Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syi'ah Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syi'ah
KARYA: Sayyid Abdul-Husain Syarafuddin Al-Musawi
Sayyid Abdul-Husain Syarafuddin Al-Musawi
Sayyid Abdul-Husain Syarafuddin Al-Musawi dilahirkan pada tahun 1290 H di kota Kazhimiah, Irak, dari kedua ibu-bapak yang silsilah keturunannya bersambung kepada Rasulullah SAWW. Sejak usia delapan tahun, ia telah mempelajari berbagai ilmu tentang bahasa Arab, balaghah, logika, fiqh, ushul fiqh, dan ilmu-ilmu lain, di kota Amila, sebelah selatan Libanon. Mencapai usia tujuh belas tahun, ia pun berkeliling ke kota-kota Najaf, Samira, dan kota lain di Irak, untuk melanjutkan pelajarannya. Sejak itulah ia kemudian dikenal sebagai seorang pemuda yang disegani di kalangan terpelajar karena pengetahuannya yang luas, kecerdasannya yang memikat, ketelitiannya dalam pembahasan, keunggulannya dalam berdiskusi, di samping watak santun dan akhlaknya yang mulia. Dalam usia tiga puluh dua tahun ia kembali ke tempat kelahirannya, atas perintah ayahnya. Kedatangannya disambut dengan hangat oleh penduduk termasuk para alim-ulama dan para pemuka daerah setempat. Kefasihannya berpidato, ketegasannya membela kebenaran, kasih-sayangnya kepada kaum lemah, dan keteguhannya dalam beramru bil ma'ruf, nahi 'anil munkar, serta sikap tawadhu'nya di hadapan para ulama, membuatnya menjadi seorang mujtahid yang amat disegani. Pada tahun 1329 H, di saat memuncaknya tekanan-tekanan pemerintah kolonial yang kejam terhadap dirinya, ia pun memutuskan untuk pergi ke Mesir. Sesampainya di Mesir, ia pun disambut meriah oleh para alim-ulama, dan bahkan berkesempatan pula bertemu dengan Rektor Al-Azhar waktu itu, Syaikh Salim Al-Bisyri Al-Maliki. Pertemuan itu kemudian dilanjutkan dengan perbincangan-perbincangan menarik antara keduanya, yang akhirnya membuahkan buku Dialog Sunnah-Syi'ah yang sangat terkenal itu. Walaupun kehidupannya sarat akan kesulitan-kesulitan, tapi ia tetap bergiat dalam bidang ilmu pengetahuan. Ada berpuluh-puluh karyanya, yang tema-tema bahasannya kebanyakan mengutamakan persatuan ataupun pendekatan antara kelompok-kelompok yang saling berbeda paham, di antaranya: Al-Kalimah Al-Gharra' fi Tafdhil Al-Zahra', Al-Nash wa Al-Ijtihad, Abu Hurairah, dan Masail Fiqhiyyah. la meninggal dunia pada tanggal 30 Desember 1957, dalam usia delapan puluh tujuh tahun, di Amila, Libanon. la dimakamkan di pemakaman keluarga di Najaf, Irak.
Pengantar Penerbit
Buku karya A. Syarafuddin Al-Musawi yang berada di hadapan Anda ini merupakan buku kedua dalam edisi Indonesia yang kami terbitkan, setelah buku pertamanya, Dialog Sunnah-Syi'ah, terbit pada tahun 1983. Dalam edisi aslinya yang berbahasa Arab, buku ini telah mengalami cetak ulang lebih dari enam kali dan terdapat penambahan-penambahan di sana-sini yang dilakukan oleh pengarangnya.
Untuk lebih memberikan kenyamanan Anda dalam membaca buku ini, kami, Penerbit Mizan, melakukan beberapa pengubahan sistematika isi buku tanpa mengubah kandungan pokoknya. Yang kami ubah hanyalah Pasal VIII — dalam terbitan ini kami menggunakan istilah Bab — dengan memecahnya menjadi tiga bagian. Kemudian, sub-sub bab dari masing-masing Bab VIII tersebut kami kelompokkan sesuai dengan kemiripan soal-soal yang dibahas. Sehingga, buku aslinya yang semula terdiri atas dua belas pasal, sekarang ini menjadi empat belas pasal atau bab.
Selain perubahan di atas, dalam Bab IX buku ini, kami memuatkan satu lampiran yang berisi pendapat Sayyid Sabiq — salah seorang tokoh fiqih ahlus-sunnah — tentang nikah mut'ah, yang kami ambil dari buku-karyanya, Fiqh As-Sunnah. Pemuatan ini, kami maksudkan sebagai bahan studi perbandingan.
Harapan kami, semoga dengan adanya perubahan ataupun penam-bahan di atas, buku ini akan dapat lebih banyak menyumbangkan manfaatnya bagi para pembaca.
Selamat membaca.
Mukadimah
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Salawat dan salam atas pribadi paling utama di antara semua makhluk-Nya, Muhammad serta keluarganya yang diberkati.
Tak seorang pun meragukan bahwa persaudaraan dan kerukunan di antara sesama umat, merupakan faktor utama dalam penciptaan keserasian dalam pembangunan, pendorong ke arah peningkatan kualitas, pembangkit gairah menuju kemajuan, pembawa kebahagiaan sempuma serta pembebas dari kehinaan akibat aneka penjajahan asing.
Tanpa adanya kesatuan pandangan, pendekatan dalam pikiran dan perasaan dan tanpa kekuatan tekad bersama untuk bangkit membela kepentingan umat serta menegakkan kalimat Allah, mustahil bumi kita ini akan bergetar dalam kegcmbiraan, langit akan menurunkan hujan kemakmvuran, memancarkan mata air rahmat dan kebahagiaan yang mengalir memenuhi lembah-lembah cinta dan kasih sayang serta ladang-ladang kedamaian dan ketenteraman.
Hanya dengan itu jiwa kemanusiaan akan bangkit kembali dari kematiannya, fitrah keagamaan akan muncul kembali dari persembunyiannya. Keadilan akan memancarkan cahayanya. Kebijakan dan kearifan mengibarkan panji-panjinya, menaungi pemimpin negeri yang memperhatikan urusan rakyat bagaikan seorang ayah dengan penuh kasih sayang memenuhi kebutuhan putranya. Di saat itulah rakyat akan terdorong untuk membantu dan mendukungnya. Agar ia menyuburkan kembali tanah-tanah yang gersang, memakmurkan kembali sawah ladang yang ditinggal merana, menghijaukan kembali pohon-pohon yang menderita kekeringan, memperbaiki prasarana dan sarana yang rusak, merapatkan kembali yang retak, menunjuki jalan bagi yang tersesat, memerangi yang melahggar batas, menolong yang lemah dan mengajari yang bodoh.
Adapun jika umat bercerai-berai dalam permusuhan, berpecah-belah dalam berbagai kelompok dan golongan, saling membenci dan mendengki, memfitnah dan mencaci, tenggelam dalam keterlenaan dan kesia-siaan, lalai akan tuntutan kemajuan zaman, maka ia akan menjadi umat yang hina-dina dan terkebelakang, terombang-ambing oleh badai dan gelombang kehancuran, mangsa tak berdaya di hadapan penjajah yang kejam, sasaran para penindas yang tak berperikemanusiaan. Dan jadilah ia umat yang mati, yang tidak lagi merasakan kehinaan yang menimpanya atau kemalangan yang mengurungnya. Tak ada suaranya yang didengar atau keluhannya yang diperhatikan.
Keadaan itulah yang mendorong kami mengingatkan dan memperingatkan, agar kita (kaum Muslim) segera meninggalkan perpecahan dan permusuhan, lalu menyatukan gerak dan tindak, mendekatkan antara sesama saudara, seraya mendengarkan dengan saksama seruan Allah Ta'ala:
“. . . dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah ddtdng keterangan-keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat”. (Ali 'lmran 105)
“. . . dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai...” (Ali 'lmran 103)
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya lalu mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikit pun tanggung-jawabmu (wahai Muhammad) terhadap mereka. Urusan mereka hanyalah terpulang kepada Allah. Kemudian Allah akan memberitahu mereka akibat dari yang telah mereka perbuat”. (Al-An'am 159)
Bukankah kita kini berada di suatu masa yang dikuasai oleh ilmu dan dikendalikan oleh kecerdasan dan kepandaian? Mata air kearifan memancar dalam diri para pemikir yang piawai. Matahari kebajikan memantulkan cahayanya di wajah-wajah mereka. Tidakkah mereka merasa terpanggil untuk menggerakkan pena-pena mereka dan mencurahkan isi hati dan pikiran mereka, untuk memulai perjuangan melawan kefanatikan golongan, mematahkan kekuatannya, menghapus bekas-bekasnya? Dan agar menggantikan hal itu dengan mendesakkan tugas-tugas kemanusiaan serta peningkatan sarana-sarana kemajuan. Juga agar mereka tak henti-hentinya menyerukan persatuan dan toleransi di antara para penganut aliran Sunnah dan Syi'ah. Dengan penjelasan-penjelasan yang berkesan sepanjang masa serta ucapan-ucapan penyesalan yang mampu melumatkan batu cadas yang paling keras sekali pun.
Kapankah mereka akan melepaskan kendali-kendali pena mereka, untuk menulis serangan-serangan tak kenal lelah terhadap keberingasan yang ditonjolkan oleh sebagian manusia, lalu menyerukan kesatuan hati dan persatuan umat, mengajak mereka menggunakan segala perangkat canggih menuju kebangkitan dan kemajuan, dan mengingatkan mereka akan bahaya-bahaya yang mengancam apabila mereka membiarkan pelbagai penyebab perpecahan dan pertengkaran terus merajalela di tengah-tengah mereka. Padahal Allah SWT telah berfirman:
“Taatlah kamu sekalivm kepada Allah dan Rasul-Nya dan jangan berbantah-bantahan yang (hanya akan) menyebabkan kamu menderita kekalahan serta hilangnya kekuatanmu . . .” (Al-Anfal 46)
Demikianlah, seraya menulis mukadimah ini, aku memohon pertolongan Allah SWT agar diberi kekuatan untuk dapat menyusun buku ini, yang kuberi judul Al-Fushul Al-Muhimmah fi Ta'lif Al-Ummah.* Aku tiada bermaksud kecuali mendatangkan perbaikan sepanjang aku masih berkesanggupan. Dan sungguh tiada taufik melainkan dengan pertolongan Allah. Hanya kepada-Nya aku bertaivakal dan hanya kepada-Nya aku kembali. (Hud : 88) ?
* Arti harfiahnya, Pasal-Pasal yang Muhim dalam Rangka Mendekatkan Hati Umat. Selanjutnya, terjemahan bahasa Indonesianya kami beri judul Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syi'ah — penerj.
Persatuan dan Persaudaraan Di Antara Kaum Muslim
Cukup banyak imbauan dalam Al-Quran dan As-Sunnah untuk menjalin hubungan persahabatan dan persaudaraan di antara kaum Muslim. Antara lain, firman-firman Allah SWT dalam kitab suci-Nya:
Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu bersaudara. (Al-Hujurat: 10)
Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah menjadi wali (penolong) bagi sebagian yang lain'. (At-Taubah: 71)
Muhammad Rasulullah, dan orang-orang yang bersamanya, mereka bersikap tegas terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih-sayang di antara sesama mereka. (Al-Fath:. 29)
Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang berpecah-belah dan berselisih sesudah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang jelas. Mereka itulah orang-orang yang mendapatkan siksa yang berat. (Ali lmran: 105)
Dan berpegang-teguhlah pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai. (Ali Imran: 103)
Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu (wahai Muhammad) terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terpulang kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahu mereka apa yang telah mereka perbuat. (Al-An'am: 159)
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. (Al-Hujurat: 13)
Dan masih banyak lagi ayat-ayat Al-Quran seperti itu.
Rasulullah SAWW bersabda:
Kamu tidak akan masuk surga sebelum kamu benar-benar beriman. Dan kamu tidak benar-benar beriman, sebelum kamu saling berkasih-sayang. Sukakah kamu saya tunjuki sesuatu jika kamu mengamalkannya, niscaya akan timbul kasih-sayang di antara sesamamu? Sebarkanlah salam di antara kamu!
Agama itu adalah ketulusan. Kami bertanya: Terhadap siapa? Jawab Nabi SAWW, Terhadap Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, dan pemimpin-pemimpin kaum Muslim serta rakyat Muslim pada umumnya. Demi Allah yang jiwaku berada ditangan-Nya; tidaklah seorang benar-benar beriman, sampai ia menyukai bagi saudaranya yang Muslim, segala yang ia sukai bagi dirinya sendiri.
Janji keselamatan bagi kaum Muslim :berlaku atas mereka semua, Dan mereka semua seia-sekata delam menghadapi orang-orang selain mereka. Barang siapa melanggar janji keamanan seorang Muslim, maka kutukan Allah, Malaikat dan manusia sekalian tertuju kepadanya dan tidak diterima darinya tebusan atau pengganti apa pun, pada Hari Kiamat kelak.
Hindarkan dirimu dari prasangka busuk, sesungguhnya yang demikian itu adalah sebohong-bohong omongan. Jangan mencari-cari aib orang lain, jangan memata-matai, jangan bersaingan menawar barang dengan maksud merugikan orang lain, jangan saling menghasut, jangan saling bermusuhan dan jangan saling membenci. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Dan tidaklah halal bagi seorang Muslim mendiami (menolak menyapa) saudaranya, sesama Muslim, lebih dari tiga hari.
Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya. Tidak boleh ia menganiayanya, dan tidak pula membiarkannya dianiaya. Barangsiapa mengurusi hajat saudaranya, sesama Muslim, niscaya Allah akan memenuhi hajatnya sendiri. Dan barangsiapa membebaskan beban penderitaan seorang Muslim, maka Allah akan membebaskan penderitaannya di Hari Kiamat kelak. Dan barangsiapa menutupi aib seorang Mukmin, maka Allah akan menutupi aibnya di Hari Kiamat.
Al-Imam Ja'far Ash-Shadiq berkata: "Seorang Muslim adalah saudara bagi sesama Muslim. Dia adalah matanya, cerminnya dan penunjuk jalannya. Dia tidak akan mengkhianati, memperdayakan, menganiaya, membohongi, dan mengumpatnya." Beliau (a.s.) berkata pula kepada sekelompok orang dari para pengikut dan peticintanya: "Bertakwalah kalian kepada Allah. Dan jadilah kamu sekalian saudara-saudara yang senantiasa berbuat baik kepada sesamanya, saling mencintai karena Allah, saling menghubungi, saling merendahkan diri, saling mengasihani, saling mengunjungi dan saling bertemu, serta hidup-kan (siarkan) ajaran kami (Ahlul-Bayt)."
Dan telah diriwayatkan dari Rasulullah SAWW: Sesungguhnya yang terdekat — di antara kamu — tempat duduknya dari sisiku ialah orang-orang yang terbaik budi pekertinya, yang senantiasa merendah, saling menyayangi dan disayangi.
Sabda beliau pula:
Seorang Mukmin ttu senantiasa menyayang dan disayang. Maka tidak ada kebaikan dalam diri siapa saja yang tidak menyayang dan disayang.
Dalam hadis lain, beliau bersabda:
Sesungguhnya orang-orang yang paling dicintai oleh Allah — di antara hamu — ialah mereka yang saling sayang-menyayangi. Dan yang paling dibenci oleh Allah adalah mereka yang gemar menyebarkan fitnah dan memecah-belah di antara sesama saudara.
Sabdanya lagi:
Orang-orang yang saling mencmtai karena Allah, akan berkedudukan di bagian teratas bangunan yang terbuat dari batu permata merah delima. Di puncak bangunan itu terdapat tujuh puluh ribu kamar; dari sana mereka memandang ke arah surga di bawah. Wajah-wajah mereka bersinar-sinar bagaikan cahaya mentari. Mereka mengenakan pakaian yang terbuat dari kain sutera berwarna hijau, di atas dahi-dahi mereka tertulis: 'lnilah orang-orang yangsaling mencintai karena Allah.'
Sabda beliau pula:
Di Hari Kiamat kelak, akan disediakan kursi-kursi di sekitar 'Arsy untuk sekelompok manusia. Wajah-wajah mereka laksana sinar bulan purnama di malam hari. Manusia dalam suasana ketakutan, namun mereka tenang-tenang saja. Mereka itu adalah wali-wali Allah yang tiada ketakutan atas diri mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Para sahabat bertanya: Siapakah gerangan mereka itu, ya Rasulullah? Jawab Nabi SAWW: Mereka itu adalah orang-prang yang saling mencintai karena Allah.
Sabda beliau pula:
Sungguh telah berfirman Allah SWT: "Pastilah kasih-sayang-Ku tercurah atas diri mereka yang saling rnengunjungi karena Aku. Pastilah kasih-sayang-Ku tercurah atas diri mereka yang saling memberi karena Aku. Dan pastilah kasih-sayang-Ku tercurah atas diri mereka yang saling menolong karena Aku."
Dan telah bersabda Rasulullah SAWW:
Pada Hari Kiamat kelak, Allah SWTakan berfirman: "Di manakah orang-orang yang saling mengasihi demi keagungan-Ku? Kini akan Kunaungi mereka di bawah naungan-Ku!"
Dari sebuah hadis panjang yang diriwayatkan oleh Al-lmam Muhammad Al-Baqir, dari para leluhurnya, para khalifah yang bijak; dari Nabi SAWW, datuk mereka; Penghulu para utusan Allah (salam sejahtera atas mereka semuanya), katanya: Apabila datang Hari Kiamat, ada suara memanggil: "Di manakah tetangga-tetangga Allah?" Maka berdirilah sekelompok manusia yang segera disambut oleh para Malaikat seraya bertanya kepada mereka: "Amalan-amalan apakah yang telah kalian kerjakan sehingga kalian bisa memperoleh kedudukan sebagai 'tetangga-tetangga Allah di tempat kediaman-Nya'?" Jawab mereka: "Kami dahulu di dunia, saling mencintai karena Allah, saling memberi karena Allah dan saling mengunjungi karena Allah SWT." Lalu berkata Rasulullah SAWW: Maka terdengarlah suara menyeru: "Hamba-hamba-Ku itu telah berkata sebenarnya. Biarkanlah mereka langsung pergi menuju tempat di sisi Allah, tanpa melalui hisab."
Berkata 'Abdul-Mukmin Al-Anshary: Aku pernah mengunjungi Al-Imam Musa Al-Kazhim yang pada saat itu sedang duduk bersama Muhammad bin 'Abdillah Al-Ja'fari. Ketika melihat aku tersenyum kepada Al-Ja'fari, beliau (Musa Al-Kazhim) bertanya kepadaku: "Kau mencintainya?" Aku menjawab: "Ya, sungguh aku mencintainya semata-mata karena kalian (Ahlul-Bayt)" Kata beliau selanjutnya: "Memang benar. Ia adalah saudaramu. Seorang Mukmin adalah bagaikan saudara kandung bagi Mukmin lainnya. Terkutuklah orang yang melontarkan tuduhan kepada saudaranya. Terkutuklah orang yang menipu saudaranya. Terkutukfah orang yang tidak bertindak jujur terhadap saudaranya. Terkutuklah orang yang tidak mementingkan saudaranya. Dan terkutuklah orang yang mengumpat saudaranya."
Dalam memuji jalinan persaudaraan antara sesama Muslim, Rasulullah pernah bersabda:
Barangsiapa yang dikehendaki Allah kebaikan baginya, maka akan dikaruniai-Nya seorang sahabat karib yang saleh; jika ia terlupa niscaya akan diingatkan olehnya dan jika ia teringat kepedanya niscaya ia membantunya. Dan perumparmaan dua saudara yang sedang bertemu adalah bagaikan dua belah tangan yang satu sama lain saling mencuci. Dan tidaklah berjumpa dua orang Mukmin kecuali Allah SWT memberikan salah seorang dari mereka kebaikan dari temannya.
Berkata Amirul-Mukminin, 'Ali bin Abi Thalib a.s.: Jagalah hubungan baik dengan saudara-saudaramu. Sungguh mereka itu sangat diperlukan, di dunia dan akhirat. Tidakkah kamu dengar ucapan penghuni neraka (seperti tersebut dalam firman Allah): "Maka kami tidak mempunyai penolong, dan tidak pula, mempunyai teman sejati."
Berkata Jarir bin Abdillah r.a.: Aku berbay'at kepada Rasulullah SAWW untuk tetap menunaikan shalat, mengeluarkan zakat, dan berlaku jujur terhadap semua Muslim.
Demikianlah! Sungguh amat banyak hadis sahih tentang hal persatuan dan persaudaraan antara sesama Muslim. Jika saja Anda mau menelaah hadis-hadis ini yang dirawikan melalui kedua kelompok (Sunnah dan Syi'ah), niscaya terbitlah kebenaran bagaikan fajar menyingsing di hadapan Anda. Dan kiranya hal ini cukup bagi siapa saja yang beroleh hidayah Allah SWT.?
Penjelasan Tentang Makna Islam dan Iman
Telah diketahui dengan pasti bahwa hanya dengan Islam dan Iman, seorang hamba dapat meraih puncak keridhaan Allah SWT. Semua perbuatannya bergantung pada nilai-nilai keduanya. Betapa pun jelasnya hal ini, namun saya tetap merasa perlu menekankan hal tersebut dalam buku saya ini, semata-mata demi menyadarkan sebagian orang yang fanatik, yang senantiasa ingin membangkitkan kembali semangat kesukuan dan kepartaian jahiliah.
Padahal, saudara-saudara kita, Ahlus-Sunnah, telah sepakat bahwa hakikat Islam dan Iman ialah pengucapan dua kalimat syahadat, pembenaran adanya Hari Kebangkitan, lima shalat sehari semalam menghadap kiblat, pelaksanaan ibadah haji, puasa di bulan Ramadhan, serta pengeluaran zakat serta seperlima (khumus) dari harta perolehan (ghanimah) yang diwajibkan.[1] Hal ini tercantum dengan jelas sekali dalam keenam kitab kumpulan hadis (ash-shihah as-sittah) maupun kitab-kitab hadis lainnya.
Dalam Shahih Al-Bukhari dengan sanadnya, dicantumkan sabda Ratulullah SAWW:
Barangsiapa bersaksi bahwa "tiada Tuhan selain Allah", menghadap kiblat kita, mengerjakan shalat kita, dan memakan hasil sembelihan kita, maka ia adalah seorang Muslim. Baginya berlaku hak dan kewajiban yang sama sebagai Muslim lainnya.
Al-Bukhari juga merawikan dari Anas r.a., bahwa Rasulullah SAWW pernah bersabda:
Barangsiapa menunaikan shalat kita, menghadap kiblat kita, serta makan hewan sembelihan kita, maka ia adalah seorang Muslim. Baginya dzimmah (jaminan keamanan) Allah dan Rasul-Nya. Maka janganlah kamu mengkhianati janji Allah dalam dzimmah-Nya.[2]
Masih dalam Shahih Bukhari, dengan sanad dari Thalhah bin Ubaidillah:[3] Pernah datang seorang laki-laki dari Nejed kepada Rasulullah SAWW. Orang itu kepalanya penuh debu. Kami mendengar suaranya yang keras namun tak mengerti apa yang ia bicarakan, sampai ia mendekat kepada Rasulullah SAWW. Maka terdengarlah ia bertanya tentang beberapa kewajiban dalam Islam. Jawab Rasulullah SAWW: "Shalat lima kali dalam sehari semalam!" Orang itu bertanya lagi: "Adakah shalat yang wajib atas diriku selain yang lima itu?" Jawab Nabi: "Tidak, kecuali jika kamu mau berbuat yang sunnah." Dan Rasulullah SAWW melanjutkan: "Juga wajib puasa di bulan Ramadhan." Orang itu bertanya lagi: "Ada jugakah puasa yang wajib bagiku selain dari itu." Jawab Nabi: "Tidak, kecuali kalau engkau mau berbuat yang sunnah." Rasulullah SAWW lalu menyebutkan tentang kewajiban zakat, dan laki-laki itu bertanya lagi: "Adakah pengeluaran harta yang wajib bagiku selain dari zakat itu." Jawab Rasulullah: "Tidak, kecuali kalau engkau suka berbuat yang sunnah." Kemudian laki-laki itu pergi seraya berkata: "Demi Allah, tidak akan kutambah dari semua ini dan tidak pula akan kukurangi. Mendengar itu, Rasulullah SAWW bersabda: "Beruntunglah ia jika ia jujur dalam ucapannya itu."
Juga dalam Shahih Bukhari disebutkan sebuah hadis dengan sanad sampai kepada Nafi' bahwa seorang laki-laki datang kepada Ibnu Umar seraya bertanya: "Hai Abu Abdur-Rahman, gerangan apakah yang mendorongmu untuk — setiap tahunnya — menunaikan ibadah haji atau umrah, sedangkan Anda meninggalkan jihad fi sabilillah? Padahal Anda tahu betapa kuatnya Allah menekankan tentang keutamaannya!" Jawab Ibnu Umar: "Hai anak saudaraku, agama Islam itu ditegakkan atas lima perkara: Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, shalat lima kali sehari semalam, puasa di bulan Ramadhan, membayar zakat, dan menunaikan ibadah haji."
Dalam Shahih Bukhari pula diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a.: Pada suatu hari Rasulullah SAWW sedang duduk bersama-sama dengan orang banyak, ketika datang kepadanya seorang laki-Iaki, lalu bertanya: "Apakah Iman itu?" Jawab beliau: "Iman ialah percaya kepada Allah, malaikat-Nya, dan Hari Kebangkitan." Tanya laki-Iaki itu selanjutnya: "Apakah Islam itu?" Jawab Nabi SAWW: "Islam adalah menyembah Allah dantidak mempersekutukan-Nya, mengerjakan shalat, mengeluarkan zakat, dan berpuasa di bulan Ramadhan ..." Sesudah itu laki-laki (si penanya) tersebut pergi. Namun, Rasulullah segera berkata: "Panggil laki-laki itu kembali!" Tetapi mereka tak melihat seorang pun. Lalu Nabi SAWW bersabda: "Itulah malaikat Jibril, datang untuk mengajari manusia tentang agama mereka."
Hadis di atas juga diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahih-nya dengan sanad yang berbeda, sebagian dari Umar bin Khaththab, sebagian dari putranya (Abdullah bin Umar), dan sebagian lagi dari Abu Hurairah, dengan sedikit tambahan dan kekurangan.
Al-Bukhari juga telah meriwayatkan di beberapa tempat dalam kitab Shahih-nya dengan sanad sampai kepada Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah SAWW pernah berkata kepada delegasi Abdul Qais (yakni tatkala beliau SAWW menyuruh mereka agar beriman kepada Allah yang Mahaesa saja): "Tahukah kamu apa arti Iman kepada Allah yang Mahaesa?" Mereka menjawab: "Allah dan Rasul-Nya lebih tahu." Sabda Rasulullah SAWW: "Itulah kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah pesuruh Allah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan memberikan seperlima (khumus) dari harta perolehan (maghnam)."[4]
Hadis-hadis yang mengandung makna seperti ini tak dapat dihitung karena banyaknya. Siapa saja yang ingin mengetahuinya, silakan mengkaji dan mendalaminya dalam kitab-kitab shahih yang enam dan kitab-kitab lainnya, terutama sekali dalam pasal keimanan dalam Shahih Muslim. Di dalam kitab tersebut, terdapat banyak bab yang memberikan kepastian bahwa definisi "Islam" dan "Iman" seperti yang dipahami oleh Ahlus-Sunnah tidak lain adalah seperti yang telah diutarakan di atas; sedangkan yang akan diuralkan dalam dua pasal mendatang akan lebih memperjelas lagi. Oleh karena itu, renungkanlah baik-baik.?
[1] Mungkin sebagian kaum Muslim ada yang membedakan antara "Islam" dan "Iman", berdasarkan apa yang dapat dipahami dari ayat 14 Surah Al-Hujurat di bawah ini:
Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman." Katakanlah (kepada mereka): "Kamu belum beriman, namun katakanlah 'kami telah Islam'."
Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa sesungguhnya yang dimaksud dengan "Islam" itu hanya merapakan pernyataan masuk agama (Islam) dan berserah diri kepada Nabi Muhammad SAWW Adapun "Iman" adalah keyakinan yang teguh di dalam hati sanubari kaum beriman seraya mengikrarkannya dengan lisan. Dengan demikian, "Iman" lebih khusus daripada "Islam". Adapun kami (kaum Syi'ah) menambah satu hal lagi, yakni wilayah (pengakuan kedua belas Imam sebagai peraimpin-pemimpin umat).
[2] Sudah tentu hadis ini dan sebelumnya terikat dengan penyaratan puasa, zakat dan haji.
[3] Hadis ini juga terdapat dalam Shahih Muslim dengan sanad yang sama.
[4] Muslim juga telah meriwayatkan hadis ini dalam beberapa tempat dari kitab Shahih-nya. Jelaslah, hal ini merupakan dalil bahwa kewajiban mengeluarkan seperlima (khumus) dari hasil perolehan merupakan salah satu rukun Islam seperti halnya shalat dan zakat. Dengan demikian, hadis tenebut merupakan pengikat atau penjelas bagi hadis-hadis seperti ini yang tidak mencantumkan perihal kewajiban mengeluaikan khumus. Memang hal ini tidak mengherankan, karena Al-Quran dan As-Sunnah berkaitan satu sama lain.