• Mulai
  • Sebelumnya
  • 17 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Pengunjung: 22499 / Download: 719
Ukuran Ukuran Ukuran
TANYA JAWAB MASALAH IRFAN

TANYA JAWAB MASALAH IRFAN

pengarang:
Indonesia
TANYA JAWAB MASALAH IRFAN TANYA JAWAB MASALAH IRFAN


Oleh: Team Islam Quest

1
TANYA JAWAB MASALAH IRFAN

DAFTAR ISI

TANYA JAWAB MASALAH IRFAN

DAFTAR ISI

1. Apa hakikat nur Muhammadiyah itu yang galibnya mengemuka dalam bidang Irfan Teoritis?

2. Apa yang dimaksud dengan dzikir? Mana saja yang termasuk jenis dzikir?

3. Apakah melihat (rukyat) Tuhan dengan mata hati itu yang disebut sebagai syuhud qalbu?

4. Apakah hubungan antara kemenangan nyata seorang arif dengan kejadian kiamatnya di dunia ini? Apa yang dimaksud dengan menjadi manifestasi Zat Suci Tuhan?

5. Apakah tidak terdapat kontradiksi antara kondisi ketika Baginda Ali as menyerahkan cincinnya kepada seorang pengemis dan kondisi ketika anak panah dicabut dari kaki Baginda Ali as?

6. Perbedaan Irfan teoritis dan Irfan praktis?

7. Apakah yang dimaksud dengan fana dalam dunia Irfan?

8. Apa yang dimaksud dengan wilâyah takwini dan apa kaitannya dengan para Imam Maksum As?

9. Dalam beberapa buku irfan dan filsafat terdapat pembahasan yang mengulas masalah qaus nuzul wa shu’ud. Tolong jelaskan apa maksud dari dua istilah teknis ini? Dan apa perbedaan di antara keduanya?

10. Apa hubungan antara wahdatul wujud dalam pandangan Ibnu Arabi dan Filsafat Hikmah Mulla Shadra?

11. Apa yang menjadi latar belakang penolakan kaum teolog atas doktrin wahdat al-wujud?

12. Apakah yang dimaksud dengan diktum yang berbunyi “al-majâz qantar al-haqiqah” (sesuatu yang metaforis merupakan jembatan menuju hakikat) dan bagaimana pandangan Islam terkait “cinta metaforis”?

13. Saya menjumpai beberapa istilah teknis “syariat”, “tarikat”, “hakikat” ketika membaca buku-buku akhlak dan irfan, mohon Anda jelaskan beberapa istilah ini?

14. Berilah penjelasan tentang maqâm fana dan baqa.

15. Apa yang dimaksud dengan kedekatan kepada Tuhan (qurb Ilahi)? Bagian-bagian dari kedekatan tersebut? Dan bagaimana dapat menghasilkan kedekatan kepada Tuhan?



2
TANYA JAWAB MASALAH IRFAN

1. Apa hakikat nur Muhammadiyah itu yang galibnya mengemuka dalam bidang Irfan Teoritis?
Hakikat nur Muhammadiyah atau “Hakikat Muhammadiyah” dalam terminologi Irfan adalah entitas permanen Muhammadi yang berada di puncak entitas-entitas permanen (a’yan tsâbitah) dan terealisasi dengan tajalli (manifestasi) unggul Ilahi kemudian menjadi media penampakan seluruh kebaikan dan keberkahan di alam semesta dan keberadaan.

Terminologi ini diadopsi dari sebagian riwayat yang memperkenalkan hakikat nur Muhammadiyah sebagai entitas terunggul dan berada pada puncak kedekatan kepada Allah Swt.

Kebanyakan para arif Muslim membahas masalah ini dan termasuk salah satu rukun Irfan Islam. Tema Nur Muhammadiyah menempati kedudukan istimewa dalam Irfan Teoritis Ibnu Arabi.

Hakikat Muhammadiyah merupakan sebuah terminologi dalam dunia Irfan Islami. Hakikat Muhammadiyah bermakna entifikasi awal dari Zat Ilahi yang menduduki puncak seluruh “entifikasi permanen” (a’yan tsâbitah) dan puncak seluruh entifikasi permanen ini adalah ismu ‘azham (nama-nama teragung) dan himpunan seluruh nama terindah Tuhan. Beranjak dari hakikat ini, seluruh semesta bermunculan dan tampilan seluruh semesta ini disebut juga sebagai haqiqat al-haqâiq. Sesuai dengan keyakinan para arif, hakikat Muhammadiyah secara sempurna memanifestasi dalam diri seorang insan paripurna (kamil); nabi, rasul, wali, yang merupakan cermin dan manifestasi-manifestasi hakikat ini di alam sifla (rendah) dan manifestasi sempurnanya di alam ini adalah Rasulullah Muhammad Saw.[1]

Terdapat banyak riwayat terkait dengan hakikat nur Muhammadi yang sangat berpengaruh dalam membentuk redaksi hakikat Muhammadiyah; karena riwayat tersebut membagi wujud Rasulullah Saw menjadi dua bagian, wujud khalqi (lahir) dan wujud haqqi (batin) dan menempatkannya sangat dekat kepada Haq (Tuhan) dan mahkluk tidak mampu mencerap kesempurnaannya.


Misalnya:
1. “Lii ma’allâhi waqtun la yasa’uni fihi malakun muqarrab wala nabiyyun mursal.”[2] Atau riwayat lain, “Laa yasa’uni fihi ghairu Rabbi.” Aku bersama Tuhan pada waktu-waktu yang (pada waktu itu) tiada malaikat terdekat dan tiada nabi utusan. Atau riwayat lainnya, “Tiada yang memiliki akses (pada waktu itu) selain Tuhanku.”

2. “Ana sayyidun wuldi Adam wala fakhra.”[3] Aku adalah penghulu anak-anak Adam dan hal ini bukan kebanggaan bagiku.

3. “Adamu wa man dunahu tahta liwâi.”[4] Adam dan siapapun yang datang setelahnya semuanya berada di bawah panjiku.

4. “Awwalu maa khalaqallâh nûri.”[5] Yang paling perdana yang diciptakan Allah Swt adalah cahayaku.


Terdapat beberapa riwayat yang mengandung pengertian serupa khususnya riwayat-riwayat yang menunjukkan atas keterdahuluan cahaya Muhammad Saw atas seluruh makhluk. Pada sebagian riwayat lainnya menyinggung kesatuan cahaya Baginda Ali As dan cahaya Rasulullah Saw.[6]

Sesuai dengan pandangan ini, dalil paling utama dan paling benderang atas wujud Allah Swt adalah hakikat Muhammadiyah, lantaran hakikat ini memiliki keunggulan paling tinggi dalam kesatuan dengan Tuhan, dengan keberadaannya maka ia menetapkan wujud Tuhan dan pada batasan yang paling maksimal hakikat Muhammadiyah ini menampilkan apa yang ditunjukkan-Nya (baca: Tuhan).

Hakikat Muhammadiyah sesuai dengan redaksi lain adalah wujud ghaibi Rasulullah Saw yang disebut juga sebagai batin nubuwwah (kenabian) dan disebutkan bahwa hakikat Muhammadiyah ini adalah wilayah batin kenabian. Sejatinya, “wali” merupakan nama Allah dan maqam wilayah adalah lantaran di satu sisi hakikat ini menuju pada Hak, fana dalam Zat-Nya, baqa (abadi) kepada-Nya. Sedangkan kenabian adalah dari sisi lain lantaran hakikat ini menuju ciptaan (khalq) yang bersifat temporal dan suatu waktu kelak akan terputus.

Sesuai dengan keyakinan para arif, seluruh nabi, semenjak Adam hingga Isa (Alaihimussalam) merupakan cermin-cermin hakikat ini. Akan tetapi dengan datangnya Rasulullah Saw, maka seluruh tampilan dan manifestasi sempurna hakikat ini mengejawantah pada diri Muhammad (hakikat Muhammadiyah).

Terjalinnya rajutan batin dan sampainya kepada hakikat ini, merupakan cita dan asa para arif Islam yang merupakan kedekatan paripurna dengan keyakinan Syiah pada masalah wilâyah para Imam Maksum As. Sesuai dengan tuturan para arif, hakikat Muhammadiyah ini, pasca Rasulullah Saw memanifestasi secara paripurna pada diri Baginda Ali As dan para Imam Maksum lainnya. Pada tingkatan selanjutnya mengejewantah pada para arif pewaris para maksum As.

Mayoritas urafa (plural: arif) mengemukakan hal-hal subtil dan sublim terkait dengan masalah ini. Di sini kami akan menyebutkannya secara selayang pandang. Misalnya Syaikh Muhammad Syabistari dalam hal ini bersenandung,

Buwad nur Nabi Khursyid-e A’zham

Gha az Musa padid gha ze A^dam

Ze nurasy syud wilâyat saye Gustar

Masyâriq ba Maghârib syud Barâbar

Wujud-e Auliya cu Udhwand

Ke U kull ast isyan hamcun Juzwand[7]

Cahaya Nabi adalah mentari teragung

Terkadang memendar dari Musa terkadang dari Adam

Dari cahayanya menebar pancaran wilayah

Timur dan Barat menjadi berimbang

Wujud para wali seluruhnya bak anggotanya

Dia adalah keseluruhan dan lainnya adalah bagian darinya


Demikian juga Maulana Rumi secara lebih lugas dalam syair – dalam pandangannya ihwal wahdat al-wujud – menjelaskan perjalanan “hakikat Muhammadiyah” pada batin pada wali dan nabi:

Secara keseluruhan, ia yang datang dan pergi, setiap kurun

Meski bentuk lahirnya sebagai seorang Arab yang memiliki semesta

Bukan reinkarnasi bukan juga titisan, pada hakikat keindahannya

Menjadi pedang dan menjelma menjadi Karrar,[8] pembunuh zaman

Lamat-lamat ucapannya bersenandung Ana al-Haqq dengan gema Ilahi

Ia bukan Manshur yang digantung oleh orang-orang dungu

Rumi tidak berkata-kata kufur dan janganlah mungkir

Orang yang kafir adalah orang yang ingkar dan menjadi penghuni neraka[9]


Terkait dengan latar sejarah konsep ini dalam dunia Irfan teoretis (nazhari) boleh jadi dapat dikatakan Ibnu Faridh, salah seorang arif, yang berbicara tentang hakikat Muhammadiyah ini. Ia dalam kasidah masyhurnya (Taiyyah Kubrâ) membahas masalah ini dan menggubah hakikat Muhammadiyah dalam bentuk syair sebagaimana berikut:

“Kendati aku adalah anak Adam pada alam lahir akan tetapi (sejatinya) aku adalah ayah bagi Adam. Aku masih berada dalam buaian sementara para nabi telah menjadi pengikut dan pendukungku. Lempengan hakikatku sempurna pada semuanya. Sebelum aku menyusui dan sebelum aku menerima taklif secara lahir menjadi seorang mukallaf, (menjalani) syariatku yang menjelaskan karakter dan akhlakku, aku (telah) menjadi penutup seluruh syariat.[10]

Setelah Ibnu Faridh kemudian muncul Ibnu Arabi yang secara luas menguraikan masalah ini. Dan, salah satu rukun Irfan Ibnu Arabi adalah “hakikat Muhammadiyah” sedemikian sehingga terminologi ini secara asasi dikenal sebagai salah satu terminologi sentral Irfan Ibnu Arabi. Kendati terdapat para arif lainnya yang mengemukakan dan membahas masalah ini dengan redaksi dan bahasa yang berbeda.

Irfan Islami yang tidak mengangkat pembahasan “hakikat Muhammadiyah” dan “insan kamil” yang merupakan wadah hakikat ini, maka Irfan Islami tersebut hampa kandungannya. Sebagaimana tidak mungkin menjelaskan hakikat-hakikat intrinsik kenabian dan imamah tanpa membahas kedua masalah ini.

Kiranya cukup sampai di sini kami membahas masalah ini dan bagi Anda yang tertarik untuk menelaah dan mengkajinya lebih jeluk, kami persilahkan Anda untuk merujuk pada buku-buku Irfan Nazhari utamanya Irfan Teoritis Ibnu Arabi.


Catatan Kaki:
[1]. Dâneshnâme Jahân-e Islâm, Nasyr Bunyad-e Daira al-Ma’arif Islami, huruf ha.

[2]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 18, hal. 360, Muasssah al-Wafa, Beirut.

[3]. Ibid, jil. 4, hal. 198.

[4]. Ibid, jil. 16, hal. 403.

[5]. Ibid, jil. 1, hal. 97.

[6]. Di antararnya “Khuliqtu Ana wa ‘Ali min Nur Wâhid.” Al-Amali Shaduq, hal. 236, Intisyarat Kitabkhane Islamiyah.

[7]. Muqaddamah Masyâriq al-Dirâri, Jalaluddin Asytiyani, hal. 33, Intisyarat-e Daftar Tablighat-e Islami.

[8]. Salah satu gelar Imam Ali yang bermakna, menerjang dan menyerang serta pantang mundur sebelum mendapatkan mangsanya.

[9]. Muqadddemeh Guzideh Ghazaliyât Syams, Syafi’i Kadkani.

[10]. Ibnu Faridh, Diwân Ibn Fâridh, hal. 73, Dar al-Kitab al-‘Ilmiyah, Beirut.



3
TANYA JAWAB MASALAH IRFAN

2. Apa yang dimaksud dengan dzikir? Mana saja yang termasuk jenis dzikir?
Apa yang dimaksud dengan dzikir? Ada berapa jenis dzikir? Apakah mengamalkan dzikir harus sesuai dengan makam dan kedudukan spiritual seseorang? Apakah dzikir nama-nama Tuhan berpengaruh pada manusia untuk memasuki alam ghaib?

Dzikir atau mengingat Tuhan memiliki banyak pengaruh positif dan konstruktif pada kejiwaan dan moral manusia dimana mengingat Tuhan (dzikrullâh) bagi hamba adalah pencerah hati, penenang kalbu, takut dari (maksiat kepada) Tuhan, pengampun dosa, membuahkan ilmu dan kebijaksanaan adalah beberapa pengaruh yang dituai dari zikir. Biasanya, dzikir dibagi menjadi dzikir kalbu dan dzikir lisan dimana dzikir lisan disebut sebagai "wirid." Dzikir dalam artian sebenarnya bermakna mengingat dan dari sudut pandang ini, setiap eksisten, tergantung pada tingkatan wujudnya, berada pada tingkatan khusus zikir dan mengingat Tuhan.

Setiap manusia, sesuai dengan teraju pengetahuan dan makrifatnya, terhadap sumbernya merupakan tingkatan dari zikir kepada Tuhan atau melupakan identitas aslinya yang juga merupakan tingkatan lain dari zikir.Dengan demikian manusia paripurna (insan kamil) merupakan jelmaan dan manifestasi puncak dalam mengingat Tuhan (zikruLlah) dimana salah satu nama Rasulullah Saw adalah dzikir.

Wirid atau mengingat Tuhan baik dalam syariat juga dalam Irfan sangat mendapatkan perhatian khusus. Tujuan dari wirid ini adalah untuk mengingatkan manusia kepada Tuhan dan menghidupkan kalbu dengan mengingat-Nya. Sepanjang dzikir dan mengingat ini berlangsung maka pelbagai tirai dan hijab antara dzâkir (yang mengingat) dan madzkûr (yang diingat) akan tersingkap. Karena itu, jalan dzikir-dzikir dalam Irfan juga merupakan sebuah pendahuluan untuk sampai pada tujuan besar yaitu tersedianya kapasitas yang diperlukan untuk menyingkirkan pelbagai hijab alam dunia (katsrat) dan kegelapan dalam diri seorang salik (pejalan yang meniti lintasan menuju Tuhan).

Dzikir bermakna mengingat yang dialirkan melalui lisan, melalui kidung, pujian, doa dan wirid dan sebagainya.[1] Dalam tuturan-tuturan para arif, zikir bermakna mendisiplikan amalan, menjaga, taat, shalat, Qur'an, dan seterusnya.[2]

Salah satu jelmaan teriindah hubungan kasih dengan Tuhan dan merupakan jalan fundamental sair dan suluk adalah dzikir. Dzikirullah (mengingat Tuhan) adalah mengingat entitas wujud manusia yang terbatas dan berada dalam lintasan mengingat nama-nama Tuhan dan kontinuitasnya. Mengingat Tuhan akan mengeliminir segala dosa dari hati manusia; lantaran lalai dan lupa dari mengingat Tuhan akan menodai dan melegamkan hati manusia. Berangkat dari sini, salah satu risalah para wali Allah dan kitab-kitab samawi adalah melenyapkan kelegaman dan noda ini. Atas dasar itu, "dzikir" disebut sebagai salah satu sifat Rasulullah Saw dan sebuah nama dari nama-nama al-Qur'an. Sebagaimana al-Qur'an menyinggung sifat dzikr ini bagi Rasulullah Saw, "Qad anzalaLlâh ilaikum dzikrâ Rasulân yatlu 'alaikum Ayatillâh…" (Sesungguhnya Allah telah menurunkan peringatan kepadamu, dan (mengutus) seorang rasul yang membacakan kepadamu ayat-ayat Allah, Qs. Thalaq [65]:10-11)

Demikian juga salah satu nama al-Qur'an adalah dzikir sebagaimana hal itu dinyatakan dalam, "Inna nahnu nazzalna al-dzikra wa inna lahu lahafizhun." (Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. Qs. Al-Hijr [15]:9)

Alasan penamaan Rasulullah Saw dan al-Qur'an sebagai dzikir lantaran keduanya mengingatkan manusia kepada Allah Swt; lantaran mengingatkan bergantung pada pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dan para nabi dan kitab-kitab samawi inilah yang telah berhasil menyingkirkan tirai kelalaian dan kelupaan dari hati mereka dan memendarkan cahaya Ilahi atasnya. Karena itu, mengingat Tuhan akan melesakkan manusia kepada puncak spiritual meninggalkan penjara dunia dan menghidupkan harapan pada manusia dan melenyapkan segala putus asa dan putus harapan mansia atas kesempitan kehidupan dunia materi dan kalkulasi-kalkulasi manusiawi.


Bagian dan Tingkatan Zikir
Mengingat bahwa zikir merupakan salah satu ibadah kepada Tuhan; seperti ibadah lainnya maka ia terbagi menjadi beberapa bagian: seperti zikir umum dan zikir khusus; zikir umum tidak terkhusus pada satu makhluk tertentu, melainkan dapat dijumpai pada segala sesuatu; artinya seluruh entitas dan makhluk berzikir kepada Allah Swt. Zikir khusus, dilakukan utamanya oleh jenis tertentu dari makhluk-makhluk; seperti zikir khusus malaikat atau khusus manusia. Zikir terkadang bermuara dari hati dan terkadang bersumber dari lisan. Akan tetapi pembagian ini tidak eksklusif terbatas pada manusia; lantaran entitas-entitas lainnya yang memiliki inteleksi berbeda terkadang berzikir dengan hati mereka dan terkadang berzikir mengingat Allah dengan lisan yang terkhusus buat mereka yaitu zikir lisannya.


Imam Muhammad Ghazali dalam Kimiyâ Sa'âdat berkata bahwa zikir memiliki empat derajat:
Pertama: Dengan lisan dan hati lalai dari apa yang diungkapkan oleh lisan; pengaruh dari jenis zikir semacam ini lemah. Namun tetap memberikan pengaruh. Karena lisan yang sibuk melayani (berzikir) masih lebih baik ketimbang lisan yang menganggur atau berkata-kata tanpa ada makna. Sekaitan dengan itu, Imam Khomeini Ra terkait dengan zikir lisan berkata, "Kendati mengingat Tuhan (dzikrullah) merupakan salah satu sifat hati dan apabila kalbu berzikir maka seluru faidah dan manfaat bagi orang yang berzikir akan ia peroleh. Akan tetapi lebih baik zikir kalbu yang mengekor pada zikir lisan. Sesempurna dan seutama tingkatan zikir adalah zikir yang dilakukan pada sumber-sumber tingkatan kemanusiaan dan efeknya merajalela terhadap lahir dan batin, terang-terangan atau diam-diam… Zikir lisan juga merupakan suatu ha yang terpuji dan ideal dan pada akhirnya akan mengantarkan manusia kepada hakikat. Karena itu, dalam riwayat dan hadis juga banyak memuji zikir lisan ini.[3]

Kedua, zikir yang ada dalam hati namun tidak bersemayam di dalamnya.

Ketiga, zikir hati yang bersemayam dalam hati yang diraup dengan usahanya memanifestasikan zikir itu dalam setiap kegiatannya.

Keempat, yang berkuasa dalam hati dan penguasa itu adalah Allah Swt, bukan lagi zikir.[4]


Pengaruh Zikir
Mengingat Tuhan (dzikrullah) adalah hubungan spiritual seorang hamba pesalik dengan Rabb Malik. Hubungan ini memiliki efek dan pengaruh yang sangat menakjubkan dimana masing-masing dari efek tersebut sangat berperan dalam mengerangka dan mengonstruksi mental dan moral manusia. Sebagian efek dan pengaruh penting tersebut adalah sebagai berikut:


1. Mengingat Tuhan bagi hamba
Efek pertama mengingat Tuhan dan dzikrullâh adalah Tuhan juga mengingat manusia, “Fadzkuruni adzkurkum..” (Ingatlah aku, Aku akan mengingatmu, Qs. Al-Baqarah [2]:152) Karena itu, pada ayat ini zikir Tuhan kepada hamba bersyarat pada zikir hamba kepada Tuhan. Dari ayat ini satu poin penting yang dapat dipahami yaitu dua gambaran zikir dari sisi Tuhan: Pertama, zikir umum. Kedua, zikir khusus.

Zikir umum adalah petunjuk umum Ilahi yang mencakup seluruh makhluk dan entitas serta tidak terkhusus pada kelompok tertentu dan buktinya zikir umum terdapat di seantero alam. Zikir tersebut merupakan anugerah dan pemberian beragam Tuhan kepada seluruh makhluk. Dan zikir ini yang merupakan emanasi intens Ilahi yang sekali-kali tidak akan terputus. Akan tetapi zikir khusus terkait dengan para hamba khusus Tuhan dan dzâkir (pengingat) dan satu model perhatian dan kepedulian (inâyah) dari sisi Tuhan.


2. Penerang hati
Allah Swt menjadikan zikir kepadanya sebagai penerang dan hidupnya hati. Imam Ali As dalam nasihatnya kepada Imam Hasan Mujtaba dalam suratnya kepada putranya menulis, Bahwa sebelum segala sesuatunya hendaknya memikirkan bagaimana menghidupkan hati: “Fainni ushika bitaqwallâhi Ya Bunayya! Wa Luzumu amrih wa imâratun qalbik bidzikrih.” Aku menasihatkan kepadamu nanda untuk bertakwa dan menjalankan perintah-perintah Tuhan, menghidupkan hati dan ruh dengan berzikir kepada-Nya…”[5]

Satu faktor yang paling berpengaruh mengobati matinya hati dan untuk menghidupkannya kembali adalah berlindung dengan berzikir kepada Allah Swt. Dzikrullaâ (mengingat Allah) adalah cahaya dan intens melakukan zikir akan menyelamatkan hati dari kegelapan, keputus asaan dan kekerasan hati. Serta memberikan kehangatan dan keceriaan padanya. Hasil zikir dapat kita jumpai pada tuturan Imam Ali As: InnaLlaha ta’ala ja’ala al-dzikr jilâ’an lilqulûb tusma’u bihi ba’da waqra dan tubshir bih ba’d ‘usywat wa tanqâdu bihi ba’d al-mu’ânid.” Allah Swt menjadikan zikir (kepada-Nya) sebagai penerang hati dan hasil (dari zikir) adalah telinga akan mendengar setelah ketulian, mata akan melihat setelah kebutaan, dan melalui zikir hati akan tenang dan taat setelah pembangkangan dan permusuhan.”[6]


3. Ketentraman Hati
Pengaruh positif ketiga mengingat Allah adalah ketentraman hati manusia. Sesuai dengan ungkapan al-Qur’an, tuma’ninah dan sukun al-qalb adalah salah satu pengaruh lansung dzikrullah, “Alladzina A^manû tathmainnu qulubûhum bidzikriLlâh ala bidzikriLlâh tathmainnu al-qulûb.” (Mereka adalah orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram, Qs. Al-Ra’ad [13]:28)

Mengingat Tuhan merupakan obat maknawi segala jenis stress dan depresi dimana dalam pandangan para psikolog sebab-sebab stress dan depresi adalah: takut, masa depan yang suram, ketakutan untuk kalah, ketakutan terhadap penyakit dan kerisauan-kerisauan terhadap faktor-faktor natural. Terlepas dari depresi, tuntutan untuk hidup tentram dan tenang berakar pada fitrah manusia dan pada nurani manusia terpendam tuntutan untuk hidup tentram dan kebanyakan aktifitas manusia sejatinya untuk menjawab seruan Ilahiah fitrah ini.

Tatkala manusia menengok kehidupan pribadi dan kehidupan orang lain di sekeliling kita, kita saksikan bahwa kebanyakan tujuan perbuatan kita adalah untuk sampai pada mutiara berharga berupa ketentraman ini . Artinya manusia sepanjang hidupnya, selama hayat di kandung badan, berupaya untuk sampai pada ketenangan dan ketentraman (serenitas). Pada poin ini tidak terdapat perbedaan di antara manusia, akan tetapi perbedaan mencuat ke permukaan tatkala ktia ingin menentukan dan mengidentifikasi apa saja yang mendatangkan ketenangan dalam kehidupan manusia. Terdapat banyak orang memandang bahwa mutiara berharga ini terpendam pada mengumpulkan sebanyak-banyaknya harta dan hidup sejahterah. Sebagian lainnnya meyakini terkandung pada status sosial dan ketenaran dan seterusnya. Akan tetapi al-Qur’an menandaskan bahwa satu-satunya jalan untuk meraup ketenangan adalah dengan mengingat Allah Swt. “ala bidzikriLlâh tathmainnu al-qulûb.” Dan terkait dengan shalat, Allah Swt berfirman, “Aqimisshalat lidzkri.” (Tunaikanlah shalat untuk mengingat-Ku, Qs. Thaha [20]:14)


4. Takut kepada Allah
Di antara pengaruh positif dan konstruktif lainnya mengingat Allah Swt adalah berseminya ketakwaan dan sifat takut kepada Allah Swt. Al-Qur’an menandaskan, “Innama al-Mu’minuna alladzina idzâ dzakaraLlâhu wajilat qulûbûhum…” (Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka, Qs. Al-Anfal [8]:2)


5. Pengampunan dosa-dosa
Di antara pengaruh dan buah ukhrawi mengingat Allah Swt adalah ampunan Ilahi yang akan diperoleh orang-orang yang mengingat Tuhan (dzâkirun billah) dan di samping itu, Allah Swt menjanjian ganjaran dan pahala besar kepada mereka. Al-Qur’an dalam hal ini menyatakan, “Wa al-DzakirinaLlâh katsiran wa al-Dzakirâtu a’addaLlâh lahum maghfiratan wa ajran ‘azhima.” (Dan Laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar, Qs. Al-Ahzab [33]:35)

Allah Swt menjadikan pelbagai amalan dan jalan sebagai media pengampunan para hamba. Dan siapa saja dengan media tersebut memohon ampunan. Salah satu media tersebut adalah mengingat Allah Swt.


6. Menuai Hikmah dan Ilmu
Salah satu pengaruh positif lain dari zikir adalah kematangan akal, kesempurnaan dan kebijaksanaan (wisdom). Zikir menyebabkan semakin bertambahnya fakultas pemahaman manusia dan kematangan pemikiran. Jiwa manusia memiliki kelayakan untuk merefleksikan hakikat-hakikat ghaib pada dirinya dan Allah Swt akan memberikan pertolongan pada pikiran dan akal orang-orang ini. Realitas ini dituturkan oleh Imam Ali As dalam sabdanya, “Allah Swt – dengan segala nikmatnya yang agung – pada setiap masa dan waktu ketika tidak ada nabi, memiliki orang-orang yang berbisik-bisik dengan-Nya dalam pikiran-pikiran mereka, dan berbicara melalui pikiran mereka. Mereka adalah pelita hidayah yang menghidupkan dengan cahaya kesadaran pada telinga, mata dan hati.” [7]


Zikir dan Kedudukan Spiritual Orang-orang Berzikir
Mengingat bahwa zikir terdiri dari dua makna ingat (mengingat) dan wirid yaitu mengulang-ngulang nama-nama Allah – baik secara lisan atau non-lisan –karena itu dalam pembahasan tingkatan zikir dan hubungannya dengan kedudukan spiritual orang-orang berzikir (dzâkirun) juga harus dibahas pada dua makam ini.

Terkait dengan zikir yang bermakna mengingat harus dikatakan bahwa setiap manusia dan setiap pesalik dalam proses zikirnya, sejatinya sibuk mengingat lintasan perjalanan yang bermula dari Tuhan sampai pada “asfal al-safilin” (kedudukan sedimenter). Artinya salik mengingat lintasan perjalanan ini sebagai jalan kembali kepada Tuhan dan proses mengingat ini disertai dengan gelombang kondisi maknawi dan irfani yang terkadang disebut sebagai mengingat sahabat, tanah tumpah darah dan mengingat masa perjumpaan; lantaran ruh manusia adalah unggas arasy yang terpisah dan terasing di dunia dan secara perlahan mengingat kembali kediaman aslinya dan bergerak mudik ke arahnya. Jalur mudik ini adalah melalui jalur dzikruLlah. Seseorang mengingat sesuatu yang sebelumnya ia lihat dan kini telah dilupakannya. Demikian juga dalam al-Qur’an kandungan seperti ini disebutkan, orang-orang yang melupakan Tuhan sesungguhnya telah melupakan diriya sendiri. “Wala takunu kalladzîna nasuLlâh faansahum anfûsahum.” (Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Qs. Al-Hasyr [59]:19)

Karena itu, shalat, al-Qur;’an, nabi dan urusan lainnya yang semuanya berada dalam daur dan siklus zikir. Dan tatkala beberapa hal ini diartikan sebagai zikir maka semuanya merupakan hikayat dari mengingat ini dan karena itu mereka juga disebut sebagai zikir.

Dari sudut pandang ini jelas bahwa setiap orang berdiri di tingkatan khusus zikir. Dan boleh jadi orang-orang yang sama sekali tidak memiliki pengaruh dari hakikat Ilahianya dan tidak mengingat hubungan fitrawinya dengan Tuhan kemudian mencukupkan diri semata-mata dengan zikir lisan.

Sebagian lainnya menyadari identitas Ilahiahnya ini dan menuntut untuk mudik kepada Tuhan kemudian bergerak di jalur zikir, sedemikian ia bergerak sehingga antara dzâkir (yang mengingat) dan madzkûr (yang diingat) menjadi satu. Karena itu, dari sudut pandang ini setiap orang dapat mengkhususkan dirinya pada makam khusus zikir tertentu.


Akan tetapi terkait dengan zikir yang bermakna wirid dan mengulang-ngulang nama-nama Allah harus dikatakan bahwa masalah ini mendapatkan sorotan dan perhatian dari dua dimensi berbeda dalam Islam:
1. Dimensi syariat

2. Dimensi irfan dan tarekat


1.Pada dimensi syariat kita dapat menyinggung banyak hadis yang di dalamnya menganjurkan zikir-zikir dan wirid-wirid suci dimana dengan melakukan hal tersebut akan menyebabkan kemajuan maknawi dan taqarrub kepada Allah Swt dan akan menuai hasil yang diharapkan oleh Sang Pemilik Syariat (Syâre’). Dari sisi ini, seluruh zikir dan wirid memiliki nilai ideal tersendiri. Barang siapa pada setiap makam dan tingkatan maknawi, ia dapat menyebutkan zikir-zikir ini. Misalnya zikir shalawat yang banyak dianjurkan atau zikir istighfar dan zikir la haula wa la quwwata illa biLlah dan seterusnya yang disebutkan pada kitab-kitab doa dan riwayat.

Zikir ini pada umumnya mengikut pada kondisi-kondisi tertentu dan tipikal yang dilakukan oleh para ahli irfan (urafa). Zikir juga ini tidak terkhusus pada individu atau kelompok atau makam-makam spiritual tertentu dan seluruh zikir ini sejatinya mempersiapkan hati untuk melakukan mikraj maknawi dan perjalanan batin mudik kepada Tuhan yang dimulai pada seseorang.

2. Akan tetapi dari dimensi irfani umumnya pada sebagian aturan-aturan praktis (dastur al-‘amal) irfani kita saksikan seorang salik dianjurkan untuk melakukan sebuah zikir tertentu pada bilangan tertentu, hari tertentu (pada satu putaran empat puluh hari) dan menuai hasil-hasil mental dan kejiwaan tertentu. Hal yang patut mendapat perhatian dalam masalah ini adalah bahwa aturan-aturan praktis irfani ini memerlukan guru dan izin serta tidak dapat dianjurkan kepada setiap orang. Akan tetapi, pada tingkatan ini, setiap zikir dan wirid sesuai dengan tingkatan spiritual dan makam salik serta sekaligus akan menjadi penghalang-penghalang pada tingkatan tertentu baginya. Karena itu, seyogyanya ada seorang guru sempurna, sesuai dengan ilmunya, yang memotivasi murid dan salik dengan program tertentu dari zikir-zikir dan wirid-wirid. Sejatinya zikir dan wirid ini akan menjadi satu media spiritual yang diperoleh dari pengaruh-pengaruh zikir-zikir ini.

Dari sudut pandang tarekat, wirid-wirid dan zikir-zikir digunakan sebagai satu faktor pembantu, hingga tingkatan-tingkatan mikraj spiritual atau masuknya pada makam-makam ghaibi dan maknawi bagi seorang salik yang telah sampai pada tingkatan tertentu dari zikir dalam artian mengingat alam-alam maknawi.

Di sebutkan bahwa terkadang pada sebagian kitab-kitab dinukil hal-hal dan aturan-aturan praktis yang mencakup wirid-wirid tertentu untuk mengakses urusan-urusan metafisis dan ghaib. Melakukan wirid-wirid seperti ini tanpa perantara seorang guru dan arif akan menyebabkan kebingungan salik; karena itu memiliki guru sempurna dan penyambung dalam perjalanan ini merupakan sebuah hal yang harus dan niscaya dipenuhi untuk meniti jalan mudik kepada Tuhan.

Catatan Kaki:
[1]. Gul Babai Sa’idi, Farhangg-e Isthilâhât-e Ibnu Arabi, hal. 228, Intisyarat-e Syafi’i, Cetakan Kedua, Teheran, 1384.

[2]. Sayid Ja’far Sajjadi, Farhangg-e Isthilâhât-e ‘Irfâni, hal. 402, Intsiyarat-e Thahuri, Cetakan Keempat, Teheran, 1478.

[3]. Imam Khomeini, Syarh Cihil Hadits, hal. 292-293, Muassasah Nasyr Atsar Imam Khomeini, Teheran, Cetakan 28, 1378.

[4]. Ghazali, Kimiyâ Sa’âdat, jil. 1, hal. 254, Intisyarat-e Ilmi wa Farhanggi, Teheran, Cetakan Ketuju, 1375.

[5]. Nahj al-Balâgha, Surat 31

[6]. Nahj al-Balâgha, Khutbah 222.

[7]. Nahj al-Balâgha, Khutbah 222.

4
TANYA JAWAB MASALAH IRFAN

3. Apakah melihat (rukyat) Tuhan dengan mata hati itu yang disebut sebagai syuhud qalbu?
Apakah bashirat (penyaksian batin) dalam hadis Amirulmukminin Ali bin Abi Thalib As yang menyaksikan Tuhan dengan mata hati (bashirat) itu berbeda dengan syuhud qalbi? Apa hubungan antara kalimat tayyibah "laa ilaha illaLah" (Tiada Tuhan selain Allah) dengan syuhud ini (dengan asumsi bahwa seluruh orang tidak dapat sampai pada tingkatan syuhud qalbi ini sebagaimana Nabi Musa As, apakah kalimat tayyibah ini sebuah ikrar dan ikatan janji yang harus dicapai oleh manusia tatkala ia menyebutkannya)?

Menyaksikan Tuhan dengan mata hati (bashirat) yang mengemuka dalam sabda Imam Ali As, dari sudut pandang teologi adalah masalah yang bertalian dengan masalah rukyat Tuhan (melihat). Sesuai dengan pandangan yang benar dalam hal ini, menyaksikan dengan mata indrawi merupakan perkara yang berbeda dengan menyaksikan dan manifestasi qalbi (qalbu). Menyaksikan Tuhan dengan mata indrawi merupakan perkara yang mustahil. Namun menyaksikan dengan mata hati (bashirat) atau liqâuLlâh merupakan perkara yang terealisasi pada makam wali Allah.

Adapun yang dimaksud dengan rukyat (menyaksikan) di sini adalah menyaksikan manifestasi Tuhan pada pelbagai jelmaan dan penampakan-penampakan nama-nama dan sifat Zat Ilahi bukan menyaksikan kedalaman Zat-Nya.

Menyaksikan (rukyat) ini adalah makrifat syuhudi (penyaksian intuitif) terhadap Allah Swt yang dibahasakan dalam lisan riwayat sebagai penyaksian hati (qalbu).

Makrifat syuhudi atau qalbi terkait dengan Alla hSwt adalah syuhud terhadap pelbagai manifestasi Tuhan, dalam pembahasan disiplin ilmu Irfan memiliki ragam tingkatan dan puncaknya berujung pada kefanaan dan kekekalan terhadap manifestasi Zat Ilahi.


Di sini pertanyaan yang mengemuka adalah apa hubungan antara masalah syuhud atau penyaksian mata hati Tuhan dengan kandungan kalimat tayyibah "lailaha illaLlah" dan tauhid wujudi?
Jawaban atas pertanyaan ini adalah bahwa neraca keikhlasan dalam tauhid dan kesaksian (syahadah) bahwa tiada yang patut disembah selain Tuhan, harus bertitik-tolak dari pengetahuan sempurna, bukan semata-mata beranjak dari taklid dan ungkapan ekspresional lisan belaka.

Tingkatan tauhid praktis pada setiap orang bergantung pada neraca penafian selain Tuhan (laa ilaha) dan penetapan "illaLlah" telah mengakar dan terealisir dalam dirinya. Dengan kata lain, hanya tatkala ikhlas sedemikian dalam tingkatan tauhid telah terwujud maka manifestasi-manifestasi Ilahi akan menjelma dalam hati seorang salik (pejalan dan pelancong ruhani).

Musyahadah (menyaksikan) Tuhan dengan mata hati yang mengemuka dalam sabda Baginda Ali As dari sudut pandang teologis adalah sebuah pembahasan yang termasuk dalam pembahasan rukyat Tuhan (melihat Tuhan). Pembahasan "rukyat" merupakan masalah yang telah mengedepan pada masa awal-awal kemunculan Islam di antara para teolog dan banyak pendapat yang dilontarkan terkait dengan masalah ini.[1]

Dalam al-Qur'an, banyak ayat yang menyebutkan redaksi "liqauLlah" dan memandang wajah Tuhan. Pada kebanyakan kitab-kitab hadis juga terdapat pembahasan mandiri yang mengkhususkan pembahasan rukyat. Penetapan dan penafian rukyat juga banyak disebutkan dalam sebagian riwayat. Dengan demikian, banyak pendapat dan pandangan yang mengemuka ihwal masalah ini di antara mazhab Islam. Akan tetapi rukyat qalbi atau liqauLlah merupakan perkara yang terealisir pada makam para wali sempurna Tuhan dan yang dimaksud dengan rukyat d sini adalah tajalli dan manifestasi Tuhan pada pelbagai jelmaan dan penampakan nama-nama dan sifat zati Tuhan bukan rukyat puncak kedalaman (kunhi) Zat-Nya.

Rukyat sedemikian popular disebut sebagai syuhud (penyaksian intuitif) terhadap Allah Swt yang dinyatakan dalam lisan riwayat sebagai rukyat qalbi (penyaksian mata hati). Sebagaimana hal tersebut dinukil dari Amirulmukminin As yang bersabda: Ma kuntu a'bud Rabban lam arahu. (Aku tidak menyembah Tuhan yang tidak aku lihat). (Dza'lab) berkata dan bagaimana Anda melihatnya? Katanya: Wailaka Laa Tudrikuhu al-'Uyûn fi Musyahâdati al-Abshar wa Lakin ra'athu al-Qulûb bihaqâiq al-iman (Celakalah engkau! Mata-mata tidak dapat menyaksikannya. Namun hati dapat menggapai dan menyaksikannya dengan kebenaran iman)"[2]

Makrifat qalbi terhadap Tuhan adalah syuhud (penyaksian intuitif) terhadap segala manifestasi dan tajalli Tuhan. Hal ini memiliki ragam tingkatan dalam pembahasan-pembahasan Irfan dan puncak perjalanan (suluk) yaitu fana (kefanaan) dan baqa (kekekalan) berujung pada manifestasi dan tajalli Zati Tuhan.

Klasifikasi yang cukup popular terkait dengan tingkatan-tingkatan tajalli Tuhan adalah sebagai berikut: Pembagian tajalli menjadi tajalli zati, sifati dan af'ali. Tajalli zati yang merupakan tingkatan tertinggi tajalli juga terdiri dari dua jenis; tajalli rububiyat dan tajalli uluhiyyat.[3]

Sesuai dengan penjelasan para arif, tajalli yang terjadi atas Nabi Musa di gunung Thur adalah tajalli rububiyat bukan tajalli uluhiyat; karena syarat terjadinya tajalli uluhiyyat adalah ananiyah (Ego) hamba secara keseluruhan telah lebur dan sirna (fana) dan apabila masih ada sifat ananiyah (keakuan) dalam diri seorang hamba maka syuhud uluhuiyyah tidak akan mungkin tercapai.

Dengan penafsiran ini harus dikatakan bahwa: kendati rukyat bashari, melihat Tuhan dengan mata indrawi adalah sesuatu yang mustahil, akan tetapi rukyat qalbi (melihat Tuhan dengan mata hati dan mata batin) yang bermakna syuhud (menyaksikan dengan mata hati) Tuhan pada pelbagai tajalli perbuatan-perbuatan, sifat-sifat dan zat-zat-Nya bukanlah suatu hal yang mustahil. Artinya bahwa syuhud zati pada makam uluhiyyah tidak akan pernah dapat tercapai kecuali dengan sirna dan leburnya zat seorang hamba.

Karena itu, syuhud qalbi memiliki ragam tingkatan yang nampak dan memanifestasi pada suluk (perjalanan) dan makam-makam irfani. Akan tetapi tajalli uluhiyya zat Tuhan tidak dapat tergapai kecuali dengan tercerabutnya keberadaan seorang salik (pejalan). Kendati sebagian hijab dan tirai zhulmani (kegelapan) telah terangkat. Karena itu, ungkapan "lan tarâni." (Engkau tidak akan pernah melihat-Ku) Tidak menafikan rukyat qalbi secara mutlak, sebagaimana sesuai dengan para arif dimana Nabi Saw adalah pemilik penyingkapan sempurna dan tajalli zati uluhiyah termanifestasi pada diri Rasulullah Saw.

Ibnu Arabi dalam hal ini berkata, "Tajalli zat terdiri dari dua jenis. Tajalli rububiyat dan tajalli uluhiyyah; Tajalli rububiyah adalah tajallli yang terjadi atas Nabi Musa As di bukit Thur, eksistensinya masih tersisa kendati gunung telah sirna dan Nabi Musa As sendiri pingsang, akan tetapi tajalli uluhiyyah terkhusus untuk Nabi Muhammad Saw dimana akibat tajalli ini, keberadaannya telah lebur dan sirna dalam zat uluhiyyat sedemikian sehingga diwahyukan kepadanya, "Orang-orang yang berbaiat kepadamu sesungguhnya berbaiat kepada Tuhan."[4]


Di sini sebuah pertanyaan mengedapan bahwa apa hubungan yang terjalin antara masalah syuhud atau rukyat qalbi Tuhan dan kandungan kalimat tayyibah lailaha illaLâh dan tauhid?
Jawaban dari pertanyaan ini dengan memperhatikan apa yang telah dijelaskan di atas akan menjadi jelas. Manusia dapat melewati seluruh tingkatan tajalli, baik itu tajalli seluruh perbuatan, sifat dan zat. Hal ini sepenuhnya bergantung pada seberapa besar ia menafikan keberadaannya. Dengan sampainya ia pada tauhid perbuatan, sifat dan zat maka telah ia sampai pada kesempurnaan praktis, sebuah tingkatan tajalli akan termanifestasi baginya. Apabila masih tersisa keberadaannya pada perjalanannya menuju Tuhan maka ia tidak akan pernah mencicipi lezatnya tajalli Tuhan dalam dirinya.

Karena itu, dari sudut pandang praktis, neraca keikhlasan dalam tauhid dan kesaksian (syahadah) bahwa tiada tuhan dan sembahan selain Allah, harus bersumber dari makrifat yang sebenarnya bukan sekedar bertitik tolak dari taklid dan ungkapan ekspresional bahasa lisan (lafzi). Dan tingkatan tauhid praktis pada setiap orang bergantung sepenuhnya pada seberapa besar ia menafikan selain Allah (ma siwaLlâh) "lailaha" dan menetapkan "illaLlâh" pada dirinya. Dengan kata lain, bilamana ikhlas sedemikian terealisir pada tingkatan tauhid maka pelbagai tajalli Tuhan akan merangsek masuk ke dalam jiwa seorang salik (pejalan).

Sebagaimana tingkatan tertinggi tauhid adalah tauhid wujudi dimana dalam tauhid wujudi asas keberadaan dan eksistensi selain Tuhan ternafikan (wahdat al-Wujud para arif), pada puncaknya, selaras dengan tingkatan tertinggi tajalli yang terjelma setelah lebur dan sirnanya ananiyah dan keberadaan seorang hamba, sebagaimana hal ini telah dijelaskan pada pembahasan tajalli zati.

Karena itu, makam syuhud qalbi Tuhan merupakan tujuan jauh dalam lintasan manusia meniti kesempurnaan yang tidak dapat dipetik hanya melalui penalaran dan argumentasi, melainkan lintasan gerakan eksistensial dan eksatoligikal manusia yang menyadari tujuan ini, sebagaimana al-Qur'an menandaskan, "Yaa Ayyuhal Insan innaka kadihun ila rabbika kadhan famulaqih." (Hai manusia, sesungguhnya kamu menuju kepada Tuhan-mu dengan kerja dan usaha yang sungguh-sungguh, maka kamu pasti akan menjumpai-Nya, Qs. Al-Insyiqaq [84]:6) [IQuest]


Catatan Kaki:
[1]. Dairât al-Ma'âif Islâmi, jil. 14, hal. 589 dan 590, Nasyr-e Markaz Dairat al-Ma'arif Buzurg Islami, cetakan pertama, 1385.

[2]. Al-Kâfi, jil. 1, hal. 97, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1365.

[3]. Dairât al-Ma'âif Islâmi, jil. 14, hal. 589 dan 590, Nasyr-e Markaz Dairat al-Ma'arif Buzurg Islami, cetakan pertama, 1385.

[4]. Rasâil Ibnu 'Arabi, Risalah Al-Gutsiyah, hal. 29, Pengantar dan Editor, Mill Herawi, Intisyarat-e Maula, Teheran, 1367d.

5
TANYA JAWAB MASALAH IRFAN

4. Apakah hubungan antara kemenangan nyata seorang arif dengan kejadian kiamatnya di dunia ini? Apa yang dimaksud dengan menjadi manifestasi Zat Suci Tuhan?
1. Kemenangan nyata yang bersesuaian dengan manifestasi suatu sifat Ilahi, dari satu sisi berkaitan dengan pembahasan wilayah umum Ilahi dan kefanaan.

Dan dengan menjabarkan macam-macam wilayah Ilahi, empat tahap perjalanan (suluk) para urafa, tingkatan fana, dan tahapan kiamat personal (kiamat yang dialami oleh setiap orang) akan menjadi jelas bahwa kemenangan nyata bersesuaian atau merupakan hasil dari manifestasi tauhid perbuatan dan sifat Tuhan.

Pada tingkatan ini, walaupun kiamat kubra (besar) tidak terjadi pada seorang arif, karena terjadinya kiamat semacam ini berhubungan dengan maqam "khafi (tersembunyi)" dan "akhfa (paling tersembunyi)" atau maqam "au adna" yang terkait “wilayah” khusus Ilahi dengan manifestasi Zat Ilahi dan kemenangan mutlak, akan tetapi hal itu bisa terwujud pada tingkatan terjadinya kiamat terendah yakni hadirnya “wajah” Allah dalam bentuk tauhid perbuatan dan sifat dalam tingkatan fana yang terendah dan “wilayah” umum Ilahi dalam kemenangan yang dekat (qarib) dan nyata (mubin).

2. Tajalli dan manifestasi Zat Ilahi adalah suatu jenis manifestasi Tuhan atas hamba yang menyebabkan fananya zat hamba (salik) dan penyaksian (musyâhadah) “terhimpunnya” maujud-maujud “dalam” wujud Tuhan. “Tempat” terjadinya manifestasi ini adalah pada zat, dan “penglihatan” terhadap manifestasi (tajalli) seperti ini dinamakan musyahadah (penyaksian intuitif atau hati).

Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa yang dimaksud zat di sini adalah zat qua zat (zat berdasarkan zat itu sendiri dengan tidak memperhatikan aspek selainnya), bukan yang berhubungan dengan sesuatu yang lain (yakni Zat Ilahi berhubungan dengan zat hamba) dan juga bukan yang ber-tajalli kepada sesuatu yang lain (yakni Zat Ilahi ber-tajalli kepada zat hamba atau sesuatu yang lain).

Banyak yang menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan tajalli zat adalah tajalli zat dari aspek uluhiyyah dan wahidiyyah. Dan sebagian yang lain beranggapan bahwa yang dimaksud dengan tajalli zat adalah pada hati seorang salik atau hamba tidak terjadi musyahadah suatu sifat dari sifat-sifat Ilahi atau suatu nama dari nama-nama Ilahi dan seorang hamba terlepas dari segala keterkaitan walaupun dengan keterkaitan kepada Tuhan dengan perantaraan suatu nama Ilahi yang khusus.


Untuk menjawab dua pertanyaan di atas memerlukan penjelasan terhadap masalah-masalah di bawah ini:
1. Yang dimaksud dengan kemenangan (al-fath) adalah apa yang termanifestasikan dan tertajallikan kepada seorang hamba atau salik dari Tuhannya yang sebelumnya tertutup baginya, tidak peduli apakah yang terbuka (termanifestasikan) itu adalah nikmat-nikmat lahiriah ataukah batiniah. Adalah sesuatu yang sangat jelas bahwa kemenangan, kejayaan, dan terbukanya pintu-pintu akan tercapai dengan menggunakan “mafâtih” (dengan makna khazanah-khazanah atau kunci-kunci).

Mafâtih adalah nama-nama baik (asmaul husna) Tuhan dan berada di sisi dan di tangan Tuhan. Hal ini sebagaimana firman Tuhan, “Dan tidak ada sesuatu pun melainkan di sisi Kami-lah khazanahnya.” (Qs. Al-Hijr [15]: 21. “Dan di sisi-Nya kunci-kunci yang gaib” (Qs. Al-An’am [6]: 59). “Kepunyaan-Nya lah kunci-kunci (perbendaharaan) langit dan bumi.” (Qs. Az-Zumar [39]: 63).

Dalam irfan (tasawuf), “mafâtihul ghaib” dimaknai sebagai hadir dan tersembunyinya nama-nama Ilahi, dan kekhususannya adalah sebagai “tempat” rahmat (faidh, emanasi) Ilahi dan perantara untuk membuka pintu-pintu khazanah, dan rahasia-rahasia alam akan diketahui dengan melaluinya. Dengan demikian, terkabulnya setiap doa semata-mata berpijak pada nama-nama Ilahi ini, dan perolehan pengetahuan rahasia-rahasia Ilahi sepenuhnya juga bersandar pada pencapaian nama-nama Ilahi.

Hal yang sangat penting untuk diketahui adalah hakikat dari nama-nama Ilahi ini bukanlah dalam bentuk kata-kata dan konsep-konsep, dan pencapaian nama-nama Ilahi mensyaratkan kehadiran eksistensial mereka. Dari dimensi lain, “mafâtihul ghaib” ini berada di sisi Tuhan, walaupun terbukanya pintu-pintu Ilahi itu bergantung pada pemanfaatannya, namun hal ini juga tidak akan tercapai tanpa izin dan kehendak Tuhan.

2. Kemenangan memiliki tingkatan-tingkatan dan jenis-jenis, dimana seorang pesuluk akan sampai pada tingkatan-tingkatan tersebut dalam perjalanan spiritualnya atau dia akan mencapai kemenangan dan membuka pintu-pintu gaib dengan memanfaatkan sebuah "kunci" yang terdapat pada setiap tingkatan. Di bawah ini ada beberapa bentuk kemenangan:

a. Fathul Qarib (kemenangan dekat) adalah hadirnya kesempurnaan ruh dan hati setelah melewati tahapan-tahapan kejiwaan (berhasil menyingkirkan segala bentuk penghalang gelap ruh). Sebagaimana firman-Nya, "Pertolongan dari Tuhan dan kemenangan dekat." (Qs. Shaf [61]; 13)

b. Fathul Mubin (kemenangan nyata) akan tercapai setelah melewati kesempurnaan ruh dan hati. Bentuk kemenangan ini adalah hadirnya maqam wilayah Ilahi dan manifestasi cahaya asma Ilahi sedemikian sehingga dikarenakan pengaruh kuatnya cahaya asma Ilahi itu sifat dari jiwa dan hati menjadi sirna dan muncullah kesempurnaan "sirr (rahasia)"[1] yang merupakan salah satu dari tujuh kesempurnaan. Sebagaimana firman Tuhan, "Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata supaya Allah memberi ampunan terhadap dosa yang telah lalu dan yang akan datang." (Qs. Fath [48]: 1-2)[2]

Dalam kemenangan ini, segala kesempurnaan hati yang lalu dan kesempurnaan ruh yang akan datang telah menjadi sirna (dan berpindah kepada kesempurnaan yang lebih tinggi) dan apa yang belum terbuka setelah kemenangan ini adalah "wujud manusia" yang dalam ayat al-Quran itu diisyarahkan dalam bentuk "kamu".

"Wujud" ini tidak lain adalah "dosa besar" yang tidak dapat dibandingkan dengan dosa-dosa lain yang manapun, karena selama manusia masih terikat dengan keterbatasan "wujud" ini maka mustahil dia memiliki kemampuan untuk menggapai wilayah Tuhan yang tak terbatas. Dengan demikian, langkah terakhir untuk "menyatu" dengan lautan tak terbatas dari "hakikat mutlak" (Zat Suci Tuhan) adalah mensucikan dirinya dari "wujud"-nya yang terbatas.

Dalam ungkapan para urafa, maqam ini disebut sebagai "fana" yang berarti menyirnakan keterbatasan "wujud"nya untuk mencapai tingkatan terakhir kemenangan, walaupun dia bisa menggapai tingkatan fana yang lebih rendah dan tingkatan kemenangan yang juga lebih rendah.

c. Fathul Mutlaq (kemenangan mutlak) yang ibaratnya adalah manifestasi dzat ahadiyah dan satu dalam keragaman, sirnanya kepada seluruh sifat makhluk, sebagaimana firman-Nya, "Jika datang pertolongan Tuhan dan kemenangan."[3]

Dengan memperoleh kemenangan mutlak tersebut berarti salik (yang meniti jalan spiritual) telah sampai pada tahapan akhir kemenangan dan akan sampai pada pertemuan dengan-Nya. Dari sinilah sehingga setelah turunnya surah al-Nashr, Rasulullah saw bersabda, "Telah dianugerahkan kepadaku pahala "perpidahan alam"", karena seorang salik setelah melintasi tingkatan terakhir dari setiap alam akan berpindah dan memasuki alam yang lain sehingga seluruh alam akan terlintasi olehnya dan selanjutnya akan menaik untuk bertemu dengan-Nya.[4]

3. Dalam perspektif para arif, yang dimaksud dengan tajalli dan manifestasi adalah menjadi nyatanya Zat Mutlak Tuhan dan Kesempurnaan-Nya setelah tertentukan dengan ketentuan-ketentuan Zat-Nya, nama-nama-Nya atau perbuatan-Nya, baik untuk diri-Nya maupun untuk selain-Nya, yaitu dalam cerminan perbuatan yang tidak meniscayakan reinkarnasi, persatuan, dan terciptanya ruang kosong (yaitu suatu keadaan dimana tidak ada satupun eksistensi atau realitas, dalam filsafat dan irfan hal ini mustahil terjadi dan secara istilah disebut tajâfi).[5]

Di dalam irfan pernyataan ini digunakan baik dalam gerak menurun maupun gerak menaik. Misalnya dalam gerak menurun dikatakan bahwa penciptaan adalah berdasarkan tajalli, dan sebagainya ...[6]

Akan tetapi dalam pembahasan gerak menaik akan diungkapkan tentang manifestasi-manifestasi yang menjadi kenyataan atau realitas yang disaksikan secara intuitif, dan yang dimaksud oleh para arif di sini adalah bahwa tahapan-tahapan dan tingkatan-tingkatan dalam seir-suluk (perjalanan spiritual) tidak akan terlintasi kecuali dengan bantuan manifestasi-manifestasi Tuhan yang terpancar pada diri seorang hamba, dan karena setiap manifestasi gerak menaik pun memiliki pengaruh dan hukum, maka perolehan dan penglihatan setiap tahapan yang bisa dicapai oleh para arif pun memiliki nama tersendiri.

Tentunya bisa dikatakan bahwa manifestasi-manifestasi Ilahi ini akan terwujud dalam macam-macam kemenangan, pada hakikatnya, tiga bagian kemenangan meniscayakan tiga bentuk manifestasi. Dan ke depan kami akan menjelaskan masalah ini secara umum:

a. Manifestasi perbuatan. "Tempat" dari manifestasi ini adalah pada perbuatan Tuhan dan kemuliaan-Nya, dimana hal ini menyebabkan sirnanya perbuatan dari diri salik lalu mengarahkannya ke tauhid perbuatan dan penyaksian perbuatan dalam perbuatan yang bersifat tunggal. Penglihatan dan musyahadah para arif pada manifestasi ini disebut dengan muhadharah, sementara fathul qarib merupakan hasil dari manifestasi bentuk ini.[7]

b. Manifestasi sifat. "Tempatnya" terletak pada asmaul husna (Nama-nama agung Tuhan) dan kalimat-kalimat dzatiyah yang akan menyebabkan sirnanya sifat-sifat salik. Penglihatan para arif terhadap manifestasi ini disebut dengan mukasyafah, sedangkan fathul mubin merupakan kemenangan yang sesuai dengan manifestasi jenis ini.

Berkaitan dengan masalah ini Ustadz Jalaluddin Asytiyani mengatakan, "Manifestasi Tuhan pada hamba kadangkala berada dalam keadaan yang berbeda dimana pada tingkatan ini kalbu salik tidak akan kosong dari keterwujudan hukum-hukum wujud, kejamakan, dan keragaman, sedangkan batin arif akan terbusanai oleh mayoritas manifestasi-manifestasi pada hati, dan akan terwarnai oleh warna keragaman, dan kadangkala kosong dari hukum-hukum wujud dan keragaman dan berpindah ke dalam kondisi kesatuan, dan bagian dari tajalli ini dinamakan dengan "nama lahiriah (az-Zahir: salah satu nama Ilahi)" atau "nama batiniah (al-Batin: salah satu nama Ilahi)".

Salik pada tingkatan "tajalli dalam keragaman" akan menyaksikan Tuhan dalam setiap sesuatu dan tauhid akan muncul dalam indera lahiriah dan khayalnya, dan karena dia melihat Tuhan dalam segala sesuatu maka dia tidak akan pernah menoleh pada eksistensi lain yang manapun. Akan tetapi, tingkatan "tajalli dalam kesatuan" bergantung pada maqam ahadiyah (pada tingkatan dzat Tuhan semata, yakni tanpa nama dan sifat-Nya) dan pada kondisi ini hukum-hukum tauhid akan pula muncul dalam akalnya, dan karena ia "tenggelam" dalam tahapan ahadiyah maka telah keluar dari maujud-maujud alam lahiriah dan inderawi.

Akan tetapi, pada tajalli sifat, selain tauhid akan tampak pada seluruh wujud salik dan hukum-hukum tauhid akan melewati indera lahiriah dan khayal yang kemudian akan sampai ke maqam akal, namun hukum-hukum keragaman tidak akan menyebabkannya menoleh dari maqam ahadiyah, dan ketenggelamnnya dalam tauhid tidak akan mengurungkannya dari seluruh hal yang berkaitan dengan keragaman maujud.[8]

c. Tajalli dan manifestasi dzat. "Tempatnya" terletak pada dzat, dan menyebabkan "sirna dan fananya" dzat sang salik lalu mengantarkannya pada penyaksian "terhimpunnya" maujud-maujud dalam wujud Tuhan. Penglihatan para arif dinamakan dengan "musyahâdah".[9]

Dalam masalah ini Ustadz Asytiyani mengatakan, "Tuhan dalam tajalli ini akan membersihkan kalbu para arif dari kebergantungan-kebergantungan kepada keragaman maujud menuju ke arah kesatuan, dan akan mengantarkan para arif ke arah keyakinan khusus dengan nama khusus, yaitu syuhud. Tahapan lebih rendah dari tajalli dan manifestasi ini adalah tahapan qurbul faraidh (kedekatan kepada Tuhan melalui amalan-amalan wajib Ilahi), dan setelah melewati tahapan ini, akan terdapat maqam "kesatuan antara qurbul faraidh dan qurbul nawafil (kedekatan kepada Tuhan dengan amalan-amalan sunnah/mustahab).

Pesuluk yang hakiki juga akan melewati dua tingkatan tersebut dan sampai pada maqam "fana" dari kedua tingkatan ini, bahkan akan sampai pada tingkatan yang lebih tinggi dari tingkatan ini yang disebut dengan "kesatuan di antara dua fana" dan selanjutnya akan menggapai tingkatan "fana dari orang-orang yang fana" dan tahapan "kesatuan di antara dua kebaikan" serta maqam "dzat murni (tamkin) pasca dzat non-murni (talwin: dzat dan sifat).

Tingkatan ini, dalam ungkapan sebagian urafa dinamakan dengan maqam tamahhudh (penyirnaan sifat makhluk), tasykik (pengurangan sifat makhluk), istikhlaqul haq (berakhlak dengan akhlak Tuhan), dan istihlak fil haq (tenggelam dalam Tuhan) secara hakiki dan keabadiannya hanya pada tingkatan ilmu (yakni secara keilmuan, makhluk akan abadi dengan keabadian Tuhannya, karena tidak ada satupun makhluk yang abadi secara hakiki dan mandiri).

Maqam tersebut, bahkan pada keseluruhan jenis-jenis manifestasi dzat, merupakan kekhususan hakikat Muhammadiyah dan para Imam Makshum Ahlulbait As. Tentunya, secara hakiki, manifestasi itu bermula pada hakikat Muhammadiyah, kemudian pada tingkatan manifestasi selanjutnya terkhususkan pada Imam Makhsum Ahlulbait As.[10]

4. Berdasarkan apa yang dikatakan oleh Shadrul Muta'alihin, yang dimaksud dengan kalimat "kiamat kecil" adalah kematian alami setiap makhluk, karena Rasulullah saw bersabda, “barangsiapa yang wafat maka sesungguhnya kiamatnya telah terjadi”, sedangkan "kiamat besar" tidak lain adalah sirna dan fananya seluruh eksistensi sebagaimana ungkapan “penyirnaan datang dari Tuhan”, karena tidak ada sesuatupun yang akan tinggal kecuali Tuhan, sebagaimana difirmankan, "siapa penguasa hari ini, sesungguhnya kekuasaan itu milik Tuhan Yang Maha Esa dan Kuasa"[11]


Dalam kitab Syarh al-Fushushul Hikam dikatakan bahwa sebagaimana surga dan neraka memiliki manifestasi-manifestasi di alam, untuk “kiamat atau waktu” pun memiliki lima bentuk manifestasi sebagaimana lima manifestasi utama Tuhan, sebagai berikut:
a. “Kiamat dan waktu” yang berlangsung setiap saat dan yang bersifat seketika, karena dalam setiap waktu akan tertampakkan manifestasi-manifestai dan makna-makna dari alam gaib ke alam materi dan sebaliknya, sebagaimana firman Tuhan, “bahkan mereka senantiasa berada dalam penciptaan yang baru, dan firman lainnya, “setiap hari Dia bermanifestasi”.

b. "Kematian alami, sebagaimana Rasulullah saw bersabda, “barangsiapa yang wafat maka sesungguhnya kiamatnya telah terjadi”

c. "Kematian ikhtiari", yang hal ini bagi salik merupakan sesuatu yang dikehendakinya, dan kiamat seperti ini dinamakan dengan "kiamat sugra".[12]

d. Kematian yang telah dijanjikan untuk seluruhnya, sebagaimana difirmankan, “Sesungguhnya kiamat itu merupakan suatu ayat yang sama sekali tidak ada keraguan terhadapnya”, dan ini terjadi dengan terbitnya “matahari” Dzat Ahadiyah, tersingkapnya hakikat universal, dan hadirnya kesatuan sempurna Dzat Ilahi, serta sirnanya keragaman makhluk, sebagaimana firmanya, “siapa penguasa hari ini, sesungguhnya kekuasaan itu milik Tuhan Yang Maha Esa dan Kuasa.”

e. Bentuk kematian yang kelima ini seperti kematian bentuk keempat di atas, namun sedikit perbedaan bahwa sebelum terjadi hukum kematian ini atas seluruh ciptaan, para arif dan monoteis sejati telah mengalami “fana di dalam Tuhan” (fana fillahi) dan abadi dengan-Nya (baqa billahi).[13]

Berkenaan dengan tingkatan ini, semua peneliti menyatakan, hadirnya tingkatan ini pada seorang arif ketika terjadi manifestasi Dzat Suci padanya, supaya “kiamat besar”nya terwujud maka fanalah dia dan juga fanalah makhluk dalam pandangannya, kemudian dia abadi dan menyaksikan Tuhannya dengan perataraan Tuhannya.[14]

5. Dalam pembahasan “wilayah”, para arif membagi “wilayah” dengan makna “kedekatan” itu menjadi dua, “wilayah umum” dan “wilayah khusus”. “Kemenangan dekat” dan “kemenangan nyata” termasuk dalam bagian pertama, “wilayah umum”, sementara “kemenangan mutlak” termasuk dalam bagian kedua, “wilayah khusus”. Dan setiap bagian ini mesti melewati tingkatan fana.


Ustads Astiani dalam menegaskan persoalan ini menyatakan, “wilayah umum” terbagi dua:
1. “Wilayah” yang meliputi segenap kaum mukminin. “Wilayah” ini akan hadir dengan keimanan kepada Tuhan, malaikat, kitab-kitab suci-Nya, dan para rasul-Nya. Sebagaimana Tuhan berfirman, “Allah Swt merupakan wali bagi orang-orang mukmin...”

Awal dari “wilayah” ini adalah pensucian hati dan berakhlak mulia, dan puncaknya berada pada tingkatan qurbul nawafil (kedekatan kepada Tuhan melalui amalan-amalan sunnah/mustahab) dari tingkatan-tingkatan fana.

Orang yang telah sampai pada tingkatan ini dalam awal-awal suluknya memiliki kesucian hati dan keimanan yang tidak diperolehnya dari argumentasi akal (ini merupakan salah satu tingkatan keimanan) dan diakhir suluknya akan mendapatkan kesucian ruh, keimanan haqqul yaqin, “kemenangan dekat”, dan berada pada batin kedua dan ketiga dari tujuh batin al-Quran.

2. “Wilayah umum” diperuntukkan hanya kepada “pemilik-pemiliki hati” dan “orang-orang sempurna” dari para pesuluk.

Pemilik “wilayah” ini menyatu dengan tingkatan qurbul faraidh, qurbul nawafil, fana fillahi, dan baqa billahi, yakni dia menyirnakan sifat-sifat makhluk dan berpakaian dengan sifat-sifat Tuhan. Awal dari tingkatan ini adalah akhir dari perjalanan pertama dan awal dari perjalanan kedua, dan memiliki kesucian “sirr” atau ruh. Sedangkan akhir dari tingkatan ini berada pada akhir derajat “qaba qausain” dan awal derajat “au adna”. Pemilik tingkatan ini dalam perjalanan spiritualnya sendiri akan sampai pada “kemenangan nyata” dan berada pada batin keempat, kelima dan keenam dari tujuh batin al-Quran.

Dikarenakan tingkatan ini banyak dicapai oleh para wali, nabi-nabi, dan rasul-rasul Ilahi maka disebutkan sebagai “wilayah umum”.

“Wilayah khusus”: Tingkatan ini akan dicapai oleh manusia ketika telah sampai pada tingkatan tertinggi dari fana, fana sempurna, dan fana mutlak, sirna sifat-sifat makhluk pada dirinya setelah sirnanya eksistensi makhluknya, sirnanya syirik tersembunyi dan paling tersembunyi dalam dirinya, menyatunya dia dengan nama-nama Dzat Ilahi, terbukanya baginya kunci-kunci gaib dari nama-nama Tuhan pada tingkatan Ahadiyah, dan menetap dalam dirinya seluruh nama Ilahi pada tingkatan Wahidiyah. Dengan demikian, akan lahirlah manusia yang memiliki kesempurnaan-kesempurnaan yang tak terbatas.

Awal dari maqam ini tidak lain adalah akhir dari tahapan perjalanan para rasul Ulul Azmi yang merupakan akhir dari maqam “Qaba Qausain” dan awal dari maqam “Aw Adna” yang merupakan awal perjalanan menyempurna yang terkhusus untuk hakikat Muhammadiyah.

Pemilik maqam ini akan memperoleh kemenangan mutlak, kesempurnaan, maqam Aw Adna, menggapai batin ketujuh, memperoleh kekuasaan menyeluruh dan mutlak atas segenap makhluk, serta kebaikan dan kesempurnaannya tidak terbatas.[15]


6. Perjalanan empat tingkat para urafa dan kedudukan fana: Adalah tidak tepat kita menjelaskan perjalanan praktis dan ritualitas spiritual para urafa di sini[16], namun yang urgen dipaparkan adalah tercapainya maqam “sirr” (rahasia) bagi para pesuluk di akhir perjalanan pertama, dan maqam “sirr” itu tidak lain adalah fana-nya wujud Arif “dalam” zat Tuhan. Setelah itu akan sampai pada perjalanan kedua, dalam perjalanan ini “wilayah” Arif akan sempurna yang wujud, sifat, dan perbuatannya akan fana “dalam” zat, sifat, dan perbuatan Tuhan. Fana-nya sifat dan perbuatan dalam tingkatan ini disebut dengan maqam “khafi” (tersembunyi). Setelah ini akan berlanjut pada maqam “akhfa” (paling tersembunyi) yakni fana dalam fana (dua fana yang lalu), yang dengan ini “wilayah” akan menjadi sempurna dan berakhirnya perjalanan kedua.

Para Arif yang meniti perjalanan ketiga akan sampai pada maqam “keabadian Tuhan” dan menyaksikan hakikat dan manifestasi segenap alam.[17]

Sebagian berkeyakinan bahwa dalam perjalanan pertama, para Arif yang telah berhasil menyingkirkan dimensi-dimensi kemakhlukannya akan menyaksikan jamaliyah Tuhan dalam manifestasi perbuatan-Nya, dan pada hakikatnya, “wajah” Tuhan tersingkap di sisinya. Pada perjalanan kedua, kesatuan mutlak akan termanifestasikan dan juga terjadinya kiamat kubra (besar) pada diri Arif, dalam perjalanan ini Tuhan akan menjelma pada maqam kesatuan-Nya untuk para pesuluk, karena itu para pesuluk tidak dapat menyaksikan segala makhluk. Para pesuluk akan mengalami fana dalam zat, sifat, dan perbuatan.[18]


Kesimpulan dan Penutup
Sebagaimana yang Anda saksikan bahwa pembahasan al-fath (kemenangan) dan at-tajalli (manifestasi) yang bukan hanya saling berhubungan, bahkan juga terkait dengan kajian–kajian lain seperti empat tahapan perjalanan, fana, “wilayah”, kiamat, dan lain-lain. Maka dari itu bisa dikatakan, terjadinya kiamat personal yang bermakna kematian ikhtiari (yang dikehendaki) adalah juga memiliki tingkatan-tingkatan, dan jika salah satu dari tingkatannya terjadi dalam fathul Qarib (kemenangan dekat) dengan manifestasi perbuatan Tuhan pada perjalanan pertama[19] maka tingkatan-tingkatan lainnya akan tercapai dengan syarat para pesuluk telah menggapai maqam sirr, fana dalam sifat dan perbuatan, dan sempurnanya “wilayah”-nya, serta termanifestasikan sifat Tuhan dalam fathul mubin (kemenangan nyata).[20]

Dengan ungkapan lain, walaupun hadirnya kiamat besar[21] bagi Arif yang bersama dengan manifestasi Zat Tuhan dalam tahapan-tahapan akhir “wilayah”, fana, dan … atau dalam fathul mutlaq (kemenangan mutlak), akan tetapi pada tingkatan-tingkatan terendah dari al-fath (kemenangan) yakni terjadinya kiamat personal bagi pesuluk merupakan sesuatu yang tidak asing. Bisa dikatakan bahwa dalam setiap perjalanan akan terjadi kiamat -yang disesuaikan dengan tahapan fana, tingkatan “wilayah”, manifestasi yang terjadi bagi arif- bagi arif sebelum kematian alaminya yang dilaluinya dengan kematian yang dikehendakinya sendiri.

Pasca kematian alami, tauhid zat, sifat, dan perbuatan akan termanifestasikan bagi seorang arif. Ketiga tauhid ini akan hadir bagi pesuluk di jalan Tuhan sebelum kematian alaminya, dan bersesuaikan dengan tingkatan tauhid ini akan terjadi kiamat personal bagi seorang arif. Dan yang sesuai dengan fathul mubin adalah manifestasi tauhid sifat dan perbuatan.

Poin terakhir adalah bahwa telah jelas makna manifestasi Zat Tuhan dalam pembahasan sebelumnya, akan tetapi terdapat sebuah pertanyaan: zat qua zat (zat dalam ruang lingkup zat itu sendiri) adalah tidak terkait dengan yang lain dan juga tidak menjelma pada sesuatu, dengan dasar ini apakah makna manifestasi zat itu?

Jami dan Jurjani, dalam pembagian definisi manifestasi zat, mengungkapkan bahwa Tuhan, dalam aspek zat-Nya sendiri, tidak bertajalli kecuali dengan perantaraan suatu hijab (baca: nama-nama-Nya)[22].


Karena itu untuk menyelesaikan persoalan ini terdapat beberapa usulan:
1. Jami menyatakan bahwa yang dimaksud dengan manifestasi zat adalah manifestasi zat dalam aspek uluhiyah dan wahidiyah…[23]

2. Asytiyani, dalam komentar atas pendahuluan Syarh Fushushul Hikam Qaishari, menegaskan, kalau terjelma pada hati sang Arif suatu sifat dari sifat-sifat Tuhan dan suatu nama dari nama-nama-Nya serta dia telah terlepas dari segala macam keterikatan (termasuk keterikatan perhatiannya kepada Tuhan melalui nama-Nya yang khusus), maka Zat pada tingkatan Ahadiyah akan termanifestasi pada hati sang Arif dan “Matahari” Zat Ahadiyah akan memancarkan cahayanya juga dalam hati ahadiyah Arif. Hasil dari manifestasi ini adalah ia suci dari segenap keterikatan dan ia “menyatu” dengan pusat lingkaran dari segenap tingkatan yang seimbang.[24]


Catatan Kaki:
[1]. Tujuh kesempurnaan ini adalah tujuh tingkatan kesempurnaan hakikat manusia seperti tabiat, jiwa, hati, ruh, sirr, khafi, akhfa). Mulla Sadra, Mabdâ wa Ma’âd, hal. 171. Catatan kaki Sabzewari pada kitab Al-Asfar, jilid 1, hal13-18.

[2] . Dalam ayat ini disamping mengisyarahkan tentang fathul mubin juga menjelaskan tentang pengaruh dan kekhususan fathul mubin. Berkenaan dengan “ma taqaddam wa ma ta akhkhar” dalam ayat ini tidaklah bermakna dosa-dosa yang lalu dan akan datang, melainkan bermakna sifat nafsiyah dan qalbiyah, karena, pertama, “ma ta akhkhar” adalah berbeda dengan “ma ya’ti” dan “ma ya’ti” bermakna masa depan. Kedua, pemaafan dosa-dosa yang akan datang jika bermakna peniadaan kewajiban adalah bertentangan dengan pesan suci al-Quran karena semua manusia memiliki kewajiban sepanjang mereka masih hidup di dunia. Maka dari itu, maksud dari “ma taqaddam wa ta akhkhar” adalah baru dan usang (lama) yang dalam istilah para arif disebut sifat nafsani dan qalbi. Ketiga, yang dimaksud dengan “zanbun” (dosa) di sini adalah bukan dosa syar’i, karena dalam ayat ini ampunan terhadap dosa merupakan salah satu dari empat nikmat yang terjadi pada fathul mubin. Karena itu, sebab dari ampunan dosa itu bukan kemenangan atas musuh, melainkan perhatian kepada Tuhan. Tahrir Tamhidul Qawâid, Jawadi Amuli, hal. 186-188.

[3] . An-Nashr: 1

[4] . Ibn Fanari, Mishbâhul Uns, hal. 15 dan 52. Tahrir Tamhidul Qawâid, hal. 184-188. Syarh Muqaddimah Qaishari bar Fushushul Hikam, Sayyid jalaluddin Asytiyani, hal. 902-904. Syarh Fushushul Hikam wa Ta’liqat Sayyid Jalaluddin Asytiyani, hal. 114, ta’liqat 12.

[5] . Said Rahimiyan, Tajalli wa Zhûhûr dar Irfân Nazhari, hal. 38-53.

[6] . Doktor Yatsrabi, Falsafeye Irfân, hal. 470.

[7] . Said Rahimiyan, Tajalli wa Zhûhûr dar Irfân Nazhari, hal. 189-193

[8] . Syarh Muqaddimah Qaishari bar Fushushul Hikam, Sayyid jalaluddin Asytiyani, hal. 104-107.

[9] . Said Rahimiyan, Tajalli wa Zhûhûr dar Irfân Nazhari, hal. 188.

[10] . Syarh Muqaddimah Qaishari bar Fushushul Hikam, Sayyid jalaluddin Asytiyani, hal. 107.

[11] . Mulla Sadra, Mafatihul Ghaib, masyhad keenam dari miftah 19, dengan menukil dari Syarh Fushushul Hikam, hal. 257.

[12] . Yang jelas bahwa sebagian itu dinamakan dengan kiamat wustha (menengah) dari aspek bahwa berada di atas kematian alami dan di bawah fana fillah. Syarh Fushushul Hikam, hal. 257.

[13] . Talkhish Syarh Fushushul Hikam Qaishari dengan catatan kaki Sayyid Jalaluddin Asytiyani, hal. 129-131 dan 257.

[14] . Ibid, hal. 390.

[15] . Syarh Muqaddimah Qaishari, hal. 543-586.

[16] . Irfan Nazhari dar Kalâmât-e Imâm Ali As, hal. 56-76.

[17] . Sabzewari, catatan kaki kitab Al-Asfar, hal. 1-13.

[18] . Imam Khomeni, Mishbahul Hidayah ilal Khlafah wal Wilayah, hal. 207-213

[19] . Penjelasan Imam Khomeni dalam kitab Al-Asfar, Mishbahul Hidayah ilal Khlafah wal Wilayah, hal. 207-213.

[20] . Penjelasan Sabzewari dalam kitab Al-Asfar, catatan kaki, jilid 1, hal. 1-13.

[21] . Makna kelima kiamat telah dijelaskan pada poin yang keempat.

[22] . Naqd an-Nushush, hal. 114.

[23] . Ibid.

[24] . Syarh Muqaddimah Qaishari, hal. 828 dan 829. Tajalli wa Zhûhûr dar Irfân azhari, hal. 191-192.

6
TANYA JAWAB MASALAH IRFAN

5. Apakah tidak terdapat kontradiksi antara kondisi ketika Baginda Ali as menyerahkan cincinnya kepada seorang pengemis dan kondisi ketika anak panah dicabut dari kaki Baginda Ali as?
Saya adalah seorang guru yang mengajar di lingkungan Sunni. Seorang murid bertanya bahwa anak panah dicabut dari kaki Baginda Ali as dan pada kesempatan lain kita mengatakan bahwa beliau menyerahkan cincinnya kepada seorang pengemis. Bukankah terdapat kontradiksi di antara dua kondisi ini?


Dalam menjawab pertanyaan ini kita dapat menjawabnya dengan menyinggung beberapa poin berikut ini.
1. Manusia memiliki kapabilitas dan potensi untuk mencapai tingkatan kesempurnaan dengan melaksanakan pelbagai amalan yang diperintahkan Allah Swt. Sedemikian ia melakukan amalan-amalan tersebut sehingga ia sampai seluruh kesempurnaan dan pada akhirnya meraup maqam insan paripurna.

2. Mencapai maqam insan paripurna tidak bermakna bahwa mereka yang sampai pada maqam ini tidak memiliki kondisi yang beragam.

Menurut hemat kami dan kebanyakan kaum Muslimin, Imam Ali as merupakan teladan dan paragon bagi kaum Muslimin dan menggondol maqam insan paripurna. Namun demikian beliau memiliki ragam kondisi. Artinya terkadang beliau tidak merasakan sakit tatkala anak panah dicabut dari kakinya. Dan terkadang ketika menunaikan shalat, beliau mendengar suara seorang miskin lalu menyedekahkan cincinnya kepada orang miskin tersebut.

3. Apa yang dijelaskan pada poin kedua adalah bukti bahwa kondisi spiritual Imam Ali as pada kondisi pertama lebih tinggi daripada kondisi kedua. Namun dalam masalah ini terdapat ungkapan yang lebih akurat dan teliti yang dilontarkan oleh para arif.

Para arif berkata bahwa manusia dapat sampai pada sebuah tingkatan jamak antara alam material dan spiritual. Artinya tatkala perhatiannya tersedot sepenuhnya kepada alam spiritual dan Tuhan, maka pada saat yang sama perhatiannya terhadap alam material dan dunia tidak berkurang.

Alasannya, mereka berpandangan bahwa kondisi kedua Baginda Ali lebih tinggi daripada kondisi pertama lantaran beliau dalam kondisi ini memiliki tingkatan kemanusiaan yang tinggi dan kemuliaan sempurna pengetahuan yang disebut sebagai maqam jamak (maqam jam'), di samping beliau menaruh perhatian kepada Allah Swt pada saat yang sama tetap tidak melupakan segala sesuatu selain Allah.

Artinya, tatkala perhatiannya sepenuhnya sibuk dan asyik mengingat Allah Swt, beliau juga sibuk menaruh perhatian pada selain-Nya. Bukan melalaikan Tuhan dan memerhatikan penderitaan orang fakir (semata-mata), melainkan sedemikian sempurna perhatiannya kepada Allah Swt sehingga beliau menyaksikan seluruh semesta di hadapannya.

Karena itu, maqam ini lebih tinggi dan menjulang daripada sekedar karam dalam spiritualitas, Tuhan dan tidak merasakan perih dan sakit tatkala panah dicabut dari kakinya.


Sebagai pendahuluan harus dikatakan bahwa:
1. Manusia memiliki kapabilitas dan potensi untuk mencapai tingkatan-tingkatan kesempurnaan dengan menunaikan pelbagai perbuatan yang diperintahkan oleh Allah Swt. Sedemikian ia mengamalkan perbuatan tersebut sehingga ia memiliki seluruh kesempurnaan dan pada akhirnya meraup maqam insan paripurna.

2. Masalah lainnya, meraup seluruh kesempurnaan dan menjadi manusia paripurna bagi para maksum as, pada tingkatan tertentu, menuntut kehidupan mereka berjalan seperti kehidupan manusia lainnya. Artinya mereka harus menjalani hidup secara normal dan sosial. Mengingat kondisi-kondisi kehidupan manusia tidak satu model, terkadang keamanan tersedia, terkadang kerusuhan terjadi dan sebagainya, secara natural perilaku dan perlakuan mereka harus sejalan dan sesuai dengan kondisi-kondisi tersebut.

Misalnya, bahwa orang yang sedang dalam perjalanan harus menyingkat (qashar) ketika mengerjakan shalat (wajibnya) atau dalam keadaan perang ia harus melaksanakan shalat khauf dan seterusnya. Dengan demikian, sampainya seseorang pada maqam manusia paripurna tidak bermakna bahwa orang-orang yang sampai pada tingkatan ini tidak menjalani ragam kondisi, pendeknya tidak larut dalam urusan material dan duniawi.

Dengan memerhatikan dua pendahulan yang dijelaskan di atas kami akan menjawab kritikan yang dikemukakan: dua proposisi dan pendahuluan ini, adalah penjelas dua kondisi yang berbeda, dari pelbagai kondisi manusia paripurna seperti Baginda Ali as.

Ayatullah Syahid Muthahhari terkait dengan kritikan ini berkata, "Kritikan ini dilontarkan oleh orang-orang terdahulu seperti Fakhrurrazi yang menyatakan bahwa ketika mengerjakan shalat Ali as senantiasa sedemikian melupakan dirinya sehingga beliau tidak memerhatikan kondisi atau orang di sekelilingnya. Bagaimana Anda berkata bahwa beliau berlaku demikian tatkala shalat (menyerahkan cincin kepada orang fakir)?

Jawaban atas kritikan ini adalah pertama: Bahwa Baginda Ali as melupakan dirinya tatkala menunaikan shalat merupakan sebuah kenyataan. Namun hal ini tidak berarti bahwa kondisi para wali Allah senantiasa sama dengan yang lain. Rasulullah saw sendiri diriwayatkan mengalami dua kondisi, terkadang dalam kondisi shalat beliau menemukan kondisi ekstase ketika beliau tidak kuasa menahan hingga azan berhenti. Beliau bersabda: "Arihna Ya Bilal! Segeralah Bilal kita tunaikan shalat.

Terkadang juga tatkala beliau menunaikan shalat, dalam kondisi sujud, Imam Hasan dan Husain datang dan naik di atas pundaknya. Beliau dengan tenang bersabar dan memperpanjang sujudnya hingga beliau berdiri. Tiba-tiba, tatkala Nabi saw berdiri, seseorang meludah. Nabi Saw bergerak selangkah ke depan dan menutup ludah orang tersebut. Setelah itu Nabi Saw kembali (pada posisi semula). Hal ini dijadikan sebagai dasar oleh para fukaha dalam masalah shalat sehingga Sayid Bahrul Ulum berkata:

Wa masya khair al-khalq fi al-mihrâb

Yaftah minhu aktsar al-Abwâb

Maksudnya bahwa dalam kondisi shalat dengan bergerak dua langkah, Nabi saw telah memecahkan banyak masalah dalam bab shalat sehingga berangkat dari gerakan ini terdapat perbuatan di luar shalat yang dibolehkan atau tidak dibolehkan. Karena itu, kondisinya berbeda-beda.[1]

Syaikh Shaduq dalam Ilal al-Syarâi' dan Allamah Majlisi dalam Bihâr al-Anwâr menulis: Suatu hari Rasulullah saw menunaikan shalat dan para sahabat juga mengikutinya. Seorang bocah kecil menangis. Rasulullah saw menyudahi shalatnya dengan cepat. Setelah shalat para sahabat bertanya tentang sebabnya. Rasulullah Saw dalam menjawab pertanyaan para sahabat bersabda, "Apakah kalian tidak mendengar jeritan seorang bocah kecil? Aku menyudahi shalatku dengan cepat agar ibunya segera mengambil anaknya dan mendiamkannya.”[2]

Dalam mendeskripsikan ibadah Imam Sajjad as diriwayatkan bahwa suatu malam, salah seorang putra Imam Sajjad jatuh dari tempat ketinggian, tangannya patah dan menjerit-jerit. Para tetangga berkumpul, namun Imam Sajjad tetap sibuk beribadah dan sama sekali tidak memerhatikan kejadian dan jeritan ini. Tatkala fajar menyingsing, Imam Sajjad melihat tangan putranya tertutup. Beliau menanyakan gerangan sebabnya. Orang-orang berkata, “Hal itu terjadi semalam.”[3]

Demikian juga diriwayatkan bahwa Imam Sajjad sedang menunaikan shalat dan sujud di rumahnya di sudut rumahnya. Tiba-tiba terjadi kebakaran. Orang-orang berteriak, “Wahai Putra Rasulullah! Kebakaran …Kebakaran..!” Imam Sajjad tetap sibuk beribadah dan tidak memerhatikan suara gaduh tersebut. Setelah api berhasil dipadamkan, Imam Zainal Abidin mengangkat kepalanya dari sujud. Dengan penuh ketenangan tanpa menghindahkan suara gaduh tersebut, beliau menyudahi shalatnya.[4]

Karena itu, para wali Allah memiliki kondisi yang berbeda-beda. Terkadang mereka mengalami kondisi medium[5] dan terkadang tenggelam dalam alam spiritual dan zat Allah Swt dan tidak melihat sesuatu yang lain selain zat kebesaran Allah Swt dan tidak menaruh perhatian sama sekali dengan apa yang terjadi di sekelilingnya. Bahkan terhadap badannya sendiri.

Sepertinya panca indra mereka tidak berfungsi tatkala tersedot magnet cinta dan irfan Rabbani. Sedotan ini membuat mereka tidak merasakan apa pun dengan segala yang terkait dengan panca indra mereka. Ditariknya anak panah dari kaki Amirul Mukminin termasuk dari kondisi semacam ini.[6]

Akan tetapi terdapat jawaban lain atas kritikan ini. Jawaban tersebut adalah bahwa di antara keunggulan penting para imam maksum dalam pelbagai kondisi kehidupan mereka senantiasa larut dan lebur dalam zat Allah Swt. Mereka tidak menghendaki segala sesuatu yang lain selain zat Allah Swt. Perhatian terhadap pelbagai kondisi dan tuntutan ruang dan waktu karena hal itu merupakan perintah Allah Swt dan media takarub kepada-Nya. Mereka berhasil menghimpun antara spiritualitas dan materialitas, antara mulk dan malakut. Apabila mereka menaruh perhatian kepada akhirat, mereka tidak melupakan dunia. Apabila mereka mengerjakan urusan duniawinya, maka mereka tidak melalaikan akhirat.

Dengan demikian, dari sudut pandang irfan, kondisi Amirul Mukminin dalam shalat ketika beliau bersedekah dengan sebuah cincin kepada seorang fakir adalah kondisi yang lebih tinggi daripada kondisi ketika anak panah dicabut dari kaki beliau.


Hal ini dapat dijelaskan demikian bahwa para arif, dalam menerangkan sair dan suluk manusia, menyebutkan empat perjalanan:
1. Perjalanan dari makhluk (khalq) kepada Tuhan (Hak)

2. Perjalanan dari Tuhan menuju Tuhan bersama Tuhan

3. Perjalanan dari Tuhan menuju makhluk bersama Tuhan

4. Perjalanan dari makhluk menuju makhluk bersama Tuhan

Pada perjalanan pertama, seorang pesalik meleburkan zatnya pada zat Tuhan. Karena itu, wujudnya berubah menjadi wujud Haqqani dan ia tersifati dengan kondisi mahw (enyah).

Dalam perjalanan kedua, seorang pesalik lebur (fana) dalam sifat dan perbuatan Tuhan.

Pada perjalanan ketiga, kondisi mahw (enyah) ini hilang dan yang muncul adalah sahw tam. Ia baqa (abadi) dalam baqa (keabadian) Tuhan. Dan melakukan perjalanan pada alam-alam jabarut, malakut, nasut. Ia menyaksikan seluruh alam dengan segala entifikasinya yang mewartakan seluruh makrifat, sifat dan zat Tuhan.

Pada perjalanan keempat, ia menyaksikan seluruh makhluk, efek, manfaat dan mudarat duniawi-ukhrawinya, kembalinya seluruh makhluk ini kepada Tuhan, dan bagaimana proses kembalinya.

Pada seluruh tiga tingkatan terakhir, ia bersama Tuhan, karena wujudnya telah manunggal dengan Tuhan dan perhatiannya terhadap sesuatu tidak membuatnya lalai dari mengingat Tuhan.[7] Tatkala Baginda Ali as menyerahkan cincin kepada seorang peminta-minta dalam shalat, maka hal itu sejalan dengan kondisi sair dan suluk (pelancongan ruhani) tingkatan keempat.


Dari sisi lain, para arif berkata bahwa manusia dalam meniti jalan menuju kesempurnaan akan sampai pada sebuah kondisi atau kedudukan jamak dan kedudukan jamak ini terdiri dari dua jenis:
A. Mereka yang menghimpunkan alam material dan spiritual secara sempurna.

B. Mereka yang menghimpunkan dua alam ini dengan tidak sempurna.

Artinya apabila ia melancong pada dunia pengetahuan-pengetahuan metafisika dan tertahan dengan mekanisme alam fisika dan nasut dan ia hanya mampu berkata-kata sesuai dengan tuntutan kondisi yang diberikan kepadanya serta tidak memerhatikan seluruh kondisi yang ada. Di sinilah ia terkadang terjebak pada ucapan-ucapan yang terkadang melantur (syatah).[8]

Para Imam karena mereka maksum sesuai dengan tuntutan "laa yasghulu sya'n 'an sya'n (tidak disibukkan ketika mengerjakan sesuatu) tatkala mereka di alam material (fisika), maka pada saat yang sama mereka juga berada di alam metafisika. Selagi mereka di alam metafisika, mereka juga berada di alam fisika. Mereka adalah cermin dari “'A^lin fi dunuwwihi wa dânin fii 'uluwwihi" (tinggi dalam kerendahannya dan rendah dalam ketinggiannya). Pendeknya mereka telah mencapai maqam jamak salim. Karena itu, mereka sekali-kali tidak akan pernah bertutur kata yang tidak sejalan dengan muhkamat awwaliyah, yakni tidak bertutur kata yang bersifat permukaan.[9]

Demikianlah kondisi yang dialami oleh Amirul Mukminin ketika dalam keadaan rukuk menyerahkan cincinnya kepada seorang peminta-minta.[10] Hal ini merupakan penjelas kondisi jamak salim, yaitu selagi ia asyik berdua-duaan dengan Tuhan ia juga tidak melupakan kondisi di sekelilingnya. Bukan lalai dari Tuhan dan memerhatikan orang fakir, melainkan sedemikian perhatiannya tersedot secara sempurna kepada Tuhan sehingga pada saat tersebut beliau menyaksikan seluruh semesta nampak secara telanjang di hadapannya.

Dengan kata lain, sedotan magnet pada Sang Kekasih terkadang sempurna dan terkadang kurang sempurna. Dan, ekstase kurang sempurna (naqish) terjadi tatkala manusia larut dan tenggelam dalam samudera Sang Kekasih, tetap dan terlena untuk-Nya.


Ayatullah Syahid Muthahhari terkait dengan hal ini berkata:
“Apabila keasyikannya sempurna maka ia akan kembali pada kondisi tersebut, yakni seseorang selagi ia asyik berdua-duaan dengan Tuhan, ia juga sibuk dengan segala sesuatu selain-Nya. Seperti pada masalah tatkala ruh meninggalkan badan. Orang-orang yang baru sampai pada tingkatan seperti ini, dua detik atau sejam ruhnya terpisah dari badannya. Akan tetapi terdapat orang-orang senantiasa dalam kondisi ruhnya terpisah dari badannya; misalnya mereka duduk bersama kami dan Anda, dan pada saat yang sama ruhnya meninggalkan badannya.”[11]

Sebagai contoh nyata dari insan kamil atau insan paripurna ini adalah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib. Tatkala beliau menyerahkan cincinnya kepada seorang peminta-minta, beliau merasakan keasyikan sempurna (injidzâb kamil).

Dengan ungkapan lain, manusia sempurna sampai pada sebuah tingkatan ketika seluruh alam adalah panca indranya.[12] Dalam kondisi seperti ini tingkatan wujudnya dan tugas yang diperoleh dari sisi Allah Swt menuntutnya untuk memerhatikan seluruh alam dan seluruh tingkatan ini diperoleh tatkala lebur dalam Zat Allah Swt. Karena itu, kondisi-kondisi yang berbeda-beda ini sewaktu shalat, bukan hanya tidak kontradiksi antara satu dengan yang lain, namun sejalan, selaras dan menegaskan antara satu dengan yang lain. Inilah rahasia ucapan para arif yang menyatakan bahwa kondisi Amirul Mukminin tatkala memberikan cincinnya kepada seorang peminta-minta lebih tinggi dari kondisi tatkala anak panah dicabut dari kakinya.[]


Catatan Kaki:
[1] Murtadha Muthahhari, Imâmat wa Rahbari, hal. 180-181 (dengan sedikit perubahan).

[2] Bihâr al-Anwâr, jil. 88, hal. 93.

[3] Muntahâ al-A^mal, jil. 2, hal. 10.

[4] Ibid.

[5] Seperti kisah Nabi Ya'qub dan Nabi Yusuf as: Lantaran kekurangajaran saudara-saudaranya, Nabi Yusuf dilemparkan ke dalam sumur. Akan tetapi, Ya'qub tidak mengetahui persoalan ini. Setelah beberapa tahun berlalu, Yusuf kemudian menjadi gubernur Mesir (Azis). Saudara-saudaranya datang kepadanya dan membawa pulang kemeja Yusuf ke hadapan ayah mereka (Nabi Ya'qub). Al-Qur'an menuturkan kisah ini dengan indah: " Tatkala kafilah itu telah keluar (dari negeri Mesir), ayah mereka berkata, “Sesungguhnya aku mencium bau Yusuf." (Qs. Yusuf [12]:94). Sa'adi pujangga besar Iran, membandingkan dua peristiwa ini dan bertanya: Bagaimana Nabi Ya'qub tidak mengetahui bahwa Yusuf jatuh (baca: dijatuhkan) ke dalam sumur? Namun beliau dapat mencium bau kemeja Yusuf dari Mesir?

Seorang bertanya kepada orang yang kehilangan putranya

Ia bertanya: Wahai jiwa cerlang renta yang berakal

Engkau mencium kemeja dari Mesir

Namun tidak melihat sumur di Kan'an

Konon keadaan kita bak petir di dunia

Terkadang tampak terkadang hilang

Terkadang melihat ketinggian di angkasa

Terkadang abai melihat kaki sendiri. Kulliyât-e Sa'adi, hal. 53.

[6] http://www.imamalinet.net/per/ertebat/er4/ertebat1.htm

[7] Muhammad Ridha Hakim Ilahi Qumsyei Isfahani, Hâsyiye-i Asfar, jil. 1, hal. 13-16, dengan ringkasan.

[8] Syatah secara leksikal bermakna “melubernya isi panic”. Kalimat ini juga digunakan untuk mengusir dan menjauhkan anak kambing demikian juga bermakna keluarnya sesuatu dari hukum-hukum normatif. Farhangg-e Farsi Moin dan Dekhoda. Dalam terminologi irfan dan tasawuf, syatah adalah kalimat-kalimat atau ucapan-ucapan yang secara lahir berisi kekufuran dan bertentangan dengan fondasi-fondasi syariat. Ucapan-ucapan yang dilontarkan oleh sebagian arif ketika merasa trance disebut sebagai syathiyyat. Tatkala mengucapkan hal ini secara umum mereka lalai dari dirinya dan fana dalam zat Allah. Jenis kalimat ini secara lahir sulit untuk diterima dan bermuatan kekufuran – sedemikian sehingga ketika orang-orang mendengarnya akan menjauh dari mereka. Akan tetapi mereka memiliki pelbagai justifikasi dan takwil yang dapat diterima atas ucapan-ucapannya yang sepintas melantur dan bermuatan kekufuran itu.

[9] Terjemahan Risalah al-Wilayah, Guftar-e Ayatullah Jawadi Amuli.

[10] "Sesungguhnya pemimpinmu hanyalah Allah, rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan salat dan menunaikan zakat, sedang mereka dalam kondisi rukuk." (QS Al-Maidah [5]:55)

[11] Murtadha Muthahhari, Imamat wa Rahbari, hal. 181.

[12] Ayatullah Hasan Zadeh Amuli, Nahj al-Wilâyah, hal. 167.

7
TANYA JAWAB MASALAH IRFAN

6. Perbedaan Irfan teoritis dan Irfan praktis?

Terdapat dua makna yang digunakan dalam bidang Irfan praktis:
1. Suluk itu sendiri dan segala perbuatan yang dilakukan.

2. Ajaran-ajarannya yang mengandung tentang metode suluk.

Irfan teoritis terkadang digunakan sebagai lawan kata dari makna pertama. Dan terkadang kebalikan dari makna kedua dari dua makna Irfan praktis di atas. Artinya Irfan teoritis adalah menjelaskan temuan-temuan dan capaian-capaian seorang salik atau berada pada tataran menjelaskan pembahasan ontologi dan ilmu yang mengkaji tentang manusia.

Terdapat ragam ungkapan dan penjelasan pada ucapan-ucapan para ahli makrifat dalam menerangkan Irfan teoritis dan Irfan praktis dan perbedaan di antara keduanya.


Penjelasan pertama:

Irfan memiliki dua dimensi:
1. Dimensi sosial (tasawwuf): Dalam dimensi ini yang menjadi obyek kajian adalah Irfan sebagai mazhab sosial dengan segala tipologi yang dimilikinya.[1]

2. Dimensi keilmuan dan kebudayaan: Dan dimensi ini sendiri terdiri dari dua bagian lainnnya:

a. Praktis, dari dimensi ini Irfan ingin mengubah manusia dan singkatnya menjelaskan pelbagai hubungan dan tugas manusia terkait dengan dirinya, semesta dan Tuhan.

b. Teoritis, dari dimensi ini Irfan ingin memberikan penafsiran dan interpretasi tentang keberadaan; artinya interpretasi tentang Tuhan, semesta dan diri manusia.[2]


Penjelasan kedua:
Pembahasan yang membimbing seseorang untuk bagaimana mengenal manusia, manusia sempurna (insan kamil), tauhid, nama-nama, dan sifat-sifat Tuhan serta masalah ontologi seluruhnya merupakan tema-tema penting yang diusung dalam pembahasan Irfan teoritis. Adapun terkait dengan masalah zuhud, kecintaan, riyadhah, dzikir, berbuat kebaikan, beribadah dan lain sebagainya merupakan tema-tema yang diangkat dalam pembahasan Irfan praktis.[3]


Penjelasan Ketiga:
Dalam Irfan teoritis (nazhari) apa yang disaksikan dengan hati dijelaskan dengan lisan akal.[4]


Penjelasan Keempat:
Pengarang kitab Irfan teoritis setelah menjelaskan matlab ini bahwa yang paling asasi dalam masalah Irfan Islami (unsur-unsur utama Irfan) adalah: 1. Wahdat. 2. Syuhud. 3. Fana. 4. Riyadah (olah jiwa). 5. Cinta (isyq). Dalam menjelaskan perbedaan antara Irfan teoritis dan praktis, ia berkata: "Irfan praktis adalah mengimplementasikan program-program yang sarat dengan usaha dan kerja keras dalam melintasi pelbagai tingkatan dan stasiun untuk sampai pada derajat-derajat dan kondisi-kondisi di jalan meraih makrifat irfani dan sampai kepada tauhid dan kefanaan yang disebut sebagai thariqat. Adapun Irfan teoritis adalah sekumpulan redaksi dan ungkapan para arif terkait dengan pelbagai pengetahuan, capaian syuhudinya tentang hakikat semesta dan manusia.[5]


Penjelasan Kelima:
Dalam kitab Tamhid al-Qawâid, setelah menjelaskan pelbagai objeksi ilmiah (isykalan) yang diarahkan pada fondasi-fondasi Irfan teoritis (nazhari) tentang keharusan adanya seorang manusia sempurna (insan kamil), objeksi-objeksi ini mengarah pada fondasi Irfan praktis – untuk sampai pada derajat yang disebut sebagai Kaun Jami' – dan disebutkan bahwa: "Ucapan-ucapan yang telah lewat merupakan objeksi-objeksi yang mengarah pada Irfan teoritis. Dan obyeksi-obyeksi ini terkait dengan Irfan praktis.

Ayatullah Jawadi Amuli dalam memberikan ulasan terkait masalah ini berkata: "Yang dimaksud dengan Irfan amali (praktis) dalam hal ini adalah sekumpulan ajaran dan bimbingan yang menyangkut masalah metodologi dan tata laku. Karena itu hal ini tidak berseberangan dengan Irfan praktis yang membentuk teks suluk dan perbuatan dengan pelbagai redaksi, proposisi, masalah dan semisalnya.[6] Ayatullah Jawadi Amuli menegaskan bahwa dalam Irfan yang mengemuka bukanlah sebuah masalah atau sebuah proposisi. Yang mengemuka adalah tingkatan dan stasiun. Artinya seorang arif berupaya dengan melintasi tingkatan-tingkatan, ia sampai pada tingkatan ain al-yaqin yang bukan merupakan sebuah pengetahuan yang dicapai dengan pemahaman, melainkan sebuah penyaksian (syuhud) terhadap realitas sebenarnya.

Mereka yang mencerap dan memahami sebuah realitas melalui pemahaman dan konsep adalah laksana orang yang menyaksikan asap yang muncul dari api. Akan tetapi mereka yang seperti Haritsa bin Malik yang telah berhasil menyingkirkan media, menyaksikan langsung dengan ain al-yaqin wujud api.

Yang menarik adalah menyaksikan api

Bukan sekedar melihat membumbung dari kejauhan asap api

Akan tetapi Irfan teoritis yang bersandar dan berpijak pada konsep dan pemahaman sebagai ilmu memiliki proposisi dan argumentasi.[7]


Kesimpulan pembahasan:
Sebagaimana yang telah dikaji pada kesempatan kali ini secara lahir terdapat kontradiksi dan kerancuan dalam penjelasan-penjelasan ini. Akan tetapi dengan sedikit menyimak secara teliti atas matlab yang dijelaskan akan menjadi terang bahwa keluasan dan kesempitan pemahaman Irfan teoritis bergantung pada bagaimana kita memaknai Irfan praktis dalam benak kita.


Terkait dengan Irfan praktis terdapat dua makna yang mengemuka:
1. Suluk itu sendiri dan perbuatan

2. Ajaran-ajarannya yang mengandung tentang metode suluk.

Dua penjelasan pertama terkait dengan perbedaan antara Irfan teoritis dan Irfan praktis. Lantaran Irfan teoritis terkadang digunakan sebagai lawan kata dari makna kedua. Adapun tiga penjelasan belakangan Irfan teoritis diposisikan berhadapan (lawan kata dari) dengan makna pertama. Dan sesuai dengan ungkapan kedua tidak ada masalah bahwa seluruh pembahasan Asfar Arba'ah (Empat Perjalanan) dan penjelasan tingkatan-tingkatan sair suluk dan qaus su'ud, zuhud, kecintaan (mahabbah), riyadhah (olah jiwa) dan sebagianya dikemukakan dalam Irfan teoritis.[]


Catatan kaki:
[1]. Atas dasar ini ia disebut sebagai firqah sufiyah. Dalam buku "Mabâni Irfân wa Tasawwuf" karya Dr. Qasim Anshari pada pelajaran pertama dijelaskan alasan penamaan firqah ini sebagai firqah sufiyah.

[2]. Syahid Muthahhari, Asynai ba 'Ulum-e Islami, bag. Irfân, hal. 76-77.

[3]. Nazhimzadeh Qummi, 'Ali Aiyine 'Irfan, hal. 40-41.

[4]. Syahid Muthahhari, A^synâi bâ 'Ulûm-e Islâmi, bag. Irfân, hal. 76-77.

[5]. Dr. Yatsribi, Irfân Nazhari, hal. 38-53.

[6]. Ayatullah Jawadi Amuli, Tahrir Tamhid al-Qawâid, hal. 598-601.

[7]. Ayatullah Jawadi Amuli, Tahrir Tamhid al-Qawâid, hal. 13 dan 158.

8
TANYA JAWAB MASALAH IRFAN

7. Apakah yang dimaksud dengan fana dalam dunia Irfan?
Fana merupakan kata yang diserap dari bahasa Arab dan secara leksikal bermakna tiada atau binasa. Dalam terminologi Irfan fana ini bermakna tenggelamnya seorang hamba dalam samudera Ilahi. Sedemikian karamnya sehinggga kemanusiaan seorang hamba lebur dan sirna dalam rububiyah Tuhan. Para pesuluk dan orang-orang yang meniti jalan menuju Allah, membagi beberapa tingkatan (manazil) untuk sampai kepada Allah Swt dan fana dipandang sebagai jalan pamungkas dan akhir dari perjalanan seorang salik (pejalan) menuju Allah Swt.

Misalnya Fariduddin Attar terkait dengan masalah ini meyakini delapan jalan untuk mencapai Allah Swt: Thalab (menuntut), isyq (cinta ekstrem), istighna (merasa cukup), tauhid, takjub kefakiran dan fana. Dan di sisi lain, orang-orang yang mencicipi kelezatan Irfan membaginya menjadi beberapa jalan. Pertama, fana secara lahir atau fana seluruh perbuatan. Kedua, fana secara batin yang merupakan fana pada sifat-sifat. Ketiga fana dzat.

Para ahli makrifat berkata bahwa mereka yang telah fana maka mereka baqa (berkediaman tetap) di hadirat Ahadiyat (Allah Swt).

Fana merupakan kata yang diserap dari bahasa Arab dan secara leksikal bermakna tiada atau binasa.[1] Dalam terminologi Irfan, fana disebutkan sebagai tenggelamnya seorang hamba dalam samudera Ilahi. Sedemikian karamnya sehinggga kemanusiaan seorang hamba lebur dan sirna dalam rububiyah Tuhan.


Untuk menjelaskan duduk perkara dari apa yang dijelaskan sebelumnya kiranya poin-poin berikut ini perlu mendapat perhatian:
1. Sebagaimana kita tahu bahwa Allah Swt, dengan kehendak-Nya yang penuh hikmah, sedemikian Dia mencipta manusia sehingga sepanjang hidupnya, senantiasa berpikir bagaimana dapat sampai kepada kesempurnaan mutlak dan melalui kehidupan yang transident tersebut ia dapat menembus batas keabadian. Untuk dapat sampai kepada tujuan ini maka ia tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan dan membuang-buang waktu. Ia senantiasa berupaya mendapatkan apa yang tidak ia miliki dan tatkala ia meraihnya, kecendrungan dan hasratnya kepada sesuatu yang lebih baik dan lebih sempurna pada dirinya senantiasa bergelora. Hasrat ini akan terus-menerus menghantuinya sebagaimana dalam syair Hafiz:

Takkan surut biduk ke pantai hingga aku mencapai dermaga seberang

Tak peduli jiwa yang akan sampai kepada Sang Pencipta atau akan berkalang


Akan tetapi harus diperhatikan bahwa harapan dan hasrat ini adalah bersumber dari kedalaman hati dan bercorak hakiki bukan majazi. Hasrat dan harapan ini merupakan sebuah realitas dan hakikat yang sejalan dan selaras dengan derajat dan kedudukan manusia sehingga dengan mengeksplorasi anugerah ini yang dikhususkan untuknya supaya melesakkannya kepada kesempurnaan dan kembali kepada kediaman aslinya:

Sesiapa yang jauh dari kediamannya

Maka hendaklah ia mencari hakikat kediriannya


2. Manusia adalah sebuah entitas yang merdeka dan bebas memilih yang dapat melesak hingga titik tanpa batas pada dua kausa su'udi dan nuzuli-nya.

3. Manusia dalam perjalanana menuju kesempurnaan melintasi pelbagai hambatan dan rintangan yang disebut oleh para urafa sebagai ta'ayyunat (entifikasi)[2] dan inniyat (keakuan).[3] Selagi ia tidak merobohkan entifikasi-entifikasi ini dan dan menjebol keakuan-keakuan ini maka sekali-kali ia tidak akan pernah sampai pada tujuan. Entifikasi dan keakuan ini adalah debu dan tirai gelap yang menjadi penghalang memendarnya cahaya kebenaran atas diri seorang hamba.

Engkau tidak keluar dari watak aslimu

Kemanakah engkau hendak ayunkan langkahmu

Tirai dan topeng membungkus dirimu

Singkirkanlah debu ini hingga engkau mampu melihat jalanmu


Dengan memperhatikan pendahuluan-pendahuluan ini kita berkata bahwa tatkala seorang salik melintasi stasiun demi stasiun sedemikian hingga ia tak lagi mengenakan busana dirinya dan menanggalkan pelbagai keakuan, entifikasi dan pelbagai keterikatan duniawi dan bahkan maknawi kemudian lebur, manunggal dan karam dalam samudera Hadhrat Ahadiyat maka ia telah mencapai makam fana. Dalam kondisi seperti ini ia telah melupakan diri dan kediriannya serta sirna dalam keindahan Sang Kinasih dan kemanapun ia melihat yang ia saksikan hanyalah dan semata hanyalah Dia.

Karena itu ahli makrifat berkata bahwa penutur (ana al-Haq) sejatinya berkata-kata sesuatu yang tidak dikehendakinya sehingga keluar dari lisannya seruan bahwa ia adalah Tuhan, melainkan sejatinya ia tengah menafikan dirinya dan keakuannya. Artinya bahwa aku tidak melihat siapa pun dalam diriku. Hanya Engkaulah yang kusaksikan dan lamat-lamat bertutur lirih:

Antara aku dan Engkau terdapat diri yang menghijabi

Dengan keagungan-Mu angkatlah tirai yang membentang ini

Kemarilah singkirkan wujud Hafiz dari dirinya

Sehingga dengan Wujud-Mu tiada yang mendengar bahwa aku adalah aku


Sebagai kelanjutan dari pembahasan ini kiranya kita juga perlu menyimak dua poin penting berikut ini:
1. Para arif yang meniti jalan menuju Allah membagi jalan tersebut dengan beberapa tingkatan dan stasiun[4] dan mereka berpandangan bahwa fana merupakan ujung dari tingkatan dan stasiun ini. Misalnya Fariruddin Atthar dalam perjalanan ini meyakini ada tujuh tingkatan dan stasiun: Thalab (menuntut), isyq (cinta ekstrem), istighna (merasa cukup), tauhid, takjub, kefakiran dan terakhir adalah fana.

2. Para ahli makrifat menyebutkan bagian-bagian fana sebagai berikut:[5]

1. Fana secara lahir yang merupakan fana seluruh perbuatan. Artinya bahwa seorang arif memandang seluruh perbutan dan pekerjaan itu sebagai berasal dari Tuhan dan menyandarkan kepada-Nya. Dalam hadis yang makruf qurb nawâfil disebutkan: "Dan sesungguhnya hambaku mendekatiku dengan amalan nafilah hingga Aku mencintainya. Bilamana Aku mencintainya maka Aku menjadi pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar. Menjadi penglihatan yang dengannya ia melihat. Dan menjadi lisannya yang ia gunakan untuk bertutur-kata. Dan menjadi tangan yang dengannya ia meraih. Sekiranya ia berdoa maka Aku kabulkan doanya dan apabila ia memohon maka Aku penuhi permohonannya.[6]

2. Fana secara batin yang merupakan fana pada sifat-sifat. Artinya berubahnya sifat-sifat kemanusiaan menjadi sifat-sifat Ilahi.


Khaja Nasiruddin Thusi berkata:
Karena seorang arif membawa dirinya sendiri dan menyatu dengan Tuhan maka ia melihat seluruh kekuatan yang ia miliki karam dalam samudera kekuatan-Nya. Dan seluruh ilmunya ia saksikan tenggelam dalam lautan ilmu-Nya sehingga tiada satu pun makhluk yang luput darinya dan melihat seluruh keinginannya larut dalam keinginan-Nya sehingga tiada satu pun dari makhluk yang dapat menolak atau mencegahnya.[7]

3. Fana dzat yang merupakan puncak tertinggi dari perjalanan malakuti dan ruhani seorang arif yang dapat dilakukan oleh sebagian jawara suluk. Bahkan hijab cahaya nama-nama dan sifat-sifat juga akan tersingkir dan sampai pada pelbagai jelmaan dzati ghaibi. Dan dalam penyaksian ini, ia menyaksikan dominasi qayyumi Tuhan dan kefanaan dzatinya. Ia menyaksikan entifikasi wujudnya dan seluruh entitas berada di bawah siluet dan bayangan Hak sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Khomeini Ra dalam karya monumental Irfannya, Chihil Hadits (40 Hadis) "Inna ruha al-Mu'min asyadda ittishalan biruhiLlah min ittishal syia' al-syams biha."[8] (Sesungguhnya pertautan ruh seorang mukmin dengan ruh Tuhan lebih erat dan lekat ketimbang pertautan cahaya matahari dengan matahari).[9][]


Catatan Kaki:
[1]. Farhangg-e Farsi, 'Amid, hal. 1551.

[2]. Tipologi dan karakteristik seseorang.

[3]. Keberadaan dan eksisten.

[4]. Akan tetapi terdapat ragam pendapat terkait dengan bilangan stasiun dan tingkatan ini.

[5]. Silahkan lihat Diwân Hâfiz ba Syarh-e 'Irfân, Ahmad Daneshgar, hal. 144-145.

[6]. Ushûl Kâfi, Kitâb al-Iman wa al-Kufr, bâb "Man adza al-Muslimin wa ihtiqârihim", hadis ke-8; Mahasin Barqi, hal. 291.

[7]. Syarh-e Isyârât, Ibnu Sina, jil. 3, Maqâmat al-'A^rifîn, hal. 390.

[8]. Ushûl Al-Kâfi, jil. 2, Kitâb al-Kufr wa al-Imân, bab Ukhuwat Mu'minin, hadis ke-4.

[9]. Silahkan lihat, Chihil Hadîts, Imam Khomeini, hal. 382 (Edisi Indonesianya 40 Hadis Imam Khomeini)

9
TANYA JAWAB MASALAH IRFAN

8. Apa yang dimaksud dengan wilâyah takwini dan apa kaitannya dengan para Imam Maksum As?
"Wilâyah" bermakna hadirnya sesuatu sebagai ikutan dari sesuatu yang lain tanpa ada jarak di antara keduanya. Keniscayaan ikutan ini adalah kedekatan dan kekerabatan di antara keduanya.

Dengan demikian, terminologi wilâyah ini juga digunakan dengan makna cinta dan persahabatan, pertolongan dan sokongan, pengikut dan pendukung, pemimpin dan pembina.

"Wilâyah takwini" artinya kepemimpinan atas seluruh eksisten di alam semesta dan penguasaan atasnya. Pemilik wilâyah takwini ini, pertama dan secara esensial hanya terbatas pada dzat Allah Swt dan pada urutan kedua dan secara akisdental dimiliki oleh Nabi Saw, para Imam Maksum As dan manusia-manusia sempurna.

"Wilâyah" merupakan redaksi Arab yang derivatnya dari kata "wali". Pada bahasa Arab, wilâyah ini bermakna hadirnya atau datangnya sesuatu sebagai ikutan atau susulan dari sesuatu yang lain tanpa adanya jarak di antara keduanya. Keniscayaan pengikutan ini adalah kedekatan dan kekerabatan yang terajut di antara keduanya.

Dengan demikian, redaksi ini digunakan dengan bentuk yang beraneka ragam (dengan fatha dan kasra waw) yang bermakna kecintaan dan pertemanan, pertolongan dan sokongan, ikutan dan dukungan, kepemimpinan dan leadership. Makna yang tepat untuk terminologi "wilâyah takwini" adalah makna yang belakangan dari ragam makna wilâyah ini.

"Wilâyah takwini" artinya kepemimpinan atas seluruh eksisten semesta dan penguasaan atasnya. Pada urutan pertama dan secara esensial wilâyah ini terbatas pada Allah Swt. Pada urutan kedua dan secara aksidental pada para nabi, Imam Maksum As dan para insan kamil. Akan tetapi kaidah ini, tetap harus mendapat perhatian dalam bentuk sebuah program metodologis pada kebanyakan tema dalam al-Qur'an seperti kemuliaan (izzah), quwwah (kekuatan), dan syafaat.

Terkait dengan wilâyah kita perhatikan bahwa Allah Swt berfirman, "Dan Allah, Dialah wali." Wali hakiki manusia dan semesta hanyalah Allah Swt." (Qs. Al-Syura [42]:9) Pada saat yang sama dalam hal yang lain, Allah Swt berfirman, "Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin daripada diri mereka sendiri" (Qs. Al-Ahzab [33]:6); atau pada ayat yang lain disebutkan, "Sesungguhnya pemimpinmu hanyalah Allah, rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan salat dan menunaikan zakat, sedang mereka dalam kondisi rukuk." (Qs. Al-Maidah [5]:54) dimana dalam ayat ini ditetapkan wilâyah bagi Tuhan, Nabi Saw dan Ahlulbait As.

Kita berkata ahwa ayat-ayat ini tidak bermakna bahwa manusia memiliki beberapa wali dan pemimpin dimana salah satu dari mereka atau wilâyah yang paling unggul dari mereka adalah wilâyah Tuhan. Makna ayat ini adalah bahwa dengan memperhatikan pembatasan wilâyah "walllahu huwa al-wali." Adalah bahwa satu-satunya wali hakiki dan sejati hanyalah Tuhan.

Nabi Saw dan Ahlulbait As adalah wali pada urutan kedua dan memiliki wilâyah secara aksidental. Mereka merupakan cermin wilâyah Tuhan. Menyitir redaksi indah al-Qur'an, mereka adalah ayat dan tanda-tanda wilâyah Tuhan.[1]


Terkait dengan pertanyaan kedua bahwa apa kaitannya wilâyah takwni dengan para Imam Maksum As?

Sebelum menjawab pertanyaan ini kiranya kita perlu memperhatikan dua poin berikut ini:
1. Di antara seluruh eksisten di alam semesta ini, manusia memiliki kedudukan dan derajat sedemikian unggul dan tinggi sehingga bahkan para malaikat sekalipun tidak sampai pada kedudukan dan derajat tersebut. Manusia memiliki potensi dan pelbagai kekuatan terpendam di dalamnya dimana apabila ia menemukannya dalam dirinya dan terus ia bina maka ia dapat menjadi khalifah Tuhan di muka bumi dan sebaik-baik makhluk di pelataran semesta.

2. Allah Swt, dari satu sisi, membuka jalan bagi seluruh manusia untuk sampai kepada wilâyah-Nya "Sesungguhnya para wali Allah tiada ketakutan pada diri mereka juga tiada kesedihan." Dari sisi lainnya, Allah Swt memperkenalkan para walinya dengan indah.


Dengan memperhatikan dua matlab ini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa para Imam Maksum As berkat pembinaan dan penggemblengan pelbagai potensi, meraih pengetahuan dan makrifat yang tinggi dan sampai kepada iman dan yakin yang lebih tinggi mereka memasuki wilâyah Ilahi dimana hasil penuh berkahnya adalah ifadah Allah Swt atas wilâyah takwini-Nya kepada orang-orang suci tersebut.

Riwayat hidup para maksum menunjukkan bahwa penghambaan dan pengabdian kepada Tuhan dan hubungan intens dengan Sumber segala keberadaan dalam kehidupan mereka dimana dengan elixir penghambaan Tuhan ini, mereka melakukan pelbagai aktifitas kimiawi dan memberikan detak pada ruh kehidupan dalam kerangka sistem semesta sebagaiman yang disebutkan dalam sebuah hadis "Dengan perantara kalian sehingga langit tidak runtuh ke bumi."[2]

Dinukil dari Imam Mujtaba As yang bersabda: "Barangsiapa yang menyembah Allah Swt maka Allah akan jadikan segala sesuatu menjadi hambanya dan berada di bawah kendalinya."[3]

Dalam hadis qudsi disebutkan bahwa Allah Swt bersabda: "Hambaku taatilah Aku sehingga Aku menjadikanmu seperti-Ku."[4]

"Wahai Bani Adam Aku mahakaya tidak akan miskin. Taatilah atas apa yang Aku perintahkan kepadamu sehingga Aku jadikan engkau kaya tidak akan miskin.
Wahai Bani Adam! Aku (maha) hidup tiada akan mati. Taatilah atas apa yang Aku serukan kepadamu sehingga Aku jadikan engkau hidup tiada akan mati. Wahai Bani Adam! Aku berkata jadilah maka jadilah (kun fayakun) pada sesuatu, taatilah atas apa yang Aku perintahkan kepadamu, sehingga Aku jadikan engkau berkata kepada sesuatu jadilah maka jadilah (kun fayakun)."[5]

Di samping riwayat ini, terdapat banyak riwayat dan hadis yang terkenal, qurb nawafil yang disebutkan dalam kitab Ushul Kafi, dijelaskan secara umum rumusan bagaimana para maksum sampai keapda wilâyah takwini. Berkat wujud mereka seluruh entitas memakan rezekinya, langit tetap tegak dan bumi tetap terhampar.[6]

Kesimpulannya: Para maksum dalam mencari wilâyah takwini Allah Swt mampu mengendalikan seluruh eksiten, entitas dan sistem alam semesta dan seluruhnya berkhidmat kepada mereka sehingga kita tidak mampu menghitung segala mukjizat dan akfitas ektsraordinari mereka. Semua ini merupakan penegas atas realitas yang tidak dapat diingkari ini.[]


Catatan Kaki:
[1]. Wilâyat Faqih, Abdullah Jawadi Amuli, hal. 122, 123, dan 129.

[2]. Ziarah Jame'e.

[3]. Tafsir 'Askari, jil. 1, hal. 327.

[4]. Asrâr al-Shalat, hal. 4 (mukaddimah). Syarh-e Doa Sibah, Khui, jil. 1, hal. 11, mukaddimah musahhih.

[5]. Bihâr al-Anwâr, jil. 90, hal. 376, bab 24, 'Illah al-Ibtha' fi al-Ijâbah…; Irsyâd al-Qulûb, jil. 1, hal. 75, al-Bab al-Tsâmin 'Asyar, Wishaya wa Hukum Balighah.. Iddat al-Da'i, hal. 310.

[6]. Mafâtih al-Jinân, hal. 85, Dua 'Adilah, hal. 84.

10
TANYA JAWAB MASALAH IRFAN

9. Dalam beberapa buku irfan dan filsafat terdapat pembahasan yang mengulas masalah qaus nuzul wa shu’ud. Tolong jelaskan apa maksud dari dua istilah teknis ini? Dan apa perbedaan di antara keduanya?
Hakikat wujud itu memiliki dua sisi. Satu sisinya adalah berupa realitas hakiki (fi’liyyat mahdh) dan kesempurnaan mutlak. Sedangkan sisi lainnya adalah berujung kepada potensi hakiki (quwwah mahdh) dan penerima belaka. Jarak antara kedua sisi dan ujung ini terdapat peringkat-peringkat wujud mutawassith (pertengahan).

Cahaya wujud dari sumber wujudnya tidak akan sampai kepada potensi hakiki (quwwah mahdh) kecuali ia terlebih dahulu melewati dan melintasi seluruh tahapan-tahapan wujud mutawassith yang dikenal sebagai qaus nuzuli (kurva turun). Sebagaimana pula bahwa wujud -pada tahapan-tahapan penyempurnaan- dari maqam “penerimaan semata” (hayula; materi pertama) tidak akan mencapai maqam “qurb” (kedekatan) kepada wajib al-wujud (Wujud Wajib, Allah Swt) kecuali harus melalui seluruh tahapan-tahapan wujud mutawassith yang dikenal dengan qaus shu’udi (kurva naik).

Berdasarkan hal ini, mereka (ulama irfan) memandang bahwa perjalanan hakikat wujud itu mirip dengan sebuah lingkaran yang mencakup kedua qaus tersebut.

Menurut pandangan irfan bahwa pada qaus nuzul, manusia senantiasa membawa seluruh tahapan-tahapan yang telah diamanatkan kepadanya dan setelah itu, pada qaus shu’ud seluruh apa yang telah diperoleh pada qaus nuzul harus dikembangkan sehingga bisa sampai kepada derajat terakhir kesempurnaan.

Apabila ia telah mencapai peringkat tsabat dan qarar (tetap dan eksis), maka lingkaran wujudnya pun menjadi sempurna dan terbebas dari segala batasan dan ketentuan.

Sebagaimana Rasulullah Saw yang telah sampai kepada maqam dan derajat mulia ini. Dalam hal ini Al-Qur’an mengisyaratkan: “Tsumma danaa fatadallaa fakaana qaaba qausaini au adnaa” (kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi, maka jadilah ia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi).

Sebelum merangsek pada pokok bahasan, kiranya perlu dijelaskan di sini dua kaidah filsafat; yaitu kaidah imkan asyraf dan imkan akhas. Kaidah imkan asyraf adalah sebuah kaidah yang menetapkan bahwa pada seluruh tahapan wujud, mumkin asyraf (wujud kontingen yang dari segi wujud atau eksistensinya lebih tinggi dan lebih mulia) harus lebih awal dari mumkin akhas (wujud kontingen yang dari segi tingkatan wujud dan eksistensinya lebih rendah).

Dengan kata lain, bahwa setiap mumkin akhas ada, maka sebelumnya harus ada mumkin asyraf. Misalnya ketika kita mencoba memperhatikan akal dan membanding-bandingkan antara keduanya maka kita akan yakin bahwa akal lebih unggul dari nafs. Ketika itu, kalau kita tahu munculnya wujud nafs, maka tentunya sebelumnya kita telah lebih dahulu tahu tentang munculnya wujud akal. Dan kaidah imkan akhas merupakan kebalikan dari kaidah imkan asyraf.

Hakikat wujud memiliki dua dimensi, yang keduanya itu sering disebut sebagai dua sisi wujud. Satu sisi sampai kepada realitas hakiki dan kesempurnaan mutlak, dan sisi lain hanya sebagai potensi belaka dan sekedar menerimanya saja. Dimensi yang sampai kepada realitas hakiki dan kesempurnaan mutlak adalah wajib al- wujud (Wujud Wajib) dimana kesempurnaannya itu tidak terbatas dan dari sisi perbuatannya tidak akan pernah berujung.

Dimensi yang hanya sampai pada sebatas potensi dan penerimaan semata adalah hayula ula (materi pertama) dimana peluang untuk kehilangan kesempurnaan tidak ada batasnya dan juga dalam menerima berbagai potensi tidak punya limit. Jarak antara kedua dimensi ini dibentuk oleh tahapan-tahapan pertengahan wujud.

Cahaya wujud, dari awal keberadaannya, tidak akan pernah sampai hingga pada tahapan materi pertama yang merupakan reaksi semata (infi’al mahdh) kecuali harus melewati seluruh tahapan pertengahan wujud yang mana disebut qaus nuzul (kurva turun). Demikian halnya wujud pada tahapan penyempurnaan, dimana dari maqam hayula (materi) tidak akan pernah sampai ke maqam kedekatan pada Wajib al-Wujud kecuali ia harus melewati seluruh tahapan yang ada pada qaus shu’ud (kurva naik).

Dengan melalui media kaidah imkan asyraf, telah banyak maujud mutawassith terealisasi pada qaus nuzul. Dan juga melalui media imkan akhas, telah banyak maujud mutawassith terealisasi. Yakni pada qaus nuzul, dengan terbuktinya wujud nafs maka wujud akal pun, melalui media imkan asyraf, juga menjadi terbukti. Akan tetapi, nafs nathiqah menjadi terbukti pada qaus nuzul melalui perantara kaidah imkan akhas dan pembuktian aka.[1]


Qaus nuzul dan shu’ud manusia dalam pandangan Irfan
Allah Swt berfirman:”Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian kami kembalikan ia ke tempat yang serendah-rendahnya” (Qs. Al-Tin [95]:4-5). Hal ini sesuai dengan qaus nuzul dan menunjukkan bahwa sebelum alam tabiat, manusia telah ada sebelumnya. Dan hal ini sesuai dengan realita dan penarikan dari maqam tertinggi (a’la ‘illiyyin) ke maqam terendah (asfala safilin) tidak mungkin kecuali ia harus melewati tangga-tangga yang terdapat di antaranya.

Jadi, dalam ilmu Ilahi turun dari Hadrat Wâhidiyyah dan ‘ain tsabit (entifikasi permanen) ke alam masyiyat, dan alam masyiyat ke alam ‘uqul dan ruhanih (malaikat al-muqarrabin), dan dari alam itu ke alam malakut ‘ulya (nafs-nafs kulliyah) dan dari alam itu ke alam tabiat. Alam tabiat juga memiliki tingkatan-tingkatan, dan yang paling rendah adalah alam hayula dimana ia merupakan tahapan pertama alam atau dengan istilah lainnya alam lampau dan thabi’at nazilah (tabiat yang menurun) dan derajat akhir turunnya manusia.

Lantas mulai melakukan perjalanan dan secara bertahap dari maqam terendah, materi pertama (hayula) yang mengikat qaus (busur panah), hingga naik ke maqam “Tsumma danaa fatadallaa fakaana qaaba qausaini au adnaa” (kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi, maka jadilah ia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). Dengan itu maka manusia sempurna (insan kamil) adalah seluruh silsilah wujud, dan lingkaran wujud itu berakhir dengannya dan dialah yang awal dan akhir yang zahir dan batin serta dialah kitab universal Ilahi.[2]

Para filosof menganggap bahwa awal dan akhir kedua qaus tersebut adalah pada akal pertama yang mana berada dalam faidh muqaddas (emanasi yang Mahasuci) dan juga menganggap bahwa akal pertama tersebut merupakan tahapan sederhana dan universalitas perintah Ilahi yang Esa (Qs. Al-Qamar [54]: 50).

Menurut anggapan para urafa bahwa kesempurnaan atau limit dari lingkaran tersebut berada pada qaus shu’ud yang sampai ke maqam au adnâ (atau lebih dekat), dimana permulaan gerakan dan terpancarnya limpahan tersebut dinisbahkan kepada nama-nama Dzat (Ilahi). Dari sini, kedua qaus shu’ud dan nuzul serta cakupan lingkaran perkara Ilahi dan juga gerakan pengadaan atau pembentukan tersebut menurut ahli irfan, lebih luas serta lebih besar jangkauannya dibandingkan apa yang dipahami oleh ahli hikmah.

Dalam pandangan Irfan, insan kamil adalah apa yang diungkapkan oleh Al-Qur’an pada surat al Isra (17) ayat 79:”Dan pada sebahagian malam hari shalat malamlah (dan bacalah Al-Qur’an). Ini sebagai suatu ibadah dan kewajiban tambahan bagimu. Mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji”.

Ia Mahmud mutlaq (yang terpuji secara mutlak) lantaran semua makhluk di alam semesta yang sentiasa mendapat limpahan-Nya memuji dan menyanjung Dia. Pemilik maqam mahmud adalah orang yang dengan meniti serta melalui kedua qaus nuzul dan shu’ud itu serta sampai pada maqam au adnaa (atau lebih dekat), telah menyatukan dan membuat jembatan penghubung antara kedua qaus tersebut. Pada qaus nuzul, manusia mengemban seluruh tahapan-tahapan yang telah diamanatkan dan setelah itu pada periode qaus shu’ud, seluruh apa yang telah diperoleh dan dicapai pada periode qaus nuzul harus dikembangkan dan tetap dijaga serta dipelihara.

Ahmad menjadi rasul, akal pun kerdil di hadapannya

Dua alam ini tercipta hanya karenanya

Aku telah menjadi nabi yang mengibarkan panji dalam genggaman

Kenabian pamungkas dititipkan kepada Muhammad

Bulan yang merupakan batu cincin telah menjadi Zabarjad

Stempelnya adalah kasih Muhammad

Lingkaran dunia adalah lingkaran mim-nya

Kedua alam tersembunyi pada kediamannya

Lilin Ilahi berkobar dari dalam hatinya

Ibrah kehidupan telah ia dapati sepanjang abad

Sinar mentari berhajat kepadanya

Setengah hilal adalah malam mikrajnya

Peringkat awal dimana akal adalah tulisan

Duduk dalam mahjubah Ahmad

Dialah penutup rasul dan pamungkas para nabi. (Nizhami)

Dalam Al-Qur’an banyak ditemukan ayat-ayat yang menyingkap hal-hal yang berkaitan dengan qaus nuzul dan qsaus shu’ud, di antaranya adalah surat al-A’raf (7) ayat 29:”Sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan, (demikian pulalah) kamu akan kembali kepada-Nya” dan juga pada surat al-Anbiya (21) ayat 104:”Sebagaimana kami telah memulai penciptaan pertama begitulah kami akan mengulanginya” dan lain-lain.

Sehubungan dengan hal ini, di dalam doa Nudbah kita ucapkan sebuah ungkapan yang ditujukan kepada Hujjah Allah Swt di muka bumi ini (Imam Zaman Ajf.):”Yabna man danaa fatadallaa fakaana qaaba qausaini au adnaa dunuwwan wa iqtiraban minal ‘aliyyil a’laa...” (Wahai putra seorang yang telah mendekat, lalu bertambah dekat lagi, maka jadilah ia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi) kepada yang Mahatinggi).[3]

Perbincangan mengenai qaus shu’ud dan nuzul sangat luas, tetapi kita cukupkan hanya disini saja dan bagi siapa yang tertarik dengan bahasan ini, maka kami persilahkan untuk merujuk ke referensi-referensi yang ada. []


Catatan Kaki:
[1] Ghulam Muhsin ibrahimi dinai, Qawâid-e kulli-e Falsafi dar Falsafe-e Islâmi, jilid 1 halaman 30.

[2] Sayyid Ruhullah Khomeini, Syarh-e Do’a-e Sahar, halaman 102, Nehdhat-e Zanân-e Musalmân.

[3] Abbas Muhaddits Qumi, Mafâtihul Jinân, Do’a Nudbah.

11
TANYA JAWAB MASALAH IRFAN

10. Apa hubungan antara wahdatul wujud dalam pandangan Ibnu Arabi dan Filsafat Hikmah Mulla Shadra?
Apa hubungan antara wahdatul wujud dalam pandangan Ibnu Arabi dan Filsafat Hikmah Mulla Shadra? Apakah bangunan Filsafat Hikmah tekerangka dari maktab filsafat, tasawuf dan irfan sebelum Mulla Shadra? Dan yang paling penting adalah bagaimana dua pandangan ini memainkan peran penting dalam kehidupan manusia? Apakah bersandar pada pandangan ini dapat melesakkan manusia lebih dekat kepada Allah Swt?

Kendati wahdatul wujud sebelum Ibnu Arabi mengemuka di kalangan kebanyakan urafa tetapi tidak bisa disangsikan bahwa pandangan Ibnu Arabi yang lebih menonjol dalam hal ini.


Makna wahdatul wujud
Wahdatul wujud dalam pandangan urafa (plural dari arif) dan Ibnu Arabi bukanlah wahdatul wujud konseptual (mafhum), melainkan yang dimaksud dengan wahdatul wujud adalah wahdatul wujud segala sesuatu yang ada di dunia luaran yang hakikatnya diperoleh oleh urafa melalui jalan syuhud. Karena itu, dalam pandangan ini, wujud hakiki itu tidak lebih dari satu dan wujud tersebut adalah wujud Tuhan. Selain Tuhan, apa pun yang eksis dan maujud yang nampak adalah semata-mata entifikasi dan manifestasi wujud Tuhan.

Ibnu Arabi berpandangan bahwa hakikat wahdatul wujud adalah "thuri warai thur aql" (di luar jangkauan akal) yang menjadi penyebab keheranan orang-orang berakal dan untuk memahami hal tersebut ia membutuhkan pada pengenalan yang lebih tinggi yang dalam hal ini akal tidak dapat dijadikan sandaran.

Dalam Filsafat Hikmah Mulla Shadra juga mengemuka konsep wahdatul wujud. Sesuai dengan penjelasan para pemerhati Filsafat Hikmah, Mulla Shadra dalam menjelaskan konsep wahdatul wujud banyak terpengaruh oleh pandangan Ibnu Arabi.

Perbedaan asasi antara Ibnu Arabi dan Mulla Shadra terletak pada penekanan Ibnu Arabi atas "thuri warai thur aql" konsep wahdatul wujud. Mulla Shadra meyakini bahwa konsep wahdatul wujud dapat dijelaskan secara filosofis. Atas dasar ini, sistem filsafat Mulla Shadra berdasarkan dan berpijak pada masalah kehakikian wujud (ashalatul wujud) dan wahdatul wujud.

Disebutkan bahwa masalah wahdatul wujud bagi urafa sekali-kali tidak dikemukakan sebagai satu konsep murni filosofis dan terpisah dari realitas kehidupan. Masalah wahdatul wujud merupakan pengungkap tertinggi derajat kemurnian dan ketulusannya dalam bertauhid kepada Allah Swt. Kehidupan yang sarat dengan cinta dan harapan urafa Ilahi sejatinya merupakan jelmaan kehidupan yang berdasarkan wahdatul wujud.

Pada hakikatnya, mazhab cinta dalam irfan Islam bertitik tolak dari konsep ini. Karena para pesalik (yang menekuni dan melakoni) jalan irfan apabila mereka memerhatikan realitas ini bahwa alam semesta khususnya manusia merupakan manifestasi wujud Tuhan, maka ia akan menjadi pecinta Tuhan di alam semesta dan puncak dari cinta ini adalah kefanaan dan lebur dalam wujud hakiki Ilahi.

Wahdatul wujud merupakan pesan utama irfan Ibnu Arabi yang dapat disaksikan pada seluruh karyanya. Kendati pada masa sebelum Ibnu Arabi, urafa banyak menyinggung masalah ini namun tidak dapat disangsikan bahwa pandangan Ibnu Arabi yang lebih menonjol dalam hal ini.


Makna wahdatul wujud
Wahdatul wujud dalam pandangan urafa (plural dari arif) dan Ibnu Arabi bukanlah wahdatul wujud konseptual (mafhum), melainkan yang dimaksud dengan wahdatul wujud adalah kesatuan wujud segala sesuatu yang ada di dunia luaran yang hakikatnya diperoleh oleh urafa melalui jalan syuhud. Sumber utama konsep wahdatul wujud ini sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan masalah filosofis.[1]

Karena itu, menurut konsep wahdatul wujud, wujud hakiki itu tidak lebih dari satu dan wujud tersebut adalah wujud Tuhan. Selain Tuhan, apa pun yang eksis dan maujud yang nampak adalah semata-mata entifikasi (ta'ayyun) dan manifestasi (tajalli) wujud Tuhan.

Penjelasan ini berkali-kali dapat dijumpai dalam karya-karya Ibnu Arabi yang menandaskan bahwa alam semesta merupakan manifestasi Tuhan dan tiada yang nampak pada wujud selain Hak (Tuhan),[2] yang dengan memerhatikan pada Zat-Nya seluruh semesta dan isinya adalah lebur dan batil. Akan tetapi, karena penampakannya lantaran wujud Tuhan maka selain Tuhan itu ia memiliki wujud bilghair.

Demikan juga, ucapannya yang terkenal adalah: "Mahasuci Allah yang menampakkan segala sesuatu dan itu identik dengan-Nya."[3] Yang tentu saja maksudnya adalah segala sesuatu itu identik dengan penampakan (zhuhur) bukan identik dengan zat segala sesuatu. Sebagaimana pada kesempatan lain ia berkata: "Dia adalah identik dengan setiap entitas pada tingkatan penampakan (zhuhur) bukan identik dengan setiap entitas pada tataran esensinya. Allah Swt Mahasuci dari penyandaran seperti ini. Dia adalah Dia dan segala entitas adalah entitas-entitas relasional (maujudat rabthi).[4]

Ibnu Arabi memandang bahwa hakikat wahdatul wujud merupakan sebuah perkara yang sangat agung dan "thuri warai thur akal"[5] yang membuat orang-orang berakal takjub dan mereka membutuhkan (media) pengenalan yang lebih tinggi untuk memahami hal ini. Ia meyakini bahwa akal tidak dapat diandalkan untuk mencerap hakikat wahdatul wujud. Lantaran Allah Swt pada tingkatan penampakan (zhuhur) adalah identik dengan segala sesuatu. Namun Dia tidak identik dengan segala sesuatu pada tataran esensi (zat). Perkara agung ini bukan sekedar sepintas kontradiksi, melainkan benar-benar kontradiksi; lantaran apabila kontrakdiksi hanya tampak secara lahir maka setelah kontradiksi ini dapat diatasi maka ia tidak lagi agung dan tidak lagi membuat orang-orang takjub.

Ibnu Arabi mengatakan, "Mengungkapkan hal ini benar-benar pelik. Lantaran kata-kata tidak mampu mengekspresikannya. Dan karena perubahan dan kontrakdiksi pada hukum-hukumnya maka benak tidak dapat merekamnya. Masalah ini seperti pada firman Allah Swt yang menyatakan: "Wama ramaita idz ramaita." (Kalian tidak melempar (pengingkaran) tatkala kalian melempar (penetapan)."[6]

Apa yang telah diuraikan di atas adalah beberapa penjelasan dan ungkapan Ibnu Arabi terkait pembahasan wahdatul wujud yang menjadi fokus utama kajian irfan teoritis.

Adapun konsep wahdatul wujud ini mengemuka dalam Filsafat Hikmah Mulla Shadra dan Mulla Shadra mengklaim bahwa ia mampu menetapkan konsep wahdatul wujud tersebut dengan argumen-argumen filosofis.

Kebanyakan urafa meyakini bahwa Mulla Shadra mengadopsi pokok konsep wahdatul wujud ini dari Ibnu Arabi dan secara umum memandang Mulla Shadra banyak terpengaruh oleh pemikiran Ibnu Arabi. Pada tataran praktik juga, persoalan-persoalan yang disampaikan Mulla Shadra menunjukkan bahwa ia telah sampai pada puncak dan ketinggian filsafatnya dengan menggunakan konsep wahdatul wujud. Sebagaimana hal itu ia nyatakan sendiri: "Tuhanku telah memberikan petunjuk dan burhan-burhan jelas kepadaku bahwa wujud hanya terbatas pada satu hakikat sedemikian sehingga tiada entitas yang eksis selain wujud-Nya. Dan apa pun yang nampak eksis selain-Nya adalah penampakan, manifestasi dan emanasi dari seluruh emanasi-Nya yang tak-terbatas."[7]

Terkait dengan perbedaan asasi antara Ibnu Arabi dan Mulla Shadra, Ibnu Arabi meyakini bahwa wahdatul wujud tidak dapat diungkapkan dengan akal dengan berkata "thuri warai thur akal." Mulla Shadra berdasarkan pandangan universalnya yang bersandar pada kesatuan irfan, al-Quran dan burhan, menandaskan bahwa masalah ini, di samping seiring sejalan dengan al-Quran juga merupakan persoalan argumentatif dan dapat dinalar secara filosofis.

Berkenaan dengan penjelasan Mulla Shadra kiranya kita perlu menyebutkan poin ini bahwa Mulla Shadra secara lahir mengemukakan dua pendapat dalam masalah ini: Pendapat pertama dan pendapat terakhir. Pendapat pertama disebut sebagai "wahdat tasykiki wujud" dan pendapat terakhir dinamakan dengan "wahdat syakhshia wujud." Sesuai dengan penjelasannya sendiri, pendapat pertama semata-mata merupakan tingkatan persiapan sehingga klaim utamanya yaitu "wahdat syakhshia wujud" atau wahdatul wujud urafa dapat ia tetapkan.[8]

Wahdat tasykiki wujud (kesatuan gradasi wujud) adalah bahwa wujud merupakan satu hakikat tunggal dan memiliki tingkatan, memiliki intensitas dan kelemahan. Termasuk seluruh entitas semenjak wajibul wujud (Wujud Wajib) hingga materi (maddah) masing-masing merupakan satu hakikat berdasarkan tingkatannya. Artinya ia tunggal dalam kejamakannya dan jamak dalam ketunggalannya.

Penjelasan lebih jauh, bahwa tingkatan lemah juga memiliki hakikat wujud, namun ia berada pada tingkatan yang menurun. Namun demikian, urafa menentang pandangan ini dan meyakini konsep wahdat syakhshia wujud dan wujud hakiki hanya milik Tuhan dan segala entitas merupakan jelmaan, manifestasi-Nya yang pada tingkatan zatnya entitas-entitas tersebut lebur dan fana dan tidak memiliki wujud bagi dirinya.

Bukan tempatnya di sini untuk mengurai lebih jeluk masalah ini dengan menurunkan semua argumen dan pembahasan yang tekait dalam Filsafat Hikmah dan bagaimana Mulla Shadra memperoleh dua pendapat ini dan demikian juga ragam pendapat yang dilontarakan oleh ulama dalam hal ini. Untuk itu, kami persilahkan Anda agar merujuk pada buku yang membahas masalah ini lebih jeluk.[9]

Bagaimanapun, Mulla Shadra pada akhirnya sejalan dengan Ibnu Arabi dalam masalah ini. Dan, pada puncak filsafatnya dengan menggunakan kendaraan wahdat tasykiki al-wujud dan wahdat syakhisya al-wujud ia sampai pada wahdatul wujud urafa.

Dari apa yang diutarakan di atas menjadi jelas bahwa wahdatul wujud tergolong sebagai pembahasan pokok dan asasi dalam kajian irfan teoritis. Pada Filsafat Hikmah juga ditegaskan keselarasannya dengan al-Quran, irfan dan burhan.

Adapun terkait dengan jawaban atas inti pertanyaan Anda terlepas dari pembahasan filosofisnya yang jeluk, apa hubungan dan peran konsep wahdatul wujud ini dalam kehidupan manusia? Apakah ia memainkan peran dalam melesakkan manusia untuk lebih dekat kepada Allah Swt?

Dalam hal ini harus dikatakan bahwa konsep wahdatul wujud urafa sejatinya termasuk sebagai pembahasan tingkatan tertinggi tauhid dan hal itu disebut sebagai "tauhid wujudi". Karena sesuai dengan konsep wahdatul wujud ini, tidak hanya "tiada tuhan selain Allah" bahkan lebih tinggi dari itu, tiada wujud dan entitas selain Dia. Hal ini merupakan puncak tauhid yang pada inti keberadaan dan eksistensi tiada sekutu bagi Tuhan semesta alam.

Di sinilah puncak keikhlasan dalam tauhid akan tampak nyata. Seluruh entitas di antaranya adalah keakuan manusia sebagai tirai hakiki. Dan seorang arif entitas rekaannya ia leburkan dalam pancaran wujud hakiki.

Antara pecinta dan yang dicinta tiada tirai terbentang

Engkau adalah tirai bagi dirimu wahai Hafizh bangunlah

Sejatinya, masalah wahdatul wujud bagi seorang arif bukan merupakan masalah pinggiran yang terpisah dari masalah kehidupan sebagaimana sebuah konsep filsafat murni, melainkan ia merupakan hal yang berjalin berkelindan dengan seluruh kehidupan manusia. Kehidupan yang penuh cinta dan harapan urafa merupakan jelmaan kehidupan yang berdasarkan wahdatul wujud. Mazhab cinta dalam irfan Islami sejatinya terpompa dari jantung wahdatul wujud. Lantaran pesuluk jalan irfan, sekiranya menyaksikan hakikat ini di seantero jagad raya khususnya pada diri manusia dan puncaknya pada manusia sempurna (insan kamil) adalah manifestasi Tuhan, maka ia akan menjadi pencinta penampakan Tuhan di alam semesta. Suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, ia akan lebur dan fana dalam kecintaan ini dan sampai pada tingkatan tertinggi tauhid.

Mengingat bahwa manusia merupakan jelmaan dan cermin rahasia-rahasia Ilahi dan pada irfan, puncaknya, ia harus menemukan wujud Tuhan pada rahasia dirinya. Menyitir Ibnu Arabi, "Kita adalah sifat-sifat itu sendiri yang kita gunakan untuk mencirikan Tuhan dengan sifat-sifat tersebut. Dan wujud kita semata-mata merupakan citra luaran wujud Ilahi. Kita membutuhkan Tuhan sehingga kita menemukan wujud, sementara pada saat yang sama Tuhan membutuhkan wujud kita sehingga Dia dapat memanifestasikan diri-Nya."[10]

Apa yang akan terjadi apabila pendaran cahaya yang dicinta menimpa pecinta

Kita membutuhkannya dan Dia merindui kita.[]


Catatan Kaki:
[1] Untuk telaah lebih jauh Anda dapat melihat jawaban 5567 (Site: 5838).

[2] Ibnu 'Arabi, al-Futuhat al-Makkiyah, jil. 2, hal. 517, Dar al-Shadr, Beirut, tanpa tahun.

[3] Ibnu 'Arabi, al-Futuhat al-Makkiyah, jil. 2, hal. 604, sesuai nukilan dari Muhammad Khawaji, Kherad Nâme Shadra, hal., 54, no. 19, Bahar 79.

[4] Al-Futuhat al-Makkiyah, jil. 2, hal. 484.

[5] Ibid, jil. 1, hal. 289.

[6] Ibid, jil. 2, hal. 216.

[7] Muhammad Shadruddin Syirazi (Mulla Shadra), al-Hikmat al-Muta'aliyah fii al-Asfar al-Arba'ah, jil. 2, hal. 292, Dar al-Ihya Turats al-'Arabi, Beirut, cetakan ke-4, 1410 H.

[8] Al-Hikmah al-Muta'aliyah fii al-Asfar al-Arba'ah, jil. 1, hal. 71.

[9] Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat jawaban 5567 (Site: 5838).

[10] Annemarie Schimmel, Ab'ad-e Irfani Islami, terjemahan Abdurrahim Gawahi, hal. 437, Nasyr-e Farhanggi Islamim, Teheran, cetakan ke-5, 1377 S.

12
TANYA JAWAB MASALAH IRFAN

11. Apa yang menjadi latar belakang penolakan kaum teolog atas doktrin wahdat al-wujud?
Wahdat al-wujud adalah gagasan yang paling fundamental dalam ranah irfan. Dalam pandangan dunia irfan seperti dalam mazhab Ibnu Arabi, wahdat al-wujud adalah doktrin yang paling mendasar. Doktrin ini mengatakan bahwa wujud hakiki, hakikat yang real adalah tunggal dan azali dan wujud itu adalah wujud Allah Swt. Sementara wujud-wujud lain tidak real. Wujud yang lain selain Tuhan adalah tajalli (manifestasi) Allah Swt dan semua keragaman dan pluralitas itu kembali pada wujud yang hakiki itu.

Wahdat al-wujud juga didukung oleh argumen-argumen filosofis yang sejatinya bermuara pada kasyf (penyingkapan) dan syuhud (penyaksian). Salah satu argumen yang digunakan untuk mendukung teori ini adalah teori ashalatul wujud (prinsipalitas wujud) dan teori isytirak maknawi wujud (ekuivokal). Menurut prinsip musytarak maknawi (ekuivokal), wujud itu adalah tunggal, sebab tidak mungkin lahir makna wujud yang berbeda-beda dari yang tunggal. Selain itu kaidah yang lain yang dipakai adalah adalah kaidah ‘Bashitul haqiqat kulla asya’ (the simplicity of everything).

Dari kalangan para teolog ada sebagian yang menolak dokrin wahdat al-wujud bahkan sebagian menganggapnya berimplikasi pada penyekutuan Tuhan. Salah satu alasan mereka, karena wujud tuhan berbeda dengan wujud-wujud non-tuhan dan kesucian wujud Tuhan tidak bisa dinodai oleh wujud-wujud materi yang lain.

Keberatan kaum teolog juga didukung oleh argumen-argumen yang tidak sedikit, di lain pihak sebagian kelompok yang mengaku sufi juga tidak bisa bisa menjawab kritikan kaum teolog dengan fasih (artikulatif).

Mulla Shadra arsitek aliran filsafat Hikmat Muta’aliyah (Filsafat Hikmah) telah berhasil melahirkan konsep-konsep yang dapat merumuskan konsep wahdat al-wujud secara rasional dan menguraikan kerumitan-kerumitan bagi yang tidak bisa memahami dengan jelas. Lewat karya magnum opus, al-Asfar al-“Arba’ah, ia menjelaskan perihal ketunggalan mutlak Ahadiyah (unconditionally absolute); yang hakikat dan esensinya di luar pemahaman manusia (beyond all comprehensions and contemplations), dan juga wujud munbasith (extended being).

Dalam penjelasan Shadra, bahwa kata wahdat (tunggal) yang kerap digunakan para urafa adalah ketunggalan pada level ahadiyah dan bukan pada level wujud munbasith. Kesalahpahaman kaum teolog juga karena kasalahan konseptual ini dan sinkretisasi antara kedua istilah ini.

Doktrin wahdat al-wujud adalah doktrin yang fundamental dalam dunia tasawuf atau irfan (Islamic Mysticism), yang juga menjadi isu yang besar di kalangan para mistikus Islam dan mistikus non-Islam. Dan doktrin ini semakin menemukan bentuknya secara sistematis dalam irfan Ibnu Arabi.

Seperti yang telah dijelaskan dalam paragraf-paragraf sebelumnya bahwa yang real hanyalah Allah; Yang azali dan abadi; wujud yang tunggal hanyalah milik Allah. Alam adalah wujud yang tidak mandiri.

Wujud hakiki, meskipun tunggal tapi memiliki beragam manifestasi. Jadi tidak ada dualitas wujud yaitu antara wujud Khaliq (pencipta) dan wujud makhluk (yang dicipta), tapi keduanya adalah satu wujud. Dengan kata lain wujud yang Hak itu kadang-kadang termanifestasi dalam wujud makhluk dengan menurunkan level dirinya dalam level wujud makhluk.

Ibnu Arabi menuturkan: Apa yang kita katakan tentang-Nya pada hakikatnya adalah berbicara tentang sifat dan tentang diri-Nya, sebab eksistensi kita adalah eksistensi diri-Nya. Kita sangat memerlukan diri-Nya agar bisa eksis dan Ia juga memerlukan diri kita untuk melakukan tajali-Nya.[1]

Dalam pandangan Ibnu Arabi, Allah dan makhluk adalah satu dan satu sama lain saling membutuhkan, jadi makhluk adalah dirimu dan sifat al-Hak, hanya saja wujud hubungan keberadaan terhadap Allah adalah hubungan real (hakiki) dan yang lain hanyalah hubungan metaforis (majazi).

Dalam kitab Futuhat al-Makkiyah, di bab hayrah insan (ketakjuban seorang manusia), Ibnu Arabi mengatakan demikian, bahwa perbedaan antara hayrah seorang ahlullah (orang-orang Allah) dan ahlinazar (pemilik akal) adalah demikan:

Ahlnazar (pemilik akal) mengatakan: Dalam segala sesuatu ada tanda yang menunjukan bahwa Dia adalah satu, namun bagi yang memahami hakikat tajali akan mengatakan bahwa, di dalam segala sesuatu ada ayat yang menunjukkan bahwa segala sesuatu itu adalah Dirinya sendiri (aynuhu). Tidak ada yang wujud, selain Allah, Allah adalah dirinya sendiri. Tidak dikenal seseorang atau yang hakikat lain selain diri-Nya, itulah seperti yang diucapkan oleh Bayazid : Aku adalah Allah atau subhanî[2]

Pernyataan Ibnu Arabi yang kontrovesial dan memicu kritikan yang keras dari kaum teolog adalah bait-bait di bawah ini yang ditulis dalam Futuhat:

Maha suci yang menampakan segala sesuatu yang juga diri-Nya

Aku tidak melihat selain diri-Nya dan telingaku tidak mendengar selain kata-kata-Nya, wujud segala sesuatu dalam diri-Nya (immanen) dan setiap orang masih tenggelam dalam mimpinya.[3]

Wahdat al-wujud dalam Pemikiran Ibnu Arabi adalah bahwa wujud di alam musyahada (alam dunia) adalah tajali diri-Nya. Aku merindukan semua alam sebab semuanya dari diri-Nya atau semua alam adalah diri-Nya.

Syaikh Mahmud Syabistari seorang arif di abad ke-6 mengatakan demikian: “Al-Haq yang mulia tidak memiliki dualitas. Di dalam wujud, tidak ada kami dan aku. Di sana kami dan engkau adalah satu. Dalam wahdat tidak ada tamyiz (distingsi); tidak ada perbedaan (differentiation); (yang ada adalah) kemanunggalan antara Wajah al-Baqi (yang Abadi) dan ghaeru halik (tidak binasa); kemanunggalan sair (lintasan), salik (pejalan) dan suluk (perjalanan). [4]

Imam Ghazali mengatakan bahwa para urafa melesakkan dirinya terbang dari batasan-batasan metaforis ke puncak hakikat dan menyempurnakan dirinya dalam mikraj dengan melihat hakikat diri-Nya. Di istana eksistensi tidak ada yang real selain Tuhan. Segala sesuatu binasa (fana) di dalam diri-Nya, tidak hanya dalam satu fase zaman bahkan di awal (azali) di tahap akhir (abadi). Segala sesuatu memiliki dua wajah, satu wajah mengarah pada dirinya dan satu wajah lagi menuju tuhannya. Wajah yang pertama di lihat dari perspektif yang real adalah ketiadaan (‘adam) dan yang lain adalah keberadaan (wujud).

Pada akhirnya, tidak ada yang wujud selain tuhan. Kullu Syaii halikun illa wajhahu; Segala sesuatu fana di dalam diri-Nya yang azali dan abadi.

Lantaran itu, para urafa tidak lagi menanti-nanti jawaban atas pertanyaan-pertanyaan liman al-mulk yawma lilahil wahidil qahhar (Siapakah yang memiliki kerajaan hari ini? Untuk Allah yang Maha Esa dan Mahakuasa) Semuanya adalah milik Allah yang Mahatunggal dan Yang Mahaberkuasa. Lisan mereka senantiasa basah dengan ucapan-ucapan seperti itu hingga hari kiamat.

Mereka tidak menafsirkan Allah Akbar dengan Allah Yang Mahabesar dari yang lain, sebab tidak ada tempat bagi yang lain. Non tuhan sampai kapanpun tidak akan meraih martabat dan sederetan dengan al-Hak (the Truth).[5]

Untuk diingat bahwa terma ashalatu wujud (kehakikan wujud) tidak tercatat di dalam tulisan-tulisan Ibnu Arabi. Istilah-istilah ashalatul wujud di zamannya masih belum populer. Istilah itu dipopulerkan para pensyarah karya-karya Ibnu Arabi (baca: Mulla Shadra).


Argument-argumen Wahdatul Wujud
Arif dan filosof sekaliber Mulla Shadra dan yang lainnya menyampaikan argumen-argumen filsafat untuk membela wahdat al-wujud lewat kaidah ashalatul wujud dan musytarak maknawi (ekuivokal).

Dalam teori isytirak maknawi yang wujud itu adalah hakikat yang tunggal, esa, sebab tidak mungkin kata tunggal diabstraksikan (intiza’) dari hakikat yang berbeda-beda satu sama lain (jadi harus satu hakikat).

Kaidah ‘basithul hakikat kulla asyya’ (the simplicity of everything) simplisitas atau ketidaktersusunan hakikat segala sesuatu.

Dzat yang basith (simple, tunggal) jika tidak meliputi segala sesuatu akan tersusun dari beberapa elemen (tarkibi) baik ia bersifat material atau non-material; jadi wujud mutlak adalah kesempurnaan (kamal) segala sesuatu dengan modus inbisâth (mengalir dalam yang lain).[6]


Argumen-argumen yang anti terhadap Doktrin Wahdatul Wujud
Sebagian fukaha dan teolog baik dari mazhab Syiah atau Sunni atau Kristen mengkritik doktrin tersebut , bahkan sebagian mengkafirkan para pendukung doktrin ini. Karena bertentangan dengan keyakinan mainstream umat Islam. Seperti dengan kalimat la ilaha illah, yaitu syiar islam yang pertama.

Syiar para pembela wahdatul wujud adalah : La wujud illa Allah, yaitu bahwa segala yang ada baik itu berhala atau sembahan lain juga adalah Tuhan. Sementara kalimat la ila illah mengatakan bahwa selain tuhan seperti berhala dsb tidak boleh disembah. Sembahan-sembahan lain tidak layak dijadikan tuhan.

Mereka juga menyerang doktrin para urafa yaitu ‘Maha suci Allah yang bertajali dalam segala sesuatu dan itu juga adalah hakikat diri-Nya.’ Karena dengan pernyataan tersebut menurut mereka berarti menyamakan Tuhan dengan benda-benda yang kotor dan najis, dan kata-kata ini jelas bentuk lain dari kekafiran.

Tentu saja para urafa juga dalam hal ini memiliki kekurangan yaitu tidak fasih dalam mengartikulasikan doktrin-doktrin utama mereka atau mungkin saja para pengkritiknya tidak bisa memahami dengan tepat terhadap maksud mereka. Dari sinilah timbul polemik yang melahirkan trend permusuhan terhadap para urafa termasuk Ibnu Arabi .

Teori wahdat al-wujud adalah teori yang komplek, tidak sederhana dan tidak mudah dicerna secara sambil lalu dan tidak setiap orang memiliki kemampuan untuk bisa menjelaskan hal ini secara benderang.

Namun, di tangan Mulla Shadra doktrin ini bisa diuraikan dengan begitu ilmiah. Ia memiliki kemampuan luar biasa dalam menguraian secara rasional sekaligus memetakan kesalahfahaman atas doktrin tersebut.

Ia menjelaskan tentang konsep saryan (flux, mengalir terus-menerus) wujud dalam wujud yang muta’ayyin (entified) dan wujud spesifik sebagai berikut:

“Ketahuilah bahwa segala sesuatu dalam dalam realitasnya terdiri dari beberapa tingkatan.

Tingkatan pertama, yaitu wujud yang mutlak , tidak terikat, tidak terkondisikan, dan tidak memiliki batasan-batasan dengan batasan apapun (infinite); Yang disebut sebagai huwiyah gaybah atau gaib mutlak; Dzat Ahadiyah, pada tingkatan ini tidak ada nama dan tidak ada sifat. Dan tidak ada akses makrifat ke atas-Nya.

Tingkatan kedua, yaitu wujud yang memiliki relasi dengan yang lain yang diistilahkan dengan wujud muqayyad; yang memiliki hukum-hukum, tipologi, yaitu wujud-wujud intelek, nufus (souls), aflak (celelstial body), unsur-unsur dan tarkib-tarkib, seperti insan, hewan-hewan dan tumbuh-tumbuhan dan entitas-entitas lainnya.

Tingkatan ketiga, yaitu wujud munbasith yang memiliki kemutlakan tapi tidak seperti keumuman kulli (universal), namun dalam format lain, karena wujudnya adalah tahasul (proses/peraihan) dan potensi, maka ia termasuk kulli thabi’i (universal natural) atau kuli ‘aqli (universal rasional). Statusnya masih mubham (samar). Untuk memperoleh status wujudnya ia memerlukan elemen yang lain.

Unitas wujud munbasith tidak dalam bentuk bilangan sebab wujud munbasith adalah hakikat yang satu; yang (ekstended/mumtad/mengalir) pada entitas-entitas kontingen, Hakikat ini adalah asal dunia, falak kehidupan, Arsy ar-Rahman, al-Haq makhluk bihi atau hakikat al-haqâiq dalam lisan para sufi.[7]

Dengan analisa di atas, jadi yang dimaksud dengan al-Haq; wajibul wujud (Wujud Wajib) dalam bahasa para urafa yaitu wujud di tingkatan pertama; yaitu hakikat bi syarti la syai’ (hakikat yang tidak disyaratkan dengan apapun/Hakikat mutlak) sebab kalau bukan pada tingkatan pertama bisa melahirkan tuduhan-tuduhan yang kontroversial dan memang sesat bagi mazhab mana saja yang memiliki prinsip demikian dan dianggap sedang mempromosikan keyakinan panteisme (hulul).[8]

Mulla Shadra di dalam bab Wahmun wa Tanbih, mengatakan ada sebagian orang yang mengaku-aku sebagai sufi, namun mereka tidak mengikuti manhaz para arifin dan mereka juga tidak mencapai maqam para urafa. Lantaran tidak memiliki kapasitas untuk mencerap bahasa para urafa selain itu pikiran mereka sering dikuasai oleh waham.

Mereka menuding bahwa Dzat ahadiyah yang dalam tafsir para urafa dilekatkan pada Dzat maqam Ahadiyah, gaybul guyub, gaybul huwiyat sebagai yang kosong dari manifestasi dan tidak memiliki realitas aktual (bil fi’l). Tapi hanya terealisasir dalam sebuah form (shurah) dan quwwa ruhaniyah wa hissi (kualitas ruhaniyah dan fisik). Dan Allah adalah adalah Zahid Majmu’ (substansi yang terdiri dari beberapa elemen) dan itu adalah representasi dari insan kabir (kosmos) dan kitab mubin yang kemudian terwadahi dalam citra insan shagir (manusia).

Tudingan ini merupakan klaim-klaim kekufuran dan zindiq. Seseorang yang memiliki kecerdasan sedikit saja tidak akan mengungkapan perkataan kata seperti ini. Dan penisbatan pemahaman seperti terhadap para sufi agung dalah sebuah pelecehan intelektual , sebab hati dan pikiran mereka bersih dari keyakinan-keyakinan seperti itu.

Sangatlah mungkin kalau aktor di balik yang melontarkan tuduhan-tuduhan seperti itu adalah orang-orang jahil dalam menisbatkan wujud mutlak. Sebab wujud kadang-kadang mengacu pada wujud mutlak, wujud syamil atau terhadap konsep-konsep umum yang abstrak.

Salah satu kitab yang ditulis untuk menyerang kaum urafa adalah kitab ‘Masra tasawwuf yang ditulis Burhanudduin Baqai (888-809). Kitab itu mengandug sejumlah kesalahan interpretasi atas ucapan kaum sufi :

Syaikh Zaynuddin Abdurrahim bin Al-Husain Iraki yang disebut oleh baqai sebagi syaikh syuyukh (gurunya para guru); Imam Qurwah; Syaikh Islam, penjaga zamanya menyampaikan komentarnya tentang Ibnu Arabi ;

“Ini adalah keyakinan yang menentang Allah dan rasul-Nya dan semua (keyakinan) mayoritas kaum Muslimin; Mereka adalah yang hanya menjustifikan keyakinan kaum sufi dan lebih percaya mereka adalah yang paling memiliki makrifat tentang Tuhan. Mereka mendefiniskan bahwa sufi adalah orang yang meliha tuhan di mana saja dan bahwa semuanya adalah Tuhan itu sendiri.

Tidak diragukan lagi ini adalah sebuah bentuk kemusyrikan dan lebih buruk dari penyimpangan kaum Nasrani dan Yahudi, sebabnya orang Yahudi dan Nasrani hanya mempersekutukan tuhan dengan hamba-hamba yang paling dekat dengan Allah, sementara Ibnu Arabi mempersekutukan Tuhan dengan kambing, dengan berhala dan bahkan dari kata-kata mereka dapat ditafsirkan bahwa tuhan adalah anjing dan babi dan bahkan juga barang-barang yang kotor.

Salah seorang ahli ilmu dan ahli tsiqat menukil kepada saya ia perna melihat komunitas seperti ini di sekitar perbatasan Iskandariyah. Mereka berkata kepadanya bahwa tuhan adalah segala sesuatu. Ketika itu seekor keledai melewati tempat tersebut saya bertanya apakah keledai juga tuhan? Meraka mengiyakan dan lalu kata saya bagaimana dengan kotoran apakah itu juga tuhan dan ternyata mereka mengiyakan juga.”

Di belahan dunia Barat juga banyak tuduhan-tuduhan yang negatif terhadap kaum mistikus akibat kesalahan mereka dalam menyelami konsep wahdatul wujud

Doktor Barens seorang pendeta dari Birmingham mengatakan, “Menurut saya semua konsep tentang wahdat al-wujud harus ditolak. Sebab jika manusia adalah Tuhan manusia, maka semua kotoran dan najis yang ada di tubuhnya juga adalah Tuhan.[9]

Stace salah seorang teolog kristen mengatakan bahwa ada tiga hal yang mendorong orang-orang beragama tidak menyukai konsep wahdat al-wujud yaitu,
Pertama, Monoteism, sementara wahdat al-wujud dalam pandangan para ilmuwan Barat percaya dengan satu yang tidak distingtif (gairu mutasyakhish).

Kedua, yaitu kritikan atas doktrin ini sebab memandang selain tuhan juga memiliki sifat-sifat ketuhanan dan konsekuensinya maka syarr (keburukan) juga adalah tuhan dalam pandangan mereka.

Ketiga, dalam setiap jantung agama terselip perasaaan akan keagungan (Majesty of) Tuhan dan perasaan ini akan lenyap dalam pandangan wahdat al-wujud seperti yang dikatakan oleh Rudolf Otto tentang rahasia dari keagungan yang mencengkram. Status manusia sesungguhnya tidak memilik apa-apa. Di sisi Tuhan manusia identik dengan ketiadaan.

Dengan semua kelemahan manusia seperti itu alangkah tidak pantasnya mengklaim menyatu dengan Tuhannya (wahdatul wujud). Klaim-klaim kesatuan tuhan dengan makluk-Nya adalah kekafiran sebab mengasumsikan tidak ada jarak lagi antara Tuhan, manusia dan semesta. [10]

Dengan demikian, maka tidaklah menakjubkan kalau komunitas masyarakat teolog dan juga para fukaha (juris) Islam dan juga dari kalangan agama lain dengan keras menentang teori wahdat al-wujud. Dengan jelas bahwa lantaran konsep itu tidak mudah dicerna selain itu juga pemaparan yang keliru dari para psudo sufism (sufi gadungan) yang semakin mengaburkan konsep yang sebenarnya.

Namun,alangkah baiknya bagi mereka yang memang tidak memiliki pengetahuan yang luas tentang konsep tersebut, menahan diri untuk tidak mengeluarkan komentar-komentar di depan publik dan mereka yang tidak bisa menangkap ucapan-ucapan para urafa sebaiknya juga tidak begitu mudah menyematkan label-label kafir kepada mereka. Alangkah jujurnya jika menyatakan bahwa mereka memilih diam karena belum bisa memahami dengan jelas kata-kata kaum sufi.[]


Catatan Kaki:
[1] Ibnu Arabi, Fushus al-Hikam, hal. 164.

[2] Ibid, juz 1:272

[3] Ibid, juz 2:459

[4] Syaikh Mahmud Syabastari, Gulistan Râz.

[5] Muhammad Gazali, Misykat al-Anwâr :150-152

[6] Mulla Shadra, Al-Asfar al-Arba’ah, juz 2: 327.

[7] Shadru Muta’alihin, al-Asfar al-Arba’ah, jil. 2 hal 327-330.

[8] Bertand Rusell, Ilmu wa Mazhab hal 127

[9]. Bertand Russel, Ilmu wa Mazhab hal 127 nukilan dari kitab Falsafah wa irfan

[10]. ‘Irfan wa Falsafe, hal. 256, nukilan dari Sayid Yahya Yatsribi, Falsafeh-ye Irfan, hal. 173.

13
TANYA JAWAB MASALAH IRFAN

12. Apakah yang dimaksud dengan diktum yang berbunyi “al-majâz qantar al-haqiqah” (sesuatu yang metaforis merupakan jembatan menuju hakikat) dan bagaimana pandangan Islam terkait “cinta metaforis”?
Menurut ulama bahwa hanya ada satu cinta sejati yaitu cinta kepada Allah Swt di alam semesta ini dimana selainnya adalah cinta semu atau cinta metaforis. Bahkan sebutan cinta untuk selain Allah Swt adalah salah sebab sebutan untuk selain Allah adalah “rindu” (syauq), bukan cinta (isyq). Ciri-cirinya ialah bahwa tatakala seorang belum mendapatkan cinta kekasihnya, api cintanya masih akan terus membara dan ketika ia sudah mendapatkan cinta kekasihnya, gejolak cintanya akan mulai berkurang secara perlahan dan bahkan akan menghilang. Lain halnya dengan cinta hakiki, dimana seseorang ketika telah mendapatkannya, perasaan cintanya akan semakin membara dan bertambah besar.

Cinta metaforis dapat membantu melembutkan hati seorang pesuluk sebab seorang pecinta senantiasa memikirkan kekasihnya dan akan berusaha keras untuk mendapatkan hati kekasihnya serta siap mengorbankan segala sesuatu demi kerelaan kekasihnya.

Cinta metaforis dapat membebaskan diri seseorang dari ketergantungan hati kepada hal-hal duniawi. Sebab segala angan-angan serta keinginannya hanya akan terfokus pada satu hal yaitu sang kekasihnya saja dan hal ini bisa lebih memudahkannya untuk mengalihkan perhatiannya kepada cinta hakiki dibandingkan dengan yang lain.

Karena bagi pecinta metaforis, setelah terbebas dari ribuan ketergantungan kepada hal-hal duniawi, ia hanya perlu melepaskan satu hal saja untuk sampai kepada kekasih hakiki yaitu berpaling dari cinta metaforis menuju ke arah cinta hakiki.

Sementara bagi selainnya, terlebih dahulu harus berjuang keras melawan ribuan keinginan serta ketergentungan tersebut dan setelah ia berhasil menempuh perjalanan panjang yang sulit denga membasmi ribuan ketergantungan duniawi ini, maka ia baru akan sampai kepada sang kekasih hakiki.

Sebagian orang tidak memiliki potensi dalam dirinya untuk bisa sampai kepada kekasih hakiki secara langsung namun terkadang akibat dari kesan cinta metaforis dalam diri seseorang, akan menjadikannya sadar bahwa Allah-lah Sang Kekasih hakiki semata yang layak untuk dicintai dengan sepenuh hati.

Kebanyakan ulama tidak memberikan pandangannya secara pasti berkenaan dengan cinta metaforis. Sementara pada umumnya, urafa` dan para sufi mendukung adanya cinta metaforis. Adapun para fukaha` dan teolog sangat menentang adanya cinta metaforis dan mereka menganggap hal tersebut sebagai penyimpangan dari cinta hakiki, bahkan merupakan penyimpangan dalam agama.

Pada dasarnya mereka menganggap sebutan kekasih untuk Allah adalah salah sebab sebutan tersebut berasal dari para sufi akibat pengaruh kecenderungan biologis atau pengalaman patah hati (broken heart).

Cinta sejati adalah kecintaan kepada dzat Ilahi dan pada dasarnya kecintaan kepada selain dzat Ilahi bukan merupakan cinta akan tetapi sebagai suatu kerinduan. Perbedaan antara “cinta” (isyq) dan “rindu” (syauq) adalah bahwa rindu yaitu seseorang mencari dan mengejar sesuatu yang ia sukai dan kemudian setelah beberapa saat ia mendapatkannya secara perlahan rasa suka tersebut mulai berkurang.

Lain halnya dengan cinta bahwa baik sebelum atau setelah seseorang mendapatkan sesuatu yang ia sukai, bukan saja perasaan cinta tersebut lambat laun akan memudar, namun bahkan sebaliknya bahwa perasaan cinta tersebut akan semakin bertambah besar dan tak akan pernah sirna. Cinta ini hanya khusus kepada dzat suci Allah swt sebab terkadang seseorang setelah memperoleh sesuatu yang ia sukai, menjadi sadar bahwa ternyata sesuatu yang ia sukai tersebut tidak ada nilainya atau bahkan ia mentertawakan dirinya atas kebodohannya bahwa mengapa ia begitu menyukai sesuatu yang tak berniali tersebut.[1]

Dengan demikian cinta hakiki dan sejati ialah kecintaan kepada Allah semata. Urafa` memiliki alasan atas pandangan mereka terkait dengan cinta metaforis (cinta kepada selain Allah swt) yang merupakan jembatan menuju cinta hakiki. Ibnu Sina dalam “Isyârat” berkenaan dengan pembahasan tingkatan-tingkatan urafa` menuturkan: “Seorang pesuluk membutuhkan sebuah pembenahan diri yang memiliki tiga tujuan.”

Tujuan pertama ialah menjauhkan kebatilan dari kebenaran dan yang kedua adalah membuat patuh “nafsu Amarah”, serta yang terakhir yaitu, melembutkan hati agar dengan mudah dapat menerima peringatan dan penyadaran. Kemudian beliau berkata lagi: “Ada dua hal yang dapat membantu terwujudnya tujuan ketiga tersebut yaitu pertama, adanya pikiran yang jernih dan yang kedua ialah kesucian dan ketulusan cinta sehingga pengaruh Sang kekasih lebih dominan dibandingkan dengan pengaruh nafsu.[2]

Oleh itu, Ibnu Sina dalam perkataannya mengisyaratkan bahwa cinta metaforis merupakan sebuah jalan bagi seorang pesuluk dan sebagai jembatan menuju ke arah kecintaan Ilahi untuk sampai kepada tingkatan tertinggi irfan. Imam Fakhr ar-Razi dalam menjelaskan ucapan Ibnu Sina tersebut mengatakan: “Kasmaran (merenjana), merupakan dampak dari sebuah cinta dimana seorang pecinta akan senantiasa terbayang gerak-gerik dan diam, datang dan pergi serta kemarahan dan kerelaannya sang kekasih.

Tutur kata dan perilaku sang kekasih juga akan senantiasa terlintas di benak sang pecinta sehingga hal ini akan membawanya ke puncak kasmaran. Untuk itu diceritakan bahwa dalam mimpi orang-orang bertanya kepada Majnun, “ Apa yang telah Allah Swt lakukan kepadamu? Majnun menjawab: Allah telah menjadikan aku sebagai bukti atas orang-orang yang mengaku sebagai pecintaNya”.

Khajah Nasiruddin Thusi dalam menjelaskan ucapan Ibnu Sina tersebut juga berkata: “Cinta metaforis memberikan kesungguhan dan kelembutan kepada hati manusia dan membebaskan hati manusia dari ketergantungan-ketergantungan duniawi sehingga ia akan berpaling dari selain kekasihnya.

Segala kegundahan, keinginan serta harapannya akan terpusat pada satu tempat dimana hal ini dapat lebih memudahkan perhatiannya kepada sang kekasih hakiki dibandingkan dengan yang lainnya. Sebab ia hanya tinggal melepaskan satu hal saja yaitu mengalihkan cinta metaforisnya ke arah cinta hakiki sedangkan selainnya terlebih dahulu harus berjuang melawan ribuan keinginan dan angan-angan untuk sampai kepada cinta hakiki tersebut.[3]

Dengan demikian, cinta metaforis ialah sebagai sebuah perantara dan langkah awal yang dapat membantu seorang pesuluk untuk memperoleh pengarahan dan perhatian dalam perjalanan sepritualnya. Adapun bentuk bantuan tersebut dalam pandangan Imam Fakhr ar-Razi lebih tertuju pada perhatian seorang pecinta kepada sang kekasih sehingga perhatian tersebut menyebabkan adanya “kasmaran”.

Sementara Khajah Nasiruddin Thusi beranggapan bahwa cinta merupakan sebuah pelepas berbagai macam ketergantungan hati seorang pecinta dari hal-hal duniawi sehingga membuka kesempatan untuk lebih memudahkanya sampai kepada sang kekasih hakiki.

Mungkin yang dimaksud dengan kalimat “al-majâz qantar al-haqiqah” “Metafora merupakan jembatan menuju hakikat” adalah bahwa potensi setiap orang untuk sampai kepada kesempurnaan sepritual berbeda-beda. Karena tidak semua orang mampu untuk sampai kepada cinta hakiki (cinta Ilahi) secara langsung. Oleh karena itu, cinta metaforis sebagai pagar yang membentengi pesuluk dari gangguan dan ancaman sehingga menjadikannya lebih berkomitmen dalam mengamalkan “sair wa suluk” serta akan membawanya ke alam spritual.[4]


Persepsi ulama tentang cinta metaforis:
Pada umumnya dalam perkataan kaum arif dan para filosof tidak ditemukan penentangan terhadap cinta metaforis, namun bahkan mereka menganggapnya sebagai jembatan menuju cinta hakiki. Adapun kebanyakan ulama tidak memberikan persepsi mereka secara pasti berkenaan dengan cinta metaforis ini. Akan tetapi sebagian fukaha (juris) dan teolog menentang adanya hal tersebut dan menganggapnya dapat menjauhkan pesuluk dari sepritualitas dan cinta hakiki.

Cinta metaforis ini dianggap sebagai sebuah bid`ah yang dibuat oleh kaum sufi sehingga mereka melarang penggunaan kata tersebut berkaitan dengan Allah. Sebab mereka memandang negatif perkara kesufian dan puisi-puisi romantis yang diakibatkan oleh kecenderungan biologis dan pengalaman patah hati.[5][]


Catatan Kaki:
[1]. Murtadha Muthahari , Tafsir Sure-ye Hamd.

[2]. Doktor Huseini Malaksyahi, Tarjumeh wa Syarh-e Isyârat wa Tanbihât Ibnu Sina, bab 7, hal. 446.

[3]. Sayid Yahya Yatsribi, Falsafeye Irfan, hal. 332

[4]., Ain al-Qudhat Hamadani, al-Tanbihât, hal. 96. Sayid Yahya Yatsribi, Falsafeye Irfan, hal. 326.

[5]. Dawud Ilhami, Dâwarihaye Mutazhâd darbare-ye Ibnu Arabi. Sayid Yahya Yatsribi, Falsafeye Irfan, hal. 326.

14
TANYA JAWAB MASALAH IRFAN

13. Saya menjumpai beberapa istilah teknis “syariat”, “tarikat”, “hakikat” ketika membaca buku-buku akhlak dan irfan, mohon Anda jelaskan beberapa istilah ini?
Para ahli Irfan atau kaum Arif memandang bahwa manusia akan dapat kembali ke tempat asalnya dan menghilangkan “jarak” wujudnya dengan Tuhan dengan menapaki jalan-jalan spiritual (sair suluk). Ketika manusia begitu sangat “dekat” dengan Tuhannya, maka dia sirna (fana) dari dirinya dan abadi (baqa) bersama-Nya.

Oleh karena itu, sair suluk irfani bersifat senantiasa bergerak dan tidak konstan. Gerak dan perjalanan ini memiliki awal dan akhir, derajat dan tingkatannya yang harus dilewati dan ditapaki. Berdasarkan hal ini, sangatlah mungkin mencapai “hakikat” kesempurnaan manusia dan maqam kedekatan kepada Tuhan dengan terlebih dahulu menggapai batin “syariat” yang tidak lain adalah “tarikat” itu sendiri.

Syariat bersumber dari kata syar’ yang bermakna “jalan dan cara”. Dan dalam istilah diartikan “kumpulan pengajaran untuk pembentukan manusia yang berasal dari Tuhan yang dijelaskan dan dijabarkan oleh para nabi dan rasul serta diletakkan untuk diamalkan dan diimplemantasikan”. Dengan ungkapan lain, syariat adalah kumpulan dari kitab suci (al-Quran), sunnah Nabi saw, dan sunnah para Imam Ahlulbait yang dapat mengantarkan manusia kepada tujuan penciptaannya jika dipelajari, diamalkan, dan dilaksanakan.

Tarikat diambil dari kata thariq yang memiliki makna “menapaki atau meniti jalan”. Dalam istilah irfan berarti “menapaki derajat-derajat insani dan meniti tingkatan-tingkatan pencapaian kesempurnaan akhir manusia”.

Hakikat diambil dari kata haq yang mempunyai makna “sesuai dengan kenyataan dan realitas eksternal” dan dalam istilah memiliki arti “penyingkapan hakikat-hakikat eksistensi dan penggapaian puncak keyakinan (haqqul yakin)”

Pada hakikatnya, pengamalan syariat tidak lain adalah penapakan derajat-derajat kesempunaan manusia dan penitian tingkatan-tingkatan kesempurnaan serta menyebabkan pendalaman makrifat dan penguatan keimanan manusia. Dengan kata lain, hakikat adalah batinnya tarikat, dan tarikat ialah batinnya syariat.

Dalam pandangan irfan dan urafa Muslim manusia pesuluk adalah manusia yang dengan menapaki jalan-jalan spiritual ia kembali ke tempat asalnya, menyirnakan jaraknya dengan Dzat Tuhan, dan meniadakan dirinya sendiri dengan kedekatan kepada-nya (fana dalam asma dan sifat Tuhan) serta mengabadikan dirinya dengan kebersamaan dengan-Nya (baqa dengan dzat-Nya).

Allah Swt berfirman, “Hai manusia, sesungguhnya kamu menuju kepada Tuhan-mu dengan kerja dan usaha yang sungguh-sungguh, maka kamu pasti akan menjumpai-Nya.” (Qs. Insyiqaq: 6)

Adalah sangat mungkin menggapai “hakikat” kesempurnaan manusia dan maqam kedekatan kepada Tuhan dengan melewati “tarikat” yang merupakan batin “syariat”. Dari dimensi ini, kita akan menemui kata-kata seperti “syariat”, “tarikat”, dan “hakikat” dalam ungkapan-ungkapan para urafa.

Azizuddin Nasafi, salah seorang urafa di pertengahan abad ketujuh, dalam kitabnya, Insanul Kamil, menuliskan, “Syariat adalah perkataan para nabi dan tarikat adalah perbuatan para nabi serta hakikat adalah penglihatan para nabi. Seorang salik pertama-tama harus menuntut ilmu syariat yang merupakan suatu kewajibannya dan amal tarikat yang juga merupakan kemestiannya harus dikerjakan sedemikian sehingga dia mendapatkan cahaya-cahaya hakikat sebatas kemampuan dan usahanya.

Seseorang yang menerima apa-apa yang disabdakan oleh nabi dan rasul dikategorikan sebagai ahli syariat dan apabila dia juga mengamalkan apa-apa yang dikerjakan oleh para nabi dan rasul digolongkan sebagai ahli tarikat. Dan jika seseorang menyaksikan apa-apa yang disaksikan oleh para nabi dan rasul disebutkan sebagai ahli hakikat.

Seseorang yang mempunyai ketiga dimensi tersebut tergolong sebagai sosok yang sempurna dan khalifah segenap makhluk. Namun, seseorang yang sama sekali tidak memiliki ketiga aspek itu merupakan sosok yang rendah atau digolongkan sebagai binatang ternak. “Pada hakikatnya begitu banyak dari kalangan jin dan manusia yang kami masukkan ke dalam neraka dikarenakan mereka memiliki hati yang tidak dapat menyingkap hakikat dengan perantarannya dan mereka mempunyai mata yang dengannya tidak dapat melihat hakikat serta mereka mempunyai telinga yang dengannya tidak dapat mendengarkannya. Mereka seperti binatang kaki empat atau lebih rendah darinya.”[1]

Yang pasti, dalam dimensi syariat terdapat ungkapan-ungkapan para urafa Islam yang mungkin bertolak belakang dengan aturan-aturan fikih.[2]

Seorang arif ternama di dunia Syiah Imamiyah (Tasyayyu’), Sayyid Haidar Amuli, memaparkan tiga tingkatan syariat, tarikat, hakikat untuk menyelesaikan sangkaan tentang adanya perbedaan dan pertentangan di antara tiga dimensi itu. Menurutnya, ketiga dimensi ini yang memiliki nama-nama yang berbeda hanya menceritakan satu kenyataan dan realitas. Perbedaan di antara ketiga hal itu hanyalah bersifat nisbi bukan hakiki.

Dalam sebagian ungkapannya dia menyatakan, “ … ketika perkara ini menjadi kenyataan, maka ketahuilah bahwa “syariat” adalah sebuah nama yang ditentukan untuk jalan-jalan Ilahi yang mana memiliki rukun-rukun, cabang-cabang, keringanan-keringanan, motivasi-motivasi, niat-niat, kebaikan-kebaikan, kesempurnaan-kesempurnaan. Dan “tarikat” adalah mengambil yang terbaik dan yang paling kuat di antara jalan-jalan Ilahi itu, dan setiap metode dan cara yang paling baik, paling kuat, paling hati-hati, dan paling sempurna yang dijalani oleh manusia dinamakan dengan “tarikat”, baik yang bersifat perkataan, perbuatan, sifat, dan hâl[3].

Sementara “hakikat” adalah pembuktian dan penegasan sesuatu dengan cara penyingkapan hati dan penyaksian intuitif… dan hal ini sebagaimana perkataan suci Rasulullah saw kepada Harits, “Wahai Harits bagaimana ketika kamu bangun di pagi hari? Harits berkata, “Saya bangun di pagi hari dalam keadaan sebagai mukmin hakiki…”.”[4]

Beliau lebih lanjut menyatakan, “… jadi imannya kepada hal-hal yang gaib adalah benar dan “syariat”, dan penyaksiannya mengenai surga, neraka, dan arasy adalah “hakikat”, begitu pula kezuhudannya dari dunia, shalat malamnya, puasanya adalah “tarikat”. Dan dari penyingkapan ini, sebagaimana telah disebutklan terdahulu, Tuhan telah mengabarkan dalam kitab suci-Nya, “Tidaklah seperti yang kamu sangka. Seandainya kamu mengetahui ‘ilmul yakin, sungguh kamu benar-benar akan melihat neraka Jahîm kemudian sungguh kamu benar-benar akan melihatnya (surga) dengan ‘ainul yakin. (Qs. At-Takatsur: 5-7)

Yakni seperti itulah, apabila kalian mengetahui dengan ‘ilmul yakin maka setiap cermin yang anda saksikan nampaklah neraka. Dengan demikian, setiap cermin yang disaksikan dengan ‘ilmul yakin niscaya anda akan melihat realitas itu. Di ayat lain, Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya itu adalah haqqul yakin” (Qs. Al-Waqiah: 95). Sesungguhnya inilah haqqul yakin. Tingkatan pertama adalah “‘ilmul yakin” yang sederajat dengan “syariat” dan tingkatan kedua adalah “‘ainul yakin” yang sederajat dengan “tarikat” serta tingkatan ketiga adalah “haqqul yakin” yang sederajat dengan “hakikat”…”[5]

Syahid agung dan filosof besar, Murtadha Muthahhari qs, menyatakan berkaitan dengan tiga istilah tersebut, “Salah satu perkara yang menjadi perbedaan mendasar antara urafa dan selain urafa (baca:fukaha) adalah perspektif khusus urafa berkenaan dengan syariat, tarikat, dan hakikat … para fukaha menyatakan bahwa syariat (hukum-hukum dan aturan-aturan) berpijak pada kemashlahatan-kemashlahatan. Dan kemashlahatan-kemashlahatan ini merupakan sebab-sebab dan jiwa syariat. Sementara para urafa berkeyakinan bahwa kemashlahatan-kemashlahatan yang terkandung dalam hukum-hukum sya’i sama seperti tingkatan-tingkatan dan derajat-derajat yang mengantarkan manusia kepada maqam kedekatan kepada Tuhan dan penggapaian hakikat. Para urafa percaya bahwa batin syariat adalah jalan yang dinamakan dengan tarikat, dan akhir dari jalan ini adalah hakikat… yakni yang pertama adalah lahir dan yang kedua adalah batin serta yang ketiga adalah batinnya batin.”[6]

Dengan ungkapan lain, ingin atau tidak, manusia niscaya senantiasa berada dalam perubahan dan pergerakan. Nah, kalau perubahan dan pergerakan ini bersesuaikan dengan syariat maka setiap langkah akan mendekatkan kepada nilai-nilai kemanusiaan dan hakikat.

Bahkan, setiap kali kualitas kemanusiaannya bertambah maka sebatas itu pula hakikat itu tersingkap sedemikian sehingga mencapai maqam kedekatan kepada Tuhan dan terwarnai dengan nilai-nilai ketuhanan.

Dengan demikian, sirnalah segala macam keraguan dan kebingungan dari hatinya dan terhapuslah segala bentuk kelemahan dan kerendahan dalam lembaran wujudnya serta dirinya berubah menjadi cermin Ilahi sehingga dia dapat mengarahkan manusia lain di jalan itu.

Maka dari itu, beramal kepada syariat tidak lain adalah tarikat, dan buah dari tarikat adalah hakikat.

Akan tetapi, karena kuantitas dan kualitas perbuatan-perbuatan, dan niat-niat, serta keimanan manusia berbeda-beda maka hasil dari syariat yakni tarikat dan perolehan hakikat pada setiap individu pun beragam dan bertingkat, bahkan pada sebagian individu tidaklah tercapai, namun pada manusia-manusia sempurna seperti Rasulullah saw dan para Imam Suci Ahlulbait berada pada tingkatan kemuliaan yang tertinggi dan cahaya paling tinggi.

Dari dimensi bahwa Tuhan Yang Maha Bijaksana tidak menciptakan satu makhlukpun termasuk manusia dengan sia-sia dan tanpa tujuan. Tujuan penciptaan maujud-maujud materi dengan perkembangannya yang bersifat alami itu dan kesempurnaan maujud-maujud non materi (seperti malaikat dan …) yang bersifat sekaligus itu adalah dihadirkan oleh Tuhan bersamaan dengan penciptaan mereka (karena itu tidak ada lagi perubahan kesempurnaan pada wujud mereka).

Namun karena manusia-manusia bersifat bebas dan memiliki ikhtiar maka kehendak dan keinginan mereka juga sangat berpengaruh dalam pencapaian dan penggapaian tujuan penciptaannya.

Setiap niat dan kehendak untuk melakukan suatu pekerjaan adalah membutuhkan penentuan tujuan-tujuan, manfaat-manfaat, akibat-akibat, dan konsekuensi-konsekuensinya. Tanpa pengenalan dan pengetahuan maka tujuan yang dinginkan itu tidak akan tercapai hanya dengan kehendak, iradah, keinginan, dan perbuatan.

Akan tetapi, manusia tidak mampu mengenal dan mengetahui kesempurnaan dirinya dan jalan menggapainya tanpa bantuan wahyu dan kalam suci Ilahi. Bukti dari hal ini adanya pebedaan pemikiran dan perspektif yang sangat tajam di antara kaum inteletual dan cendekiawan berkenaan dengan persoalan tersebut. Dari dimensi ini akan menjadi jelas kebutuhan kepada Tuhan lewat jalur wahyu dan pengutusan para nabi dan kitab-kitab suci.

Tuhan yang karena Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana maka mustahil membiarkan manusia dalam keadaaannya sendiri, dan dengan pengutusan para rasul dan kitab-kitab Ilahi Dia menunjukkan jalan menuju tujuan penciptaannya dengan perantaraan khalifah dan para wakil yang diutus oleh-Nya. Apabila manusia mengikuti akal sehat dan fitrah sucinya maka dia tidak akan tertipu dengan propaganda-propaganda sesat duniawi, dengan demikian, dengan mudah dia menerima dan pasrah terhadap perintah-perintah dan larangan-larangan Ilahi dalam semua dimensi kehidupannya.

Kumpulan ajaran-ajaran Ilahi ini dan penjelasan terperinci para nabi serta penafsiran para wali-wali agama dikenal dengan nama “syariat”. Manusia yang melaksanakan syariat adalah para musafir yang sedang berjalan ke arah Tuhan yang pada satu sisi manusia sebagai pesuluk dan pada sisi lain suluknya tidak lain adalah ajaran-ajaran Ilahi atau syariat.

Manusia yang terus berjalan di atas jalan ini dan tetap (istiqomah) dalam pengamalan dan keyakinannya kepada syariat maka akan semakin mendekatkannya kepada tujuan penciptaannya. Keimanan dan pengamalan sempurna kepada syariat adalah penapakan di atas jalan kemanusian, dan penitian khusus ini dinamakan dengan “tarikat”.

Safar dan perjalanan ini bertolak belakang dengan mayoritas suluk-suluk yang lain. Tujuan penciptaan adalah juga tempat tujuan itu sendiri, yakni dengan setiap langkah yang diambil di jalan ini akan berhadapan dengan pandangan baru dan ketertarikan lain serta pengaruhnya terhadap jiwanya akan berakibat pada perubahan dan kesempurnaannya secara perlahan-perlahan.

Dengan ungkapan lain, dengan memperhatikan kualitas dan kuantitas serta latar belakangnya, maka manusia akan sampai pada tujuannya sendiri dan dengan langkah-langkah selanjutnya tujuan ini adalah memperluas wilayah penyingkapan hakikat-hakikat dan memperdalam kedekatan kepada Tuhan, dengan demikian akan sampai pada derajat yang dinamakan dengan “hakikat”.

Berkenaan dengan persoalan di atas, Ayatullah Hasan Sodeh Amuli menyatakan, “… manusia adalah makhluk yang abadi, dan yang membentuk manusia berdasarkan al-Quran, irfan, dan filsafat adalah ilmu dan amal perbuatannya… ini adalah makanan jiwa sebagaimana makanan badan adalah air dan gandum… yakni makanan lahiriah menyebabkan kuatnya badan dan makanan batiniah berpengaruh pada kelestarian jiwa manusia… makanan yang diserap oleh jiwa akan menyatu secara eksistensial dengan jiwa dan untuk selamanya tinggal serta berhubungan secara terus menerus.

Jadi, manusia senantiasa dalam suatu proses membentuk dirinya siang dan malam untuk suatu keabadian… manusia harus menjaga dan mengontrol kondisi dirinya sendiri. Manusia harus mengetahui dan memahami sehingga dapat menapaki jalan yang benar dan sempurna… Tuhan Yang Maha Suci telah menciptakan suatu “industri” yang sangat menakjubkan yakni wujud manusia merupakan suatu “industri” yang paling besar di alam eksistensi ini. Disamping “industri” itu terdapat suatu kitab yang memberikan petunjuk tentang bagaimana cara pemanfaatannya yang benar dan bagaimana cara perawatannya…

Kita tidak memiliki petunjuk-petunjuk praktis selain al-Quran al-karim dan hadis-hadis serta doa-doa yang telah diberikan oleh Rasulullah saw dan para Imam Ahlulbaitnya yang suci yang secara utuh juga bersumber dari lautan (baca: al-Quran) Ilahi yang tak terbatas.” …

Dalam irfan teoritis dan praktis, kita tidak akan mendapatkan perkataan yang lebih tinggi dan ucapan yang sangat bernilai dari ungkapan-ungkapan Nabi Muhammad saw dan Ahlulbaitnya yang suci. Apa-apa yang dibutuhkan oleh seorang manusia dalam memenuhi segala makanan jiwa dan ruhnya sendiri untuk mendekatkan dirinya kepada Tuhan terdapat dalam al-Quran dan perkataan suci para Imam Ahlulbait.

Kedekatan kepada Tuhan adalah menyatu dengan sifat-sifat rububiyah-Nya dan berakhlak dengan akhlak malakuti-Nya, yakni manusia di dalam suluk kesempurnaannya mengalami perkembangan ilmu dan amal sedemikian sehingga sampai pada suatu derajat yang menyatu dengan sifat rububiyah-Nya.

Yang pasti bahwa tingkatan-tingkatan itu tetap ada, sebagaimana Tuhan berfirman dalam surah Mujadalah ayat 11, “dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan di antara kamu beberapa derajat.” Tingkatan yang paling tinggi adalah seorang manusia yang telah mengaktualkan segala potensi secara sempurna dan telah menjadi manusia sempurna, akan tetapi kesempurnaan setiap manusia bergantung kepada keluasan wujudnya sendiri dan sejauh mana dia menempatkan dirinya di jalan kesempurnaan.

Dalam irfan praktis, manusia akan sampai pada tingkat dimana akan terbukan mata batinnya (mata barzakh), yakni dia akan menyaksikan manusia-manusia itu sesuai dengan hakikat dan kondisi batinnya…

Untuk para arif dan wali-wali Tuhan memandang bahwa hari kiamat telah terjadi di dunia ini, hal ini juga disabdakan oleh Imam Ali As yang merupakan Imamnya para arif, orang-orang bertakwa (muttaqin), dan para pengesa Tuhan (muwahhidin), “Apabila tirai dan hijab terbuka maka keyakinanku tidak akan bertambah.” Dunia dan akhirat adalah suatu hijab dan tirai bagi kita, namun tidak ada satu pun yang menghijabi Amirul Mukminin Ali As.”[7]

Di akhir jawaban ini, kita akan menghadirkan ucapan-ucapan Arif Hakiki, Imam Khomeni Qs, yang menjelaskan tingkatan-tingkatan dan derajat-derajat manusia yang tidak lain adalah derajat akhirat, barzakh, dan dunia. Beliau memaparkan bahwa setiap makrifat dan pengetahuan untuk manusia niscaya bersesuaian dengan tingkatannya masing-masing.

Dia menyatakan, “Segenap pengetahuan yang bermanfaat terbagi ke dalam tiga pengetahuan, pertama adalah suatu pengetahuan yang berhubungan dengan kesempurnaan akal dan kewajiban-kewajibannya. Kedua ialah suatu pengetahuan yang berkenaan dengan perbuatan-perbuatan hati dan kewajiban-kewajibannya, dan ketiga adalah suatu pengetahuan yang berkaitan dengan amal-amal hati dan hal-hal yang terkait dengan aspek lahiriah manusia… setiap tingkatan dari tingkatan-tingkatan ini… adalah sedemikian berhubungan satu sama lain dimana terdapat pengaruh timbal balik antara satu tingkatan dengan tingkatan-tingkatan lainnya, baik dari aspek kesempurnaan maupun dari dimensi kekurangannya.

Seperti, apabila manusia ingin menjalankan ibadah-ibadah lahiriah maka harus sesuai dengan perintah-perintah para nabi. Ibadah-ibadah yang dijalankan itu akan berpengaruh kepada kondisi hati dan jiwanya yang akan berujung kepada kebaikan akhlaknya (tingkatan barzakh) dan kesempurnaan akidahnya (tingkatan dunia).

Hal ini sama berlakunya ketika seseorang senantiasa mensucikan akhlak dan membersihkan batinnya yang akan berpengaruh kepada dua tingkatan lain (tingkatan akal dan dunia), sebagaimana kesempurnaan iman dan hukum-hukum akidah berpengaruh kepada dua tingkatan yang lain (tingkatan barzakh dan dunia). Bahkan, kata “berhubungan atau berpengaruh” (pengaruh satu tingkatan dengan tingkatan-tingkatan lainnya) yang digunakan untuk mengaitkan satu tingkatan dengan tingkatan lainnya hanyalah bersifat majasi, karena tidak ada kata lain yang pas untuk bisa digunakan mengungkap realitas itu, maka harus dikatakan, “satu hakikat yang memiliki manifestasi-manifestasi.”[8]

Lebih lanjut beliau katakan, “Dalam bentuk apa pun, wahai saudaruku yang mulia!... Dimanapun tingkatan kamu maka berupayalah dan tingkatkanlah keikhlasan dirimu serta bersihkanlah hatimu dari segala bentuk hayalan jiwa dan bisikan setan. Yang pasti, kamu akan memperoleh hasilnya, akan kamu temukan jalan menuju hakikat, dan akan terbuka bagimu jalan petunjuk serta Tuhan Yang Maha Tinggi akan melindungimu.”[9][]


Bahan bacaan untuk telaah lebih jauh:
1. Sayyid Haidar Amuli, Jami’ul Asrar wa Manba’ul Anwar, Penerjemah: Sayyid Jawad Hasyemi Ulya.

2. Mir Jalaluddin Muhaddits Armawy, Rah-e Tausye-ye Rahrawan, hal. 159 - 172.

3. Muhammad Bahary Hamadani, Tazkiratul Muttaqin.

4. Ayatullah Hasan Hasan Sodeh Amuli, Dar Osmon-e Ma’rifat, hal. 46 - 52

5. Ayatullah Muhammad Husain Husaini Tehrani, Tauhid ‘Ilmi wa ‘Aini.

6. Ayatullah Muhammad Husain Husaini Tehrani, Resoleye Lubbul Albab, hal. 159 - 172.

7. Syahid Murthada Muthahhari, Osynoye Bo Ulume Islami (Irfan), hal. 82- 80.

8. Ruhullah Musawi Khomeni, Syarh-e Cehel Hadits, hal. 387 – 388 dan 394.

9. Azizuddin Nasafi, Insanul Kamil.


Catatan Kaki:
[1] . Azizuddin bin Muhammad Nasafi, Insân al-Kâmil, hal. 3

[2] . Murtadha Muthahhari, A^synâ-i ba Ulume Islâmi, hal. 82

[3] . Suatu derajat spiritual yang belum tetap.

[4]. Sayyid Haidar Amuli, Jami’ul Asrar wa Manba’ul Anwar, penerjemah: Sayyid Jawad Hasyemi, hal. 266-267.

[5] . Ibid., hal. 267-268.

[6] . Murtadha Muthahhari, Asyna-i ba Ulume Islami, bagian Irfan, hal.80-82.

[7] . Ayatullah Hasan Sodeh Amuli, Dar Osmone Ma’rifat, hal 46-52.

[8] . Ruhullah Musawi Khomeni, Cehel Hadits, hal. 386.

9] . Ibid, hal. 394.

15
TANYA JAWAB MASALAH IRFAN

14. Berilah penjelasan tentang maqâm fana dan baqa.
Fana dalam makna leksikalnya adalah ketiadaan dan kehancuran. Dan lawan dari fana adalah baqa, abadi, dan tetap ada. Seperti Tuhan termasuk kategori abadi dan baqa, sementara selain-Nya atau seluruh makhluk digolongkan ke dalam ketiadaaan, kehancuran, dan fana.

Sedangkan fana dalam makna gramatikalnya adalah tidak memandang, memperhatikan, dan menyaksikan keberadaannya sendiri.Yang pasti hal ini tidak berarti asing terhadap dirinya sendiri, namun lebih bermakna bahwa seseorang yang hadir di sisi Tuhan sama sekali tidak melihat eksistensi dirinya sendiri dan dia meniadakan segala sesuatu selain-Nya di dalam hatinya.


Maqâm Fana dalam Irfan
Maqâm adalah suatu derajat dan tingkatan yang telah dicapai oleh seorang Arif setelah bertahun-tahun melewati segala penderitaan, tazkiyah, dan pensucian diri, serta segala kesulitan. Oleh karena itu, pada umumnya suatu perubahan akan bersifat tetap, abadi, dan tidak mudah sirna apabila dilalui dan dicapai dengan susah payah dan kerja keras.

Pada maqâm fana, manusia di hadapan Tuhan tidak menyaksikan diri sendirinya, penghambaannya, keinginan-keinginannya, harapan-harapannya, dan dunia sekelilingnya. Manusia hanya memandang dan melihat jamaliyah dan jalaliyah Tuhan. Apa saja yang disaksikan oleh para wali Tuhan adalah Yang Haq, apakah melalui perantara atau dengan perantara.

Bagi para pesuluk dan pencari makrifat terkadang perantara itu adalah nama-nama dan sifat-sifat Tuhan, akan tetapi hijab dan perantara cahaya ini pun akan tersingkap, "Ya Tuhanku anugerahkan padaku kesempurnaan penyaksian kepada-Mu… sedemikian sehingga pandangan hati merobek hijab-hijab cahaya." Inilah puncak dan akhir derajat fana yang setelah itu manusia berada pada kondisi melupakan segala sesuatu kecuali Yang Haq dan "menyirnakan" segala sesuatu secara sempurna selain-Nya. Di sinilah dia mendengar dengan pendengaran Tuhan, melihat dengan pandangan Tuhan, dan berbicara dengan lisan Tuhan.

Realitas fana ini tidak sampai pada penyingkapan hakikat zat Tuhan, karena hakikat zat-Nya hanya diketahui oleh-Nya dan tidak ada satupun makhluk yang dapat menyaksikan hakikat zat-Nya.

Secara leksikal fana bermakna ketiadaan dan kehancuran. Lawan dari fana adalah baqa yang berarti abadi, tetap, dan eksis. Kata ini dipergunakan dalam al-Quran, walaupun sebagian dari derivatnya yang diaplikasikan, seperti: "Segala sesuatu akan hancur dan yang tinggal wajah Tuhanmu," Tuhan dalam ayat ini meletakkan kata "fanin" (hancur) berhadapan dengan kata "yabqa" (yang tetap, yang tinggal, dan abadi), yang bermakna bahwa hanya Tuhanlah yang selamanya ada dan baqa, sementara segala sesuatu selain-Nya adalah hancur dan sirna.

Akan tetapi, makna gramatikal fana tidak bersesuaian dengan makna leksikalnya. Fana dalam makna gramatikalnya adalah tidak menyaksikan, memandang, melihat, dan mendapatkan dirinya sendiri. Namun hal ini tidak berarti asing terhadap dirinya sendiri, melainkan manusia tidak menyaksikan dirinya sendiri di hadapan Tuhan dan hanya Dia yang dipandang.


Definisi Fana dalam Perspektif Para Arif
Abu Said Harraz mendefenisikan fana sebagai berikut, "Fana adalah fananya seorang hamba dari memandang penghambaannya, dan baqa adalah baqanya seorang hamba dengan penyaksian Ilahi.[1]

Qusyairi menyatakan, "Setiap kali Pemiliki Hakikat menyelimuti dirinya maka dia tidak lagi menyaksikan segala sesuatu selain-Nya baik wujudnya maupun perbuatannya, dia fana dari makhluk dan baqa dengan perantaran-Nya."

Mir Syarif Jurjany juga mengungkapkan, "Sirna dan tiadanya sifat-sifat buruk itu disebut fana, sebagaimana keberadaan sifat-sifat yang terbatas dikatakan baqa."[2]


Maqâm Fana

Di dalam Irfan terdapat dua istilah:
1. Maqâm;

2. Hâl.

Maqâm adalah suatu derajat dan tingkatan yang telah dicapai secara ikhtiari (dengan kehendak sendiri) oleh seorang Arif setelah bertahun-tahun melewati segala tempaan, tazkiyah, pensucian diri, dan segala kesulitan. Oleh karena itu, secara umum maqâm itu sangatlah sulit untuk sirna dan tiada. Dengan ungkapan lain, penderitaan dan kesulitan yang dijalani dan dialami secara terus menerus dan bergradual oleh seorang Arif dan pesuluk dalam praktek-praktek kezuhudan dan pengorbanan diri sendiri telah mengantarkannya pada suatu derajat khusus dan maqâm tertentu yang pantas baginya. Dan karena tingkatan-tingkatan dan tahapan-tahapan pensucian diri itu dilaluinya dengan upaya yang sungguh-sungguh dan kerja keras, maka maqâm yang telah digapainya itu tidak akan turun dan sirna dengan mudah.

Sementara pengertian hâl berlawanan dengan maqâm tersebut. Hâl adalah suatu bentuk perubahan yang hadir pada diri seorang arif tanpa kehendaknya sendiri setelah menapaki tahapan-tahapan spiritual. Karena perubahan yang hadir itu datang secara tiba-tiba, maka sangat mungkin akan sirna juga dengan tiba-tiba. Dengan demikian, hâl adalah suatu kualitas spiritual yang tidak bersifat konstan dan terus menerus mengalami suatu perubahan.

Manusia dalam maqâm fana tidak menyaksikan dirinya sendiri, penghambaannya, kecenderungan-kecenderungannya, harapan-harapannya, dan alam sekitarnya di hadapan Tuhan dan hanya semata-mata memandang Yang Haq.

Dalam kondisi demikian, fana tidak lagi bersesuaian dengan makna leksikalnya yang bernada negatif, bahkan merupakan suatu tingkatan kesempurnaan. Dan inilah yang sebenarnya dimaksudkan oleh para urafa yang menyatakan, "Puncak fana adalah baqa dan abadi di hadapan Yang Haq." Inilah yang dalam istilah Irfan dinamakan sebagai "fana fii Allah" (fana dalam sifat-sifat Tuhan).


Bagaimana Mencapai Maqâm Fana
Ketika antara manusia dan Tuhannya terdapat hijab-hijab berupa dosa-dosa, maksiat, dan egoisme, serta kebergantungan kepada selain-Nya, maka hijab-hijab kegelapan ini akan menjadi penghalang yang sangat besar untuk sampainya seorang hamba di hadapan suci Tuhannya.

Apabila dia tidak memiliki dosa-dosa, hijab-hijab kegelapan, dan kebergantungan kepada selain-Nya serta sirnanya perhatian kepada keinginan diri sendiri, maka sangat mungkin dia menggapai derajat penyaksian sifat-sifat Tuhan secara terbatas. Setelah mencapai tingkatan ini barulah maqâm fana itu akan diraihnya dan hadir dalam dirinya.

Yang pasti bahwa dalam perjalanan dan suluk irfani ini terdapat banyak tingkatan-tingkatan dan tahapan-tahapan yang kita tidak akan bahas dalam kesempatan ini. Akan tetapi, maksud dari "liqa ullah" (perjumpaan dengan Tuhan) yang dibungkus dalam kata-kata seperti syuhud, baqa, dan… adalah tidak dengan menggunakan mata lahiriah ini, karena sebagaimana dalam ayat al-Quran dikatakan, "Dia (Tuhan) tidak dapat dilihat dan dijangkau dengan mata."[3] Dan begitu pula Tuhan tidak dapat diliputi dengan pikiran-pikiran, karena pikiran dan metode rasionalitas itu tidak disebut sebagai syuhud, liqa, dan …; melainkan apabila seorang hamba ingin "menyaksikan" sifat-sifat Tuhan dan mencapai maqâm fana maka -sebagaimana yang difirmankan dalam al-Quran- dia harus meninggalkan segala sesuatu selain Tuhan, melaksanakan amal dan perbuatan shaleh, dan tidak menyekutukan Tuhan. Seorang hamba yang berkehendak menyaksikan Yang Haq dengan tanpa perantara mestilah dia tidak memandang dirinya sendiri dan segala sesuatu selain-Nya.

Allah Swt berfirman, "Barangsiapa yang berharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia beramal dengan amal yang shaleh dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun dalam penghambaan kepada Tuhannya."[4]

Nabi Musa As pun menjadi tidak sadarkan diri atau pingsan ketika berkaitan dengan cerita penyaksian Tuhan. Setelah beliau tersadar dari pingsannya bersabda, "Tuhanku Engkau tidak dapat disaksikan tanpa fana dan memutuskan segala bentuk keterikatan dan kebergantungan."[5]

Akan tetapi, persoalan yang sangat mendasar di sini adalah apa makna dari ungkapan bahwa sebagian pembesar para pesuluk dan arif mengklaim dapat menyaksikan Tuhan Yang Maha Tinggi itu dengan tanpa perantara? Dan secara umum apa yang dimaksud dengan perantara-perantara tersebut?

Untuk memahami dan mengerti makna ungkapan tersebut alangkah baiknya kita memperhatikan dan menyimak pernyataan-pernyataan Imam Khomeni qs dalam kitabnya "Arbain Hadis". Beliau dalam kitab itu mengungkapkan, "Setelah mencapai ketakwaan yang sempurna, terputusnya secara total perhatian dan kebergantungan hati dari segala sesuatu yang ada di alam, menyirnakan segala bentuk egoisme dan kecintaan kepada diri sendiri, perhatian sempurna kepada Tuhan, nama-nama, dan sifat-sifat-Nya, larut dalam kecintaan kepada Yang Maha Suci, melakukan segala bentuk pensucian hati, maka akan muncul dan hadir suatu bentuk pencerahan hati dan cahaya malakuti di dalam hati para pesuluk yang beriringan dengan manifestasi nama-nama dan sifat-sifat Tuhan… dan antara ruh suci pesuluk dan Dzat Suci Tuhan hanya terdapat satu hijab, yakni hijab nama-nama dan sifat-sifat Tuhan. Untuk sebagian pembesar para pesuluk sangatlah mungkin mampu merobek hijab-hijab cahaya (hijab nama dan sifat Tuhan) tersebut dan hanya menyaksikan dirinya bergantung secara mutlak kepada Zat Suci Tuhan, dan dalam penyaksian ini dia "memandang" pancaran eksistensial Tuhan[6] dan kefanaan zatnya sendiri."[7]

Dengan kandungan makna yang kurang lebih sama dengan pernyataan Imam Khomeni qs, di bawah akan diutarakan suatu doa yang mulia, munajat sya'baniyah: "Ya Ilahi anugerahkan kepadaku kesempurnaan penyatuan dengan-Mu … sedemikian sehingga mata hati merobek hijab-hijab cahaya."[8]

Adalah sangat mungkin manusia mencapai suatu derajat yang antara dia dan Tuhannya hanya terhijabi cahaya nama dan sifat Tuhan. Dan juga sangatlah mungkin manusia menggapai suatu tingkatan yang tidak ada lagi hijab-hijab cahaya antara dia dan Zat Suci Tuhan. Para pesuluk yang sempurna akan mampu melewati hijab-hijab cahaya ini dan meraih kefanaan yang sempurna. Dalam kondisi puncak spiritual ini, apa yang disaksikannya adalah hanya Yang Maha Suci. Apa yang didengarnya tidak lain adalah bersumber dari Yang Maha Benar. Dia melihat dengan "mata" Tuhan, mendengar dengan "telinga" Tuhan, dan berucap dengan "lisan" Tuhan. Inilah puncak dan akhir fana dalam Tuhan (fana fillah). []


Catatan Kaki:
[1] . Kata fana pertama kali digolongkan ke dalam bagian istilah irfani oleh Abu Said Kharraz.

[2] . Khuramsyahi,Bahauddin, Hafiz Nameh, Intesyarat Surusy, hal. 975.

[3]. Qs. An'am: 103

[4] . Qs. Kahfi: 110

[5] . Jawadi Amuli, Abdullah, Tafsir Maudhu'I Quran Karim, jld 7, hal. 255.

[6] . Suatu pancaran yang menyebabkan hadirnya keberadaan segala sesuatu selain Tuhan. Pancaran inilah yang menyebabkan terwujudanya segala sesuatu di alam dan seluruh makhluk. (Penerjemah)

[7] . Imam Khomeni Qs, Arba'ina Hadis, hal. 454.

[8] . Bihârul Anwâr, jld 91, hal. 98; Mafatihul Jinan Munajat Sya'baniyah.

16
TANYA JAWAB MASALAH IRFAN

15. Apa yang dimaksud dengan kedekatan kepada Tuhan (qurb Ilahi)? Bagian-bagian dari kedekatan tersebut? Dan bagaimana dapat menghasilkan kedekatan kepada Tuhan?
"Qurb" secara leksikal bermakna mendekatnya sesuatu kepada sesuatu yang lain. Qurb ini terkadang dari sisi ruang (makan) dan terkadang dari sisi waktu (zaman). Oleh karena itu, kedekatan boleh jadi berada pada tataran ruang, atau berada pada arsy waktu. Dalam kebiasaan (urf) umum juga, kedekatan (qurb) memiliki penggunaan lainnya yaitu adanya nilai, kedudukan, dan derajat di sisi orang lain.


Pembagian qurb dalam perspektif filsafat
Qurb (kedekatan) dari sudut pandangan filsafat terbagi menjadi tiga: Kedekatan ruang (makâni) dan waktu (zamâni). Kedekatan kuiditas (mâhiyya) dan kedekatan eksistensial (wujudi). Adapun kedekatan ruang dan waktu terkhusus pada bagian-bagian alam jasmani. Karena Tuhan suci dari segala bentuk bendawi maka dalam kedekatan ruang dan waktu ini terkait dengan Tuhan tidak benar adanya. Namun kedekatan kuiditas (mâhiyyah) misalnya kedekatan Zaid dan Amr pada kuiditas kemanusian dan keseragamannya dalam urusan kehewanan dan keberpikiran (nâtiqiyyah). Akan tetapi Allah Swt, karena merupakan Wujud Nir-Batas dan Absolut, tidak memiliki kuiditas dan oleh karena itu kedekatan kuiditas ini tidak benar disandarkan kepada-Nya.

Adapun kedekatan eksistensial, lantara­n Allah Swt Penganugerah dan Sumber segala wujud serta terpisahnya Sebab Sempurna dengan akibat-akibatnya adalah sesuatu yang mustahil. Dan akibat merupakan relasi murni (rabth- mahdh) terhadap sebab. Dengan demikian kedekatan (qurb) Allah Swt kepada segala sesuatu adalah dari sisi kedekatan eksistensial Tuhan kepada segala sesuatu.


Kedekatan Allah Swt kepada segala sesuatu

Dalam masalah kedekatan Tuhan kepada kita ayat-ayat al-Qur'an terbagi menjadi empat bagian:
1. Bagian pertama adalah ayat-ayat yang menujukkan kepada hakikat kedekatan itu sendiri, dimana Tuhan dekat dengan kita.

2. Bagian kedua, ayat-ayat yang menunjukkan bahwa Tuhan lebih dekat kepada kita dari siapa pun.

3. Bagian ketiga adalah ayat-ayat yang menunjukkan bahwa Tuhan Yang Mahakuasa lebih dekat kepada manusia daripada urat nadinya.

4. Bagian keempat adalah ayat-ayat yang menandaskan bahwa Tuhan lebih dekat kepada manusia daripada diri manusia itu sendiri. Dalam menjelaskan ayat-ayat yang tergolong bagian keempat harus dikatakan bahwa manusia adalah maujud yang di dalamnya tidak berisi, melainkan sebagaimana wujud-wujud kontingen yang ajwaf (tengahnya kosong melompong). Oleh karena itu, antara manusia dan dirinya terdapat batas kekuasaan eksistensial Allah Swt.


Jalan mendekat kepada Allah Swt dari sudut pandang filsafat
Jelas bahwa Tuhan bukan merupakan arah dan sisi sehingga melaluinya Tuhan dapat didekati. Melainkan, kedekatan kepada Tuhan dapat dihasilkan melalui penguatan efek-efek eksistensial manusia, sehingga sedapat mungkin menjadi cermin nama-nama dan sifat-sifat Ilahi. Dan dalam jalan meraup kebahagiaan, semakin besar kesempurnaan eksistensial manusia maka derajat kedekatannya kepada Tuhan semakin bertambah.

Kedekatan kepada Allah Swt dari sudut pandang ayat dan riwayat: Lantaran Tuhan Yang Mahakuasa lebih dekat daripada segala sesuatu, maka manusia harus berupaya dengan menunaikan amal kebaikan sehingga ia memperoleh kedekatan Ilahi.

Dalam meniti jalan perbuatan baik ini, terdapat dua bagian perbuatan. Pertama perbuatan wajib dan kedua perbuatan mustahab. Perbuatan-perbuatan yang memainkan peran sentral dan kunci dalam masalah kedekatan Ilahi adalah makrifat, ikhlas dalam perbuatan dan perbuatan-perbuatan lainnya misalnya, rendah hati, berbudi, berbuat kebajikan, dan sebagainya dihukumi sebagai nafilah (mustahab).

"Qurb" secara leksikal bermakna mendekatnya sesuatu kepada sesuatu yang lain. Qurb ini terkadang dari sisi ruang dan tempat (makân) dan terkadang dari sisi waktu (zamân). Oleh karena itu, dikatakan bahwa sesuatu (dari sudut pandang ruang) kepada sesuatu yang lain, dekat dan jaraknya sedemikian. Atau kemarin (dari sisi waktu) lebih dekat kepada dua hari yang lalu ketimbang hari ini. Akan tetapi penggunaan lainnya pada kebiasaan umum dimana pengunaan kedekatan ini bermakna sesuatu yang mendapat perhatian dan kesukaan serta adanya nilai, derajat dan "memiliki tempat" pada seseorang.


Pembagian qurb dalam perspektif filsafat
Qurb (kedekatan) dari sudut pandangan filsafat terbagi menjadi tiga: Kedekatan ruang (makâni) dan waktu (zamâni). Dan kedekatan yang bermakna hubungan dari sisi eksistensi. Serta kedekatan yang berarti relasi dari dimensi kuiditas. Kedekatan (qurb) dan kejauhan (bu'd) merupakan hal yang membutuhkan dua perkara dalam perwujudannya. Misalnya "A" dan "B" harus ada, sehingga dengan perwujudan keduanya menjadi benar bahwa A dekat kepada B atau jauh darinya.

Kedekatan sedemikian bermakna kedekatan ruang dan tempat (makani) yang benar (shâdiq) adanya pada bagian-bagian alam bendawi dan jasmani. Atau kedekatan dari sisi waktu (zaman), yang dihubungkan dengan waktu lainnya lebih dekat kepada waktu yang ketiga.

Dan kedekatan dan kejauhan ini tidak memiliki makna dan arti pada dunia metafisika dimana alam ini merupakan alam keterpisahan (mufâraqât, mujaraddât) terlepas dan terbebas dari segala jenis batasan, cela dan gerakan, khususnya pada Hakikat segala hakikat (Haqiqat al-haqâiq), Wujud Nir-Batas yang merupakan Wujud murni dan Murni wujud serta basith al-Haqiqah (realitas simpel), Shamad Haq dimana disebutkan dalam Nahjul Balaghah, "Laa Shamada man asyarah ilaihi wa tawahhamahu" (Mereka yang memberi isyarat kepada-Nya [sesungguhnya] sedang mengalami delusi [wahm] dan tidak mengenal Allah yang Tak-Membutuhkan [shamad]).[1]

Namun kedekatan yang bermakna hubungan dari dimensi kuiditas (mahiyyah) juga tidak benar adanya pada Allah Swt. Karena kuiditas pada tingkatan ini dengan adanya sesuatu yang berhadapan dengan wujud adalah kuiditas yang bermakna lebih khusus (akhash) dimana bagian-bagian batasan sesuatu disebut sebagai genus (jins) dan differentia (fashl) yang memperkenalkan batasan-batasan seluruh wujud dan tentu saja Allah Swt terlepas dari kuiditas[2] yang bermakna seperti ini. Tiada batasan bagi-Nya sehingga kuiditas yang lain dapat disandarkan lebih dekat atau lebih jauh dengan-Nya. "Man asyarah ilaihi faqad haddahu wa man haddahu faqad 'addahu." (Barang siapa yang memberi isyarat kepada-Nya maka sesungguhnya ia telah membatasi-Nya. Dan barang siapa yang membatasi-Nya sesungguhnya ia telah menghitung-Nya).[3]

Dua orang yang sama dan seragam dalam kuiditas keduanya mirip satu dengan yang lain. Lantaran Zaid dan Amr dalam kuiditas sebagai manusia (insan) seragam dan sama sementara Allah Swt terlepas dari adanya "dhedh" (kontra), "mitsl" (keserupaan) dan "ned" (padanan)"


Hubungan maknawi dari dimensi Wujud
Allah Swt merupakan sumber (mabda') dan Pemberi anugerah setiap eksisten (maujud). Terpisah dan terlepasnya sebab sempurna dari akibatnya adalah sesuatu yang mustahil. Sebagaimana tidak mungkinya akibat terpisah dari sebab sempurnanya. Kendati pada hakikatnya urusan ini lebih tinggi dari sekedar penyebutan sebab sempurna dan akibat. Karena selain Allah Swt merupakan tingkatan (di bawah) Wujud-Nya. Oleh karena itu, tiada satu pun kedekatan eksisten lebih dekat dari hubungan Wujud kepada eksisten tersebut (selain Allah Swt). "Ketika hamba-Ku berkata ihwal-Ku, sesungguhnya Aku dekat." (Qs. Al-Baqarah [2]:186)

Dan hubungan yang terajut antara Wajibul Wujud dan selain-Nya adalah hubungan kebersamaan qayyumiyat dan idhâfa isyrâqiyah. Dimana seluruh identitas eksistensi adalah relasi murni (rabth mahdh) dan selama sebab tidak dikenal maka akibat tidak akan pernah dapat dikenal sama sekali. Berangkat dari sini, kedekatan Tuhan kepada segala sesuatu adalah dari sisi kedekatan eksistensial Tuhan kepada segala sesuatu dimana dari sisi kedekatan eksistensial, tiada kedekatan yang lebih dekat dari kedekatan ini. Lantaran dimanapun ada keberadaan dan wujud, Tuhan merupakan Sumber dan Pemberi anugerahnya (anugerah wujud). Dan akibat selalu mengikut (baca: qâim) kepada sebabnya.[4]


Kedekatan Allah Swt kepada segala sesuatu

Dalam bidang dekatnya Allah Swt kepada kita, ayat-ayat al-Qur'an terbagi menjadi empat bagian:
1. Ayat-ayat yang menunjukkan kepada hakikat kedekatan yang menegaskan bahwa Allah Swt dekat kepada kita: misalnya: "Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku." (Qs. Al-Baqarah [2]:186)

2. Bagian kedua, ayat-ayat yang menunjukkan bahwa Tuhan lebih dekat kepada kita dari siapa pun. Misalnya pada ayat, "Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu, tetapi kamu tidak melihat." (Qs. Al-Waqiah [56]:85

3. Bagian ketiga adalah ayat-ayat yang menunjukkan bahwa Tuhan Yang Mahakuasa lebih dekat kepada manusia daripada urat nadinya. Misalnya pada ayat, "Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat nadinya." (Qs. Al-Qaf [50]:16)

4. Bagian keempat adalah ayat-ayat yang menandaskan bahwa Tuhan Yang Mahakuasa lebih dekat kepada manusia daripada diri manusia itu sendiri. Misalnya pada ayat: "Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan rasul apabila rasul menyerumu kepada suatu yang memberi kehidupan kepadamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya." (Qs. Al-Anfal [8]:24)


Pembahasan tentang tiga bagian pertama tidaklah begitu pelik. Namun bagian keempatnya tidak dapat diselesaikan dengan mudah terkait bagaimana Tuhan Yang Mahakuasa lebih dekat kepada manusia daripada manusia itu kepada dirinya?

Berangkat dari sini sebagian penafsiran ihwal matlab ini memaknai pembatasan kekuasaan ini dengan mengikuti bentuk lahir sebagian nash-nash dan berkata: Sebagian nash-nash tentang pembatasan ini dimaknai sebagai pembatasan makna dan mereka berkata, “maksud dari “yahulu baina al-mar’i wa qalbihi adalah bahwa terkadang manusia mengambil keputusan untuk melakukan sebuah perbuatan, kemudian setelah itu Tuhan membuatnya menyesali perbuatan tersebut dan tidak membiarkan orang ini melanjutkan keputusan atau perbuatan tersebut.[5]

Makna ini kurang-lebih adalah makna tengah-tengah (mutawassith), akan tetapi apabila kita memiliki dalil rasional yang sesuai dengan ayat yang dimaksud dan terdapat dalil-dalil lainnya yang menyokong pandangan tersebut, maka tidak ada alasan bagi kita meninggalkan ayat ini secara lahir yang menyatakan : “Tuhan membatasi antara manusia dan dirinya.” Karena manusia bukan merupakan maujud yang berisi, melainkan laksana makhluk-makhluk kontingen (mumkin) lainnya yang ajwaf (tengahnya melompong). Sebagaimana Tsiqah al-Islam Kulaini menegaskan matlab ini dengan menukil sebuah riwayat dari Abu Ja’far As yang bersabda: “Sesungguhnya Allah Swt menciptakan Bani Adam ajwaf.”[6]

Mengingat manusia adalah ajwaf dan tengahnya kosong maka antara manusia dan diri manusia terbentang jarak kekuasaan wujud Tuhan, oleh karena itu Tuhan dekat kepada segala sesuatu. Apabila Tuhan dekat maka Dia mendekat dengan segala sifat-sifatnya. Karena sifat-sifat dzati Tuhan adalah dzat-Nya itu sendiri dan apabila sifat-sifat dzati Tuhan hadir,[7] sifat-sifat perbutan juga mengikuti sifat-sifat dzati dimana sifat-sifat dzati ini akan berpengaruh dan berlaku aktif (fa’âl).[8]


Jalan kedekatan kepada Allah Swt dari sudut pandang filsafat
Di antara pertanyaan-pertanyaan asasi dalam pembahasan kedekatan ini adalah bagaimana dapat mendekat kepada Tuhan dan menjadi orang-orang yang dekat di haribaan-Nya. Allah Swt yang merupakan cahaya wujud-Nya memendari tujuh petala langit dan bumi dimana pemendaran cahaya ini adalah pengadaan atau penciptaa itu sendiri. Dari sisi mana harus mendekat kepada-Nya dan dari sudut pandang mana Dia harus dicari?

Sangat jelas bahwa Tuhan Yang Mahakuasa tidak memiliki sisi dan arah juga tidak sudut. Dan lintasan serta jalan kedekatan ini, terealisir pada teks dzat wujud seorang salik. Karena salik berada pada jalan penyempurnaan esensinya dalam meniti perjalanan dari makhluk kepada Haq dari tingakatan akal hayulani hingga sampai pada tingkatan akal aktual (aql bil fi'il) dan akal mustafad (tingkatan akhir akal sebelum mencapai akal aktif) serta bergabung dengan akal basith (sederhana) dan meraup kemanunggalan wujud dengannya, dimana ujung perjalanan dan tujuan asa ulul albab (orang-orang berakal), tersifati dengan nama-nama dan sifat-sifat baik Ilahi; artinya hinggap pada kebahagiaannya sendiri dan efek-efek eksistensialnya semakin menguat dan salah satu menjadi salah satu cerminan agung Ilahi. Lalu menjadi pemilik wilayah takwini. Dan kondisi nafsâni ini disebut sebagai "qurb" kedekatan."[9]


Kedekatan kepada Allah dari sudut pandang ayat dan riwayat
Lantaran Allah Swt meliputi segala sesuatu,[10] tidaklah masuk akal bahwa Dia jauh dari sesuatu dan oleh karena itu kedekatan kepada hamba, mau-tak-mau terhasilkan.

Oleh karena itu apabila manusia ingin mendekat kepada Tuhan dan merajut hubungan (idhâfa) ini maka melalui media ketaatan dan perbuatan-perbuatan baik kedekatan kepada Tuhan harus dicapai. Sebagaimana Imam Baqir As bersabda: "Kedekatan kepada Tuhan tidak dapat diperoleh kecuali dengan ketaatan." Dan dalam masalah ini dengan permulaan wilayat yaitu mendapatkan jalan kepada bantuan dan kecintaan. Menunaikan perbuatan-perbuatan yang mendekatkan diri kepada Allah Swt seperti shalat "al-Shalat qurbanan kulli taqiyya,"[11] (shalat adalah media kedekatan bagi orang-orang yang bertakwa) dan zakat yang disebutkan dalam riwayat, "Inna al-Zakat ju'ilat ma'a al-shalat Qurbanan."[12] (Sesungguhnya zakat dan shalat dijadikan sebagai media untuk kedekatan) Mendekatkan manusia kepada Tuhan dan kemudian tatkala kedekatan ini diperoleh manusia akan menjadi kekasih Tuhan dan Tuhan akan menjadi kekasih manusia. Ayat-ayat seperti, " Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” (Qs. Ali Imran [3]:31) adalah ayat yang menyoroti kecintaan dua belah pihak ini.[13]


Kualitas pelbagai perbuatan dalam mencapai kedekatan
Melaksakan setiap perbuatan yang memiliki kelayakan untuk mendekat (taqarrub) kepada Allah dan pelakunya mengerjakan perbuatan tersebut demi Allah Swt. Artinya yang diperhatikan adalah baiknya perbuatan tersebut dan juga ketulusan pelakunya sehingga ruang untuk melakukan kedekatan dan taqarrub kepada Tuhan tersedia. Dan apabila seorang hamba telah mendekat kepada Tuhan ia dapat mengambil manfaat dari kedekatan tersebut. Pelbagai perbuatan yang memiliki tipologi sedemikian terbagi menjadi dua: Sebagian dari perbuatan tersebut sekedudukan dengan perbuatan wajib dan sebagian lainnya adalah perbuatan mustahab. Sebagaimana untuk sampai ke surga harus mengerjakan perbuatan wajib (farâidh) dan juga amalan mustahab, demikian juga untuk sampai kepada derajat insaniah yang pada hakikatnya laksana surga harus menunaikan segala perbuatan wajib dan mustahab.

Apa yang penting diperhatikan dalam perjalanan ini dan tergolong sebagai kewajiban adalah makrifat, ikhlas dalam perbuatan. Dan semakin besar makrifatnya ketulusan dalam perbuatan semakin besar pula. Al-Qur'an al-Karim memandang ibadah sebagai media untuk meraih makrifat dan keyakinan: "Dan sembahlah Tuhanmu sampai keyakinan (ajal) datang kepadamu." (Qs. Al-Hijr [15]:99)

Jelas bahwa keyakinan ini, bukan penegasan terhadap keberadaan sumber (mabdâ). Karena keyakinan ini sendiri adalah sumber ibadah bukan produk unggul ibadah dan tergolong sebagai bagian dari derajat para wali-wali Tuhan. Namun keyakinan ini, keyakinan terhadap keberadaan Allah Swt dengan segala sifat-sifat mutlak-Nya.[14]

Sebagian program-program akhlak (aturan praktis akhlak) dalam meniti jalan menuju kedekatan kepada Allah adalah termasuk perbuatan mustahab. Senada dengan sabda Imam Shadiq As: "Perkara yang diwahyukan Allah Swt kepada Nabi Daud As adalah: Wahai Daud! Sebagaimana orang-orang yang rendah hati (tawadhu') adalah orang-orang yang paling dekat kepada Allah Swt, demikian juga orang-orang sombong adalah orang-orang yang paling jauh dari Allah Swt."[15]

Namun jelas bahwa rendah hati (tawadhu'), berbudi baik, santun dan mengerjakan kebaikan yang dianjurkan dalam pembahasan kedekatan kepada Allah (qurb Ilahi) semuanya hukumnya mustahab. Asas dan porosnya adalah makrifatuLlah dan menghamba kepada-Nya. Menyitir sabda agung Rasulullah Saw, "Yâ Abâ Dzar! U'budulLâh kaannaka tarâ-Hu fain kunta lâa tarâ-Hu fainna-Hu Yarâka!"[16] Artinya bahwa ibadahmu harus berdasarkan makrifat syuhudi (penyaksian) sedemikian engkau beribadah kepadanya sehingga seolah-olah engkau melihat Tuhan dan apabila (engkau tidak sampai pada derajat makrifat ini) engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.[]


Catatan Kaki:
[1]. Nahjul Balaghah, khutbah, 186

[2]. Kuiditas (mahiyah) bermakna batasan wujud dan terkhusus pada seluruh eksisten (maujud) kontingen yang terbatas. Dan karena Allah Swt adalah Wujud Mutlak dan Nir-Batas, maka tiada batasan bagi-Nya oleh karena itu Dia tidak memiliki kuiditas.

[3] . Nahjul Balaghah, khutbah 1.

[4]. Hasan Zadeh Amuli, Nushush al-Hikam bar Fushush al-Hikam, hal. 496.

[5]. Majma al-Bayân, jil. 4, hal. 820

[6]. Muhammad Ya’qub Kulaini, Al-Kâfi, jil. 6, hal. 282)

[7]. Bagian-bagian sifat-sifat Tuhan: 1. Sifat-sifat dzat: dimana dalam mengabstrasikannya cukup dengan memperhatikan dzat seperti sifat-sifat "Mengetahui ('Alim), Berkuasa (Kudrat), Hidup (Hayat) dan sebagainya. Sifat-sifat perbuatan: Sifat ini adalah sifat yang dalam mengabstrasikannya tidak cukup sekedar memperhatikan dzat Ilahi namun dzat tersebut harus ditinjau pada tataran perbuatan dan penciptaan kemudian mengabstrasikannya. Misalnya sifat-sifat pencipta (Khâliq), Pengampun (Ghafur), Pemberi rezeki (Râziq) dan sebagainya.

[8]. Jawadi Amuli, Hikmat-e Ibadah, pembahasan ketujuh, hal. 213.

[9]. Hasan Zadeh Amuli, Nushus al-Hikam bar Fushush al-Hikam, hal. 502.

[10].Qs. Fusshilat :5

[11]. Syaikh Shaduq, Man Laa Yahdhur al-Faqih, jil. 1, hal. 637.

[12] Nahjul Balaghah, Faizh al-Islam, khutbah 190.

[13]. Jawadi Amuli, Wilâyat dar Qur'ân, hal. 57. Markaz Farghangg-e Raja'

[14]. Abdullah Jawadi Amuli, Op cit, hal. 112.

[15]. Muhammad Rey Syahri, Husaini Sayid Muhammad Muntakhab Mizân al-Hikmah, riwayat no. 5212

[16]. Allamah Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 77, hal. 74.

17