PELAJARAN 42 PELAJARAN 42
Kaitan antara Ma'ad dan Masalah Ruh
Standar Kesatuan pada Makhluk Hidup
Tubuh manusia itu tersusun dari sekelompok sel-sel sebagaimana pada seluruh hewan. Dan setiap sel senantiasa berubah dan berganti. Misalnya, jumlah sel itu tidak tetap sejak seseorang itu dilahirkan sampai akhir hidupnya. Kita tidak akan menemukan manusia yang unsur-unsur tubuhnya tidak mengalami perubahan sepanjang hidupnya, atau jumlah sel yang berada dalam tubuhnya itu tetap utuh.
Perubahan dan pergantian pada tubuh manusia, dan hewan pada umumnya, menimbulkan sebuah pertanyaan: apakah sebenarnya standar untuk menilai kelompok yang berubah-ubah ini sebagai wujud yang satu (wahid)? Sebab, kita amati bahwa bagian-bagiannya itu dapat berubah-ubah dan berganti sepanjang hidupnya lebih dari satu kali.
Jawaban sederhana atas pertanyaan ini adalah bahwa standar kesatuan pada setiap mahluk hidup ialah adanya hubungan bagian-bagian itu dalam satu masa atau pada masa yang berbeda-beda. Walaupun sel-sel itu mengalami kematian secara berangsur lalu digantikan oleh sel-sel baru, akan tetapi mengingat adanya hubungan antara satu sel dengan sel lainnya, dapat dikatakan bahwa kelompok yang non-permanen itu sebenarnya realitas yang satu.
Jawaban ini tidaklah memuaskan, karena kalau kita berasumsi akan adanya satu bangunan yang tersusun dari sekelompok batu-batu, lalu batu-batu ini mengalami perubahan secara berangsur sehingga tidak tersisa lagi wujud batu-batu yang terdahulu lantaran posisinya digantikan oleh batu-batu yang baru, dalam asumsi ini kita sulit menganggap sekelompok batu yang baru ini adalah bangunan yang awal itu. Perumpamaan material ini dibawakan sebagai pendekatan dalam persoalan ini, khususnya bagi orang yang tidak mengetahui adanya perubahan dan pergantian pada bagian-bagian kelompok tersebut.
Jawaban itu dapat disempurnakan sebagai berikut: bahwa perubahan yang terjadi secara gradual itu tidaklah mengganggu kesatuan kelompok tersebut pada bentuknya yang baru, karena adanya faktor alami dan internal, sebagaimana hal ini dapat kita amati pada makhluk-makhluk hidup. Namun, tatkala batu-batu bangunan itu berubah dan berganti akibat faktor-faktor eksternal dan internal, kita tidak dapat menisbahkan kesatuan yang hakiki kepadanya sepanjang adanya bagian-bagian yang senantiasa berganti dan berubah pada mahluk-mahluk hidup karena faktor alami.
Jawaban ini didasari oleh pengakuan terhadap adanya satu faktor alami yang senantiasa utuh sepanjang fase-fase perubahan, dan ia pula yang menjaga keutuhan antarbagian-bagian yang membentuk tubuh. Dari sinilah timbul satu pertanyaan mengenai faktor itu sendiri: Apakah faktor itu? Apakah standar kesatuan pada dirinya?
Menurut sebuah teori populer filsafat, standar kesatuan pada setiap realitas adalah hakikat yang sederhana (tak tersusun) dan non-indrawi yang dinamakan dengan thabi'ah atau forma (shuroh), yang tidak mengalami perubahan meski maddah (materi)-nya berubah-ubah. Hakikat permanen ini dinamakan dengan ruh (nafs), khususnya pada makhluk hidup yang melakukan berbagai aktifitas hidup seperti: makan, tumbuh dan berkembang.
Para filsuf klasik menganggap bahwa ruh yang ada pada tumbuhan dan hewan itu bersifat materi (maddi). Adapun ruh yang ada pada manusia adalah non-materi (mujarrad). Namun, kebanyakan filsuf Islam, seperti Sadrul Muta'allihin Syirazi (Mulla Sadra) dan selainnya menganggap bahwa ruh hewan (nafs hayawani) itu juga memiliki sederajat kenonmaterian, dan bahwa ihwal merasa dan berkehendak itu merupakan kemestian dan ciri khas wujud nonmateri.
Sementara itu, kaum materialis yang membatasi wujud ini hanya pada materi dan sifat-sifat khasnya, mengingkari adanya ruh yang bersifat non-materi. Tipe pembaharu dari Materialisme, seperti Positivisme, mengingkari segala sesuatu yang tak dapat diindera. Mereka percaya bahwa sesuatu yang tidak dapat diindera itu tidak dapat dibuktikan secara ilmiah. Oleh karena itu, mereka tidak menerima keberadaan forma yang abstrak (non-materi) itu. Dengan demikian, mereka pada dasarnya tidak menawarkan solusi yang tuntas dalam menentukan standar kesatuan pada makhluk hidup.
Dengan kata lain, standar kesatuan pada tumbuhan adalah forma atau ruh tumbuh (nafs nabati). Maka itu, kehidupan tumbuhan tergantung pada keberadaan ruh tumbuh yang terdapat khusus pada materi-materi yang memiliki potensi. Ketika potensi itu sirna dari meteri-materi tersebut, ruh tumbuh itu pun menjadi sirna. Lalu, apabila kita mengasumsikan adanya potensi pada materi-materi tersebut untuk menerima kembali ruh tumbuh, maka ruh ini akan dicurahkan kepada mereka. Namun berdasarkan pandangan ini, tidak akan ada kesatuan hakiki antara tumbuhan yang lama dengan tumbuhan yang baru, walaupun terdapat kemiripan di antara keduanya itu. Yakni, bila dicermati secara teliti, kita tidak akan menganggap lagi bahwa tumbuhan yang baru ini adalah tumbuhan yang lama itu.
Adapun pada hewan dan manusia, mengingat ruh mereka adalah non-materi, ruh tersebut bisa tetap utuh meskipun tubuh mereka telah hancur lebur. Dan ketika ruh itu berhubungan kembali dengan tubuh, ia akan menjaga kesatuan seseorang, sebagaimana hal itu demikian sebelum kematiannya, yaitu bahwa kesatuan ruh merupakan standar kesatuan seseorang. Adapun pergantian materi tubuh tidak menyebabkan keberbilangan (katsroh) dirinya.
Lain halnya orang itu berkeyakinan bahwa wujud hewan dan manusia itu terbatas pada tubuh yang materi dengan sifat-sifat khasnya dan menganggap bahwa ruh itu merupakan ciri khas tubuh, bahkan sekalipun ia menganggap bahwa ruh itu merupakan bentuk yang tidak bisa diindera akan tetapi ia adalah materi yang akan sirna ketika anggota tubuh itu hancur luluh, orang seperti ini tidak akan mempunyai pengertian yang tepat tentang Ma'ad. Karena jika diasumsikan bahwa tubuh itu memperoleh potensi barunya untuk hidup, akan tampak adanya ciri-ciri khas dan sifat-sifat yang baru pula. Atas dasar ini, ia tidak mungkin menjadi standar yang hakiki bagi kesatuannya, karena ciri-ciri khusus yang terdahulu-berdasarkan asumsi itu-akan sirna sama sekali ketika ciri-ciri khas yang baru telah muncul.
Alhasil, kita dapat menggambarkan kehidupan setelah kematian dengan benar jika kita menganggap bahwa ruh itu bukanlah tubuh dan tidak memiliki ciri-ciri serta sifat-sifat tubuh. Lebih dari itu, kita mesti tidak menganggap bahwa ruh itu adalah bentuk material yang menempati tubuh dan ia akan sirna ketika tubuh itu hancur.
Oleh karena itu pertama, kita harus mengakui adanya ruh. Kedua, kita harus percaya bahwa ruh itu merupakan hakikat yang substansial; bukan sifat-sifat tubuh. Ketiga, kita harus meyakini bahwa ruh itu mandiri dan tetap utuh meskipun tubuh telah hancur luluh. Ia tidaklah seperti forma-forma tercetak pada materi, yang akan sirna ketika tubuh itu hancur luluh.
Ihwal Ruh pada Wujud Manusia
Hal lain yang perlu diperhatikan di sini ialah bahwa tersusunnya manusia dari ruh dan raga tidak seperti zat kimia yang terdiri dari dua unsur, semisal tersusunnya air dari oksigen dan hidrogen, yang apabila salah satunya berpisah dari yang lainnya, wujud susunan tersebut akan sirna berikut seluruh sifat-sifat susunannya. Sementara ruh adalah unsur substansial dan hakikat manusia. Selama ruh itu ada, kemanu-siaan manusia dan kepribadiannya tetap ada dan utuh dengan sendirinya. Oleh karena itu, perubahan dan pergantian sel-sel tubuh tidak merusak kesatuan pribadi, karena standar kesatuan hakiki manusia adalah ruhnya yang satu.
Hal ini telah disinggung oleh Al-Qur'an tatkala menjawab para pengingkar Ma'ad yang bertanya-tanya: Bagaimana mungkin manusia itu mendapatkan kehidupannya yang baru setelah organ tubuhnya itu hancur luluh?
"Katakanlah sesungguhnya yang mematikan kalian adalah malaiakat maut yang diwakilkan oleh Allah untuk tugas itu." (QS. As-Sajdah: 11)
Dengan demikian, hakikat setiap manusia itu didasari oleh sesuatu yang dicabut oleh Malaikat Maut, yakni ruh, bukan bagian-bagian tubuhnya yang telah hancur di dalam bumi.[]
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Dapatkah kita menganggap adanya hubungan bagian-bagian yang berubah pada satu kelompok sebagai standar kesatuannya dan mengapa?
2. Apakah standar lain yang dapat diasumsikan bagi adanya kesatuan pada susunan tubuh?
3. Apakah teori populer filsafat mengenai kesatuan wujud yang tersusun, khususnya makhluk hidup?
4. Apakah perbedaan antara forma natural dan ruh?
5. Apakah perbedaan antara ruh tumbuhan dan ruh hewani dan ruh insani? Dan apakah pengaruh perbedaan tersebut terhadap masalah Ma'ad?
6. Apakah dasar-dasar yang diperlukan untuk dapat memberikan pengertian yang tepat mengenai Ma'ad?
7. Apakah perbedaan antara susunan manusia yang terdiri dari ruh dan raga dengan susunan kimiawi?