TAQDIR MANUSIA

Logika Khusus Al-Quran
Sebelum ini, kami telah berbicara tentang awal mula pembahasan dan dialog tentang masalah determinisme dan takdir yang dilakukan oleh para ahli 'ilmul-kalam (teologi Islam), dan bahwa hal itu merupakan masalah teologis paling terdahulu, mengingat telah dimulainya pembicaraan-pembicaraan resmi mengenai masalah ini pada pertengahan abad pertama hijriah. Akan tetapi mereka tidak berhasil menjeIajahi berbagai dimensinya secara mendalam, sehingga menyebabkan mereka menyimpang dari kebenaran dan terpecah menjadi dua kelompok besar, yakni penganut aliran Jabariyah dan penganut aliran Qadariyah.

Para penganut aliran Jabariyah, disebabkan mereka melihat bahwa segala sesuatu berIangsung dengan takdir Ilahi, telah menjadikan manusia sebagai makhluk yang majbur (terpaksa, tidak memiliki pilihan). Sedangkan para penganut aliran Qadariyah, disebabkan mereka melihat bahwa manusia dapat memilih dan memiliki kebebasan, mengatakan bahwa tak sesuatu pun telah ditakdirkan. Hal itu berarti bahwa para ahli 'ilmul-kalam itu sepakat bahwa takdir identik dengan jabr (determinisme), dan bahwa kebebasan manusia identik dengan penafian takdir.

Kepercayaan kepada takdir dan kebebasan sekaligus, walaupun tadinya dengan mudah dan bersahaja dapat diterima oleh kaum Muslimin di masa permulaan Islam, rupa-rupanya kini menjadi sulit untuk diterima oleh kebanyakan orang setelah dimasukkan dalam kerangka 'ilmul-kalam dan diberi warna filsafat. Sejak itu, seIama empat beIas abad kemudian, mereka tidakbisa Lagi melihatnya kecuali sebagai problem yang amat rumit dan sulit untuk diterima.

Al-Quran al-Karim dan banyak riwayat yang tak dapat diingkari di bidang ini, Nabi saw. ataupun dari para imam (aIaihimussalam), semuanya mengungkapkan dengan amat jelas dan gamblang, bahwa segala sesuatu terjadi dengan qadha dan qadar Ilahi; dan bahwa manusia adalah faktor yang berpengaruh dalam perjalanan nasibnya serta bertanggung jawab atas perbuatan dan tindakannya sendiri. Sebelum ini telah kami sebutkan contoh-contoh ayat yang menunjuk kepada kedua hal tersebut secara bersamaan; tidak perluIah kami ulangi Lagi sekarang.

Maka mulaiIah masing-masing kelompok yang bertentangan pendapat dalam persoalan ini, tampil untuk menakwilkan dan mengarahkan ayat-ayat Al-Quran al-Karim. Para pendukung aliran Jabariyah menakwilkan ayat-ayat Al-Quran yang menunjukkan adanya kebebasan dan tanggung jawab manusia, sedangkan para pendukung kebebasan dan ikhtiar manusia menakwilkan ayat-ayat yang menunjukkan adanya takdir umuin Ilahi.

Sudah barang tentu setelah kemusykiIan ini terpecahkan, dan tampak jelas bagi kita bahwa takdir yang bersifat umum tidak identik dengan keterpaksaan manusia, dan bahwa ikhtiar manusia tidak identik dengan penafian takdir maka kontradiksi yang diperkirakan itu dengan sendirinya telah hilang secara wajar dan ridak perlu Lagi memaksa orang untuk menakwilkan ataupun mengarahkan ayat-ayat tersebut. Misalnya, ayat-ayat Al-Quran yang menyebutkan bahwa hidayah, penyesatan, kejayaan, kemampuan, rizki dan keselamatan, bahkan kebaikan dan keburukan, semuanya itu dinisbahkan kepada kehendak Ilahi atau takdir Ilahi, seperti dalam firman-firman Allah SWT:

Maka Allah menyesatkan siapa yang Ia kehendaki dan membimbing siapa yang Ia kehendaki. (QS 14:4)

KatakanIah: "Ya Tuhan, Pemilik Kerajaan, Kau beri kerajaan kepada siapa yang Kau mau dan Kau renggutkan kerajaan dari siapa yang Kau mau, Kau beri kemuliaan kepada siapa yang Kau mau dan Kau beri kehinaan kepada siapa yang Kau mau, dalam tangan-Mu segala yang baik; sungguh Kau Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS 3 : 26)

Allah, Dialah Maha Pemberi rizki yang mempunyai kekuatan berlimpahan. (QS 51 : 58)

Dan di Iangit ada rizkimu dan apa yang dijanjikan kepada-Mu. (QS 51 : 22)

Atau yang diucapkan oleh Ibrahim (alaihissalam):

Dia yang menciptakan daku, Dialah yang memimpin daku, yang memberiku makan dan minum, dan apabila ku sakit, Dialah yang menyembuhkan daku ... (QS 26 : 78-80)

Atau ayat-ayat sekitar kebaikan dan kejahatan seperti:

KatakanIah, segala sesuatu berasal dari Allah. (QS 4 : 78)...

Semua ayat ini Tidaklah harus diartikan sebagai penafian ikut campumya sebab-sebab alami. Dengan demikian, tidak ada sama sekali kontradiksi antara ayat-ayat ini dengan ayat-ayat yang mendukung peranan manusia dalam soal hidayah dan kesesatan, kejayaan dan kemampuan, rizki dan keselamatan, ataupun dalam perbuatan kebaikan dan keburukan. Seperti misalnya ayat yang menyatakan:

Adapun kaum Tsamud, Kami beri mereka pimpinan, tapi mereka lebih suka kebutaan dari pimpinan. (QS 41 : 17)

Atau yang (setelah menyebutkan akibat buruk yang menimpa para Fir'aun dan pengikut mereka yang sial dan hina serta kejatuhan mereka dari puncak kejayaan ke dasar kehinaan) menyatakan:

Yang demikian itu dikarenakan Allah tiada akan mengubah nikmat yang dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, sebelum kaum itu mengubah apa yang ada dalam dirinya sendiri. (QS 8 : 53)

Atau ayat mulia yang menyebutkan tentang aliran determinisme yang dianut kaum musyrikin :

Dan bila dikatakan kepada mereka: "NafkahkanIah sebagian pemberian Allah kepadamu, "orang-orang yang kafir berkata kepada orangyang beriman: "Akankah kami beri makan orang yang Tuhan beri makan sekiranya Ia mau?" (QS 36 : 47)

Atau ayat yang menyatakan :

Telah tampak kerusakan di darat dan di Iaut disebabkan karena perbuatan tangan mamisia. (QS 30 : 41)

Kenyataannya, seperti yang telah kami isyaratkan sebelum ini, qadha dan qadar, kehendak, ilmu, dan 'inayah (pemeliharaan) Ilahi adalah suatu sebab dalam rangkalan sebab alami yang bersifat vertikal, dan bukannya horizontal. Keseluruhan sistem sebab-akibat yang tak terhingga itu berasal dan bersumber dari iradat, ketentuan dan takdir Ilahi, dan pengaruh yang dmmbulkan oleh sebab-sebab dan akibat-akibat ini, dalam batas-batas tertentu, pada hakikatnya adalah pengaruh yang berasal dari qadha dan qadar itu sendiri.

Karena itu, Tidaklah dapat dibenarkan sedikit pun adanya ucapan yang mempertanyakan: "Yang bagaimanakah sesuatu yang merupakan perbuatan Allah dan yang bagaimanakah yang bukan merupakan perbuatan-Nya?" Adalah suatu kesalahan besar menyatakan tentang sesuatu sebagai "bukan perbuatan seorang makhluk" setelah sebelumnya dinisbahkan kepada Allah, atau mengatakan tentang sesuatu bahwa "itu adalah perbuatan seorang makhluk" setelah dinisbahkan kepadanya dan "bukan perbuatan Allah." Membagi-bagi perbuatan antara Al-Khalik dan makhluk adalah sesuatu yang batil.

Segala sesuatu adalah perbuatan Allah, dan bersamaan dengan itu, ia adalah juga perbuatan si peIaku serta sebab yang mendahuluinya.

Diriwayatkan [3] bahwa sebuah surat pernah dikirimkan oleh Imam al-hadi [4] (alaihissalam) kepada sekelompok kaum Syi'ah mengenai persoalan jabr (determinisme), tafwidh (pendelegasian kekuasaan Ilahi) dan 'adl (keadiIan Ilahi). Dalam suratnya itu ia menyebutkan kisah seorang Iaki-Iaki bernama Ibayah yang bertanya kepada Amirul Mukminin Ali (alaihissalam) tentang kemampuan manusia yang dengannya ia dapat berdiri duduk dan berbuat. Apakah manusia memiliki kemampuan dan kekuasaan atas perbuatannya? Jika demikian halnya, bagaimana caranya Allah SWT ikut campur dalam suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia dengan kemampuan dan kekuasaan-Nya?

Imam Ali (alaihissalam) balik bertanya kepadanya: "Anda menanyakan tentang kemampuan, adakah Anda memilikinya tanpa Allah atau bersama-sama (bersekutu) dengan Allah?"

Ibayah berdiam diri, kemudian Imam Ali meIanjutkan: "Bicara, wahai Ibayah!"

"Apa yang harus kukatakan?" tanya Ibayah.

"Jika Anda mengatakan bahwa anda memilikinya bersama dengan Allah, akan kuhukum Anda; dan jika Anda menyatakan telah memilikinya bukan dari Allah, anda akan kuhukum pula".

"Lalu apa yang harus kukatakan, wahai Amirul Mukminin?"

"KatakanIah bahwa Anda memilikinya dengan perkenan Allah yang memilikinya sendiri sepenuhnya. Jika Ia memberikannya untukmu, maka yang demikian itu merupakan sebagian anugerah-Nya; tetapi jika Ia mencabutnya darimu, maka yang demikian itu termasuk bala’ (ujian)-Nya. Dia-Iah Sang Pemilik pemilikan yang diberikan-Nya padamu, dan Dia-Iah Yang Berkemampuan atas kemampuan yang dikuasakan-Nya padamu..."

Alasan mengapa Imam Ali (alaihissalam) berkata kepadanya: "Jika Anda mengatakan telah memiliki kemampuan itu bersama-sama dengan Allah, Anda akan kuhukum", ialah karena ucapan seperti ini menjadikan si pemilik kemampuan sebagai sekutu Allah yang setara dengan-Nya. Ini tentunya adalah kekufuran. Demikian pula halnya dengan ucapan orang yang berkata bahwa "ia memiliki kemampuan tanpa Allah", sebab ia menganggap dirinya bebas dan mandiri dari Allah. Ini pun suatu bentuk kekufuran, sebab kebebasan atau kemandirian sepenuhnya dalam suatu persoalan berarti pula kemandirian sesuatu atau seseorang itu dalam kemaujudan dirinya (atau zatnya), di samping menafikan sifat "kemungkinan" kemampuan diri, dan sebagai gantinya, menetapkan "keharusan" kemampuan dirinya (zatnya) sendiri.

Kesimpulan dialog di atas ialah, bahwa segala pengaruh, walaupun ia dinisbahkan kepada si peIaku, pada waktu yang saina ia pun harus dinisbahkan kepada Allah dan disandarkan kepada-Nya. Bila kita menisbahkannya semata-mata kepada si peIaku sebagai pemberi pengaruh yang biasa dan alami, maka pada hakikatnya kita telah menisbahkannya kepada peIaku yang tidak bertindak dengan zatnya sendiri. Sebaliknya, bila kita menisbahkannya kepada Allah maka kita telah menisbahkannya kepada sang peIaku yang bertindak dengan zatnya sendiri.

Allah SWT yang memberi khasiat (karakteristik) dan kemampuan mempengaruhi kepada semua maujud. Akan tetapi pemberian dan pelimpahan pemilikan atau hibah dari manusia. Pemberian dan pelimpahan sesuatu dari manusia berakibat keluarnya benda tersebut dari milik si pemberi, sebab seIama belum keluar dari miliknya, ia pun tidak mungkin masuk ke dalam milik sesuatu atau seseorang Lainnya. Sedangkan pelimpahan dan pemberian Ilahi, tidak akan bertentangan sama sekali dan untuk seIama-Iamanya dengan tetapnya kemilikan Ilahi. Bahkan itu merupakan sesuatu yang tak terpisah dari pemilikan-Nya dan merupakan salah satu di antara tanda-tanda kekhususan-Nya.

Allah SWT menganugerahkan sifat mempengaruhi dan memberi bekas kepada segala sesuatu, tetapi pada waktu yang bersamaan, Ia adalah tetap sebagai Pemilik satu-satunya atas segala kekuatan, pemberi pengaruh dan bekas.

Amat banyak berita, hadis dan ucapan para Imam yang mengandung pengertian seperti ini, atau hampir sama dengan ini, yang tak mungkin diuraikan seluruhnya dalam risalah kecil ini.

Tingkatan yang Amat Tinggi
Yang sangat menimbulkan kekaguman pada diri seorang penelm yang ahli di bidang masalah-masalah tauhid adalah logika Al-Quran yang khas. Kemudian setelah itu, riwayat-riwayat yang bersumber dari Rasul yang mulia saw., Imam Ali (alaihissalam) serta para Imam Lainnya, di bidang tauhid dan ma'rifat Ilahi.

Itu semua adalah logika yang tak mungkin disejajarkan dengan logika masa itu, bahkan tak mungkin disejajarkan dengan logika masa-masa setelah itu, yakni setelah tersebar luasnya 'ilmul-kalam, filsafat dan ilniu logika. Tidak! Sungguh ia jauh lebih agung dari itu semua. Masalah nasib, qadha dan qadar serta jabr dan ikhtiar, merupakan contoh dari hal tersebut. Hal-hal ini saja sudah cukup menunjukkan bahwa Al-Quran al-Kariiri bersumber dari sumber dan persemaian yang berbeda dan jauh berada di atas sumber-sumber material ini. Manusia utama (saw.) yang melaluinya Al-Quran al-Karim diwahyukan, menyaksikan hakikat-hakikat tauhid dengan pandangan yang amat berbeda dengan pandangan mata biasa. Demikian pula, ma'rifat tentang logika dan ilmu-ilmu Al-Quran yang dimiliki oleh para tokoh Ahlul bait (keluarga Nabi, saIawat dan salam atas mereka semua), berbeda sepenuhnya dengan pengetahuan orang-orang seLain mereka.

Oleh sebab ituIah, dalam berbagai Iapangan pemikiran yang menimbulkan kebingungan di kalangan para pemikir dan orang-orang kebanyakan, kita dapat melihat tokoh-tokoh besar dari kalangan Ahlul Bait itu berhasil menyingkapkan berbagai hakikat dengan penjelasan yang mantap dan penuh hikmah. Karena itu, sungguh tak mengherankan jika kita lihat tokoh-tokoh besar seLain mereka, hatta dari kalangan Syi'ah sendiri, tidak mampu mengunyah dengan baik dan benar permasalahan-permasalahan ini tanpa diliputi oleh penyimpangan waIau hanya sedikit.[5]

Setiap kali seseorang meneIaah dan memperhatikan kembali ucapan-ucapan para ulama besar, seperti Syekh Mufid, al-Murtadha, al-AlIamah al-Hilli, al-Majlisi dan Lain-Lainnya, niscaya ia mendapati mereka telah tersentuh pengaruh pendapat-pendapat Mu’tazilah dan Asy'ariyah sampai batas-batas tertentu. Sehingga corak pemikiran mereka dekat dengan corak pemikiran kaum Mu’tazilah dan Asy'ariyah, dan terpaksa juga menakwilkan ayat-ayat Al-Quran dan riwayat-riwayat yang bersangkutan dengan masalah ini.

Jelas bahwa hal ini tidak dapat dikatakan sebagai suatu kekurangan (cacat) bagi diri tokoh-tokoh ulama itu. Siapa saja, seLain mereka, yang hidup dalam situasi seperti situasi mereka itu, tidak mungkin dapat terhindar sama sekali dari pengaruh yang mereka alami. Logika seperti yang kami sebutkan, tidak tampak di bagian barat atau timur bumi kecuali dalam Al-Quran al-Karim serta putra-putranya" yang dibesarkan di bawah asuhannya, yakni para wali agama. Adapun orang-orang seLain mereka hanya mampu berjalan setahap dan seLangkah demi seLangkah dan, setelah pengamatan yang seksama serta pendalaman pemikiran atas masalah-masalah ini, seraya bersuluh dengan cahaya Al-Quran, ucapan-ucapan Nabi saw. dan para Imam (terutama Imam Ali alaihissalam) akhirnya sampaiIah mereka ke tujuan ini.

Kita dapat melihat sebagian para pemikir, yang hidup di masa sekarang, kendati dalam hal-hal Lain mereka menunjukkan keistimewaan dmnjau dari corak pemikiran dan penganalisisan mereka terhadap masalah-masalah kemasyarakatan, namun ketika sampai kepada persoalan-persoalan seperti ini, mereka pun kebingungan sebagaimana para ahli ilmul-kalam sebelum mereka. Sebagai contoh, dapatlah kita menyebut nama Ahmad Amin, pengarang buku-buku Fajrul Islam, Dhuhal Islam, Zhuhrul Islam dan Yaumul Islam. Harus diakui, dalam teIaah dan analisis sosialnya, Ahmad Amin telah menunjukkan keistimewaan yang cukup besar, namun tampak dengan jelas bahwa, dalam masalah-masalah seperti ini, ia telah gagal seperti kegagaIan para ahli ilmul-kalam sebelumnya. Pada akhir bukunya, Fajrul Islam, ia menulis tentang masalah ini di bawah judul "Determinisme dan Qadar". Yang dapat kita pahami setelah membacanya ialah bahwa kepercayaan kepada takdir, menurut pendapatnya, identik dengan kepercayaan kepada determinisme. Ia tidak mempercayai keshahihan riwayat-riwayat mengenai takdir, sebagaimana ia juga tidak dapat mempercayai bahwa kandungan Nahjul Balaghah adalah ucapan-ucapan Imam Ali (alaihissalam). Mungkin saja dari segi ini ia dapat dimaafkan, karena pengetahuan yang dimilikinya tidak mengizinkannya menerima hal tersebut.[6] Tidaklah dapat dimungkiri bahwa seorang ilmuwan yang tidak memiliki modal ilmu seLain ilmu-ilmu sosial yang bersifat umum, baik ia seorang yang berasal dari Eropa, Mesir atau Iran, sama sekali tidak Layak menyatakan pendapatnya dalam bidang apa pun di antara bidang-bidang sejarah ilmu-ilmu pengetahuan Islam.

Para ahli sejarah dan kaum orientalis Barat, setiap kali hendak menyatakan pendapatnya dalam masalah ini, senantiasa menggambarkan Islam, kadang-kadang, sebagai ideologi deterministik, atau mendakwakan bahwa kepercayaan kepada qadha dan qadar bukanlah termasuk ajaran Al-Quran dan tidak dijumpai pada awal pertumbuhan Islam. Selanjutnya, menurut mereka akidah tentang hal tersebut hanya merupakan ciptaan ahli 'ilmul-kalam belaka.

Sebagai contoh Albarmalet,[7] dalam uraiannya mengenai agama Islam, menyatakan bahwa "pokok dasar agama Islam yang asli ialah: Allah Mahaesa dan Muhammad Rasulullah, baru kemudian para ulama dan ahli 'ilmul-kalam menciptakan akidah yang menyatakan bahwa Allah telah menetapkan nasib setiap orang, sejak dahulu kala, dan bahwa kehendak-Nya sama sekali tidak dapat berubah atau berganti. Inilah perilaku determinisme." Berkata Gustav Le Bon dengan gaya seorang pembela Al-Quran:

"... .yang disebutkan dalam Al-Quran di bidang ini, tidak lebih daripada yang tersebut dalam kitab-kitab suci lainnya." Kemudian ia menyebutkan beberapa ayat Al-Quran dan, setelah membahas beberapa masalah, selanjutnya berkata:

"Adapun kepercayaan kepada takdir, sebagai sesuatu yang diharuskan dalam Islam, tidak memiliki dasar ataupun pembenaran seperti halnya berbagai keharusan Lainnya. Sebelum ini, kami telah menyebutkan beberapa ayat yang bersangkutan dengan qadha dan qadar. Ayat-ayat tersebut pada hakikatnya tidak memberikan lebih banyak makna daripada yang disebutkan oleh kitab suci kita (yang dimaksudkan di sini tentunya kitab Injil - Penerj). Semua filosof dan ahli teologi (Nasrani), terutama Luther, menyatakan bahwa seluruh peristiwa dan kejadian di alam ini adalah seperti apa adanya, telah ditakdirkan dan tidak mungkin dapat diubah atau diganti, Luther sendiri, seorang pembaharu agama Kristen menulis:

"Bukti-bukti yang amat banyak yang berada di tangan kita dari kitab suci, benar-benar bertentangan dengan masalah ikhtiar (kebebasan memilih). Bukti-bukti dan petunjuk-petunjuk tentang ini amat banyak dijumpai dalam berbagai bagian kitab suci. Bahkan kitab-kitab ini semuanya penuh dengan petunjuk-petunjuk seperti ini".[8]

Kemudian Gustav Le Bon menunjuk kepada kepercayaan pada takdir di antara orang-orang Romawi dan Yunani terdahulu, yang ia simpulkan sebagai berikut :

"Dengan demikian, dapatlah diketahui bahwa Islam tidak lebih memberikan perhatian pada masalah ini dibanding berbagai agama lainnya, bahkan tidak sebesar perhatian yang diberikan oleh para Ilmuwan modern, sesuai dengan ucapan Laplace dan Leibniz".

Begitulah kita dapati Gustav Le bon dapat menerima pengertian bahwa kepercayaan kepada takdir tidak bisa lain daripada determinisme dan penafian kebebasan; akan tetapi, menurutnya, kepercayaan seperti ini memang sudah ada pada semua agama serta berbagai aliran filsafat dan tidak hanya khusus dalam Al-Quran saja.

Setelah mengutip beberapa kandungan Al-Quran, terutama yang mengandung pengertian bahwa ilmu dan kehendak Ilahi meliputi segala sesuatu, secara menyeluruh, dan setelah menunjuk kepada hadis yang terkenal dalam Shahih Bukhari, Will Durant [9] berkata: "Keimanan kepada qadha dan qadar ini, telah menjadikan determinisme sebagai ciri-ciri yang jelas dalam pemikiran Islami".

Ada baiknya kita perhatikan ucapan Dominique Sourdell: [10]

"....Sejak permulaan era Islam, kaum Muslimin membayangkan bahwa mereka telah menjumpai berbagai kontradiksi di dalam Al-Quran, sehingga Rasul, sesuai dengan hadis yang terkenal di kalangan kita, telah memberikan jawaban atas sebuah pertanyaan: 'Imanilah penderitaan kalian....' Dan ketika kaum Muslimin, setelah itu, tidak rela menjadikan keimanan mereka pada permukaannya saja, sebagian dari mereka telah berupaya menafsirkan beberapa ungkapan dan uraian dalam Al-Quran. Inilah awal mula terciptanya Ilmu Tafsir. Pertanyaan pertama yang dilontarkan ke hadapan kaum Muslimin ialah : 'Jika manusia tidak memiliki kemampuan mengerjakan sesuatu di hadapan urusan Allah (yakni takdir) dan, walaupun begitu, Allah tetap saja memberinya balasan atas perbuatan-perbuatan baik dan buruknya, apakah dengan demikian berarti kodrat (qudrah) Ilahi bersifat kontradiktif terhadap pertanggungjawaban manusia?' Al-Quran tidak memberikan jawaban atas pertanyaan ini. Dalam kenyataannya, kodrat Allah yang sempurna, seperti tampak pada berbagai tempat dalam Al-Quran, tidak meninggalkan ruang sedikit pun untuk kebebasan manusia. Dengan jalan ini, tidak lagi tertinggal suatu perasaan pertanggungjawaban manusiawi di hadapan penyerahan bulat-bulat kepada takdir Ilahi".

Buku karangan Sourdell ini sarat dengan pentahkikan-pentahkikan yang "bermutu", seperti ini!

Telah diketahui dari penjelasan-penjelasan yang lalu, bahwa masalah qadha dan qadar telah disebutkan berulangkali di dalam Al-Quran al-Karim, dan bahwa hal itu bukanlah berasal dari para ahli 'ilmul-kalam. Juga, kepercayaan kepada qadha dan qadar yang bersifat umum, seperti yang dijelaskan oleh Al-Quran, sungguh berbeda dari teori determinisme.

Pada saat kita menyaksikan kaum orientalis Barat memuji-muji kaum Mu’tazilah disebabkan mereka mengingkari qadha dan qadar, kita pun menyadari bahwa mereka (yakni kaum orientalis) percaya bahwa akidah tentang qadha dan qadar adalah identik dengan akidah Jabariyah atau determinisme!!

Tak syak lagi, jika kita membandingkan kaum Mu’tazilah dengan kaum Asy'ariyah, akan kita dapati kaum Mu’tazilah memiliki kebebasan pikiran dan kemerdekaan intelektual yang layak. Kita harus menganggap langkah yang dilakukan oleh al-Mutawakkil (Khalifah dari Bani Abbas), yang memusuhi kaum Mu’tazilah serta mendukung sepenuhnya doktrin Asy'ari, sebagai suatu bencana besar bagi dunia Islam.[11] Akan tetapi kita pun harus menyatakan bahwa penyimpangan kaum Mu’tazilah dan kebimbangan yang menimpa mereka dalam masalah ini, tidaklah lebih kecil daripada kesalahan dan kebimbangan kaum Asy'ariyah. Kendati kaum orientalis telah memuji mereka (yakni kaum Mu’tazilah), namun disebabkan kaum orientalis itu tidak memiliki kedalaman dan keluasan pengetahuan dalam ilmu-ilmu tentang Islam, mereka pun telah membayangkan bahwa kepercayaan kepada qadha dan qadar identik dengan kepercayaan kepada determinisme.

Edward Browene [12] berkata: "Kelompok Qadariyah atau Mu’tazilah lebih mempunyai arti penting sebab mereka membela prinsip kebebasan kehendak atau tafwidh (pelimpahan Ilahi) dan ikhtiar." Dr. Schteiner berkata: "Kata-kata paling tepat untuk melukiskan kaum Mu’tazilah ialah dengan menyatakan bahwa munculnya pemikiran-pemikiran seperti ini adalah konsekuensi dari suatu oposisi terus-menerus oleh inteligensi manusia yang sehat melawan hukum-hukum tiran dan ajaran-ajaran deterministis".

Kaum Mu’tazilah menyebut diri mereka sendiri sebagai kelompok 'adl (keadiIan Ilahi) dan tauhid. Mereka menyatakan bahwa ketentuan azali pada doktrin Ahlus-Sunnah (yakni kaum Asy'ariyah) ialah bahwa Allah SWT telah menentukan, sejak azali, nasib dan perjalanan hidup setiap orang, dan bahwa Ia memberi balasan atas dosa-dosa yang telah Ia bebankan sendiri di pundak manusia, dan bahwa manusia tidak memiliki kekuatan, keteguhan dan pertahanan terhadap takdir Ilahi.

Demikianlah, corak pemikiran kaum Mu’tazilah ini, yakni persamaan antara kemestian qadha dengan determinisme, telah menjadi sumber dukungan kaum orientalis.

Akar-akar Historis
Di antara pembahasan-pembahasan penting yang patut diperhatikan ialah pembahasan tentang sumber konsep-konsep, akidah-akidah dan berbagai jenis perdebatan ini. Faktor-faktor apakah yang telah mendorong kaum Muslimin, sejak awal pertengahan abad pertama atau paling lambat sejak paruh kedua abad itu, sehingga mereka memasuki bidang pembahasan mengenai determinisme dan qadar?

Tak syak lagi, penyebab dimulainya pembahasan-pembahasan ini oleh kaum Muslimin ialah ayat-ayat Al-Quran al-Karim dan ucapan-ucapan Rasul termulia saw. Dalam kenyataannya, masalah nasib serta kebebasan dan ikhtiar manusia termasuk masalah-masalah yang sudah sewajarnya membangkitkan pertanyaan-pertanyaan setiap orang. Sebab, masalah ini telah berkali-kali dilontarkan dalam Kitab Suci kaum Muslimin, dan di antara ayat-ayatnya ada yang secara gamblang mendukung konsep takdir dan ada pula yang secara gamblang mendukung adanya kebebasan dan ikhtiar manusia; tentunya hal ini mengundang timbulnya pemikiran, pembahasan dan diskusi.

Kaum orientalis dan pengekor-pengekor mereka semuanya mendakwakan bahwa konsep-konsep ini memiliki akar pemikiran yang lain. Seperti yang telah kami sebutkan, sebagian ahli sejarah dari Barat percaya bahwa masalah takdir, determinisme dan ikhtiar, termasuk masalah-masalah yang baru dmmbulkan pada masa-masa terakhir oleh para ahli teologi Islam, sementara semuanya ini tak ada bekasnya dalam Al-Quran ataupun Sunnah!

Namun ada juga sebagian yang lain yang mengisyaratkan bahwa konsep kaum Asy'ariyah yang bertumpu atas determinisme dan tiadanya kebebasan manusia, memang benar-benar seperti yang dikehendaki oleh ajaran-ajaran Islam. Hanya saja, kaum Mu’tazilah menolak untuk tunduk kepada konsep Islami ini, sama halnya seperti penolakan mereka terhadap ajaran-ajaran Islam lainnya yang tidak sejalan dengan akal dan logika. Tema kebebasan dan ikhtiar manusia telah timbul pertama kali di antara kaum Muslimin dari kalangan kaum Mu’tazilah tersebut!

Sebenarnya kata mereka selanjutnya kaum Mu’tazilah sendiri bukanlah pencipta konsep ini, akan tetapi mereka telah berpaling ke arah pemikiran yang "bermutu tinggi" ini sebagai hasil hubungan dan pergaulan mereka dengan berbagai bangsa, terutama kaum Nasrani.

Disebutkan [13] bahwa Van Kromer percaya bahwa Ma'bad al-Juhani telah mempopulerkan konsep kebebasan kehendak ini pada tahun-tahun terakhir abad ketujuh Masehi di kota Damsyik, yaitu dengan meniru dan mengikuti seorang berkebangsaan Iran bernama Sinbawaih. Ia berkata pula: "Van Kromer berpendapat bahwa tempat pembentukan dan penyempumaan doktrin-doktrin orang-orang itu ialah kota Damsyik, di bawah pengaruh kaum teologis Bizans, khususnya Yahya Dimasyqi serta muridnya Theodore Hypocrates."[14]

Dari sini dapat diketahui bahwa Van Kromer berpendapat bahwa si orang Iran yang diperkirakan telah mengajarkan konsep kebebasan dan ikhtiar kepada Ma'bad al-Juhani, pada gilirannya, telah beroleh manfaat dari pengetahuan yang dilimpahkan kepadanya oleh para ahli teologi Nasrani berkebangsaan Romawi tersebut!.

Seandainya memang demikian itu persoalannya, tentunya untuk membahas hal-hal mengenai tauhid dan akhir, bahkan salat dan puasa, kita harus mencari akar-akar historisnya di sana pula. Di samping itu, kita pun harus berkesimpulan bahwa penyebab timbulnya perhatian kaum Muslimin terhadap pembahasan tentang tauhid, hari akhir, salat, dan puasa, ialah adanya pembahasan-pembahasan tentang masalah-masalah tersebut yang sudah lebih dulu dilakukan oleh sekolah-sekolah kaum Nasrani!!

Kenyataan Sebenarnya
Pada hakikatnya, kaum orientalis tidak memiliki cukup kemampuan untuk melakukan penelitian terhadap berbagai akidah dan doktrin Islami, sebagaimana mereka pada umumnya juga tidak mempunyai mkad baik yang diperlukan untuk itu. Karenanya, kita dapat melihat, pada saat mereka mencoba membuat analisis tentang konsep-konsep dan doktrin-doktrin Islami, serta hendak memasuki pembahasan tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan teologi Islam, tasawuf ataupun filsafat, mereka selalu terjerumus ke dalam pencampuradukan hal-hal yang aneh-aneh dan berbagai khurafat yang tak berharga sedikit pun, yang menimbulkan keheranan atau kadang-kadang malah mengundang ejekan. Sebagai contoh, marilah bersama-sama kita teIaah tulisan di bawah ini.

Edward Browene [15] mengutip dari buku Sejarah Islam, karangan Dozy, seorang orientalis terkenal berkebangsaan Belanda, pendapat mengenai kaum Mu’tazilah sebagai berikut:

"Berhubung mereka (kaum Mu’tazilah) menggunakan cara perenungan dan pemikiran dalam memahami hukum-hukum syari'at, maka dengan sendirinya, mereka membela metode logika argumentatif. Karena itu pula, salah satu dari tema-tema pokok yang mereka bahas ialah pendapat tentang hadits-nya (baru terciptanya) AL-Quran, bukan qadim seperti Zat Allah, dan bahwa ia adalah makhluq, meski pendapat seperti ini sebenarnya berlawanan dengan ucapan Nabi.[16] Mereka juga menyatakan bahwa konsekuensi dari Pernyataan bahwa Al-Quran adalah sesuatu yang qadim dan bukan makhluq, sama seperti mengatakan tentang adanya dua maujud yang azali dan abadi. Sedangkan dengan menjadikan AL-Quran, yakni firman Allah, termasuk dalam kelompok makhluk (yang dicipta oleh) Allah, maka kita tidak dapat menjadikannya berkaitan dengan Zat Allah, karena Zat Allah tidak mungkin berubah. [17]

Dengan cara pengutaraan seperti ini, setahap demi setahap goyahlah dasar kepercayaan tentang turunnya wahyu, dan dicanangkanlah oleh banyak kalangan Mu’tazilah, bahwa menulis padanan Al-Quran atau bahkan yang lebih baik daripadanya, adalah sesuatu yang mungkin terjadi dan tidak mustahil.

Berdasarkan itu, mereka menyanggah pendapat bahwa Al-Quran adalah kitab samawi yang turun dari sumber wahyu. "[18]

Demikian pula akidah (kepercayaan) mereka kepada Allah, lebih murni dan lebih tinggi daripada akidah kaum pembuat hukum (para fuqaha) dan orang-orang yang berpegang teguh pada doktrin-doktrin umum dan nilai-nilai syari'at, serta juga (lebih murni) daripada akidah kaum Asy'ariyah. Hal itu disebabkan kaum Mu’tazilah tidak akan pernah menerima doktrin yang mengatakan bahwa Sang Pencipta Alam dapat menampakkan diri dalam bentuk jasmani, dan mereka juga tidak bersedia mendengar ucapan seperti ini, kendati ada hadis yang berbunyi: "Sebagaimana telah kamu lihat bulan purnama pada pertempuran Badr, kamu pasti akan melihat pula Tuhanmu pada suatu hari."[19] Mengingat para fuqaha telah mengartikan ucapan ini secara harfiah, maka masalah ini selalu menjadi penghambat utama bagi kaum Mu’tazilah, sehingga mereka berusaha menafsirkan dan menjelaskannya, dengan menyatakan bahwa manusia, setelah mati, akan melihat Allah, tetapi hanya dengan mata-hati, yakni dengan dalil akal, sebagaimana mereka juga tidak inau menerima bahwa Allah SWT adalah Pencipta orang-orang kafir.[20]

Demikianlah sebagai contoh yang ingin kami kemukakan di sini. Perlu pula kami nyatakan bahwa Edward Browene, orientalis yang menulis buku Sejarah Kebudayaan Iran, mengutip hasil penelitian (!) ini dari orientalis Belanda, Dozy tersebut tanpa catatan apapun.

Kami tidak tahu sebutan apa kira-kira yang dapat kami berikan kepada bualan seperti ini? Apakah kita akan menamakannya kebodohan ataukah kejahatan? Dan yang lebih disesalkan lagi ialah kenyataan bahwa pengikut-pengikut dan pengekor-pengekor mereka, yang berasal dari Timur pun, alih-alih menelm kembali konsep-konsep dan doktrin-doktrin ketimuran dan ke-Islaman, dengan penelitian yang mendalam dan seksama; dalam kenyataannya, dengan sengaja mereka malah mengulang-ulang ucapan guru mereka tersebut, serta menjadikannya sebagai tumpuan bagi pendapat-pendapat mereka sendiri.

Sebuah Pembahasan tentang Hadis
Ada kemungkinan, dalam beberapa hadis terkandung makna yang berlawanan dengan keterangan yang lalu, namun hendaknya kita jangan lupa bahwa kontradiksi seperti ini baru timbul setelah adanya beberapa kebingungan akibat kekeliruan sebagai perawi ketika menukilkan kandungan beberapa hadis. Kebingungan seperti ini dapat dihilangkan dengan cara membandingkan beberapa hadis tersebut dengan yang lainnya. Adakalanya kontradiksi itu hanya secara lahirnya saja, sehingga segera hilang setelah dipikirkan secara mendalam. Di bawah ini kami berikan contoh masing-masing dari kedua sumber kebingungan itu:

(1) Dalam Sahih Bukhari, [21]diriwayatkan dari Yahya bin Ya'mur dari Aisyah bahwa ia bertanya kepada Rasulullah saw. tentang penyakit sampar, lalu beliau menjawab: "Penyakit sampar adalah azab yang dikirim oleh Allah SWT kepada siapa saja dari hamba-hamba-Nya yang Ia kehendaki, kemudian Allah menjadikannya sebagai rahmat bagi kaum mukminin. Maka tak seorang hamba Allah pun yang berada di suatu negeri yang terjangkit penyakit itu, lalu ia tetap tinggal di sana dalam keadaan sabar dan tulus menghadapinya serta yakin bahwa tiada sesuatu pun akan menimpanya kecuali yang telah ditakdirkan oleh Allah, kecuali ia beroleh pahala seperti seorang syahid".

Dalam kitab al-Kafi, [22] disebutkan bahwa al-Halabi berkata: "Aku pernah bertanya kepada Abu Abdillah, Imam Ja'far as-Shadiq (alaihissalam) mengenai wabah yang menjangkiti sebagian neger; bagaimana hukumnya seseorang yang berpindah dari sana ke bagiannya yang lain? Atau keluar dari negeri yang terjangkit wabah dan pindah ke luar negeri itu?" Beliau menjawab: "Tak mengapa, Rasulullah saw. memang pernah melarang hal seperti itu, ketika terjadi di suatu daerah perbatasan dekat dengan pemusatan pasukan musuh, kemudian banyak dari mereka melarikan diri karena takut dari wabah tersebut. Rasulullah saw. bersabda: 'Orang yang melarikan diri dari tempat itu, sama seperti orang yang lari dari medan pertempuran'. Tentunya hal tersebut disebabkan beliau khawatir tempat-tempat penjagaan akan menjadi kosong."

Ucapan Imam Ja'far as-Shadiq menjelaskan bahwa maksud Nabi saw. mengenai suatu peristiwa tertentu. Beliau melarang mereka melarikan diri dari wabah, agar kaum Muslimin tidak melupakan kewajiban-kewajiban mereka dalam menghadapi musuh, di saat terjangkitnya wabah, sehingga menyebabkan kosongnya tempat-tempat penjagaan dan dengan demikian menjerumuskan diri mereka sendiri ke dalam kebinasaan yang lebih parah. Jadi, larangan Nabi saw. tidak bersifat umum, untuk selalu dipraktekkan, sehingga mewajibkan atas kaum Muslimin kapan dan di mana pun setiap kali wabah menjalar di suatu kota, untuk pasrah pada kenyataan dan tetap tinggal seraya menunggu nasib yang membinasakan. Padahal seorang Muslim diperintahkan agar menjaga dirinya dan hartanya daripada segala penyebab kebinasaan. Namun dalam kenyataannya, perpindahan ucapan Nabi saw. dari satu tangan perawi ke tangan perawi lainnya, telah mengalihkannya sedikit demi sedikit kepada makna yang bersifat umum seperti tampak dalam Sahih Bukhari.

Bagaimana pun, kita masih bemasib baik ketika Imam Ja'far as-Shadiq menyingkapkan tirai penutup hakikat sebenarnya, dan menjelaskan maksud Rasul yang mulia saw. (Memang, "penghuni suatu rumah" (ahlul bait) lebih mengerti tentang segala yang ada di rumahnya sendiri). Ada kemungkinan pula, bahwa yang disebutkan dalam Sahih Bukhari mempunyai maksud lain, yaitu Rasulullah saw. memerintahkan, pada saat terjangkitnya wabah di suatu kota (lalu beberapa orang, tentunya, ditimpa bala’), hendaknya penduduk kota itu tidak keluar meninggalkannya agar tidak memindahkan penyakit tersebut ke tempat Lainnya. Dengan demikian mereka ikut menjaga jiwa para penghuni daerah-daerah lainnya. ApaLagi di masa itu belum ada cara-cara pengobatan yang efektif atau karantina-karantina di perbatasan dan pintu-pintu gerbang negeri, tempat para pendatang dapat diperiksa lalu diberi izin memasuki kita setelah benar-benar diyakini bahwa mereka itu tidak membawa virus yang dapat menyebar luaskan penyakit tersebut. Di masa itu, cara terbaik untuk mencegah tersebarnya wabah seperti itu adalah tetap tinggalnya penduduk kota yang terserang penyakit di tempat masing-masing agar tidak memindahkannya ke tempat lain.

Ibn Abil-Hadid menyebutkan [23] sebuah kisah tentang perjalanan Umar bin Khattab r.a. ke Syam. Ketika diberitahu tentang berjangkitnya wabah penyakit sampar di sana, ia memutuskan untuk tidak memasuki saerah itu. Abu Ubaidah bin Jarrah kemudian menyanggah keputusan tersebut dengan menyatakan bahwa hal itu berarti Iari dari qadha dan qadar. Segera Abdurrahman bin Auf menjawabnya dengan meriwayatkan hadis bahwa Rasulullah saw. melarang keluarnya penduduk dari suatu kota yang terjangkit wabah sampar atau masuknya orang-orang yang berada di luarnya. Berdasarkan kisah itu, ada kemungkinan bahwa hadis dalam Sahih Bukhari tersebut menunjuk kepada peristiwa yang disebutkan oleh Imam Ja'far as-Shadiq di atas. Atau bahwa yang disebutkan oleh Imam Ja'far itu berhubungan dengan peristiwa yang tidak berkaitan dengan hadis ini, melainkan hanya berkaitan dengan masalah tindakan pencegahan dari kejangkitan wabah, serta penjagaan keselamatan penduduk kota-kota lainnya yang tidak atau belum terjangkiti. Betapapun juga, makna sebenarnya yang dapat diperoleh dari hadis riwayat Aisyah itu pastilah bukan makna lahiriahnya, dan bahwa para perawi telah diliputi kebingungan ketika mengutip kandungannya.

(2) Tersebut dalam kitab al-Kafi jilid 2, bab tentang Keutamaan Keyakinan, dari Imam Ja'far as-Shadiq, bahwa Amirul Mukminin Ali (alaihissalam) duduk di antara orang banyak di bawah sebuah tembok yang miring dan hampir jatuh. Sebagian dari mereka berkata: "Jangan duduk di bawah tembok ini, wahai Amirul Mukminin, sebab ia akan runtuh". Jawab Amirul Mukminin: "Tiap orang dijaga oleh ajalnya". Kemudian ketika beliau meninggalkannya, tembok itu benar-benar runtuh. Berkata Imam Ja'far: "Amirul Mukminin seingkali melakukan ini dan seperti ini, dan ini termasuk sifat keyakinan".

Mengenai hadis ini mungkin dapat dikatakan bahwa ia:

a. Bertentangan dengan yang telah kaini nukilkan sebelum ini, dari buku Tauhid as-Shaduq [24] dari riwayat al-Ashbagh bin Nubatah, katanya: "Amirul Mukminin Ali pindah dari sebuah tembok yang miring ke tembok lainnya. Ketika dikatakan kepadanya: "Wahai Amirul Mukminin, apakah Anda lari dari qadha Allah? Ia menjawab: 'Ya, aku lari dari qadha Allah ke qadha Allah SWT".

b. Hal tersebut bertentangan dengan larangan agama untuk duduk di bawah tembok miring yang hampir runtuh. Bagaimana mungkin Ali (alaihissalam) duduk di tempat seperti itu dengan alasan bahwa ajal menjaganya? Akan tetapi, tampaknya ada kemungkinan menafsirkan hadis ini dengan memperhatikan penjelasan kami sebelumnya, dan dalam bentuk yang tidak bertentangan dengan hadis as-Shaduq ataupun dengan ketentuan syari'at yang diterima yaitu, yang mewajibkan penjagaan jiwa raga dan larangan menjerumuskan diri ke dalam kebinasaan.

Seperti telah kami nyatakan dalam pembahasan sebelum ini (di bawah sub judul Faktor-faktor Spiritual), faktor-faktor qadha dan qadar serta kaitan-kaitan sebab-akibat harus jangan dibatasi semata-mata pada bidang-bidang material yang bertiga dimensi saja, karena faktor-faktor spiritual pada gilirannya juga membentuk bagian amat penting dari sistem sebab-akibat di alam semesta ini. Atas dasar ini, bilamana kita amati suatu kejadian tertentu dari sudut sebab-sebab material dan dimensi-dimensi fisik, mungkin kita akan membayangkan telah mencapai pengetahuan tentang sebab-sebab dan kaitan-kaitannya secara sempurna. Akan tetapi bila kita memandangnya dengan cara pandang lain, lalu kita dapat menyaksikan kejadian-kejadian tersembunyi lainnya, maka kita akan mengetahui bahwa apa yang tadinya kita perkirakan sebagai "sebab yang sempurna", dari kejadian tersebut sebenarnya hanyalah "sebab yang kurang sempurna"; karena masih adanya berbagai hal tersembunyi lainnya yang ikut berpartisipasi di dalamnya. Telah kami nyatakan sebelum ini, bahwa berbagai macam sedekah dan niatan, seperti juga perbuatan-perbuatan manusia yang dilaksanakan dalam bentuk yang berkaitan dengan niat dan segi-segi spiritual di dalamnya, semua itu mempunyai pengaruh atas jalannya sebab-sebab dan lantaran-lantaran di alam ini. Sekiranya seseorang memiliki indera yang melampauai indera yang kita miliki, dan mampu memahami kejadian-kejadian dengan pemahaman yang lebih mendalam daripada pemahaman kita yang biasa, niscaya penilaiannya atas peristiwa-peristiwa yang terjadi akan berbeda dari corak penilaian kita pada beberapa konteks tertentu. Persis seperti berbedanya penilaian kita, sebagai maujud yang memiliki tiga dimensi, dengan penilaian berbagai maujud yang hanya memiliki dua dimensi saja dan yang tidak mampu mencerap segala sesuatu lebih dari kedua dimensinya itu. Tentunya penilaian kita atas hal-hal yang berdimensi dua ada kalanya dapat bersesuaian, akan tetapi pasti berbeda dalam hal-hal yang berdimensi tiga.

Penilaian orang-orang yang tergolong ahlulyaqin (yaitu, mereka yang memiliki indera dan cara pandang lain) yang memandang alam ini dalam lingkup dan gerak yang lain yang berbeda dengan cara pandang kita memandang; juga pada berbagai konteks khusus, pasti berbeda dengan penilaian kita. Sesuatu yang kita anggap sebagai penyebab kematian, misalnya, mungkin saja tidak mereka anggap demikian, disebabkan pengetahuan mereka yang lebih meliputi beberapa hal yang tersembunyi. Maka dilihat dari sudut hal-hal spiritual (nonmaterial), tak ada keberatan apa pun untuk menyatakan bahwa ahlulyaqin [25] mampu mengetahui beberapa hal tersembunyi yang ada kaitannya dengan jaminan panjangnya usia, keselamatan ataupun kelapangan rezki seseorang. Tapi masalah ini memerlukan pembahasan amat panjang.[]

[1] Tuhaful 'Uqul, hal. 442.

[2] Dari Majma 'al-Bahrain.

[3] Dalam buku Tuhaful 'Uqul, cetakan Beirut, hal. 345.

[4] Salah seorang dari Dua Belas Imam dalam mazhab Syi'ah Itsna Asyariah--Penyunting.

[5] Perlu diketahui bahwa penulis buku ini bukan berasal dari kalangan Ahlul Bait yang disebut-sebutnya - Penyunting.

[6] Dalam buku Kasyiful Ghitha, Ashlu asy-Syi'ah wa Ushuluha, disebutkan bahwa Ahmad Amin sendiri pernah mengakui kekurangtahuannya mengenai Syi'ah dan hal-hal yang berkenaan dengan itu - Penyunting.

[7] Dalam buku Sejarahnya, jilid 3, pasal 6, hal. 91.

[8] Dikutip dari Peradaban Islam dan Arab.

[9] Dalam bukunya History of Civilization (Sejarah Peradaban), jilid 13, hal. 55.

[10] Dalam sebuah bukunya berjudul Islam yang terbit dalam serial "Apa yang kuketahui?" dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Parsi.

[11] Baca : Ijtihad dalam Islam, Nomor 3, hal. 318-332, karangan Penulis.

[12] Dalam bukunya, Sejarah Kebudayaan Iran, hal. 411.

[13] Ibid, hal. 413.

[14] Ibid. hal. 413.

[15] Ibid, hal. 442.

[16] Sarjana orientalis yang ulung ini berusaha menyindir secara halus, bahwa kaum Asy'ariyah telah mengambil akidah mereka tentang qadimnya Al-Quran dari ucapan Nabi saw; dan bahwa kaum Mu’tazilah, kendatipun mempercayai bahwa Nabi saw. telah mengucapkan makna seperti ini, telah menolaknya karena tidak selaras dengan akal dan logika. "Ia pun menulis di hal. 418 "...Pendirian kaum Mu’tazilah berlawanan dengan berbagai akidah tentang "kemungkinan melihat Allah", dan bahwa Al-Quran adalah qadim dan bukan makhluq; yakni akidah yang dianut oleh Ahlus-Sunnah wal Jama'ah (kaum Asy'ariyah) yang mengikuti nash-nash Al-Quran dalam segala hal dan menolak melakukan takwil (penyimpangan dari arti harfiah Al-Quran) yang merupakan kebiasaan lawan-lawan mereka". Padahal pada kenyataannya dalam Al-Quran tidak ada keterangan, waIau sedikit pun, yang mengisyaratkan bahwa Al-Quran adalah qadim dan bukan makhluq. Juga tidak ada satu hadis pun, di antara hadis-hadis yang dinisbahkan kepada Rasul saw. yang menyebutkan tentang ini dan dianggap sahih serta dapat diterima oleh kaum Mu’tazilah.

[17] Penerjemah buku ini ke dalam bahasa Parsi, dalam catatan kakinya, menyebutkan pendapat Frozanfer (?) bahwa "kepercayaan bahwa Al-Quran adalah makhluk tidak ada kaitannya sama sekali dengan persoalan-persoalan ini, ataupun kesimpulan-kesimpulan tak berharga yang dikemukakan oleh penulis tersebut (yakni Dozy)...."

[18] Pada hakikatnya, seperti disaksikan oleh sejarah, kaum Mu’tazilah adalah para pembela Al-Quran yang kuat dan gigih, yang benar-benar beriman kepadanya. Demi membelanya, mereka mendebat kaum Zindik (sesat) dan menyerang doktrin para filosof yang bertentangan dengannya. Seandainya mereka itu, seperti dinyatakan oleh Dozy, tidak menganggap bahwa Al-Quran bersumber pada wahyu Ilahi, tentunya mereka tidak akan bersikeras membelanya dengan pembelaan yang demikian gigih seperti itu.

[19] Yang dimaksudkan di sini ialah sebuah hadis yang tercantum dalam kitab-kitab ilmul-kalam, bukan dalam kitab-kitab hadis, yang isinya: "Kamu akan melihat Tuhanmu pada hari kiamat, sebagaimana kamu melihat bulan di malam purnama raya." Sarjana orientalis ini mengira bahwa kata badr yang dalam bahasa Arab berarti bulan purnama, seperti tersebut dalam hadis ini, sebagai menunjuk kepada peperangan Badr. Oleh sebab itu, ia menerjemahkan kata-kata".. ..akan melihat...." (kata kerja yang menunjuk ke masa akan datang) dengan "telah melihat" (kata kerja untuk masa Lalu), agar selaras dengan makna yang diinginkannya. Hadis itu sendiri memiliki sejarah yang panjang. Sejauh yang diketahui, berdasarkan berbagai petunjuk, hadis ini telah mengalami penyimpangan melalui beberapa perawinya, kemudian telah dirusak sekali lagi di tangan para ahli ilmul kalam, dan akhirnya memperoleh susunan kalimat yang menertawakan seperti ini di tangan sang "orientalis ulung". Dalam kenyataannya, Al-Quran dengan jelas dan gamblang telah menafikan kemungkinan melihat Allah dengan penglihatan mata seperti dalam firman-Nya: "Tiada Ia tercapai oleh penglihatan mata, tapi Ia Melihat segala penglihatan dan Ia Maha lemah-lembut, Mengetahui segala kejadian." (QS 6 : 103).

Sedangkan Al-Quran, pada berbagai tempat, berulang-ulang menyebutkan tentang sesuatu yang dinamakannya "perjumpaan dengan Allah". Berbagai hadis yang diriwayatkan oleh kaum Syi'ah, dan juga sebagian kalangan Ahlus-Sunnah, dengan jelas dan gamblang menafikan kemungkinan penglihatan inderawi kepada Allah, dan di samping itu menguatkan pula kenyataan lainnya yang dikemukakan oleh Al-Quran, yakni "perjumpaan dengan Allah", yang tentunya merupakan suatu peristiwa yang bukan bersifat inderawi dan jasmani. Memang, di antara berbagai syubhah (keraguan argumentatif) terbesar yang berasal dari kaum Asy'ariyah, dan yang tidak dapat diabaikan begitu saja, ialah masalah kepercayaan tentang kemungkinan melihat Allah secara inderawi pada hari kiamat. Di samping penolakan akal, hal itu juga bertentangan dengan nash Al-Quran yang jelas dan terang. Masalah ini mempakan topik yang amat panjang, sehingga tidak pada tempatnya diuraikan di sini.

[20] Tak seorangpun dari kalangan Mu’tazilah, menurut sejarah, mengatakan bahwa Allah SWT bukanlah pencipta orang-orang kafir. Yang benar ialah bahwa kaum Mu’tazilah mengingkari penciptaan kekufuran oleh Allah, bukannya penciptaan orang yang kafir. Mereka menyatakan bahwa Allah SWT tidak menciptakan kekufuran, kezaliman dan pembangkangan (maksiat); tapi mereka tidak menyatakan bahwa Allah bukanlah pencipta orang yang kafir, zalim ataupun pembangkang.

[21] Jilid 8, halaman. 158.

[22] Jilid 8, halaman. 108 (al-Kafi adalah salah satu kitab hadis penting kaum Syi'ah - Penyunting).

[23] Dalam bukunya, Syarh Nahjul Balaghah, pada catatan atas pidato nomor 132.

[24] Juga merupakan salah satu kitab hadis penting kaum Syi'ah – Penyunting.

[25] Termasuk lmam Ali a.s., sesuai dengan hadis yang dikutip di atas - Penyunting.