Sufi yang Mengguncang Dunia (1)
Di tengah-tengah umat yang dirundung kemalangan demi kemalangan, seorang lelaki Mukmin datang memberi harapan. Di tengah-tengah umat yang sudah kehilangan keberanian, ia berdiri tegak meneriakkan kebenaran. Jutaan kamu Muslimin seluruh dunia menemukan pemimpin mereka. Setelah ratusan tahun merintih dalam gelombang penindasan yang tak kunjung berhenti, pemimpin ini menyuarakan hati nurani mereka. Ia berbicara kepada dunia tentang Islam tidak dengan suara memelas. Ia tidak mengemis minta belas kasihan. Ia tidak merendahkan suaranya karena takut pembalasan. Ia membentak musuh-musuh umat dengan suara lantang. Dunia pun mendengar suara Islam yang menggetarkan, menggerakkan, membangkitkan, dan menghidupkan.
Lelaki Mukmin ini berkata, “Inilah kata-kataku yang terakhir bagi kaum Muslim dan rakyat yang tertindas di seluruh dunia: Kalian tidak boleh duduk berpangku tangan dan diberi anugerah kemerdekaan dan kebebasan oleh orang yang berkuasa di negeri kalian atau oleh kekuatan asing. Kalian, wahai rakyat tertindas di dunia, hai negeri-negeri Muslim. Bangun, ambilah hak kalian dengan gigi dan cakar kalian.”
Umat Islam terpesona mendengar suara ini. Biasanya, mereka mendengar pemimpin Islam yang menyuruh mereka bersabar, yang memberikan obat penenang, yang meniupkan impian. Suara lelaki ini benar-benar lain. Ia menggugah, mengelektrifisisasi, dan menghentak.
Maka, jutaan umat Islam bangun dari tidur mereka yang panjang. Di bawah komando lelaki ini, rakyat Iran menumbangkan tiran yang paling kuat di Negara Dunia Ketiga. Suaranya pun tidak hanya menggerakkan Iran. Suaranya melintas ke seluruh penjuru dunia. Bangkitlah jutaan umat Muhammad: sebagian tersentak, sebagian besar hanya menggeliat. Apa pun yang terjadi, jalan sejarah telah berubah. Harian Independent dari Inggris menulis, “It’s rare than one person, is given the mission of changing the path history. The mission was given to Ayatullah Khomeini.” Ya, dialah Ayatullah Ruhullah Al-MuSaw.i Al-Khomeini.
Dalam kesempatan ini, saya ingin menyampaikan pengalaman orang-orang yang pernah berhadapan dengan tokoh besar ini. Saya ingin mulai dengan pengalaman Robin Woodsworth Carlsen, seorang filsuf Kanada yang non-Muslim. Setelah itu, saya akan hantarkan kisah-kisah kehidupan beliau sebagaimana diceritakan oleh orang-orang yang dekat dengannya, yaitu Sayyid Akhmad Khomeini dan istrinya.
iklan
Robin Woodsworth Carlsen adalah seorang penyair dan filsuf Kanada. Ia menulis beberapa buku filsafat, antara lain Enigma of An Absolute: The Consciousness of Ludwig Wittgenstein. Sebagai wartawan, ia telah tiga kali berkunjung ke Iran. Pada kunjungan yang ketiga, Februari 1982, beserta para peserta konferensi internasional, ia berkesempatan beraudensi dengan Imam Khomeini di Jamaran. Pertemuan dengan Imam diceritakannya dengan bahasa yang sangat filosofis dalam bukunya The Imam and His Revolution: A Journey Into Heaven and Heil.
Pada malam 8 Februari diumumkan bahwa peserta konferensi akan mendapat kesempatan mendengarkan pidato Imam. Carlsen melihat pertemuan ini sebagai kesempatan penting untuk meneliti Imam secara kritis. Sebagai seorang filsuf, ia sudah sering berjumpa dengan orang-orang yang dianggap suci, tetapi ia meragukan kesucian Imam Khomeini. “Terlalu banyak dendam, darah, dan absolutisme” di sekitar pribadi Imam. Sebagai wartawan Barat, ia sudah memperoleh gambaran yang sangat jelek tentang sosok Imam Khomeini. Majalah Times telah mengungkapkan banyak hal buruk tentang kehidupan Imam. Dengan kerangka pikiran seperti itulah, Carlsen ingin mengamati Imam dari dekat. Sebagai filsuf, ia pun sudah mempersiapkan pikiran yang kritis, pikiran yang setiap saat siap mengevaluasi orang secara radikal.
Anehnya, begitu ia naik bus menuju Jamaran, hatinya dipenuhi perasaan yang luar biasa. Hatinya ikut bergejolak sebagaimana dirasakan para penumpang bus lainnya. Ia merasa kalau sebentar lagi ia akan menyaksikan sebuah peristiwa hebat.
Sekarang kita dengarkan cerita Carlsen. “Saya duduk di bagian depan ruangan. Kursi Khomeini, yang tertutup kain putih, terletak di atas panggung di hadapan kami kira-kira lima belas kaki di atas lantai. Seorang mullah bercambang putih mengawasi kami ketika kami memasuki ruangan. la memperbaiki mikrofon, sambil dengan sabar menunggu kedatangan Imam dari pintu tertutup di sebelah kanan panggung tempat ia memberikan ceramahnya. Ruangan dipenuhi harapan yang disampaikan dengan berbisik. Sekali-kali sebagian orang Islam meneriakkan slogan atau ayat-ayat Al-Quran, lalu diikuti oleh ratusan orang Islam dan pengawal revolusi yang hadir di situ. Tidak seorang pun diperbolehkan merokok. Sikap penghormatan yang menguasai orang-orang yang menunggu Imam telah mengubah pemandangan yang biasanya kita lihat di Iran.
Ketika saya mengamati panggung tempat Imam Khomeini menyampaikan ratusan pidatonya, mata saya menangkap ketenangan, kemurnian, dan kesegaran fisik yang melayang-layang, atau lebih tepat lagi berkumpul dalam sebongkah energi yang kokoh dan tembus cahaya, yang sangat berbeda dengan hotel tempat kami menginap, bahkan berbeda dengan lingkungan mana pun yang pernah saya lihat dalam dua kali kunjungan ke Iran. Masjid saja tidak memancarkan sifat-sifat ini, sosok energi yang bulat. Mungkin Imam itu seorang manusia yang tercerahkan, seorang sufi sejati atau barangkali lebih dari itu? Semua tanda menunjukkan bahwa apa yang terjadi di sini menyeruak kepada apa pun yang terjadi di Iran di luar ruangan ini. Perasaan seperti ini hanya mirip dengan apa yang saya rasakan ketika saya berada di front pertempuran atau ketika saya berjalan-jalan di pemakaman Beheste Zahra. Saya hanya dapat menjelaskan perasaan ini dengan berasumsi bahwa barangkali kesyahidan itu ada, bahwa pelepasan ruh suci yang tiba-tiba dari tubuh, dengan membawa ruh itu ke langit karena niat syahid, telah menciptakan energi yang suci, energi yang dibekahi Allah sendiri.
Kami menunggu di sana kira-kira 45 menit sebelum terlihat tanda-tanda kedatangan Imam. Tanda-tanda itu sangat jelas. Beberapa ulama berserban muncul dari pintu itu dan memberi isyarat kepada mullah yang ada di panggung bahwa sang pemimpin, ulama besar, panglima, dan imam sebentar lagi datang. Ketika Khomeini muncul di pintu semua orang bangkit dan mulai berteriak, “Khomeini… Khomeini… Khomeini”, teriakan penghormatan kepada manusia yang paling menggetarkan, paling ceria, dan paling bergelora yang pernah saya saksikan. Semua orang betul-betul diseret ke dalam gelombang cinta dan pemujaan yang spontan seraya dengan setiap butir sel dalam jantungnya menyatakan keyakinan mutlak bahwa orang yang mereka hormati itu pantas mendapatkan kehormatan di sisi Allah.
Sungguh, aku berani mengatakan bahwa ledakan ekstase dan kekuatan yang menyambut Imam bukan sekadar refleks karena pancingan tertentu tentang Imam. Ia adalah senandung puji yang alamiah dan bahagia; senandung penghormatan yang lahir karena keagungan dan kharisma dahsyat dari orang ini. Ketika pintu dibuka untuknya, saya mengalami badai gelombang energi yang datang dari pintu itu. Dalam jubah cokelat, serban hitam, dan janggut putih, ia menggerakkan semua molekul dalam ruangan itu dan mencengkeram semua perhatian sehingga lenyaplah apa pun selain dia. Dia adalah pancaran cahaya yang menembus jauh ke dalam kesadaran semua orang di ruangan itu. Dia menghancurkan semua citra yang ditampilkan untuk menyainginya. Kehadirannya begitu mencekam sehingga aku harus menyusun kembali sensasiku, jauh di luar konsep-konsepku, jauh di luar kebiasaanku mengolah pengalaman.
Aku sudah mempersiapkan apa pun untuk meneliti wajahnya, menggali motivasinya, memikirkan sifat yang sebenarnya. Kekuasaan, kebesaran, dan dominasi absolut Khomeini telah menghancurkan semua cara penilaianku. Di situ aku hanya mengalami energi dan perasaan yang memancar dari kehadirannya di panggung. Walaupun ia itu taufan, segera kita akan menyadari bahwa di dalam taufan itu ada ketenangan yang mutlak. Walaupun perkasa dan menaklukkan, ia tetap tenang dan damai. Ada sesuatu yang tidak bergerak dalam dirinya, tetapi ketidakbergerakkannya itu telah menggerakkan seluruh Iran. Ini bukan orang biasa. Bahkan, semua orang suci yang pernah aku temui, semacam Dalai Lama, pendeta Budha dan pendeta Hindu, tidak seorang pun memiliki sosok yang menggetarkan seperti Khomeini.
Bersambung...