Induksi dalam Perspektif Gradasi Wujud (5)
Asholatul Wujud (Prinsipalitas Eksitensi)
Prinsip keempat dalam filsafat Sadra adalah ashalat al-wujud (أصالة الوجود) atau “primordialitas wujud” . Prinsip ini menyatakan bahwa wujud atau eksistensi adalah realitas primer dan sejati, sedangkan mahiyah atau esensi bersifat sekunder dan hanya konsep mental belaka. Dalam pandangan ini, yang benar-benar ada dan real di dunia luar adalah wujud itu sendiri, bukan esensi-esensi seperti “manusia”, “pohon”, atau “batu”.
Esensi-esensi tersebut hanyalah cara pikiran kita mengkonseptualisasikan dan mengkategorikan wujud yang kita alami. Sebagai contoh, ketika kita melihat seseorang, yang benar-benar ada secara objektif adalah wujudnya (keberadaannya), sedangkan konsep “manusia” adalah abstraksi mental yang kita gunakan untuk memahami wujud tersebut.
Prinsip ini berbeda dengan pandangan filsuf-filsuf sebelumnya seperti Ibnu Sina yang menganggap esensi sebagai realitas primer, sementara wujud hanya aksiden atau tambahan pada esensi. Bagi Sadra, membalik hierarki ini sangat penting karena membuka jalan untuk memahami bahwa semua yang ada adalah manifestasi dari satu realitas wujud yang sama, hanya berbeda dalam intensitas dan tingkatannya, bukan berbeda dalam jenis substansinya. Dengan demikian, ashalat al-wujud menjadi fondasi bagi prinsip-prinsip lain dalam filsafatnya seperti tashkik al-wujud (gradasi wujud) dan kesatuan eksistensial seluruh realitas.
Filsafat bahasa sebagai implikasi dari ashalat al-wujud menghasilkan pandangan yang sangat berbeda dari konvensionalisme linguistik modern.
Jika wujud adalah realitas primer dan esensi hanya konsep mental sekunder, maka bahasa tidak sepenuhnya arbitrer atau konvensional, melainkan memiliki relasi ontologis dengan realitas yang dideskripsikannya. Dalam perspektif ini, kata-kata dan konsep-konsep bahasa yang baik adalah yang berhasil “menangkap” atau “berpartisipasi” dalam struktur gradasi wujud itu sendiri.
Predikat atau term yang menunjuk pada sifat-sifat wujudiyyah (sifat eksistensial) yang stabil dan riil memiliki validitas ontologis lebih tinggi daripada konstruksi linguistik artifisial yang tidak berkorespondensi dengan struktur wujud. Misalnya, kata “hijau” untuk mendeskripsikan zamrud memiliki dasar ontologis karena menangkap sifat eksistensial yang stabil dalam wujud zamrud, sedangkan kata buatan seperti “grue” (hijau sebelum tahun 2100, biru sesudahnya) tidak memiliki dasar dalam realitas eksistensial dan hanya permainan logika semata. Implikasinya, makna (ma’na) dalam bahasa bukan sepenuhnya konstruksi sosial atau konvensi arbitrer, melainkan pancaran (tajalli) dari struktur wujud yang memiliki intensitas dan hirarki ontologis.
Bahasa yang lebih “benar” atau “valid” adalah bahasa yang konsep-konsepnya lebih dekat dengan dan lebih mencerminkan gradasi serta struktur wujud yang sesungguhnya. Ini menjelaskan mengapa dalam sejarah, konsep-konsep tertentu bertahan lintas budaya dan zaman (karena mereka menangkap realitas wujud yang stabil), sementara konstruksi artifisial lainnya gagal mendapat penerimaan universal (karena tidak berakar pada struktur eksistensial yang riil). Dengan demikian, filsafat bahasa Sadrian bersifat realis ontologis, bukan nominalis atau konvensionalis, di mana kebenaran bahasa diukur dari seberapa baik ia berpartisipasi dalam dan merefleksikan realitas wujud itu sendiri.
Prinsip ini memberikan jawaban terhadap paradoks Goodman tentang “grue“. Goodman menunjukkan bahwa predikat “hijau” dan “grue” sama-sama didukung oleh bukti empiris yang sama, namun memberikan prediksi berbeda. Ia menyimpulkan bahwa tidak ada kriteria objektif untuk memilih di antara keduanya, sehingga induksi relatif terhadap sistem predikat yang digunakan. Namun Sadra akan berpendapat bahwa kedua predikat ini tidak setara secara ontologis.
Predikat “hijau” menunjuk kepada sifat wujudiyyah atau sifat eksistensial yang stabil dalam zamrud. Warna hijau adalah manifestasi dari struktur substansial zamrud yang real dan konsisten. Sebaliknya, “grue” adalah konstruksi linguistik artifisial yang tidak memiliki dasar dalam realitas eksistensial zamrud. Tidak ada aspek dari wujud zamrud yang “bersiap” untuk berubah menjadi biru setelah tahun 2100. Oleh karena itu, meskipun secara logis formal kedua predikat dapat dirumuskan dan didukung bukti yang sama, secara ontologis mereka tidak memiliki status yang sama.
Untuk memahami perbedaan ini, dapat dibayangkan seseorang yang menciptakan kata baru “banas” yang didefinisikan sebagai “basah jika sebelum jam dua belas siang, kering jika setelahnya”. Secara teknis, ia dapat mengatakan “handuk saya banas”. Namun tidak ada orang yang akan menggunakan kata tersebut dalam praktik karena kata itu tidak menangkap realitas yang stabil dan tidak memiliki utilitas dalam mendeskripsikan dunia. Predikat “hijau” bertahan dalam bahasa manusia selama ribuan tahun karena ia berkorespondensi dengan realitas eksistensial yang stabil. Predikat “grue” tidak akan bertahan karena ia tidak memiliki dasar ontologis.
Dengan demikian, Sadra menunjukkan bahwa induksi yang valid adalah induksi yang menggunakan konsep-konsep yang berakar pada struktur wujud, bukan konstruksi arbitrer. Ada kriteria objektif untuk memilih hipotesis induktif, yaitu seberapa baik konsep-konsep yang digunakan mencerminkan gradasi dan struktur realitas eksistensial. Ini bukan relativisme linguistik, melainkan realisme ontologis yang mengakui bahwa bahasa dan konsep yang baik adalah yang berpartisipasi dalam dan mencerminkan struktur wujud itu sendiri.
Bersambung...