ANAKMU AMANATNYA

ANAKMU AMANATNYA0%

ANAKMU AMANATNYA pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Keluarga & Anak
Halaman: 39

ANAKMU AMANATNYA

pengarang: Allamah Ibrahim Amini
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori:

Halaman: 39
Pengunjung: 88654
Download: 607

Komentar:

ANAKMU AMANATNYA
Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 39 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Pengunjung: 88654 / Download: 607
Ukuran Ukuran Ukuran
ANAKMU AMANATNYA

ANAKMU AMANATNYA

pengarang:
Indonesia
ANAKMU AMANATNYA

35. ANAK DAN PENDIDIKAN KETUHANAN

Agama: Fitrah Manusia
Umat manusia secara fitriah cenderung kepada Allah Swt dan agama. Jelasnya, kecenderungan ini merupakan sifat dasar manusia. Allah Swt memfirmankan, Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS. ar-Rum: 30)

Setiap anak pada dasarnya adalah seorang penyembah Allah Swt. Namun, pengaruh lingkungan luar dapat mengubah kondisi ini; sebagaimana disabdakan Nabi Islam saw, "Setiap anak dilahirkan dengan dengan fitrah keislaman, namun kemudian orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi."[59]

Orang tua bertanggung jawab untuk menempatkan anaknya dalam lingkungan yang secara alamiah menjadikan fitrah keagamaannya terpelihara dengan layak. Saat datang ke dunia ini, seorang anak akan cenderung pada Kekuatan yang mampu memenuhi segala kebutuhannya.

Namun demikian, pemahaman si anak pada tahap ini belum berkembang sampai tingkat kemampuan untuk mengungkapkan apapun tentang Sesuatu yang menjadi fokus perhatiannya itu. Baru kemudian, secara berangsur-angsur, pemahaman muncul dalam benaknya. Seorang anak yang diasuh dalam keluarga religius, mulai mengenal Allah Swt sejak sekitar usia empat tahun. Ini adalah usia ketika rangkaian pertanyaan sekonyong-konyong mulai muncul dalam benaknya. Dalam usia ini, adakalanya ia mengucapkan nama Allah.

Pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya itu menunjukkan bahwa fitrahnya mulai terbangun dan mendorongnya untuk mengumpulkan informasi sebanyak mungkin.


Dalam hal ini, si anak memikirkan tentang:
Siapa yang membuat matahari?

Siapa yang telah menciptakan bulan dan bintang?

Apakah Allah menyayangiku?

Apakah Allah baik hati?

Siapa yang menurunkan hujan?

Siapa yang melahirkan ayah?

Apakah Allah mendengar pembicaraan kita?

Dapatkah kita berbicara dengan Allah lewat telepon?

Di mana Allah tinggal?

Bagaimana wajah-Nya?

Apakah Allah tinggal di langit?

Sejak usia empat tahun, benak si anak mulai digelitik ribuan pertanyaan semacam itu. Semua pertanyaan itu menjadi bukti bahwa fitrah ketuhanan sudah terbangun dalam diri anak. Dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tersebut, ia berupaya memuaskan rasa dahaganya terhadap pengetahuan.

Tidaklah diketahui, bagaimana pandangan seorang anak yang masih berusia semuda itu tentang Allah. Ia barangkali menganggap bahwa Allah itu seperti ayahnya, namun tentu saja lebih besar dan lebih kuat [dari ayahnya].

Seiring pertumbuhan anak, pemahamannya tentang Allah juga ikut tumbuh. Karenanya, orang tua memikul tanggung jawab besar pada tahap ini. Mereka harus memainkan peran sangat kritis dalam membentuk keyakinan anak-anaknya.

Sedikit saja orang tua melalaikan kewajibannya terhadap anak pada tahap ini, maka mereka akan diberi ganjaran berat di Hari Pembalasan. Mereka harus berusaha menjawab dengan hati-hati seluruh pertanyaan yang diajukan anak-anaknya yang masih kecil.

Menghindar dari menjawab pertanyaan-pertanyaan anak karena beberapa alasan, sama saja dengan mematikan rasa ingin tahunya. Tapi tentunya tidak mudah menjawab seluruh pertanyaan anak. Jawaban-jawaban yang diberikan harus benar, ringkas, dan disampaikan dalam kalimat yang sederhana.


Jika Si Anak Mulai Sering Bertanya
Seiring dengan pertumbuhannya, sang anak berangsur-angsur mampu memahami informasi yang lebih rumit. Karenanya, orang tua harus menyiapkan diri untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mungkin diajukan sang anak. Mereka seyogianya tidak memberikan informasi apapun kepada si anak yang melampaui kadar pemahamannya.

Jawaban-jawaban semacam itu hanya akan membingungkannya ketimbang memuaskan dahaganya terhadap pengetahuan. Pendidikan ketuhanan bagi anak seyogianya dilakukan sedemikian rupa sehingga ia mampu memahaminya dengan mudah.

Imam Ja`far Shadiq as. mengatakan, "Ketika seorang anak berusia tiga tahun, ajarkanlah ia untuk mengucapkan, 'lâ ilâha illa Allâh (tiada tuhan selain Allah).' Lalu, biarkan ia sendiri (mengucapkannya).

Ketika ia berusia tiga tahun, tujuh bulan, 20 hari, ajarkan ia untuk mengucapkan, 'Muhammad ar-Rasûlullâh (Muhammad adalah utusan Allah).' Biarkan ia sendiri (mengucapkannya) hingga usianya genap empat tahun. Sekarang, ajarkan ia untuk mengucapkan shalawat (pujian) kepada Nabi saw (dan keluarganya yang suci)."[60]

Doronglah anak-anak belajar membaca bait-bait sederhana seputar perkara keagamaan. Ini akan menjadi latihan yang menyenangkan bagi mereka. Kemudian, ajarkanlah mereka tentang kenabian dan imamah (kepemimpinan).

Pertama-tama, sang anak harus diceritakan tentang Nabi saw yang diutus Allah Swt untuk membimbing umat manusia. Kemudian, mereka juga harus diceritakan tentang kualitas-kualitas unggul Nabi saw berikut jalan hidupnya yang patut diteladani. Ceritakan pula kepada sang anak perihal beberapa peristiwa menarik dalam kehidupan Nabi saw.

Setelah itu, ceritakanlah kepadanya tentang para pewaris Nabi saw yang bertugas melanjutkan bimbingan yang benar kepada umat Islam setelah beliau saw wafat. Seluruh informasi ini harus disampaikan kepada sang anak dalam bentuk kisah pendek agar ketertarikannya terus berlanjut.

Berkenaan dengan masalah hari kiamat, seorang anak pada awalnya tidak terlalu tertarik untuk menyimaknya. Sebab, ia menganggap dirinya dan orang tuanya akan hidup bahagia (di dunia) untuk selama-lamanya. Memang, belum layak membicarakan kematian kepada anak yang usianya masih sangat belia.

Umumnya anak-anak menganggap bahwa orang-orang yang meninggal dunia sedang pergi jauh. Adakalanya sebuah tragedi terjadi dalam keluarga yang memiliki anak-anak yang masih kecil. Dalam suasana tersebut, orang tua harus secara bijak membicarakan masalah kematian kepada mereka.

Bila kakeknya meninggal dunia, si anak mungkin akan bertanya, "Bu, ke mana kakek pergi?" Dalam situasi semacam ini, fakta-fakta yang ada harus dijelaskan kepada anak. Misal, dengan mengatakan kepada si anak bahwa kakeknya sudah tak ada lagi dan telah pergi ke alam lain. Setiap orang yang meninggal dunia akan pergi ke alam tersebut.

Bila sosok yang meninggal dunia itu adalah orang yang berperilaku baik dalam kehidupan di dunia ini, niscaya ia akan beristirahat di surga yang di dalamnya terdapat kebun yang sangat indah. Namun, bila yang meninggal dunia itu adalah orang yang suka berkelakuan buruk dalam kehidupan dunia ini, niscaya ia akan dijebloskan ke neraka yang dipenuhi kobaran api.

Seorang anak seharusnya diberitahu secara bertahap tentang kematian yang pasti dialami setiap makhluk bernyawa. Selain itu, harus diceritakan pula kepadanya bahwa kehidupan ini hanyalah tempat tinggal sementara yang suatu saat harus ditinggalkan manusia untuk pergi ke "alam lain".

Pengajaran informal seputar pengetahuan agama semacam ini harus terus dilakukan secara bersinambung sampai si anak merampungkan pendidikan sekolah dasar, menengah, dan lanjutannya.


Mendorong Kewajiban Agama pada Anak
Benar, anak laki-laki mencapai usia untuk mengemban tanggung jawab (balig) pada usia lima belas tahun dan anak perempuan pada usia sembilan tahun. Ini adalah usia ketika norma-norma hukum (pantas) dibebankan kepadanya.

Akan tetapi, pengenalan akan kewajiban keagamaan tidak seharusnya ditunda-tunda hingga anak mencapai usia untuk mengemban tanggung jawab ini. Mereka harus didorong untuk melaksanakan kewajiban keagamaan sejak awal masa kanak-kanaknya, sehingga ketika harus melaksanakan beban kewajiban itu, mereka telah terbiasa.

Dalam keluarga yang taat beragama, seorang anak akan meniru perbuatan orang tuanya dalam melaksanakan ritual keagamaan (ibadah). Suatu saat, dia mungkin akan menggelar sajadah untuk orang tuanya, atau mungkin juga meletakkan kepalanya di lantai untuk mengikuti orang tuanya bersujud. Dia akan turut mengucapkan Allâhu akbar (Allah Mahabesar) dan lâ ilâha illallâh bersama orang tuanya.

Dia mungkin juga akan memanjatkan doa bersama ibunya. Para orang tua yang bijak akan memanfaatkan kecenderungan alamiah untuk meniru pada anak-anak ini dengan sebaik-baiknya. Jika seorang anak melakukan hal-hal seperti itu, orang tua dapat memberikan senyuman sebagai sebuah bentuk penghargaan.


Mengajarkan Cara Ibadah Secara Bertahap
Sepantasnyalah bila tidak terdapat unsur paksaan dalam mengajarkan tatacara peribadahan kepada anak. Para orang tua tidak selayaknya mengajarkan ritual keagamaan secara formal di awal masa kanak-kanaknya. Pada usia lima tahun, anak dapat diajari membaca Surah al-Fatihah (Pembuka) dari al-Quran. Ini pun tidak perlu dilakukan secara terburu-buru; mungkin diperlukan beberapa hari untuk memelihara minat si anak dalam menghafalkannya.

Pada usia tujuh tahun, anak harus diajak untuk melaksanakan shalat secara rutin. Orang tua harus menempatkan diri mereka sendiri sebagai contoh bagi anak dalam mengerjakan lima shalat itu, secara rutin dan tepat waktu, sebagaimana telah ditetapkan.

Pada usia sembilan tahun, buatlah anak-anak menjadi terikat untuk melaksanakan shalat secara rutin. Para orang tua harus menjelaskan kepada anak bahwa shalat merupakan kewajiban, baik ketika di rumah ataupun di dalam perjalanan. Jika anak tak mengerjakan shalat, orang tua harus memberikan teguran keras. Ya, jika orang tua sendiri melaksanakan kewajiban shalat secara rutin, mereka akan mudah merangsang si anak untuk mengikuti kebiasaan ini.

Ketika telah mencapai usia balig, anak akan siap untuk melaksanakan kewajiban shalat secara rutin. Jika orang tua terus membiarkan anak (tak mengerjakan shalat) karena menganggapnya masih terlalu kecil, dan hendak mengajarinya bila telah cukup usia, akan sangat sulit untuk mengarahkannya pada kewajiban shalat secara rutin. Semua orang percaya, kebiasaan lama sulit diubah.

Itulah sebabnya mengapa Rasulullah saw dan para imam suci meminta para orang tua untuk membiasakan anak mulai melaksanakan shalat sejak usia enam atau tujuh tahun.

Imam Muhammad Baqir as. berkata, "Kita dorong anak-anak kita untuk mulai mengerjakan shalat sejak usia lima tahun. Dan pada usia tujuh tahun, kita perintahkan mereka untuk mengerjakan shalat lima kali sehari secara rutin."[61]

Rasulullah saw bersabda, "Saat anak-anakmu berumur enam tahun, perintahkan mereka untuk mengerjakan shalat. Ketika mereka berumur tujuh tahun, suruhlah mereka secara lebih keras agar rutin mengerjakan shalat. Jika perlu, mereka harus dihukum jika tidak rutin dalam melaksanakan shalat mereka."[62]

Imam Muhammad Baqir as. atau Imam Ja`far Shadiq as. berkata, "Saat anak berusia tujuh tahun, suruhlah mereka membasuh wajah, kaki, dan tangannya sebelum mengerjakan shalat. Tetapi, ketika telah berusia sembilan tahun, ajarilah dia cara yang benar dalam melakukan wudhu (kewajiban menyucikan diri sebelum mengerjakan shalat). Inilah saatnya anak diperintahkan secara tegas untuk mengerjakan shalat secara rutin."[63]

Imam Ja`far Shadiq as. berkata, "Saat seorang anak telah berusia enam tahun, perlu baginya belajar mengerjakan shalat. Dan jika memiliki kemampuan secara fisik, dia juga harus didorong untuk berpuasa selama bulan Ramadhan."[64]

Benar, secara bertahap, anak harus sudah mulai berpuasa selama bulan Ramadhan. Seorang anak yang cukup bugar untuk melaksanakan puasa harus dibangunkan pada waktu sahur (makan sebelum matahari terbit), sehingga dia menyantap hidangan sarapannya di waktu ini, bukan di pagi hari seperti biasa.

Jika si anak cukup mampu untuk berpuasa sepanjang hari, doronglah dia untuk menyempurnakannya. Akan tetapi, jika si anak merasa berat, dia boleh diizinkan untuk memutus puasa sebelum waktunya. Jumlah hari puasa yang dilakukan anak mesti meningkat secara bertahap.

Ketika anak mencapai usia untuk mampu memahami, dia harus diberi pengertian bahwa mengerjakan shalat lima kali sehari dan berpuasa di seluruh hari di bulan Ramadhan adalah wajib. Jika tidak memenuhi hal-hal tersebut, dia akan berdosa dan beroleh hukuman Tuhan.

Para orang tua harus menjelaskan kepada anak-anak tentang keuntungan dan pahala berpuasa selama bulan Ramadhan. Ini akan memberikan lebih banyak dorongan kepada anak untuk berpuasa. Dia juga harus diberi waktu luang yang lebih banyak untuk beristirahat. Dan di akhir satu periode puasa, anak harus diberi beberapa hadiah sebagai penghargaan atas upayanya.

Selama periode puasa, para orang tua harus selalu memberikan perhatian, sehingga anak-anak tidak akan mencoba untuk makan sesuatu secara sembunyi-sembunyi.

Sementara itu, pada waktu yang tepat, penting bagi para orang tua untuk menjelaskan tentang "mimpi basah" yang akan mereka alami di masa pubertas. Mereka juga harus diajari tentang bagaimana cara ghushl (mandi yang diwajibkan setelah keluar mani) dan istinja (mencuci alat kelamin dengan air setelah buang air kecil).

Penting diingatkan di sini, jika para orang tua ingin anak-anak mereka rutin pergi ke masjid dan menghadiri acara-acara keagamaan, mereka harus menanamkan kebiasaan ini semenjak masa kanak-kanaknya. Mereka harus membawa anak-anak ke masjid dan ke tempat-tempat diadakannya majelis keagamaan.

Kunjungan-kunjungan seperti ini akan menciptakan ketertarikan dalam diri anak-anak untuk mengunjungi perkumpulan-perkumpulan keagamaan.
Alhasil, perlu diingat bahwa sebelum mencapai usia untuk memahaminya, tidak ada kewajiban bagi anak untuk menjalankan ibadah. Jika tidak mampu menjalankan ibadah tertentu pada waktu tertentu, dia tidak dianggap melakukan pelanggaran.

Akan tetapi, tidaklah sepatutnya bagi para orang tua untuk membiarkan sepenuhnya anak-anak melakukan sendiri apapun yang mereka inginkan. Anak harus diberitahu bahwa jika membahayakan atau melukai orang lain secara fisik, dia akan dikenai kewajiban untuk membayar diyat (denda karena merugikan orang lain), apabila telah mencapai usia untuk memahami hal itu.

Di lain pihak, jika anak dibiarkan bebas tanpa pengawasan, dia akan terbiasa melakukan dosa dan kesalahan. Kesimpulannya, "kebiasaan lama sukar dilenyapkan". Ya, kebiasaan yang tertanam sejak masa kanak-kanak akan membekas dalam diri seseorang, meskipun banyak orang telah berusaha menghilangkannya.

Oleh karena itu, penting bagi para orang tua untuk mengajari anak-anak tentang apa yang harus dan tidak boleh dilakukan sejak usia dini. Mereka harus mencegah anak-anak mengerjakan perbuatan terlarang dan mendorong mereka melakukan perbuatan yang baik dan mulia.





36. ANAK-ANAK CACAT FISIK
Sebagian anak mengalami cacat fisik sejak lahir, sebagian lain mengalami kelemahan (cacat) setelah kecelakaan. Terdapat banyak jenis cacat fisik, seperti buta, pincang, tuli, bisu, dan lain-lain. Terdapat juga anak-anak lain yang tidak memiliki kekurangan secara fisik, tetapi mengalami keadaan tidak normal, seperti pendek, gemuk, gigi menonjol, mata kecil dan cekung, serta beberapa ciri seperti itu.

Tidak ada yang salah dari individu-individu dengan kelainan seperti ini. Allah telah memberikan kelahiran kepada mereka sebagaimana adanya. Semua makhluk memiliki keindahannya masing-masing, pemikiran kitalah yang membuat ukuran kecantikan atau ketampanan.

Jika individu-individu yang cacat memikirkan cacatnya, mereka akan bersedih dan ini akan menjadi pangkal bagi perasaan rendah diri. Jika tidak dilakukan upaya untuk membuang perasaan semacam itu dari benaknya, mereka akan selalu bersedih dan murung. Dengan kompleks inferior di dalam dirinya, seseorang akan kehilangan semangatnya.

Mereka mulai berpikir bahwa dirinya tidak memiliki kemampuan apapun. Mereka enggan menerima tanggung jawab dan bergerak dengan penuh kesigapan.

Mereka akan menyerah secara memalukan. Mereka mungkin akan membangun jalan menuju pemikiran jahat sebagai sebuah pemberontakan melawan kondisi menyedihkan yang dialaminya dalam struktur sosial.


Menyamakan Perlakuan
Orang yang cacat bisanya menimbulkan rasa belas kasihan. Adalah tugas anggota-anggota masyarakat untuk menempatkan orang-orang cacat seperti itu dalam ketenteraman. Mereka harus memberikan perlakuan yang sama terhadapnya, sebagaimana yang diberikan kepada orang-orang normal lainnya.

Mereka tidak boleh membuatnya menyadari kekurangan dirinya, melalui perbuatan secara terang-terangan maupun tersembunyi. Beberapa orang sering membuat lelucon atas orang-orang cacat dengan menjadikan kekurangannya sebagai bahan tertawaan. Ini sama halnya dengan menusuk hatinya dengan anak panah. Islam melarang keras menertawakan cacat fisik orang lain.

Sikap seperti ini termasuk di antara dosa besar yang dilakukan seseorang. Terdapat perintah untuk sangat berhati-hati dalam persoalan ini; orang-orang beriman dilarang melakukan hal seringan apapun yang dapat mengingatkan orang cacat pada kekurangan dirinya.

Rasulullah saw bersabda, "Jangan memandang kepada orang-orang yang berada dalam penderitaan dan kepada mereka yang menderita lepra. Kalau tidak, pandanganmu (itu) akan membangkitkan perasaan sedih dan malu di hati mereka."[65]

Adalah tanggung jawab setiap Muslim untuk menunjukkan lebih banyak perhatian dan kepedulian terhadap orang-orang seperti itu dengan sebuah tatapan yang mengurangi perasaan sedihnya. Mereka harus membesarkan hati orang-orang cacat agar sedapat mungkin hidup secara normal.

Orang tua dari anak-anak yang cacat memikul tanggung jawab yang berat. Mereka harus ingat bahwa orang cacat pun memiliki kemampuan untuk meraih keunggulan. Jika para orang tua mencoba untuk memahami bakat dari anak-anak seperti itu dan menolong mereka untuk menggali kemampuan yang terpendam itu dengan sebaik-baiknya, mereka akan menjadi orang yang memiliki kemampuan dan terlatih.

Mereka akan meraih keunggulan dalam bidang pengetahuan dan teknik. Dengan demikian, mereka pun akan meraih posisi terhormat di tengah masyarakat.


Jangan Menyebut Kekurangan Mereka
Tak terhitung banyaknya orang-orang cacat yang mendaki ke atas dalam berbagai aktivitas dan meraih puncak kesuksesan, meski dengan cacat yang dideritanya. Para orang tua tidak boleh mengingat-ingat kekurangan anak dan tidak mengatakan itu kepada siapapun, paling tidak di hadapan anak itu sendiri atau saudara kandungnya. Mereka tidak boleh mengatakan tentang kekurangan si anak, bahkan sebagai sebuah cara untuk menunjukkan rasa simpati.

Perlakuan mereka terhadap anak bersangkutan tidak boleh berbeda dengan perlakuan yang diberikan kepada anak-anak normal. Jika seorang anak yang cacat menunjukkan rasa gelisah atas cacat dirinya, para orang tua harus berusaha menenangkannya. Ingatkan dan pujilah dia akan kemampuannya yang lain dan dorong dia untuk memanfaatkan semua itu dengan sebaik-baiknya, agar dapat membuktikan diri sebagai anggota masyarakat yang bermanfaat.

Orang tua harus melakukan penelitian yang hati-hati tentang kemampuan terpendam pada anak yang cacat tersebut dan mengonsultasikannya dengan orang yang memiliki cukup wawasan guna memperoleh saran dan nasihatnya sehingga dapat dilakukan rangkaian tindakan yang tepat. Kemudian, mereka harus membuat si anak merasa senang dan mendorongnya untuk mengembangkan keterampilan yang dipilihnya.

Dengan begitu, para orang tua telah memberikan pelayanan yang besar bagi masyarakat dengan menjadikan anak mereka yang cacat sebagai seorang anggota masyarakat yang sangat berguna.

Selanjutnya, dengan sebuah cara, orang yang cacat akan dapat mengatasi kekurangannya dan memanfaatkan bakat yang diberikan Allah kepadanya dengan sebaik-baiknya.


Seorang gadis menulis dalam suratnya sebagai berikut:
"Seorang temanku (perempuan) menuturkan kisah hidupnya kepadaku begini:

'Suatu hari, aku jatuh ke tanah dari ketinggian (teras). Saat itu, aku berusia 13 tahun. Tulang belakangku patah, sehingga membuatku menjadi orang yang cacat seumur hidup. Untuk beberapa waktu, aku dirawat di sebuah rumah sakit. Meski menderita sakit parah, belakangan aku menyadari bahwa hari-hari di rumah sakit adalah hari-hari terbaik bagiku ketimbang apa yang kudapatkan setelah pulang ke rumah.

Ketika keluar dari rumah sakit dan kembali ke rumah, orang tuaku mulai memperlakukanku sebagai musuh yang sesungguhnya. Mereka biasa berkata, 'Engkaulah penyebab rasa malu dan kesialan kami. Bagaimana mungkin kami mengatakan kepada orang-orang bahwa kami adalah orang tua dari seorang anak perempuan yang lumpuh?

Engkau tetap menipu kami selamanya.' Bukannya menghiburku atas apa yang kuderita, siang dan malam mereka malah mengejekku. Mereka tak pernah berpikir bahwa aku adalah korban dari kecelakaan yang tak menguntungkan dan secara pribadi tidak bertanggung jawab atas apa yang terjadi. Aku selalu memohon kepada Allah agar memberikan kepadaku kematian dan membebaskanku dari kehidupan ini.

Dengan kaki lumpuhku, aku selalu memaksakan diri berkeliling rumah dan mengerjakan sesuatu. Tak seorang pun yang peduli dengan kesulitanku. Ya, orang tuaku telah berhenti menganggapku sebagai anak perempuannya. Masa mudaku telah dihabiskan dalam duka dan kesedihan. Di usiaku yang 15 tahun, aku tampak sebagai seorang perempuan tua yang berumur 50 tahun.

Orang tuaku telah meninggal dan saudara-saudaraku yang laki-laki maupun perempuan tidak pernah memedulikanku. Hingga akhirnya aku pun menikah. Suamiku adalah orang yang sangat baik. Dia sangat mencintaiku. Sebelum ini, aku telah melupakan apa itu cinta dan kasih sayang.

Sekarang, hari demi hari, keadaanku semakin baik. Kini, aku adalah orang yang benar-benar sehat dan kuat. Allah telah memberiku anak. Ya, sekarang aku hidup dengan penuh kebahagiaan."


Catatan Kaki:
[59] Bihâr al-Anwâr, jil.3, hal.281.

[60] Makârim al-Akhlâq, jil.1, hal.254.

[61] Wasâ'il asy-Syî'ah, jil.3, hal.12.

[62] Mustadrak al-Wasâ`il, jil.1, hal.171.

[63] Wasâ'il asy-Syî'ah, jil.3, hal.13.

[64] ibid., hal.12.

[65] Bihâr al-Anwâr, jil.74, hal.15.



21
ANAKMU AMANATNYA

37. PENDIDIKAN SEKS PADA USIA PRABALIG
Kecenderungan seksual adalah salah satu insting paling sensitif di antara sifat dasar manusia. Pada kenyataannya, inilah insting yang memiliki daya-bangun yang tinggi bagi ras manusia. Juga, membawa dampak yang positif dan negatif bagi kehidupannya, baik secara psikologis (kejiwaan) maupun fisiologis (hayati).

Banyak di antara tindakan manusia dan penyebab dari beberapa penyakit secara fisik dan fisiologis dapat dinisbatkan pada insting ini. Jika aspek pendidikan individual berlangsung secara tepat dan bijak, maka kecenderungan seksual dapat menjadi sebuah anugerah bagi kesejahteraan dan kebahagiaan seseorang.

Akan tetapi, jika aspek pendidikan berada dalam atmosfer (suasana) yang dipenuhi hawa nafsu, birahi, dan keberlebih-lebihan, maka dalam semua kemungkinannya, kecenderungan seksual sangat mungkin menjadi penyebab bagi banyak kelainan fisik dan psikologis, yang pada gilirannya akan menjadi penyebab nyata bagi kehancuran-akhir seseorang dalam kehidupannya di dunia ini maupun di akhirat kelak.


Jangan Remehkan Kecenderungan Seksual Anak
Tidaklah sepatutnya menganggap kecenderungan seksual hanya memanifestasi setelah memasuki masa pubertas. Insting ini akan hadir dalam diri setiap individu sejak lahir; betapapun, ia tetap dalam keadaan tidur (tidak aktif) selama beberapa waktu. Secara perlahan, ia kemudian memanifestasikan diri secara perlahan dalam kesempatan lain selama masa kanak-kanak.

Ya, adakalanya anak kecil akan mengusap alat kelaminnya dan merasakan kenikmatan. Ini menimbulkan dalam dirinya sejenis perasaan tertentu. Mereka bahkan merasa nikmat ketika orang tuanya menyayangi dan menciumnya. Mereka akan tertarik kepada orang dan benda yang indah, dan adakalanya mengekspresikan perasaan ini dalam kata-kata pula.

Pada usia dua atau tiga tahun, anak-anak mulai dapat membedakan antara anak laki-laki dan perempuan, dan melihat bagian pribadi orang lain dengan penuh perhatian. Ketika semakin bertumbuh, mereka akan tertarik pada gambar-gambar yang memaparkan kecantikan. Mereka akan melihat itu dengan penuh rasa takjub.

Adakalanya pula, mengucapkan kata-kata yang tidak pantas. Mereka mulai menunjukkan ketertarikan terhadap lawan jenisnya dan berusaha menarik perhatian seseorang yang berbeda jenis kelaminnya. Terkadang, mereka mengajukan kepada orang tua pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan seks. Mereka juga berusaha mendengarkan secara diam-diam bisikan-bisikan orang tuanya. Atau, suka duduk-duduk dengan teman-temannya di tempat-tempat sepi dan bertukar rahasia.

Semua itu menunjukkan bahwa di dalam diri anak-anak bersemayam kecenderungan seksual yang tersembunyi, yang berusaha terekspresi dalam tindak-tanduk mereka. Tanpa bimbingan dan pengetahuan yang memadai, insting tersebut akan terus menyerang anak-anak. Mereka tidak akan mengerti; apa sesungguhnya yang mereka inginkan.

Perhatian mereka hanyalah meraih kesenangan dari berbagai sumber. Tetapi, mereka tidak tahu bagaimana caranya untuk meraih kesenangan tersebut. Hingga usia 10 sampai 12 tahun, anak-anak akan terus berada dalam ketegangan seperti ini. Dari usia 12 sampai 15 tahun, kecenderungan seksual tersebut akan bertumbuh dengan cepat di dalam diri mereka.

Orang tua yang bertanggung jawab tidak akan mengabaikan kecenderungan dalam diri anak-anak mereka itu. Mereka tidak dapat melangkah tanpa memikirkan sebuah strategi untuk menangani persoalan ini dengan sebaik-baiknya. Pendidikan seks adalah salah satu aspek tersulit dan terpelik dalam proses pengasuhan anak. Kesalahan dan pengabaian paling ringan saja yang dilakukan para orang tua akan mendorong anak-anak ke jurang kehancuran nan dalam.

Para orang tua harus memfokuskan perhatian pada kenyataan bahwa sebelum masa pubertas, anak-anak belum memiliki kemampuan untuk menghasilkan sesuatu. Oleh karena itulah, Tuhan telah menjaga agar insting seksual ini tetap tersimpan di kedalaman diri mereka. Perhatian terbaik bagi anak-anak adalah bila kecenderungan seksual mereka tidak mengalami kebangkitan yang terlalu dini.

Jika hal ini terjadi secara prematur, maka si anak akan menderita banyak ragam cacat sosial dan penyakit fisik. Para orang tua harus menjauhkan diri dari segala sesuatu yang merangsang kecenderungan seksual pada anak-anak.

Mereka harus menyediakan bagi anak-anak itu sebuah lingkungan yang sehat di mana pikiran mereka tidak mengarah pada ekspresi yang bersifat dini dari kecenderungan seksualnya. Para orang tua yang bijak dapat memutuskan sendiri mana yang sangat dibutuhkan anak-anaknya dan mana yang tidak.


Langkah-langkah Mengatasi "Kematangan" Seksual Terlalu Dini
Namun, di sini kami akan menyebutkan sedikit di antara hal-hal yang perlu selalu diingat di dalam benak. Mereka harus benar-benar dapat memastikan bahwa anak-anak tidak menyentuh bagian paling pribadinya, tidak melihat gambar-gambar model di majalah-majalah, tidak mendengar ungkapan cinta dan menonton film-film romantis, memuji ketampanan dan kecantikan orang lain, memandang wajah yang cantik dan mempertontonkan tubuh, asyik mendengarkan lelucon mesum atau percintaan dari orang tua atau orang dewasa lainnya. Semua ini dan banyak daya tarik lain akan mengobarkan kecenderungan seksual pada anak.

Para orang tua tidak boleh membiarkan anak-anak yang berusia lima sampai enam tahun hidup tak terurus. Mereka mungkin akan mempermainkan bagian pribadi tubuh mereka, sehingga menggugah kecenderungan di dalam dirinya. Mereka tidak boleh dibiarkan terus berbaring di ranjang, saat mereka telah bangun dari tidur.

Anak berusia enam tahun harus dipisahkan tempat tidurnya. Jika anak-anak tidur seranjang, tubuh mereka akan bersentuhan satu sama lain dan ini akan membangkitkan kecenderungan seksualnya. Para orang tua tidak boleh membiarkan anak-anak yang berusia lima atau enam tahun tidur seranjang dengan mereka.

Khususnya, dalam kasus di mana seorang anak memiliki jenis kelamin yang berlawanan. Bahkan, seorang ibu tak sepatutnya membiarkan tubuhnya bersentuhan dengan tubuh anak perempuannya yang telah berumur enam tahun.

Rasulullah saw bersabda, "Ketika anak telah mencapai usia tujuh tahun, sediakanlah tempat tidur yang terpisah untuk mereka."[66]

Imam Ja`far Shadiq as. meriwayatkan dari datuk-datuknya, "Wanita dan anak-anak berusia sepuluh tahun harus memiliki tempat tidur pribadi yang terpisah."[67]

"Jika tubuh seorang ibu bersentuhan dengan tubuh anak perempuannya, maka ia (berarti) sedang melakukan sejenis gangguan (penganiayaan)."[68]

"Seorang pria tidak boleh mencium anak perempuannya yang berusia enam tahun, dan seorang wanita tidak boleh mencium anak laki-lakinya yang berusia tujuh tahun."[69]


Jaga Aurat Meski Satu Rumah
Biasanya, di dalam banyak rumah tangga, para wanita mondar-mandir dengan membuka bagian tubuh yang terlarang. Banyak laki-laki juga tak jauh berbeda. Mereka menyingkap celana hingga di atas lutut dan mondar-mandir di hadapan anak laki-laki dan perempuannya.

Mereka berpikir bahwa mereka adalah anggota dari satu keluarga yang sama dan muhrim, atau memiliki hubungan yang dekat; di mana perempuan tidak perlu menyembunyikan diri dari mereka.

Para orang tua juga beranggapan bahwa anggota tubuh mereka yang terbuka tidak akan berpengaruh pada anak-anak dan masih terlalu belia untuk memahami hal-hal seperti itu. Mereka mengira, anak-anak perempuan mereka yang tidak menutupi bagian dadanya dengan kain dan memperlihatkan anggota tubuhnya tidak akan mempengaruhi anak lelaki mereka dengan cara apapun.

Mereka menyangka demikian karena anak-anak itu adalah saudara laki-laki dan saudara perempuan satu sama lain. Ini adalah anggapan yang tidak benar. Kecenderungan seksual merupakan salah satu kecenderungan terkuat. Ketika bangkit, ia tidak akan membiarkan seseorang memikirkan hubungan apapun.

Amirul Mukminin Ali as. mengatakan, "Adalah sangat mungkin dengan sekilas pandangan, kecenderungan cinta dan seks akan bangkit."[70]

Sungguh, dorongan nafsu akan menjadi sebab yang mengubur kemuliaan anak-anak yang tak berdosa. Mungkin, dalam beberapa keadaan, si anak akan melakukan perkosaan dan perzinahan dengan saudara. Dan terhadap hal ini, orang tua benar-benar harus bertanggung jawab atas sikap ceroboh mereka.


Di sini, akan dikutipkan tulisan seorang intelektual:
"Demi keselamatan jiwa anak-anak, tak seharusnya kita memperlihatkan tubuh kita kepada mereka. Adakalanya, anak-anak mengintip melalui celah kamar mandi saat kita mandi atau mengganti pakaian. Kita harus memastikan bahwa anak-anak tidak membangun kebiasaan seperti ini."[71]

Benar, para orang tua adalah muhrim bagi anak-anak mereka dan dapat tinggal bersama dalam satu rumah. Akan tetapi, para orang tua seharusnya tidak mengorbankan kebersamaan yang benar dengan anak-anak tersebut demi kesenangan dan kebebasan mereka sendiri.

Dengan cara seperti ini, mereka tidak melindungi anak-anak mereka dari kehancuran. Sebagai konsekuensinya, kehidupan mereka akan terpenjara oleh rasa malu dan kesedihan yang berkepanjangan.

Paha seseorang tersingkap dari jubahnya. Nabi saw melihat hal itu dan bersabda, "Sembunyikan pahamu, karena itu adalah salah satu (bagian) yang tidak boleh diperlihatkan kepada orang lain."[72]

Adalah tidak patut jika seorang anak laki-laki berusia empat tahun mandi bersama ibunya. Sebagaimana, seorang anak perempuan berusia empat tahun tak seharusnya mandi bersama ayahnya. Anak-anak dan remaja tidak boleh dibiarkan menyendiri tanpa mengerjakan apapun.

Kesendirian akan menciptakan dorongan untuk melakukan masturbasi. Bagian pribadi dari seorang anak laki-laki kecil harus tetap tertutup, tidak dibuka di hadapan saudara kandungnya. Jangan pernah menggunakan cacian yang menghina terhadap anak-anak.

Suami dan istri juga tidak boleh tidur seranjang di hadapan anak-anak. Mereka juga tidak boleh bersenda-gurau ketika anak-anak berada di sekitar mereka.


Mencari Waktu yang Tepat dalam Berhubungan
Satu masalah sekaitan dengan hubungan antara pasangan suami istri dengan anak-anak adalah hubungan seksual antara laki-laki dengan istrinya. Adalah dibenarkan jika suatu pasangan tidur bersama.

Akan tetapi, ketika terdapat beberapa anak dalam sebuah keluarga, akan menjadi masalah untuk menjaga sejumlah privasi. Bagaimanapun, mereka mesti melanjutkan hubungan pribadi itu tanpa memberikan sebuah gambaran tentangnya kepada anak-anak.

Di lain pihak, terdapat sebuah bahaya berupa bangkitnya dorongan seksual pada anak-anak, dalam usia mereka, yang akan melahirkan konsekuensi yang mengerikan.

Imam Ja`far Shadiq as. berkata, "Suami tidak boleh mendekati istrinya ketika anak berada di kamar tidur mereka. Kalau tidak, itu akan menjadi seperti melakukan sebuah perkosaan."[73]

Rasulullah saw bersabda, "Demi Allah! Seseorang yang berhubungan intim dengan istrinya ketika anaknya berada di kamar itu, dan si anak melihat mereka serta mendengar suara mereka, maka si anak tersebut tidak akan pernah beruntung. Baik itu anak perempuan atau anak laki-laki, dia akan melakukan penodaan dalam perzinahan (karena melihat perbuatan itu)."

Bilamana Imam Zainal Abidin as.hendak mendekati istrinya, beliau biasa menyuruh keluar pelayannya, mengunci pintu dari dalam, dan memasang gordennya.[74]

Rasulullah saw melarang seorang laki-laki mendekati istrinya jika seorang bayi kecil melihat mereka dari tempat buaian.[75]

Oleh karena itu, suami-istri yang memiliki seorang anak, tidak boleh berada di tempat pribadi yang biasa digunakan, sebelum membawa keluar sang anak. Untuk menjaga kesucian anak-anak, pasangan harus menjaga kehidupan pribadi sebagai suami-istri sepenuhnya terjauhkan dari pandangan mereka. Ini mungkin merupakan proses yang tidak mudah, tetapi tidak ada alternatif lain.

Mereka tidak boleh berpikir bahwa anak-anak tidaklah berdosa dan tidak akan memahami apapun dalam usia itu. Justru sebaliknya, anak-anak sangatlah tajam penglihatannya dan cerdas. Mereka akan menarik kesimpulan sendiri dari apa yang mereka amati. Mereka sangat ingin tahu apa yang dilakukan orang tua di tempat pribadinya.

Adakalanya, mereka akan pura-pura tidur untuk mengetahui dan melihat apa yang sedang terjadi. Mereka juga akan mencoba untuk mengintip dari balik pintu atau gorden. Adalah lebih baik jika para orang tua memiliki sebuah kamar pribadi yang terkunci untuk mereka sendiri di dalam rumah. Kamar ini harus memiliki jarak yang sejauh mungkin dengan tempat anak-anak.

Sementara, anak-anak harus dilatih untuk memberitahu jika hendak masuk ke kamar orang tua. Para orang tua harus menghindarkan diri dari melakukan hubungan intim bila anak-anak berada di sekeliling rumah, atau hingga mereka tidur dan tak mendengar suara.


Seorang intelektual Barat menulis sebagai berikut:
"Kebanyakan tempat tinggal modern dibangun dengan struktur yang para perencananya mengabaikan privasi bagi hubungan suami-istri para penghuninya.

Pada kenyataannya, rumah-rumah masa kini dapat dikatakan sebagai bangunan yang menentang kebutuhan seksual penghuninya. Kebanyakan rumah dan apartemen seperti itu; tidak menyediakan kamar tidur yang terpisah bagi para orang tua.

Kalau pun ada, dinding kamar tersebut sangat tipis, sehingga anak-anak yang tinggal di kamar sebelah dapat mendengar bisikan lemah sekalipun. Adalah fakta yang tak menyenangkan bahwa disebabkan tak memiliki sebuah tempat yang pantas untuk hubungan mereka, para orang tua terpaksa mengalami kehidupan yang mencekik."[76]

Akan tetapi, satu hal yang tak menguntungkan bila orang tua tidur di tempat yang terpisah adalah bahwa mereka takkan dapat memantau apa yang dilakukan anak-anak. Khususnya, jika terdapat seorang anak laki-laki yang sedang tumbuh dan seorang anak perempuan dalam kumpulan anak-anak. Dalam situasi seperti ini, membiarkan anak-anak tinggal bersama dalam sebuah ruang mungkin sebaiknya tidak dilakukan.

Dalam situasi semacam ini, para orang tua harus mengorbankan kesenangannya. Jika orang tua harus tidur bersama anak-anak dalam sebuah ruangan, mereka harus menggunakan tempat tidur yang terpisah. Untuk memenuhi kebutuhan hubungan intim, mereka harus mencari sebuah sudut yang sepi di larut malam, ketika semua anak-anak telah tidur.

Jika para orang tua adalah orang-orang yang penuh tanggung jawab dan hendak menjadi orang yang demikian, mereka akan dapat menemukan jalan dalam menyelesaikan persoalan ini tanpa banyak mengalami kesulitan.

Allah Swt berfirman dalam al-Quran, Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki dan orang-orang yang belum balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari), yaitu sebelum shalat subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari, dan sesudah shalat isya'.

Itulah tiga aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebagian kamu (ada keperluan) kepada sebagain (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Mahatahu lagi Mahabijak." (QS. an-Nur: 58)


Menerangkan Seks dengan Bijak
Sebelum memasuki masa pubertas, anak-anak akan menanyakan persoalan seputar seks, baik langsung ataupun tidak langsung. Beberapa orang tua melarang pertanyaan semacam itu. Misalnya, mereka berkata, "Diamlah! Jangan menanyakan hal-hal tolol seperti itu!" "Ini bukan urusanmu!" "Kamu akan mengerti semuanya kalau sudah besar nanti!"

Ya, mereka mungkin dapat meredakan sesaat keinginan anak-anak dengan jawaban tanpa memberikan pengertian seperti itu. Sebagian orang tua yang lain memang memberikan jawaban atas pertanyaan anak-anak mereka, tetapi jawaban-jawaban tersebut juga salah dan berlawanan dengan kenyataan yang sebenarnya. Anak secara halus tahu bahwa orang tuanya tidak memberikan jawaban yang benar kepadanya.

Kedua cara di atas keliru. Lantaran si anak menanyakan persoalan itu dengan didasari oleh rasa hausnya terhadap pengetahuan, sementara dia tidak memperoleh jawaban yang memuaskan, maka bertambahlah rasa ingin tahunya dan dia mungkin akan mencari informasi di tempat lain yang mungkin bukan merupakan tempat terbaik bagi kepentingannya.

Untunglah, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan anak-anak seputar persoalan seks sebelum masa pubertas tidaklah terlalu rumit sehingga terlalu sulit bagi para orang tua untuk menjawabnya. Salah satu pertanyaan yang mengganggu setiap anak adalah perbedaan antara bagian pribadi dari tubuh seorang anak laki-laki dengan seorang anak perempuan.

Seorang anak laki-laki sepenuhnya paham bahwa terdapat perbedaan antara bagian pribadi dirinya dengan saudara perempuannya. Akan tetapi, dia ingin tahu, mengapa terdapat perbedaan seperti ini? Adakalanya dia akan merasa takut kalau-kalau memiliki cacat (kekurangan) lantaran dirinya tidak sama dengan saudara perempuannya.

Di lain waktu, dia malah berpikir bahwa saudara perempuannyalah yang memiliki kekurangan. Dia ingin mengetahui penyebab perbedaan tersebut dan akan meminta penjelasannya dari orang tuanya. Adalah tugas para orang tua untuk memberikan jawaban yang memuaskan bagi sang anak.

Mereka harus menjelaskan kepadanya bahwa semua anak laki-laki telah diciptakan seperti dirinya dan semua anak perempuan seperti saudara perempuannya. Juga, anak laki-laki akan tumbuh besar menjadi ayah dan anak perempuan menjadi ibu. Mereka akan memiliki anak; perputaran seperti ini akan terus berlangsung.

Anda tak perlu membayangkan bahwa anak ingin mengetahui semua fakta tentang seks sekaligus. Dia hanya ingin memperoleh jawaban atas apa yang ada di benaknya saat itu saja. Tidak lebih dari itu, tidak juga kurang darinya. Sebelum anak mencapai usia untuk memahami, dia harus memperoleh informasi yang luas tentang hal-hal yang memang diperlukan dan mudah dipahami.

Jika Anda tidak menjawab pertanyaannya, dia mungkin akan mendapatkan detail yang membahayakan dari anak-anak nakal yang lebih dewasa di sekitar rumahnya atau dari tempat lain.

Ketika anak Anda mencapai usia pubertas, dan Anda tahu bahwa kecenderungan seksualnya telah berkembang, juga terjadi perubahan yang cepat di dalam dirinya, maka dalam sebuah kesempatan yang tepat, Anda harus menginformasikan kepadanya hal-hal berikut:

"Ketika anak-anak tumbuh besar, mereka akan mengalami sebuah dorongan untuk memiliki teman. Anak perempuan menyukai anak laki-laki sebagai teman, dan anak laki-laki menyukai anak perempuan sebagai teman. Tidak ada larangan dalam hal ini.

Akan tetapi, jika teman itu adalah orang yang saleh dan baik, maka hal ini akan membawa keberuntungan bagi anak laki-laki dan perempuan tersebut. Sebaliknya, seorang teman yang buruk akan membawa kerugian baginya.

"Setelah menikah, tanggung jawab akan berlipat ganda setiap waktu. Nafkah untuk istri dan ketika anak-anak telah lahir akan terus menanjak. Semua tanggung jawab ini harus ditanggung oleh suami. Engkau harus menyelesaikan pendidikanmu dengan sebaik-baiknya sehingga engkau memiliki pekerjaan yang baik.

Setelah itu, kita akan mempersiapkan pernikahanmu. Berusahakeraslah dalam studimu. Jika engkau memiliki kemampuan, orang-orang akan menyukaimu dan engkau akan mendapatkan calon istri yang baik.

"Berhati-hatilah dengan masturbasi. Itu sebuah dosa dan berbahaya bagi kesehatan seseorang. Orang yang melakukan itu, tidak akan dapat menjalani kehidupan perkawinan yang pantas nantinya.

"Hindarilah teman yang buruk dan jangan tiru kebiasaan mereka. Beberapa kebiasaan itu dapat merusak seseorang."

Begitulah, ketika anak-anak tumbuh besar, mulai tumbuh bulu di ketiak dan daerah pinggang (selangkangan paha). Anak-anak akan merasa takut melihat hal ini untuk pertama kalinya. Bimbinglah mereka dengan tepat. Jelaskan kepada mereka metode untuk membuang rambut-rambut yang tidak diperlukan.

Anak perempuan mulai mengalami menstruasi. Saat melihat darah menodai pakaiannya, dia akan ketakutan. Jelaskan kepadanya tentang menstruasi periodik yang akan dialami anak-anak perempuan setelah puber. Payudara mereka juga akan tumbuh. Beberapa anak perempuan juga merasa khawatir dengan perkembangan ini.

Sebagaimana, ketika anak laki-laki telah memperlihatkan tanda-tanda memasuki masa pubertas, dia akan mengalami mimpi yang menggelisahkan dalam tidurnya. Selama mengalami mimpi itu, emosinya akan bangkit dan ejakulasi akan terjadi.

Terkadang, tanpa perasaan bersalah dan mengerti, anak-anak akan berpikir bahwa mereka telah mengidap penyakit. Adakalanya pula, mereka menyangka telah melakukan dosa. Mereka merasa khawatir dan menyembunyikan persoalan tersebut sebagai sebuah rahasia.

Dalam masa-masa seperti itu, adalah tugas para orang tua untuk mempersiapkan si anak terlebih dahulu. Ibu harus membuat anak perempuannya merasa percaya diri dan menjelaskan kepada mereka bahwa tumbuhnya rambut di wilayah-wilayah tertentu tubuhnya serta periode pendarahan di awal masa pubertas adalah fenomena normal pada seorang gadis.

Dia harus mengajari anak perempuannya cara untuk menjaga kesehatan selama masa tersebut dan bagaimana pembersihan (penyucian) setelah masa tersebut berlalu. Dia juga harus menjelaskan bahwa selama periode tersebut, dirinya tidak boleh menjalankan puasa atau kewajiban shalat. Puasa Ramadhan yang telah ditinggalkannya selama masa itu, harus dijalankan di kemudian hari.

Seorang ayah juga harus menjelaskan kepada anak laki-lakinya bahwa dia telah menjadi orang dewasa. Dia akan mengalami keadaan di mana tumbuh bulu di sekitar ketiak dan pinggangnya. Juga, mengalami mimpi yang disertai dengan ejakulasi. Ini adalah gejala normal yang dialami semua anak laki-laki yang memasuki masa pubertas dan tidak perlu khawatir dengan semua itu.

Kapan saja mengalami ejakulasi dalam mimpinya, dia wajib melakukan mandi penyucian. Sang ayah harus menjelaskan kepada anak laki-laki cara untuk mandi wajib. Dengan demikian, para orang tua dapat memberikan rasa tenteram ke dalam diri anak-anak, yang sekarang telah memasuki gerbang kehidupan orang dewasa.


Catatan Kaki:
[66] Makârim al-Akhlâq, jil.1, hal.256.

[67] Wasâ`'il asy-Syî'ah, jil.14, hal.268.

[68] ibid., hal.170.

[69] Ibid.

[70] Ghurar al-Hikam, hal.416.

[71] Paiwandhai Kudak wa Khanwada, hal.177.

[72] Mustadrak al-Wasâ`il, Hakim, jil.4, hal.181.

[73] Wasâ`il asy-Syî'ah, jil.14, hal.94.

[74] ibid.

[75] Mustadrak al-Wasâ`il, jil.2, hal.546.

[76] Paiwandhai Kudak wa Khanwada, hal.176.



22
ANAKMU AMANATNYA

38. PEMIKIRAN POLITIK DAN SOSIAL

Memberi Wawasan Masa Depan pada Anak-anak
Anak-anak hari ini adalah pemuda pada hari esok. Mereka akan terlibat dalam persoalan-persoalan sosial di masa depan. Kesadaran dan pemahaman mereka akan keniscayaan politik bagi negara akan menjadi sesuatu yang sangat penting. Mereka akan menjadi penjaga kekayaan budaya dan ekonomi bangsa. Mereka harus berusaha dan berjuang untuk memelihara dan mengembangkan kejayaan tanah air. Mereka harus menghadapi kaum imperialis agresor dan berjuang melawan tipu daya serta persekongkolan mereka.

Oleh karena itu, anak-anak harus dipersiapkan dari masa-masa awal kehidupannya untuk berkhidmat kepada negara. Tanggung jawab terbesar terletak di pundak para orang tua untuk mempersiapkan anak-anak mereka dengan sebaik-baiknya.

Dasar-dasar kecakapan politis dan sosiologis juga harus diberikan dan dipersiapkan sejak dini. Ketika seorang anak mencapai usia remaja, dia akan memiliki kepekaan dan kesadaran atas masalah-masalah sosial dan politik yang dihadapi masyarakat tempat dia tinggal. Dia akan menaruh perhatian pada kemiskinan dan keterbelakangan yang melanda negaranya.

Keberhasilan-keberhasilan dan kegagalan-kegagalan pemerintah harus dijelaskan kepada anak yang akan segera menapaki masa remajanya. Mereka harus diberitahu tentang ketidakjelasan yang berkembang di masyarakat. Ya, mereka harus tahu kondisi umum yang terjadi di kota-kota dan desa-desa.

Anak-anak memang belum memiliki hak suara dan belum mampu memberikan hak suaranya, tetapi para orang tua harus menjelaskan kepadanya manfaat pemilihan umum dan pemimpin yang dihasilkannya. Mereka juga harus menjelaskan kepadanya, sebagai contoh, bagaimana memilih kandidat terbaik di antara daftar nama kontestan yang bertarung di daerah itu.

Para orang tua dapat menjelaskan kepada anak, misalnya, pilihan mereka sendiri atas seorang kandidat karena kualitas-kualitas yang dimilikinya. Anak juga boleh menghadiri proses pemungutan suara.

Dia boleh bergabung bersama orang-orang dalam meneriakkan semboyan dan slogan, atau juga menyebarkan brosur-brosur dari seorang kandidat yang menurutnya layak dipilih. Kegiatan ini akan memberikan dorongan tambahan bagi tumbuhnya kesadaran dalam dirinya.


Anak-anak dan Revolusi Islam
Revolusi Islam Iran telah membuktikan bahwa anak-anak dan remaja dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi proses politik di sebuah negara. Ya, mereka adalah para pemuda yang dengan slogan, rapat-rapat umum, demonstrasi, dan partisipasi aktifnya telah membuat rezim yang menindas itu (Syah) menyerah.

Mereka telah membebaskan rakyat tertindas Iran dari cengkeraman agen dan kaki tangan Syah yang kejam. Dunia tahu bahwa keberhasilan Revolusi Islam Iran disebabkan oleh pengorbanan tertinggi yang dipersembahkan oleh anak-anak muda bangsa ini.


Mendiskusikan Masalah Politik dengan Anak
Penting bagi anak-anak untuk mempelajari situasi politik negara mereka pada khususnya dan dunia pada umumnya. Mereka dapat melakukan ini dengan membiasakan diri membaca sebuah koran yang baik setiap hari. Mereka juga bisa menonton dan mendengarkan berita di televisi dan radio. Mereka juga dapat membentuk kelompok diskusi bersama orang tua dan teman-temannya.

Dengan cara ini, mereka akan dapat menumbuhkan perhatiannya atas keselamatan saudara sebangsa dan dirinya sendiri. Proses ini akan membantu anak dalam membangun kesadaran politik dan sosial yang baik. Tak diragukan lagi, masa depan negara akan berada di tangan mereka dan di tangan beribu-ribu pemuda lain di seluruh negeri.

Anak-anak harus memahami bahwa kehidupan duniawi tidak dapat dipisahkan dari kehidupan ukhrawi. Demikian pula, keimanan takkan pernah dapat dipisahkan dari masalah politik. Para pemuda bangsa harus melebur secara aktif dengan seluruh peristiwa-peristiwa politik dan sosial yang terjadi di negerinya. Anak muda harus diberi kebebasan memilih yang lebih besar untuk berpartisipasi di dalam proses politik di negaranya.





39. ANAK MANJA
Adalah kenyataan bahwa setiap anak mendambakan cinta dan kasih sayang. Namun, cinta yang berlebihan sama dengan memanjakan. Cinta itu seperti makanan. Dalam batas tertentu, ia bermanfaat; namun, bila berlebihan, akan membahayakan. Pemanjaan akan memberikan pengaruh buruk dalam pengasuhan anak. Anak bukanlah alat permainan bagi orang tua, dan tak semestinya diperlakukan sebagai sumber hiburan bagi mereka.

Kenyataannya, anak merupakan calon manusia pada masa depan. Ia mesti diasuh secara hati-hati dan metodis. Tanggung jawab terhadap pengasuhan, pelatihan, dan pendidikan anak terletak pada orang tua. Anak tumbuh dewasa dan menjadi bagian dari masyarakat. Ia mesti menghadapi fluktuasi kehidupan, kesuksesan, kegagalan, jatuh, bangun, suka, dan duka yang silih berganti sepanjang hidupnya.

Pendidik yang baik akan memiliki semua faktor tersebut pada benaknya, sehingga mampu mempersiapkan generasi yang akan sanggup menghadapi semua ujian dan rintangan yang menghadang.

Orang tua mesti menyadari kenyataan bahwa cinta dan kasih sayang itu esensial dalam pengasuhan anak, tetapi bila berlebihan dapat membuahkan hasil yang tak diinginkan. Anak yang memperoleh cinta dan kasih sayang berlebihan akan menjadi manja, yang berakibat buruk bagi dirinya.


Jika Cinta Orang Tua Terlalu Permisif
Saat anak menyadari bahwa orang tua sangat mencintainya dan selalu mengizinkan apa saja yang ingin dilakukan, maka tuntutannya pun akan semakin meningkat. Ia menjadi terbiasa menuntut pemenuhan dari orang tuanya, yang memang tak ingin melihatnya kecewa. Akhirnya, karakter despotisme tertanam dalam dirinya, yang akan meningkat seiring berjalannya waktu.

Sehingga, ketika kelak berbaur dalam masyarakat, ia pun akan menuntut masyarakat untuk selalu memenuhi keinginannya, sebagaimana yang biasa dilakukan pada orang tuanya dan anggota keluarga lainnya.

Namun, tentu saja orang-orang tak akan menyukai seseorang yang hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri. Sikap orang-orang ini akan menciutkan semangatnya dan ia pun menjadi korban perasaan kalah dan bosan. Sehingga kemudian perasaan itu berkembang menjadi kompleks rendah diri dan cenderung menyendiri.

Pada kasus-kasus akut, mereka bahkan berpikir untuk bunuh diri demi terlepas dari tekanan-tekanan psikologis. Sedangkan kehidupan rumah tangga orang semacam itu juga secara umum tak tenteram. Ia terlalu mengharap cinta yang banyak dari pasangannya, dan menghendaki agar pasangannya memenuhi semua keinginannya sekalipun yang tidak masuk akal.

Sementara dalam hidup perlu saling menerima dan memberi (take and give), dan jarang ada pasangan yang mau tunduk dalam hubungan satu arah. Banyak sekali istri yang tak mau menerima permintaan tak masuk akal suaminya. Akibatnya, terjadilah pertengkaran di antara mereka. Sama halnya dengan anak perempuan yang manja.

Ketika menikah, ia mengharap cinta yang lebih besar dari suaminya ketimbang yang diperoleh dari orang tuanya. Ia menghendaki suaminya memenuhi semua keinginannya, sekalipun itu tak masuk akal. Umumnya, suami tak bersedia memenuhinya. Akibatnya, terjadilah percekcokan di antara mereka.

Kelakuan mereka itu juga bisa dilihat sebagai kelanjutan dari kebiasaan mereka pada masa muda dulu. Mereka begitu kekanak-kanakan dengan bertingkah-laku seperti itu pada saat dewasa kini.


Anak yang Manja, Lemah Fisiknya
Anak-anak yang terlalu dimanjakan orang tuanya, umumnya memiliki fisik yang lemah. Mereka biasa mencari bantuan orang lain dan tidak mandiri. Kapan saja menemui kesulitan, mereka selalu berupaya melarikan diri darinya. Mereka tak berani menanggung tugas-tugas besar dan sulit. Bila mendapati kesulitan, mereka segera mencari pertolongan orang lain tanpa mencoba menyelesaikannya sendiri dan bergantung kepada Allah Swt.

Orang yang menerima asuhan melalui pemanjaan umumnya egois dan hanya mementingkan diri sendiri. Karena terbiasa menerima pujian-pujian semu di masa lalu, mereka akan menanggung kepalsuan di kemudian hari. Mereka tak mampu melihat kegagalan diri sendiri. Bahkan sebaliknya, kekurangan itu mereka anggap sebagai kelebihan mereka. Mereka bekerja dalam naungan kebanggaan semu, yang sebenarnya merupakan penyakit psikologi yang parah.

Imam Ali as. berkata, "Egoisme adalah sesuatu yang paling buruk."[1]

Beliau as. juga berkata, "Seorang yang egois dan hidup dengan dirinya sendiri tidak akan menyadari kekurangan dan kegagalannya dirinya."[2]

Orang seperti ini selalu mengharap orang lain terus memuji-muji dirinya. Oleh karena itu, ia akan dikelilingi para penjilat. Sedangkan orang-orang yang lurus tidak akan memperoleh tempat di sisinya. Orang egois tentu saja tidak akan menarik simpati orang lain, melainkan justru akan mengundang kemarahan mereka.
Imam Ali as. berkata, "Seorang yang egois dan hanya memikirkan diri sendiri akan berhadapan dengan banyak kesulitan."[3]


Pemanjaan Membuahkan Penguasaan pada Orang Lain
Anak yang memperoleh cinta dan perhatian berlebihan serta terlalu dimanja orang tuanya, secara bertahap akan mendominasi orang tua. Ketika dewasa, mereka akan tetap memiliki watak dominasi tersebut dan tuntutan mereka melebihi kemampuan orang tuanya.

Bila orang tua memperlihatkan ketidakmampuannya dalam memenuhi kebutuhannya, mereka pun mencari jalan untuk membuat kericuhan. Anak seperti itu tahu betul bahwa orang tuanya memanjakannya, sehingga selalu memiliki jalan untuk berbohong demi memperoleh apa yang diinginkannya.

Orang tua, disebabkan kecintaan mereka, terkadang meremehkan perlunya pengasuhan yang baik dan cenderung menuruti tingkah laku dan keinginan anak. Mereka menutup mata terhadap kekurangan anak dan mengabaikan tugas memperbaikinya. Demi menyenangkan anak, orang tua terkadang bahkan meremehkan norma-norma yang telah diatur agama (syariat).

Imam Muhammad Baqir as. berkata, "Seburuk-buruknya ayah adalah yang berlebihan mencintai anaknya."[4]

Anak semestinya hidup dengan optimisme dan rasa takut kepada Allah. Ia mesti merasa bahwa orang tuanya benar-benar mencintai dirinya dan akan siap menolongnya kapan saja diperlukan. Namun, ia juga mesti menyadari bahwa setiap kesalahan orang tuanya akan mengakibatkan dirinya menjadi orang yang tak bertanggung jawab.


Dr. Jalali menulis:
"Bila anak hidup dalam lingkungan yang memanjakannya, yang orang lain selalu berpihak kepadanya, menutup mata terhadap kesalahannya, dan ia pun tak dilatih untuk menghadapi kenyataan yang keras pada masa mendatang, kelak akan menjadi korban dari banyak kesulitan dalam masyarakat. Sejak dini, anak mesti dilatih bahwa dirinya harus hidup bersama orang lain dalam masyarakat dan keinginannya harus selaras dengan keinginan masyarakat."[5]


Dr. Jalali juga menulis:
"Mencintai anak itu perlu sekali. Namun, menumbuhkan perasaan pada anak bahwa orang tuanya akan selalu menyenangkan keinginannya adalah tidak baik."[6]


Orang Tua Harus Tegas
Bila anak menangis dan mengekspresikan kemarahan agar orang tuanya memenuhi tuntutannya yang tak masuk akal, orang tua harus secara tegas dan bijaksana menolaknya. Mereka sebaiknya meninggalkannya sendiri untuk sementara waktu, agar menyadari bahwa dirinya tak selalu bisa memaksakan hal itu. Bila orang tua bersabar dalam situasi seperti itu, niscaya lambat laun anaknya akan berhenti juga.

Bila anak jatuh, orang tua tidak perlu segera mengambilnya. Biarkan anak bangun sendiri ketika jatuh. Latihlah ia untuk berhati-hati agar tidak jatuh lagi. Ketika anak terbentur sesuatu, orang tua tidak perlu langsung menciumnya atau terlalu memanjakannya. Melainkan, latihlah ia untuk berhati-hati agar hal itu tidak terjadi lagi.

Namun, bila ia terluka, segera berikan perawatan. Perhatian yang layak harus diberikan pada anak yang sakit, namun aktivitas sehari-hari tetap harus dilakukan seperti biasa. Orang tua juga harus beristirahat, tidur, dan makan secara normal. Bukan menghabiskan waktunya di samping tempat tidur menemani anaknya yang sakit.

Pemanjaan tidak akan menolong anak, melainkan dapat memperburuk kebiasaan anak dalam menarik perhatian orang tuanya.


Seorang wanita menulis:
"Setelah dua anak perempuan pertama lahir, orang tuaku memperoleh anak lelaki. Aku tak dapat melupakan kebahagiaan ibuku saat itu. Orang tuaku amat memanjakannya, karenanya, pada umur dua tahun, ia kerap memukul kami, saudara perempuannya. Ia biasa menggigit kami, dan kami tak berani melawannya.

Apapun yang ia inginkan selalu dipenuhi. Ia kerap bersikap nakal kepada anak-anak lain. Ia juga kelihatannya saja senang pergi sekolah, tetapi enggan mengerjakan tugas sekolah. Ia sedikit pun tak pernah mengindahkan guru-gurunya. Sehingga, ia pun tak memperoleh kemajuan dan akhirnya putus sekolah.

Sekarang, ketika dewasa, ia menjadi orang yang tak berpendidikan dan penyendiri. Ia tak berkeinginan melakukan pekerjaan apapun dan menjadi sangat perasa. Ia juga tak punya rasa cinta pada saudara-saudara perempuannya. Saudara lelakiku itu telah menjadi korban salah asuhan dan pemanjaan berlebihan dari orang tuaku."


Catatan Kaki:
[1] Ghurar al-Hikam, hal.446.

[2] ibid., hal.685.

[3] ibid., hal.659.

[4] ibid.

[5] Rowan Shinashi Kudak, hal.354.

[6] ibid., hal.461.



23
ANAKMU AMANATNYA

40. MENGISAP IBU JARI
Kebiasaan umum anak kecil adalah mengisap ibu jarinya. Biasanya, pada usia tiga bulan, bayi mulai mengisap ibu jari dan terus melakukannya selama beberapa saat. Penyebab alamiah kebiasaan ini boleh jadi adalah pemberian yang dilakukan kepadanya. Ketika lapar, ia akan menetek pada ibunya atau mengisap empeng (dot bayi yang terbuat dari karet khusus-peny.).

Anak merasakan bahwa aktivitas itu memberinya kenyamanan, dan seiring berjalannya waktu, mulai belajar bahwa dirinya bisa mengisap ibu jarinya sendiri ketika belum memperoleh ASI. Ini merupakan bagian dari proses belajar anak.

Ia lalu mengenali manfaat mengisap ibu jarinya, dan terbiasa dengan itu. Kebiasaan ini kemudian segera dilakukannya ketika lapar dan makanan belum diberikan kepadanya. Ia juga akan mengisap ibu jarinya ketika sedang merasa tak nyaman. Banyak orang tua berpikir bahwa mengisap ibu jari adalah kebiasaan tidak baik dan berupaya menghentikan anak dari melakukannya.

Para pakar gigi juga menganggap bahwa mengisap ibu jari memberikan pengaruh buruk pada konfigurasi gigi alami dan mulut anak. Namun demikian, banyak dokter gigi dan dokter umum menganggap bahwa mengisap ibu jari tidak terlalu berbahaya bagi anak.


Seorang pakar berkata:
"Banyak pakar psikologi dan pakar anak berpendapat bahwa kebiasaan anak mengisap ibu jari tidaklah berbahaya. Dan dari kebanyakan kasus, kebiasaan itu tidak menjadi penyebab kerusakan pada mulut. Mereka juga mengamati bahwa kebiasaan ini akan berhenti dengan sendirinya saat gigi susu anak tumbuh."[7]

Namun demikian, bisa saja kebiasaan ini menyebabkan beberapa masalah kesehatan. Karena secara umum, jari-jari tangan anak terbuka di udara bebas, sehingga mungkin saja membawa beberapa kuman penyakit ke dalam mulut. Karena itu, kebanyakan orang tua tidak menginginkan anak mereka memiliki kebiasaan mengisap ibu jari.


Bukan Masalah Serius, Namun…
Tetapi kenyataannya, kebiasaan ini bukanlah masalah serius. Kalaupun anak terbiasa dengannya, kebiasaan ini toh akan hilang dengan sendirinya saat ia tumbuh besar. Namun, bila orang tua tidak menginginkan itu, mereka dapat mengambil langkah-langkah agar anak tidak terjerumus ke dalam kebiasaan itu sejak awal. Karena mencegah anak dari kebiasaan mengisap ibu jari jauh lebih mudah ketimbang menghentikan kebiasaan tersebut.

Ketika orang tua sejak awal mengetahui kecenderungan dari kebiasaan mengisap ibu jari, maka mereka semestinya mencari solusinya; yaitu, berikanlah kembali susu pada anak bila masih terlihat lapar; dan bila anak telah merasa lapar di antara jadwal pemberian ASI, berikanlah sedikit jus buah atau biskuit kepadanya.

Namun, bila alasan dari mengisap ibu jari itu disebabkan ketidaknyamanan anak, mereka harus mencari tahu apa penyebab ketidaknyamanan itu dan memberikan solusinya.


Mengalihkan Perhatian Anak
Bila anak tetap terjerumus dalam kebiasaan itu meskipun telah dilakukan langkah pencegahan, maka akan sulit menghentikannya. Metode lain untuk mengendalikan kebiasaan anak ini adalah dengan memberinya mainan-mainan yang bagus dan lembut untuk mengalihkan perhatiannya dari mengisap ibu jari.

Selain itu, bila anak bermain bersama anak lainnya, kebiasan mengisap ibu jari juga dapat terlupakan saat itu.

Alternatif lain untuk menghindarkan anak dari mengisap ibu jari adalah dengan memberinya empeng. Tetapi, hal ini juga akan membuat anak terbiasa dengannya selama beberapa waktu.

Namun demikian, orang tua harus bersikap sabar dan tidak langsung menghentikan kebiasaan ini. Tidak semestinya pula mereka menghukum anak disebabkan kebiasaan ini. Orang tua harus ingat bahwa seberapapun kuatnya kebiasaan mengisap ibu jari pada anak, toh hal itu akan hilang dengan sendirinya ketika si anak berusia sekitar empat atau lima tahun.





41. RASA TAKUT
Rasa takut adalah fenomena universal. Setiap makhluk hidup memiliki insting rasa takut, baik dalam skala kecil maupun besar. Dalam terminologi abstrak, rasa takut itu esensial bagi keamanan manusia. Seseorang yang tidak memiliki insting rasa takut, secara psikologis tidak normal. Rasa takut ini juga yang menjadikan seseorang terhindar dari marabahaya dan menyelamatkannya dari kematian.

Oleh karena itu, rasa takut merupakan karunia Allah Swt, yang diberikan sebagai fitrah manusia. Namun, karunia ini hanya bermanfaat ketika manusia menggunakannya dengan benar. Kalau tidak, ia akan memberikan hasil yang berbahaya.


Rasa takut terbagi dalam dua bentuk:
1. Rasa takut semu, keliru, dan tak berarti.

2. Rasa takut berdasar, masuk akal, dan absah.


Rasa Takut Semu (Tak Berdasar)
Kategori dari rasa takut semu ini dapat berupa rasa takut terhadap hantu dan roh-roh halus, atau rasa takut terhadap gelap dan hewan-hewan tak berbahaya (seperti kucing, tikus, katak, unta, kuda, dan lain-lain).

Selain itu, termasuk juga rasa takut terhadap pencuri, mayat, peti mati, dokter dan jarum suntik; rasa takut terhadap petir, tidur sendirian, ujian, sakit dan kematian; dan masih banyak lagi rasa takut tak-berdasar seperti itu yang dapat menjadi momok seseorang bila dirinya tak dapat mengatasinya.

Ia selalu terobsesi rasa takut tersebut, dan terkadang bangun dari tidur sembari berteriak dan menjerit disebabkan mengalami mimpi buruk. Rasa takut tak berdasar ini pada hakikatnya merupakan bagian dari penyakit jiwa, yang dapat memberikan pengaruh sangat berbahaya bagi kehidupan anak di masa depan.

Seorang penakut, saat harus mengambil keputusan, akan merasa sangat tertekan. Ia akan menghindar dari bertemu orang dan akan selalu khawatir. Ia pun enggan berkumpul dengan orang lain dan lebih senang menyendiri. Beberapa penyakit jiwa dapat muncul dari rasa takut tak berdasar seperti itu. Imam Ali bin Abi Thalib as. berkata, "Rasa takut itu mengakibatkan bencana."[8]


Oleh karena itu, pendidik yang baik akan berupaya memastikan bahwa anak terbebas dari rasa takut yang tak berdasar. Kami memberikan anjuran sebagai bahan pertimbangan bagi para pendidik, sebagai berikut:
1. Mencegah rasa takut jauh lebih baik ketimbang mengobatinya. Cobalah memastikan bahwa anak tidak berkutat dalam suasana rasa takut yang tak berdasar.

Para pakar psikologi menyatakan bahwa suara kereta api yang melaju, suara petir, guntur, angin, dan suara gaduh yang berada di dekat bayi dapat menjadi penyebab awal rasa takut pada anak. Oleh karena itu, sebisa mungkin lindungilah anak dari hal-hal tersebut.

2. Rasa takut itu menular. Mungkin secara alamiah, anak tidak penakut, tetapi bila orang tua dan orang-orang di sekitarnya penakut, ia akan terjangkiti kebiasaan penakut tersebut. Bila Anda menginginkan anak Anda tidak menjadi penakut, obatilah rasa takut Anda sendiri terlebih dahulu. Oleh karena itu, jangan pertontonkan rasa takut terhadap hal-hal yang tak berdasar.

3. Menyaksikan film yang bertemakan kejahatan dan hukuman, melihat dan mendengarkan cerita-cerita horor, membaca dan mendengar kisah-kisah misteri, serta membaca kejadian-kejadian menakutkan, dapat berbahaya bagi anak. Oleh karena itu, sebisa mungkin hindarkanlah anak dari hal-hal tersebut. Janganlah membicarakan seputar makhluk halus kepada anak.

Bila mereka telah mendengarnya dari sumber lain, yakinkanlah ia bahwa keberadaan makhluk halus (jin) itu telah ditegaskan dalam al-Quran; bahwa mereka (kaum jin) juga menjalani kehidupan seperti manusia dan tidak membahayakan kita.

4. Menghindari intimidasi terhadap anak saat mendidiknya. Jangan menakut-nakutinya dengan hantu dan roh-roh halus. Metode seperti ini mungkin efektif untuk sementara, tetapi dapat menyebabkan anak menjadi penakut. Hukuman terhadap pelanggaran yang dilakukan anak janganlah dalam bentuk mengurungnya di tempat gelap dan sunyi. Beberapa ibu yang tidak bijaksana bahkan menirukan suara kucing atau anjing dari balik dinding untuk menghentikan tangis anaknya.

Mereka tak menyadari bahaya dari hal tersebut terhadap pikiran anak. Seseorang menulis dalam buku hariannya mengungkapkan:

"Nenek kami terbiasa pergi ke ruangan lain di rumah dan berteriak dengan nada berubah-ubah, 'Aku adalah setan yang datang ke rumah untuk memakan kalian !' Kami pun menjadi ketakutan dan percaya bahwa itu benar-benar setan. Selama beberapa waktu, tindakan tersebut menjadikanku seorang penakut. Inilah mengapa aku tak berani sendirian di luar rumah. Sekarang, aku menjadi orang dewasa yang penakut dan gampang gelisah."


Seorang wanita menulis:
"Aku berumur lima tahun ketika sedang bermain di halaman rumah bersama sepupuku. Tiba-tiba, kami melihat sosok yang menakutkan. Ia memiliki kepala besar, mata bersinar, gigi yang panjang dan besar, pakaian hitam panjang, dan sepatu hitam besar di kakinya. Ia muncul di tengah halaman. Ia melontarkan suara-suara aneh dan bermaksud melahap kami.

Kami pun berteriak dan lari menuju loteng yang gelap. Aku mencengkeram dinding kuat-kuat, sehingga jari-jemariku menjadi memar. Aku lalu jatuh tak sadarkan diri karena ketakutan. Aku pun dibawa ke dokter agar sadar kembali. Semenjak itu, untuk jangka waktu lama, aku terbiasa menyembunyikan diri di sudut-sudut karena ketakutan, dan keributan sedikit saja dapat membuatku gelisah.

Bahkan sampai sekarang, aku mudah sekali ketakutan dan tak dapat berkonsentrasi dalam setiap aktivitas. Baru kemudian aku mengetahui bahwa sosok tersebut adalah lelucon saudara sepupuku lainnya. Ia menaruh pot yang telah dicat di kepalanya untuk menakut-nakuti kami. Ia yang telah menyebabkan kondisi gelisahku ini."

5. Bila anak Anda menjadi penakut disebabkan kelalaian Anda atau sebab lainnya, jangan abaikan kondisinya itu. Cobalah mengatasi situasi itu sesegera mungkin. Bila anak menyadari bahwa rasa takutnya itu tak berdasar, ia akan sembuh dengan sendirinya. Memarahi, mengejek, dan mempermalukannya di depan umum bukanlah jalan keluar.

Tindakan ini di satu sisi, tidak akan melenyapkan rasa takut anak, dan di sisi lain justru akan menjadikannya pemurung dan mudah sakit hati. Karena sebenarnya ia tidak ingin menjadi penakut. Kelalaian Anda dan penyebab lainlah yang menjadikannya demikian. Oleh karena itu, cobalah menemukan penyebab rasa takutnya dengan sabar dan bijaksana.

Kemudian, carilah obatnya. Bila anak takut terhadap hantu dan makhluk-makhluk halus jahat khayalan, yakinkanlah ia bahwa itu tidak ada. Katakan padanya bahwa jin itu tidak berurusan dengan manusia. Jika anak takut terhadap hewan-hewan yang tak berbahaya, perlihatkanlah kepadanya dengan tindakan bahwa hewan tersebut memang tidak berbahaya.

Bila anak takut terhadap gelap, latihlah ia dengan membawanya ke ruangan yang redup. Ketika Anda hanya berduaan dengan anak di sebuah ruangan, sesekali matikanlah lampu. Kemudian, secara progresif, naikkanlah tingkat kegelapannya. Ketika Anda berada dalam sebuah ruangan tetapi agak berjauhan dengan anak, cobalah lagi mematikan lampu sejenak.

Ulangi percobaan ini dengan sabar sampai rasa takut terhadap gelap lenyap dari pikiran anak. Ingat, jangan menerapkan cara-cara keras dalam mengatasi rasa takut anak. Memaksa anak menghadapi hal-hal yang menakutkannya akan memberikan hasil negatif. Bila anak takut pergi ke dokter dan takut disuntik, yakinkan ia dengan cinta dan kasih sayang tentang pentingnya perawatan.

Terkadang, situasi menuntut anak harus dirawat di rumah sakit. Dan ini akan menjadi sulit ketika anak tak mau berpisah dari orang tua. Bila anak tetap dipaksa menginap di rumah sakit, maka itu akan menyulitkannya. Oleh karena itu, adakalanya perlu mengenalkan anak dengan lingkungan rumah sakit. Ketika orang tua mengunjungi seorang pasien di rumah sakit, sebaiknya mereka juga membawa serta anak ke sana barang sebentar, agar ia mengenal lingkungan rumah sakit.

Bertemu dokter dan perawat yang baik di rumah sakit akan membantu menghilangkan rasa takut dari pikiran anak. Sehingga, ketika memerlukan perawatan inap di rumah sakit, ia pun akan menurut. Sebelum membawa anak ke rumah sakit, orang tua mesti meyakinkannya bahwa kesehatannya memerlukan perawatan dari para dokter dan perawat yang baik, sehingga mengharuskannya pergi ke rumah sakit agar segera sembuh.

Katakan padanya bahwa Anda akan selalu mengunjunginya bersama anggota keluarga lainnya. Jangan mencoba membohongi anak. Ketika Anda harus meninggalkannya di rumah sakit, jangan katakan padanya bahwa ia harus tidur dan Anda akan tetap menungguinya. Jangan memberinya harapan semu bahwa ia tidak akan mengalami apapun. Yakinkanlah bahwa ia sedang sakit dan memerlukan perawatan di rumah sakit agar segera sembuh.


Rasa Takut yang Beralasan
Semenjak rasa takut yang beralasan pada anak itu penting, pendidik mesti bersikap cerdas dan bijaksana terhadap mereka. Sampaikanlah pada anak tentang situasi-situasi berbahaya dan bahas pula penanggulangannya. Beritahukan padanya akibat-akibat buruk dari kelalaian.

Perlihatkan padanya cara menggunakan korek api, gas, dan perangkat-perangkat listrik, serta bahaya-bahaya yang terdapat pada benda-benda tersebut. Ajarilah ia cara yang benar dalam menyeberang jalan dan kenalkanlah dengan peraturan-peraturan lalu lintas bagi pejalan kaki.

Sampaikan pada anak seputar bahaya-bahaya yang mungkin terjadi dalam hidup kesehariannya. Kenalkanlah ia dengan tindakan-tindakan aman, serta buatlah percaya diri dan tawakal kepada Allah Swt. Ia juga harus dipersiapkan untuk menghadapi tantangan-tantangan hidup.

Rasa takut yang beralasan lainnya adalah rasa takut terhadap kematian. Namun rasa takut berlebihan terhadap kematian merupakan penyakit jiwa. Rasa takut ini akan menjauhkan ketenangan spiritual seseorang dan menumpulkan kemampuan fisik. Oleh karena itu, perlu diambil langkah-langkah pencegahan terhadap rasa takut seperti ini.

Untuk beberapa waktu, anak belum memahami makna kematian. Sehingga, pendidik lebih baik tidak membicarakan fenomena ini. Namun, terkadang anak mempelajarinya saat kematian terjadi pada seseorang yang dekat dengannya. Sangat mungkin anak akan bertanya tentang kematian pada saat itu. Ketika anak telah mencapai usia memahami, orang tua harus menjelaskan kepadanya secara apa adanya.

Mereka harus mengatakan padanya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang khusus, melainkan perpindahan dari kehidupan dunia menuju kehidupan lain. Di dunia yang lain itu, ia (orang yang sudah meninggal dunia) akan memperoleh balasan surga atas perbuatan baiknya dan siksa atas perbuatan buruknya selama hidup di dunia.

Setiap orang itu pasti mati suatu saat nanti. Allah Swt berfirman dalam al-Quran, Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. (QS. Ali Imran: 85) Kematian tidaklah penting; melainkan perbuatan ketika hidup di dunia, itulah yang penting, di mana pembalasan di akhirat itu bergantung pada perbuatan seseorang selama hidup di dunia ini. Sementara itu, pikiran berlebihan terhadap kematian bukanlah hal yang baik. Hal itu tidak semestinya merasuki diri seseorang. Karena, semua itu akan berbahaya baginya.

Rasa takut positif lainnya adalah takut kepada Allah dan Hari Pembalasan. Rasa takut semacam ini juga tidak semestinya berlebihan sehingga menyebabkan kegelisahan seseorang.

Rasa takut kepada Allah dan Hari Pembalasan akan mendorong seseorang berbuat baik dan menghentikannya dari berbuat maksiat. Oleh karena itu, Allah berfirman dalam al-Quran, Janganlah takut kepada mereka, melainkan takutlah kepada-Ku, jika kalian orang-orang beriman. (QS. Ali Imran: 175)
Al-Quran juga melukiskan kesulitan dan azab di Hari Pembalasan.

Oleh karena itu, pendidik yang bijaksana dan beriman akan menjelaskan pada anak tentang balasan surga dan azab neraka di akhirat kelak. Namun demikian, pendidik tidak semestinya melulu membicarakan hal itu sehingga memberikan kesan pada anak, seolah-olah Allah itu kejam terhadap hamba-Nya. Melainkan lebih memperkenalkan pada anak, sifat Mahakasih Allah Swt.


Catatan Kaki:
[7] Rowan Shinashi Kudak, hal.172.

[8] Ghurar al-Hikam, hal.8.



24
ANAKMU AMANATNYA

42. ANGKUH DAN BANGGA DIRI
Keangkuhan dan kesombongan melekat pada setiap individu, baik dalam skala kecil maupun besar. Setiap orang akan memiliki hasrat untuk membanggakan dirinya dengan menampilkan prestasi atau yang lain. Ia mencoba menarik perhatian orang di sekelilingnya melalui tindakan itu.

Pada anak, hal ini mulai muncul ketika berusia sekitar satu tahun. Anak mulai suka berkeliling dan menarik perhatian orang lain melalui tingkah laku lucunya. Ia akan mengulangi tindakan yang membuat orang tuanya dan orang lain gembira. Ia akan senang terhadap reaksi orang tuanya dan merasa bangga atas keberhasilannya membuat mereka gembira. Terkadang pula anak memperlihatkan kepuasannya melalui gerak tubuh, seolah ingin menegaskan nilai penting dirinya.


Bangga Diri Boleh, Asal…
Bangga terhadap diri sendiri sebenarnya bukanlah perbuatan negatif. Karena kenyataannya, perasaan ini memacu seseorang untuk berupaya keras mencapai hasil yang lebih baik melalui semangat kompetisi. Anak akan bekerja keras memperoleh hasil lebih tinggi di kelasnya. Ia mencoba mengembangkan keahlian dalam berpuisi atau menjadi pelukis yang hebat. Hasrat anak untuk berkompetisi ini merupakan pertanda bahwa dirinya akan menjadi penyair, artis, penulis, atau ilmuwan besar di masa depan.

Keberadaan rasa bangga pada anak ini tak perlu dikhawatirkan. Yang penting adalah digunakan untuk keuntungan anak. Bila hal ini diarahkan dengan benar, maka akan diperoleh hasil yang baik. Pada tahap awal usianya, anak tak dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.

Ia mengamati reaksi orang tuanya untuk memutuskan tindakannya dan mengambil kesimpulan. Pendidik yang jeli akan mendukung tindakan baik anak dengan mengekspresikan kegembiraan. Pendidik juga dapat mendorong anak bersikap baik dengan memperlihatkan ketidaksenangan atas tindakan buruknya .

Beberapa orang tua yang tidak bijaksana, disebabkan cintanya pada anak, mencurahkan pujian berlebihan padanya tanpa mempertimbangkan apakah perbuatan anak itu baik atau tidak. Dengan demikian, mereka telah meletakkan fondasi perilaku buruk pada anak. Dalam tindakan itu, mereka telah membesar-besarkan kualitas anak dan terus memujinya.

Akibatnya, anak menjadi sombong, arogan, dan egois. Ia selalu mengharap pujian orang lain, seperti yang dilakukan orang tuanya. Ketika tak memperoleh tanggapan yang diinginkan, ia pun menjadi putus asa. Akhirnya, ia membenci orang lain; sehingga, pada tahap selanjutnya, ia mungkin saja berpikir untuk mencelakakan mereka.

Oleh karena itu, orang tua harus membimbing anaknya ke jalan yang benar. Orang tua harus membimbing pikiran anak menuju Allah. Dengan demikian, mulai sekarang, bila anak melakukan kesalahan, jangan hanya mengatakan bahwa Anda tidak menyukainya. Tapi, katakan pula bahwa Allah tidak menyukainya.





43. SIKAP KERAS KEPALA
Setiap anak akan memiliki watak keras kepala pada tingkat tertentu yang terbentuk sejak usia dua tahun. Seorang anak keras kepala umumnya memaksa untuk mendapatkan sesuatu dengan caranya sendiri. Manakala menghadapi penentangan dari selainnya, ia akan mengeluarkan senjata pamungkasnya; menangis dan berteriak.

Tindakan ini lalu dilanjutkan dengan berguling-guling di tanah seraya membenturkan kepala ke tembok atau melemparkan barang-barang mudah pecah. Bahkan terkadang, tindakannya semakin agresif dengan menyerang atau memukul anggota keluarganya yang lain. Kebiasaan keras kepala ini-karena dibiarkan terus berlangsung-juga terdapat pada anak-anak muda yang sedang tumbuh.

Pada umumnya, kedua orang tua mengeluhkan masalah penyimpangan semacam ini pada diri anak-anaknya dan terus mencari solusi untuknya. Berdasarkan pengalaman pada umumnya, orang tua menggunakan salah satu dari dua metode yang disebutkan di bawah ini untuk mengatasi masalah tersebut.


Dua Metode Pemecahan
Pertama, sejumlah orang tua berpandangan bahwa bila si anak berlaku keras kepala, maka sikap keras harus diambil, yakni dengan menolak mengabulkan permintaannya. Para orang tua tersebut mengatakan bahwa si anak menjadi keras kepala karena terlalu percaya diri sehingga dibutuhkan sikap keras dalam menolak keinginan-keinginannya.

Mereka (para orang tua tersebut) berupaya membenahi si anak dengan bersikap keras, bahkan sampai pada tingkat menghukum dan memukulnya. Mereka berusaha memaksakan keinginan- keinginan mereka sendiri pada si anak.

Sikap dan perlakuan orang tua semacam itu sama saja dengan pukulan dibalas dengan pukulan. Pendekatan semacam ini seyogianya tidak digunakan, sekalipun hanya sesekali, misal, untuk menenangkan rengekan si anak. Sebab, sikap keras semacam itu hanya akan membahayakan jiwa si anak.

Usia dua tahun adalah masa awal terbentuknya kemantapan dan kepercayaan diri si anak. Kekeraskepalaan anak merupakan tuntutan dari kenginannya untuk mandiri. Pada usia dini ini, si anak belum mampu mengendalikan keinginan-keinginannya serta membayangkan pelbagai konsekuensi dari pencapaiannya.

Apa yang ada dalam benaknya hanyalah bahwa segala hal yang diinginkannya langsung tersedia. Penolakan orang tua terhadap keinginan-keinginannya itu hanya akan melukai perasaan mereka. Anak-anak semacam itu akan tumbuh menjad sosok pendiam, namun sama sekali tanpa memiliki rasa percaya diri dan kemantapan hati.

Ketika mengetahui bahwa tak seorang pun mempedulikan keinginan-keinginannya dan berusaha secara paksa mencegahnya dari menempuh caranya sendiri, niscaya si anak akan menjadi patah arang dan merasa kecewa. Keadaan gelisah dan putus asa semacam ini berangsur-angsur akan menjadi bagian dari karakternya.

Sehingga dengannya, kemungkinan ia akan tumbuh menjadi sosok keras kepala yang suka melawan dan memperturutkan keinginannya dalam melakukan tindakan-tindakan ekstrem seperti menganiaya dan membunuh, sebagai ungkapan dari perasaannya yang sangat terluka.

Kedua, sejumlah pakar pendidikan anak percaya bahwa bila memang memungkinkan, keinginan-keinginan seorang anak harus dipenuhi dan memperkenankannya melakukan apa yang diinginkannya. Mereka menganggap bahwa si anak harus diberi kebebasan pada batas tertentu. Mereka percaya bahwa seiring pertumbuhan si anak, kekeraskepalaannya akan berhenti dengan sendirinya.

Namun demikian, metode pengasuhan anak ini juga memiliki kekurangan. Terdapat tindakan-tindakan tertentu yang dapat membahayakan si anak dan orang lain di sekelilingnya bila ia (si anak) dibiarkan melakukannya. Tidaklah bijak bila orang-orang dewasa membiarkan si anak melakukan tindakan-tindakan semacam itu.

Coba bayangkan, bagaimana jadinya bila seorang anak usia tiga tahun berusaha menaiki sebuah tangga tanpa pegangan! Jelas, kemungkinan besar ia akan terjatuh dan mengalami cedera. Juga bayangkan bila ia berusaha menyalakan kompor tanpa pengawasan sehingga mengakibatkan api berkobar; atau memegang kepala anak-anak lain di sekitarnya yang dapat mengakibatkan cedera fisik. Orang-orang dewasa harus senantiasa mencegah si anak dari melakukan hal-hal semacam itu.

Seorang anak yang bebas melakukan apapun yang diinginkannya dan mendapat dukungan dalam melakukan tindakan-tindakan tersebut, sehingga tingkah lakunya sukar dikendalikan, dalam beberapa tahap akan menjadi sosok yang angkuh dan suka mementingkan diri sendiri. Ia berharap orang-orang akan menerima pandangannya begitu saja.

Karena semasa kecil tak pernah mendapat penolakan apapun terhadap segala keinginannya, maka ketika telah dewasa, ia mengharap selainnya juga bersikap sama (tidak menolak keinginan- keinginannya). Namun kenyataannya tidaklah demikian.

Orang-orang boleh jadi berbeda pandangan dengannya. Setelah menghadapi berbagai penolakan tersebut, ia pun merasa putus asa dan menjadi terkucil. Kemudian, ia akan memandang dirinya sendiri sebagai sosok pecundang dan menganggap selainnya sok tahu.


Pandangan Islam
Islam memandang kekeraskepalaan sebagai sifat negatif dalam diri seseorang. Berkenaan dengannya, kami akan kutipkan sejumlah riwayat di bawah ini.

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. mengatakan, "Kekeraskepalaan merupakan penyebab kejahatan."_ [9]

" Sikap tak tahu malu (atau keras kepala) akan membahayakan kecerdasan seseorang ."_[10]

" Kekeraskepalaan merupakan sebab perselisihan dan pemusuhan."_[11]

" Kekeraskepalaan membahayakan sebagian besar dunia dan akhirat seseorang."_[12]

Sikap tidak berlebih-lebihan dalam menghadapinya merupakan sikap terbaik. Kedua orang tua yang menggunakan cara ini dalam mengasuh anak-anaknya tidak memandang kekeraskepalaan sebagai sebuah penyimpangan, seraya menyadari bahwa itu merupakan ekspresi kepribadiannya.

Bukannya mengekang, mereka justru melatih dan menempa naluri ini pada diri si anak. Mereka dengan hati-hati mempertimbangkan dan menganalisis segala tuntutan dan tindakan si anak.

Mereka memberi kebebasan pada si anak untuk melakukan sesuatu yang tidak berbahaya demi mendorong pertumbuhan kemampuan mentalnya. Mereka menjadi sahabat si anak dan memberi bantuan dalam melakukan tindakan-tindakannya.

Anak-anak semacam ini pada gilirannya akan memiliki kemantapan hati untuk melaksanakan tindakan-tindakannya dan mengekspresikan kepribadiannya.
Anak-anak tersebut akan memandang orang tuanya sebagai sahabat mereka, bukan sebagai sosok-sosok yang tidak sepatutnya merintangi mereka dalam bertindak.


Menegaskan Batasan Tetap Tidak Menyakiti
Namun, orang tua semacam itu juga harus menegaskan batasan tentang tindakan-tindakan si anak yang berbahaya dan tidak menggunakan kata-kata yang menyakitkan hati sewaktu menasihati si anak untuk tidak melakukan tindakan-tindakan (berbahaya) tersebut.

Mereka harus dengan jelas memberikan alasan dalam mencegah si anak melakukan tindakan-tindakan tersebut dan mengalihkan perhatiannya pada sejumlah aktivitas lain yang bermanfaat.

Bila tidak terlalu banyak dibebani pembatasan sehingga ruang geraknya cukup leluasa, niscaya si anak akan berprasangka baik terhadap orang tuanya dan mau menahan diri dari perbuatan yang mereka larang .

Namun, bila terkadang si anak tetap membandel dan melakukan tindakan yang tidak diinginkan, maka orang tua harus bersikap tegas dan berusaha mencegahnya. Toh, si anak akan kembali tenang setelah beberapa saat. Dalam hal ini, ia harus dilatih untuk menyadari bahwa dalam kehidupan ini, seseorang tidak selalu dapat bersikap keras kepala.

Namun begitu, upaya mengekang si anak harus dilakukan dengan cara lembut dan sebisa mungkin tidak dengan pukulan. Ini agar si anak tidak beranggapan bahwa orang tuanya adalah orang zalim.

Perlu dicamkan bahwa anak-anak yang selalu mendapat pukulan orang tuanya, seiring dengan berlalunya waktu, cenderung berubah menjadi sosok yang suka membangkang.


Beberapa Pertimbangan

Di akhir pembahasan ini, kami akan mengemukakan beberapa poin penting yang sekirang dapat dijadikan pertimbangan bagi para pengasuh:
1. Sejauh mungkin, berilah kebebasan bergerak pada anak-anak. Jangan terlalu banyak campur tangan dengan urusan-urusan mereka. Juga, jangan terus-terusan melarang mereka melakukan sesuatu.

Misal, si anak berupaya menaiki sebuah kursi atau merangkak ke arah semak-semak, lalu Anda segera melarangnya.

Ia berusaha mengupas buah dengan sebilah pisau, dan Anda segera mencegahnya lantaran khawatir kalau-kalau ia akan melukai tangannya sendiri.

Si anak bermaksud menyalakan mesin penghangat air, lalu Anda buru-buru mencegahnya karena khawatir tangannya akan terbakar.

Ia berusaha menuangkan jamu-jamuan ke dalam cangkir, dan Anda segera menghentikannya seraya mengatakan bahwa ia akan memecahkan cangkir buatan Cina yang harganya mahal.

Ia bermain dalam rumah, lalu Anda menegurnya dengan mengatakan bahwa ia membuat banyak kegaduhan.

Ia berjalan menuju sebuah jalan kecil, lalu Anda buru-buru mencegahnya lantaran khawatir ia akan ditabrak sepeda.

Kalau begitu, apa yang sebenarnya Anda harapkan untuk dilakukan seorang anak yang masih kecil? Perlu diingat bahwa si anak juga manusia yang punya perasaan.

Bila Anda terlalu banyak campur tangan dengan tindakan-tindakannya, kemungkinan ia akan tumbuh menjadi sosok yang keras kepala. Salah satu alasan bagi tumbuhnya sikap keras kepala pada diri anak adalah campur tangan orang tua yang berlebihan dalam tindakan-tindakan si anak.

2. Bila si anak mulai bersungut-sungut ketika dilarang, segera cari alasan untuk itu dan temukan jalan keluarnya. Niscaya ia akan segera tenang. Bila ia lapar, segeralah memberinya makan. Bila ia kelelahan, bantulah ia untuk tidur. Bila ia merasa terganggu oleh suasana di sekitarnya, seperti suara bising televisi yang ada di dekatnya, atau suara obrolan para tamu, ciptakanlah suasana yang pas untuknya (umpama, membawanya ke kebun).

3. Janganlah mencerca atau memarahi anak yang justru dapat membuatnya semakin keras kepala. Imam Ali as. mengatakan, "Cercaan dapat mengobarkan api kekeraskepalaan ."_[13]

4. Bila suatu ketika adik atau kakak si anak berbuat keterlaluan terhadapnya, sementara dirinya tidak mendapatkan pendukung, kemungkinan besar ia akan menjadi sosok yang suka melawan dan keras kepala. Dalam kasus ini, orang tua harus turun tangan.

5. Bila anak Anda menunjukkan kelakuan keras kepala dan Anda tak mampu memahami alasannya, maka boleh jadi itu disebabkan oleh kesalahan dan kegagalan Anda sendiri dalam mengasuhnya.


Catatan Kaki:
[9] Ghurâr al-Hikam, hal.16.

[10] ibid., hal.17.

[11] ibid., hal.18.

[12] ibid., hal.104.

[13] Tuhaf al-'Uqûl, hal.80.

25
ANAKMU AMANATNYA

44. PENCURIAN DAN PENYAKIT PANJANG TANGAN (KLEPTOMANIA)
Seringkali terjadi seorang anak mengulurkan tangannya untuk mengambil sesuatu yang bukan miliknya. Ia berupaya keras untuk mengambil makanan, buah-buahan, atau mainan milik beberapa anak yang lain. Secara diam-diam, ia suka mengambil sesuatu dari saku ayahnya atau dompet ibunya. Atau mengambil manisan dan kue-kue lain dari dapur tanpa sepengetahuan ibunya.

Mengambil barang-barang secara diam-diam dari toko yang dikunjunginya bersama keluarga. Mengambil pensil, penghapus, dan sebagainya dari tas saudara-saudara dan teman-teman sekelasnya tanpa memberitahu mereka.

Beberapa anak melakukan hal-hal semacam itu semasa kanak-kanaknya. Bahkan, jarang sekali ada orang yang tak pernah melakukan hal demikian di masa kanak-kanaknya.

Beberapa orang tua sangat kecewa melihat anak-anaknya melakukan hal-hal semacam itu dan mulai membayangkan masa depan anaknya yang bakal suram. Mereka merasa bahwa anaknya kemungkinan akan menjadi seorang pencuri atau maling setelah tumbuh dewasa. Dengan rasa sesal semacam itu, mereka terus menyiksa diri sendiri.


Suka Mengambil Barang, Tidak Mesti Jadi Pencuri
Pertama-tama, orang tua seperti itu seyogianya memberi perhatian terhadap kenyataan bahwa mereka tak perlu terlalu cemas dan menyesali penyimpangan kecil pada anak. Mengambil barang-barang kecil yang tidak penting bukanlah pertanda bahwa seorang anak akan menjadi seorang pencuri di masa depan.

Mereka seyogianya mengetahui si anak belum mencapai tahap menghargai hak-hak kepemilikan selainnya, atau belum bisa membedakan apa yang merupakan miliknya dan apa yang menjadi milik orang lain. Sang anak memiliki perasaan kuat yang mendorongnya melompat dan meraih apapun yang menarik perhatiannya.

Seorang anak pada dasarnya tidak nakal, kecuali setelah dibentuk oleh pengaruh dari luar. Semua itu merupakan fenomena-fenomena yang melintas sepanjang kehidupan awalnya. Namun, ketika tumbuh dewasa, dia kemungkinan tak akan melakukan hal-hal semacam itu. Kemungkinan besar, sebagian orang-orang saleh dan bertakwa pernah melakukan pencurian tak sengaja semasa kanak-kanaknya.

Akan tetapi, tujuan menceritakan semua ini bukanlah agar para orang tua sama sekali tidak memberikan reaksi terhadap tindak pencurian yang dilakukan anak-anaknya. Saya hanya bermaksud menghalau kekhawatiran mereka terhadap kemungkinan anak-anak berubah menjadi para pencuri. Ketimbang meratapi kejadian-kejadian semacam itu, lebih baik mereka secara bijak berupaya membenahi anak-anaknya.


Tanganilah dengan Bijak
Seorang anak, khususnya yang berusia dua atau tiga tahun, belum mampu membedakan mana yang menjadi miliknya dan mana yang bukan. Dia akan berusaha mengambil apapun yang terjangkau tangannya, atau berkeinginan memiliki apapun yang menarik baginya. Pada tahap ini, meneriaki si anak atau memukulnya tak akan berguna sama sekali.

Namun, sikap terbaik orang tua akan secara praktis menghentikan sang anak melakukan hal tersebut bila itu memang terjadi di hadapan mereka. Bila si anak berupaya merampas barang milik anak yang lain, orang tua harus menanganinya dengan lembut.

Kendati demikian, bila si anak mengambil barang milik anak lain, orang tua harus sesegera mungkin mengembalikan pada pemiliknya. Orang tua yang tak menginginkan anaknya memegang barang-barang tertentu, seyogianya menjaga dan menjauhkannya dari jangkauan si anak. Ketika mencapai tingkat kecerdasan tertentu, anak-anak akan mulai memahami tentang masalah kepemilikan.

Nah, sekarang, mereka tak akan lagi berupaya merenggut barang-barang milik selainnya. Namun demikian, sejumlah anak-anak masih melanjutkan kebiasaannya mencuri, sekalipun telah mencapai pemahaman tentang kepemilikan sesuatu.

Dalam situasi demikian, orang tua seharusnya tidak berdiam diri sewaktu menyaksikannya. Kini mereka tidak boleh merasa puas dengan membayangkan bahwa si anak akan dengan sendirinya menanggalkan kebiasaannya. Sebab, mungkin saja si anak akan berubah menjadi seorang pencuri, atau setidaknya seorang kleptomania yang mengambil barang-barang milik orang lain hanya karena semata-mata ingin melakukannya, tanpa menyadari apa sedang diperbuat.

Tidaklah dibenarkan untuk mengabaikan seorang anak mengambil barang milik orang tuanya sekalipun. Namun amat disayangkan, sejumlah orang tua malah berusaha melindungi anaknya secara berlebihan. Ketika seseorang melaporkan bahwa anaknya telah mencuri barang-barang miliknya, mereka secara keliru membela anak-anaknya dan melayangkan tuduhan palsu kepada orang lain.

Orang tua bodoh semacam ini, dengan sikap negatifnya, secara tidak sadar dan terang-terangan mendorong sang anak untuk meneruskan kebiasaannya mencuri. Pada gilirannya, si anak akan belajar mencuri dan menyangkal telah melakukannya.

Karena itu, orang tua seyogianya bersikap waspada tatkala menghadapi situasi semacam itu. Mereka seharusnya berupaya keras menghentikan si anak dari kebiasaan mencuri dan berbohong tentangnya. Bila kebiasaan buruk itu sampai mengakar dalam jiwanya, niscaya akan berisiko besar dan sangat sulit dibenahi.

Imam Ali bin Abi Thalib as. mengatakan, "Menanggalkan kebiasaan sangatlah sulit."_ [14]


Carilah Penyebab
Pada contoh pertama, orang tua harus berupaya menghilangkan penyebab anak berkeinginan mencuri. Bila si anak membutuhkan pensil, kertas, atau penghapus, orang tua harus segera memenuhinya. Bila mereka menolak memenuhi kebutuhan tersebut, kemungkinan besar si anak akan mencuri barang-barang milik teman sekelasnya.

Bahkan barangkali ia akan mencuri uang dari dompet ayahnya. Bila si anak menginginkan sebuah bola untuk bermain dan kedua orang tuanya menolak membelikannya, ia barangkali akan merebut bola temannya secara paksa. Atau bahkan, akan mencuri bola dari warung tetangganya.

Kedua orang tua harus berhati-hati dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan anak sampai tingkat yang memungkinkan. Bila tak punya kemampuan untuk membeli beberapa barang yang diinginkan si anak, orang tua harus memberitahu dan menjadikan si anak memahami akibat-akibat yang ditimbulkannya.

Sebagai contoh, orang tua dapat mengatakan kepadanya bahwa mereka tak punya banyak uang untuk segera membelikannya pensil warna yang benar-benar dibutuhkannya. Kemudian meminta si anak meminjam dulu pensil warna kepada temannya untuk mengerjakan tugasnya dengan segera, seraya berjanji akan membelikannya dalam waktu dekat.

Sikap keras terhadap anak cenderung akan mendorongnya mencuri. Bila orang tua menyembunyikan makanan di dapur yang sengaja dikunci, si anak akan berusaha mencari kuncinya dan mengambil gula-gula untuk dimakan. Hal ini sangat mungkin terjadi bila orang tua ingin memakan sendiri makanan yang ada dan menjauhkannya dari si anak.

Tatkala orang tua menyembunyikan uang mereka, si anak kemungkinan akan cenderung untuk mencarinya. Lebih baik orang tua tidak berusaha menyembunyikan uangnya dari anak-anak. Si anak seyogianya diberi kepercayaan dan tidak ditumbuhkan perasaan dalam dirinya bahwa segala sesuatu disembunyikan darinya.

Orang tua harus mengajarkan pada si anak bahwa hidup dijalani dengan sejumlah disiplin. Terdapat waktu-waktu untuk makan dan anak-anak tidak mesti terus-menerus mengunyah makanan. Uang digunakan untuk membeli hal-hal yang diperlukan dan bukan untuk dihambur-hamburkan semaunya.

Film-film bertema kejahatan, pencurian, dan perampokan jangan diperlihatkan kepada anak-anak. Buku-buku cerita dan program-program radio dengan tema yang sama juga harus dihindari. Banyak contoh di mana generasi muda yang terperosok dalam tindakan kejahatan mengakui bahwa mereka mendapat inspirasi dari tayangan-tayangan film untuk berbuat sepert itu.


Hargai Privasi Orang
Hal paling penting adalah bahwa orang tua dan anggota keluarga lainnya berusaha agar lingkungan rumahnya dipenuhi kejujuran dan ketulusan yang satu sama lain saling menghargai hak-hak kepemilikan. Tak seorang pun dibolehkan mengambil uang dari dompet kedua orang tua dan segala sesuatu tidak boleh diambil begitu saja tanpa sepengetahuan pemiliknya.

Bahkan, suami tidak boleh menggeledah lemari pakaian istrinya tanpa sepengetahuan sang istri. Orang tua juga harus menghargai hak kepemilikan anak-anaknya serta tidak boleh begitu saja mengambil barang-barang milik mereka tanpa seizinnya.

Orang tua tidak boleh langsung memaki sang anak atas kesalahan kecil yang dilakukannya. Mereka tidak boleh berteriak sewaktu memanggil namanya seraya memperlakukannya seperti penipu dan pencuri. Atau mengancam akan menjebloskan si anak ke penjara akibat perbuatan mencurinya. Dengan cercaan semacam itu, orang tua tak dapat membenahi si anak.

Sebaliknya mungkin ia akan menjadi keras kepala dan melanjutkan kebiasaannya mencuri. Atau, barangkali dengan suasana hati yang penuh dendam, ia akan nekat melakukan pencurian yang lebih besar.

Metode terbaik untuk menyelamatkan situasi bagi para orang tua adalah dengan memperlakukan si anak dengan penuh bijaksana, cinta, dan kelembutan. Orang tua juga harus menjelaskan pelbagai akibat buruk dari tindakan mencuri. Seraya mendorong si anak untuk mengembalikan barang-barang curian kepada pemiliknya seraya berjanji tak akan pernah mengulanginya lagi.

Namun, bila upaya-upaya untuk membenahi si anak tersebut tak jua membuahkan hasil, maka satu-satunya cara yang harus diambil adalah berbicara kepadanya dengan sikap tegas dan blak-blakan.

Akhirnya, bila terbukti si anak benar-benar tak dapat dibenahi lagi, maka orang tua dengan berat hati dapat menempuh cara lain, yakni dengan menjatuhkan hukuman fisik.


Catatan Kaki:
[14] Ghurar al-Hikam, hal.181.

26
ANAKMU AMANATNYA

45. KEDENGKIAN
Kedengkian atau iri hati merupakan sifat negatif manusia. Seorang pendengki selalu merasa iri hati melihat kebahagiaan dan kesenangan orang lain. Ketika melihat sesuatu yang baik dan menarik pada diri orang lain, ia berharap agar semua itu segera hilang darinya.

Pada umumnya, pendengki semacam itu tak punya kemampuan apapun, baik untuk merenggut kelebihan yang dimiliki orang lain ataupun membayangkannya. Dia terus-menerus mendongkol dan menggerutu, serta akan terus dibakar dalam kobaran api kedengkian siang dan malam.

Seorang pendengki jauh dari ketenteraman dan kebahagiaan hidup di dunia, serta merasa tertekan dan menganggap kebahagiaan yang dikecap orang lain sebagai penyebab kesengsaraan hidupnya.

Nabi Islam saw menyabdakan, "Seorang pendengki adalah orang yang paling sengsara di antara kaumnya."_[15]

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. mengatakan, "Iri hati mengakibatkan kehidupan seorang pendengki menjadi suram."_[16]

" Seorang pendengki tak pernah mendapatkan kebahagiaan dan kesenangan ."_[17]

Kedengkian menimbulkan dampak yang sangat berbahaya pada urat syaraf dan jantung seseorang sehingga membuatnya sakit-sakitan dan lemah.

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. mengatakan, "Seorang pendengki selalu lemah dan rapuh (fisiknya)."_[18]


Akibat Kedengkian
Kedengkian melemahkan akar-akar keimanan seseorang dan menjerumuskannya dalam dosa dan kekafiran. Kebanyakan kasus pembunuhan, perkelahian, dan berbagai perbuatan kriminal lainnya merupakan akibat dari iri hati dan dengki.

Kadangkala, seorang pendengki memfitnah orang yang didengkinya seraya menyebarkan desas-desus dan tudingan palsu tentangnya. Terkadang pula ia merusak barang-barang orang lain.

Imam Muhammad Baqir as. mengatakan, "Kedengkian memusnahkan keimanan sebagaimana api memusnahkan minyak."_[19]

Kedengkian merupakan salah satu sifat manusia. Nyaris tak ada orang yang tidak memiliki sifat ini.

Nabi Islam saw mengatakan, "Terdapat tiga hal yang tak seorang pun tidak memilikinya: pikiran-pikiran jelek, perilaku buruk, dan kedengkian."_[20]

Karena itu, sifat jahat ini harus dikekang dan dienyahkan dengan sekuat tenaga. Jangan sampai sifat buruk ini tumbuh subur dan berkembang dalam diri seseorang. Bila dibiarkan hidup sehingga menjadi bagian dari watak seseorang, niscaya benih kedengkian akan tumbuh dengan cepat dan mengakar.

Keadaannya akan sedemikian rupa, sampai-sampai upaya untuk mengenyahkannya menjadi mustahil. Saat terbaik untuk menumbuhkan sifat yang baik dan mengenyahkan sifat buruk pada diri seseorang adalah masa kanak-kanaknya.


Cabut Akarnya dari Masa Kanak-kanak
Unsur kedengkian pun akan tumbuh dalam diri seorang anak. Dengan perlakuan dan perhatian yang layak pada sang anak, orang tua niscaya dapat menghilangkan benih penyakit dengki yang muncul dalam perilakunya saat itu. Bila orang tua memperlakukan seluruh anak-anaknya dengan adil, tanpa pilih kasih, niscaya persoalan saling dengki di antara anak-anaknya tak akan muncul.

Pakaian, makanan, dan lainnya yang digunakan anak-anak harus sama dalam hal kualitas dan harganya. Mereka harus memperhatikan betul masalah kesamaan dalam hal uang saku dan perlakuan umum terhadap anak-anaknya.

Jangan sampai orang tua secara berlebihan membanding-bandingkan kemampuan anak-anaknya di depan mereka atau di hadapan selainnya. Sebab, besar kemungkinan, anak-anak akan mempelajari perbandingan yang dilakukan. Sikap semacam itu akan membuat anak yang paling lemah merasa tertekan dan benar-benar tidak memiliki kemampuan.

Orang tua yang bodoh menyangka bahwa dengan cara tersebut, mereka sedang mendidik anak-anaknya. Sebaliknya malah, mereka tak akan pernah mencapai tujuannya dan sedang menyiramkan minyak ke kobaran api.

Jiwa anak yang masih suci akibatnya memperoleh gambaran tentang kedengkian dan kebencian, lalu terdorong untuk mengobarkan permusuhan. Karenanya, semua itu hanya akan mengakibatkan munculnya rasa dengki seorang anak pada saudara-saudara kandungnya sendiri.

Orang tua seyogianya jangan pernah membandingkan anak-anaknya satu sama lain atau dengan selainnya. Misalnya, dengan memuji-muji anak-anak yang lain di hadapan anak-anaknya. Tak layak bagi orang tua untuk mengatakan kepada anak-anaknya, "Betapa baik kelakuan, budi bahasa, dan kemauan belajar anak tetangga kita. Betapa patuhnya ia yang suka membantu ibunya.

Orang tuanya benar-benar beruntung memiliki anak seperti dia." Orang tua semacam itu harus mengerti bahwa tipe perbandingan semacam ini akan melukai perasaan si anak dan menimbulkan dampak yang berbahaya. Alih-alih membenahi dirinya, si anak malah akan makin keras kepala dan berkeinginan untuk membalas dendam.

Orang tua harus benar-benar menghindari dari membanding-bandingkan anak-anak. Selalu ada sejumlah anak yang lebih pandai atau lebih cerdas dari yang lain. Karenanya, boleh jadi orang tua lebih menaruh perhatian pada salah seorang anak ketimbang pada anak-anak yang lain. Sikap semacam ini tidak keliru dan bersifat naluriah.

Tapi, dalam pembicaraan dan tindakan, jangan sampai mereka menunjukkan pembedaan apapun di antara anak-anak. Mereka harus memperlakukan sama semua anak-anaknya. Bila mereka ingin memberikan perlakuan khusus terhadap anak tertentu, seyogianya itu dilakukan saat anak-anak yang lain tak ada di hadapannya.

Bahkan, bila orang tua benar-benar cermat dalam memberikan perlakuan yang adil terhadap seluruh anak-anaknya, unsur kedengkian yang merupakan sifat naluriah manusia, tetap akan muncul dalam diri anak-anak pada tingkat tertentu.

Setiap anak berharap menjadi anak kesayangan orang tuanya, sementara yang lain tidak. Tatkala melihat orang tuanya mempelihatkan sikap semacam itu pada saudara kandungnya, ia akan sebentar saja merasa dengki. Lalu, si anak berangsur-angsur akan memahami bahwa dirinya harus berbagi kasih sayang orang tua dengan saudara-saudaranya.

Anak-anak yang lain juga memiliki hak atas orang tuanya. Dengan cara yang bijak, orang tua mampu mengatasi situasi ini seraya menjadikan si anak menerima saudara-saudaranya yang lain dan mencegahnya terus-menerus bersikap dengki atau cemburu.


Berlaku Adil dalam Penuhi Kebutuhan Anak
Bila Anda melihat bahwa anak Anda mendengki saudara kandungnya karena beberapa alasan (misal, ia mengganggu, mencubit, melontarkan kata-kata kasar, atau merebut buah-buahan dan gula-gula milik saudaranya), maka itu berarti, ia membutuhkan perhatian Anda dalam porsi lebih besar. Anda seyogianya tidak menutup mata terhadap aktivitas-aktivitas si anak tersebut.

Anda harus memberi kesan kepadanya bahwa ia sedang tumbuh besar dan adik kecilnya membutuhkan perhatian lebih besar ketimbang dirinya. Anda juga harus mengatakan kepadanya bahwa ketika ia masih kecil seperti adiknya sekarang, ia juga menuntut dan menerima perhatian yang lebih. Ketimbang berupaya membenahi sikapnya secara keras, berilah kesan pada si anak bahwa anak-anak yang masih kecil itu adalah saudara lelaki dan saudari perempuannya sendiri.

Anda dapat mengatakan pada si anak, "Mereka (saudara atau saudarinya) juga mencintaimu. Kalau bukan kamu, siapa lagi yang akan mencintai mereka? Kamu harus melindungi mereka bila seseorang berusaha menyakitinya. Allah telah menganugerahkan kamu saudara dan saudari yang elok seperti mereka, karenanya kamu harus bersyukur…."

Kesimpulannya, perlu diketahui bahwa mempertahankan perlakuan yang benar-benar adil kepada semua anak barangkali merupakan sebuah dambaan.

Bagaimana mungkin orang tua mampu memperlakukan anak lelaki, anak perempuan, anak-anak yang tua dan yang muda, dengan cara yang sama? Anak-anak yang lebih tua secara umum dapat diberi kebebasan lebih besar. Tapi, anak-anak yang lebih muda harus diberi perhatian lebih besar. Anak-anak yang lebih tua akan mendapat uang saku lebih besar. Sementara anak-anak yang lebih muda membutuhkan perlindungan lebih besar.

Anak-anak lelaki umumnya diberi kebebasan bergerak ketimbang saudari-saudari perempuannya. Karena itu, sembari memperhatikan betul kebutuhan akan keadilan dan kebebasan, para orang tua harus menggunakan pendekatan yang berbeda bagi anak-anak lelaki dan anak-anak perempuannya. Perlakuan ini mungkin sulit diterima anak-anak.

Namun demikian, orang tua harus secara tepat menjelaskan kepada anak-anaknya bahwa mereka (orang tua) memliki sikap yang sama terhadap seluruh anak-anaknya, namun norma-norma perilaku bagi masyarakat dibedakan menurut perbedaan jenis kelamin dan usia.

Kendatipun kecemburuan dan kedengkian merupakan sifat yang sangat tidak diinginkan di mata Islam, dan kenyataannya dianggap sebagai perbuatan dosa, semangat berkompetisi dan persaingan merupakan bagian dari upaya dan perjuangan bagi perkembangan manusia.

Perbedaan antara kecemburuan atau kedengkian dengan persaingan adalah bahwa seseorang menjadi saingan yang lain untuk saling mengadu dan mendahului dalam mencapai sesuatu; tapi orang yang dengki hanya merasa iri hati namun tak mampu bersaing dan mengalahkan saingannya. Persaingan dalam setiap lapangan aktivitas merupakan fenomena yang sehat. Peradaban manusia akan mandek tanpa persaingan dan kompetisi.


Seseorang menuliskan:
" Saya punya seorang saudari perempuan yang usianya dua tahun lebih tua dari saya. Orang tua saya lebih mencintai saya ketimbang saudari saya itu.

Apapun yang saya inginkan, mereka langsung memenuhinya. Di setiap kesempatan, mereka selalu memuji-muji saya dan sama sekali mengabaikan saudari saya. Saudari saya selalu memarahi saya. Kapan pun punya kesempatan, ia akan memukul dan mencubit saya, seraya mengejek saya dan merusak mainan-mainan kesayangan saya.

Ia tak pernah menginginkan saya bahagia barang sebentar saja. Saya lalu berpikir, mengapa saudari saya sedemikian menggangu saya? Apa salah saya kepadanya? Ia sangat dengki kepada saya dan barangkali sikap pilih kasih orang tua merupakan alasan bagi kebenciannya ini. Orang tua tak pernah menyadari bahwa disebabkan sikap pilih kasihnya, saudari saya berupaya melampiaskan rasa dendamnya kepada saya.

Sekarang, setelah orang tua saya sudah tidak ada lagi, saudari perempuan saya bersikap sangat baik kepada saya. Ia sangat merasa sedih bila saya sedikit saja merasa gelisah."




46. NAFSU AMARAH
Nafsu amarah dan kegusaran merupakan bagian dari sifat manusia. Sifat-sifat tersebut merupakan insting dasar setiap orang. Fenomena ini muncul dari jiwa dan pikiran seorang individu. Lalu, ia mengambil bentuk nyala api dan menyelimuti seluruh tubuhnya, sehingga mengakibatkan mata dan raut wajahnya memerah, anggota tubuhnya bergetar, dan buih keluar dari mulutnya.

Akal sehat umumnya lepas dari kendali orang yang sedang diliputi rasa amarah. Kecerdasannya juga hilang untuk sementara waktu. Dalam keadaan demikian, akan sulit menemukan perbedaan antara dirinya dengan orang gila. Dalam kondisi mabuk semacam ini, ia barangkali akan melakukan tindakan-tindakan yang bakal membuatnya menyesal seumur hidup .

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. mengatakan, "Jauhilah amarah, karena ia mulai dengan kegusaran dan berakhir dengan penyesalan mendalam."_[21]

Imam Ja`far Shadiq as. mengatakan, "Amarah merupakan kunci segala penyakit."_[22]

Kemarahan juga sangat berbahaya bagi kebajikan dan keimanan seseorang. Ia dapat menghapuskan segenap amal salehnya dan menjadikannya seorang pendosa.

Nabi Islam saw menyabdakan, "Kemarahan menghancurkan kebajikan seseorang sebagaimana cuka menghancurkan madu yang baik."_[23]

Dalam keadaan marah, seseorang biasa melontarkan kata-kata yang tidak senonoh dan tindakannya sedemikian rupa sehingga menjadikan martabatnya jatuh di mata orang lain.

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. mengatakan, "Nafsu amarah merupakan teman buruk yang membuka aib seseorang. Ia mendekatkannya pada kejahatan dan mencerabutnya dari kebajikan."_ [24]

Kemarahan terus-menerus dapat mempengaruhi jiwa dan urat syaraf seseorang serta membuatnya lemah dan tak bertenaga. Karena itu, orang yang berupaya menjaga nama baik, kesehatan, dan kesalehannya harus sekuat tenaga menundukkan rasa amarahnya yang buruk, kalau tidak, ia (rasa amarah) akan merusak urat syaraf, nama baik, dan keimanannya.


Marah Itu Pada Tempatnya
Namun demikian, harus pula dicamkan bahwa rasa amarah bukan tak ada gunanya dan selalu berbahaya dalam semua keadaan. Pada saat-saat tertentu, ia boleh diumbar dan dapat membuahkan keuntungan. Ia harus digunakan secara bijaksana ketika situasinya memang menuntut. Naluri ini hanya membantu seseorang untuk melindungi kehidupan dan hartanya dari para perusak dan unsur-unsur kejahatan.

Ketika seseorang harus melindungi keimanannya, negaranya, atau membela kemanusian secara umum, naluri kemarahan akan menjadi bagian dari semangat kepahlawanannya.

Tanpa kemunculan naluri semacam ini, seseorang akan berada dalam kedudukan pengecut yang menundukkan kepalanya di hadapan berbagai penghinaan atau perlakuan buruk dari selainnya. Bila naluri kemarahan tetap berada dalam kendali naluri kebijaksanaan, niscaya ia dapat menjadi modal yang berharga bagi seseorang.

Rasa amarah menjadikan seseorang mampu ikut ambil bagian dalam tugas-tugas yang sulit, seperti berjuang mempertahankan negara, menghidupkan keimanan (amar makruf nahi mungkar), serta melindungi keluarga.

Seorang Muslim yang saleh dan bertanggung jawab tak akan tinggal diam sewaktu menyaksikan kezaliman, ketidakadilan, kediktatoran, dosa-dosa yang terus menerus dilakukan, imperialisme, kolonialisme, dan sebagainya.

Islam mengizinkan umatnya untuk berdiri tegak dan melawan kekuatan-kekuatan tersebut dengan gagah berani dan penuh ketenangan hati. Dalam situasi semacam itu, bagaimana pun, kemarahan seyogianya tidak sampai mengalahkan nasihat yang bijak.

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. mengatakan, "Bila engkau menjadi pengikut nafsu amarah, ia akan membawamu pada kebinasaan."_[25]

Tidaklah dibenarkan untuk sama sekali menekan naluri keamarahan dan menjadikan umat manusia tidak peka, tak punya keprihatinan, dan tak punya rasa malu. Apa yang dituntut adalah kebutuhan untuk menghindari ungkapan kemarahan yang serba berlebihan. Ini dimungkinkan dengan mendidik dan mengasuh anak-anak muda dengan cara tepat.


Amarah Anak Cerminan Orang Tua
Sebagaimana naluri lain dalam diri seseorang, nafsu amarah juga sudah ada dalam bentuknya yang belum sempurna sejak usia paling kanak-kanak. Kekuatan amarah dalam diri seseorang merupakan cerminan dari pola pengasuhan yang dialaminya, dan pengaruh lingkungan tempat tinggalnya. Bila orang tua mampu mempertahankan nafsu amarah pada tingkat menengah (moderate) dalam segenap urusannya, niscaya sang anak juga akan mempelajari dan mengikutinya.

Anak-anak dari orang tua yang mudah tersinggung dan suka marah-marah juga akan belajar bersikap sama bagi kehidupannya di masa mendatang.
Seorang anak terkadang berteriak dan menjerit marah, tubuhnya gemetar, rona mukanya berubah, menghentakkan kakinya ke tanah, berguling-guling di lantai, melontarkan kata-kata kasar, dan berupaya menyembunyikan dirinya di salah satu sudut ruangan.

Namun, seluruh ulah si anak tersebut boleh jadi bukan semata-mata sebuah lelucon untuk mengundang tawa. Itu mungkin saja sebuah kemarahan dan orang tua harus menyelidiki penyebabnya dan berupaya menghilangkannya. Kemarahan pasti muncul disebabkan adanya kecemasan atau kegelisahan.

Rasa sakit yang berlebihan, kelelahan, kurang istirahat, rasa lapar, rasa dahaga yang tak terkira, atau cuaca dingin dan panas, membuat si anak merasa gelisah dan memunculkan rasa marah. Melakukan hal-hal yang bertentangan dengan keinginan si anak, mengekang kebebasannya dalam bergerak, perasaan bahwa orang tuanya memberi perhatian yang tidak semestinya kepada anak-anak yang lain, menyuapinya dengan cara paksa, dapat mengakibatkan si anak gelisah dan marah.

Beberapa orang tua, dengan cara halus, mengajarkan anak-anaknya untuk marah. Mereka suka berteriak kepada anak-anaknya dan terlalu bersikap keras. Bila si anak marah-marah, mereka (orang tua) cenderung membalasnya dengan kemarahan ketimbang berupaya menenangkannya.


Bila si anak lapar dan haus, berikan sesuatu untuk dimakan dan diminum. Bila ia lelah, bantu dirinya untuk tidur. Bila si anak marah karena tindakan Anda, berupayalah untuk memperbaikinya. Bila kemarahan si anak disebabkan oleh pikiran melantur, tenangkan dirinya dengan meninabobokannya dan berkata-kata manis kepadanya.

Bila si anak marah karena butuh sesuatu, upayakanlah untuk mencari dan memenuhi apa yang dibutuhkannya itu. Ketika kondisi si anak kembali normal, katakan kepadanya bahwa ia tak perlu menangis atau marah-marah demi mendapatkan sesuatu.

Yakinkan dirinya bahwa ia hanya diharuskan meminta sesuatu, dan bila itu baik baginya, niscaya akan diberikan kepadanya. Juga, peringatkan dirinya bahwa bila ia menangis dan berkelakuan tak pantas pada masa mendatang, keinginannya mungkin tak akan dipenuhi.

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. mengatakan, "Berhati-hatilah terhadap kemarahan; kalau tidak, ia akan menguasaimu dan menjadi sebuah kebiasaan."_[26]
Anak-anak yang gampang tersinggung menjadi marah hanya lantaran alasan-alasan sepele, karena mereka memang tidak punya kepribadian yang kuat. Mereka cenderung tak tahan terhadap sesuatu yang tak diinginkan dan mudah terpengaruh gangguan kecil sekalipun dan menjadi marah .


Catatan Kaki:
[15] Mustadrak al-Wasâ`il, jil.2, hal.327.

[16] ibid., hal.328.

[17] ibid., hal.327.

[18] ibid., hal.328.

[19] ash-Shâfî, jil.1, hal.173.

[20] Al-Mahajjat al-Baydha, jil.3, hal.189.

[21] Mustadrak al-Wasâ`il, jil.12, hal.326.

[22] Ushûl al-Kâfî, jil.2, hal.303.

[23] ibid., hal.302.

[24] Mustadrak al-Wasâ`il, jil.2, hal.326.

[25] ibid., hal.226.

[26] Ghurar al-Hikam, hal.809.

27
ANAKMU AMANATNYA

47. BERKATA-KATA BURUK DAN KETIDAKSOPANAN
Melontarkan kata-kata buruk dan berbicara tidak sopan merupakan kebiasaan yang sangat buruk. Orang-orang yang melontarkan cercaan terhadap apapun yang terlintas di benaknya jarang menjaga kata-katanya.

Pikiran mereka sangat plin-plan. Mereka melontarkan kata-kata buruk dan berusaha mencari-cari kesalahan orang lain tanpa alasan yang masuk akal. Mereka terus menerus menyakiti orang lain dengan kata-kata yang tak bertanggung jawab.


Perhatikanlah Perkataan Anda!
Melontarkan kata-kata buruk hukumnya haram dan dipandang sebagai dosa besar. Rasulullah saw bersabda, "Allah mengharamkan surga bagi orang-orang yang suka melontarkan kata-kata buruk. Terkutuklah orang-orang yang suka mencaci-maki, tak punya rasa malu, dan tak mengenal sopan-santun, dan mereka akan dicegah dari memasuki surga.

Apapun yang dikatakan seseorang yang suka mencaci-maki tentang orang lain, ia melakukannya tanpa memikirkannya dan tak pernah peduli terhadap pandangan orang lain terhadapnya."_[27]

Imam Ja`far Shadiq as. mengatakan, "Sumpah serapah, berkata-kata kotor, dan ketidaksopanan merupakan tanda-tanda kemunafikan dan ketiadaan iman."_ [28]

Dalam al-Quran suci, Allah Swt memfirmankan: Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela. (QS. al-Humazah: 1)

Orang-orang yang suka berkata-kata buruk umumnya merasa rendah diri dan berpikiran picik. Mereka menjadikan orang-orang sebagai musuhnya dengan melontarkan kata-kata tidak senonoh. Orang-orang juga tidak menyukai mereka serta berusaha menjauhi dan enggan berteman dengan mereka.

Rasulullah saw menyabdakan, "Orang paling buruk adalah orang yang kata-katanya tidak disukai orang-orang dan mereka berusaha menjauhinya."_[29]

Imam Ja`far Shadiq as. mengatakan, "Ketika orang-orang tak suka mendengar perkataannya, seseorang akan masuk neraka."_[30]

Nabi saw berkata, "Seorang Mukmin tak akan mencela, mengecam, dan menyakiti selainnya."_ [31]


Akarnya Baik, Cabangnya Baik
Pada dasarnya, seorang anak tidak cenderung berkata-kata kotor. Ia barangkali mempelajarinya dari orang tuanya, saudara lelaki dan perempuannya, atau teman-teman sekolah dan teman-teman bermainnya. Namun, pengaruh paling maksimal berasal dari kedua orang tuanya.

Orang tua dapat menjadi contoh paling efektif bagi anak-anak. Mereka tak hanya bertanggung jawab atas perilakunya sendiri tetapi juga memiliki tanggung jawab yang sangat penting dalam melatih anak-anaknya secara tepat. Orang tua sendirilah yang dapat menjadikan anak-anak santun dan lemah-lembut ataupun bermulut lancang.

Beberapa orang tua, baik dalam keadaan bergurau atau dalam kemarahan, suka melontarkan kata-kata yang buruk kepada anak-anaknya. Dengan cara serampangan ini, mereka sebenarnya sedang memberi pengasuhan yang keliru kepada anak-anak. Terdapat sejumlah rumah tangga yang di dalamnya penggunaan kata-kata buruk telah menjadi sebuah kelaziman.

Kata-kata, seperti 'anak anjing', 'induk anjing', 'bodoh', 'idiot', 'dasar keledai buta', 'binatang', 'tak punya malu', dan sejenisnya merupakan sebutan yang dilontarkan satu sama lain dalam rumah tangga semacam itu, baik dimaksudkan untuk bergurau atau sebagai ungkapan sungguh-sungguh dalam keadaan marah.

Orang tua yang semestinya melindungi anak-anaknya yang masih lemah, malah melakukan tindakan keliru semacam itu dan mendorong anak-anaknya untuk mencontoh mereka. Mereka tanpa pikir-pikir lagi saling mencemooh dan menyebut nama satu sama lain (antara ayah dan ibu) di hadapan anak-anak.

Orang tua suka mencemooh anak dan menggunakan bahasa yang tidak senonoh sewaktu berbicara dengannya.

Bagaimana mungkin orang tua semacam itu mengharapkan anak-anaknya akan tumbuh besar menjadi sosok dewasa yang santun dan bertanggung jawab?

Mereka seyogianya menyadari bahwa si anak mungkin sekali ingin membuktikan dirinya lebih buruk ketimbang mereka sendiri. Semestinya mereka juga ingat bahwa cepat atau lambat, mereka akan menjumpai si anak mengumbar kata-kata yang sama, yang pernah didengarnya dari kedua orang tuanya. Bila keadaannya sudah sedemikian, niscaya berbagai nasihat atau pukulan tak akan mampu memperbaikinya.

Obat paling baik untuk itu adalah bahwa orang tua lebih dulu memperbaiki dirinya sendiri pada saat yang tepat sebelum segalanya menjadi terlambat.

Namun demikian, acapkali anak-anak mempelajari kebiasaan buruk ini dari teman-teman sebayanya. Karena itu, orang tua harus membuka mata dan telinganya lebar-lebar terhadap perilaku buruk semacam itu pada anak-anaknya dan mengenyahkannya sedini mungkin. Mereka harus meminta kepada anak-anaknya untuk sebisa mungkin menjauhi anak-anak semacam itu.

Bila Anda pernah memergoki anak Anda melontarkan kata-kata buruk, janganlah tersenyum kepadanya dan berusahalah tetap diam. Toh, teriakan dan bentakan tak akan mengatasi situasi semacam itu-kalau bukan malah akan makin memperkeruh suasana.

Cara terbaik untuk mengoreksi si anak adalah dengan mengajaknya berbicara secara lembut seraya menjelaskan kepadanya tentang pengaruh buruk dari melontarkan kata-kata tidak senonoh.




48. MENGGUNJING ATAU MENYEBAR ISU

Kebiasaan Buruk
Menggunjing merupakan kebiasaan yang sangat buruk. Namun sayang, kebiasaan tersebut sangat lazim di tengah masyarakat. Bila seseorang mengatakan sesuatu tentang seseorang yang lain, seorang penggunjing akan menggunjingkannya kepada orang lain seraya mengatakan bahwa si fulan mengatakan begini-begitu tentangnya.

Menggunjing merupakan tanda-tanda kepengecutan dan kejahatan. Hal ini dapat menciptakan keretakan di tengah orang-orang yang saling bersahabat baik. Banyak kejahatan, pertengkaran, permusuhan, pembunuhan, dan perseteruan merupakan hasil dari kesalahpahaman di antara orang-orang yang terlibat akibat gunjingan. Kedamaian hidup sejumlah rumah tangga juga porak-poranda akibat ulah bejat semacam itu.

Para suami dan istri bercerai, kawan menjadi lawan, orang tua berbalik memusuhi anak-anaknya sendiri, utamanya diakibatkan oleh gunjingan yang dilakukan beberapa orang yang tak punya otak dan berkelakuan buruk.

Ketika perbuatannya terbongkar, seorang penggunjing akan diusir dari semua tempat dan orang-orang sangat benci melihat wajahnya. Bahkan, mereka akan mengutuknya dan berharap agar ia binasa. Gunjingan paling keji adalah yang dilakukan mata-mata yang bekerja demi kepentingan penguasa yang zalim.

Bila seseorang menjadi mata-mata bagi pihak yang zalim dan karenanya seorang yang saleh menghadapi kesulitan, dan mengalami cacat tubuh atau kematian akibat disiksa, maka si penggunjing akan sama-sama dianggap bertanggung jawab sebagaimana orang durjana tersebut (mata-mata) yang bekerja sama dengannya untuk melakukan tugas (mata-mata) yang jahat ini.

Mereka akan diganjar hukuman berat di Hari Pengadilan, sekalipun, dalam hal ini, si penggunjing tidak terlibat secara langsung dalam tindakan penyiksaan fisik orang yang tak berdosa.

Nabi Islam saw mengatakan, "Orang yang paling buruk adalah orang yang memata-matai saudara Muslimnya dan melaporkannya kepada raja (: penguasa).

Tindakan memata-matai ini sangat buruk baginya, bagi si sahabat yang telah melaporkannya, dan juga bagi sang raja."_[32]

Islam telah menyatakan bahwa tindakan memata-matai dan menggunjing hukumnya haram. Terdapat banyak riwayat dari Nabi saw dan para imam yang berkenaan dengannya.

Imam Muhammad Baqir as. mengatakan, "Seorang penggunjing akan dicegah dari memasuki surga ."_ [33]

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. mengatakan, "Orang yang paling keji dan jahat di antara kalian adalah mereka yang melakukan gunjingan dan menciptakan perselisihan di antara sahabat-sahabatnya serta membuka aib orang-orang yang baik ."_[34]


Sebab Pergunjingan
Terdapat banyak sebab bagi dilakukannya gunjingan. Permusuhan, misalnya. Seorang penggunjing yang memusuhi sekelompok orang akan merasa dengki terhadap hubungan yang terjalin baik di antara mereka. Lalu, ia membuat informasi palsu dan keji tentang salah seorang di antara mereka dan menyampaikannya kepada teman orang tersebut hingga akhirnya mereka terjerumus dalam perangkapnya.

Kadangkala pula seorang penggunjing, sebagai akibat kebiasaannya, menyampaikan infromasi yang menyesatkan dan berbahaya tentang seseorang kepada selainnya demi menciptakan perselisihan yang hebat di antara mereka. Dalam contoh ini, si penggunjing tidak memiliki maksud lain kecuali demi memuaskan keinginan pribadinya. Dalam hal ini, agama Islam melarang keras penganutnya mendengarkan gunjingan.

" Janganlah kalian menggunjing, jangan pula mendengarkan orang yang menggunjing ."_[35]

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib mengatakan, "Tolaklah perkataan seorang penggunjing dan orang yang terlalu ingin tahu."_[36]

Terbukti bahwa bila tak seorang pun ambil peduli terhadap ocehan seorang penggunjing, niscaya ia (penggunjing) akan berhenti melakukan gunjingannya. Sewaktu seseorang menyampaikan isu kepada Anda tentang seseorang yang lain, Anda harus benar-benar yakin bahwa ia (si penyampai isu atau penggunjing) bukanlah teman Anda.

Bila benar-benar teman Anda, ia tentu akan membela Anda selagi orang lain membicarakan sesuatu yang bertentangan dengan kepentingan Anda. Bila seseorang menceritakan sesuatu yang sangat rahasia kepada seorang Muslim yang baik, niscaya ia (si Muslim) tak akan menceritakannya lagi pada orang lain.

Ia akan mengendalikan lidahnya dan tak pernah berupaya memata-matai orang-orang di sekelilingnya.


Wahai Ayah, Wahai Ibu, Anak Itu Meniru!
Banyak orang membawa kebiasaan menggunjing sejak dari masa kecil. Ini merupakan refleksi dari apa yang mereka lihat dan dengar di sekeliling mereka. Karena itu, para orang tua memikul tanggung jawab besar untuk melindungi anak-anak mereka dari kebiasaan menggunjing yang keji. Pertama-tama, orang tua sendiri seyogianya menahan diri dari membicarakan keburukan orang lain.

Sang ibu tidak sepatutnya menggunjing tindakan-tindakan tetangganya atau sanak saudaranya kepada sang ayah. Begitu pula, sang ayah jangan sampai menjelek-jelekkan teman-teman atau kenalannya kepada sang ibu. Sebab, bila orang tua memiliki kebiasaan menjelek-jelekkan orang lain di belakangnya, anak-anak juga akan meniru pembicaraan semacam itu.

Adakalanya seorang anak menjelek-jelekkan ibu dan kakak perempuannya. Dalam kasus semacam ini, tugas si ayah adalah memperbaiki si anak dan memberitahunya bahwa menggunjing merupakan perbuatan yang tidak baik. Si ayah harus mengatakan kepadanya bahwa bila ingin mengatakan sesuatu tentang ibu atau kakak perempuannya, lebih baik ia mengatakannya secara langsung kepada mereka.

Dan katakanlah, "Apa yang kau lakukan itu adalah gunjingan, yang merupakan perbuatan sangat buruk." Bila anak-anak berupaya menggunjing, jangan pedulikan sama sekali untuk sementara waktu dan berupayalah mengalihkan pembicaraan pada hal-hal lain yang bermanfaat.

Nabi Islam saw mengatakan, "Jangan dengarkan penggunjing!"_[37]


Catatan Kaki:
[27] Ushûl al-Kâfî, jil.2, hal. 323.

[28] ibid., hal.325.

[29] ibid.

[30] ibid., hal.327.

[31] Al-Mahajjat al-Baydha', jil.3, hal.127.

[32] Bihâr al-Anwâr, jil.75, hal.266.

[33] Ushûl al-Kâfî, jil.2, hal.369.

[34] ibid., hal.375.

[35] Majma` az-Zawâ`id, jil.8, hal.91.

[36] Ghurar al-Hikam, hal.145.

[37] Ghurar al-Hikam, hal.125.



28
ANAKMU AMANATNYA

49. MENCARI-CARI KESALAHAN
Mencela orang lain dan mencari-cari kesalahannya tanpa alasan merupakan salah satu kebiasaan manusia yang paling buruk. Masyarakat membenci dan menghindari orang-orang bermasalah yang terbiasa mencari-cari kesalahan orang lain. Adakalanya upaya mencari-cari kesalahan ini menyebabkan permusuhan dan perselisihan.

Bila kesalahan seseorang disebut-sebut tatkala dirinya tak ada, maka itu disebut sebagai gunjingan. Adapun bila dilakukan di hadapan orang yang dimaksud, maka itu adalah hinaan yang tak diinginkan siapapun. Agama Islam menggolongkan menggunjing (ghibah) sebagai dosa besar.

Terdapat banyak riwayat yang berkenaan dengannya. Sebagai contoh:

Sewaktu menyampaikan khotbahnya, Rasulullah saw mengatakan dengan nada tegas, "Wahai orang-orang yang mengaku beriman dengan lisannya, namun keimanan belum masuk ke dalam hatinya, janganlah menggunjing dan menjelek-jelekkan kaum Muslim dan janganlah mencari-cari kesalahan mereka. Sebab, terhadap orang yang berusaha mencari-cari kesalahan saudaranya, Allah Swt akan menyingkapkan kesalahannya sendiri dan menjadikannya bahan tertawaan orang lain."_[38]

Imam Ja`far Shadiq as. mengatakan, "Barangsiapa mengatakan sesuatu yang menjatuhkan martabat seorang Mukmin, Allah Swt akan mengeluarkannya dari kelompok sahabat-sahabat-Nya dan memasukannya ke dalam kelompok setan yang juga akan menolak menerimanya sebagai teman."_ [39]

Nabi Islam saw bersabda, "Barangsiapa menggunjing lelaki atau perempuan yang beriman, Allah Swt tak akan menerima ibadah shalat dan puasanya selama 40 hari, hingga ia dimaafkan orang yang digunjingnya."_[40]

Imam Ja`far Shadiq as. mengatakan, "Menggunjing dan mencari-cari kesalahan adalah haram. Semua itu membinasakan amal kebajikan seseorang sebagaimana api membakar minyak ."_ [41]


Kebiasaan Buruk yang Merata
Sayang, dosa besar semacam ini telah menjadi kebiasaan sehari-sehari masyarakat kita. Kebiasaan tersebut telah mencapai takaran sedemikian, sehingga masyarakat tak lagi menganggap bahwa mereka sedang melakukan dosa menggunjing dan mencari-cari kesalahan selainnya.

Misal, seorang ibu menjelek-jelekkan sang ayah, dan sebaliknya, sang ayah berupaya mencari-cari kesalahan sang ibu. Atau para tetangga dan sanak kerabat tak henti-hentinya menyebut-nyebut kesalahan satu sama lain.

Dengan demikian, anak-anak yang tak berdosa meniru kebiasaan menjijikkan ini dari orang tua dan lingkungan rumahnya. Anak-anak lalu menggunjing anak-anak yang lain. Akibatnya, ketika tumbuh dewasa, mereka akan sulit mengelak dari kebiasaan buruk ini.

Beberapa orang tua biasa memanjakan dan memuji anak-anaknya setinggi langit. Sementara, kenyataannya, mereka membutuhkan kejelasan tentang berbagai kekurangan dirinya. Kadangkala orang tua secara keliru memuji si anak tentang sesuatu yang tak dapat diraihnya demi menertawakan kegagalannya.

Dalam situasi semacam ini, anak-anak mungkin akan berbalik memusuhi orang tuanya. Atau bahkan mereka akan memiliki kebiasaan melakukan kebohongan secara terang-terangan. Mereka juga akan menjadi korban kompleks rendah diri. Karenanya, alangkah lebih baik bila orang tua tidak membicarakan kegagalan anak-anak seraya menertawakannya.





50. MENCARI KEBENARAN
Ketika lahir, seseorang belum menyadari keadaan dunia di sekitarnya. Ia belum mampu membedakan yang satu dengan yang lain. Ia belum dapat mengenali rupa, warna, dan orang. Ia hanya dapat mengambil kesan dari wajah dan suara di sekitarnya, namun belum mampu memahami dan mengenali satu sama lain.

Namun, setelah itu, ia akan mulai mengembangkan kemampuan mengenali manusia dan benda. Ia akan melihat ke sekelilingnya, dan memberikan ekspresi senang ketika melihat wajah-wajah di sekitarnya. Melalui indra dan insting belajarnya, anak akan secara berkelanjutan memperoleh pengetahuan seputar apa yang ada di sekelilingnya.

Allah Swt berfirman, Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur. (QS. an-Nahl: 78)

Setelah beberapa waktu, anak mulai memperhatikan dunia di sekitarnya. Ia mulai memegang benda-benda, menggerakkan dan melemparnya. Terkadang, ia juga memasukkan benda-benda itu ke mulutnya. Ia pun mulai tertarik ke arah suara di sekitarnya. Ia juga mulai mengamati tingkah laku orang.


Penuhilah Insting Mereka
Dengan semua itu, anak memuaskan instingnya dalam mencari kebenaran. Allah telah memberikan kemampuan mencari dan menyelami kepada umat manusia, sehingga dapat mencoba menyibak misteri alam semesta. Anak memiliki insting ini, dan mulai mewujudkannya sejak awal kehidupannya. Dengan demikian, orang tua dapat mengarahkan dan mendorong insting ini, atau justru malah mengekangnya dengan perbuatan negatif mereka.

Bila orang tua menolong anak dengan mendorong keinginannya mencari dan memberinya kebebasan untuk menyelidiki, maka mereka akan mencetak kemajuan pengetahuannya. Ini dapat menjadi awal dari penelitian ilmiah dan penemuan di masa depannya.

Namun, bila orang tua lalai terhadap insting anak itu, sehingga mengekang hasrat keingintahuan anak dan mencegahnya dari melakukan eksperimen, maka semangat untuk mencari akan lenyap dari jiwanya .

Tahap penting dalam kehidupan anak adalah ketika ia mulai menanyakan berbagai hal. Usia dua tahun ke atas merupakan usia di mana anak mulai banyak bertanya. Anak bertanya pada orang tua, kapan dirinya menjadi seorang ibu atau ayah?

Mengapa ayah pergi setiap hari pada waktu tertentu? Mengapa batu itu keras dan air itu lembut? Mengapa ia harus pergi ke rumah nenek? Mengapa ia tak boleh main di luar saat hujan? Mengapa ikan tidak mati dalam air? Mengapa ayah dan ibu mengerjakan shalat lima kali sehari?

Apa itu shalat? Kemana matahari pergi saat malam? Dari mana hujan dan salju itu berasal? Apa itu bintang? Siapa yang membuatnya? Apa manfaat lalat dan ikan? Ketika kakek meninggal, mengapa ia dikubur dalam tanah? Kemana ia pergi? Kapan ia akan kembali? Apa kematian itu? Kurang lebih, anak akan menanyakan hal-hal tersebut.

Semakin tumbuh besar, seorang anak makin gencar melontarkan berbagai pertanyaan yang berbeda. Anak cerdas akan menanyakan banyak dan beraneka-ragam pertanyaan. Ketika pengetahuannya bertambah, ia mulai menanyakan pertanyaan-pertanyaan rumit.

Anak mencoba mempelajari hal-hal di sekitarnya melalui pertanyaan. Ia ingin mengambil manfaat dari pengetahuan dan pengalaman orang lain. Dorongan mencari dan menyelidiki adalah insting manusia yang terpenting, yang menjadikannya memperoleh prestasi tinggi di segala bidang aktivitas. Manusia dapat menyibak misteri alam semesta dengan upaya berani dalam proses penelitian dan eksplorasi.

Orang tua yang menyadari bahwa insting anak untuk menyelidiki sesuatu itu memerlukan dukungan agar pengetahuannya memperoleh kemajuan demi masa depan yang gemilang, akan memberikan dukungan penuh dan perhatian padanya selama masa-masa awal kehidupannya.


Jangan Remehkan Keingintahuan Anak
Beberapa orang tua menganggap pertanyaan anak itu tidak penting dan hanya buang-buang waktu. Mereka bahkan mencemooh anak agar berhenti mengajukan pertanyaan. Mereka mengatakan padanya, "Jangan terlalu banyak bertanya.

Kalau sudah besar nanti, kau akan mengetahui sendiri apa yang kau tanyakan sekarang!" Orang tua semacam ini telah membungkam insting anak yang paling berharga melalui keengganan menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.

Tanpa disadari, mereka telah menjadi penyebab turunnya semangat anak dalam memperoleh pengetahuan. Sehingga, di kemudian hari, mereka pun akan mengeluh bahwa anak mereka tak dapat menguasai pelajaran dan disiplin ilmu lainnya.

Selain itu, beberapa orang tua-demi menyenangkan anak-mau menjawab pertanyaan-pertanyaannya, namun tak pernah memastikan ketepatan jawabannya. Tujuannya adalah sekedar mendiamkan anak dengan beberapa jawaban tersebut. Ketika anak kemudian mengetahui bahwa orang tuanya telah memberikan jawaban yang keliru, ia pun akan merasa kesal. Ini kemungkinan akan menyebabkan anak selalu curiga pada orang lain.

Orang tua yang bijaksana dan bertanggung jawab akan memperhatikan tugas mereka memberikan jawaban yang benar atas pertanyaan-pertanyaan anak, dan mendorong instingnya mencari tahu tentang hal-hal yang ada di sekelilingnya. Mereka mempersiapkan diri dengan membayangkan pertanyaan yang mungkin diajukan anak dan mencari jawaban yang mungkin bagi pertanyaan tersebut.

Mereka tak pernah mengatakan sesuatu pada anak yang bertentangan dengan kenyataan sebenarnya. Bila saat itu tak mengetahui jawaban yang benar, mereka akan berterus-terang dan mencoba mencari jawabannya untuk disampaikan kemudian. Cara ini akan melatih anak untuk berterus terang ketika menghadapi situasi yang sama.


Jadilah Teman Diskusi Bagi Anak
Terkadang, beberapa orang tua memberikan jawaban terperinci yang tak perlu kepada anak. Ini juga tidaklah semestinya. Pengalaman membuktikan bahwa anak tidak ingin mendengarkan jawaban panjang. Meskipun anak menginginkan jawaban atas pertanyaannya, namun jawaban panjang akan membuatnya lelah.

Orang tua juga harus membiasakan anak untuk berdebat dan berdiskusi saat dirinya tumbuh besar. Ketika diperlukan, mereka harus membantunya bereksperimen. Anak juga manusia berpikir, yang memerlukan dorongan pada proses berpikirnya sehingga dapat memanfaatkan kemampuannya dan mempersiapkan dirinya bagi masa depan kehidupannya.

Imam Ali bin Abi Thalib berkata, "Seseorang yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan di masa kecilnya, akan cakap dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan ketika dewasa ."_[1]

Beliau juga berkata, "Hati anak itu seperti tanah yang subur. Apapun yang kalian masukkan ke dalamnya akan diterima."_[2]


Seorang wanita menulis dalam suratnya:
" Suatu malam, ayah pulang dan memberikan sebuah teka-teki kepadaku. Ia juga mengatakan bahwa teman-temannya tak dapat memecahkannya. Semua orang di rumah sudah tertidur, saat aku tetap mencoba memecahkan teka-teki itu. Aku lama memikirkannya, namun akhirnya berhasil memperoleh jawabannya.

Aku sangat gembira, sehingga membangunkan ayahku. Ia pun merasa senang atas upayaku memecahkan teka-teki itu. Ia selalu mendorongku menajamkan daya intelektualitasku. Ia telah mempersiapkanku dengan baik untuk menghadapi permasalahan hidup secara bijaksana."


Catatan Kaki:
[38] Jâmi` as-Sa'âdah, jil.2, hal.203.

[39] ibid., hal.305.

[40] ibid., hal.304.

[41] ibid., hal.305.

[1] Ghurar al-Hikam, hal.645.

[2] Ibid., hal.302.

29
ANAKMU AMANATNYA

51. PERCAYA DIRI

Sumber Kesuksesan itu Percaya Diri
Kehidupan manusia itu penuh dengan perjuangan, tantangan, dan kompetisi. Setiap manusia akan melewati ribuan tantangan dan kesulitan dalam kehidupannya. Untuk dapat hidup, ia harus melawan hal-hal yang tak diinginkan dan menguasainya. Ia harus bertarung dengan berbagai penyakit dan penyebabnya.

Dalam hidup, ia akan berhasil bila memiliki jiwa besar, keberanian tinggi, dan keinginan yang kuat. Keberhasilan atau kegagalan seseorang bergantung pada dirinya sendiri. Kesuksesan orang-orang besar di dunia adalah disebabkan percaya diri, keinginan kuat, dan upaya tak kenal lelah. Orang besar tak akan pernah menyerah pada kesulitan.

Mereka memiliki percaya diri dan keimanan pada Allah Swt dalam mengarungi pergolakan hidup. Mereka mampu menyelesaikan tugas yang terlihat mustahil bagi orang lain. Mereka tak seperti jerami di lautan luas yang terus terombang-ambing di permukaan air mengikuti arah angin.

Sebaliknya, mereka laksana perenang handal yang memiliki lengan kuat, kemauan, dan keimanan kepada Allah; yang memberikan mereka kemampuan berenang melawan angin. Inilah orang-orang yang cakap dalam memutuskan perkara yang muncul di dunia ini. Islam juga mengatakan bahwa kesuksesan duniawi dan spiritual seseorang bergantung pada tindakannya.

Al-Quran menyatakan, Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya, dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). (QS. an-Najm: 39-40)

Imam Ali bin Abi Thalib as. berkata, "Nilai setiap individu bergantung pada keberaniannya."_[3]

Seseorang yang memiliki kesabaran dan percaya diri tak akan melihat kepada orang lain dalam upayanya mencari solusi atas permasalahannya. Sebaliknya, mereka akan terjun ke arena kehidupan dengan penuh keyakinan, dan tak pernah menyerah hingga berhasil mencapai tujuannya.

Imam Ja`far Shadiq as. berkata, "Rahasia kehormatan dan kebesaran seorang Mukmin adalah tidak mengharapkan sesuatu yang ada di tangan orang lain."_[4]

Imam Sajjad as. berkata, "Semua kebaikan itu menjadi nyata ketika seseorang tidak duduk menunggu pertolongan orang lain."_[5]

Sebaliknya, orang yang tak memiliki rasa percaya diri, tak akan meyakini kemampuan dirinya sendiri. Mereka menganggap dirinya lemah dan rendah. Mereka takut menghadapi kesulitan-kesulitan hidup.

Mereka juga akan melalaikan tanggung jawab serta membuat sulit tugas-tugas yang mudah, melalui pikiran-pikiran negatif dan ketakberdayaannya. Akibatnya, mereka menghabiskan hidupnya dalam kemurungan dan kekecewaan.

Sekarang, setelah mengetahui pentingnya kesabaran dan percaya diri, tak ada salahnya bila kami mengingatkan bahwa fondasi karakteristik ini telah inheren dalam watak setiap manusia. Namun, semua itu perlu diasuh dan dilatih. Periode ideal dan paling berkaitan dengan pelatihan ini adalah pada awal-awal masa kecil seseorang.

Fondasi kesabaran dan ketenangan terwujud sejak masa kecil seseorang. Sebaliknya, karakteristik yang berlawanan-yaitu ketidaksabaran, ketiadaan rasa percaya diri, dan ketergantungan pada orang lain-juga dapat berkembang disebabkan pelatihan yang keliru dari orang tua. Orang tua harus melatih anaknya dengan hati-hati, agar dapat tumbuh menjadi sosok yang berguna.

Imam Ali Zainal Abidin as. berkata, "Latihlah anak-anak kalian sedemikian rupa sehingga mereka akan memberikan kehormatan dan kemuliaan pada kalian."_[6]


Masa Terbaik Membentuk Kepribadian
Usia empat hingga delapan tahun merupakan periode terbaik untuk membentuk kepribadian seseorang. Dalam periode ini, anak akan cenderung sabar dan mempersiapkan diri menghadapi pelbagai kesulitan.

Meskipun menyadari kelemahannya dan ketergantungan pada seseorang yang lebih unggul, anak juga memiliki kesabaran dan ketenangan dalam fitrahnya. Ia ingin memenuhi kebutuhan-kebutuhannya sendiri. Ia pun merasa gembira dalam melakukan tugas-tugas baru.


Anda pasti telah mendengar anak-anak mengucapkan kalimat-kalimat seperti berikut:
1. Lihat, apa yang sedang kulakukan!

2. Apakah Anda melihat bagaimana aku melompat?

3. Lihat, aku dapat mengenakan pakaianku sendiri!

4. Aku akan memakai sendiri sepatuku.

5. Aku akan minum air dari gelas.

6. Aku ingin makan sendiri.

7. Aku tak ingin Anda menuangkan teh untukku.

8. Lihatlah lukisan indah yang telah kubuat ini!

9. Aku ingin memanjat pohon itu.

dan sebagainya.

Anak cenderung memaksa membelanjakan uangnya menurut keinginannya sendiri. Atau mengatur mainannya sendiri. Terkadang, ia bersikeras melakukan caranya sendiri. Terkadang pula ia ingin membantu orang tuanya dalam pekerjaan sehari-hari. Anak perempuan mencoba membersihkan perabot rumah tangga dan pakaian bersama ibunya. Ia juga ingin memasak dan mengatur meja makan.

Sedangkan anak lelaki mencoba merapikan kebun. Ia juga ingin melukis, menulis surat, dan pergi berbelanja bersama ayahnya. Ia juga akan mendesak untuk memilih pakaian dan alas kakinya sendiri. Ketika berjalan, ia terkadang ingin berada di depan orang tuanya dan di saat lain berada di belakangnya.

Ia juga ingin turut mengatur meja dan kursi di rumah. Ia pun menolak makan makanan tertentu. Dengan semua tindakan ini, anak memperlihatkan individualitasnya. Hingga anak pun mencoba untuk tidak bergantung pada orang lain.


Kepribadian Anak Refleksi Kecenderungan Orang Tua
Orang tua harus memberikan kebebasan pada anak untuk mengembangkan rasa percaya diri. Mereka harus memperlihatkan rasa senang dan sikap menghargai ketika anak berhasil memperoleh hal baru. Mereka juga harus memberinya tugas-tugas yang disukai anak dan sesuai dengan kadar pengetahuannya. Bimbingan dan dorongan juga akan mengasah kemampuannya. Sehingga, anak pun akan secara progresif memperoleh rasa percaya diri .


Seorang pakar psikologi menulis:
" Seseorang melihat nelayan kecil yang sedang menangkap ikan secara efisien. Ia memperoleh tangkapan yang besar. Orang itu terkejut. Ia pun memuji keahlian nelayan kecil itu. Anak itu lalu berterimakasih karena pujiannya dan berkata, 'Tak ada yang mengherankan dalam keahlian menangkap ikan, karena aku telah melakukannya sejak masih sangat kecil.' Orang itu lalu bertanya, 'Berapa usiamu sekarang?' Anak itu menjawab, 'Enam tahun.'"

Bila saja orang tuanya tak mendorongnya, atau bahkan menghalanginya, melakukan sesuatu sejak usia dini, tentu saja ia tak akan memperoleh keahlian semacam itu.

Orang tua yang memanjakan anaknya, justru akan menjadikannya bergantung pada mereka. Mereka tak mengizin kan anak mengerjakan tugas-tugas tertentu. Mereka selalu mengerjakannya untuk anak, bahkan untuk hal-hal yang kecil sekalipun. Mereka juga membuat keputusan sendiri untuk anak.

Banyak sekali orang tua yang tak memberikan perhatian tentang pentingnya rasa percaya diri pada anak. Mereka memperlihatkan rasa tak senang terhadap kesalahan anak ketika ia (anak) mencoba mengerjakan sendiri beberapa tugas. Mereka tak menyukai anaknya berinovasi dan meremehkannya di setiap langkah.


Beri Kebebasan Si Anak dengan Benar
Ayah dan ibu yang baik, anak kita harus tumbuh. Ia juga harus mengemban tanggung jawab di masa depan. Anda harus merespon secara positif fitrah kebebasan anak. Karena itu, hasrat kebebasan bukanlah sebuah kekeliruan. Kebebasan merupakan manifestasi dari keinginan untuk mencapai kesuksesan dengan upayanya sendiri.

Anda harus memastikan bahwa anak dapat memanfaatkan kebebasan ini dengan benar. Anda tak perlu memaksa mengambil keputusan untuknya, ketika ia mampu mengambil keputusan sendiri. Anda hanya perlu menjelaskan seputar pro-kontra yang terkait dengannya; selebihnya, biarkanlah ia mengambil keputusan sendiri.

Bila anak mengerjakan sesuatu, kemudian menyerah di tengah jalan, maka janganlah mempermalukannya dengan campur tangan yang tidak bijaksana. Serahkan urusan itu kepadanya.

Bila anak perempuan Anda ingin memasak sendiri, berikan arahan kepadanya untuk melakukan itu. Jangan turut campur saat ia melakukannya. Tak apalah bila ia sesekali memecahkan piring. Jangan terlalu kritis terhadap kemampuannya dalam memasak. Anda harus menyadari bahwa kritik-kritik semacam itu dapat menyinggung perasaan anak .


Seorang wanita menulis:
" Apa saja yang kucoba untuk melakukannya di masa kecilku, selalu membuahkan omelan (atau kritikan) seperti 'kau telah memecahkan pajangan cina itu', 'kau telah memasukkan terlalu banyak garam', 'kau telah menggunakan air melebihi takaran resepnya', 'apa yang kau ketahui tentang menyapu lantai?', 'jangan bicara saat ada tamu', dan kritikan lainnya.

Ketika sedang memasak, aku selalu mencicipinya; takut kalau-kalau kelebihan garam atau air. Bahkan kemudian, aku selalu bertindak sebagai penerima hasil saja. Inilah mengapa, aku merasa tak percaya diri terhadap kemampuan memasakku. Aku mulai menganggap diriku lemah dan tak penting. Aku sangat tidak nyaman dengan kompleks rendah diri dan ketiadaan rasa percaya diri ini.

Kebetulan aku memperoleh tugas untuk menyampaikan undangan pertemuan (majelis) mingguan. Setiap kali aku keluar untuk melakukan tugas itu, pikiranku merasa terganggu. Aku ragu, apakah aku dapat melakukan tugas itu dengan baik. Jantungku berebar-debar. Aku merasa tak mampu menyampaikan hasil pembicaraan dengan benar.

Setelah lama, aku baru mampu mengingat poin-poin pembicaraan di mana aku terlibat di dalamnya. Bahkan kemudian aku merasa tak percaya diri. Aku pun berharap agar tanggung jawab ini tidak dipercayakan kepadaku. Apapun pekerjaan yang kulakukan, aku mulai merasa enggan. Setelah melakukan pekerjaan setengah jalan, aku ingin perkerjaan ini dialihkan dariku. Aku berusaha keras mengatasi ketiadaan rasa percaya diri ini, namun selalu gagal."


Seorang wanita lainnya menulis:
" Sejak kecil, ibu selalu membantu pekerjaanku. Ia tak pernah membiarkanku melakukan sesuatu sendiri. Lambat laun, aku mulai terbiasa bersandar dan bergantung pada orang lain. Aku tak dapat memanfaatkan rasa percaya diri dan kemampuanku mengatasi masalah. Aku selalu memerlukan ibu dan anggota keluarga lainnya.

Ketergantunganku pada orang lain itu bahkan untuk pekerjaan yang remeh sekalipun. Aku merasa tak mampu melakukan apa-apa sendiri."
Harus diketahui pula bahwa pada tahap ini, beberapa anak-demi memperlihatkan kepribadiannya-melakukan tindakan keliru. Sebagai contoh, mereka mungkin memotong tangkai bunga dan mencabut batang semak, mengganggu burung, anjing atau kucing, mengganggu orang lain atau menarik rambut saudara perempuannya, dan sebagainya.

Dalam hal ini, orang tua tak boleh diam saja. Namun, mereka juga harus menyadari bahwa anak melakukan itu bukan disebabkan kebencian. Ia hanya mencoba menegaskan kepribadiannya. Oleh karenanya, cara terbaik untuk mencegah anak dari melakukan hal itu adalah dengan mengalihkan perhatiannya pada hal-hal lain. Buatlah ia sibuk dengan permainan atau tugas yang bermanfaat.


Catatan Kaki:
[3] Nahj al-Balâghah, jil.2, hal.163.

[4] Ushûl al-Kâfî, jil.2, hal.148.

[5] ibid., jil.2, hal.148.

[6] Tuhaf al-'Uqûl, hal.269.

30
ANAKMU AMANATNYA

52.KEMANDIRIAN

Salah Paham atas Kebebasan Anak
Cukup banyak orang tua yang menganggap bahwa membatasi atau meniadakan kebebasan anak-anak merupakan cara mendidik yang baik. Mereka menganggap bahwa anak-anak tak mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Sebabnya, mereka (anak-anak) belum punya pemahaman yang cukup dan bila diberi sedikit saja kebebasan, niscaya akan disalahgunakan.

Para orang tua semacam ini pada dasarnya sedang memaksakan pemikirannya pada si anak dan memonopoli seluruh keputusan yang berkaitan dengannya. Mereka berupaya mengendalikan si anak dalam berbagai hal; makan, bermain, dan aktivitas-aktivitas lainnya. Mereka ingin membentuk kehidupan si anak sesuai pemikiran mereka sendiri. Mereka yakin bahwa si anak tidak berhak mengenyam kebebasan dan kemandirian.

Si anak tidak boleh melakukan apapun tanpa seizin orang tua. Apapun yang diputuskan orang tua harus mutlak dilaksanakan si anak tanpa syarat. Lalu, bila keputusan orang tua itu keliru, si anak harus berhenti melaksanakannya tanpa boleh mengeluh sedikitpun. Para orang tua semacam itu tidak membolehkan anak-anaknya ikut campur dalam upayanya mengasuh mereka .

Dulu, sebagian besar keluarga biasanya menerapkan cara semacam ini dalam mengasuh putra-putrinya. Mereka umumnya mengasuh anak-anaknya dengan tangan besi. Bahkan, dewasa ini, masih ada sejumlah keluarga yang mempraktikkan cara-cara semacam itu terhadap putra-putrinya.

Kendatipun merupakan kebiasaan masa lalu dan masih dipraktikkan sejumlah keluarga, namun cara semacam itu cenderung mulai ditinggalkan. Sebabnya, cara tersebut memiliki banyak kekurangan dan tidak bermanfaat. Memang, cara mengasuh semacam itu memungkinkan anak-anak patuh dan segan pada orang tuanya.

Namun, mereka akan tumbuh menjadi sosok penakut dan tak punya rasa percaya diri. Naluri mencipta dan menggagasnya juga akan mandeg. Mereka tak akan punya keberanian untuk memikul tugas sulit dan penting di pundaknya. Mereka juga tak mampu menjadi pemimpin, melainkan akan terbiasa diperintah dan menanggung perlakuan menyakitkan dengan sikap dingin.

Ketika tumbuh dewasa, mereka tak akan mampu mengatasi kekurangannya dengan mudah. Mereka membawa kekurangan dalam jiwanya yang kelak akan menyebabkan timbulnya sejumlah penyakit kejiwaan. Bahkan, boleh jadi, orang-orang semacam itu akan mengembangkan kecenderungannya pada kekejaman dan suka menzalimi anak-anaknya dan orang lain.

Banyak kalangan intelektual dan psikolog yang kemudian menyerukan penentangan terhadap praktik pengasuhan kejam ini dan menganjurkan orang tua untuk memberikan kebebasan penuh pada anak-anaknya. Mereka menyarankan para orang tua untuk membiarkan anak- anaknya bebas bertindak sesuai hasrat dan keinginan mereka (anak-anak) sendiri.

Mereka mengatakan bahwa seorang anak seyogianya dibebaskan untuk melakukan apapun yang diinginkannya, meskipun boleh jadi itu tidak benar menurut pandangan orang tua. Dengan cara ini, si anak akan tumbuh dengan pikiran yang mandiri .

Psikolog terkenal, Sigmund Freud, meyakini metode ini dan memiliki banyak pengikut di Timur maupun di Barat. Banyak orang tua juga mengikuti metode ini dalam mengasuh anak-anaknya. Mereka memberikan kebebasan penuh kepada anak-anaknya serta tak pernah memerintahkan ini dan itu. Namun, praktik pengasuhan semacam ini juga tidak sepenuhnya benar.

Terdapat sejumlah kekurangan yang dikandungnya. Anak-anak yang diasuh dengan cara ini tidak mempercayai apapun dalam melakukan apa yang mereka inginkan. Anak-anak semacam itu umumnya akan mementingkan diri sendiri, mudah tersinggung, dan berwatak kurang ajar. Mereka menganggap bahwa orang lain tak punya hak apapun.

Mereka suka merampas hak-hak orang lain dan dengan tanpa alasan, acap mengganggu saudara-saudara kandungnya. Anak-anak semacam itu cenderung mengganggu orang lain dan tetangga-tentangganya. Disebabkan hasratnya dikendalikan penuh kemandirian penuhnya, mereka suka berbuat lancang terhadap selainnya. Harapan mereka mencapai tingkat sedemikian rupa sampa-sampai mereka akan menghadapi kesulitan dalam meraihnya.

Ketika anak-anak tersebut tumbuh dewasa, mereka mengharapkan selainnya mematuhinya tanpa syarat. Mereka tak mau dikendalikan siapapun juga. Ketika menyadari bahwa dirinya tak sanggup mendapatkan hal-hal yang diinginkan dari selainnya, mereka akan segera berputus asa.

Setelah menghadapi penolakan terhadap diri mereka di tengah masyarakat, mereka akan menjadi terasing atau demi membalas dendam atas kekalahannya, menyusun tipu muslihat dengan melakukan tindakan keji dan berbahaya.


Beri Kebebasan Selektif
Kebebasan tanpa batas seringkali juga menjadi amat berbahaya. Terkadang seorang anak ingin berlari di jalan raya yang penuh bahaya atau menyentuh kabel yang dialiri listrik. Jadi, kedua metode pengasuhan anak-yang satu tidak memberikan kebebasan pada anak, sementara yang lain memberikannya secara penuh-sarat dengan kesalahan yang begitu menyolok.

Jalan paling baik untuk diikuti dalam masalah mengasuh anak adalah memberinya kebebasan selektif. Allah Swt telah menganugerahi umat manusia perbedaan naluri dan perasaan yang membentuk karakter seseorang. Naluri-naluri tersebut di antaranya adalah rasa cinta, benci, keberanian, rasa takut, dan sebagainya.

Semua itu merupakan hakikat perasaan dan pikiran anugerah Allah Swt bagi seluruh umat manusia demi mengatasi segenap masalah yang mereka hadapi. Naluri-naluri tersebut membentuk kepribadian seseorang. Di alam bebas, naluri-naluri tersebut tetap tumbuh.

Rasa takut bermanfaat untuk menghindar dari marabahaya. Rasa amarah membantu dalam upaya memutuskan untuk menyerang musuh. Ketekunan dibutuhkan untuk menuntut pelajaran. Seseorang yang tidak memiliki naluri rasa takut dan rasa marah dalam kepribadiannya akan menjadi sosok yang rendah diri (inferior).

Tentu saja tidak dibenarkan untuk menekan naluri-naluri tersebut dalam diri anak. Dalam atmosfer kebebasan, seorang anak dapat memperoleh manfaat dari naluri-naluri tersebut.

Agama Islam memberikan perhatian khusus pada kebutuhan terhadap kebebasan. Dalam hal ini, kami akan mengutip sejumlah riwayat yang berkaitan dengannya .

Imam Ali as. mengatakan, "Janganlah menjadi budak selainnya. Sebab, Allah Swt telah menjadikan kalian terlahir sebagai sosok yang merdeka."_[7]

Imam Ja`far Shadiq as. berkata, "Seseorang yang menyandang sifat-sifat ini akan menjadi sosok yang berhasil; (1) keimanan; (2) kebijaksanaan; (3) akhlak; (4) kebebasan; (5) kelakuan baik."

Rasulullah saw menyabdakan, "Seorang anak adalah seorang penguasa hingga ia berumur tujuh tahun. Sejak tujuh hingga 14 tahun, ia menjadi orang yang diatur. Dan setelah berusia 14 tahun, ia merupakan wakil dan penasihat bagi orang tuanya ."_[8]

Jelas, kebebasan penuh merupakan sesuatu yang mustahil di tengah masyarakat. Dalam hal ini, kebebasan seseorang dengan kebebasan selainnya tak dapat dipertemukan satu sama lain. Seorang anak harus diberi pengertian sejak dini bahwa tanpa pembatasan apapun, seseorang tak dapat hidup di tengah masyarakat.

Sebab, orang lain juga punya hak pribadi. Sebagai contoh, seorang anak ingin bermain. Jelas, bermain dapat menjadi sarana yang baik untuk mendidiknya. Dan ia harus diberi kebebasan untuk memainkan suatu permainan yang cocok dengan perangainya.

Namun, dalam bermain, si anak harus diingatkan tentang hak-hak selainnya. Ia harus diminta untuk berhati-hati dalam bermain agar jangan sampai merusak barang-barang milik tetangganya atau memecahkan kaca jendela bangunan di sekelilingnya. Dengan begitu, ia tetap diberi kebebasan untuk bermain namun dengan disertai sejumlah batasan.


Dua Kategori Perbuatan
Si anak tentu saja boleh menggunakan dan menunjukkan naluri kemarahannya demi membela diri di saat yang tepat. Namun, dalam kemarahannya, ia tak punya kebebasan untuk merusak barang-barang di sekitarnya, mencederai selainnya, atau mengumbar makian.

Orang tua seyogianya menyusun sebuah ancangan bagi pengasuhan si anak dengan mempertimbangkan usia, kecerdasan, kekuatan, dan perasaannya.


Dalam pada itu, mereka harus memberitahukan si anak perihal dua kategori perbuatan:
1. Perbuatan-perbuatan yang diinginkan untuk dilakukan si anak.

2. Perbuatan-perbuatan yang bersifat tabu (dilarang dilakukan) baginya.

Pertama-tama, mereka harus menentukan batas dari masing-masing jenis perbuatan tersebut. Setelah itu, mereka harus memberikan kebebasan penuh kepada si anak untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang diinginkan, sehingga ia dapat secara penuh menggunakan naluri-nalurinya dalam melakukan kegiatan-kegiatan tersebut tanpa batasan apapun.

Si anak harus diberi kebebasan untuk berpikir dan bertindak. Namun, ia tak hanya harus diberi kebebasan penuh, melainkan juga sesekali diberi bimbingan bila memang dibutuhkan. Sebaliknya, si anak harus benar-benar dicegah dari melakukan tindakan-tindakan yang terlarang baginya.

Dengan menerapkan cara ini, kebebasan si anak tak akan terkekang dan kemampuannya tak akan terhambat. Ia akan memiliki hak penuh atas kebebasan dan berkeyakinan bahwa naluri-nalurinya digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat. Orang tua harus berhati-hati dalam menentukan perbuatan mana yang baik dan mana yang buruk, yang mungkin dilakukan si anak.

Perbuatan-perbuatan yang membahayakan keluarga, seseorang, atau barang, juga yang bertentangan dengan syariat dan hukum, harus dihindarkan dan si anak harus dilarang keras melakukannya. Untuk perbuatan-perbuatan yang baik, si anak harus diberi kebebasan penuh. Dalam melakukan perbuatan-perbuatan baik tersebut, si anak harus dibiarkan untuk menggunakan pikiran dan intuisinya sendiri.

Aturan-aturan perbuatan harus ditentukan secara hati-hati berdasarkan kadar kekuatan tubuh, jiwa, dan pikirannya. Ini agar aturan-aturan yang ditetapkan itu tidak sampai merugikan si anak.

Orang tua seyogianya bersikap tegas dalam menyatakan kepada si anak, "Engkau mampu melakukannya," atau, "Engkau sama sekali tidak boleh melakukannya."

Orang tua juga harus berusaha menekan perasaan dan emosinya. Mereka juga harus menghilangkan keragu-raguan dan sikap waswas sehingga si anak memahami tanggung jawabnya dan tak akan ragu-ragu dalam memenuhi kewajiban-kewajibannya.

Imam Hasan Askari as. mengatakan, "Bila seorang anak tidak mematuhi orang tuanya, dan bersikap kurang ajar terhadap mereka, ia akan tumbuh dewasa menjadi sosok yang durhaka dan suka menentang."_ [9]

Kedua orang tua harus saling bekerja sama dalam menghilangkan perbedaan pandangan yang berkaitan dengan si anak. Perbedaan pandangan di antara keduanya akan menimbulkan keraguan dalam benak si anak.


Catatan Kaki:
[7] Bihâr al-Anwâr, jil.77, hal.214. [8] Wasâ`il asy-Syî'ah, jil.15, hal.195.

[8] Bihâr al-Anwâr, jil.78, hal.374.

[9] Bihâr al-Anwâr, jil.78, hal.374.



31
ANAKMU AMANATNYA

53. BEKERJA DAN MELAKSANAKAN TUGAS

Asas Kehidupan
Bekerja dan berusaha meraih [sesuatu] merupakan asas kehidupan manusia. Dengan bekerja, manusia mendapatkan kebutuhan-kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, dan tempat bernaung. Kebutuhan-kebutuhan tersebut didapatkan seseorang lewat usaha tanpa kenal lelah sepanjang hidupnya.

Pertumbuhan industri dan seluruh temuan [teknologi] yang semakin kompleks dewasa ini merupakan hasil dari penelitian terus-menerus dan perkembangan aktivitas umat manusia. Hanya kerja keras dan pengetahuanlah yang melahirkan pelbagai peradaban di dunia ini. Merupakan sebuah keagungan kolektif dari para penduduk suatu negeri bila memiliki tempat terhormat dalam lingkungan bangsa-bangsa.

Kemakmuran suatu negeri merupakan cerminan langsung dari upaya keras yang dilakukan para penduduknya. Bila para penduduk suatu negeri terdiri dari orang-orang yang malas dan manja, niscaya negerinya akan tertinggal di belakang bangsa-bangsa lain dalam bidang aktivitas. Negeri semacam itu tak akan makmur, juga tak akan produktif dan selalu tertinggal.

Berkaitan dengannya, kemajuan setiap individu juga amat bergantung pada pengetahuan, kemampuan, dan kesungguhan upayanya. Dunia merupakan tempat untuk bekerja keras dan membanting tulang. Tak ada tempat bagi orang-orang yang lalai dan mengelak dari kewajibannya. Allah memfirmankan dalam al-Quran, Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. (QS. an-Najm: 39)


Kedudukan Bekerja dalam Islam
Nabi Muhammad saw menyabdakan, "Terkutuklah orang yang menaruh bebannya ke pundak orang lain."_[10]

Beliau juga mengatakan, "Ibadah memiliki 70 keutamaan dan yang paling utama adalah berupaya keras mencari nafkah dengan cara jujur."_ [11]

Imam Ja`far Shadiq as. mengatakan, "Sampaikan salamku pada para sahabatku dan ingatkan mereka untuk tetap dalam kesalehan serta mempersiapkan diri untuk menghadapi Hari Perhitungan. Demi Allah, aku meminta kalian melakukan hal-hal demikian, sebagaimana saya sendiri berupaya keras untuknya. Setelah shalat subuh, pergilah bekerja dan carilah nafkah dengan cara jujur. Niscaya Allah akan menolongmu dan memberimu makanan."_[12]

Imam Muhammad Baqir as. mengatakan, "Aku tidak menyukai orang yang malas melaksanakan kewajiban-kewajiban duniawinya. Seseorang yang lamban dalam kehidupan ini juga akan lamban di Hari Akhir."_[13]

Imam Ja`far Shadiq as. mengatakan, "Seseorang yang berupaya keras menafkahi keluarganya, akan mendapat pahala yang sama dengan pahala berjihad."_[14]

Beliau juga mengatakan, "Para petani merupakan lumbung bagi umat manusia. Mereka menabur benih-benih yang baik dan Allah membantu dengan menumbuhkannya. Di Hari Pengadilan, para petani akan menghuni tempat yang mulia. Lalu, mereka akan dipanggil dengan julukan mubarakîn-orang-orang yang dirahmati ."_[15]

Setiap manusia memperoleh manfaat dari upaya dan kerja selainnya. Umat manusia saling berhubungan secara timbal-balik dan tidak dapat hidup terasing. Karenanya, masing-masing individu berkewajiban untuk sebaik mungkin berupaya mempertahankan hidupnya dan keberadaan selainnya.

Para pekerja karenanya dapat dianggap sebagai manusia terbaik. Adapun orang-orang yang memiliki kemampuan dan kekuatan untuk bekerja namun bergantung pada upaya selainnya akan dijauhkan dari rahmat Allah Swt.


Melatih Anak Bekerja
Orang tua yang mengharapkan anak-anaknya tumbuh sebagai warga yang patuh dan berguna [bagi agama dan masyarakat], serta memberi sumbangan bagi kemajuan bangsanya, harus mendorong anak-anaknya sejak usia dini untuk melakukan sejumlah kegiatan yang bermanfaat.

Mereka harus melatih anak-anaknya sedemikian rupa demi mengembangkan bakat dan kecenderungannya untuk bekerja sejak usia paling dini. Dengan cara ini, mereka akan mampu menumbuhkan jiwa pekerja dalam diri anak-anaknya. Anak-anak seperti ini tak akan merasa gengsi dalam melaksanakan setiap pekerjaan.

Kebanyakan orang tua tidak memberi perhatian terhadap aspek sangat penting ini dalam mengasuh anak-anaknya. Mereka terus menerus melakukan hal-hal yang mudah bagi si anak, yang sebenarnya dapat dilakukannya (si anak) sendiri tanpa banyak kesulitan. Dengan sikap semacam ini, mereka tidak membentuk rasa tanggung jawab pada diri anak.

Mereka menyangka bahwa dengan cara ini, mereka sedang melayani si anak. Sebaliknya, cara semacam itu justru dapat merugikan si anak dan masyarakat luas. Dengan sikap tersebut, mereka sedang membentuk para pemalas yang akan melalaikan pekerjaan saat telah tumbuh dewasa.

Si anak harus didorong dan dibantu untuk melakukan pekerjaan yang cocok dengan usia dan kemampuan fisiknya. Dengan cara ini, kebiasaan bekerja akan terbentuk dalam diri si anak, yang pada gilirannya akan menyukai pekerjaan.

Orang tua bodoh, yang melakukan setiap pekerjaan remeh bagi si anak, bukannya mengundurkan diri dari tugas mengasuh anak, malah terus menciptakan individu-individu malas dan tak berguna bagi masyarakat.

Sementara orang tua yang bertanggung jawab dan cerdas selalu memperhatikan usia serta kemampuan fisik dan mental anaknya, seraya mendorongnya untuk melaksanakan tugas-tugas yang berada dalam lingkup pengetahuannya. Sebagai contoh, seorang anak berusia tiga tahun diminta untuk mengenakan sendiri kaus kakinya, memakai sendiri celana pendeknya, atau mengambil sendiri tempat garam, dan sebagainya.

Ketika si anak tumbuh besar, tugas-tugas lebih besar dapat dipercayakan kepadanya, seperti merapikan tempat tidurnya sendiri, menata meja makan, mencuci piring, menyapu dan mengepel lantai, dan sebagainya. Anak-anak juga harus didorong untuk mengasuh adik-adiknya, merawat kebun di sekeliling rumah, dan mengurus binatang peliharaan.

Selain itu, mereka juga harus dilatih untuk pergi berbelanja sendiri ke toko atau warung-warung kecil penjual kebutuhan pokok rumah tangga. Ketika tumbuh lebih besar lagi, ia dapat dimotivasi untuk melakukan tugas-tugas lebih sulit.


Faktor-faktor Penting

Dalam kaitan ini, terdapat sejumlah faktor penting yang harus diperhatikan orang tua:
1. Pertimbangkanlah tahap usia dan [kemampuan] fisik anak; orang tua harus mempercayakan si anak dengan pekerjaan yang cocok dengan kemampuannya. Kadangkala si anak sendiri memperlihatkan keinginannya untuk melakukan sejumlah pekerjaan. Pekerjaan-pekerjaan tersebut umumnya berhubungan dengan kebutuhan pribadinya. Dalam hal ini, ia harus dibolehkan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut. Kalau tidak, ia akan terbiasa bergantung pada selainnya dalam setiap persoalan sepele.

2. Keberanian dan kekuatan fisik anak seyogianya selalu diperhatikan betul dan pekerjaan-pekerjaan yang melampaui kemampuannya semestinya tidak dibebankan kepadanya. Sebab, jika tidak, si anak mungkin akan merasa bosan dan kemudian menolak mengerjakan apapun. Bila suatu pekerjaan membuatnya lelah, ia mungkin akan menunjukkan sikap bermusuhan dengan pekerjaan semacam itu.

3. Berupayalah menjelaskan suatu tugas kepada si anak seraya mempercayakannya kepadanya. Camkan pada si anak bahwa bahwa segala sesuatu yang ada di rumah tidak terjadi dengan sendirinya; ayah harus bekerja keras untuk menafkahi kehidupan keluarga, sementara ibu juga berupaya keras untuk melaksanakan tugas sehari-harinya di rumah.

Sang anak juga harus dimotivasi untuk membantu membereskan rumah dengan mengerjakan hal-hal yang sesuai dengan kemampuannya. Pada saat-saat seperti itu, orang tua jangan sampai memaksa si anak untuk bekerja. Ia harus merasa nyaman dalam mengerjakan tugas-tugas ringannya di rumah dan tidak bekerja di bawah paksaan.

4. Bila dimungkinkan, berilah kesempatan pada si anak untuk memilih tugas dan tanggung jawabnya. Misal, mencuci piring atau mengepel lantai.

5. Jumlah dan batasan pekerjaan harus dijelaskan kepada anak dengan sebaik-baiknya. Ini akan membuatnya sadar akan tanggung jawabnya dan tak memungkinkannya melampaui batas-batas yang telah ditetapkan baginya.

6. Anak yang memiliki kemampuan khusus harus diberi kepercayaan dengan tugas-tugas khusus pula. Sebagai contoh, seorang anak harus diberitahu dengan cara meyakinkan bahwa di atas meja makan harus selalu tersedia sayur-mayur segar saat makan. Dengan begitu, ia diharuskan untuk memperhatikan persediaan sayur-sayuran segar serta barang-barang kebutuhan lainnya, seperti sabun, pasta gigi, deterjen, dan lain-lain.

7. Upayakanlah mempercayakan tugas-tugas yang digemari dan sudi dilakukan si anak dengan sukarela. Namun, dalam kasus-kasus tertentu, si anak harus diminta untuk mengerjakan hal-hal yang tidak disukainya. Si anak harus didorong untuk melaksanakan tugas-tugas seperti itu, yang akan menjadi ajang pembinaan yang baik baginya.

Sayyidina Ali bin Abi Thalib as. mengatakan, "Tentukanlah tugas setiap orang dalam rumah. Bila memahami tanggung jawabnya masing-masing, mereka tak akan menganggap bahwa tugasnya harus diemban orang lain."_[16]

8. Bila Anda memiliki banyak anak di rumah, bersikap adillah dalam membagi-bagi pekerjaan di antara mereka.

9. Untuk mendorong anak-anak menunaikan tugasnya di rumah, dampingi mereka. Anak-anak akan merasa dirinya dipandang penting tatkala melihat orang tuanya bekerja bersama mereka.

10.Bila terjalin pemahaman yang utuh di antara kedua orang tua dalam hal pelaksanaan tugas-tugas rumah tangga, niscaya mereka (orang tua) akan menjadi teladan yang baik sekaligus dorongan bagi anak-anak untuk menirunya.
Anak-anak dalam rumah tangga semacam itu akan dengan senang hati memikul tanggung jawabnya.

11. Bila anak-anak sudah tumbuh lebih besar dan mampu mengemban tugas yang bermanfaat secara ekonomis, maka orang tua harus mengadakan kegiatan-kegiatan semacam itu bagi mereka. Dengan cara ini, mereka akan memiliki kesibukan sekaligus memberi pendapatan tambahan bagi keluarga.

Camkan dalam benak mereka untuk tidak merasa gengsi dalam melakukan pekerjaan apapun yang halal dan sebaliknya malah, itu merupakan persoalan harga diri. Bagaimanapun, anak-anak seyogianya tidak terlalu banyak diberi beban pekerjaan.

Mereka harus diberi kesempatan dan waktu yang cukup untuk bermain dan bertamasya. Tentu keliru bila menganggap bahwa disebabkan orang tua berkecukupan, anak-anak tak perlu bekerja. Sebab, dengan cara ini, anak-anak akan menjelma menjadi sosok pemalas yang hanya suka berhura-hura.

Akhirnya, kami ingin mengingatkan bahwa fondasi bagi kemauan bekerja harus dibangun sejak usia kanak-kanak agar itu menjadi kebiasaan seseorang. Sebab, akan sangat sulit sekali menjadikan orang yang sudah berusia dewasa untuk terbiasa bekerja. Orang tua yang bertanggung jawab seyogianya tidak mengabaikan aspek teramat penting ini dalam mengasuh anak-anaknya.


Seorang perempuan menulis dalam buku hariannya:
" Saya adalah orang yang sangat pemalas, rendah diri, dan keras kepala. Saya selalu gelisah dan dibayang-bayangi perasaan cemas. Saya mengalami radang usus.

Saya tak punya kemauan untuk melakukan pekerjaan apapun. Bagiku, melakukan setiap hal sangatlah sulit. Saya hanya tinggal makan dan tak peduli soal memasak dan pekerjaan rumah sehari-hari lainnya. Inilah penyebab saya selalu bertengkar dengan suami dan mertua saya. Penyebab seluruh kemalangan ini adalah ibu saya. Ia adalah sosok yang baik, penyabar, dan pemberani.

Namun, ia tak pernah mempercayakan pekerjaan apapun pada saya, barangkali disebabkan rasa cintanya kepada saya. Ia tak pernah mempercayakan tanggung jawab apapun pada saya. Ia tak ingin membuat saya lelah mengerjakan pekerjaan rumah sehari- hari. Ia tak pernah menyadarkan saya pada kenyataan bahwa kelak di masa depan, saya harus menjalani sebuah kehidupan rumah tangga, di mana saya terlatih untuk itu…."


Seorang perempuan lain menulis dalam sebuah surat:
"… Saya adalah anak tertua dalam keluarga. Saya benar-benar puas dengan kehidupan saya serta tidak merasakan adanya kekurangan dalam taraf kehidupan (ekonomi) saya. Saya bukan tipe seorang pendengki. Saya justru orang yang baik dan suka membantu orang lain. Perhiasan dan harta kekayaan tidak berarti bagi saya.

Saya memikul tanggung jawab saya dengan bangga. Saya tidak menyesali apapun yang ada dalam kehidupan. Kehidupan saya bersih, tenang, dan damai. Saya sangat berterima kasih pada kedua orang tua saya yang telah membesarkan saya selama ini.

Seraya memasuki rumah, ayah saya biasa memanggil saya untuk membawakan belanjaannya dengan hati-hati. Ia acapkali menyerahkan kemejanya kepada saya untuk dibuatkan kancingnya atau memberikan celananya untuk diseterika. Ia juga acap menghargai pekerjaan saya dan berterima kasih kepada saya.

Suatu ketika, saya menjahitkan pakaian baru untuknya. Ia terlihat sangat senang dan berjanji akan membelikan sebuah mesin jahit untuk saya.
Beberapa hari kemudian, ia memenuhi janjinya. Ia membelikan saya sebuah mesin jahit yang bagus.

Sejak hari itu, pekerjaan merajut dan menjahit dalam rumah menjadi tanggung jawab saya. Ibuku selalu memberi saya bahan-bahan pakaian yang harganya mahal ( untuk dijahit) seraya berkata, 'Jangan takut merusak bahan pakaian ini. Sebab, sekali kau merusaknya, kau akan berupaya menjahit dengan lebih baik di masa mendatang.'

Disebabkan sikap ibu yang menenteramkan hati, kepercayaan diri saya kontan melambung dan semakin kuat. Saya selalu berusaha mengerjakan tugas-tugas saya dengan penuh hati-hati. Sampai-sampai saya lupa kalau saya pernah merusak bahan pakaian (yang dijahit)!

Saya mempelajari segala hal dengan dukungan kasih sayang orang tua. Saya senantiasa memikul tanggung jawab dan melaksanakan tugas-tugas saya dengan tepat guna (efisien). Inilah yang mendorong saya untuk memberikan hal yang sama kepada anak-anak saya."


Catatan Kaki:
[10] Ushûl al-Kâfî, jil.5, hal.73.

[11] ibid., hal.78.

[12] ibid.

[13] ibid., hal.85.

[14] ibid., hal.88.

[15] ibid., hal.201.

[16] Ghurar al-Hikam, hal.124.



32
ANAKMU AMANATNYA

54. KEJUJURAN

Hinanya Kebohongan
Berkata bohong adalah kebiasaan yang sangat dibenci dan merupakan salah satu dosa besar. Umat manusia di seluruh dunia membenci kebohongan. Orang-orang yang suka berbohong akan dihinakan. Seseorang yang dikenal sebagai pembohong umumnya tidak memiliki rasa percaya diri atau tidak menghargai teman-temannya. Orang yang baik dan mulia tak pernah berkata bohong. Islam secara tegas mengutuk perilaku buruk ini.

Imam Muhammad Baqir as. mengatakan, "Kebohongan menyebabkan hilangnya keimanan."_[17]

Imam Ja`far Shadiq as. mengatakan, "Nabi Isa mengatakan bahwa barangsiapa yang terus menerus berkata bohong tidak akan dihargai."_[18]

Imam Ali bin Abi Thalib as. mengatakan, "Tak ada perbuatan yang lebih hina dari berbohong ."_[19]

Seluruh nabi Allah dan setiap pembaharu menyeru manusia untuk mengatakan kebenaran. Dalam hal ini, kebenaran bersifat fitriah. Setiap orang cenderung pada kebenaran. Bahkan, seseorang yang suka berbohong sekalipun, senantiasa senang mendengar kebenaran. Disebabkan rasa malunya, seorang anak secara fitriah cenderung berkata jujur.

Pengaruh faktor-faktor luarlah yang membuatnya mengadopsi kebiasaan berbohong. Seorang anak sesungguhnya tak mampu berbohong. Namun, ketika dihadapkan dengan lingkungan yang memaksanya untuk berbohong, ia berangsur-angsur terbiasa dengan kebiasaan buruk tersebut. Bila keadaannya sudah sedemikian rupa, pelbagai nasihat yang bersumber dari al-Quran serta riwayat Nabi saw dan para imam maksum niscaya tak akan berpengaruh baginya.


Ciptakan Suasana Kejujuran dalam Rumah
Karenanya, sudah menjadi kewajiban para orang tua untuk memastikan anak-anak mereka bersikap jujur sejak masa kanak-kanak. Namun, seyogianya mereka berhati-hati dalam mengenyahkan sebab-sebab perbuatan bohong seraya menanamkan kejujuran pada kepribadian si anak.


Mereka semestinya tidak melalaikan kewajibannya untuk meningkatkan kejujuran sang anak. Orang tua yang bertanggung jawab dan memiliki perhatian terhadap bagaimana mengasuh anak dengan baik, harus mempertimbangkan fakta-fakta berikut:
1. Satu hal yang akan membuahkan pengaruh bermanfaat bagi pengasuhan anak adalah suasana dalam keluarga. Anak tumbuh dalam lingkungan tersebut. Ia mempelajari kebiasaan baik dari kedua orang tua dan anggota keluarga lainnya. Bila suasana rumah dipenuhi kejujuran dan kebenaran, di mana orang tua dan anggota keluarga lainnya memperlakukan satu sama lain dengan adil dan jujur, niscaya anak akan menirunya.

Sebaliknya, bila suasana rumah dipenuhi kebohongan, di mana kedua orang tua saling berbohong satu sama lain, niscaya anak yang jiwanya masih polos akan mengambil kebiasaan yang sama. Anak-anak yang telinganya sudah terbiasa mendengar ungkapan-ungkapan bohong di sekelilingnya, tak pernah dapat diharapkan untuk berpikir dalam cara lain.

Beberapa orang tua yang bodoh tak hanya berkata bohong tapi juga mendorong anak-anaknya berbohong demi meraih sejumlah keuntungan sesaat. Misal, seorang ayah yang ada di rumah menyuruh anaknya untuk mengatakan pada tamu yang datang bahwa dirinya sedang pergi. Atau, orang tua menyuruh anaknya yang tidak masuk sekolah untuk mengatakan kepada gurunya bahwa dirinya (anak) sedang sakit. Dengan begitu, orang tua sedang menanamkan kebiasaan pura-pura sakit dalam diri si anak.

Alhasil, terdapat ratusan kebohongan yang berseliweran dalam rumah setiap hari. Orang tua semacam itu sedang menanamkan ketidakadilan dalam jiwa anak-anak yang masih polos dan mudah dipengaruhi. Berbohong merupakan sebuah dosa, dan mengajarkan anak berbohong adalah dosa yang paling besar.

Karena itu, orang tua yang menginginkan anak-anaknya jujur tak punya cara lain kecuali lebih dulu menjadikan dirinya jujur. Inilah pengajaran lewat keteladanan.


Bertrand] Russel menulis:
" Bila Anda menginginkan anak-anak Anda tidak menyandang kebiasaan berbohong, maka satu-satunya metode untuk itu adalah dengan selalu bersikap jujur di hadapan mereka."_[20]

Saya berharap Russel mengatakan, "Bersikaplah jujur di hadapan anak-anak sebagaimana juga di hadapan orang lain!" Ini mengingat kebohongan atau ketidakjujuran akan mempengaruhi watak anak sekalipun dilakukan secara diam-diam (tidak di hadapan anak).

Imam Ja`far Shadiq as. mengatakan, "Serulah orang-orang pada kebaikan tanpa menggunakan kata-katamu. Orang-orang seyogianya melihat kesalehan, ketekunan, ibadah, dan perbuatan baikmu yang menjadi teladan bagi mereka."_[21]

2. Pada dasarnya, seorang anak tidak suka berbohong. Naluri fitrahnya mendorongnya untuk menjunjung kebenaran. Ia butuh alasan yang sangat kuat untuk berbohong. Bila orang tua mampu melacak alasan paling mendasar bagi dilakukannya kebohongan, lalu berupaya mengenyahkannya dengan cara bijak, niscaya si anak akan menjadi sosok yang jujur. Salah satu alasan yang mendorong anak berbohong adalah rasa takut terhadap teguran orang tuanya. Ketika

Anda menanyakan padanya tentang apakah ia telah memecahkan kaca jendela, ia akan menjawab, "Bukan!" Camkan bahwa alasan si anak berbohong adalah ketakutannya pada orang tuanya. Lalu, ia akan melemparkan tanggung jawab memecahkan kaca jendela kepada orang lain.

Bila orang tua tergolong cerdik dan bijaksana, alasan si anak untuk berbohong tak akan pernah muncul. Mungkin saja kaca jendela itu pecah secara tidak disengaja. Karenanya, tak ada alasan untuk memarahi si anak. Dalam hal ini, kedua orang tua harus mengatakan pada si anak dengan lembut agar lebih berhati-hati lagi pada masa mendatang .


Kekerasan Hukuman Bukan Jalan Keluar
Dalam situasi seperti itu, si anak tak layak dimarahi atau dipukul (yang justru akan mendorongnya berlindung di balik kebohongan). Bahkan sekalipun ia memang memecahkan kaca jendela dan secara terang-terangan mengingkari perbuatannya itu, hukuman keras bukanlah jalan keluar bagi masalah tersebut.

Anak tak dapat dibenahi hanya dengan pukulan atau hukuman. Juga tak ada jaminan bahwa si anak tidak akan mengulangi lagi perbuatan yang sama. Dalam situasi semacam ini, orang tua seyogianya mencamkan bahwa pada dasarnya si anak tidaklah agresif. Dengan kata lain, selalu terdapat alasan-alasan eksternal bagi perilaku semacam itu.

Karenanya, orang tua harus melakukan penyelidikan dengan cermat demi menemukan alasan dan penyebab yang sebenarnya bagi tindakan pengrusakan tersebut. Tatkala penyebab pecahnya kaca jendela ditemukan, maka tak akan ada lagi alasan bagi anak untuk mengulangi kembali perbuatannya itu. Barangkali, tindakan merusak (vandalisme) merupakan akibat langsung dari berbagai cercaan yang ditimpakan pada si anak oleh orang lain.

Atau, si anak tidak mendapat perhatian yang layak, lalu melampiaskan kemarahannya dengan cara merusak kaca jendela. Boleh jadi pula itu merupakan reaksi terhadap hukuman orang tua yang tidak semestinya diterima si anak. Bila orang tua berupaya mengenyahkan kebencian psikologis dari benak si anak, niscaya akan terbuka kemungkinan untuk membenahinya.

Bila pemecahan semacam itu terwujud, maka tak lagi dibutuhkan tindakan penghukuman. Si anak lantas akan menahan diri dari tindakan-tindakan destruktif sehingga tak lagi diperlukan teriakan atau pukulan baginya.

a. Bila Anda mengetahui bahwa anak Anda telah melakukan sesuatu yang keliru, dan Anda bermaksud membimbing dan membenahinya, maka janganlah menanyainya seperti seorang polisi. Sebab, mungkin saja demi melindungi dirinya, si anak kemudian berbohong. Dalam keadaan semacam itu, lebih baik Anda tidak menanyainya.

Katakan saja padanya, umpama, bahwa ia harus mengembalikan buku yang dipinjam dari temannya itu. Katakan pula padanya bahwa tidaklah dibenarkan menahan barang-barang milik orang lain untuk waktu lama. Lalu, suruhlah ia segera mengembalikan buku temannya itu seraya meminta maaf.

b.Janganlah mengancam si anak dengan hukuman yang sebenarnya Anda sendiri tidak bersungguh-sungguh untuk menjatuhkannya. Sebagai contoh, jangan katakan padanya bahwa bila ia melakukan ini dan itu, Anda akan memukulnya, menyerahkannya kepada polisi, atau mengusirnya dari rumah.

Juga, dalam keadaan marah, jangan katakan padanya bahwa Anda tak akan mengajaknya ke jamuan makan malam esok hari yang justru amat dinanti-nantikannya itu. Dengan perlakuan keliru semacam itu, Anda sedang mengajarkan anak berbohong. Karena itu, Anda harus menyampaikan pada si anak hal-hal yang benar-benar akan Anda lakukan, yang tentunya memang layak baginya .

c. Orang tua yang suka bersikap keras terhadap anak-anaknya dan mengharapkan dari mereka lebih dari kemampuan mereka, kemungkinan besar akan lebih mendorong mereka berbohong. Sebagai contoh, ketika si anak tidak mendapatkan hasil yang baik dalam ujiannya, lalu tanpa menghiraukannya, orang tua malah memaksakannya pada hari pertamanya masuk sekolah, terus mengomelinya setiap hari tentang pelajarannya, dan membentaknya.

Padahal, kemampuan yang dimilikinya memang terbatas, sehingga ia tetap tak akan mampu meraih nilai yang lebih baik sekalipun mengupayakannya dengan sebaik-baiknya. Disebabkan menginginkan orang tuanya bersikap baik terhadapnya, ia pun lantas berlindung di balik kebohongan.

Misal, ia akan membuat alasan bahwa dalam ujian waktu itu, dirinya sedang sakit kepala. Atau, ia mengatakan bahwa gurunya tidak menyukainya sehingga memberinya nilai (ujian) yang rendah.

Bila membebani anak sesuai kemampuannya, orang tua tak akan menempatkannya dalam situasi yang mendorongnya untuk membuat-buat alasan bagi kesalahannya .

d. Terdapat orang tua yang menghubungkan tindakan keliru tertentu yang dilakukan anak-anaknya kepada teman-temannya di sekolah atau di tempat bermain. Bahkan mereka terkadang menyalahkan binatang atau tumbuhan untuk hal-hal semacam itu. Sebagai contoh, mereka mengatakan bahwa seekor kucing atau tikuslah penyebabnya.

Orang tua yang bodoh tersebut menganggap bahwa mereka telah melakukan sesuatu yang baik terhadap anaknya dengan tidak menghubungkannya dengan tindakan yang pada dasarnya benar-benar telah dilakukan si anak. Padahal dengan cara ini, terjadi dua hal yang sangat merugikan; pertama, mereka tengah mengajarkan si anak berbohong; dan kedua, si anak akan belajar melemparkan kesalahan tindakannya pada selainnya.

Bila suatu ketika si anak berbohong tanpa sengaja, selidikilah penyebabnya dan carilah cara pengobatannya. Namun, penyelidikan ini seyogianya dilakukan dengan cara halus agar anak-anak tidak merasa bahwa dirinya sedang diselidiki.


Catatan Kaki:
[17] Ushûl al-Kâfî, jil.4, hal.32.

[18] ibid., hal.33.

[19] Mustadrak al-Wasâ`il, jil.2, hal.100.

[20] Dar Tabiat, hal.148.

[21] Ushûl al-Kâfî, jil.2, hal.780.

33
ANAKMU AMANATNYA

55. MEMENUHI JANJI

Pentingnya Perjanjian
Masyarakat manusia tak dapat berfungsi tanpa terlembaganya janji dan jaminan atas harapan-harapan mereka. Orang-orang membuat kesepakatan dan perjanjian satu sama lain yang menjadikan terbentuknya keluarga-keluarga dan suku-suku.

Begitu pula di antara kota-kota yang ada, terdapat kesepakatan bersama yang menyatukan mereka. Orang-orang sangat menghormati kesepakatan-kesepakatan tersebut karena semua itu merupakan basis bagi kehidupan kolektif mereka.

Memenuhi janji merupakan hal penting dalam kehidupan manusia dan setiap pelanggaran terhadapnya akan dipandang sangat buruk di mata setiap indvidu. Setiap orang yang menjalin kesepakatan dengan selainnya akan berharap bahwa butir-butir kesepakatan tersebut akan ditaati secara mutlak.

Kelompok mana pun yang terikat dengan amanat tersebut akan dimasukkan sebagai unit-unit yang tunduk pada butir-butir kesepakatan. Alasan mereka merasa aman adalah bahwa mereka akan saling percaya satu sama lain tanpa punya alasan apapun untuk berselisih. Kehidupan orang-orang seperti mereka akan berhasil dan serbamakmur.

Sebaliknya, sekelompok orang di sebuah daerah yang tidak terikat kesepakatan satu sama lain akan dihantui perasaan cemas dan gelisah. Mereka akan menjadi korban perseteruan terus-menerus.

Setiap individu atau masyarakat yang menghormati perjanjian yang dibuat dengan selainnya akan memiliki rasa hormat dan kepercayaan terhadap selainnya. Mereka yang melanggar amanat atau perjanjian akan dibenci dan dihinakan selainnya. Islam adalah agama fitrah yang sangat menekankan pentingnya pemenuhan janji-janji dan amanat.

Allah Swt memfirmankan dalam al-Quran, … dan penuhilah janji; sesungguhnya (setiap) janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya (di Hari Perhitungan). (QS. al-Isra: 34)

Di tempat lain dalam al-Quran, dikatakan, Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. (QS. al-Mu'minun: 8)

Rasulullah saw mengatakan, "Orang yang tidak memenuhi amanat, [berarti] tidak memiliki keimanan."_[22]

" Barangsiapa mengimani Allah Swt dan Hari Perhitungan harus memenuhi janji-janjinya."_[23]

Imam Ali as. mengatakan kepada Malik Asytar, "Melanggar janji membuat orang lain, juga Allah, kecewa."_[24]

" Bila engkau tak mampu memenuhinya, janganlah melontarkan janji. Bila engkau tak dapat menetapkan jaminan, janganlah memberikannya."_[25]


Hormatilah Perjanjian
Untuk menghidupkan kebiasaan memenuhi janji dan menjunjung amanat dalam masyarakat, maka langkah paling penting yang harus ditempuh adalah mengasuh orang-orang sejak masa kanak-kanak untuk menunaikan janji yang diucapkannya. Pelatihan ini dimulai sejak masa kanak-kanak dalam lingkungan keluarga.

Pada periode ini, sang anak berusaha meniru tindakan dan ucapan orang tuanya. Dalam pada itu, orang tua dapat menjadi teladan bagi anak-anak. Pada dasarnya, anak mengharapkan agar janji-janji (orang tuanya) akan tetap dijaga dan dipenuhi. Bila orang tua memenuhi janji-janji kecilnya, berarti si anak mendapat pelatihan menyangkut aspek penting dalam kehidupannya ini.

Namun, bila mereka menganggap remeh dan mengabaikan janji-janji kecilnya, maka si anak akan mendapat contoh negatif dan mengembangkan kebiasaan melanggar janji yang diucapkannya. Mereka mulai percaya bahwa janji-janji dibuat untuk dilanggar.

Bila orang tua membuat janji palsu demi sejenak menenangkan sang anak, maka pada dasarnya, mereka secara sembrono sedang mendidiknya (si anak) untuk mengumbar janji palsu. Dapatkah anak semacam itu tumbuh menjadi sosok terhormat?

Untuk meredakan rengekan anak, seorang ibu umumnya berjanji akan membelikannya manisan, es krim, mainan, dan sebagainya. Adakalanya ia juga memberi janji-janji tersebut agar si anak mau disuntik atau meminum obat yang rasanya pahit.

Atau sebaliknya, menakut-nakuti si anak dengan mengatakan bahwa bila dirinya melakukan hal tertentu, ia (ibu) akan membawanya ke kantor polisi, melaporkan pada ayahnya, atau menolak membelikannya baju baru saat hari raya.

Jika Anda memperhatikan kehidupan orang-orang di sekitar Anda, atau bahkan kehidupan Anda sendiri, maka Anda akan melihat pelbagai contoh janji-janji dan ancaman-ancaman palsu semacam itu dilontarkan kepada anak-anak yang masih polos.

Pernahkah orang tua membayangkan tentang pengaruh apa yang sedang mereka tiupkan ke benak anak-anak yang masih gamang itu? Kekejian semacam ini, tanpa disadari sama sekali, dilakukan terhadap anak-anak yang tak berdosa!

Orang tua yang bodoh tidak menyadari bahwa mereka sedang melakukan dosa; membuat janji palsu dan juga mendorong si anak mengikuti langkah mereka.

Inilah alasan Islam menuntut orang tua untuk memenuhi janji yang mereka ucapkan kepada anak-anaknya.

Rasulullah saw mengatakan, "Sayangilah anak-anak. Perlakukan mereka dengan baik. Bila engkau berjanji kepada mereka, penuhilah dengan sebenar-benarnya. Anak-anak menganggap engkau sebagai pemberi nafkah bagi mereka."_[26]

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. mengatakan, "Kapanpun engkau berjanji kepada anak-anak, penuhilah (janji tersebut) dengan sebenar-benarnya."_[27]




56. KEPEMILIKAN
Cinta ibu merupakan bagian dari fitrah manusia. Manusia ingin memiliki hal-hal yang dibutuhkannya. Ia menganggap dirinya adalah tuan dari segenap hal tersebut. Ia juga mengharap selainnya menghargai perasaannya terhadap segala miliknya. Naluri kepemilikan dalam fitrah manusia ini tak dapat dihapuskan sepenuhnya.

Dikekang dengan cara apapun, ia tetap akan kembali muncul. Kepemilikan, meskipun merupakan fenomena yang bersifat anggapan, benar-benar menjadi fenomena yang menyelubungi realitas kehidupan. Tanpa rasa kepemilikan, kehidupan umat manusia kiranya menjadi mustahil. Sejak mulai mengenal dirinya dan kebutuhan-kebutuhannya, seorang anak secara naluriah menganggap bahwa dirinyalah pemilik semua itu.

Ketika memungut sesuatu yang tergeletak di lantai, atau mengambilnya dari tangan selainnya, seorang anak cenderung menganggap bahwa itu adalah miliknya. Ia takkan bersedia membaginya dengan siapapun. Ia tahu bahwa dirinya adalah pemilik pakaiannya, sepatunya, dan hal-hal lainnya. Dengan demikian, ia tidak mau orang lain mengambil-alih semua itu.

Anda harus mengetahui bahwa anak-anak mencintai mainan-mainannya, seburuk apapun bentuknya. Mereka melindungi mainan-mainan tersebut dan bahkan siap berkelahi untuknya. Mereka memiliki rasa bangga atas kepemilikan dalam fitrah mereka.

Orang yang berusaha melindungi hak-hak dirinya (sang anak), niscaya tak akan dianggap sebagai orang jahat. Rasa kepemilikan bukanlah naluri yang bersifat negatif. Karenanya, orang tua harus memahami dan menerima naluri alamiah anak semacam ini.

Acapkali terjadi, seorang anak melanggar batas-batas kepemilikan anak-anak yang lain dan berusaha merampas mainannya. Dalam kasus ini, orang tua harus mencegah tindakan semacam ini. Bila anak yang lebih tua mengganggu anak yang lebih kecil, orang tua harus segera turun tangan dengan sikap yang adil.

Anak yang lebih tua harus diyakinkan bahwa seyogianya ia tidak mengambil mainan milik adiknya dengan cara paksa. Bila ulahnya itu masih terus berlanjut, si anak harus diberi peringatan keras untuk mengubah perilakunya. Kebutuhan-kebutuhan manusia terus berkembang.

Bila tidak dilakukan pengawasan terhadapnya, niscaya kebutuhan-kebutuhan tersebut akan melampaui cara-cara (memenuhi)nya. Karenanya, tuntutan kebutuhan-kebutuhan tersebut umumnya dapat menjadi penyebab kehancuran seseorang.

Konsep kepemilikan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan seseorang yang masuk akal. Dalam hal ini, bekerja dianggap perlu bagi tercapainya kepemilikan. Bahkan dalam batas-batas yang dibolehkan oleh syariat, kecintaan pada harta kekayaan dianggap sah-sah saja. Namun, bila melampaui batas-batas syariat, maka hal itu akan dikategorikan sebagai ketamakan dan kekikiran.

Terdapat banyak orang yang dapat digolongkan sebagai para pemuja kekayaan. Mereka terus berusaha tanpa kenal lelah menumpuk kekayaan. Bahkan, mereka rela menggadaikan ketenteraman, harga diri, dan martabatnya dalam usahanya yang sia-sia memburu harta kekayaan. Inilah salah satu jenis kegilaan.

Mereka hanya ingin mendapatkan seonggok harta kekayaan yang padahal tidak bermanfaat, baik untuk dirinya maupun selainnya. Orang-orang semacam itu, tentu saja, tak dapat digolongkan sebagai orang-orang yang bijak.


Bimbing Anak pada Kepemilikan Positif
Karena itu, orang tua harus menumbuhkan rasa kepemilikan dalam diri anak, seraya pula mengajarkannya untuk merasa puas dengan apa yang mampu diperolehnya secara absah. Ia boleh memiliki mainan, tapi jangan sampai terlalu banyak. Mainan-mainan tersebut seyogianya memadai bagi si anak untuk bermain dan belajar.

Bila si anak terlalu banyak memiliki mainan baru yang tergeletak di rak mainan, lebih baik orang tua memberikan sebagiannya pada anak-anak yang lain. Namun, tindakan tersebut seyogianya dilakukan dengan bijak. Misal, dengan mengatakan pada si anak, "Mainanmu terlalu banyak, sementara anak yang lain tidak punya mainan sama sekali. Kalau engkau memberinya beberapa mainanmu, tentu ia akan merasa senang sekali.

Engkau juga akan membuat senang ayah, ibu, juga Allah." Dengan begitu, si anak akan dengan senang hati berbagi mainannya dengan anak-anak yang lain. Sebabnya, ia ingin menyenangkan hati orang tuanya. Naluri semacam ini mendorongnya memahami keadaan selainnya dan memberikan beberapa mainannya pada anak yang lain.

Dengan cara ini, kebiasaan berbagi dapat ditumbuhkan dalam diri anak. Selain itu, orang tua juga dapat mendorong si anak meminjamkan mainannya kepada anak-anak yang lain selama bermain dan meminta mengembalikannya. Melalui cara ini, semangat bekerja sama dan berbagi juga dapat tumbuh dalam diri anak.

Ringkasnya, orang tua semestinya tidak sampai bersikap berlebih-lebihan dalam segenap aspek pengasuhan anak. Mereka harus menumbuhkan rasa kepemilikan dalam diri anak, seraya mengawasi agar tidak sampai melampaui batas-batas yang ditentukan (syariat). Mereka harus memastikan bahwa si anak tidak akan menjadi pecinta buta harta kekayaan di masa depan kehidupannya.


Catatan Kaki:
[22] Bihâr al-Anwâr, jil.75, hal.96.

[23] Ushûl al-Kâfî, jil.2, hal.364.

[24] Bihâr al-Anwâr, jil.77, hal.96.

[25] Ghurar al-Hikam, hal.801.

[26] Wasâ`il asy-Syî'ah, jil.15, hal.101; Bihâr al-Anwâr, jil.104, hal.92.

[27] Mustadrak al-Wasâ`il, jil.2, hal.106.



34
ANAKMU AMANATNYA

57. KEDERMAWANAN

Mulianya Kedermawanan
Kedermawanan dan kemurahan hati merupakan sifat yang mulia. Orang yang dermawan dan murah hati akan berusaha keras mendapatkan harta, namun tak akan mencintai kekayaan secara berlebihan. Ia menginginkan kekayaan tapi untuk berbagi dengan selainnya.

Ia tidak tergila-gila dengan harta kekayaan yang melimpah. Ia menghabiskan hidupnya bersama keluarganya dan berpartisipasi secara penuh dalam menyejahterakan kehidupan masyarakat. Ia suka menolong orang-orang yang tertindas dan membutuhkan. Alhasil, ia memanfaatkan kekayaannya dengan cara yang benar.

Orang kikir, sebaliknya, suka menumpuk kekayaan. Ia tidak menggunakan harta tersebut untuk dirinya, apalagi membantu orang-orang yang membutuhkan. Orang semacam itu akan menumpuk kekayaan untuk anak cucunya. Islam secara tegas mencela kekikiran dan memuji kedermawanan.

Rasulullah saw menyabdakan, "Kedermawanan merupakan bagian dari iman dan iman akan membawa seseorang ke surga."_[28]

" Kedermawanan adalah sebatang pohon di surga yang cabang-cabangnya sedemikian rupa menjangkau bumi. Barangsiapa memegang erat salah satu cabangnya, akan mencapai surga,."_[29]

" Surga adalah rumah bagi orang-orang yang dermawan."_[30]

" Allah Mahakaya dan Maha Pemurah, serta menyukai kedermawanan manusia."_[31]

" Tidak pantas bagi seorang mukmin untuk bersikap kikir dan pengecut."_[32]

Kedermawanan dan kemurahan hati dapat menarik kecintaan dan kasih sayang. Masyarakat menyukai dan menghormati orang dermawan. Berkat kedermawanan dan kemurahan hati, hati manusia dapat ditaklukan.

Rasulullah saw mengatakan, "Orang dermawan lebih dekat kepada (Allah), makhluk-makhluk-Nya, dan surga. Ia senantiasa jauh dari neraka. Orang kikir selalu jauh dari Allah, makhluk-makhluk-Nya (manusia), dan surga. Sebaliknya, ia lebih dekat ke api neraka."_[33]

Orang kikir cenderung mengabaikan hak-hak yang semestinya dipenuhi. Karena itu, ia layak diganjar hukuman di Hari Perhitungan. Sementara, kemurahan hati menjadikan seseorang dimuliakan, baik dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat kelak. Sifat dermawan bersifat naluriah, sebagaimana kebajikan manusia lainnya.

Dengan begitu, orang tua harus menumbuhkan sifat-sifat mulia tersebut dalam diri anak-anaknya. Benar, setiap anak dilahirkan sesuai dengan fitrahnya. Namun demikian, beberapa elemen fitrahnya dengan mudah berubah menjadi kedermawanan, sementara yang lain cenderung ke arah kekikiran.

Dalam pada itu, pembinaan dan pengasuhan orang tua memiliki pengaruh penting dalam membentuk karakter anak-anak. Mereka dapat mempengaruhi anak agar kecenderungan pada kekikiran tidak semakin menguat, seraya mendorongnya menjadi lebih bersikap dermawan.


Orang Tua Dermawan Anak pun Dermawan
Salah satu hal yang memiliki pengaruh paling maksimal dalam pertumbuhan kepribadian anak adalah karakter orang tua. Dalam hal ini, orang tua selalu berperan sebagai teladan bagi anak-anak. Bila orang tua bersikap dermawan, niscaya si anak akan berupaya menirunya.

Pada tahap-tahap berikutnya, kebiasaan bersikap dermawan akan mengakar pada dirinya. Sebaliknya, bila orang tua bersikap kikir, niscaya si anak juga akan menjadikan dirinya bersikap sama. Dalam hal ini, karakter seseorang dibentuk lewat kebiasaan.

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. mengatakan, "Didiklah dirimu sendiri menjadi orang yang bajik; lalu pilihlah yang terbaik di antara kebajikan-kebajikan tersebut. Niscaya kebajikan-kebajikan tersebut akan menjadi kebiasaan dirimu ."_ [34]

" Kedermawanan merupakan salah satu kebiasaan yang baik."_[35]

Imam Ja`far Shadiq as. mengatakan, "Cukuplah bagi seseorang untuk dikatakan berdosa bila dirinya tidak menafkahi keluarganya dan menelantarkannya."_[36]


Tips Menumbuhkan Kebiasaan Bersikap Dermawan

Berikut ini adalah tuntunan bagi para orang tua untuk menumbuhkan kebiasaan bersikap dermawan dan bermurah hati dalam diri anak-anaknya:
1. Doronglah anak untuk memberikan sebagian barang miliknya kepada orang tua dan saudara-saudaranya. Lalu, berilah pujian yang layak dan ucapan terima kasih atas kebaikannya itu. Pada awalnya, si anak mungkin akan merasa enggan berbagi barang miliknya. Namun, berangsur-angsur, ia akan terbiasa juga dengan sikap murah hati. Janganlah memaksa si anak berbagi sewaktu ia enggan melakukannya selama masa percobaan ini. Sebab, itu akan mendorongnya bersikap keras kepala .

2. Sesekali, doronglah anak untuk membolehkan anak-anak yang lain bermain dengan mainan miliknya. Ia juga harus didorong untuk membagi manisan dan coklat miliknya dengan anak-anak yang lain. Tatkala ia melakukannya, tunjukanlah sikap salut dengan, misalnya, menepuk pundaknya.

3. Sesekali, doronglah dirinya untuk memberikan sebagian uang sakunya kepada kaum fakir dan miskin. Atau, mintalah ia mengeluarkan uangnya untuk hal-hal yang bermanfaat. Bila menjadi sebuah kebiasaan, niscaya semua itu akan menimbulkan pengaruh yang baik pada karakter si anak setelah dewasa kelak.
4. Mintalah si anak untuk mengundang makan teman-temannya ke rumah dan menjamu mereka dengan baik.

5. Berilah sejumlah uang kepada si anak setiap hari, seraya memintanya untuk disedekahkan atau dikeluarkan untuk hal-hal yang bermanfaat.

6. Bicarakanlah dengan si anak soal kesulitan dan penderitaan kaum fakir miskin. Bila memungkinkan, ajaklah si anak pergi ke rumah sakit, panti asuhan, serta rumah penampungan orang-orang terlantar dan panti jompo. Lalu katakan padanya bahwa kehadirannya dimaksudkan untuk membantu orang-orang yang membutuhkan.

Semua cara di atas kiranya dapat memprakarsai anak untuk terbiasa bermurah hati. Bagaimanapun, kita tak dapat mengklaim bahwa metode ini dapat diterapkan kepada semua anak. Orang tua tetap harus berusaha sebaik-baiknya, sementara nilai keberhasilannya dapat berbeda dari anak yang satu ke anak yang lain.

Setiap individu memiliki fitrah dan kemampuan menerima perubahan sendiri-sendiri. Bagi anak-anak, kebiasaan mereka juga berasal dari faktor genetis yang diwariskan dari generasi ke generasi. Namun demikian, pengasuhan yang cermat secara pasti memiliki sejumlah pengaruh yang baik.


Seorang perempuan menulis dalam suratnya sebagai berikut:
"… Di sebuah daerah yang subur, kami memiliki sehamparan kebun buah. Berbagai jenis buah-buahan tumbuh di situ dengan berlimpah-ruah. Nenek dan ibuku selalu memberikan sebagian buah-buahan tersebut kepada kaum fakir miskin. Mereka terutama sekali bersikap murah hati terhadap orang-orang miskin yang menjadi pembantu di tengah keluarga kami. Mereka biasanya mempercayakan tugas ini kepada saya.

Sejak usia enam atau tujuh tahun, saya sudah terbiasa melakukan pekerjaan ini. Di desa kami, terdapat keluarga yang terdiri dari sepasang suami istri lanjut usia yang kedua matanya buta. Hati saya sangat trenyuh melihatnya. Setiap hari saya menjenguk mereka; menggenggam tangan mereka, membawa mereka keluar rumah untuk menghirup udara segar, dan mengantar pulang kembali ke rumah mereka.

Saya juga selalu membawakan air danau yang segar untuk mereka. Suami istri yang buta itu selalu mengucapkan terima kasih seraya mendoakan saya. Ketika saya menceritakan semua itu kepada ayah dan ibu, mereka terlihat sangat senang. Ibuku berkata bahwa orang yang buta benar-benar layak mendapatkan pertolongan dalam bentuk apapun.

Orang tua saya selalu mendorong saya melakukan pelbagai perbuatan yang baik. Saya terbiasa menyisihkan uang saku saya dan memberikannya pada siapa pun yang membutuhkan. Berangsur-angsur, saya pun terbiasa melakukannya. Sekarang, saya adalah anggota sebuah organisasi bantuan sosial yang mengurus 14 keluarga miskin.

Anak-anak saya juga terpengaruh oleh sikap dan kegiatan saya. Suatu hari, salah seorang anak saya mengatakan, 'Bu, berikanlah saya uang setiap pagi.' Saya bertanya kepadanya, 'Untuk apa?' Ia berkata, 'Saya akan menabungnya.' Lalu, saya pun memberinya uang setiap hari seraya mengingatkannya untuk tidak memboroskannya.

Setelah beberapa hari, ia menemui saya dengan sebuah pundi di tangan. Dalam pundi itu, terdapat sebagian uang yang saya berikan kepadanya selama ini. Ia berkata, 'Bu, kalau ibu mengizinkan, saya akan memberikan uang ini kepada seorang tua yang buta. Ia tinggal tak jauh dari sekolah saya.' Duhai, betapa senangnya saya memiliki anak seperti dia. Saya pun segera mencium dan memeluknya."




58. SALING MENOLONG DALAM KEBAIKAN
Sejumlah tugas besar dan penting tak dapat dikerjakan sendirian tanpa bantuan siapa pun. Sebaliknya, bila terdapat sejumlah orang yang siap membantu, niscaya tugas yang sama dapat dikerjakan dengan ringan. Bila seseorang tetap bekerja sendirian, niscaya ia tak akan mampu dan bakal menemui kegagalan dalam mengerjakan berbagai tugas sekaligus.

Jarang terjadi, seseorang sendirian saja membangun dan menjalankan sebuah organisasi sosial. Seorang individu tak akan mampu mengurus rumah sakit, sekolah, masjid, panti asuhan, perpustakaan, dan sebagainya tanpa meminta bantuan selainnya. Kenyataannya, seseorang tak mampu sendirian mengelola administrasi dari organisasi apapun.

Namun, berkat bantuan dan kerja sama selainnya, pekerjaan apapun dapat diselesaikan dengan sempurna. Setiap bangsa yang para penduduknya memiliki semangat saling membantu dan bekerja sama akan menjadi bangsa yang makmur.

Dalam kaitan ini, Islam merupakan sebuah sistem perkumpulan yang utuh, yang menyeru manusia untuk bersatu padu dalam mengerjakan kebaikan. Al-Quran al-Karim mengatakan, … tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. (QS. al-Maidah: 2)

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. mengatakan, "Saling membantu guna mempertahankan kebenaran merupakan ketaatan dan ketulusan."_[37]


Biasakanlah Saling Menolong Sejak Masa Kanak-kanak
Semangat kerja sama dan persaudaraan sudah mengakar sejak masa kanak-kanak. Ini mengingat manusia memiliki fitrah menjalin hubungan yang dibawanya sejak lahir. Namun demikian, selalu muncul kebutuhan untuk memanfaatkan naluri fitriah ini. Orang tua yang bersungguh-sungguh dalam mengasuh anak-anaknya akan menumbuhkan naluri bergaul dalam diri mereka (anak-anak).

Umpama, menyediakan mainan dan permainan yang memerlukan kerja sama kelompok, atau yang harus dimainkan oleh lebih dari satu anak. Juga mendorong dan membimbing mereka bersama-sama menyisihkan sebagian uang sakunya untuk ditabung dan digunakan pada hal-hal yang bermanfaat. Dengan cara itu, anak-anak dapat membeli buah-buahan dan manisan, untuk kemudian dibagi-bagikan kepada orang yang sakit, fakir, dan miskin.

Dalam hal ini, orang tua dapat menambah uang saku mereka serta membantu mereka membeli dan membagi-bagikan buah-buahan dan sebagainya. Orang tua juga dapat menyalurkan uang tabungan anak-anak secara berkala ke sejumlah organisasi sosial. Atau menyumbangkan sebagian uang tabungan itu ke beberapa perpustakaan umum untuk dibelikan buku-buku baru. Orang tua juga dapat mendorong anak-anak untuk membentuk panitia kecil dan memprakarsai sendiri sejumlah aktivitas sosial.

Bila orang tua merupakan anggota sebuah organisasi sosial, maka sudah seharusnya mereka juga memprakarsai anak-anak untuk beraktivitas sama. Misalnya, dengan memberikan sejumlah uang kepada si anak untuk disumbangkan sendiri kepada organisasi dan menjadikannya anggota tetap.


Nilai Kemanusiaan dan Anak-anak
Semuanya adalah ciptaan Allah Swt. Seluruh manusia berasal dari nenek moyang yang sama (yakni, Nabi Adam dan Hawa). Pada kenyataannya, seluruh manusia termasuk dalam sebuah keluarga besar yang sama. Allah Swt telah menciptakan dan mengasihi mereka. Hanya Allah saja yang mengaruniakan mereka segenap kebutuhan hidup di dunia.

Dia menganugerahkan mereka kemampuan untuk memanipulasi dan memanfaatkan segala sesuatu yang ada, serta memberikan mereka kearifan dan kekuatan untuk memanfaatkan segala hal di sekeliling mereka demi keuntungan mereka. Allah Swt telah menyediakan mereka kesempatan untuk melambungkan spiritualitasnya demi meraih kesempurnaan takwa dan memperoleh ganjaran pahala di akhirat kelak.

Dia menyediakan pelbagai sarana bimbingan dalam sosok para nabi yang diutus dari waktu ke waktu. Dia telah mengangkat para imam (sebagai pelanjut misi kenabian dan kerasulan), juga para pembimbing keagamaan, seperti para mujtahid dan maraji' (ulama-ulama besar agama yang menjadi rujukan hukum-peny.). Semua itu disebabkan Allah Swt mencintai manusia.

Sungguh, anugerah yang dicurahkan-Nya kepada manusia tak terkira banyaknya. Dia menginginkan umat manusia saling mengasihi satu sama lain dan berusaha keras menciptakan kesejahteraan hidup bersama. Dia menginginkan umat manusia saling menolong, baik dalam keadaan suka maupun duka.

Siapapun yang memikirkan dan berupaya memperbaiki nasib orang lain merupakan orang-orang pilihan Allah Swt. Kelak, mereka akan mendapatkan banyak balasan kebaikan di akhirat. Islam, yang merupakan sistem keimanan bersama, sangat menekankan pentingnya sikap khidmat terhadap kemanusiaan.

Rasulullah saw mengatakan, "Seluruh umat manusia memakan makanan yang dianugerahkan Allah Swt. Karena itu, orang-orang yang paling dicintai Allah adalah mereka yang memberikan makanan kepada manusia lain dan memenuhi kebutuhan sejumlah keluarga."_[38]

Imam Ja`far Shadiq as. mengatakan, "Allah Swt memfirmankan, 'Umat manusia memakan makanan yang Kuberikan. Di antara mereka yang benar-benar Kucintai adalah orang-orang yang berbuat baik kepada selainnya dan berusaha keras membantu orang lain yang sedang membutuhkan.'"_[39]

Seseorang bertanya pada Nabi saw, "Siapakah orang yang paling dicintai Allah Swt?"

Nabi saw menjawab, "Orang yang paling bermanfaat bagi saudaranya."_[40]

Rasulullah saw juga mengatakan, "Setelah keimanan, perbuatan paling bijaksana adalah mencintai dan mengasihi sesama manusia, serta berbuat baik kepada mereka ."_[41]

" Orang yang tidak memperhatikan kebaikan kaum Muslim bukan termasuk seorang Muslim."_[42]

Imam Ja`far Shadiq as. berkata, "Orang-orang pilihan Allah adalah mereka yang didatangi selainnya yang membutuhkan pertolongan. Orang-orang semacam ini akan berada dalam lindungan Allah Swt di Hari Pengadilan."_[43]

Rasulullah saw bersabda, "Allah Swt menyayangi hamba-hamba-Nya dan menyukai hamba-hamba tersebut menyayangi saudara-saudaranya."_[44]

Terdapat ratusan riwayat dari Nabi saw dan para imam semacam itu yang tersebar di berbagai kitab hadis yang memuat ucapan manusia-manusia maksum tersebut.

Nabi saw memandang masyarakat Islam sebagai sebuah kesatuan tunggal dan memerintahkan orang-orang yang beriman untuk mengusahakan kebaikan bersama. Islam adalah sistem keimanan bersama dan menganggap kesejahteraan individu-individunya sebagai kesejahteraan masyarakat.

Islam menentang segala jenis kecenderungan mementingkan diri sendiri. Seorang Muslim sejati tak akan pernah mementingkan dirinya sendiri. Ia juga tak pernah mengabaikan hak-hak selainnya di tengah masyarakat.


Saling Bekerja Sama adalah Sifat Mulia
Keinginan menjalin hubungan persaudaraan dengan manusia lain merupakan sifat mulia yang tertanam dalam fitrah setiap individu. Namun, hanya melalui pembinaan yang tepat saja, sifat semacam ini dapat dijelmakan. Adakalanya terjadi, sifat yang sangat agung ini sama sekali lenyap dalam diri beberapa orang.

Ini tak ubahnya dengan pelbagai naluri yang melekat dalam diri seluruh manusia yang benih-benihnya mulai muncul sepanjang awal masa kanak-kanak, yang bila tidak dipelihara dengan layak, akan terbengkalai atau sama sekali lenyap dari jiwa seseorang.

Sudah menjadi tanggung jawab orang tua untuk menjadikan anak-anaknya bersikap ramah dan bermurah hati kepada sesamanya. Jika orang tua sendiri bermurah hati kepada selainnya, yang terpantul dalam kata-kata dan tindakannya, niscaya anak-anak mereka secara alamiah akan meneladaninya.

Orang tua yang bertanggung jawab dan berwawasan terkadang menggambarkan tentang betapa memprihatinkannya hidup orang-orang fakir, miskin, cacat, dan lanjut usia, di hadapan anak-anaknya. Bila memungkinkan, mereka mengajak anak-anak menemui orang- orang semacam itu. Lalu, mereka akan mengatakan pada anak-anak bahwa orang-orang tersebut adalah orang-orang tertindas yang membutuhkan dukungan dan pertolongan.

Bukan hanya itu, mereka juga memberikan bantuan kepada orang-orang semacam itu di hadapan anak- anak demi memberikan contoh yang baik untuk mereka tiru saat tumbuh dewasa dan mampu menolong selainnya. Selain itu, mereka juga menjelaskan kepada anak-anak perihal kezaliman culas yang dilakukan sejumlah orang terhadap orang-orang yang malang, juga kondisi orang-orang tertindas yang benar-benar memprihatinkan.

Mereka juga berbicara kepada anak-anak perihal penderitaan hidup anak-anak yatim piatu yang tak punya orang tua yang dapat merawat mereka, sehingga mereka layak mendapat dukungan penuh dari selainnya dalam kehidupan masyarakat.

Mereka mengajak anak-anaknya ke panti asuhan untuk menemui anak-anak semacam itu, atau mengundang sejumlah anak yatim ke rumah. Semua ini merupakan proses untuk menjadikan anak-anak menyadari tanggung jawabnya dalam menolong dan membantu kaum yang membutuhkan di tengah masyarakat.


Catatan Kaki:
[28] Jâmi` as-Sa'âdah, jil.2, hal.113.

[29] ibid., hal.114.

[30] ibid.

[31] ibid., hal.113.

[32] ibid., hal.112.

[33] Al-Mahajjat al-Baydha', jil.3, hal.248.

[34] Bihâr al-Anwâr, jil.77, hal.213.

[35] Ghurar al-Hikam, hal.17.

[36] Wasâ`il asy-Syî'ah, jil.15, hal.251.

[37] Ghurar al-Hikam, hal.48.

[38] Bihâr al-Anwâr, jil.74, hal.317.

[39] ibid., jil.73, hal.337.

[40] ibid., jil.74, hal.239.

[41] ibid., hal.392.

[42] ibid., hal.347.

[43] ibid., hal.318.

[44] ibid., hal.339.



35
ANAKMU AMANATNYA

59. KEADILAN DAN PERSAMAAN

Keadilan sebagai Pilar Segalanya
Sebuah keluarga yang terdiri dari beberapa individu tak ubahnya sebuah masyarakat kecil. Dalam hal ini, orang tua bertugas mengelola seluruh urusan yang ada di dalamnya. Sebagaimana menjalankan sebuah negara, pengelolaan kehidupan keluarga mustahil dilakukan tanpa berpijak di atas prinsip keadilan dan persamaan bagi seluruh anggotanya.

Sikap tidak mementingkan diri sendiri, cinta, kasih sayang, dan persatuan hanya mungkin tercipta dalam suasana yang dipenuhi keadilan dan persamaan. Anak-anak akan mendapat asuhan yang selayaknya dalam atmosfer kehidupan semacam ini. Sebab, fitrah mereka menemukan wahananya untuk tumbuh.

Mereka akan mempelajari sikap adil dan seimbang dari contoh yang diajukan orang tuanya kepada mereka. Bila orang tua tidak mempedulikan kebutuhan terhadap keadilan dan kesamaan, niscaya anak-anaknya juga akan bersikap sama.

Imam Ja`far Shadiq as. mengatakan, "Sebagaimana air yang murni dan segar sangat dibutuhkan orang yang sedang dicekik rasa dahaga, begitu pula dengan keadilan dan persamaan. Orang-orang sangat berhasrat terhadapnya. Dan rasanya juga jauh lebih lezat dan lebih baik lagi. Tak ada yang lebih baik dari keadilan."[45]

"Terdapat tiga jenis manusia yang lebih dekat dengan Allah di Hari Perhitungan kelak. Pertama, mereka yang tidak menzalimi pihak yang lebih lemah saat sedang diliputi kemarahan; kedua, mereka yang menjadi penengah di antara dua pihak yang sedang berselisih, namun tidak melakukan apapun yang bertentangan dengan syarat-syarat keadilan; ketiga, mereka yang selalu menjunjung kebenaran, sekalipun itu membahayakan dirinya sendiri."[46]

Allah Swt berfirman, Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan... (QS. an-Nahl: 90)

Sikap adil dan tidak pilih kasih orang tua harus diberlakukan pada seluruh anak-anaknya tanpa pandang bulu. Mereka tidak boleh bersikap pilih kasih terhadap anak tertentu. Baik terhadap anak lelaki maupun perempuan, cantik atau tidak, punya kemampuan atau tidak, orang tua harus mencurahkan perasaan cinta dan kasih sayang yang sama. Tegasnya, mereka harus memberikan perlakuan yang sama kepada semua anaknya.

Rasulullah saw bersabda, "Berlaku adillah terhadap seluruh anak-anakmu, sekalipun beberapa di antaranya sedang bepergian. Bila engkau ingin diperlakukan anak-anakmu dengan baik, penuh kasih sayang, dan adil, maka perlakukanlah mereka dengan cara yang sama."[47]

Rasulullah saw mengetahui bahwa salah seorang sahabat lebih memperhatikan salah satu putranya ketimbang anaknya yang lain. Beliau lalu berkata kepadanya, "Mengapa engkau tidak memperhatikan kebutuhan terhadap keadilan dan persamaan (sikap tidak pilih kasih) dalam memperlakukan (anak-anak)?"[48]

Seseorang sedang duduk menemani Rasulullah saw. Sekonyong-konyong putranya datang. Orang tersebut langsung mencium anak lelakinya itu dan mendudukannya di pangkuannya. Tak lama kemudian, anak perempuannya juga datang. Lelaki itu lalu mendudukannya di hadapannya. Lalu Rasulullah saw berkata padanya, "Mengapa engkau tidak memperhatikan kebutuhan terhadap keadilan dan persamaan di antara anak-anakmu?"[49]

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. berkata, "Mempersembahkan keadilan dan persamaan kepada orang-orang adalah sebaik-baik politik."[50]

Seorang perempuan menemui istri Rasulullah saw, Aisyah, bersama dua anaknya yang masih kecil. Lalu Aisyah memberinya tiga buah kurma. Sang ibu memberi kedua anaknya masing-masing satu kurma; dan secara sama rata, ia membagi buah kurma ketiga dan kembali memberikannya pada kedua anaknya.

Tatkala Rasulullah saw pulang ke rumah, Aisyah menceritakan kejadian itu kepada beliau.

Rasulullah saw berkata, "Mengapa engkau terkejut menyaksikan tindakan perempuan itu? Karena berusaha menjaga keadilan dan persamaan, Allah akan memberinya istana di surga!"[51]

Dengan memperlakukan anak-anaknya secara tidak adil dalam bentuk pilih kasih, pada dasarnya orang tua sedang menciptakan pengaruh yang sangat berbahaya bagi mereka (anak-anaknya), yakni:

1. Anak-anak akan mengikuti sikap tidak adil orang tuanya dan memperlakukan selainnya dengan cara yang sama. Seiring dengan berjalannya waktu, sikap semacam ini akan menjadi bagian dari watak mereka.

2. Anak-anak yang menjadi korban ketidakadilan orang tuanya akan memendam rasa benci dalam jiwanya. Sangat mungkin, mereka akan menjelma menjadi orang-orang durhaka dan suka menentang kebenaran.

3. Perlakuan tidak adil dan sikap pilih kasih akan membuka celah bagi iri hati dan permusuhan untuk muncul di antara anak-anak. Bila itu terus berlangsung, tidak tertutup kemungkinan mereka akan berusaha mencelakai satu sama lain.

4. Jiwa anak-anak yang mengalami perlakuan tidak adil orang tuanya akan dirundung rasa putus asa dan tertekan. Sangat mungkin, mereka akan mengalami gangguan jiwa.

Tentu saja orang tua harus menanggung seluruh akibat dari sikap pilih kasih dan perlakuan tidak adilnya terhadap anak-anaknya.


Keadilan itu Sesuai Kondisi
Karena itu, orang tua, dengan penuh kejujuran, harus memberikan perlakuan yang sama rata kepada seluruh anaknya. Pada usia yang berbeda, anak-anak akan memiliki kebutuhan yang berbeda pula. Disebabkan lahir pada waktu dan jenis kelamin yang berbeda, mereka tentunya tidak memiliki kebutuhan yang sama sepanjang waktu.

Hukum keadilan dan persamaan tentunya juga tidak bersifat kaku. Dengan kata lain, bentuk perlakuan adil berbeda-beda sesuai kondisi atau lingkungan yang ada. Dapatkah dibenarkan bila Anda memangku anak yang sudah besar sebagaimana Anda memangku seorang bayi yang masih dalam buaian?

Sama halnya, apakah dibenarkan memberi uang saku kepada seorang anak berusia tiga tahun sebesar jumlah yang diberikan kepada saudaranya yang berusia 18 tahun? Benarkah bila seorang anak perempuan diberi kebebasan beraktivitas yang sama dengan yang diberikan kepada anak lelaki yang sudah tumbuh dewasa?

Orang tua harus arif menggunakan standar berlaku adil dan tidak pilih kasih kepada anak-anaknya. Ini agar mereka tidak merasa bahwa orang tuanya telah bersikap pilih kasih terhadap salah seorang di antara mereka. Persoalan ini akan diuraikan secara panjang lebar dalam bab "Kedengkian".


Seseorang menulis dalam buku riwayat hidupnya:
"Kenangan masa kecil saya sangat pahit. Saya tak mampu melupakannya. Ayah saya terbiasa membeda-bedakan kami, kakak-beradik. Ia selalu menuruti seluruh permintaan saudaraku dan tak pernah sekalipun memedulikan permintaan saya. Ia memper lakukan saudaraku dengan ramah, sementara aku seringkali diperlakukan hina. Ayah sangat mencintainya dan selalu berkata lembut kepadanya.

Sebagai hasil dari perlakuannya, saya mulai menganggap ayah dan saudara saya bukanlah orang baik. Saya terus membayangkan untuk membalas dendam pada ayah atas perlakuannya yang tidak adil terhadap saya. Dalam keadaan tertekan, saya memilih untuk menyendiri. Saya mulai meludah di dinding dan mengotorinya.

Atau, memecahkan kaca jendela demi melampiaskan rasa benci yang menggumpal dalam diri saya. Adakah cara selain itu bagi saya? Tapi ayah benar-benar tak mempedulikannya. Ia tak tahu bahwa tindakanku itu semata-mata dimaksudkan untuk mengusik kepentingannya."


Seorang perempuan menulis dalam buku hariannya:
"… Salah satu kerabat dekatku memiliki dua anak perempuan. Yang satu merupakan anak yang baik dan sangat cerdas, sementara yang lain biasa-biasa saja. Keduanya masih duduk di bangku sekolah.

Anak yang lebih tua, yang tidak cerdas, selalu memperoleh nilai terendah dalam ujian di sekolahnya. Sementara adiknya selalu meraih nilai yang sangat bagus dalam semua mata pelajarannya. Ibu mereka senantiasa menyombongkan kecerdasan anak keduanya, seraya meremehkan anak pertamanya.

Ia terus-terusan memuji anak keduanya, namun selalu mencela anak pertamanya, dengan mengatakan bahwa dirinya (sang ibu) telah menghabiskan banyak biasa untuk menyekolahkannya. Ia bahkan terbiasa mengatakan bahwa selama ini, dirinya sia-sia saja memberinya pakaian dan makanan.

Anak perempuannya itu sekarang sudah menikah dan menjadi ibu rumah tangga sebagaimana umumnya. Ia memiliki beberapa orang anak. Namun begitu, tatapan matanya terlihat sangat hampa dan menunjukkan bahwa dirinya telah menjadi korban kompleks rendah diri. Ia terlihat begitu lelah dan kurang waras.

Di berbagai pertemuan, ia selalu duduk menyendiri di sudut ruangan dan enggan berbicara dengan selainnya. Ketika saya mengajaknya bicara, ia hanya menghela nafas panjang seraya berkata, 'Saya tak tahu apa-apa.' Saya ingat, sebelum ia menikah, saya membawanya ke seorang psikiater.

Dokter jiwa itu, setelah mengajaknya berbicara cukup lama, mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Kenyataannya, selama ini, orang tuanya tidak memperlakukannya dengan layak dan telah menjerumuskannya pada keadaan yang menyedihkan seperti sekarang ini.

Suatu ketika, dokter jiwa itu berkata padanya, 'Kamu bisa memasak?' Tiba-tiba, ia menangis dan berkata, 'Saya bisa memasak. Tapi, ketika saya menyuguhkan masakan apapun, orang tua saya selalu mengatakan bahwa masakan adik saya lebih enak.'"




60. MENGHORMATI ANAK-ANAK

Hormatilah Anak Anda
Anak juga seorang manusia dan setiap manusia secara fitriah mencintai dirinya sendiri. Ia berharap orang lain mengakui keberadaannya dan menghormati dirinya. Ketika selainnya menunjukkan sikap menghormatinya, ia akan merasa bangga dan tersanjung.

Orang tua yang mencintai anak-anaknya seyogianya memperlihatkan perhatian dan penghormatan kepada mereka. Dalam membina anak, memperlihatkan sikap penghormatan kepada anak dipandang sebagai unsur yang sangat penting.

Seorang anak yang merasa dihormati dan dihargai, akan tumbuh menjadi sosok yang bijak dan bertanggung jawab. Ia selalu berupaya menjaga nama baiknya dan mencegah dirinya dari berbuat kesalahan apapun. Ia terus berusaha melakukan hal-hal yang baik demi meningkatkan penghormatan orang lain kepadanya.

Umumnya, anak yang tidak dihormati orang tuanya akan bersikap sama terhadap orang lain. Seorang anak adalah manusia yang masih kecil. Dan sebagaimana manusia pada umumnya, ia juga mencintai dirinya sendiri. Ia akan merasa kecil hati bila tidak dihormati dan diperlakukan dengan layak.

Orang tua yang memperlakukan anak-anaknya dengan buruk, tanpa mempedulikan perasaan mereka yang terluka, pada dasarnya tengah menanamkan kebencian dalam jiwa mereka yang masih muda. Cepat atau lambat, anak-anak semacam itu akan berubah menjadi orang-orang yang suka bermusuhan dan sangat keras kepala.

Orang tua yang bodoh-yang sayangnya, jumlahnya tidak kecil-menganggap bahwa memperlakukan anak-anak dengan penuh penghormatan akan merusak mereka. Mereka bersikap dingin, merendahkan, dan angkuh terhadap anak-anaknya. Dengan cara ini, mereka sedang melemahkan kepribadian anak-anak dan menumbuhkan perasaan rendah diri dalam jiwa mereka yang masih mudah dipengaruhi.

Dari sudut pandang pengasuhan yang baik, sikap orang tua semacam ini ternyata menjadi rintangan utama. Bila orang tua memperlakukan anak-anaknya dengan penuh penghormatan, niscaya anak akan berusaha membalasnya dengan perlakuan yang sama. Sang anak akan mendapatkan pemahaman sejak masih berusia sangat belia tentang bagaimana orang tuanya memperlakukan dirinya dengan manusiawi dan menghargainya.

Karena itu, ia akan menjauhkan diri dari melakukan hal-hal yang buruk di mata masyarakat. Ia akan berupaya melakukan hal-hal yang baik guna mempertahankan perlakuan orang tuanya yang penuh penghormatan terhadap dirinya.


Kekeliruan Masyarakat
Persoalan yang perlu diperhatikan adalah bahwa umumnya dalam masyarakat kita, anak-anak tidak diperlakukan dengan hormat. Mereka tidak diperlakukan sebagai anggota keluarga hingga mereka tumbuh dewasa. Dalam pelbagai acara peringatan dan perayaan, mereka umumnya diundang dan datang bersama orang tuanya sebagai tambahan.

Dalam acara-acara peringatan, mereka ditempatkan di sudut ruangan. Ketika datang dan meninggalkan acara, mereka sama sekali tidak diperhatikan. Dalam kendaraan, mereka tidak memiliki tempat sendiri. Mereka juga berdiri atau duduk di pangkuan ayahnya.

Mereka tidak dibolehkan berbicara dalam acara pertemuan. Bahkan, bila mereka memberanikan diri berbicara, orang-orang yang lebih tua tak akan menanggapinya-kalau bukan malah menudingnya telah bersikap lancang.


Penghormatan Islam pada Anak
Islam sangat menekankan pentingnya menunjukkan penghormatan terhadap anak-anak. Rasulullah saw bersabda, "Hormatilah anak-anakmu dan berilah mereka pembinaan yang baik agar Allah Swt mengganjarmu dengan curahan pahala."

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. mengatakan, "Orang yang paling hina adalah orang yang tidak menghormati selainnya."[52]

Kapanpun dan di mana pun, Nabi saw selalu memperlakukan anak-anak dengan penuh kasih sayang dan penghormatan.

Setiap kali beliau kembali dari perjalanannya, anak-anak biasanya berlari-lari menyambutnya. Beliau biasa memeluk dan mencium mereka. Sebagian anak-anak bahkan suka menaiki kuda yang beliau tunggangi. Dan beliau juga meminta sahabat-sahabatnya untuk menaikkan anak-anak yang lain ke atas kuda yang mereka tunggangi. Dengan cara inilah beliau memasuki kota.

Memperlakukan hina anak-anak, sekalipun terhadap bayi yang masih dalam buaian, adalah haram hukumnya. Ummul Fadhl mengatakan, "Suatu hari, Rasulullah saw mengambil Imam Husain yang masih bayi dari gendonganku dan memeluknya. Lalu, sang bayi mengompol sehingga membasahi jubah beliau.

Seketika itu pula, saya langsung mengambil sang bayi dari gendongan beliau. Kontan saja, bayi itu menangis. Melihat itu, Rasulullah berkata kepada saya, 'Wahai Ummul Fadhl, tenanglah. Air dapat membersihkan jubahku. Tapi, siapa yang mampu menghilangkan perasaan tersinggung dan terluka bayi al-Husain ini?'"[53]


Seorang lelaki menulis sebagai berikut:
"Aku bukanlah apa-apa di mata orang tuaku. Mereka bukan hanya tidak menghargaiku sama sekali, tapi juga terbiasa mencela dan memarahiku setiap waktu. Mereka tak pernah mengizinkanku melakukan apapun. Bila aku berinisiatif melakukan beberapa pekerjaan, mereka akan berusaha mencari-cari kesalahanku.

Mereka lazim mencelaku di hadapan teman-teman mereka dan teman-temanku. Mereka tak pernah membolehkanku berkata apapun selagi orang lain berada di sekeliling kami. Semua itu membuatku harus menanggung rasa rendah diri dan malu terhadap diriku sendiri.

Aku mulai memandang diriku sebagai sosok yang tidak berguna. Sekarang ini, aku sudah dewasa. Tapi aku terus hidup dan bekerja dalam bayang-bayang rasa putus asa yang sama. Bila dihadapkan dengan tugas yang sulit, aku merasakan diriku tak berdaya dan tak sanggup melakukannya. Aku merasa bahwa disebabkan aku tak mampu menilai sendiri kecakapanku, maka orang lainlah yang harus memberikan penilaian tentangnya.

Aku memandang diriku tak berharga dan sama sekali tak punya kemampuan. Aku benar-benar tak punya rasa percaya diri. Bahkan aku merasa tak yakin mampu berbicara di hadapan orang lain. Ketika aku mengungkapkan sesuatu dalam kondisi tertentu, aku memikirkannya selama berjam-jam tentang apakah yang aku kemukakan saat itu benar adanya ataukah tidak."


Catatan Kaki:
[45] Ushûl al-Kâfî, jil.2, hal.147.

[46] Bihâr al-Anwâr, jil.75, hal. 33.

[47] Makârim al-Akhlâq, jil.71, hal. 252.

[48] ibid., jil.11, hal. 252.

[49] Majma' az-Zawâ`id, jil.8, hal.156.

[50] Ghurar al-Hikam, hal.64.

[51] Sunan, Ibnu Majah, jil.72, hal.1210.

[52] Bihâr al-Anwâr, jil.104, hal.45.

[53] Hadiyyat al-Ahbâb, hal.176.


36
ANAKMU AMANATNYA

61. SIKAP SALING MENGHORMATI
Tentunya setiap orang tua berharap agar anak-anaknya memiliki tingkah laku yang baik. Anak-anak yang baik dan santun merupakan sumber kebanggaan setiap orang tua. Anak-anak yang bertingkah laku baik, secara santun, akan menyalami setiap orang yang dikunjunginya, menjabat tangannya, menanyakan kabarnya, berbicara lembut dengannya, membatasi percakapan hanya pada apa yang ditanyakannya, serta mengucapkan salam sewaktu meninggalkan rumah yang dikunjunginya itu.

Anak-anak semacam itu akan memberikan penghormatan yang selayaknya terhadap orang-orang yang lebih tua; menyambutnya dengan hangat dan penuh sopan santun ketika mereka (orang-orang yang lebih tua) menemuinya, menghormati dan sangat respek terhadap para ulama, figur-figur keagamaan, serta orang-orang yang bijak dan bajik.

Dalam sebuah pertemuan, mereka tetap tenang dan penuh perhatian, tidak berbicara nyaring, berterima kasih terhadap siapapun yang memberinya sesuatu, serta tidak menyela pembicaraan orang lain, khususnya orang-orang yang lebih tua umurnya. Sebelum makan, mereka biasa mengucapkan basmalah (Dengan nama Allah Maha Pengasih Maha Penyayang) dan berdoa.

Baru setelah itu, mereka mengambil beberapa butir makanan. Mereka tidak makan secara berlebihan, tidak melempar makanan ke atas meja atau ke lantai, dan mengikuti seluruh tatakrama di meja makan.

Mereka selalu memperhatikan pakaiannya (tidak mau mengenakan pakaian kotor) dan mengusahakannya agar tetap bersih dan rapi. Mereka akan memperlakukan orang lain dengan baik dan tak pernah menyakiti perasaannya. Mereka berjalan dengan gaya yang sedemikian santun sehingga mengesankan dirinya sebagai anak yang baik dan patuh.

Mereka tidak mengejek atau menertawakan selainnya dengan lelucon-lelucon tidak berguna dan ketika seseorang berbicara kepadanya, mereka akan menyimaknya dengan perhatian penuh.

Tentu saja bukan hanya orang tua yang menyukai anak-anak yang santun, melainkan juga semua orang yang pernah bertemu dan bergaul dengannya. Sebaliknya, anak-anak yang lancang dan tidak sopan dibenci semua orang.

Imam Ali bin Abi Thalib as. mengatakan, "Kemuliaan merupakan puncak kemanusiaan."[54]

"Rasa hormat (kesantunan) dalam diri manusia ibarat pakaian yang indah."[55]

"Perilaku yang baik (kesantunan) dibutuhkan manusia lebih dari emas atau perak."[56]

"Tak ada perhiasan yang lebih baik dari kesantunan dalam diri manusia."[57]

"Warisan terbaik yang diberikan seorang ayah kepada putranya adalah melatihnya menjadi sosok yang santun."[58]

"Orang yang tidak santun akan memiliki banyak kekurangan."[59]

Imam Ja`far Shadiq as. mengatakan, ""Izinkanlah anak-anakmu bermain hingga berusia tujuh tahun, kemudian ajarkanlah kesantunan dan tatakrama yang baik."[60]

Nabi Islam yang suci saw mengatakan, "Seorang anak memiliki tiga hak atas orang tuanya: (1) (Orang tua) memberinya nama yang baik; (2) menjadikannya santun; (3) memilihkan jodoh yang baik untuknya."[61]


Menjadi Teladan bagi Anak
Harapan terdalam setiap orang tua adalah bahwa anak-anaknya tumbuh menjadi sosok yang santun dan penuh tanggung jawab. Namun, harapan ini tak akan terwujud tanpa upaya yang sungguh-sungguh dan berkelanjutan.

Tentu mustahil untuk menanamkan karakter ini dalam diri anak-anak dengan hanya menceramahinya. Cara terbaik untuknya adalah dengan menyuguhkan teladan ideal di hadapan anak-anak, lewat perilaku orang tua yang patut dicontoh dalam kehidupan sehari-harinya.

Imam Ali bin Abi Thalib as. mengatakan, "Perilaku terbaik adalah yang dimulai dari diri kalian sendiri."[62]

"Mulailah mengajari diri sendiri, baru kemudian mengajari orang lain. Pertama kali, sempurnakanlah watakmu, baru kemudian ajari dan nasihati selainmu."[63]

Anak-anak merupakan para peniru alamiah. Kemampuan meniru sangat kuat melekat dalam dirinya. Karenanya, anak-anak cenderung meniru cara-cara (perilaku) orang tua dan orang lain di sekelilingnya; berbicara atau berjalan seperti mereka. Pengajaran, tentu saja, merupakan aspek penting bagi pelatihan.

Namun, itu tidak sekuat kapasitas meniru dan belajar, khususnya pada tahap awal masa kanak-kanak. Para orang tua yang amat berharap anak-anaknya menjadi sosok yang santun dan berperilaku baik, harus memperhatikan betul bahwa mereka sebenarnya sedang melatih anak-anaknya lewat contoh-contoh pribadi. Bila orang tua bersikap santun satu sama lain, secara alamiah, anak-anak akan meneladani dan mengikutinya.

Orang tua yang dirinya sendiri tidak memiliki kesantunan dan perilaku yang baik, jangan berharap anak-anaknya bakal berperilaku baik. Kalaupun mereka menguliahi anak-anaknya ratusan kali tentang aturan-aturan kesantunan dan perilaku yang baik, namun anak-anak tersebut tetap akan berperilaku sesuai apa yang disaksikannya dari sikap dan perilaku orang tua serta anggota keluarga lainnya di lingkungan rumah.

Dengan berperilaku kasar dan bersikap tidak santun satu sama lain, kedua orang tua pada dasarnya sedang menyuguhkan contoh negatif kepada anak-anaknya yang sedang tumbuh.

Anak-anak yang berasal dari keluarga semacam itu akan berperilaku seburuk orang tuanya, atau barangkali lebih buruk lagi. Setiap upaya membenahi mereka niscaya tak akan diindahkannya. Secara alamiah, mereka akan berpikir bahwa kedua orang tuanya menyuruhnya melakukan apa yang mereka sendiri tidak melakukannya.


Contoh itu Baik, Tapi Nasihat juga Baik
Contoh selalu lebih baik dari perintah atau nasihat. Namun keliru juga bila menganggap bahwa nasihat sepenuhnya tidak akan berpengaruh. Orang tua yang baik, yang juga menyuguhkan contoh teladan kepada anak-anaknya, akan selalu mengajak mereka berbicara tentang aturan-aturan berperilaku yang baik dan mereka pasti akan menerima nasihat-nasihatnya.

Nasihat-nasihat juga harus disampaikan dengan cara lembut. Memang, ada sebagian orang tua yang memperlihatkan amarah dan sikap kasarnya sewaktu menegur anak-anaknya yang melakukan suatu kesalahan. Kadangkala mereka mengatakan, "Dasar anak bandel! Kenapa engkau tidak menyalami tamu?

Apakah mulutmu bisu? Dasar anak bodoh dan tak malu! Kenapa kau meregangkan kakimu dengan cara tidak sopan di depan tamu yang lebih tua darimu? Kenapa kamu berisik waktu mengunjungi rumah tetangga? Dasar lancang! Berani-beraninya kau memotong pembicaraan!"

Orang tua bodoh seperti itu menganggap bahwa mereka sedang menasihati anak-anaknya dengan perkataan semacam itu. Mereka tidak tahu bahwa perilaku yang baik tidak diajarkan dengan cara buruk. Bila berbuat salah lantaran kesembronoannya, si anak harus diperingatkan dengan cara lembut, tenang, dan penuh bersahabat.

Nabi Islam saw lazim menyalami anak-anak seraya mengatakan, "Saya selalu menyalami anak-anak agar itu menjadi kebiasaan mereka."




62. MENGHORMATI HUKUM
Orang-orang dalam sebuah masyarakat beradab tak dapat hidup tanpa hukum. Di mana pun berlaku hukum rimba, di situ tak akan ada masyarakat yang beradab. Menjalankan administrasi yang baik dalam masyarakat sesuai dengan ketetapan hukum merupakan hal yang mutlak penting. Hukum-hukum tersebut dimaksudkan untuk menegakkan aturan dan menyediakan perlindungan bagi penetapan dan pelaksanaan hukuman terhadap pihak yang bersalah.

Hukum-hukum juga mutlak dibutuhkan bagi terciptanya kenyamanan dan keamanan rakyat banyak. Dalam negara-negara yang terjalin saling pengertian yang baik di antara para pembuat hukum dan masyarakat, aturan-aturan hukum dibuat demi kepentingan masyarakat yang pada gilirannya akan mematuhinya. Alhasil, orang-orang di sebuah negara secara umum akan hidup dalam kebaikan bila terikat dengan hukum.

Dalam negara-negara di mana para pembuat hukum diam-diam bekerja dengan motif pribadi, lalu sewaktu menyusun undang-undang tidak memikirkan kesejahteraan penduduk, niscaya masyarakatnya tak akan menghormati hukum sehingga kerusuhan atau ketidaktenteraman akan menggejala di mana-mana.

Sayangnya, negara kita pada awalnya menghadapi situasi yang sama (dalam hal ini, yang dimaksudkan penulis adalah keadaan Iran selama masa kekuasaan Syah Iran). Kebanyakan hukum yang dibuat tidaklah Islami, atau bukan ditujukan untuk kebaikan masyarakat. Hukum-hukum diformulasikan demi kepentingan pihak penguasa dan disesuaikan dengan kemauan kalangan imperialis dan antek-anteknya.

Tak secuil pun perhatian diberikan pada keadaan para buruh, pekerja, dan rakyat banyak yang tertindas. Para pembuat hukum berupaya memperdaya dan membungkam penduduk dengan memberlakukan hukum-hukum yang menindas dan menekan. Namun, lantaran masyarakat Iran merasakan bahwa undang-undang non-islami itu berlawanan dengan kepentingannya, mereka pun tidak menghormati, apalagi mematuhinya.

Memang, terdapat beberapa ketetapan hukum dalam undang-undang tersebut yang terbilang baik bagi masyarakat. Namun, disebabkan sistem yang berlaku sudah secara total memusuhi masyarakat, mereka pun menolaknya secara keseluruhan.

Penghormatan terhadap hukum-hukum yang absah dan berpihak pada masyarakat sangatlah penting. Dalam hal ini, para orang tua harus menjelaskan semua itu kepada anak-anaknya. Tatkala melihat orang tuanya menyeberang jalan hanya lewat jembatan atau jalur penyeberangan (zebra crossing), niscaya si anak akan merasa bahwa dirinya juga harus melakukan seperti itu. Ia menjadi terbiasa mengikuti aturan-aturan bagi keselamatan semacam ini dan tak akan pernah melanggarnya.

Para orang tua harus mengatakan kepada anak-anaknya bahwa mobil-mobil dan kendaraan yang bergerak cepat lainnya punya hak untuk melewati jalan raya dan para pejalan kaki hanya dibolehkan menggunakan sarana penyeberangan ketika bermaksud menyeberang ke sisi lain jalan raya.

Para pejalan kaki yang bersikap seenaknya di jalan raya cenderung melakukan pelanggaran dan juga dapat terkena risiko kecelakaan. Pabila memahami keuntungan dari menghormati dan mematuhi hukum, si anak kelak akan menjadi warga negara yang baik.

Imam Ali bin Abi Thalib as. mengatakan, "Kebiasaan adalah fitrah kedua!"[64]


Catatan Kaki:
[54] Ghurar al-Hikam, hal.34.

[55] ibid., hal.21.

[56] ibid., hal.242.

[57] ibid., hal.830.

[58] ibid., hal.293.

[59] ibid., hal.634.

[60] Bihâr al-Anwâr, jil.104, hal.95.

[61] Wasâ`il asy-Syî'ah, jil.15, hal.123.

[62] Ghurar al-Hikam, hal.191.

[63] Nahj al-Balâghah, jil.3, hal.166.

[64] Ghurar al-Hikam, hal.26.



37
ANAKMU AMANATNYA

63. PENGENALAN DIRI DAN EKSISTENSI PENUH MAKNA
Binatang menghabiskan seluruh hidupnya untuk makan, tidur, dan berkembang biak. Kecerdasan dan pengetahuan binatang tidaklah sempurna. Mereka tak mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.

Karena itu, mereka tidak memiliki tanggung jawab yang dibebankan ke pundaknya, sehingga tak akan dituntut untuk mempertanggungjawabkan segenap perbuatannya. Mereka tidak ditakdirkan untuk bertanggung jawab.

Akan tetapi, manusia yang merupakan ciptaan terbaik Allah Swt tidak seperti binatang. Ia memiliki kebijaksanaan dan kemampuan untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang indah dan mana yang jelek. Manusia diciptakan untuk menjadi wujud yang kekal dan abadi, bukan untuk binasa.

Karena itu, ia memikul tugas dan tanggung jawab besar yang ditetapkan untuknya. Dalam hal ini, manusia adalah khalifah dan wakil Allah di muka bumi ini.
Tujuan hidup manusia bukan hanya untuk makan, tidur, memuaskan hawa nafsu, dan mencari nafkah. Melainkan juga harus menempuh sebuah jalan yang dapat membuktikan bahwa dirinya bahkan lebih unggul dari malaikat.

Sebagai manusia, ia harus berupaya sekuat tenaga untuk mengembangkan kemanusiaannya dan memiliki tujuan luhur dalam arung hidupnya. Ia harus berupaya keras mencari keridhaan Allah serta berkhidmat kepada makhluk-makhluk-Nya, dan bukan semata-mata meraih keuntungan duniawi. Selain itu, ia juga harus mencari kebenaran dan mengikutinya.


Manusia Ibarat Batu Permata
Ya, keberadaan manusia ibarat batu permata yang sangat berharga sehingga menjadikannya jauh lebih unggul dari seluruh binatang. Namun sayang, kebanyakan manusia justru menyia-nyiakan keberadaan dirinya yang tak ternilai itu. Mereka benar-benar menghabiskan hidupnya seperti binatang. Dalam pandangan mereka, makan, minum, tidur, dan memenuhi tuntutan jasmaniah itu sendiri sudah merupakan tujuan hidup.

Mungkin saja seseorang hidup selama ratusan tahun tanpa mengenal dirinya sendiri dan menemui kematian dalam keadaan benar-benar bodoh. Dalam keadaan itu, ia datang ke dunia dan menemui kematian seperti seekor binatang. Ia tak punya tujuan dan akan menyimpang sepanjang hidupnya. Sehingga seluruh usaha kerasnya akan sia-sia belaka dan sama sekali tidak membuahkan hasil.

Karena itu, manusia seyogianya mengenal siapa dirinya. Dari mana dirinya datang? Ke mana akan pergi? Apa tujuan kelahirannya? Jalan apa yang harus ditempuh? Apa tujuan (hidup) yang sebenarnya dan apa keuntungan baginya?

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as., berkata, "Pengetahuan terbaik adalah mengenal diri sendiri, dan kebodohan terbesar adalah tidak mengenal diri sendiri."[65]

"Orang yang tidak mengenal dirinya sendiri akan tersesat dari jalan keselamatan serta menempuh jalan kebodohan dan kesia-siaan."[66]

"Demi Allah, orang paling menjijikkan adalah orang yang menjadikan makan dan pemenuhan tuntutan jasmaniah semata-mata sebagai tujuan hidupnya."[67]

"Orang yang menjadikan tercapainya keselamatan di Hari Pengadilan sebagai tujuannya dalam mengarungi kehidupan akan mendapatkan apa yang diinginkannya."[68]

Para orang tua seyogianya memberikan pelajaran tentang pengenalan diri dan tujuan hidup kepada anak-anaknya, serta memberikan contoh yang luhur bagi kehidupan anak-anaknya. Si anak, dengan bantuan orang tuanya, harus dibimbing dalam mengenali dirinya.

Dari mana ia datang? Apa tujuan keberadaannya? Ke mana akhirnya ia akan pergi? Apa tugas-tugas dan tanggung jawabnya di dunia ini? Dengan program dan tujuan apakah seharusnya ia mengarungi kehidupannya? Bila mengenali dirinya sendiri dan memiliki tujuan [hidup] yang pasti, niscaya para orang tua akan mampu dan berhasil membimbing anak-anaknya di jalan yang sesuai dengan harapannya.




64. KEBIASAAN MEMBACA BUKU

Buku sebagai Sumber Pengetahuan
Buku merupakan salah satu sarana terbaik bagi pembelajaran dan pendidikan. Sebuah buku yang baik selalu memberikan pengaruh yang bermanfaat ke dalam benak pembacanya. Ia akan meninggikan jiwa dan pemikirannya. Ia juga akan memperbesar khazanah pengetahuannya.

Buku membantu dalam membenahi moral yang tercela. Khususnya, pada masa-masa kehidupan serba mesin seperti sekarang ini, ketika manusia menghabiskan waktunya untuk menghadiri pertemuan dan simposium; sumber yang paling baik untuk memperoleh pengetahuan keagamaan dan umum adalah buku, yang dapat dibaca kapan saja seseorang memiliki waktu luang.

Mungkin saja, membaca buku memiliki dampak yang lebih dalam bagi benak para pembacanya ketimbang sumber-sumber lain dalam memperoleh pengetahuan. Adakalanya, kegiatan membaca membawa perubahan yang revolusioner bagi pandangan seseorang.

Kebiasaan membaca buku adalah cara memanfaatkan waktu luang yang paling baik. Ia dapat menjaga seseorang tetap sibuk, ketika tiada hal lain yang dikerjakannya. Orang-orang yang terbiasa membaca, bukan hanya akan dapat memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya, tetapi juga memelihara pemikirannya dari hal-hal yang merusak, yang mungkin terjadi jika duduk melamun; tak mengerjakan apapun.

Sebuah buku yang baik, bagi seorang pembaca, adalah lebih baik ketimbang berkunjung ke taman terbaik dan tempat terindah.

Amirul Mukminin Ali as. mengatakan, "Seseorang yang (selalu) menyibukkan dirinya dengan buku-buku, tidak akan pernah kehilangan ketenangan akalnya."[69]
"Raihlah segarnya pengetahuan dengan menyingkirkan keletihan dan kesuraman di hatimu; sebab hati, sebagaimana tubuh, juga mengalami kelelahan."[70]


Buku sebagai Tolok Ukur Peradaban
Alat untuk mengukur kemajuan dan peradaban sebuah bangsa adalah kualitas dan jumlah buku serta jumlah orang yang terbiasa membacanya. Pendidikan formal seseorang bukanlah kriteria untuk menentukan (tingkat) pengetahuan seseorang.

Seorang yang benar-benar berpengetahuan adalah yang selalu terlibat dalam kegiatan membaca dan meneliti. Kita sangat tidak beruntung memiliki banyak individu yang memiliki ijasah tingkat sekolah dan universitas, tetapi sangat sedikit sarjana dan peneliti. Kebanyakan anak-anak, setelah menyelesaikan pendidikan formalnya, menyingkirkan buku-buku dan sibuk dengan aktivitas lain.


Buku sebagai Tolok Ukur Peradaban
Pertumbuhan pengetahuan orang-orang seperti ini menjadi mandek sejak saat itu. Keinginan mereka mendapatkan pendidikan guna meraih pekerjaan telah tercapai. Mereka merasa bahwa tidak diperlukan tambahan pengetahuan lebih lanjut.

Sebenarnya, pendidikan semestinya ditujukan untuk mencapai keunggulan dalam ranah pengetahuan yang dipilih. Pendidikan adalah proses menerus dan berlanjut hingga nafas terakhir. Agama Islam juga mendesak para mengikutnya untuk meraih jalan pengetahuan, mulai dari buaian hingga ke liang lahat.


Pandangan Islam tentang Ilmu
Rasulullah saw bersabda, "Mencari ilmu adalah kewajiban setiap Muslim. Allah mencintai orang-orang yang mencari pengetahuan."[71]

Imam Ja`far Shadiq as. mengatakan, "Sekalipun sahabat-sahabat saya dimotivasi untuk meraih ilmu dengan ancaman deraan, saya akan menyetujuinya."[72]

Rasulullah saw juga bersabda, "Selain dua tipe manusia, tidak ada pahala bagi manusia lainnya: pertama, orang yang alim (terpelajar) dan selebihnya adalah ia yang sibuk mencari ilmu."[73]

Imam Ja`far Shadiq as. berkata, "Manusia itu terdiri dari tiga jenis: orang yang alim, para pencari ilmu, dan selebihnya merupakan tumpukan sampah belaka."[74]

Luqman, sang nabi, berkata pada anaknya, "Luangkan waktu dalam sehari semalam untuk membaca dan mencari ilmu. Jika engkau berhenti membaca, ilmumu akan menghilang."[75]

Imam Ja`far Shadiq as. berkata, "Mencari ilmu dalam semua kondisinya adalah kebutuhan mutlak."[76]

Rasulullah saw bersabda, "Mencari ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim laki-laki dan setiap Muslim perempuan."[77]

Imam Ja`far Shadiq as. mengatakan, "Jika orang-orang mengetahui manfaat dari ilmu, mereka tentu telah berusaha meraihnya, meski dengan mengorbankan hidup mereka. Untuk tujuan ini, mereka akan mengarungi samudera yang penuh bahaya." [78]

Rasulullah saw bersabda, "Jika saya melalui satu hari tanpa penambahan khazanah pengetahuan saya, maka saya akan merasa bahwa hari itu tidak membawa keberuntungan bagi saya."[79]

Adalah tugas para orang tua untuk menyuruh anak-anaknya ke sekolah guna mendapatkan ilmu dengan membaca dan menulis. Dalam hal ini, Islam telah memberikan perintah yang tegas kepada orang-orang yang beriman.

Imam Ja`far Shadiq as. berkata, "Seorang anak bermain selama tujuh tahun, belajar selama tujuh tahun, dan tujuh tahun yang lain mempelajari tentang apa yang diperbolehkan (halal) dan apa yang tidak diperbolehkan (haram)."[80]

Rasulullah saw telah bersabda, "Seorang anak memiliki tiga hak atas ayahnya: (1) sang ayah harus memilihkan sebuah nama yang baik baginya; (2)
mengajarinya membaca dan menulis; dan (3) jika ia telah dewasa, mencarikan pasangan baginya."[81]

"Jika seorang anak dikirim ke sekolah, dan sang guru mengajarinya membaca basmalah maka Allah akan menghindarkan orang tua anak tersebut dari api neraka."[82]

"Kasihan anak-anak di zaman dahulu, atas apa yang telah ditimbulkan oleh nenek-moyang (para pendahulu) mereka kepada mereka. Meskipun para orang tua ingin mereka menjadi Muslim, tetapi mereka tidak mengenalkan kewajiban keagamaan kepada anak-anak itu."[83]


Menciptakan Suasana Gemar Baca
Tanggung jawab lain para orang tua adalah mengasuh anak-anak dengan suatu cara sehingga mereka dapat menanamkan kebiasaan membaca buku-buku bermutu dan menjadi seorang peneliti keilmuan. Suasana dalam rumah harus menjadi suatu pembelajaran dan pendidikan. Mereka harus mendorong anak-anak, dengan ucapan dan perbuatan, untuk memiliki kebiasaan membaca.

Sebelum mengenyam pendidikan fomal di sekolah, sang anak harus sudah dihantarkan untuk mengenal buku. Pada tahap awal, para orang tua harus membacakan buku-buku itu bagi sang anak. Mereka dapat membacakan cerita pendek yang menarik dan dongeng untuk membuat anak-anak tertarik kepada buku. Berilah anak-anak buku yang banyak menampil kan gambar berwarna dan ilustrasi.

Setiap hari, orang tua atau kakaknya mesti membacakan sebagian dari buku itu guna memelihara kesinambungan perhatiannya atas isi buku tersebut. Mereka harus menjelaskan kepada si anak ilustrasi yang ada dalam buku itu. Selanjutnya, anak harus diminta untuk menceritakan kembali dan menjelaskan ilustrasi yang berkait dengan cerita tersebut.

Dalam pendidikan informal ini, orang tua sepatutnya tidak terburu-buru dalam mengajar dan tidak memberikan buku-buku yang berada di luar kemampuannya. Pertama-tama, mereka harus membuat anak-anak tertarik untuk mendengarkan cerita, kemudian lanjutkan dengan proses membaca buku.

Lanjutkan proses tersebut hingga anak belajar membaca dan menulis sendiri. Kemudian, serahkan tugas membaca buku itu kepadanya. Sesekali, mintalah pendapat si anak atas buku baru yang telah dibacanya. Diskusikan isi buku itu dengannya. Teruslah memberikan perhatian hingga si anak terbiasa membaca buku.


Poin-poin Penting

Di sini, para orang tua harus mengingat poin berikut:
1. Anak-anak menyukai cerita dan dongeng dan memahami isinya dengan baik. Oleh karena itu, sangat bermanfaat bila materi beberapa subjek disajikan dalam bentuk cerita.

2. Setiap anak memiliki ciri kepribadiannya masing-masing. Kemampuan dan rasa sangat berbeda antara satu orang dengan yang lain. Akan terjadi perubahan rasa dalam diri seseorang setelah mengalami perkembangan dalam beberapa tahun.

Oleh karena itu, para orang tua pertama-tama harus mencoba untuk mengukur selera dan kemampuan anak, kemudian membawakan buku-buku untuk memahami kebutuhannya. Jangan sodorkan buku-buku yang sulit dan membosankan. Ini akan membawa dampak negatif bagi kebiasaan membaca pada dirinya.

3. Sejak si anak berada dalam proses perkembangan kepribadiannya, dan buku memberikan dampak yang dalam bagi proses ini, perhatian harus diarahkan untuk melihat bahwa buku-buku dengan isi yang pantas telah dipilihkan untuknya. Orang tua harus membaca sendiri buku itu sebelumnya, kemudian memutuskan kelayakannya sebagai bahan bacaan anak.

Jangan perbolehkan anak membaca materi yang buruk, yang dapat memberikan dampak negatif bagi pikirannya yang masih rentan. Jika dia terbiasa membaca literatur seperti itu, akan menjadi sulit untuk membebaskannya dari hal itu.

4.Anak-anak menunjukkan minat yang lebih besar dalam membaca kisah tentang kejahatan dan petualangan. Buku-buku ini dapat menimbulkan efek yang merusak bagi jiwa anak. Buku-buku yang melepaskan kecenderungan seksual pada anak, misalnya, juga harus dijauhkan dari jangkauannya. Seseorang menuturkan dalam buku hariannya:

"Nenekku sangat mencintaiku. Aku biasa tidur bersamanya di malam hari. Aku selalu minta kepadanya untuk bercerita saat aku hendak tidur. Untuk membuatku tertidur, beliau biasa membawakan sebuah dongeng setiap malamnya. Dalam daftar ceritanya, terdapat kisah tentang Jin Baba dan cerita horor lainnya.

Cerita-cerita itu telah meninggalkan bekasnya dalam jiwaku. Aku biasa tidur dengan perasaan penuh takut setelah mendengarkannya. Aku pun mulai mengalami mimpi-mimpi buruk yang mengerikan. Setelah itu, aku berubah menjadi seorang penakut dan pengecut. Aku selalu ketakutan bila sendiri. Aku menjadi mudah gelisah.

Keadaan ini terus bertahan pada diriku. Bagaimanapun, aku berharap kepada para orang tua atau orang yang lebih dewasa agar jangan menceritakan kisah-kisah horor kepada anak-anak yang masih mudah terpengaruh. Aku telah berketetapan hati untuk tidak menceritakan dongeng seperti itu kepada anak-anakku. Secara umum, aku akan menceritakan kepada mereka kisah-kisah dalam al-Quran dan kisah-kisah lain yang mengandungi akhlak nan mulia."

5. Kebiasaan membaca bukan hanya untuk waktu senggang. Tujuan utama membaca adalah memperoleh pengetahuan, memahami isi buku, dan mengambil manfaat darinya. Tidak terlalu penting, berapa jumlah buku yang dibaca anak-anak, tetapi yang terpenting adalah bagaimana mereka membacanya.

Apakah hanya membaca cepat dan sepintas lalu saja? Sudahkah dia membaca buku itu dengan penuh perhatian dan memahami isinya? Para orang tua harus memberikan perhatian penuh dalam aspek ini.

Sesekali, mereka harus meminta si anak untuk membuat intisari dari buku yang telah dibacanya. Mereka harus dapat menyimpulkan; apakah anak telah memahami isinya secara benar ataukah tidak. Mereka harus melakukan koreksi, jika pemahaman atas isi buku itu tidak benar.

6. Umumnya, anak-anak menyukai buku-buku yang berisi cerita khayal. Beberapa cendekia menganjurkan untuk membaca buku-buku seperti ini. Mereka beranggapan, buku seperti itu akan mendorong fakultas imajinatif anak. Akan tetapi, penulis berpendapat bahwa membaca cerita-cerita khayal dan rekaan akan meningkatkan kebiasaan berbohong pada anak. Akalnya akan menjadi gudang pemikiran yang salah. Jika tumbuh dewasa, dia akan mudah melakukan kebohongan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya.

7. Benar, anak-anak lebih suka membaca cerita ketimbang bahan bacaan lain. Akan tetapi, perhatian perlu dilakukan agar dia mendapatkan kumpulan buku-buku yang terseleksi dengan baik dan terdiri dari subjek yang beragam, bukan hanya buku cerita. Secara perlahan, anak harus dibangunkan minatnya untuk membaca dan memahami bahan bacaan dengan subjek yang rumit dari literatur yang serius.

Adalah tidak benar bahwa anak-anak hanya menggemari cerita-cerita rekaan. Mereka pasti menunjukkan minat yang kuat untuk membaca kisah tentang pribadi-pribadi besar, kehidupan dan keberhasilan-keberhasilannya. Mereka akan mencari panutan pada tokoh-tokoh tersebut dan bercita-cita agar kehidupannya seperti kehidupan sang tokoh besar tersebut.


Catatan Kaki:
[65] Ghurar al-Hikam, hal.179.

[66] ibid., hal.77.

[67] ibid., hal.205.

[68] ibid., hal.693.

[69] Ghurar al-Hikam, hal.636

[70] Ushûl al-Kâfî, jil.1, hal.48.

[71] ibid., hal.30.

[72] ibid., hal.33

[73] ibid.

[74] ibid., hal.34.

[75] Bihâr al-Anwâr, jil.1, hal.169.

[76] ibid.. hal.172.

[77] ibid., hal.177

[78] ibid.

[79] Majma' az-Zawâ`id, jil.5, hal.127.

[80] Mustadrak al-Wasâ`il, jil.2, hal.645.

[81] ibid., hal.625.

[82] ibid.

[83] ibid.


38
ANAKMU AMANATNYA

65. HUKUMAN FISIK
Banyak orang tua memberikan hukuman fisik kepada anak-anak untuk pendidikan yang sepantasnya. Bahkan beberapa guru pun mengambil sikap seperti ini. Mereka percaya, pelaku kejahatan takkan dapat dijinakkan hanya dengan kata-kata. Di masa lalu, kebanyakan orang mempercayai kaidah ini. Saat itu, tongkat, rantai, dan cemeti merupakan alat yang dianggap penting untuk digunakan di sekolah.

Para orang tua yang berkeinginan untuk memberikan pengasuhan yang sebaik-baiknya kepada anak-anak tidak pernah berpantang untuk memukul mereka apabila diperlukan. Akan tetapi, kebanyakan kaum cendekia menganggap metode kekerasan dalam pendidikan sebagai sesuatu yang biadab dan berbahaya bagi anak-anak. Di sebagian besar negara yang telah berkembang (maju) terdapat larangan yang hampir total terhadap hukuman fisik dalam memperbaiki perilaku anak-anak.


Dampak Jangka Panjang dari Hukuman Fisik
Ya, anak-anak takkan penah dapat diperbaiki dengan hukuman fisik. Mungkin saja, hal itu memiliki pengaruh sesaat bagi si anak, tetapi sangat berbahaya dalam jangka panjang.


Sebagai contoh:
1. Ketika seorang anak dipukul, dia akan mengambil sikap menundukkan kepala (pasrah) atas siksaan itu. Dia mungkin mulai berpikir bahwa pemaksaan adalah satu-satunya jalan untuk meraih kesuksesan. Dia berpikir bahwa jika seseorang marah, maka dia harus memukul. Dengan memberikan hukuman fisik kepada anak, para orang tua telah memberikan seperangkat contoh untuk mengadopsi hukum rimba dalam kehidupan masa depannya.

2. Anak-anak yang beroleh pukulan demi pukulan, akan membangun kebencian dan sikap perlawanan terhadap orang tua mereka. Anak-anak tidak akan pernah melupakan perlakuan kasar yang mereka terima dari tangan orang tuanya. Anak-anak seperti ini mungkin akan menjadi seorang pemberontak.

3. Pemukulan berulang dapat membuat si anak menjadi penakut dan pengecut. Kepribadian anak dapat tertekan lantaran hukuman fisik tersebut. Setelahnya, dia mungkin akan menjadi pengidap penyakit (keluhan) psikologis.

4. Dalam sebagian besar kasus, hukuman fisik jarang berhasil dalam memperbaiki seorang anak. Tak tercipta keinginan dalam diri anak untuk memperbaiki kelakuannya. Dia mungkin memperlihatkan beberapa tanda perubahan sesaat lantaran takut pada cambukan dan pemukulan, tetapi hal ini bukan jaminan bahwa dia tidak akan mengulangi perbuatan yang sama. Dasar kelemahannya tetap bersemayam di dalam pikiran bawah-sadarnya. Ia akan mewujudkan diri kembali dalam berbagai bentuk lain.


Seseorang menuturkan:
"Anakku yang berusia 12 tahun telah mencuri sejumlah uang dari lemari pakaian istriku. Ketika mengetahui hal itu, kupukul dia dengan sebuah tongkat. Sejak saat itu, ia tidak pernah lagi dekat-dekat dengan lemari pakaian istriku."

Benar, si anak tidak lagi mencuri apapun dari lemari ibunya. Si ayah tampaknya telah berhasil dengan melakukan hukuman secara fisik terhadap anaknya itu. Akan tetapi, persoalannya tidak segampang itu. Kisahnya terus berlangsung. Si anak malah menemukan dalih lain untuk melanjutkan perbuatan buruknya. Dia naik bus dan menolak untuk membayar ongkos kepada sang kondektur.

Ketika sang ibu menyuruhnya berbelanja ke toko bahan makanan, dia mengambil sisa kembalian uangnya. Selanjutnya, dia diketahui telah mencuri uang temannya. Kesimpulan kisah ini adalah bahwa ketika si anak dipukul untuk sebuah kesalahan yang dilakukannya, dia secara pintar tidak akan mengulangi perbuatan itu. Akan tetapi, pikirannya terus bekerja hingga menemukan metode lain untuk melakukan pencurian.[1]


Seorang cendekia menulis:
"Anak-anak yang mendapat pukulan untuk perbaikan dirinya akan menjadi orang yang lemah dan tak berguna. Atau, sebaliknya, akan menjadi orang yang keras kepala dan suka berbohong. Mereka akan menjadi pendendam karena perlakuan menyakitkan yang mereka terima semasa kanak-kanak."[2]


Russel menulis:
"Menurut saya, hukuman fisik bagi anak-anak bagaimanapun bukanlah cara yang tepat."[3]

Islam juga menyatakan bahwa hukuman fisik adalah berbahaya dan terlarang.

Amirul Mukminin Ali as. mengatakan, "Orang yang cerdas dapat dibimbing dengan kelembutan; hanya binatang yang tak dapat diperbaiki tanpa pemukulan."[4]

Imam Ja`far Shadiq as. mengatakan, "Siapapun yang mencambuk orang lain sekali, Allah akan hujankan cambukan yang menyakitkan (berapi) kepadanya."[5]

Rasulullah saw bersabda, "Gunakanlah cinta dan kasih sayang dalam mendidik dan membina, dan jangan menggunakan kekejaman. Sebab, seorang penasihat yang bijak adalah lebih baik ketimbang seorang yang kejam."[6]

Seseorang berkata bahwa dia telah mengeluhkan anaknya kepada Imam Musa bin Ja`far. Imam menjawab, "Jangan pernah memukulnya. Akan tetapi, ambillah jarak dengannya, dan jarak ini juga tidak boleh dilakukan terlalu lama."[7]


Kebolehan Hukuman Fisik Disyarati
Hukuman fisik sangat berbahaya dalam mendidik anak-anak dan harus dihindarkan. Akan tetapi, jika tidak ada cara lain untuk memperbaiki anak, gunakan ini sebagai cara terakhir bila terpaksa. Islam juga mengizinkan ini dalam kondisi tertentu.

Rasulullah saw bersabda, "Mintalah anak-anakmu untuk mulai melaksanakan shalat pada usia enam tahun. Jika dia tak mendengarkan peringatanmu yang berulang-ulang, engkau boleh memukul mereka agar terbiasa melakukan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun."[8]

Dalam sebuah riwayat, Imam Ja`far Shadiq berkata, "Ketika anak berusia sembilan tahun, ajari dia untuk mengerjakan wudhu; perintahkan dia untuk mengerjakan wudhu dan shalat. Jika si anak tidak patuh, pukullah dia dan buatlah dia mengerjakan shalat."[9]

Imam Ali as. berkata, "Sebagaimana engkau menegur anakmu sendiri, engkau dapat menegur seorang anak yatim. Dan pada saat di mana engkau mungkin memukul anakmu, pada saat yang sama engkau dapat memukul anak yatim."[10]

"Jika budakmu tidak taat kepada Allah, pukullah ia. Jika ia tidak menaatimu, maafkanlah ia."[11]

Seseorang datang menghadap kepada Rasulullah saw dan berkata bahwa seorang anak yatim berada di bawah asuhannya. Dia ingin mengetahui apakah dia dapat memukul anak itu untuk mendidiknya. Rasulullah saw menjawab,"Dalam situasi di mana engkau dapat memukul anakmu, engkau boleh memukul seorang anak yatim dalam sebuah situasi yang sama, dalam kepentingan terbaiknya."[12]

Adalah lebih baik untuk tidak melakukan hukuman fisik terhadap anak-anak sejauh mungkin. Dan jika hal itu diperlukan, lakukan dengan pengendalian diri secara maksimum. Hukuman harus memiliki alasan yang dapat diterima akal dan sepantasnya.

Seseorang bertanya kepada Rasulullah saw, "Anggota-anggota keluarga saya tidak patuh kepada saya. Bagaimana saya harus mengubah mereka?" Rasulullah saw menjawab, "Maafkanlah mereka!" Laki-laki itu mengulangi pertanyaannya untuk yang kedua dan ketiga kalinya.

Nabi Suci saw memberikan jawaban yang sama; tetapi kemudian beliau berkata, "Jika engkau ingin menegur orang-orang dalam keluargamu, maka engkau harus mengingat-ingat dalam benakmu bahwa hukuman tidak boleh lebih dari kesalahan mereka. Engkau juga harus mencegah diri dari memukul mereka pada bagian wajah."[13]

Imam Ja`far Shadiq as. berkata, "Jika diperlukan, jangan memberikan lebih dari lima atau enam pukulan pada anakmu atau sang pelayan, dan pukulan-pukulan ini tidak boleh terlalu keras."[14]


Menegur Anak Jangan Di Depan Orang Lain
Saat menegur anak-anak, sebaiknya jangan melakukannya di hadapan yang lain. Kehadiran yang lain mungkin akan menyebabkan munculnya mental penyiksa dalam diri anak-anak dan membahayakan mereka. Jika pemukulan itu berlebihan, maka terdapat sebuah diyat atau denda untuk menghapus kesalahan, yang disebutkan dalam Islam, bagi seseorang yang melakukan hukuman.

Oleh karena itu, kehati-hatian perlu dilakukan pada saat melaksanakan pemukulan untuk memperbaiki mereka. Sesuai dengan hukum Islam, jika muka seseorang menghitam karena menerima pukulan, dendanya adalah enam dinar emas (koin). Jika mukanya membiru, tiga dinar, dan untuk muka yang memerah, satu dinar setengah.[15]

Tidaklah dapat dibenarkan jika para orang tua bertindak seperti tiran dalam menghadapi anak-anaknya. Mereka tidak boleh menendang, meninju, dan memukulnya, baik dengan rantai maupun tongkat.

Islam memang mengizinkan untuk menegur dan memukul anak dengan tujuan perbaikan, dan faktanya memang memerintahkan tindakan semacam itu. Kita tahu bahwa para remaja di negara-negara Barat menjadi tersesat (nakal) sebagai akibat buruk dari kebebasan yang diberikan kepada mereka.





66. HUKUMAN NON-FISIK

Hukuman Non-Fisik Tidak Kurang dari Hukuman Fisik
Banyak orang tua yang lebih suka memberikan hukuman non-fisik kepada anak-anak pada saat diperlukan. Sebagai contoh, jika seorang anak berlaku tidak pantas, dia akan dikunci dalam sebuah ruangan gelap atau sebuah kotak besar. Terkadang, para orang tua berteriak dan menggunakan kata-kata buruk dalam kemarahannya, ketika seorang anak melakukan sebuah kesalahan. Akibat dari hukuman kejam seperti ini mungkin tidak kurang dari hukuman fisik, sebagaimana telah dibahas dalam bab sebelumnya.

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. berkata, "Terdapat banyak ragam penghukuman yang memiliki pengaruh yang lebih besar ketimbang serangan fisik."[16]

Mungkin saja, penghukuman seperti itu tampak lebih keras dalam benak anak-anak ketimbang penghukuman secara fisik. Hukuman-hukuman ini akan melukai kepribadian si anak dan menciptakan unsur-unsur ketakutan dan kegelisahan bagi masa depannya.

Sering terjadi, bila seorang anak dikunci sendirian di ruang yang gelap, maka pengaruh pada syarafnya adalah sedemikian kerasnya sehingga dia takkan mampu untuk menghapuskan hal itu dari benaknya dalam sebagian besar hidupnya. Beberapa korban dari gangguan syaraf seperti ini terkadang pingsan di bawah pengaruhya.

Oleh karena itu, para orang tua seharusnya menahan diri dari memberikan hukuman-hukuman seperti ini kepada anak-anaknya. Berteriak dan menggunakan kata-kata kotor kepada anak-anak adalah tabu (haram) dan akan membawa pengaruh yang sangat merusak bagi pendidikan mereka. Ini mungkin akan memotivasi anak untuk belajar menggunakan kata-kata kotor dalam kehidupan masa depannya.


Hukuman Non-Fisik yang Dibolehkan
Akan tetapi, terdapat sejumlah tertentu hukuman non-fisik yang tidak akan membawa dampak negatif ke dalam benak anak-anak, dan pada saat yang sama sangat efektif untuk mengoreksi mereka. Sebagai contoh, jika seorang anak berprilaku tak baik atau tidak memberikan perhatian pada pelajarannya, orang tua dapat menghentikan bicara sesaat dengannya atau tak membawanya bertamasya.

Sesekali, sebagai sebuah bentuk hukuman, para orang tua jangan membawa anak dalam menghadiri sebuah acara di mana semua anggota keluarga diundang. Sewaktu-waktu, sebagai sebuah teguran, anak dibiarkan tak makan. Di waktu yang lain, sebagai sebuah perbaikan, anak diberi beberapa tugas sulit untuk dilaksanakan. Hukuman-hukuman seperti itu, jika dilakukan dengan bijak, akan sangat efektif dalam mengawasi dan membenahi anak. Semua itu tidak disertai dengan efek yang merusak bagi benak dan syaraf anak.

Akan tetapi, hukuman adalah hukuman. Terdapat kekurangan tertentu dalam hukuman, yang tidak akan terlalu efektif untuk memperbaiki kekurangan hakiki yang terdapat dalam sifat alami anak. Lantaran takut akan hukuman, sesaat atau beberapa saat, si anak mungkin akan berperilaku berbeda dan bertindak sebagaimana mestinya. Atau, secara cerdas tidak melakukan kesalahan yang sama secara terang-terangan.

Akan tetapi, ketika menemukan sebuah keadaan yang menguntungkan, dia mungkin akan melakukan tindakan yang sama, sebagaimana telah ditegur pada waktu sebelumnya. Oleh karena itu, hukuman tidak dapat membuang penyebab pelanggaran yang dilakukan anak. Adalah mungkin bahwa terkadang anak bersembunyi di balik kebohongan dan ketidakterusterangan.


Poin-poin Penting

Untuk membuat hukuman non-fisik menjadi efektif dan bijak, beberapa poin berikut sangat dianjurkan bagi para orang tua dan pembina anak-anak:
1. Hukuman haruslah masuk akal dan sepadan dengan pelanggaran yang dilakukan anak. Pastikan bahwa hukuman tersebut tidak melebihi kesalahan atau kelakuan yang tidak baik dari si anak. Jika si anak menganggap bahwa hukuman tersebut tidak adil, dia mungkin akan bereaksi dengan bertahan dan mulai menjadi pemberontak yang keras kepala.

2. Hukuman tidak boleh menjadikan si anak mulai berpikir bahwa orang tua adalah musuhnya dan mereka tidak mencintainya.

3. Jika anak melakukan sebuah kesalahan yang tak disengaja, dia tidak sepantasnya dihukum. Jika si anak tetap dihukum, ini akan membawa dampak yang negatif bagi perasaan dan akalnya.

4.Hukuman tidak boleh menjadi peristiwa setiap hari, jika para orang tua ingin hal itu efektif. Jika hukuman diulang terlalu sering, anak akan berubah menjadi orang yang selalu terdorong untuk melakukan dosa. Sehingga, hukuman tidak akan memiliki dampak apapun terhadapnya. Imam Ali berkata, "Teguran dan hukuman yang berlebihan akan membuat seseorang menjadi keras kepala."[17]

5. Anak dapat dihukum untuk satu perbuatan yang dilakukannya, bukan untuk semua kesalahan yang pernah dilakukan sebelumnya. Kalau tidak, si anak akan merasa bingung; atas alasan apa dia dihukum. Dia tidak akan mengulangi sebuah perbuatan, hanya jika dia tahu bahwa dia telah dihukum karena melakukan perbuatan tersebut. Adalah lebih baik jika hukuman diberikan seketika setelah terjadinya perbuatan itu.

6. Bagi kemungkinan yang lebih luas, harus dilakukan upaya untuk melihat bahwa hukuman itu sesuai dengan kesalahan yang telah dilakukan. Sebagai contoh, jika si anak melakukan kelalaian dalam mengerjakan latihan matematika, dia harus diperintahkan untuk melengkapi latihan itu, bukan menyalin seluruh isi buku dari awal hingga akhir.

Jika si anak dengan ceroboh melemparkan tas dan seragam sekolahnya setelah pulang dari sekolah, dia harus diminta seketika itu pula untuk meletakkan semua itu pada tempatnya masing-masing dengan sebaik-baiknya. Sebagai sebuah hukuman bagi perilaku ceroboh seperti itu, dia tidak boleh diancam bahwa dia tidak akan diajak dalam rencana makan malam saat itu.

Jika si anak bertingkah buruk dalam sebuah acara pesta, hukumannya dapat berupa tak membawanya dalam acara berikutnya, dan bukan dengan menghentikan pemberian uang sakunya. Jika si anak menghamburkan uang saku, maka sebagai sebuah hukuman, potonglah sejumlah tertentu pemberian uang saku berikutnya.

7. Jika Anda hendak menghukum seorang anak, jangan bandingkan dia dengan anak-anak lain. Jangan ceritakan kualitas anak-anak lain kepadanya. Anda tidak akan dapat melakukan perbaikan atas si anak dengan sikap seperti ini. Anda malah akan membangkitkan perasaan cemburu di benak si anak.
Seseorang menulis dalam catatan hariannya sebagai berikut:

"Di masa kanak-kanakku, ayah sangat sering berteriak di depanku. Dia biasa menghinaku di hadapan famili dan sahabat-sahabatku serta selalu menyebut-nyebut kesuksesan orang lain di hadapanku. Dia selalu mencari-cari kesempatan untuk merendahkanku. Dia mengang gapku orang yang lemah.

Bagaimanapun seringnya dia menghinaku, aku semakin keras kepala. Aku kehilangan semangat belajarku. Aku telah membangun sebuah kompleks rendah diri. Aku mulai melalaikan pekerjaanku. Aku tak ingin menerima tanggung jawab apapun. Kepribadianku telah terlukai oleh omelan ayahku. Sekarang, aku adalah orang yang malas dan sendiri."




67. DORONGAN DAN HADIAH

Mengapresiasi Anak secara Bijak
Satu metode yang sangat baik dalam proses pengasuhan yang baik adalah apresiasi dan dorongan ketika seorang anak melakukan kebajikan. Ini memiliki pengaruh yang bermanfaat (menyehatkan) bagi akal si anak. Ini juga akan memberikan kepadanya alasan untuk tetap melakukan yang lebih baik di masa datang.

(Dia merasa), setiap orang sedang mencintai dirinya. Dengan caranya sendiri, dia akan berpikir untuk membangun dan mengembangkan kepribadiannya. Dia ingin agar orang-orang mengakui dan mengapresiasi kepribadiannya. Jika memperoleh apresiasi dari orang lain, dia akan berjuang untuk meraih kemajuan yang lebih jauh. Akan tetapi, jika dia tidak didorong, semangatnya akan berkurang.


Beberapa saran untuk memperoleh hasil yang baik disajikan di bawah ini:
1. Perbuatan anak boleh diapresiasi, tetapi jangan terlalu sering. Sebab, jika penghargaan itu terlalu banyak, ia akan kehilangan nilainya di mata anak. Dia akan menempatkan apresiasi Anda sebagai sesuatu yang rutin.

2. Penghargaan yang diberikan kepada anak haruslah pada tempat dan waktu yang khusus, sehingga dia menyadari mengapa dan untuk apa dia beroleh pujian. Dengan demikian, dia akan mencoba untuk melakukan yang lebih baik dan mendapat penghargaan pada kesempatan yang lain. Inilah alasannya mengapa apresiasi yang diulang-ulang dan tidak perlu tidak dianjurkan.

Sebagai contoh, jika seorang anak beroleh tepukan berulang-ulang di punggungnya bahwa dia adalah individu yang baik dan sopan, penghargaan ini akan kehilangan nilai pentingnya bagi si anak. Si anak takkan mampu memahami alasan di balik apresiasi itu.

3. Adalah juga penting bahwa yang diapresiasi adalah perbuatan dan pekerjaan baik si anak, bukan pribadinya. Dengan demikian, dia akan memahami bahwa dia dipuji atas apa yang dilakukannya, bukan dirinya. Nilai setiap orang adalah disebabkan apa yang dicapainya.

4. Saat memuji seorang anak, jangan pernah membandingkannya dengan anak-anak yang lain. Sebagai contoh, seorang ayah tidak sepantasnya mengatakan kepada anaknya, "Engkau adalah seorang anak yang baik dan jujur, tidak seperti Hasan yang seorang pendusta." Sikap seperti ini akan membuat anak membentuk opini yang buruk tentang anak lain. Ketika membanding-bandingkan anak-anak, orang tua sebenarnya sedang melakukan kesalahan dalam mengasuh anak yang baik.

5. Pujian dan penghargaan terhadap anak harus dalam batas tertentu. Akibat buruk dari hal ini adalah membuat anak menjadi angkuh dan sombong.
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib mengatakan, "Banyak orang membangun kesombongan disebabkan oleh tumpukan pujian terhadap mereka."[18]
"Jangan berlebih-lebihan dalam memuji orang lain."[19]


Memberi Hadiah yang Mendidik
Satu metode yang sangat baik untuk pendidikan dan pengajaran yang efektif adalah pemberian hadiah. Hadiah bukanlah metode yang buruk dalam memberikan dorongan jika bersifat spontan dan bukan untuk memenuhi janji awal bahwa jika si anak meraih hal tertentu, maka dia akan mendapatkan sebuah hadiah khusus.

Jika janji telah dibuat sebelumnya kepada sang anak, ini akan memberikan dampak yang negatif terhadapnya. Si anak akan mulai mengharapkan hadiah untuk setiap hal baik yang dilakukannya. Ini akan menjadi semacam kesenangan dan si anak tidak akan berjuang untuk melakukan hal yang lebih baik, jika pemberian-pemberian itu dihentikan untuk yang akan datang.

Seseorang harus memiliki kebiasaan dalam mengerjakan perbuatan baik. Dia harus melakukan semua itu untuk ridha Allah dan melayani umat manusia serta tidak dengan pandangan untuk mencari keuntungan material. Jika anak terbiasa memperoleh hadiah untuk setiap alasan yang kecil, dia mungkin akan menjadi berpikiran sempit dan egois.

Dia tidak akan berpikir bahwa merupakan tugasnya untuk melakukan sesuatu bagi orang lain, kecuali kalau dia memperoleh sesuatu dari apa yang dilakukannya. Sejauh mungkin, dia akan menghindar dari melakukan sesuatu bagi orang lain. Sikap seperti ini merupakan sifat yang buruk dalam diri seseorang maupun masyarakat.

Oleh karena itu, pemberian hadiah atas perbuatan baik yang dilakukan anak-anak harus jarang dan bersifat selektif, sehingga penerimaan hadiah semacam itu tidak menjadi sebuah sifat kedua bagi mereka. Ketika seorang anak telah terbiasa melakukan tugas berdasarkan inisiatifnya, kurangilah frekuensi pemberian hadiah itu.

Doronglah dia untuk melakukan tugas tersebut. Banyak orang tua memberikan hadiah kepada anak-anak yang memperoleh peringkat yang lebih tinggi setelah menempuh ujian. Dengan cara ini mereka mendorong anak-anak untuk berusaha lebih keras di dalam studinya. Mungkin cara ini efektif dalam tingkatan tertentu.

Akan tetapi, terdapat sebuah kerusakan besar di dalamnya. Itu akan merusak rasa bertanggung jawab si anak. Si anak akan berusaha keras dalam studinya hanya disebabkan dia ingin mendapatkan hadiah dengan meraih peringkat yang lebih tinggi. Kalau tidak, dia tidak akan bersusah-payah melakukan upaya yang keras. Untuk apapun yang dilakukannya, dia mengharapkan sebuah hadiah sebagai upah atasnya.


Seseorang menulis:
"Saya diterima di tingkat empat sekolah agama. Saya sangat buruk dalam membaca al-Quran. Akan tetapi, teman-teman sekelas saya sangat baik dalam bacaannya. Saat pertama kali saya menghadiri kelas, sang guru bertanya kepada saya dengan penuh kasih sayang, 'Dapatkah engkau membaca al-Quran?'

Saya menjawab dengan gugup, 'Tidak, Pak.' Ia menimpali, 'Jangan khawatir, saya akan mengajarimu. Saya tahu engkau akan menjadi salah seorang murid yang baik di kelas ini. Apapun kebingungan yang kau hadapi, jangan ragu-ragu untuk bertanya kepada saya.' Kata-kata penuh kasih sayang dari sang guru itu telah mendorong saya; saya mulai berusaha dengan kebulatan tekat.

Di akhir tahun, saya unggul dalam membaca al-Quran. Saya mencapai sebuah tingkat kecakapan tertentu, sehingga apabila sang guru berhalangan hadir, saya diminta untuk memimpin kelas. Saya juga mendapatkan tanggung jawab untuk membaca ayat-ayat al-Quran di pertemuan pagi, sebelum program kelas berlangsung."


Seorang gadis menulis di catatan hariannya:
"Ayahku adalah orang yang berpikiran maju. Suatu hari, ketika ibuku pergi, beliau mengundang beberapa orang guruku untuk makan bersama. Beliau membawa bahan-bahan untuk dimasak dan memberikannya kepadaku. Aku pun mulai berkerja di dapur dengan penuh semangat. Di siang hari, Ayah datang bersama teman-temannya.

Ketika aku menuangkan makanan di meja makanan, aku melihat bahwa makanan itu belum dimasak secara sempurna. Ayam baru setengah matang dan nasinya pun terlalu lembek karena terlalu banyak air. Semua itu terjadi karena aku belum sepenuhnya belajar tentang seni dalam memasak. Aku benar-benar cemas.

Aku menyangka bahwa aku akan mendapat teguran dari Ayah. Akan tetapi, berlawanan dengan semua sangkaanku, Ayah memujiku di depan teman-temannya. Beliau berkata, 'Makanan ini dimasak oleh anak kesayanganku ini. Alangkah lezatnya!' Para tamu pun membenarkan itu dan memuji upayaku. Kemudian, Ayah menepuk punggungku. Kata-kata dorongan itu telah menyemangatiku untuk bersungguh-sungguh dalam mempelajari seni memasak. Hari ini, aku adalah orang yang sangat mahir dalam menyiapkan sajian makanan yang baik."


Catatan Kaki:
[1] Rowan Shinasi Tajrubi Kudak, hal.263.

[2] ibid., hal.266.

[3] Dar Tarbiat, hal.169

[4] Ghurar al-Hikam, hal.236.

[5] Wasâ`il asy-Syî'ah, jil.19, hal.14.

[6] Bihâr al-Anwâr, jil.77, hal.175.

[7] ibid., jil.104, hal.99.

[8] Mustadrak al-Wasâ`il, jil.1, hal.171.

[9] Wasâ'il asy-Syî'ah, jil.3, hal.13.

[10] ibid., jil.15, hal.197

[11] Ghurar al-Hikam, hal.115.

[12] Mustadrak al-Wasâ`il, jil.2, hal.625.

[13] Majma' az-Zawâ`id, jil.8, hal.106.

[14] Wasâ`'il asy-Syî'ah, jil.18, hal.581.

[15] ibid., jil.19, hal.295.

[16] Ghurar al-Hikam, hal.415.

[17] ibid., hal.70.

[18] Bihâr al-Anwâr, jil.72, hal.295.

[19] Ghurar al- Hikam, hal.209.

39