Pemikiran dan Teladan Politik Sayyidah Fatimah Azzahra: Relevansi dan Inspirasi untuk Kehidupan Kontemporer” (1)
Manusia adalah makhluk peniru. Sejak kecil, kita cenderung meniru orang-orang di sekitar kita. Anak-anak biasanya meniru ibunya, sementara anak laki-laki meniru ayahnya. Saat dewasa, pola peniruan ini tetap ada, namun konteksnya berubah. Saat ini, terutama di kalangan Generasi Z, banyak peniruan dilakukan terhadap tokoh-tokoh yang muncul di media sosial. Kita cenderung memilih sosok yang menarik perhatian kita, yang kita anggap layak ditiru, dan menirunya dalam berbagai aspek kehidupan.
Namun, mudah-mudahan melalui diskusi ini, kita bisa mencoba melakukan kontra-arus. Banyak orang memilih idola hanya berdasarkan jumlah follower, popularitas di media, atau kedekatan dengan kekuasaan. Kita ingin mencoba berbeda: bagaimana kita bisa meneladani seseorang yang benar-benar luar biasa. Namun, agar bisa meneladani, kita perlu memahami terlebih dahulu apa saja yang bisa diteladani dari sosok tersebut.
Jika kita melihat bagaimana Rasulullah SAW memperlakukan Sayyidah Fatimah, hal ini sangat luar biasa. Di tengah masyarakat Jahiliah saat itu, anak perempuan sering tidak dihargai, bahkan ada yang dikubur hidup-hidup. Namun, ketika Sayyidah Fatimah masuk ke ruangan, Rasulullah justru berdiri menyambutnya, menciumnya, dan menyuruhnya duduk di tempat yang terhormat. Secara politik, sikap Rasulullah ini bisa dimaknai sebagai deklarasi politik anti-mainstream, yang menunjukkan bahwa penghormatan terhadap perempuan bukan sekadar norma sosial, tetapi juga prinsip moral dan politik yang revolusioner.
Sikap Rasulullah ini menunjukkan bahwa beliau memposisikan Sayyidah Fatimah sebagai sosok yang memiliki dimensi politik sejak kecil. Dari pengamatan sejarah, setidaknya ada tujuh metode politik yang dilakukan Sayyidah Fatimah sepanjang hidupnya, yang bisa menjadi teladan bagi kita.
Metode pertama: Konfrontasi langsung. Sayyidah Fatimah berani menghadapi pihak yang salah secara langsung. Kita tahu bagaimana rumahnya didobrak dan dibakar, beliau terluka, tetapi tetap berjalan menuju masjid untuk mencegah suaminya, Imam Ali, dipaksa melakukan bai’at. Beliau seorang perempuan sendirian, tanpa pasukan, hanya berbekal kata-kata, namun mampu mengubah situasi politik yang tadinya dipaksakan. Jika kita pindahkan ke hari ini, metode ini mengajarkan keberanian untuk menyuarakan kebenaran dan melakukan perubahan, meski posisi kita terlihat lemah.
Contoh kontemporer bisa kita lihat di Palestina. Banyak perempuan muda yang menulis atau bersuara di media sosial menghadapi risiko ditangkap oleh tentara Zionis. Seorang jurnalis, Fatima Ayas, misalnya, sudah 100 hari ditahan di penjara Israel hanya karena menyuarakan kebenaran. Ini menunjukkan bahwa keberanian berbicara, meski berisiko nyawa, adalah bentuk nyata dari metode konfrontasi langsung.
Metode kedua: Tangisan sebagai ekspresi politik. Setelah wafatnya Rasulullah, Sayyidah Fatimah sering menangis di ruang publik, termasuk di makam Nabi, bukan hanya di ruang pribadi. Tangisan beliau adalah bentuk protes terhadap ketidakadilan. Di masa kini, kita bisa melihat hal serupa pada perempuan-perempuan Palestina yang menangis di media sosial, sambil berseru: “Mana dunia Arab? Mana dunia Muslim? Mana yang katanya mendukung HAM?” Tangisan mereka bukan sekadar ekspresi emosi, tetapi juga aksi politik yang menyampaikan kebenaran.
Bersambung...