapat itu.

Setelah sahabat dengan sahabat berperang. Muawiyah mempunyai klik (kelompok) untuk memerangi Ali sedangkan Ali dan Ahlul Bait Nabi Saww yang ditinggalkan Nabi sebagai Sesuatu yang hidup atau sunnah yang hidup d an berjalan bersama al-Qur’an yang nantinya ditafsirkan oleh Ali. Ali dan Al-Qur’an sudah merupakan dua p eninggalan yang paling baik. Tetapi setelah hal itu dilanggar, kemudian Ali dirongrong dan dibunuh, sampai Hasan dan Husein di bunuh, maka di zaman itu banyak orang yang sebenarnya diraguk an imannya kepada Allah dan Rasul-Nya.

Saudara jangan menganggap ini adalah pendapat saya. Seorang sahabat yang kesaksiannya dianggap dua orang oleh Rasulullah Saww. Yaitu Huzaifah bin Yaman pernah mengatakan: “Sesungguhnya kemunafikan itu ada pada zaman Nabi, namun di zaman kita sekarang adalah kek afiran setelah Iman.”

Artinya mereka itu sudah keluar dari garis iman, dan itulah kafir setelah mereka beriman. Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari pada juz 9 Kitabul Fitan. Jadi kalau ada orang yang dikualifikasikan oleh Huzaifah sebagai keluar dari iman -- kafir sesudah beriman -- jelas orang-orang seperti itu dapat melakukan pemalsuan hadits? Justru mereka mencari dalih agar dapat menyingkirkan, menyudutkan dan meninggalkan Ali serta tidak membai’atnya sebagai khalifah pertama, ada alasan.

Tidak bisa meninggalkan hadils “wa itrati” sebab mereka sendiri meriwayatkannya dan Syi‘ah juga meriwayatkannya. Bagaimana alasannya hadits tersebut dibuang dan “wa itrati” diganti dengan “wa sunnati”? Mereka lupa bahwa waktu itu sunnah belum terbukukan, jadi mereka menambah. “wa Sunnati” juga tidak diterima. Tampak jelas bahwa ini merupakan sisipan atau suatu interpolasi, begitu kata penulis-penulis Imamiyah Itsna Asyariyah.[29]

Hal ini bisa menjadi bahan pertimbangan bagi saudara-saudara. Nabi itu orang yang realistis tidak hanya idealis. Beliau tidak akan meninggalkan sesuatu yang belum ada dan Beliau tahu bahwa sunnah belum terbukukan bahkan ada riwayat yang menyatakan bahwa Beliau merasa pernah melarang menulis sunnahnya. Lalu bagai mana beliau meninggalkan sunnah itu kepada kita? Jadi yang ditinggalkan adalah Al-Qur’an dan manusia Allround (serba bisa) yang akan menjalankan al-Qur’an, yaitu Imam Ali dan Itrah, itulah sebabnya ada hadits Ghadir dan lain-lain.

Ahlussunnah menganggap tidak demikian dan memang kita berhak mengatakan demikian.

Oleh karena itu yang menolak hadits “wa sunnati” yakni Syi’ah, kita tidak boleh kita mengkafirkan dan yang mau memegangi “wa sunnati” juga kita tidak menganggapnya kafir. Hanya sekarang masing-masing kita melihat konsekuensi dan meninggalkan “wa itrati” dan apa konsekuensi dan berpegang kepada “sunnati”.

Nyatanya dalam masalah Perang Riddah para sahabat berselisih, sebab tidak ada buku standar dalam sunnah. Tentu saja dalam al-Qur’an tidak merinci masalah itu hanya ia menyebutkan: “Maka bunuhlah mereka yang durhaka.” (Q.S.49: 9)