Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Sisi Lain RA Kartini; Tafsir Faidhul Rahman & RA Kartini, Dibalik Slogan “Habis Gelap Terbitlah Terang” (1)

0 Pendapat 00.0 / 5

RA Kartini dikenal sebagai pahlawan perjuangan hak-hak dan emansipasi perempuan di Indonesia. Ia lahir di Jepara, 21 April 1879 dan meninggal di Rembang 17 September 1904 pada usia 25 tahun. Setelah dipingit dari usia 15 tahun , RA Kartini akhirnya menikah pada usia 24 tahun dengan Bupati Rembang, K.R.M Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat sebagai istri keempat. Ia wafat empat hari pasca melahirkan. Kartini dikenal sebagai tokoh emansipasi wanita Indonesia yang dikenal lewat surat-suratnya yang kemudian dibukukan dalam ‘Habis Gelap Terbitlah Terang. Ia hidup di masa kolonial Belanda, ketika perempuan pribumi sangat dibatasi akses pendidikannya. Namun, Kartini sangat haus ilmu. Ia membaca buku-buku dari Eropa dan juga mulai mempertanyakan banyak hal, termasuk posisi perempuan dalam masyarakat dan dalam agama. Dari sinilah dia mulai mencari pencerahan, termasuk melalui tokoh-tokoh Islam di Jawa.[1]

Di sini kita akan melihat RA Kartini dari sisi lain yaitu terkait perhatian RA Kartini kepada tafsir Fadhul Rahman karya Kyai Soleh Darat adalah sebuah karya tafsir Al-Quran dalam bahasa Jawa dan menggunakan aksara pegon (Arab-Jawa). Perhatian RA Kartini terhadap tafsir tersebut merupakan sisi spiritual dan ketertarikannya terhadap kedalaman agama yang mungkin jarang disorot, dan ini sangat menarik. Dengan kata lain RA Kartini pernah nyantri dan belajar tafsir Al-Quran kepada Kyai Soleh Darat.

Nama asli Kyai Soleh Darat adalah Syaikh Muhammad Shalih ibn Umar al-Samarani (1820-1903), dan Tafsir Faidh al-Rahman fi Tarjamah Kalam Malik Dayyan adalah salah satu karya monumental yang pernah ditulis olehnya. Tafsir ini belum lengkap 30 Juz, baru sampat tafsir surat an-Nisa, terdiri dari dua jilid besar. Jilid pertama setebal 577 halaman, sedangkan jilid kedua setebal 705 halaman. Keduanya dicetak oleh penerbit al-Muhammadiyah, Singapura antara tahun 1309 -1312 H.

Ada hal menarik terkait dengan Tafsir Faidh al-Rahman ini. Pertama, buku tafsir ini ditulis khusus oleh Kyai Soleh Darat karena memenuhi permintaan RA Kartini. Kedua, setelah menjadi buku tafsir, buku ini oleh Kyai Soleh Darat pernah diberikan kepada RA Kartini sebagai hadiah/kado atas perkawinanya dengan R.M. Joyodiningrat, Bupati Rembang kala itu. RA.Kartini amat menyukai hadiah itu dan mengatakan: “Selama ini al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya, sebab Romo Kyai telah menerangkannya dalam Bahasa Jawa yang saya pahami”.[2]

Sebelumnya ada pergulatan dalam diri RA Kartini terkait agama dan Al-Quran dan itu disampaikan dalam suratnya kepada temannya, Stella Zihandelaar, sahabat penanya berkebangsaan Belanda, 6 November 1899.

“Mengenai agamaku, Islam, aku harus menceritakan apa? Islam melarang umatnya mendiskusikan ajaran agamanya dengan umat lain. Lagi pula, aku beragama Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya?”

“Al-Quran terlalu suci; tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun, agar bisa dipahami setiap Muslim. Di sini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab. Di sini, orang belajar Al-Quran tapi tidak memahami apa yang dibaca.”

“Aku pikir, adalah gila orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibaca. Itu sama halnya engkau menyuruh aku menghafal Bahasa Inggris, tapi tidak memberi artinya.”

“Aku pikir, tidak jadi orang soleh pun tidak apa-apa asalkan jadi orang baik hati. Bukankah begitu Stella?”

RA Kartini melanjutkan curhat-nya, tapi kali ini dalam surat yang dikirim kepada Ny. Abendanon (15 Agustus 1902).

“Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlu dan manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Al-Quran, belajar menghapal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya”.

“Jangan-jangan, guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepada aku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa. Kitab ini teralu suci, sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya”.

Bersambung...