Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Meluruskan Qadha dan Qadar: Peran Ahlulbait dalam Mempertahankan Kemurnian Akidah (1)

0 Pendapat 00.0 / 5

Dalam lintasan sejarah Islam, Ahlulbait memainkan peran sentral dalam menjaga kemurnian tauhid dan menegakkan keadilan Ilahi. Melalui penjelasan-penjelasan mendalam tentang konsep ketuhanan, qadha’ dan qadar, kebebasan manusia, serta hukum kausalitas, para imam berupaya meluruskan berbagai kekeliruan pemahaman yang dapat menjerumuskan umat kepada fatalisme, penafian tanggung jawab, atau pandangan tidak adil terhadap perbuatan Tuhan. Tulisan ini merangkum salah satu dasar pemikiran penting yang mereka ajarkan, yaitu prinsip qadha’ dan qadar, sebagaimana tercantum dalam riwayat-riwayat primer Ahlulbait.

Sistem Ketetapan dan Takdir dalam Alam

Para imam menegaskan bahwa alam semesta berdiri di atas sebuah sistem yang pasti, teratur, bersifat niscaya, dan terperinci. Tidak ada suatu peristiwa di alam yang terjadi secara acak atau tanpa sebab. Semuanya berlangsung dalam rangkaian hukum kausalitas yang berlaku di seluruh wujud, baik alam materi maupun alam metafisik. Inilah yang mereka jelaskan sebagai qadha’ dan qadr.

Hukum kausalitas mencakup dua aspek:

1. Qadha’ — kepastian terjadinya suatu akibat ketika sebabnya ada.

2. Qadr — pengukuran, batasan, dan individuasi suatu akibat dalam ukuran, kuantitas, kualitas, dan bentuknya.

Contoh sederhana dapat ditemukan pada gesekan batang korek api. Selama tidak ada penghalang, gesekan pasti menghasilkan panas dan api. Kepastian munculnya api itulah qadha’, sedangkan ukuran panas dan intensitas api—yang bergantung pada karakteristik batang korek, kekuatan gesekan, dan ketebalan geretan—adalah qadr, yaitu pengukuran dan batasan atas akibat yang muncul.

Dalam Al-Kāfī, Al-Kulainī meriwayatkan dialog antara Yunus bin Abdul Rahman dan Imam Ali Ar-Riḍā. Ketika Yunus ditanya apakah ia mengetahui makna takdir, ia menjawab tidak. Imam lalu menjelaskan:

“Takdir adalah rancangan dan penetapan batasan-batasan dari keberadaan dan kefanaan. Adapun qadha’ adalah kepastian.”
— Al-Kāfī, jil. 1, Kitāb al-Tauḥīd, bab “Al-Jabr wa al-Qadr” dan “Al-Amr bayna al-Amrayn”, hlm. 121.

Penjelasan ini menunjukkan bahwa alam semesta adalah struktur besar yang tersusun dalam urutan, aturan, dan ukuran yang pasti. Semua wujud menjalani proses kemenjadian (qadha’) dan keindividualan (qadr), seperti dijelaskan oleh para ulama Ahlulbait.

Manusia dalam Lingkup Qadha’ dan Qadr

Kehidupan manusia—baik individu maupun sosial—juga berada dalam cakupan hukum ini. Perbuatan, pilihan, gerakan, dan langkah manusia terjadi di dalam kerangka qadha’ dan qadr Allah. Namun, hukum Ilahi tidak berarti paksaan; ia bekerja sesuai hubungan sebab-akibat antara tindakan manusia dan akibatnya.

Al-Qur’an menjelaskan:

“Jika kamu menolong (agama) Allah, Dia akan menolong kalian.”
— QS Muhammad [47]: 7

Artinya, ketika seseorang berusaha, aktif, jujur, dan berjuang, Allah membukakan jalan melalui sunnah-sunnah kausalitas-Nya. Sebaliknya, ketika seseorang malas atau menipu, ia dipasrahkan kepada akibat dari perbuatannya sendiri. Ini adalah manifestasi praktis dari qadha’ dan qadr dalam kehidupan sehari-hari.

Bersambung...