Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syi'ah

Jaminan Keselamatan Bagi Pengucap La Ilaha Illallah
Di bawah ini kami akan menukilkan beberapa hadis yang disahihkan oleh kalangan Ahlus-Sunnah wal Jama'ah yang menegaskan bahwa barangsiapa mengucapkan "Lailaha illa Allah, Muhammad Rasul Allah”, maka terjaminlah keselamatan jiwa, harta, serta kehormatan dirinya (di antara masyarakat Muslim).

Kami hendak menukilkan di sini demi menyadarkan sebagian orang yang lalai dan memberikan pengertian kepada mereka yang tidak mengerti. Juga agar diketahui bahwa keadaan kaum Muslim tidaklah seperti yang diwakili dan digambarkan oleh kautn pendengki dan pendendam yang hendak membangkitkan kerhbali 'ashabiyah jahiliyah. Mereka itulah yang telah mencerai-beraikan persatuan, dan kesatuan umat dan menyalakan api pertikaian dan fitnah di antara sesama mereka, sehingga mereka terpecah-belah dan bergolong-golongan, saling mengkafirkan dan saling berlepas tangan, tanpa sebab yang masuk akal. Semua itu semata:mata karena bujuk rayu setan, atau embusan tipu daya manusia-mahusia iblis yang ternyata lebih jahat dan lebih keji terhadap Islam daripada keturunan si wanita "pemakan hati."* Padahal masa sekarang adalah era ilmu, era keadilan dan kebenaran, era pencerahan yang seharusnya membuat orang meneliti hakikat segala sesuatu dengan pikiran kritis dan terbuka, meninggalkari kepicikan dan kefanatikan buta, lalu kembali berpegang teguh kepada Kitab Allah yang suci serta Sunnah Nabi-Nya yang mulia.

Nah, di bawah ini, beberapa hadis Nabi SAWW yang kami maksud:

Al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya meriwayatkan sebuah hadis dari Ibn Abbas r.a., bahwa Rasulullah SAWW pernah berpesan kepada Mu'adz bin Jabal ketika mengutusnya sebagai gubernur ke negeri Yaman:

Engkau akan mendatangi suatu kelompok dari Ahlul-Kitab, maka ajaklah mereka bersyahadat bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah rasul Allah. Jika mereka bersedia mengikutimu dalam hal itu, beritahukan kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka lima shalat dalam sehari semalam. Apabila mereka menerimanya, maka sampaikan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka mengeluarkan zakat yang diambil dari orang-orang kaya mereka, untuk diberikan kepada kaum fakir-miskin di kalangan mereka. Jika mereka bersedia mematuhimu, berhati-hatilah, janganlah engkau menyengaja mengambil dari milik mereka yang paling berharga.[1]

Perhatikanlah, betapa Nabi SAWW menetapkan keislaman mereka semata-mata dengan kepatuhan mereka kepada Mu'adz (utusan beliau) dalam hal-hal tersebut. Sedemikian sehingga dengan itu terjaminlah keselamatah harta-harta mereka, dan lebih-lebih lagi kehormatan diri serta nyawa mereka, seperti halnya anggota-anggota masyarakat Muslim lainnya.

Dalam Shahih Muslim, juz II, bab "Fadha`il (Keutamaan-keutamaan) Ali a.s.", juga disebutkan bahwa Rasulullah pernah bersabda:[2]

Sungguh akan kuberikan panji ini kepada seorang lelaki yang benar-benar mencintai Allah dan Rasul-Nya (dalam riwayat lain, yang juga tercantum dalam kitab-kitab Shahih, beliau menambahkan: . . . dan yang dicintai Allah dan Rasul-Nya), yang ditangannya Allah akan menurunkan kemenangan bagi kaum Muslim.

Berkata Umar bin Khaththab r.a.: "Aku tidak pernah berambisi untuk memperoleh kepemimpinan kecuali hari itu. Aku pun sungguh-sungguh berupaya agar dipanggil untuk tugas itu!" Kemudian ia berkata: "Lalu Rasulullah SAWW memanggil Ali bin Abi Thalib dan menyerahkan panji itu kepadanya seraya berpesan: “Berangkatlah, dan jangan menoleh ke belakang!" Kata perawi hadis itu: Maka Ali segera berangkat, tetapi beberapa langkah kemudian, ia berhenti dan — tanpa menoleh ke belakang — ia berteriak: "Ya Rasulullah, atas dasar apa aku harus memerangi mereka?" Jawab Nabi SAWW: "Perangilah mereka sampai mereka bersaksi bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Jika mereka telah melakukannya, haramlah bagimu darah mereka."

Bukhari dan Muslim, dalatn kitab Shahih-nya. meriwayatkan dari Usamah bin Zaid, yang berkata: Kami diutus Rasulullah SAWW ke suatu tempat bernama Harqah. Kami langsung menyerbu mereka di waktu pagi, dan kami kalahkan mereka. Kemudian aku dan seorang dari kaum Anshar mengejar seorang laki-laki dari mereka. Ketika kami sampai kepadanya, ia berucap: La ilaha illa Allah. Mendengar itu, temanku, si orang Anshar, segera berhenti dan membiarkannya. Tetapi aku langsung menikamnya dengan tombakku sehingga ia mati. Ketika hal ini kemudian diketahui Nabi SAWW, beliau berkata kepadaku: Hai Usamah, apakah engkau membunuhnya setelah ia mengucapkan "La ilaha illa Allah"? Jawabku: Ya, karena ia sekadar berlindung saja. (Kata Usamah selanjutnya: Rasulullah SAWW tak henti-hentinya mengulangi pertanyaan itu, sehingga aku berharap alangkah baiknya seandainya aku belum menjadi Muslim sebelum peristiwa hari itu).

Tentunya Usamah tidak akan berangan-angan seperti itu, seandainya ia tidak merasa sangat khawatir bahwa semua amalan yang telah dikerjakan sebelum peristiwa ini (baik yang berupa keimanannya, persahabatannya dengan Rasulullah SAWW, shalatnya, puasanya, zakatnya, hajinya, dan lain-lain) semua itu tidak akan mampu menghapus dosa tindakan kecerobohan ini. Bahkan mungkin saja semua amal salehnya — yang bagaimanapun juga — telah terhapus dan menjadi sia-sia. Jelas bahwa ucapannya itu menunjukkan bahwa ia takut dosanya itu tak terampuni. Karenanya ia berangan-angan seandainya ia baru masuk Islam setelah peristiwa tersebut sehingga dapat tergolong dalam sabda Nabi SAWW:

Agama Islam itu menghapus semua dosa yang diperbuat sebelumnya (yakni sebelum memeluk Islam).

Cukuplah bagi Anda hal ini sebagai dalil kuat akan kehormatan kalimat "La ilaha illa Allah" dan para pengikutnya. Jika sedemikian itu keadaan orang yang mengikrarkan syahadat hanya sekadar menghindar dari pembunuhan, maka bagaimanakah pendapat Anda mengenai orang yang bahkan sejak berupa nuthfah telah terikat dengan kalimat itu; kemudiari menyusunya bersama air susu ibunya, sehingga tulang. belulang dan dagingnya tumbuh menguat dan terbentuk bersama kalimat itu?! Kalbunya penuh dengan cahayanya. Seluruh anggota tubuhnya dipengaruhi oleh kekuatannya.

Karena itu, hendaklah kaum keras kepala berhenti dari perbuatan mengkafirkan sesama Muslim. Hendaknya mereka takut akan kemurkaaan Allah serta kemarahan Nabi mereka (SAWW).

Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, dengan sanad sampai kepada Miqdad bin 'Amr, bahwasanya ia pemah bertanya: Wahai Rasulullah, bagaimanakah pendapat Anda seandainya aku berperang dengan orang-orang kafir. Lalu aku berkelahi dengan seorang dari mereka dan ia memukul salah satu tanganku dengan pedang sehingga terputus, kemudian ia menghindar dariku dan berlindung di balik pohon seraya berucap: "Aslamtu lillah." (Aku Islam kepada Allah). Bolehlah aku membunuhnya setelah ia mengucapkan kalimat itu, ya Rasulullah? Sabda Rasul SAWW: Jangan kau bunuh ia. Apabila engkau membunuhnya juga, maka ia berada dalam kedudukanmu sebelum engkau membunuhnya (yakni sebagai Muslim) sedangkan engkau berada dalam kedudukannya sebelum ia mengucapkan kalimat itu (yakni sebagai kafir).

Tidak ada susunan perkataan, dalam bahasa Arab atau lainnya, yang lebih jelas dalam menunjukkan penghargaan dan penghormatan Islam terhadap penganut-penganutnya, daripada hadis yang mulia ini. Ucapan yang bagaimanakah yang dapat menandinginya? Ditandaskan di dalamnya bahwa Miqdad, kendati tergolong dalam kelompok orang yang terdahulu memeluk Islam dan amat besar jasa-jasanya, tetapi sekiranya ia membunuh orang tadi, maka kedudukannya akan setara dengan kedudukan orang-orang kafir yang memerangi Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan orang yang terbunuh tersebut, akan memperoleh kedudukan yang sama dengan tokoh-tokoh besar kaum Muslim terdahulu, pahlawan-pahlawan perang Badr dan Uhud. Sungguh inilah puncak penghormatan bagi Ahlut-Tauhid sejauh yang dapat mereka bayangkan. Maka takutlah kepada Allah wahai orang-orang yang keterlaluan dalam ketegaran sikapnya!

Al-Bukhari meriwayatkan dalam bab "Pengutusan Ali dan Khalid bin Walid ke Negeri Yaman": Seorang laki-laki berdiri seraya berkata, "Ya Rasulullah, takutlah kepada Allah! (Bertindaklah secara adil!)." Jawab Nabi SAWW: "Celakalah engkau, bukankah aku orang yang paling berhak dari penduduk bumi ini untuk takut kepada Allah?!" Mendengar itu Khalid berkata: "Ya Rasulullah, izinkan daku memenggal lehernya?" Jawab Nabi Muhammad SAWW: "Tidak, barangkali ia mengerjakan shalat."[3]

Alangkah kuatnya hadis ini sebagai dalil untuk menghormati ibadah sembahyang dan orang-orang yang menunaikannya. Apabila adanya persangkaan bahwa seseorang mengerjakan shalat sudah cukup untuk melindunginya dari hukuman mati, padahal orang tersebut telah menyanggah dan menuduh Nabi SAWW secara terang-terangan, maka bagaimanakah kiranya kedudukan (seorang Muslim) yang senantiasa mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, menunaikan ibadah haji, menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram, mengikuti sepenuhnya sabda Rasulullah SAWW serta perilaku dan persetujuannya, mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan mencintai Rasulullah SAWW dan keluarganya secara tulus, mengharapkan rahmat Allah melalui syafaatnya, berpedoman pada Kitab Allah dan 'itrah Rasul-Nya, dan berpegang teguh pada kedua tali itu serta mendukung wali-Nya walaupun seandainya (wali Allah itu) adalah "pembunuh ayahnya" seraya memusuhi musuh-Nya walaupun seandainya musuh Allah itu termasuk kerabatnya sendiri.*

Dalam bab "Al-Bai'ah wal-Ittifaq 'ala Utsman", Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadis yang panjang. Disebutkan di dalamnya tentang peristiwa terbunuhnya Umar bin Khaththab r.a. Di antaranya, ketika Umar terluka, ia berkata kepada Ibn Abbas: "Selidikilah, siapa orang yang membunuhku?" Setelah pergi sebentar, Ibn Abbas datang kembali dari langsung berkata kepadanya: "Pembunuhmu adalah budak Mughirah." Umar bertanya: "Apakah dia si tukang pengrajin tangan?" "Ya," jawabnya. Kemudian Umar r.a. berkata: "Semoga Allah membunuhnya! Sebelum ini aku telah memperlakukannya dengan baik. Puji syukur bagi Allah yang tidak menjadikan kematianku melalui tangan orang yang mengaku beragama Islam. Memang, di masa lalu, engkau dan ayahmu pernah menginginkan bertambah banyaknya orang-orang 'ajam yang kafir itu di kota Madinah." Kata Ibn Abbas: "Jika Anda ingin, kami akan membunuh mereka semua." Jawab Umar: "Anda telah berkata bohong! Tak mungkin membunuh mereka setelah banyak dari mereka berbicara dengan bahasamu (yakni mengucapkan kalimat syahadat), shalat menghadap kiblatmu, dan menunaikan ibadah haji ..."

Yang mungkin dapat dipahami dari ucapannya "puji syukur bagi Allah yang tidak menjadikan kematianku melalui tangan orang yang mengaku beragama Islam" — sesuai dengan riwayat yang akan Anda simak dari Ibn Qutaibah dan Ibn 'Abdil Bar — ialah bahwa Umar khawatir bahwa pembunuhnya itu seorang Muslim sehingga mungkin memperoleh ampunan dari Allah disebabkan keislamannya. Tetapi, setelah mengetahui bahwa pembunuhnya itu bukan seorang pemeluk Islam, maka kini ia yakin bahwa Allah SWT pasti akan mengambil haknya dari si pembunuh itu (yakni menghukumnya).

Sungguh amat cukup keterangan ini sebagai petunjuk yang pasti tentang baiknya akhir kehidupan kaum Muslim secara keseluruhan.

Kemudian, bila Anda perhatikan bagaimana Umar menyanggah ucapan Ibn Abbas dengan menyebutnya "telah berkata bohong", padahal semua orang tahu betapa tingginya kedudukan Ibn Abbas, dapatlah Anda menyadari betapa terhormatnya para pengikrar kalimat syahadatain yang mengerjakan shalat dan menunaikan haji, dari mana pun mereka berasal.

Dalam kitab Al-Imamah wa As-Siyasah, Ibn Qutaibah[4] (wafat tahun 370 H) menyebutkan bahwa ketika Umar r.a. diberitahu bahwa pembunuhnya adalah sahaya Mughirah bin Syu'bah, secara spontan ia berkata: "Alhamdulillah, yang membunuhku bukanlah seorang yang akan berhujah melawan aku dengan 'La ilaha illa Allah' pada Hari Kiamat kelak."

Dalam bukunya Al-Isti'ab, Al-Hafizh Abu 'Amr Yusuf bin Abdil-Bar Al-Qurthubi, di bagian "Riwayat Hidup Umar", meriwayatkan bahwa Umar berkata kepada putranya, Abdullah: "Puji syukur bagi Allah yang tidak menjadikan pembunuhan atas diriku melalui tangan seorang yang akan berhujah melawan aku dengan 'La ilaha'illa Allah'."

Coba Anda perhatikan, jika seorang yang mengucapkan "La ilaha illa Allah" membunuh Umar bin Khaththab, Khalifah kedua, dapat berhujah melawannya dengan kalimat tersebut, maka jelaslah bahwa perkara orang-orang yang tergolong Ahlut-Tauhid amatlah mudah. Demikianlah, semoga orang-orang tertentu yang kegemarannya menimbulkan perpecahan dan permusuhan dl kalangan sesama Muslim, kini bersedia menghentikan kebiasaan jelek itu, Dan semoga tokoh-tokoh yang gandrung kepada persatuan dan perdamaian umat segera meningkatkan upaya-upaya mereka. Tidakkah kita menyadari betapa bangsa-bangsa Barat sedang giat-giatnya memasang perangkap-perangkapnya untuk kita, melemparkan bom-bom mereka ke arah kita, menaungi angkasa kita dengan pesawat-pesawat terbangnya serta memenuhi lautan sekitar kita dengan armada kapal mereka untuk mengepung kita dari segala penjuru?!

Maka apabila umat Islam tidak berpegang teguh pada tali persatuan dan kesatuan dan tidak berlindung diri kepada Allah dari akibat pertikaian ini, pastilah mereka akan menjadi orang-orang hina dina bagaikan budak-budak yang tak berdaya. Di mana saja dijumpai, mereka akan ditangkap dan dibunuh dengan sekeji-kejinya ...

Al-Bukhari meriwayatkan dari Anas r.a. bahwa Rasulullah SAWW pernah bersabda:

Aku diperintah agar memerangi manttsia sehingga mereka mengucapkan "La ilaha illa Allah". Apabila mereka telah mengucapkannya, menunaikan shalat seperti kita, menghadap arah kiblat kita, menyembelih dengan cara penyembelihan kita, maka haram bagi kita melanggar darah dan harta mereka.

Sesudah hadis-hadis sahih ini serta nash-nash yang gamblang ini, masih adakah peluang untuk suatu keributan yang dikobarkan oleh para pengacau, atau adakah tempat bergabung bagi para pembenci keluarga Nabi SAWW? Tentu tidak, demi Tuhannya Muhammad! Agama Islam tidak bertanggung jawab sedikit pun atas provokasi-provokasi yang disebarluaskan oleh para pembuat fitnah. Perbuatan mereka itu sungguh sangat bertentangan dengan semangat serta ajaran Agama. Padahal Al-Quran menyatakan: Barangsiapa tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah, mereka itu adalah orang-orang kafir.

Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, dengan sanad sampai Ibn Umar r.a., diriwayatkan: Ketika berada di Mina, Rasulullah SAWW bersabda, seraya menunjuk ke arah kota Makkah: 'Tahukah kalian, negeri apakah ini?" Jawab mereka: "Allah dan Rasul-Nya lebih tahu." Maka beliau SAWW benabda: "Sesungguhnya ini adalah negeri yang disucikan. Tahukah kalian hari apakah ini?" Jawab mereka: "Allah dan Rasul-Nya lebih tahu." Sabda Rasulullah SAWW: "Sesungguhnya ini adalah hari yang disucikan. Dan tahukah kalian, bulan apakah ini?" Mereka menjawab: "Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui." Sabda Nabi SAWW lagi: "Bulan yang disucikan." Dan beliau melanjutkan lagi: "Sesungguhnya Allah telah mengharamkan atasmu darahmu, harta kekayaanmu dan kehormatanmu, sebagaimana kesucian hari ini, pada bulan ini, di negeri ini."

Keenam kitab Shahih dan lainnya, penuh dengan hadis-hadis seperti ini yang telah dikenal lebih terang daripada matahari di siang hari.

Sungguh aku tidak tahu, alasan apakah yang masih dipegangi oleh mereka yang mengandalkan kitab-kitab Shahih tersebut seraya mencukupkan diri dengan menyimpulkan hukum-hukum agama berdasarkan yang tercantum di dalamnya saja, namun kemudian mereka justru mengingkari hukum-hukumnya dan mencampakkan ajaran-ajarannya.[5] •

* Wanita yang dimaksud ialah Hindun istri Abu Sufyan, dan ibu Muawiyah yang karena kedengkian dan permusuhannya yang sangat terhadap kaum Muslim, telah berusaha makan hati Hamzah, paman Nabi SAWW., seusai perang Uhud — penerj.

[1] Muslim dalam kitab Shahih-nya telah mencantumkan hadis ini juga dengan sanad yang sama pula.

[2] Juga hadis seperti itu terdapat dalam bab "Ghazwah Khaibar" (Prang Khaibar),
dalam kitab Shahih Bukhari, juz III. Juga disebutkan dalam bab "Manaqib (Keutamaan-
keutamaan) Ali a.s." dari kitab yang sama, juz II, dengan sedikit perubahan kata-kata.

[3] Ahmad bin Hambal meriwayatkannya juga dari hadis Abu Sa'id Al-Khudri dalam Musnad-nya, jilid III, hal. 4. Seperti yang dinukilkan pula oleh Al-‘Asqallani dalam kitab Al-Ishabah di bagian biografi Sarhuq si Munafik, yaitu ketika ia dihadapkan untuk dibunuh, Rasulullah SAWW bertanya: "Apakah ia mengerjakah shalat?" Jawab mereka: "Hanya bila dilihat orang." Sabda Rasulullah SAWW: "Sungguh aku dilarang membunuh orang yang raenegakkan shalat!" Demikian pula yang diriwayatkan oleh Adz-Dzahabi dalam biografi 'Amir bin Abdullah bin Yasaf dalam kitab Mizan-nya dengan sanad yang dha'if, dari Anas, yang berkata: "Pemah diceritakan kepada Nabi SAWW tentang seorang laki-laki yang disebut sebagai 'Pelindung kaum Munafik'. Ketika laporan-laporan makin banyak tentang orang tersebut, akhimya Rasulullah SAWW mengizinkan mereka untuk membunuhriya. Namun segera Rasulullah SAWW bertanya lagi: 'Apakah ia shalat?' Meieka menjawab: 'Ya, tapi shalatnya itu hanya pura-pura saja.' Tetapi Rasulullah SAWW berkata: 'Sungguh aku telah dilarang membunuh orang yang menegakkan shalat'."

Nah, jika demikian itu berkenaan dengan orang-orang munafik, yang hanya mengharapkan pujian-pujian (riya') dari shalatnya, maka bagaimanakah kiranya pendapat Anda tentang orang-orang yang senantiasa menunaikan salat dengan khusyuk serta ikhlas semata-mata karena Allah SWT?!

* Yang dimaksud dengan "pembunuh ayahnya" ialah ayah si Muslim tersebut di atas yang senantiasa shalat, puasa, dan seterusnya. Penulis buku ini menuryuk kepada sabda Nabi SAWW berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib r.a.: Ya Allah, perwalikanlah siapa yang memperwalikannya (yakni Ali) dan musuhilah siapa yang memusuhinya — penerj.

[4] Al-Imamah wa As-Siyasah, hal. 26.

[5] Salah seorang dari mereka ialah Syaikh Nuh Al-Hanafi yang - kendati adanya hadis-hadis di atas dan yang serupa dengannya — namun ia tetap memfatwakan tentang kafirnya kaum Syi'ah, lalu mewajibkan memerangi mereka, menghalalkan pembunuhan terhadap mereka serta menawan anak-anak .dan wanjta-wanita mereka untuk dijadikan budak! Fatwanya berlaku baik mereka (kaum Syi'ah) telah bertobat atau belum!

Silakan Anda membaca fatwanya itu dalam buku yang terkenal, berjudul Al-Fatawa Al-Hamidiyah, bab "Hukuman atas Orang Murtad." Kami akan menukilkan secara lengkap sesuai dengan susunan kalimatnya, di Bab XI dari buku ini. Di sana kami akan menyanggahnya dengan dalil-dalil yang pasti icrta bukti-bukti yang terang benderang. Memang, kesepuluh Bab yang sebelumnya, pada hakikatnya merupakan pendahuhian bagi penyanggahan terhadap fatwa yang amat keji itu. Kami justru menyusun buku ini demi tujuan tersebut. Hal ini mengingat bahwa sampai hari ini belum juga ada orang yang telah menunaikan kewajiban tersebut. Segala puji bagi Allah atai taufik dan hidayah-Nya.


Keterangan Para Imam Ahlul-Bayt tentang Sahnya Keislaman Ahlussunnah
Dalam bab ini, akan dinukilkan sekelumit nash-nash Imam kami (kaum Syi'ah) tentang sahnya keislaman Ahlus-Sunnah, dan bahwa kedudukan mereka sama seperti kaum Syi'ah, dalam segala konsekuensi yang timbul akibat keislamannya itu.

Memang, pandangan mazhab kami mengenai hal ini sungguh amat jelas. Tak seorang pun dari kami yang berpandangan adil dan moderat, meragukannya. Karena itu, kami tak merasa perlu menukilkan nash-nash itu semuanya dalam bab ini. Menurut hemat kami, tidaklah bijaksana menjelaskan sesuatu yang sudah amat jelas. Kami cukupkan sekadarnya saja, sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai oleh judul di atas.

Al-Imam Abu Abdillah, Ja'far Ash-Shadiq a.s., berkata, sebagaimana dirawikan oleh Sufyan bin As-Samath: "Agama Islam itu ialah seperti yang tampak pada diri manusia (yakni kaum Muslim secara umum), yaitu mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah pesuruh Allah, mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat, melaksanakan ibadah haji dan berpuasa di bulan Ramadhan."

Berkata pula beliau sebagaimana dirawikan oleh Sama'ah: "Agama Islam itu adalah kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan pembenaran kepada Rasulullah SAWW. Atas dasar itulah nyawa manusia dijamin keselamatannya. Dan atas dasar itulah berlangsung pernikahan dan pewarisan dan atas dasar itu pula terbina kesatuan jamaah (kaum Muslim)."

Al-Imam Abu Ja'far, Muhammad Al-Baqir a.s., berkata, seperti tercantum dalam Shahih Hamran bin A'yan: "Agama Islam dinilai dari segala yang tampak dari perbuatan dan ucapan. Yakni yang dianut oleh kelompok-kelompok kaum Muslim dari semua firqah (aliran). Atas dasar itu terjamin nyawa mereka, dan atas dasar itu berlangsung pengalihan harta warisan. Dengan itu pula dilangsungkan hubungan pernikahan. Demikian pula pelaksanaan shalat, zakat, puasa, dan haji. Dengan semua itu mereka keluar dari kekufuran dan dimasukkan ke dalam keimanan."

Masih banyak lagi riwayat dari para imam itu yang mengandung makna-makna seperti tersebut di atas, yang tak mungkin dinukilkan semuanya. Namun kiranya cukup sekian untuk memenuhi tujuan kami dalam bab ini.?

Jaminan Masuk Surga bagi Setiap Muslim
Di bawah ini kami sebutkan beberapa hadis yang disahihkan oleh kalangan Ahlus-Sunnah dan yang menegaskan keselamatan bagi kaum Muslim, secara umum. Hadis-hadis ini memberi jaminan surga bagi mereka semua, baik yang berasal dari kalangan Syi'ah maupun Sunnah.

Adapun tujuannya ialah mengimbau kaum Muslim agar mau bersatu serta mengingatkan mereka tentang akibat buruk pertengkaran di antara mereka. Dan bahwa permusuhan antara mereka benar-benar merupakan tindakan kejahilan dan perbuatan sia-sia, bahkan "menimbulkan kerusakan di bumi serta penghancuran sawah ladang dan keturunan".

Tidak syak lagi, selama Agama Islam telah menandaskan bahwa kedua kelompok itu telah memenuhi persyaratan keimanan dan bahwa kedua-duanya akan memperoleh tempat tertinggi di surga-surga, maka tidak ada lagi alasan pertengkaran di antara mereka yang dapat diterima oleh orang-orang yang bijak dan berakal sehat.

Namun sungguh menyedihkan, ketnalangan telah menimpa kaum Muslim dengan adanya sekelompok dari mereka yang lalai akan tujuan kebaikan agama mereka dan lupa akan hadis-hadis Nabi mereka dalam kumpulan hadis Shahih. Di bawah ini kami kutipkan sebagiannya:

Al-Bukhari[1] dalam kitab Shahih-nya meriwayatkan sebuah hadis dari Abu Ayyub Al-Anshari r.a., bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAWW: 'Tunjukkan kepadaku amalan apa yang dapat memasukkan aku ke dalam surga?" Beberapa dari yang hadir bertanya: "Gerangan siapa dia?" Jawab Nabi SAWW: "la adalah seorang cerdik pandai," seraya melanjutkan sabdanya: "Menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apa pun, menegakkan shalat, membayar zakat dan menghubungi sanak kerabat."

Demikian pula Al-Bukhari meriwayatkan bahwa seorang Arab Badui datang menghampiri Nabi SAWW seraya bertanya: "Beritahukan kepadaku tentang suatu amal perbuatan; bila kulaksanakan, aku dapat masuk surga." Jawab Rasulullah SAWW: "Engkau menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apa pun, mendirikan shalat yang fardhu, mengeluarkan zakat yang wajib, serta berpuasa di bulan Ramadhan." Maka orang itu berkata: "Demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya, aku tidak akan berbuat lebih dari ini!" Setelah orang itu pergi, Nabi SAWW berkata: "Barangsiapa ingin melihat seorang ahli surga, lihatlah ia."

Berdasarkan beberapa hadis dan berita lainnya, saya memperkirakan bahwa orang Badui yang dimaksud adalah Malik bin Nuwairah bin Hamzah At-Tamimi.[2]

Dalam Shahih Bukhari, dengan sanad sampai Ubadah, diriwayatkan bahwa Rasulullah SAWW pernah bersabda:

Barangsiapa bersaksi tiada Tuhan selain Allah, Tuhan Yang Maha Esa tiada sekutu bagi-Nya, bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, dan bahwa Isa (yang terjadi dengan) kalimat-Nya, yang disampaikan-Nya kepada Maryam dan (dengan tiupan) ruh dari-Nya, dan bahwa surga adalah haq (benar) dan neraka haq, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga dengan amalan apa pun yang telah ia perbuat.

Juga dalam Shahih Bukhari melalui riwayat dari Junadah, disebutkan pula seperti riwayat sebelumnya, hanya ditambahkan sedikit di dalamnya, ... melalui kedelapan pintu surga, dari mana pun ia hendak memasukinya.

Juga dalam Shahih Bukhari dari Abu Dzar r.a. yang berkata: Aku pernah datang kepada Rasulullah SAWW ketika beliau sedang tidur dan mengenakan baju putih. Kemudian aku mendatanginya lagi, dan beliau sudah terjaga. Maka bersabdalah beliau SAWW: Barangsiapa di antara hamba Allah yang menyebut "La ilaha illa Allah" kemudian meninggal dunia, dan ia tetap dalam keadaan ikrarnya itu, maka ia akan masuk surga. Aku bertanya: "Bagaimana kalau ia pernah berzina atau mencuri?" Jawabnya: "Walaupun ia pemah berzina atau mencuri." Tanyaku lagi: "Walaupun ia pernah berzina dan mencuri?" Jawab Rasulullah SAWW: "Ya, walaupun ia pemah berzina dan mencuri, dan betapa pun Abu Dzar tidak menyukai (ucapan ini)."

Dalam Shahih Bukhari, melalui Abu Dzar pula disebutkan: Telah berkata Nabi SAWW kepadaku, bahwa malaikat Jibril berkata: "Barangsiapa, di antara umatmu, meninggal dunia dalam keadaan tiada menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, maka ia akan masuk surga (atau ia tak akan masuk neraka)." Kemudian aku bertanya: "Kendatipun ia pernah berzina dan mencuri?" Jawab Nabi Muhammad SAWW: "Ya, walaupun ia pernah berbuat hal itu."

Disebutkan di dalamnya dengan sanad dari Abu Dzar, yang berkata: Aku keluar pada suatu malam, dan kulihat Rasulullah SAWW berjalan sendirian, tidak seorang pun bersamanya. Ketika itu aku kira beliau sedang tidak ingin seseorang berjalan menyertainya. Maka aku pun berjalan di belakangnya, di bawah sinar bulan. Namun tiba-tiba beliau menoleh dan melihatku lalu bertanya: "Siapa ini?" Kujawab: "Abu Dzarl Semoga aku dijadikan penebus jiwamu."*Dan beliau memanggilku: "Hai Abu Dzar, kemarilah!" Maka aku pun berjalan bersamanya sebentar, lalu beliau bersabda: "Sesungguhnya orang-orang yang banyak hartanya di dunia ini, akan menjadi orang-orang yang sedikit pahalanya, pada Hari Kiamat kelak. Kecuali siapa yang diberi Allah rezeki yang banyak lalu ia menyedekahkan dengan tangan kanan dan kirinya, dari depan dan belakangnya, serta berbuat kebaikan dengan hartanya itu." Kata Abu Dzar selanjutnya: Kemudian aku berjalan lagi sebentar bersamanya, dan beliau berkata kepadaku: "Tunggu di sini sampai aku kembali!" Lalu beliau pergi ke balik bukit berbatu sehingga aku tak dapat melihatnya. Aku pun menantinya cukup lama, sehingga kudengar beliau kembali seraya mengucapkan: "Walaupun ia mencuri dan berzina." Setelah Rasulullah tiba, aku tak sabar untuk menanyakan kepadanya: "Ya Rasulullah, semoga diriku dijadikan tebusan bagi jiwamu, siapakah gerangan yang engkau ajak bicara di balik kegelapan malam itu, padahal aku tidak mendengar seseorang berbicara kepadamu?" Jawab Nabi SAWW: "Dia itu Jibril, yang menampakkan diri padaku di balik bukit di sana, dan ia berkata: 'Beritahukanlah kepada umatmu kabar gembira, bahwa barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu, maka ia akan masuk surga.' Kemudian aku bertanya kepadanya: 'Ya Jibril, sekalipun ia mencuri dan berzina?' Jawabnya: 'Ya, walaupun begitu.' Tanyaku lagi: “Walaupun ia mencuri dan berzina?' 'Ya, kendatipun begitu,' jawabnya. Aku bertanya lagi: "Walaupun ia mencuri dan berzina?' Jawab Jibril: 'Ya, walaupun ia pernah minum khamr'."

Mungkin yang dimaksud dengan zina, mencuii dan minum khamr dalam hadis di atas ialah sebagai ungkapan tentang semua dosa besar (kaba’ir). Maka maksudnya ialah barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan beriman kepada Allah Tuhan Yang Mahaesa, ia akan masuk surga atau tidak masuk neraka, walaupun ia pernah mengerjakan dosa besar. Hal ini sesuai pula dengan hadis riwayat Ubadah, sebelum ini, yakni ucapan beliau: "... dengan amalan apa pun yang pemah ia perbuat..."

Catatan Tambahan
Harus diketahui bahwa orang-orang Mukmin yang berbuat maksiat, kelak pada hari Kiamat, akan diazab sekadar besar-kecilnya dosa-dosa mereka, kemudian setelah itu, mereka akan beroleh kemuliaan di surga. Demikianlah menurut kesepakatan (ijma') Ahlul-Bayt serta Syi'ah (para pengikut dan pendukung) mereka. Yang demikian itu sudah menjadi pengetahuan setiap orang tanpa keraguan sedikit pun.

Oleh sebab itu, hadis-hadis yang menyatakan adanya jaminan keselamatan bagi kaum Muslim, apa pun juga amalan-amalan mereka, tidaklah berarti bahwa orang-orang yang telah berbuat maksiat dari mereka, secara mutlak tidak akan memperoleh siksaan dari Allah SWT. Tetapi, maksud yang sebenarnya ialah bahwa mereka tidak diazab secara abadi dan langgeng sebagaimana yang dialami orang-orang kafir. Oleh sebab itu, hadis-hadis ini atau yang serupa dengannya tidak boleh menjadi pegangan satu-satunya bagi mereka. Mengenai kejahatan-kejahatan mereka yang telah lalu, tidak ada sesuatu yang dapat mereka lakukan kecuali bertobat dan menyesal atau menerima azab di neraka Jahannam, sekadar yang patut mereka terima, atau adakalanya mereka mendapat ampunan dan maghfirah dari Allah SWT dan memperoleh syafaat dari para pemberi syafaat (yang beroleh izin dari-Nya).

Tersebut dalam Shahih Bukhari dan Muslim, dari Mu'adz bin Jabal yang berkata: Aku pernah membonceng kendaraan Rasulullah SAWW, dan jarak antara aku dengan beliau hanya bagian belakang untanya. Lalu beliau berkata kepadaku: "Hai Mu'adz!” Jawabku: "Labbaik wa Sa'daik, ya Rasulullah." Sejenak kemudian beliau berkata lagi: "Hai Mu'adz!" "Labbaik wd Sa'daik, ya Rasulullah", jawabku. Lalu beliau berkata: "Tahukah engkau apakah hak Allah atas hamba-hamba-Nya?" Aku menjawab: "Allah dan Rasul-Nya lebih tahu." Sabda beliau: "Hak Allah aias hamba-hamba-Nya ialah menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun." Kemudian setelah berjalan sebentar, beliau berkata: "Ya Mu'adz bin Jabal!" "Labbaik wa Sa'daik, ya Rasulullah," jawabku. Beliau bertanya lagi: "Tahukah engkau apakah hak hamba atas Allah jika mereka telah melakukannya?" Jawabku: "Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui." Beliau pun melanjutkan: "Hak hamba atas Allah ialah bahwa la tidak menyiksa mereka."

Tercantum dalam Shahih Bukhari dari 'Utbah, yang berkata: Rasulullah SAWW pernah bersabda:

"Tak seorang hamba pun datang — pada Hari Kiamat — dengan ucapan 'La ilaha illa Allah' semata-mata demi keridhaan Allah kecuali diharamkan atasnya api neraka."

Juga di dalamnya dari 'Utban bin Malik Al-Anshari pula, bahwa ia mengunjungi Rasulullah SAWW dan meminta agar beliau singgah ke rumahnya dan shalat di sana, karena ia ingin menjadikannya sebagai mushalla[3] Kemudian 'Utban berkata: Lalu Rasulullah SAWW berangkat dan shalat dua rakaat bersama kami dan sesudah itu kami suguhkan hidangan Harirah (tepung yang dimasak dengan susu). Berkata 'Utban selanjutnya: Sesaat kemudian, beberapa orang datang ke rumahku, lalu salah seorang dari mereka berkata: "Mana Malik bin Ad-Dukhsyun?"[4] Dan seorang lainnya berkata: "Dia adalah seorang munafik. la tidak mencintai Allah dan Rasul-Nya." Maka Rasulullah SAWW bersabda: "Jangan berkata demikian, tidaklah kamu melihatnya telah berucap 'La ilaha illa Allah' semata-mata demi keridhaan Allah?" Jawab orang itu: "Sungguh kami sering melihatnya pergi dan berkawan dengan orang-orang munafik." Sabda Nabi SAWW selanjutnya: "Allah mengharamkan api neraka bagi siapa saja yang mengucapkan 'La ilaha illa Allah' semata-mata karena berharap ridha Allah."

Muslim juga meriwayatkan hadis ini dalam kitab Shahih-nya dengan pelbagai saluran. Akan tetapi, akhir kalimat hadis yang diriwayatkan itu, sebagai berikut: "Bukankah ia bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah?" Mereka menjawab: "Ya, memang ia mengucapkan hal itu, namun tidak disertai dengan ketulusan hatinya." Maka Rasulullah SAWW bersabda: "Tiada seorang pun bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan' bahwa aku adalah Rasul Allah akan dimasukkan ke dalam api neraka atau menjadi umpannya." Anas berkata: "Hadis ini betul-betul membuatku kagum sedemikian sehingga kusuruh anakku menulisnya."

Perhatikaniah, adakah susunan kalimat lain yang lebih jelas daripada ini yang menetapkan keselamatan bagi segenap umat yang beriman akan keesaan Allah? Adakah berita gembira yang lebih besar daripada berita bahwa surga disediakan bagi umat Islam secara keseluruhan? Sungguh mengherankan, dengan masih adanya orang yang tidak meragukan kesahihan hadis tersebut, tetapi ia tetap saja menetapkan penilaian yang berlawanan dengan petunjuk di dalamnya. Tidakkah ia ingat firman Allah:

. . . hendaknya orang-orang yang melanggar perintah-Nya takut akan ditimpa bencana atau azab yang pedih . . . (An-Nur: 63)

Dalam sebuah hadis yang dikeluarkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya, dari Anas, yang berkata: Rasulullah SAWW pernab bersabda: "Allah menujukan firman-Nya kepada penghuni neraka yang paling ringan azabnya, pada hari Kiamat: 'Seandainya kau memiliki segala suatu yang ada di bumi, bersediakah engkau menebus dirimu dengan semua itu?' Maka orang itu akan berkata: 'Ya!' Allah pun akan berfirman: 'Dahulu Aku hanya menginginkan sesuatu darimu yang jauh lebih ringan dari ini, ketika engkau masih dalam sulbi Adam, yaitu agar kau tidak menyekutukan-Ku dengan sesuatu pun, namun engkau mengabaikannya dan tetap menyekutukan-Ku'."

Mungkin, yang dapat disimpulkan dari hadis ini ialah bahwa sesungguhnya orang itu diazab dengan api neraka semata-mata karena ia tidak mau kecuali menyekutukan Allah. Seandainya bukan karena hal itu, ia pasti akan selamat. Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa Ahlut-Tauhid (yakni semua kaum Muslim) pasti akan selamat.

Hadis tersebut menunjukkan pula bahwa penghuni neraka yang paling ringan azabnya ialah si musyrik. Maka dapatlah disimpulkan bahwa tidak seorang pun muwahhid (orang yang mengesakan Allah) akan berada di sana. Sebab, seandainya di sana ada seorang muwahhid, niscaya azabnya lebih ringan dari si musyrik. Tentunya hal terakhir ini bertentangan dengan kandungan hadis tersebut.[5]

Dalam keenam kitab Shahih, Musnad Ahmad, kitab-kitab Ath-Thabrani, dan lain-lain, banyak dijumpai hadis seperti ini. Terutama dalam kelompok hadis-hadis syafaat, antara lain — seperti dalam — Shahih Bukhari dan Muslim bahwa kelak (pada Hari Kiamat) akan dikatakan kepada Nabi Muhammad SAWW: "Keluarkan dari neraka siapa yang mempunyai iman dalam kalbunya walau seberat biji sawi."

Dan seandainya kami hendak mengetengahkan semua hadis syafaat yang mengandung kabar gembira yang amat mengagumkan, terutama yang tercantum dalam kedua kitab Shahih itu, niscaya persoalannya akan berkepanjangan. Tetapi kami hanya mengisyaratkan, agar dapat diteliti kembali oleh siapa saja yang menginginkannya. Bahkan, lebih dari yang telah dinukilkan sebelum ini, Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan dari 'Utsman bin 'Affan bahwa Rasulullah SAWW pernah bersabda: "Barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan mengetahui bahwasanya tiada Tuhan selain Allah, maka ia akan masuk surga."

Jelas sekali — menurut hadis ini — bahwa sekadar mengetahui (secara sadar) akan keesaan Allah, dapat menyebabkan seseorang masuk surga.

Begitu juga sebuah hadis serupa, yang dikeluarkan oleh Ath-Thabrani dalam kitab Al-Kabir, dari 'lmran bin Hushain yang berkata: Rasulullah SAWW pemah bersabda:

Barangsiapa mengetahui (menyadari) bahwa Allah adalah Tuhannya, dan bahwa aku adalah Nabi-Nya dengan disertai ketulusan hatinya, maka Allah akan mengharamkan tubuhnya dari jilatan api neraka.

Riwayat-riwayat ini lebih terang-benderang daripada cahaya matahari di siang hari. Dan kesahihannya lebih dikenal daripada "api di atas gunung yang tinggi." Di dalamnya tercantum berita-berita yang menggembirakan, yang mungkin agak meringankan diri seorang Muslim dari akibat perbuatan dosa-dosa besar yang menjerumuskan.

Nah, silakan mengkajinya kembali dalam kitab-kitab hadis Ahlus-Sunnah, agar Anda memahami betapa semua itu menetapkan surga bagi Anda maupun mereka (yakni kaum Syi'ah).[6] Semua yang telah kami sebutkan, tidaklah lebih dari serpihan sebutir biji atau setitik air dari gelombang samudera. Kami cukupkan di sini apa yang telah disebutkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya. dan diulang-ulanginya dalam beberapa bab dari kitabnya itu dengan pelbagai saluran sanad yang berbeda-beda. Kami pun tidak merasa perlu menyuguhkan hadis-hadis yang terdapat dalam kitab-kitab Shahih lainnya, sebab dengan kadar yang kami paparkan di atas, telah cukup jelas bagaikan cahaya yang menyingsing di pagi hari.

Lebih dari itu, kami memiliki banyak hadis shahih lainnya yang kami peroleh melalui kedua belas Imam kami:

Diriwayatkan oleh para Imam penunjuk jalan

Ucapan dan hadis mereka selalu dimulai dengan:

Datuk kami (Nabi SAWW) meriwayatkan dari

Jibril, yang menerimanya dari Allah Tuhan Maha Pencipta.

Itulah As-Sunnah yang kedudukannya langsung setelah Al-Kitab. Dan itulah perisai yang menyelamatkan dari azab. Simaklah dari kitab Ushul Al-Kafi dan lainnya, hiadis-hadis yang mengumandangkan berita-berita gembira bagi mereka yang beriman kepada Allah, Rasul-Nya dan Hari Akhir. Walaupun banyak di antaranya yang mengkhususkan keterangan-keterangan di atas yang bersifat umum dengan persyaratan walayah* terhadap keluarga Rasulullah dan 'itrah-nya. yang suci. Yaitu mereka yang oleh Rasulullah SAWW dikaitkan secara langsung dengan Al-Quran, dan dijadikan panutan bagi ulul-albab, bagaikan bahtera-bahtera penyelamat apabila gelombang-gelombang fitnah dan bencana datang menerjang. Mereka itu laksana bintang-bintang penunjuk jalan apabila kegelapan kesesatan menghalangi pandangan, pintu pengampunan satu-satunya bagi siapa saja yang ingin memperolehnya atau buhul tali yang kuat erat tempat bergabung seluruh umat demi kesatuan. Maka tidak syak lagi bahwa walayah mereka merupakan bagian dari Ushul Ad-Din (pokok-pokok agama). Untuk menjelaskan hal itu, kami telah cukup banyak menyebutkan argumentasi amat kuat serta bukti-bukti yang terang benderang, baik berupa dalil-dalil 'aqliyah maupun naqliyah. Kami mempersilakan para peneliti menelaahnya dalam kitab karangan kami berjudul Sabil Al-Mu'minin yang di dalamnya telah kami jelaskan setiap jalan menuju kebenaran dan kami singkapkan dengan kekuatan logikanya setiap awan kegelapan yang menghadang. Dan segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.?

[1] Dalam kitab Shahih Muslim terdapat banyak hadis yang serupa dengan ini. Silakan Anda pelajari pada jilid I, bab "Keimanan yang Membawa Seseorang Masuk ke dalam Surga" dan bab "Tentang Oiang yang Menghadap Tuhannya dengan Kebulatan Iman yang Mantap, Akan Dimasukkan dalam Surga dan Dihindarkan dari Api Neraka". Dan juga pada jilid yang sama ini akan Anda temukan kabar-kabar gembira yang memuaskan hati seoiang Mukmin yang percaya kepada Allah dan Hari Akhir.

[2] Dia adalah seorang kaya raya, pemurah dan mulia serta kawan bepergian para raja. Sehingga ia dijadikan contoh teladan atau perumpamaan dalam kemuliaan seperti dalam bait di bawah ini:

Tiada tempat menggembala lebih baik daripada Sa'dan

Tiada air lebih jernih daripada Shaddâ`

Tiada pemuda kesatria seperti Malik

Mengenai Malik ini akan kami nukilkan peristiwa yang terjadi padanya bersama Khalid bin Walid pada Bab VII yang akan datang.

* Sebuah ungkapan yang biasa diucapkan oleh seseorang kepada orang lain yang sangat dicintainya — penerj.

[3] Bagaimanakah pendapat para pengikut mazhab Wahhabi tentang isi hadis shahih ini yang
bertentangan dengan doktrin mazhab mereka? (Yakni bahwa para sahabat meminta Nabi
SAWW shalat di tempat itu, demi memperoleh berkahnya — penerj.).

[4] Demikianlah yang termaktub dalam Shahih Bukhari yang naskahnya ada pada saya.
Mungkin yang benar ialah Malik bin Dukhsyum (dengan m) bukan Dukhsyun (dengan n).
Nama lengkapnya: Malik bin Ad-Dukhsyum bin Ghunm bin 'Auf bin 'Amr bin 'Auf,
yaitu salah seorang yang pemah turut serta dalam peperangan Badr dan peperangan-
peperangan sesudahnya. Dia pulalah yang menawan Suhail bin 'Amr pada peiang Badr.
Kendatipun demikian ia dikenal tebagai seorang munafik. Hanya Allah saja yang lebih
tahu tentang keadaannya yang sebenarnya.

[5] Karena seorang muwahhid, dari kalangan Muslim, walaupun ia melakukan dosa terbesar pun, tidak akan mendapat siksaan sepedih orang-orang musyrik (meskipun seandainya si musyrik ini tidak melakukan dosa apa pun selain kemusyrikannya).

[6]Karena setiap penganut mazhab Imamiyah maupun Sunnah, kedua-duanya beriman kepada Allah, membenarkan Rasulullah SAWW, menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan ibadah haji, berpuasa di bulan Ramadhan, beriman kepada Hari Kebangkitan, menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram, sebagumana yang disaksikan oleh perkataan dan perbuatan mereka, dan seperti yang dapat disimpulkan
secara pasti dari buku-buku mereka, yang lama maupun yang baru, dan yang ringkas
maupun yang terinci.

* Yang dimakmd dengan walayah atau wilayah ialah mendukung, mencintai dan menjadikan keluarga Rasulullah sebagai wali atau pemimpin yang diikuti -- penerj.