TAQDIR MANUSIA
Beberapa Pendapat Lainnya
Sesuai dengan yang telah kami jelaskan terdahulu, terbaginya qadha dan qadar menjadi definitif dan tidak definitif, berasal dari kondisi khas maujud-maujud. Suatu maujud yang memiliki berbagai kapasitas dan aneka sebab, dapat dipengaruhi oleh semuanya itu, sehingga ia ditarik oleh masing-masing sebab ke suatu arah tertentu. Maujud ini memiliki beraneka ragam kemampuan yang sesuai dengan keterikatannya dengan sebab-sebab yang beraneka ragam pula. Atas dasar ini, dapatlah dikatakan bahwa qadha dan qadar bagi maujud seperti ini tidaklah definitif. Adapun maujud yang hanya mempunyai satu kapasitas saja, yang tak memiliki kemungkinan kecuali melintasi satu jalan saja dan tidak memiliki ikatan kecuali dengan satu sebab saja, tidaklah memiliki kecuali satu nasib yang definitif saja, yang tak mungkin berubah. Dengan kata lain, definitif atau tidaknya berasal dari sisi kepasifan, bukannya dari sisi keaktifan, yakni satu kepasifan atau berbagai kepasifan yang meliputinya.
Oleh sebab itu, benda-benda mujarrad (abstrak) yang kehilangan kapasitasnya, seperti halnya berbagai maujud alamiah yang dalam beberapa keadaan, juga tidak memiliki kapasitas hanya untuk satu masa depan saja, nasibnya bersifat definitif. Sedangkan kumpulan yang terdiri atas berbagai fenomena alami yang memiliki lebih dari satu kapasitas inaka nasibnya pun tidak definitif.
Itulah ringkasan penjelasan tentang soal qadha dan qadar yang definitif dan yang tidak definitif. Masalah ini juga telah ditafsirkan dengan berbagai penafsiran lainnya. Adakalanya dengan ukuran kemampuan manusia, seperti yang dikatakan oleh sebagian orang, bahwa kejadian yang perubahan serta penggantiannya tak berada dalam tangan manusia, maka takdirnya menjadi definitif; sedangkan yang berada di bawah ikhtiar (kemampuan memilih) manusia, maka takdirnya tidak definitif. Contohnya: manusia, paling tidak di masa sekarang, tidak memiliki kemampuan mengubah kondisi cuaca panas, dingin, salju, hujan, dan angin atau kondisi bumi gempa, badai dan banjir. Masing-masing kondisi itu, yang dapat terjadi, baik diingini oleh manusia ataupun tidak, adalah hal-hal definitif. Ketentuan takdir Allah dalam hal itu pasti bersifat definitif. Akan tetapi, perubahan kondisi-kondisi sosial dan perbaikan keadaan berdasar ukuran-ukuran keadilan, demikian pula kesejahteraan sosial serta kebahagiaan umum, semua itu berada dalam lingkup kemampuan dan di bawah kehendak manusia. Ia dapat mengubahnya, dan dengan demikian hal tersebut tidak definitif. Demikian pula, ketentuan takdir Allah atasnya juga tidak definitif.
Penafsiran seperti ini tidak benar, sebab tidak ada keharusan untuk menjadikan kemampuan dan kapasitas manusia dalam hal-hal yang dapat dilakukannya, sebagai penentu definitif atau tidak definitifnya takdir. Selain dari itu, logika berita-berita dan riwayat-riwayat keagamaan tidak bersesuaian dengan penafsiran seperti ini.
Ada lagi sebagian orang yang menafsirkan definitif atau tidak definitifnya takdir dengan ukuran terpenuhinya kondisi-kondisi yang dibutuhkan atau tidak terpenuhinya. Dalam arti bahwa semua maujud memiliki berbagai macam kapasitas dan ikatan dengan beraneka ragam sebab. Sesuai dengan ikatan-ikatannya dengan beraneka ragam sebab itulah ia memiliki berbagai kapasitas pula. Jadi, pada hakikatnya, nasibnya berada di tangan sebab-sebab tersebut. Setiap sebab memegang nasib tertentu suatu maujud. Tentunya jelas bahwa sebagian dari sebab-sebab itu mendapat kesempatan untuk terjadi dan sebagiannya yang lain tidak mendapat kesempatan sehingga tidak terjadi. Jelas pula bahwa terjadinya yang sebagian itu hanyalah disebabkan terjadinya sebab-sebab dan terpenuhinya persyaratan-persyaratan atau kondisi-kondisinya, sebagaimana tidak terjadinya sebagiannya yang lain disebabkan tidak terjadinya sebab-sebab itu dan tidak terpenuhinya persyaratan-persyaratan atau kondisi-kondisinya. Demikian pulalah halnya dengan sebab-sebab dan kondisi-kondisi lainnya, dalam tahapan ketiga, keempat dan seterusnya.
Ketentuan-ketentuan takdir definitif ialah ketentuan-ketentuan yang berada di tangan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang terwujud (atau yang terjadi). Adapun ketentuan-ketentuan takdir yang tidak definitif ialah yang berada di tangan sebab-sebab yang baginya tidak tersedia kesempatan untuk terjadi atau terwujud. Kita misalkan ada seseorang yang memiliki kesiapan jasmani untuk hidup selama seratus lima puluh tahun, dengan catatan jika ia mengikuti dan melaksanakan dengan sempurna persyaratan-persyaratan kesehatan. Akan tetapi jika ia tidak memperhatikannya, usianya akan berkurang hingga separuhnya saja. Maka yang ditakdirkan baginya ialah hidup selama seratus lima puluh tahun jika ia mengikuti persyaratan-persyaratan kesehatan, atau tujuh puluh lima tahun jika ia tidak mengikutinya. Dengan demikian jika orang tersebut tidak mengikuti pesan-pesan itu lalu meninggal dalam usia tujuh puluh lima tahun, kita dapat mengatakan bahwa bagi orang ini ditakdirkan dua usia, masing-masing dengan syarat. Hanya saja, salah satu dari kedua persyaratan itu terpenuhi (terwujud) sedangkan yang lain tidak. Maka takdir yang terlaksana persyaratannya dan menjadi kenyataan adalah qadha dan qadar definitif; adapun yang tidak terjadi itulah qadha dan qadar yang tidak definitif.
Pada perumpamaan itu, dapat dikatakan bahwa kedua takdir tersebut adalah seperti dua peraturan hukum bagi satu pribadi dalam kerangka dua persyaratan yang berlainan. Misalnya, peraturan menentukan bahwa si tertuduh, jika mengakui kejahatannya, akan dijatuhi hukuman tertentu; sedangkan jika tidak mengaku dan tidak ada bukti-bukti penguat tuduhan tersebut, maka ia harus dibebaskan. Dalam hal ini, jika si tertuduh mengaku, ia akan dihukum, sehingga dengan demikian, peraturan tentang "hukuman atas dasar pengakuan" telah terlaksana dan menjadi definitif. Tetapi jika ia tidak mengaku dan pegangan lainnya tidak ada, maka ia harus dibebaskan, karena peraturan "hukuman atas dasar pengakuan" tidak memperoleh kepastian dan kedefinitifannya.
Sesuai dengan penafsiran ini, yang dimaksud dengan kepastian dan kedefinitifan ialah terwujudnya persyaratan dan kesesuaian praktis dengan bunyi peraturan. Padahal, peraturan itu, ditinjau dari sifatnya sebagai konsep umum, memiliki kepastian dari kedua sisinya.
Tak ada kebimbangan dalam hal ini, karena rangkaian hukum dan peraturan yang pasti berlaku atas alam semesta. Semua peraturan hukum, ditinjau dari sifatnya sebagai peraturan-peraturan yang menyeluruh, bersifat definitif tanpa terkecuali. Misalnya saja, hukum tentang pencapaian usia seratus lima puluh tahun bagi seseorang vang memiliki kesiapan jasmani untuk itu bilamana ia mengikuti persyaratan kesehatan, adalah hukum yang berlaku secara pasti di seluruh alam. Dan bahwa berkurangnya usianya menjadi tujuh puluh lima tahun bilamana tidak mengikuti persyaratan tersebut juga merupakan hukum yang definitif pula. Semua hukum dan sunnah yang pasti adalah penampakan dan saluran qadha dan qadar Ilahi. Berdasarkan itu, qadha dan qadar yang definitif berarti hukum, sunnah dan aturan yang telah terpenuhi persyaratan-persyaratan atau kondisi-kondisi kewujudannya dan terlaksana secara praktis di alam ini. Sedangkan qadha dan qadar yang tidak definitif, adalah hukum dan sunnah alamiah yang tidak terpenuhi persyaratannya dan tidak mencapai realisasi praktis.
Penafsiran seperti ini, meskipun pada dasarnya dapat diterima dan tidak jauh dari berbagai ungkapan riwayat keagamaan, tidak dapat dianggap sebagai tafsiran yang tepat bagi ungkapan-ungkapan dalam riwayat-riwayat itu yang menggunakan istilah: "takdir lazim" (yang harus) dan "takdir tidak lazim" (yang tidak harus) serta "takdir hatmiy" (definitif) dan "takdir tidak hatmiy" (tidak definitif). Sebab, pengertian yang telah diterima secara luas ialah bahwa yang dimaksud dengan qadha dan qadar lazim dan tidak lazim ialah qadha dan qadar yang memiliki kemungkinan untuk menerima perubahan yang tidak memiliki kemungkinan untuk itu. Sebagaimana juga telah diterima bahwa hal tersebut termasuk kasus-kasus yang bilamana terwujud persyaratan berlakunya suatu hukum umum tertentu di dalamnya, maka kemungkinan perubahannya tetap ada. Kasus itu pada dasarnya memang memiliki kemungkinan untuk menjadi suatu bentuk lainnya. Oleh sebab itu, meskipun dengan pengendaian terpenuhinya semua persyaratan, takdir yang tidak definitif tidak kehilangan fungsinya bila dilihat dari sudut tinjauan yang tadi.
Penafsiran lainnya ialah bahwa takdir yang definitif adalah yang telah ditegaskan terjadinya oleh Allah SWT dan itu pasti akan terjadi, adapun takdir yang tidak definitif ialah yang terhadapnya iradat (kehendak) Allah bersikap netral; atau, meskipun tidak netral, tidak ada pengharusan berkenaan dengan salah satu dari dua hal tersebut. Contohnya dalam peraturan hukum taklif (pewajiban) yang dibebankan atas seseorang. Dalam hal ini, adakalanya si pemberi perintah menegaskan sesuatu dan mengharuskannya, maka hukumannya menjadi wajib. Dalam hal lain, si pemberi perintah atau pembuat hukum terhadap suatu perbuatan bersikap netral; baik dikerjakan ataupun tidak, maka hukumnya menjadi mubah. Adakalanya kita mendapati keinginannya lebih condong ke arah terjadinya atau tidak terjadinya sesuatu, tanpa pengharusan (pewajiban), maka hukumnya menjadi mustahab (disukai) atau makruh (tidak disukai).
Demikianlah halnya dengan soal-soal fisis (yang bersangkutan dengan alam). Adakalanya terdapat hukum yang mewajibkan, maka itulah qadha dan qadar definitif. Adakalanya terdapat hukum netral atau lebih condong ke arah terjadinya atau tidak terjadinya sesuatu, tanpa keharusan, maka dalam hal-hal ini berlakulah qadha dan qadar yang tidak definitif.
Namun, penafsiran seperti ini sangat jauh dari sifat ilmiah dan dari realitas karena sama sekali menafikan qadha dan qadar. Mustahil kehendak Allah mengenai suatu kejadian bersikap netral dan acuh tak acuh, ataupun tidak netral tapi tidak pula sungguh-sungguh mengharuskan, sebagaimana mustahilnya pengecualian sesuatu dari hukum sebab-akibat atau tetap beradanya di bawah kendalinya tanpa adanya pengharusan mengerjakan salah satu dari dua hal.
Bagaimanapun, pcngikiasan hal-hal fisis dengan hal-hal yang berkenaan dengan pengalaman tradisional adalah sesuatu yang tidak sempurna.
Faktor-faktor Spiritual
Pada contoh-contoh yang lalu, yang bersangkutan dengan sebab-sebab dan faktor-faktor yang berpengaruh pada perubahan nasib manusia, kami tidak melampauai faktor-faktor material dan berbagai pengaruhnya, yakni kami hanya memusatkan pengamatan terhadap peristiwa-peristiwa dipandang dari sudut dimensi-dimensi material serta hal-hal yang bersifat inderawi dan jasmani. Karena itu, faktor-faktor yang kami sebutkan dalam lingkungan sebab-akibat tersebut hanyalah faktor-faktor material saja. Jelas bahwa kita harus membatasi diri dengan faktor-faktor ini dalam konsep materialis tentang alam. Adapun dari sudut pandang yang bersangkutan dengan ketuhanan, yang tidak membatasi kenyataan eksternal pada kerangka materi dan jasmani serta kualitas dan pengaruh fisik saja, maka dunia peristiwa-peristiwa memiliki bentuk-bentuk yang lebih rumit, lebih meliputi, dan lebih banyak, sehingga faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya peristiwa-peristiwa menjadi amat banyak pula.
Dari sudut pandang materialis, faktor-faktor yang mempengaruhi ajal, rizki, keselamatan dan kebahagiaan terbatas pada lingkup material saja. Faktor-faktor materiallah yang mendekatkan ajal atau menjauhkannya, melapangkan rizki atau menyempitkannya, memberikan keselamatan pada tubuh atau menghilangkannya, mendatangkan kebahagiaan atau menghapusnya. Adapun dari sudut pandang ketuhanan, ada berbagai faktor mental dan spiritual, di samping faktor-faktor material, yang memberikan pengaruh pada ajal, rizki, keselamatan, kebahagiaan dan sebagainya.
Alam, dalam pandangan para teologis, adalah maujud yang tunggal, hidup dan berperasaan. Perbuatan-perbuatan manusia menimbulkan konsekuensi dan reaksi tertentu. Kebaikan dan kejahatan, dalam ukuran alam, tidaklah sama. Perbuatan manusia yang baik dan yang jahat menghadapi reaksi-reaksi yang pengaruhnya bisa mencapai seseorang pada masa hidupnya.
Mengganggu sesuatu yang hidup, baik manusia atau binatang, khususnya mengganggu seseorang yang memiliki hak atas si pengganggu seperti ayah, ibu, dan guru, mendatangkan pengaruh-pengaruh buruk dalam hidup ini. Pembalasan atas hal-hal seperti itu amat banyak ragamnya di alam ini. Pengaruh-pengaruh dan akibat-akibat itu sendiri merupakan bagian realisasi qadha dan qadar. Jelas bahwa persoalan-persoalan dan aturan-aturan seperti ini, yang menajdikan alam sebagai suatu perangkat yang hidup dan memiliki kemauan serta perasaan, tidak akan dapat dijelaskan dan ditafsirkan kecuali atas dasar pandangan ketuhanan tentang alam, yang menjadikan semua itu sebagai bagian dari aturan-aturan sebab-akibat. Sedangkan dengan cara pemikiran materialistis, ia sama sekali tidak akan dapat menerima penjelasan tersebut.
Dengan demikian, alam, ditinjau dari sudut pandang ketuhanan, adalah sesuatu yang mendengar dan melihat; mendengar panggilan mereka yang hidup dan menjawabnya. Karena itu, doa merupakan salah satu sebab di alam ini yang memiliki pengaruh atas nasib manusia dan menangkal terjadinya peristiwa-peristiwa ataupun mewujudkan berbagai peristiwa. Dengan kata lain, doa adalah salah satu di antara realisasi qadha dan qadar yang dapat berpengaruh atas jalannya suatu peristiwa, atau menahan suatu takdir seperti yang tersebut dalam salah satu hadis: "Doa menolak qadha walaupun telah selesai diputuskan".[6]
Firman Allah :
Jika hamba-hamba-Ku bertanya padamu tentang Aku, sesungguhnya Aku dekat dan memenuhi doa orang yang menunjitkannya kepada-Ku. (QS 2 : 186)
Demikian pula, macam-macam sedekah dan perbuatan kebajikan adalah termasuk faktor-faktor dan realisasi qadha dan qadar yang secara spiritual berpengaruh atas nasib seseorang.
Secara umum, dosa dan ketaatan, tobat dan maksiat, keadilan dan kezaliman, kebajikan dan kejahatan, dosa dan kutukan, dan lain sebagainya, adalah hal-hal yang berpengaruh atas nasib manusia dalam hal usia, keselamatan dan rizki. Imam Ja'far as Shadiq (alaihissalam) berkata : "Mereka yang mati disebabkan dosa-dosa, lebih banyak daripada yang mati karena ajal; yang hidup disebabkan kebajikannya lebih banyak daripada yang hidup karena usia."[7]
Maksud ucapan itu ialah bahwa dosa-dosa mengubah ajal, dan berbagai macam kebajikan menambah usia, dalam arti, meskipun ajal dan usia sudah ditentukan dengan qadha dan qadar, namun hal-hal tersebut di atas dapat mengubahnya. Seperti yang telah kami uraikan sebelumnya, perubahan ini pun termasuk qadha dan qadar pula.
Di sini kami tidak akan mempelajari cara kerja pengaruh mengubah yang berasal dari aspek-aspek spiritual dalam lingkungan material, ataupun menjelaskan cara kerja sebab-sebab dan akibat-akibat berkenaan dengan hal ini. Sungguh amat banyak pendapat filosofis yang cermat dan bersesuaian sepenuhnya dengan ungkapan-ungkapan keagamaan. Kami juga tidak berada pada posisi untuk menjelaskan persyaratan-persyaratan berpengaruhnya sebab-sebab spiritual, dalam arti bahwa doa, misalnya atau sedekah, kezaliman atau sikap aniaya terhadap hak orang-orang lain, berada di bawah suatu lingkungan yang dapat melahirkan reaksi-reaksi tertentu. Sebab, uraian dan penjelasan tentang persoalan ini, dengan mengamati kasus-kasus dan pengalaman pribadi-pribadi, akan memaksa kami menyusun buku yang amat tebal.
Kami hanya ingin menyebutkan suatu kenyataan, yaitu bahwa tidak sepatutnyalah kita memiliki persangkaan bahwa rangkaian sebab dan akibat di alam ini hanya terbatas pada hal-hal material saja. Yang demikian itu sesuai dengan contoh-contoh dari alam materi yang telah kami sebutkan sebelum ini.[]
[1] Dalam catatan pinggir buku Ushul al-Falsafah (Dasar-dasar Filsafat), jilid III.
[2] Yakni, Jalaluddin Rumi - Penyunting.
[3] Al-Ghazali menambahkan bahwa pertanyaan itu mengenai hirz dan obat.
[4] Pada jilid 2 buku al-Kamil, hal. 313.
[5] Syarh Ushul al-Kafi, lanjutan hadis no. 394.
[6] Lihat: Safinah al-Bihar.
[7] Dari Bihar al-Anwar, jilid 5, hal. 140.
BAGIAN KETIGA
Al-Quran, Hadis, dan Ucapan Para Imam Tentang Takdir
Saat TerIaksananya Qadha
Dalam berita-berita yang berkenaan dengan Rasul mulia saw. dan para imam yang tersucikan (aIaihimussalam), tampak bahwa bilamana qadha dan qadar berIangsung, semua sebab dan Iantaran, khususnya akal dan kekuatan-pengeloIaan manusia, akan kehilangan pengaruhnya. Pengertian tentang ini dikenal secara luas dalam kesusasteraan Arab dan Parsi.
Kitab al-Jami' al-Shaghir juga menyebutkan beberapa hadis Rasulullah saw. antara Lain:
Sesungguhnya bilamana Allah SWT menghendaki terIaksananya sesuatu, diperintahkan-Nya agar akal orang-orang yang bersangkutan dicabut sampai terIaksananya hal tersebut. Setelah hal itu selesai terIaksana, dikembahkanIah akal mereka dan timbulIah penyesaIan.
Demikian pula, Imam Ali Ridha (alaihissalam) berkata:[1] "Bilamana Allah SWT menghendaki sesuatu, dicabut-Nya akal para hamba-Nya sampai terIaksananya kehendak-Nya itu; setelah itu dikembalikan-Nya semua akal kepada pemiliknya yang segera akan bertanya-tanya: "Bagaimana hal ini terjadi? Dari manakah ini?".
Penyair Parsi, Hakiim MauIawi, pernah berkata dalam syairnya:
Bila qadha berIaku,
arah pikiran tak menentu jadinya.
Hanya Dialah yang mengetahui segala rahasianya.
Tiada mata mana pun mampu melihat
akal pun gagal memisahkan bawah dari atasnya.
ItuIah sebabnya Ali berujar:
Bila datang qadha, mata tertutup.
Bila segalanya telah berLalu
sesal pun datang waIau tak berguna.
Tiada tampak kecnali kulit yang tipis
Tiada jelas Lagi Iawan atau pun kawan.
Tabib yang mahir dalam kebingungan
Obat yang manjur kehilangan kemanjurannya.
KemusykiIan yang tampak di sini ialah bahwa nash-nash ini menegaskan bahwa takdir dapat membatalkan hukum sebab-akibat yang umum, dan menjadikannya sebagai salah satu dari faktor-faktor penentu di seluruh alam; bahkan lebih kuat daripada semua faktor Lainnya. Hal ini bertentangan dengan apa yang telah disebutkan sebelum ini, yang dikuatkan oleh berbagai riwayat, ayat dan hadis, serta ucapan para imam, yakni bahwa qadha dan qadar tak mengakibatkan sesuatu kecuali lewat saluran sebab-sebab dan Iantaran-Iantaran. Seperti yang pernah diberitakan: "Allah Tidaklah menghendaki berIangsungnya segala sesuatu kecuali dengan sebab-sebabnya." Atau dalam riwayat Lain. "Allah Tidaklah menghendaki kecuali terjadinya segala sesuatu dengan sebab-sebab. Untuk itu, dijadikan-Nya sebab-sebab bagi segala sesuatu. Dijadikan-Nya penjelasan bagi segala sebab, dijadikan-Nya ilmu bagi segala penjelasan, dan 'pintu yang berbicara' bagi setiap ilmu."[2]
KemusykiIan Lainnya yang tampak pada riwayat-riwayat seperti ini ialah bahwa isinya bertentangan dengan berIakunya qadha dan qadar secara umum seperti yang ditegaskan dengan jelas oleh Al-Quran. Jadi, jika segala sesuatu berada di tangan qadha dan qadar Ilahi dan tak sekejap pun berLalu tanpa qadha dan qadar, apakah makna ucapan: "Bila qadha berIaku ..." dan seterusnya? Di samping makna tersebut dalam hadis, ucapan para imam dan dalam ucapan-ucapan Lainnya itu bertentangan dengan sistem kausal, ia juga bertentangan dengan sifat umum qadha dan qadar, sebab makna yang dapat dipahami dari ucapan-ucapan tersebut ialah bahwa qadha dan qadar hanya ikut campur pada beberapa waktu tertentu saja; dan di saat seperti itu, terhentiIah segala sesuatu, akal dalam kebingungan, mata tak Lagi melihat, obat-obat pun kehilangan efektifitasnya!
Apa yang harus kita katakan tentang ini? Apakah riwayat-riwayat ini tidak sejalan dengan ruh Islami dan hanya dibuat-buat (dipalsukan) oleh kalangan Jabariyah, ataukah memiliki penafsiran Lain yang benar?
Aku percaya bahwa riwayat-riwayat ini memandang ke arah topik yang benar, tidak bertentangan dengan sifat umum teori kausal atau qadha dan qadar.
Ia memasukkan ke dalam pertimbangannya, keseluruhan sistem yang berIaku bagi alam ini serta keseluruhan sebab-sebab dan akibat-akibat, baik yang bersifat material atau spiritual, sebagaimana ia juga memandang ke arah fenomena-fenomena yang di dalamnya sebab-sebab spiritual lebih kuat (lebih berkuasa) daripada sebab-sebab material.
Seperti yang telah kami katakan dalam uraian-uraian sebelum ini, sebab-sebab yang berIaku di alam ini bukan hanya bersifat material saja, melainkan, sistem yang paling sempurna ini, terdiri atas keseluruhan sebab dan Iantaran, yang Iahir maupun yang tersembunyi. Sebagaimana sebab-sebab material yang bersifat inderawi dapat saling mempengaruhi atau saling melumpuhkan sehingga tidak Lagi dapat berpengaruh, demikian pula sebab-sebab material itu, pada berbagai fenomena, berhenti bekerja dengan adanya pengaruh faktor-faktor spiritual. Orang yang tidak melihat di hadapannya kecuali sebab-sebab material yang bersifat inderawi saja, membayangkan bahwa sebabnya hanya terbatas pada sebab-sebab material tersebut sambil melupakan bahwa masih ada beribu-ribu sebab dan Iantaran Lainnya yang memiliki keefektifan sesuai dengan hukum qadha dan qadar, dan yang setiap kali ia ikut campur, segera mengakibatkan berhentinya sebab-sebab material dari keefektifannya. Makna seperti ini telah disebutkan dalam Al-Quran dengan uraian yang lebih gamblang dan lebih terpusat daripada yang tersebut dalam hadis-hadis. Misalnya, mengenai beberapa peristiwa perang badr, Allah SWT berfirman:
IngatIah, ketika kamu bertemu dengan musuhmu, Dia memperlihatkan mereka kepadamu sedikit jumIahnya di matamu, dan Ia mengecilkan jumIahmu di mata mereka, supaya Allah meIaksanakan keputusan yang harus dijalankan; dan kepada Allah dikembalikan segala urusan. (QS 8 : 44)
Ayat ini menyebutkan salah satu peristiwa yang di dalamnya terdapat penjelasan tentang lebih kuatnya sebab-sebab spiritual daripada sebab-sebab material.
Pada saat suatu umat sudah Layak menerima kemenangan dan dukungan Ilahi, sebagai hasil telah berjalannya mereka di atas jalan kebenaran dan keadiIan, sementara di hadapannya ada umat Lainnya yang Layak untuk diteIantarkan dan dimusnahkan, maka sistem yang cermat dan sempurna di alam ini akan berdiri di samping barisan umat yang pertama, kendatipun lebih sedikit jumIah pasukan serta peraIatan materialnya dan, bersamaan dengan itu, menetapkan kekalahan dan kehancuran atas umat yang Lainnya kendatipun memiliki sarana dan prasarana material yang lebih sempurna. Allah SWT berfirman pula:
"... Barangsiapa tawakkal kepada Allah, cukupIah Ia baginya. Sungguh Allah meIaksanakan keputusan-Nya, dan bagi segala sesuatu, Allah telah menjadikan ketentuan." (QS 65 : 3)
Pada ujung ayat tersebut, yakni dalam ungkapan: "Bagi segala suatu, Allah telah menjadikan ketentuan", Ia menyebutkan dengan gamblang sistem yang berIaku di alam semesta, dan bahwa tak ada sesuatu pun terjadi di alam ini tanpa sebab dan tujuan serta bahwa segala sesuatu diletakkan pada tingkatan dan lingkupnya yang khusus. Hal ini menandakan adanya sistem sebab-akibat dan di waktu yang bersamaan menandaskan. bahwa Allah SWT pasti meIaksanakan urusan-Nya; dalam arti bahwa pada saat masuknya faktor-faktor dan ikatan-ikatan spiritual serta dukungan Ilahi, maka akan terjadi sesuatu Lain yang akan melumpuhkan sebab-sebab Iahiriah dari kegiatan dan keefektifannya.
Perbedaan antara Kedua Aliran Pemikiran
Telah kami sebutkan sebelum ini, bahwa materialis dan ateis, demikian pula sebagian kaum nasrani yang menentang Islam, telah mengkrmk Islam dengan menjadikan konsep qadha dan qadar sebagai aIat untuk menyerang Islam. Konsekuensi kepercayaan kepada qadha dan qadar ialah timbulnya perasaan pada diri manusia bahwa ia terbelenggu dan terpaksa; dan Selanjutnya membuatnya lupa akan kewajibannya untuk mewujudkan dan membina hidup yang lebih baik bagi masyarakat. Sebaliknya, ia akan menghabiskan usianya dalam keadaan menunggu takdir yang deterministik itu.
Telah kami katakan pula, bahwa kekeliruan ini timbul sebagai akibat pencampuradukan kepercayaan lepada takdir dengan kepercayaan kepada jabr (determinisme). Determinisme berarti hilangnya iradat (kehendak) dan ikhtiar (kebebasan memilih), dan bahwa manusia bukanlah peIaku yang hakiki bagi perbuatannya sendiri, dan bahwa sifat-sifat diri serta kemampuan mentalnya tidak memiliki pengaruh apa pun atas nasibnya. Manusia bukan saja seperti seekor burung beo yang hanya pandai mengulang-ulang segala yang dikatakan kepadanya dari balik tirai gaib, melainkan lebih dari itu peIaku sebenarnya dari pengulang-ulangannya itu pun bukan dirinya sendiri.
Padahal, sesuai dengan kepercayaan yang benar kepada qadha dan qadar; iradat dan ilmu Ilahi tidak mewajibkan terjadinya sesuatu kecuali melalui saluran sebab-sebabnya saja. Dengan kata Lain, mustahil iradat Allah melekat pada sesuatu tanpa melalui saluran sebab dan Iantarannya, mengingat yang demikian itu berlawanan dengan sifat keesaan dan keagungan Zat-Nya Yang Suci. Jadi, ilmu dan iradat Allah SWT melekat pada perbuatan manusia, juga pada kebahagiaan dan kesengsaraan (hanya) melalui Iantaran dan sebabnya yang khusus berkaitan dengannya. Qadha dan qadar-Nya yang telah menjadikan manusia terlepas bebas kedua tangannya; ia dapat memilih, merdeka dan berpengaruh atas nasib dirinya.
Berdasarkan kenyataan tersebut, maka dalam hal ini tidak ada perbedaan antara aliran ketuhanan dan aliran materialisme. Sebab, jika terjadinya sesuatu termasuk perbuatan manusia secara definmf dan dharuri melalui Iantaran-Iantaran dan sebab-sebabnya, dianggap sama dengan jabr dan pembelengguan tangan manusia, maka kemusykiIan ini sama dihadapi oleh kedua aliran tersebut. Akan tetapi, jika ini tidak dianggap identik dengan determinisme seperti dalam kenyataannya maka dari segi ini pun tidak ada perbedaan antara keduanya. Jadi, tuduhan kaum materialis dan semua orang yang mempercayai teori kausal, terhadap kepercayaan Islam tentang qadha dan qadar, Tidaklah pada tempatnya dan hanya timbul akibat tidak atau kurangnya pengetahuan akan kenyataan yang sebenarnya.
Akan tetapi kini ingin kaini tambahkan bahwa memang antara kedua aliran pemikiran tersebut terdapat perbedaan amat penting dan berpengaruh, terutama di bidang pendidikan dan kemasyarakatan. Berdasarkan perbedaan ini, kepercayaan kepada qadha dan qadar, dari sudut pandangan ketuhanan, justru merupakan faktor pemberi pengaruh yang amat hebat, sebagai pembangkit harapan, semangat, aktifitas serta jaminan hasil karya dan usaha; berlawanan dengan pandangan materialisme yang tak memiliki kekhususan seperti ini. Perbedaan asasi ini timbul akibat adanya faktor-faktor spiritual, seperti telah kami jelaskan sebelum ini.
Faktor-faktor yang mempengaruhi gerak alam dan, secara keseluruhan, membentuk Iantaran-Iantaran dan sebab-sebab baginya serta tanda realisasi qadha dan qadar, tidak hanya terbatas pada hal-hal material saja. Masih ada Lagi sekumpulan hal spiritual yang juga merupakan bagian dari faktor-faktor yang efektif di alam ini, dan yang secara definmf berpengaruh atas perubahan nasib.
Sebagai contoh dapat dikatakan bahwa perjuangan membela kebenaran dan keadiIan memiliki nilai-nilai yang meIampaui perhitungan materialistis yang dapat dicerap secara inderawi, dan bahwa alam ini tegak atas dasar kebenaran dan keadiIan, dan bahwa Allah berdiri di samping barisan orang-orang yang mempertahankan keadiIan dan kebenaran dan tidak akan menghilangkan pahala mereka masing-masing.
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong Allah, Dia akan menolong kamu dan meneguhkan tegakmu. (QS 47 : 7) Sungguh Allah membela orang yang beriman; sungguh Allah tiada menyukai siapapun yang berkhianat dan tiada berterima kasih. (QS 22 : 38) Sungguh Allah menolong orang yang menolong-Nya; sungguh Allah Maha Kuat, Maha Perkasa.(QS 22 : 40)
Di antara hal-hal yang memiliki konsekuensi amat penting adalah sikap bertawakal dan menyandarkan diri kepada Allah. Dalam arti bahwa manusia, dalam perjalanannya di atas jalan kebenaran dan keadiIan, harus tidak membiarkan sedikit pun kelemahan, keguncangan dan kemalasan menyelusup ke dalam tekadnya, baik dalam hal penolakan ataupun peneriinaan; dan agar ia selalu merasa tenang dan yakin bahwa, apabila ia terus berjalan menuju sasaran yang benar dan diridhai Allah, dan bukannya didorong oleh kepentingan-kepentingan pribadinya; juga bila ia mengarahkan segala kegiatannya demi meIaksanakan kewajiban-kewajibannya, bukannya untuk meIayani dirinya sendiri; dan juga bila ia menyerahkan segala urusannya kepada Allah semata-mata; maka ia merasa yakin bahwa Allah pasti akan menjaga, memenangkan dan mengantarkannya mencapai tujuannya.
Semuanya ini mempunyai konsekuensi khusus yang tidak mungkin dibayangkan kecuali dari sudut pandang ketuhanan yang menyadari semuanya itu sebagai bagian dari faktor-faktor penentu yang efektif dan sebagai realisasi qadha dan qadar.
Atas dasar itu, kepercayaan yang kuat dan benar kepada qadha dan qadar Ilahi akan mendorong manusia yang beriman untuk menguatkan pijakannya pada jalan kebenaran dan keadiIan, mencurahkan segala daya-upayanya, dan meyakini datangnya hasil yang diharapkan. Sebaliknya, dalam pandangan materialisme, tak ada satu hal pun dalam perundang-undangan umum (atau perilaku kebaikan yang seyogyanya dilakukan oleh manusia), yang benar-benar memiliki perhitungan (nilai) khusus di antara hukum-hukum alamiah yang berIaku. Dengan kata Lain, haq dan bathil, benar dan salah, adil dan zalim ..., semua itu dalam pandangan materialisme mempunyai konsekuensi dan pengaruh yang sama berkenaan dengan keberhasiIan atau kegagaIan seseorang. Alam bersikap netral berkenaan dengan perbuatan yang ini ataupun yang itu. Sementara dalam pandangan ketuhanan, alam ini sama sekali tidak netral berkenaan dengan hal-hal tersebut, bahkan ia berdiri di samping para pembela kebenaran dan keadiIan.
Seseorang yang percaya kepada takdir Ilahi tentu akan percaya juga kepada hikmah, rahmat, dan keadiIan Ilahi. Ia percaya pula bahwa seseorang yang berusaha mendapatkan ridha Allah, yaitu dengan bersungguh-sungguh mengikuti syari'at-Nya, maka akan selalu terpelihara dari penyimpangan. Kepercayaan kepada takdir dan tadbir (pengeloIaan) Ilahi seperti ini akan membuahkan sikap bertawakal dan bersandar kepada Allah SWT, dan menghilangkan rasa takut akan kematian, kehancuran, kemiskinan dan kebutuhan; serta menutup ceIah terbesar kelemahan pada diri manusia, yaitu ketakutan akan hidup dalam penderitaan dan kesengsaraan.
Kepercayaan akan adanya konsekuensi lebih Ianjut dalam kehidupan di dunia seperti Inilah, yang telah mendidik kaum Muslimin pada permulaan Islam agar selalu aktif dan giat, serta mendorong mereka ke arah keberanian dan pengorbanan yang tak ada taranya di seluruh dunia.
Al-Quran al-Karim melukiskan mereka sebagai:
Orang-orang yang kepadanya dikatakan: "Orang banyak telah berkumpul melawan kamu, maka takutiIah mereka." Tapi mereka bertambah iman karenanya dan mereka berkata: "Allah cukup bagi kami dan Dia-Iah sebaik-baik pengatur segala urusan." Mereka pun kembali dengan nikmat dan karunia dari Allah, tiada bencana menyentuhnya karena mereka mengikuti keridhaan Allah, dan Allah pemilik karunia yang tiada tepermanai. (QS 3 : 173-174)
Dengan uraian tersebut, menjadi jelasIah betapa agungnya keistimewaan-keistimewaan yang dihasilkan oleh kepercayaan kepada qadha dan qadar Ilahi yang sesuai dengan ajaran-ajaran Al-Quran al-Karim, yang dengan itu membedakannya dari kepercayaan kepada takdir yang dianut oleh kaum materialistis sesuai dengan sistem sebab-akibat yang materialistis.
Seorang materialistis, betapapun ia mempercayai mazhab dan cara hidupnya, tidak akan meIampaui kepercayaan bahwa ia akan memperoleh hasil sebesar yang diusahakannya, sesuai dengan teori mazhabnya itu. Sebaliknya, seorang Muslim yang mengimani qadha dan qadar Ilahi, percaya dan yakin bahwa alam ini telah dicipta sedemikian rupa sehingga bilamana si Muslim berjalan dengan segala kemampuannya, maka sistem sebab-akibat yang meliputi alam, pasti berdiri di sampingnya dan menjaganya dengan kekuatan dahsyat, yang perbandingannya melebihi ribuan kali kekuatan dirinya sendiri.
Bila kita memandang dengan kacamata materialistis, mengertiIah kita bahwa seorang materialis akan berpendapat bahwa seorang pembela kebenaran dan keadiIan harus mencurahkan kegiatan dan aktifitasnya serta memiliki harapan yang sama persis seperti yang dilakukan dan dimiliki si pembela kezaliman dan kebatiIan. Sebab, ia percaya bahwa gerak umum alam ini tidak beda sedikit pun terhadap kedua orang tersebut. Sedangkan, pada hakikatnya, amat besar perbedaan sikap alam terhadap kedua orang itu, bila dmnjau dari arah pandangan ketuhanan.