Induksi dalam Perspektif Gradasi Wujud (3)
Induksi sebagai Gerak Eksistensial
Tulisan ini adalah suatu upaya , yang bermula dari sebuah gagasan, barangkali dalam konsep gradasional eksistensi , nilai kebenaran bagi induksi tidak mutlak nol (salah total), atau satu (benar total). Barangkali, letak yang lebih baik, benar dan indah dari jawaban masalah ini adalah menerima sifat alamiah induksi sebagai bagian dari gradasional kebenaran yang tidak lain adalah manifestasi atau implikasi dari sifat gradasional eksistensi.
Penggagas gradasi eksistensi, Mulla Sadra (Sadr ad-Din ash-Shirazi, 1571-1640) adalah filsuf Muslim Persia yang mengembangkan sistem filsafat komprehensif yang dikenal sebagai al-Hikmah al-Muta’aliyah atau Hikmah Transenden.
Bila kita refleksikan dalam kerangka piker Mulla Sadra, mungkin kita tidak lagi bisa memandang induksi sebagai persoalan logika formal semata, melainkan sebagai proses ontologis dan epistemologis yang melibatkan relasi mendalam antara subjek pengenal dan objek yang diketahui.
Tulisan ini mencoba merefleksika lima prinsip fundamental yang barangkali bisa menjawab problem induksi.
Tashkik al-Wujud (Gradasi Wujud)
Prinsip pertama dalam filsafat Sadra adalah tashkik al-wujud atau gradasi wujud, yang menyatakan bahwa wujud atau eksistensi bersifat bertingkat-tingkat, bukan homogen. Setiap fenomena dalam alam semesta memiliki intensitas eksistensi yang berbeda, namun semuanya berkesinambungan dalam satu realitas tunggal. Realitas tidak tersusun dari entitas-entitas terpisah yang teratomisasi, melainkan merupakan kontinuum gradasi dari satu prinsip eksistensial yang sama.
Bagi saya yang mengajar nyaris tiga dekade mata kuliah Probabilitas dan Statistika, sungguh gagasan gradasi wujud ini serupa tapi tak sama dengan probabilitas. Lebih mendalam tentang hal ini, para pembaca dipersilakan membaca buku tulisan saya dan Agus Nggermanto dengan pengantar Budi Sulistyo, Probabilitas et Realitas yang diterbitkan Penerbit ITB (2025).
Sifat gradasional eksistensi memberikan jawaban terhadap kritik Hume tentang problem induksi. Hume mengatakan bahwa tidak ada jembatan logis antara “A telah terjadi” dan “A akan terjadi lagi”, sehingga induksi hanyalah kebiasaan psikologis.
Dalam kerangka fikir gradasi eksistensi Sadra, jembatan tersebut bukan terletak pada logika formal, melainkan pada realitas eksistensi atau wujud itu sendiri. Setiap kejadian atau fenomena adalah tajalli atau manifestasi dari prinsip eksistensial yang satu, yaitu al-wujud al-munbasit (wujud yang meluas).
Keteraturan yang kita amati dalam alam bukanlah sekadar kebetulan yang berulang, melainkan refleksi dari kontinuitas eksistensial yang nyata. Maka ketika kita menginduksi bahwa matahari akan terbit besok, kita tidak sekadar mengikuti kebiasaan psikologis, melainkan menangkap keteraturan ontologis yang inheren dalam struktur realitas itu sendiri.
Untuk memahami prinsip ini, dapat dibayangkan analogi dengan kode program dalam sebuah permainan video. Ketika pemain menekan tombol tertentu dan karakter melompat, ini bukan karena pemain “terbiasa” melihat hal itu, melainkan karena ada struktur kode program yang real yang mendasari perilaku tersebut. Demikian pula, alam semesta memiliki “struktur eksistensial” yang membuat keteraturan menjadi nyata, bukan ilusi atau kebiasaan. Induksi yang sahih adalah induksi yang berhasil menangkap keteraturan ontologis ini, bukan sekadar menghitung frekuensi kejadian.
Namun demikian, satu yang tidak dibantah oleh argument ini adalah tidak adanya kebenaran mutlak atau absolut dalam kesimpulan “matahari akan terbit besok”. Jadi , posisi yang ditawarkan akan nilai kebenarannya pun gradasional. Dari sini , mau tidak mau kita meninggalkan pola pikir black and white (hitam dan putih), dan lebih bisa memandang problem induksi Hume dan solusi yang diadopsi dari sifat gradasional eksistensi Sadra dengan pola pikir kebenaran gradasional yang banyak level abu-abu, merentang atau meluas dari putih ke hitam.
Al-‘Ilm al-Huduri (Pengetahuan Hadiri)
Prinsip epistemologis kedua dalam filsafat Sadra adalah pembedaan antara dua jenis pengetahuan. Pertama adalah al-‘ilm al-husuli atau pengetahuan representasional, yaitu pengetahuan tentang sesuatu yang diperoleh melalui perantara konsep atau gambaran mental. Kedua adalah al-‘ilm al-huduri atau pengetahuan hadiri, yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui kehadiran langsung objek dalam kesadaran subjek tanpa perantara konseptual.
Prinsip ini memberikan jawaban terhadap kritik Popper tentang ketidakpastian verifikasi induktif. Popper benar ketika mengatakan bahwa induksi tidak dapat memberikan kepastian absolut jika dipandang sebagai pengetahuan representasional tentang fakta eksternal.
Namun Sadra menunjukkan bahwa kepastian pengetahuan bersifat gradasional, bergantung pada tingkat kehadiran eksistensial objek dalam subjek. Semakin intens dan langsung kehadiran tersebut, semakin tinggi tingkat kepastian yang diperoleh.
Dalam kerangka ini, induksi bukanlah upaya untuk mencapai kepastian absolut tentang realitas eksternal, melainkan proses peningkatan kehadiran eksistensial antara pengamat dan fenomena yang diamati. Kepastian yang dihasilkan bersifat bertingkat, mulai dari zhonn (dugaan lemah), melalui berbagai tingkatan keyakinan, hingga mencapai yaqin (kepastian tinggi). Setiap pengulangan observasi dalam proses induktif meningkatkan intensitas kehadiran dan dengan demikian meningkatkan derajat kepastian.
Ini tidak sepenuhnya dari pandangan Popper yang melihat hipotesis hanya sebagai “belum terbantah”. Dalam pandangan Sadra, setiap konfirmasi induktif bukan sekadar ketiadaan falsifikasi, melainkan penguatan aktif dari kehadiran eksistensial yang memberikan kepastian gradasional.
Sebagai ilustrasi, dapat dipertimbangkan pengalaman seseorang yang pertama kali mendengar tentang rasa durian dari cerita orang lain. Ini adalah pengetahuan representasional dengan tingkat kepastian yang rendah. Ketika ia mencoba durian untuk pertama kali, ia memperoleh pengetahuan hadiri dengan kepastian yang lebih tinggi. Setelah mencoba sepuluh kali dengan berbagai jenis durian, kepastiannya tentang karakteristik rasa durian meningkat secara signifikan. Setelah seratus kali, ia memiliki kepastian tingkat tinggi yang berbasis pada intensitas pengalaman langsung. Ini bukan sekadar pernyataan “belum terbantah”, melainkan kepastian positif yang bertingkat berdasarkan kualitas kehadiran eksperiensial.
Bersambung...