• Mulai
  • Sebelumnya
  • 27 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Pengunjung: 236464 / Download: 718
Ukuran Ukuran Ukuran
Tanya Jawab Masalah Akhlak

Tanya Jawab Masalah Akhlak

pengarang:
Indonesia
Tanya Jawab Masalah Akhlak Tanya Jawab Masalah Akhlak


Oleh: Team Islam Quest


1
Tanya Jawab Masalah Akhlak

DAFTAR ISI
1. Tolong Anda sebutkan sebagian dari keyakinan mazhab Wahabi?

2. Apakah pembatasan ruang gerak kaum perempuan merupakan sebuah perbuatan yang dapat ditolerir?

3. Bagaimana cara bertaubat dari menonton film-film vulgar?

4. Apa yang menjadi tugas seorang warga Muslim dalam pemeliharaan kesehatan dan lingkungan?

5. Saya tidak bergairah dan memiliki mood saat mengerjakan shalat, apa yang harus saya lakukan?

6. Bagaimana manusia bisa sampai pada kesempurnaan?

7. Hakikat dosa itu? Apa pengaruhnya terhadap ruh dan jiwa manusia?

8. Dalam kondisi bagaimana doa itu pasti dikabulkan dan diijabah?

9. Apakah ucapan ini "Kalau niatnya tulus maka kita tidak lagi memerlukan sebab-sebab lainnya seperti doa dan ziarah, karena niat tersebut sudah mencukupi" benar adanya?

10. Apakah dalam mazhab Syiah terdapat kitab all-inklusif (Jâmi’) hadis seperti kitab hadis Sahih Bukhari dan Shahih Muslim dalam mazhab Sunni? Apabila ada tolong sebutkan kitab-kitab tersebut?

11. Dalam ilmu pendidikan dan psikologi bersandar kepada percaya diri. Dan pada Islamologi, disiplin ilmu akhlak dan irfan yang mengemuka adalah masalah tawakkal kepada Allah Swt. Apakah kedua hal ini berseberangan satu dengan yang lain?

12. Mengapa kecenderungan kepada aspek-aspek material dan duniawi sangatlah besar dan mudah daripada kecenderungan kepada alam akhirat dan nilai-nilai maknawi?

13. Bagaimana saya hidup sebagai seorang Syiah di kalangan Ahlusunnah?

14. Darimana harus memulai proses pensucian jiwa dan tazkiyah nafs?

15. Apakah kita harus melakukan istikhâra apabila ingin melangsungkan pernikahan?

16. Mengapa manusia tidak boleh melenyapkan nikmat kehidupan bagi dirinya?

17. Menurut anda, langkah-langkah apakah yang harus ditempuh untuk mempraktikkan nikah mut'ah?

18. Rasulullah Saw:”Kebersihan merupakan "bagian dari iman”. Dan di tempat lain juga Nabi Saw bersabda: ”Dengan menikah, sebagian dari imannya menjadi sempurna”. Lantas bagaimana dengan shalat dan puasa?

19. Apa yang harus dilakukan dan berdayaguna sehingga kita dapat menyatukan ilmu dan amal?

20. Apakah shalat itu? Kenapa kebanyakan para kawula muda menghindar dari melaksanakan shalat?

21. Apa yang dimaksud dengan spiritualisme hakiki dan spiritualisme emosional?

22. Kenapa terjadi banyak kerusakan (fasâd) dalam negara-negara Islam?

23. Dimanakah penghambaan itu? Siapa hamba? Bagaimana dapat bergerak di atas rel penghambaan?

24. Bagaimana manusia dapat menjadi kekasih Allah Swt?

25. Dimanakah letak kebahagiaan dan kesempurnaan manusia?

26. Apakah Tuhan itu harus ditakuti atau dicintai?!





2
Tanya Jawab Masalah Akhlak

1. Tolong Anda sebutkan sebagian dari keyakinan mazhab Wahabi


Kaum Wahabi adalah pengikut Muhammad bin Abdul Wahab dan ia merupakan pengikut maktab Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnu Qayyim Jauzi yang mendirikan beberapa keyakinan baru di Semenanjung Arabiyah. Mazhab Wahabi merupakan salah satu mazhab dalam Islam yang terdapat di negara Saudi Arabia dan memiliki pengikut di negara-negara seperti Pakistan dan India.

Mereka meyakini bahwa memohon hajat kepada Rasulullah saw dan para imam maksum as, ziarah, menghormati dan memuliakan kuburan Nabi saw dan para imam maksum adalah sejenis bid'ah dan tergolong sebagai menyembah berhala dan hukumnya haram. Mereka memandang bahwa menyampaikan salam, memuliakan dan menghormati Nabi saw tidak dibenarkan kecuali dalam shalat. Akhir kehidupan duniawi Nabi saw merupakan akhir untuk memuliakan dan menghormatinya.

Segala jenis peninggalan, kubah, pusara di atas kuburan para imam dan ulama dipandang sebagai bid’ah dan meyakini bahwa Nabi saw adalah manusia dengan segala kelemahan dan ketidakmampuan manusiawi. Ia telah meninggalkan dunia ini dan tidak ada sangkut pautnya dengan kondisi kita sekarang ini di dunia. Dan ziarah kuburan beliau juga haram hukumnya. Dalam pandangan Wahabi tiada seorang manusia yang bertauhid (muwahhid) dan Muslim kecuali meninggalkan hal-hal yang disebutkan di atas.

Menyampaikan hajat, berziarah, menghormati (ihtirâm) dan mengagungkan (ta'zhim) pusara Nabi saw dan para imam maksum sebagai bentuk bid'ah (heresy) dan menyembah berhala kemudian menghukuminya sebagai perbuatan haram. Mereka memandang haram menyampaikan salam, memuliakan dan menghormati Nabi saw di luar shalat.

Seiring dengan wafatnya Nabi saw, maka berakhir pula penghormatan dan pemuliaan kepada Nabi saw. Segala jenis bentuk, kubah, pusara atas kuburan para imam dan pembesar agama sebagai bid'ah. Mereka meyakini bahwa Rasulullah saw adalah seorang manusia biasa dengan segala ketidakmampuan dan kelemahan yang merasakan kematian. Setelah wafatnya maka sekali-kali beliau tidak memiliki berita tentang kita dan dunia hari ini karena itu ziarah kubur Nabi saw adalah haram hukumnya. Untuk diketahui bahwa keyakinan yang dianut oleh mazhab Wahabi ini banyak ditolak dan dikritisi oleh ulama dari kalangan Syiah dan Sunni.

Kaum Wahabi merupakan para pengikut Muhammad bin Abdulwahab bin Sulaiman Najdi (1115-1206) dan ia sendiri adalah pengikut maktab Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnu Qayyim Jauzi yang memperkenalkan keyakinan baru di semenanjung Arab. Nama firkah ini diadopsi dari nama ayahnya Abdulwahab.[1]

Firkah Wahabi merupakan salah satu firkah dalam Islam yang memiliki banyak pengikut di wilayah Arab Saudi dan sebagian negara-negara seperti Pakistan dan India.

Muhammad Jawad Mughniyah, dalam kitab “Hadzihi Hiya al-Wahabiyah” dengan bersandar pada kitab-kitab karya Muhammad bin Abdulwahab dan karya-karya lain pengikut mazhab Wahabi, menulis: Dalam pandangan kaum Wahabi tiada seorang pun, tidak seorang yang bertauhid dan tidak seorang muslim kecuali ia meninggalkan beberapa perkara tertentu (yang akan disampaikan pada bagian mendatang).[2]

Padahal, seluruh Muslimin meyakini bahwa barangsiapa yang mengucapkan dua kalimat syahadat (syahadatain) maka ia adalah seorang muslim. Darah dan hartanya terhormat. Akan tetapi orang-orang Wahabi berkata: Ucapan tanpa perbuatan tidak ada nilai dan harganya. Karena itu, barangsiapa yang mengucapkan dua kalimat syahadat (syahadatain) namun mencari pertolongan dari orang-orang mati maka orang ini adalah kafir dan musyrik. Darah dan harta benda orang ini halal.

Mazhab Wahabi dewasa ini merupakan mazhab resmi di kerajaan Saudi Arabia dan fatwa-fatwa yang disampaikan oleh para ulamanya dilakukan dari pihak kerajaan. Mereka dalam masalah fikih adalah pengikut Ahmad bin Hanbal dan sama sekali tidak pernah mencercah empat mazhab lainnya (Hanafi, Syafi’i, Hanbali, Maliki). Namun mereka senantiasa mencerca dan memaki mazhab-mazhab lainnya seperti Syiah dan Zaidiyyah.[3]

Sebelum kita mengulas seputar keyakinan mazhab Wahabi, kami akan kemukakan terlebih dahulu sebuah pendahuluan singkat terkait dengan masalah syirik.

Syirik secara leksikal bermakna memitrakan dan bercampurnya dua mitra.[4] Dalam terminologi Al-Quran syirik digunakan sebagai lawan kata hanifat. Yang dimaksud dengan syirik adalah syarik[5] yang bermakna menjadikan sesuatu semisal dan serupa dengan Allah Swt. Hanif bermakna munculnya kecenderungan dari penyimpangan kepada sesuatu yang lurus dan benar. Pengikut tauhid murni disebut sebagai hanif karena telah berpaling dari kemusyrikan dan memperoleh kecenderungan kepada tauhid.

Allah Swt dalam Al-Quran berfirman kepada Rasul-Nya: Katakanlah, “Sesungguhnya aku telah diberi petunjuk oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar, agama Ibrahim yang lurus; dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS. Al-An’am [6]:161) Atau pada ayat lainnya, Allah Swt berfirman: “Dan (aku telah diperintah), ‘Hadapkanlah mukamu kepada agama yang bersih dari segala kemusyrikan dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS. Yunus [10]:105)

Dengan demikian, dalam pandangan Al-Quran, syirik merupakan titik seberang agama hanif (lurus). Dan untuk mengenal syirik maka kita harus mengenal agama yang lurus, mengingat kaidah yang menyebutkan, “Tu’raf al-asya’ bidhedduha.” (Segala sesuatunya dapat dikenal dengan mengenal lawannya).

Dengan satu kalimat dapat dikatakan bahwa syirik adalah titik seberang dan lawan dari tauhid. Sebagaimana tauhid memiliki bagian-bagian, maka syirik juga memiliki bagian-bagian.


Dalam sebuah klasifikasi umum, syirik dapat dibagi menjadi dua bagian:
1. Syirik dalam akidah (keyakinan)

2. Syirik dalam amal (perbuatan)


A. Syirik dalam Akidah

Syirik dalam akidah (keyakinan) sendiri terbagi menjadi tiga bagian:
1. Syirik dalam uluhiyyat (ketuhanan): Adanya keyakinan terhadap entitas selain Tuhan yang secara mandiri memiliki seluruh sifat kesempurnaan dan keindahan. Keyakinan seperti ini akan menyebabkan kekufuran. Atas dasar ini, Allah Swt berfirman dalam Al-Quran, Sungguh telah kafir orang-orang yang berkata, “Sesungguhnya Allah itu ialah al-Masih putra Maryam.” (QS. Al-Maidah [5]:17)

2. Syirik dalam khâliqiyyat (kepenciptaan): Adanya keyakinan bahwa terdapat dua sumber mandiri yang menciptakan alam semesta, sedemikian sehingga penciptaan dan pengelolaan seluruh apa yang ada di alam semesta berada di tangannya. Sebagaimana agama Majusi (Zarasustra) yang meyakini dua sumber kebaikan (Yazdan) dan keburukan (Ahriman).

3. Syirik dalam rububiyat (pengaturan): Adanya keyakinan bahwa di alam semesta terdapat tuhan-tuhan (arbab) dan Allah Swt merupakan Tuhan segala tuhan (Rabb al-Arbab). Artinya bahwa pengelolaan alam semesta didelegasikan kepada tuhan-tuhan secara mandiri. Sebagaimana kaum musyrikin pada masa Nabi Ibrahim as yang terjangkiti jenis syirik seperti ini. Sebagian mereka meyakini bintang-bintang sebagai pengatur alam semesta, sebagian lainnya memandang bulan dan sebagian lainnya meyakini matahari sebagai pengelola alam semesta.


B. Syirik dalam Amal (perbuatan)
Syirik dalam perbuatan disebut sebagai syirik dalam ketaatan (ithâ’at) dan penghambaan (ibadah). Syirik dalam perbuatan bermakna bahwa manusia tunduk dan patuh kepada seseorang yang bersumber dari keyakinan terhadap ketuhanan (uluhiyyah) atau kepenciptaan (khaliqiyyah) atau pengaturan (rububiyah) orang tersebut dan menghormatinya. Kesemua ini merupakan pelbagai kriteria dan pakem syirik yang dapat disimpulkan dari Al-Quran. Akan tetapi Wahabi menciptakan kriteria dan pakem syirik tersendiri dan dengan perantara pakem ini mereka menuding kaum Muslimin sebagai melakukan perbuatan syirik.

Dalam pandangan kami, standar dan kriteria syirik yang mereka tentukan sama sekali tidak bernilai, karena standar dan kriteria yang mereka buat berseberangan dengan ayat-ayat Al-Quran dan sirah Rasulullah saw dan para khalifah Rasulullah saw (Dua Belas Imam).


Di sini kami akan beberkan sebagian keyakinan firkah Wahabi sebagai berikut:
1. Keyakinan terhadap kekuatan gaib selain Tuhan; Mereka berkata, “Apabila seseorang melakukan istigâtsah (memohon pertolongan) kepada Rasulullah saw atau selainnya dari para wali Allah dan meyakini bahwa beliau mendengarkan doanya dan mengetahui segala kondisinya, atau memenuhi hajatnya, kesemua ini merupakan sebagian jenis dari syirik besar (syirik akbar).”[6]

2. Memohon hajat kepada orang-orang mati: Menurut keyakinan Wahabi perbuatan semacam ini tergolong sebagai perbuatan syirik, memohon hajat kepada orang-orang mati, memohon pertolongan dari mereka dan menaruh perhatian kepada mereka, merupakan pokok dan asas syirik di alam semesta.[7]

3. Doa dan tawassul merupakan jenis ibadah; Mereka berkata, “Ibadah hanya khusus untuk Tuhan dan doa merupakan jenis ibadah karena itu memohon kepada selain Tuhan merupakan perbuatan syirik.”[8]

4. Berziarah kubur adalah syirik.

5. Bertabaruk (mengambil berkah) dari peningggalan para nabi dan orang-orang saleh adalah syirik.

6. Merayakan hari kelahiran (milad) Rasulullah saw adalah syirik.

7. Membangun kubah dan bangunan di atas kuburan adalah syirik.


Keyakinan dan standar yang dibuat-buat sendiri oleh kaum Wahabi dapat dibagi menjadi dua bagian:
1. Kaum Wahabi satu bagian dari standar, kriteria dan perbuatan ini, karena merupakan syirik dalam keyakinan, mereka menyebutnya sebagai perbuatan-perbuatan orang-orang musyrik.

Dalam menolak keyakinan mereka dapat dikatakan bahwa apabila keyakinan terhadap kekuatan gaib adalah keyakinan terhadap bahwa kesembuhan dan keyakinan atas terpenuhinya hajat dan seterusnya, dilakukan dengan menyandarkan seluruh perkara ini kepada Tuhan. Adapun selain Tuhan, apa pun yang mereka miliki sesungguhnya berasal dari Tuhan yang diberikan kepada mereka.

Tentu saja perbuatan ini tidak akan termasuk sebagai perbuatan syirik. Karena dalam hal ini, tiada satu pun kemandirian yang disandarkan kepada selain Tuhan. Dan kami telah sampaikan dalam pembagian syirik dalam ketuhanan (uluhiyyah), syirik dalam kepenciptaan (khâliqiyyah) dan syirik dalam pengaturan (rububiyah), bahwa jenis-jenis syirik dalam keyakinan terwujud apabila seseorang memiliki keyakinan bahwa ada entitas selain Tuhan yang memiliki sifat-sifat kesempurnaan dan keindahan, atau secara mandiri dapat mencipta atau secara mandiri dapat mengatur.

Namun apabila kekuatannya merupakan satu kekuatan yang bersandar kepada Tuhan, maka perbuatan ini tidak akan termasuk sebagai syirik. Kita dan seluruh kaum Muslimin yang memiliki hajat kepada Rasulullah saw dan para khalifahnya atau kita memiliki keyakinan bahwa mereka memiliki kekuatan super dan seterusnya, kedudukan ini merupakan kedudukan yang telah dianugerahkan kepada mereka dari sisi Tuhan, dengan deskripsi seperti ini apakah perbuatan ini tetap dapat disebut sebagai perbuatan syirik?

2. Bagian kedua, perbuatan-perbuatan yang mereka kategorikan sebagai syirik, karena memandang perbuatan-perbuatan ini sebagai ibadah, seperti merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad saw (maulid), membangun kubah dan bangunan di atas kuburan, mencium pusara dan seterusnya. Dalam menolak keyakinan mereka kita berkata, “Kalian tidak memahami makna ibadah dengan benar.”

Ibadah memiliki banyak tipologi dan dengan pelbagai tipologi tersebut ibadah terkhusus untuk Tuhan. Ibadah adalah tunduk dan patuh yang bersumber pada keyakinan terhadap uluhiyyah (ketuhanan), atau khâliqiyyah (kepenciptaan) atau rububiyyah (pengaturan). Karena itu, dengan definisi ini, apabila tunduk dan patuh tidak bersumber dari keyakinan semacam ini, maka sekali-kali tidak dapat disebut sebagai ibadah.

Atas dasar ini, tatkala Allah Swt menukil kisah sujud saudara-saudara Yusuf di hadapan Yusuf dalam surah Yusuf, perbuatan ini tidak dipandang sebagai syirik. Karena mereka sekali-kali tidak pernah meyakini bahwa Yusuf memiliki uluhiyyah, khaliqiyyah atau rububiyyah.[9]

Untungnya, ulama Islam dan para cendekiawan yang sadar memberikan jawaban terhadap seluruh kriteria dan standar buatan Wahabi ini.

Di sini, tepat kiranya jika kami serahkan kepada akal sehat Anda untuk menilai dan memutuskan bahwa apakah ajaran-ajaran ini sesuai dengan fitrah dan Al-Quran? Apakah seperti ini meluapkan kecintaan terhadap Ahlulbait yang merupakan upah risalah?[10] Apakah Al-Quran tidak menyebutkan bahwa orang-orang yang mati di jalan Allah (syuhada) itu hidup di sisi Tuhan dan mendapatkan limpahan rezeki dari-Nya.[11] Apakah kedudukan Rasulullah saw lebih rendah daripada syuhada? Dan seterusnya…

Dewasa ini, sebagian firkah menjadikan masalah ini (syirik) sebagai alat klaim mereka untuk menyalahkan pendapat dan pandangan orang lain. Dan kapan saja mereka dapatkan dirinya lemah dan gagap (tidak mampu menjawab penalaran), maka mereka akan menuduh orang lain sebagai melakukan perbuatan syirik. Tentu saja perbuatan ini tidak Islami dan tidak menjunjung norma. Perbuatan ini merupakan penyimpangan yang untungnya ulama Islam telah menjawab segala kritikan dan isykalan mereka.


Untuk telaah lebih jauh, silahkan Anda lihat beberapa rujukan berikut ini:
1. Buhuts Qur’âniyah fi al-Tauhid wa al-Syirk, Ja’far Subhani.

2. Wahabiyat, Mabâni Fikri wa Karnâme-ye ‘Ilmi, Ja’far Subhani.

3. Aiine Wahabiyyat, Ja’far Subhani.

4. Farhangg-e Firaq-e Islâmi, Muhammad Jawad Masykur.


Catatan Kaki:
[1]. Muhammad Jawad Masykur, Farhangg-e Firaq Islâmi, hal. 457-461.

[2]. Ibid.

[3]. Ibid.

[4]. Majma’ al-Bahraîn, jil. 5, hal. 274; Al-‘Ain, jil. 5, hal. 293.

[5]. Tentu saja, segala jenis syirik ini akan berujun pada kekufuran. Harus diperhatikan bahwa yang kami maksud kufur di sini adalah kufur teologis (kalam) dan kufur yurisprudensial (fikih).

[6]. Majmu’a Fatâwâ bin Baz, jil. 2, hal. 552.

[7]. Fath al-Majid, hal. 68.

[8]. Al-Radd ‘ala al-Rafidha, sesuai nukilan dari kitab Syi’a Syinâsi, ‘Ali Ashgar Ridhwani, hal. 135-143.

[9]. Diadaptasi dari Pertanyaan 612 (Definis Syirik dan Bagian-bagiannya)

[10]. Itulah (karunia) yang (dengan itu) Allah memberikan berita gembira kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dan mengerjakan amal saleh. Katakanlah, “Aku tidak meminta kepadamu suatu upah pun atas seruanku ini kecuali kecintaan kepada keluargaku.” (Qs. Syura 42]:23)

[11]. “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.” (Qs. Ali Imran [3]:169)



3
Tanya Jawab Masalah Akhlak

2. Apakah pembatasan ruang gerak kaum perempuan dan membebaskan kaum pria merupakan sebuah perbuatan yang dapat ditolerir?


Keselamatan suatu komunitas bergantung sepenuhnya pada keselamatan para anggotanya, apa pun jenis kelaminnya (pria atau wanita). Kesalamatan individu dan anggota masyarakat hanya dapat dicapai dengan tarbiyah dan pendidikan yang benar.

Agama Islam dalam bidang pendidikan dan tarbiyah anak (tingkatan pertama tarbiyah) dan tingkatan-tingkatan tinggi selanjutnya menyodorkan aturan dan resep yang bermanfaat dimana apabila aturan-aturan tersebut diamalkan dengan baik maka kita akan memperoleh masyarakat yang sehat. Sehingga kita tidak lagi memerlukan tindakan-tindakan koersif dan pembatasan-pembatasan ekstrem terhadap setiap anggota masyarakat.

Islam menetapkan tugas-tugas yang berbeda berdasarkan perbedaan struktur jasmani, ruhani dan mental serta tipologi masing-masing bagi pria dan wanita, laki-laki dan perempuan (putri atau putra). Dengan mengamalkan aturan-aturan dan taklif ini, Islam bertujuan menjaga nilai-nilai kemanusiaan wanita dan pria, bukan menciptakan batasan dan mempersulit keduanya.

Keselamatan suatu komunitas tergantung pada kesalamatan para anggotanya, apa pun jenis kelaminnya (pria atau wanita). Apabila dalam suatu komunitas dan masyarakat hanya kaum perempuan yang sehat dan menunaikan masalah-masalah tarbiyah dan pendidikan, akan tetapi kaum laki-laki dibebaskan dan tidak mengindahkan prinsip-prinsip moral, maka masyarakat tidak akan mendapatkan ketentraman. Atau pun sebaliknya, apabila kaum prianya saja yang sehat dan kaum wanitanya dibebaskan maka tetap masyarakat tidak akan memperoleh keselamatan.

Sedemikian sehingga masyarakat senantiasa berada dalam kondisi kritis dan genting. Masyarakat akan sehat apabila kaum pria dan wanitanya juga sehat yang diperoleh dari pendidikan yang benar dan sehat. Dengan mengenal pelbagai penyakit dan bahaya yang mengancam keselamatan ini maka dengan sendirinya, masyarakat tersebut telah menjaga dirinya dari bahaya dan penyakit tersebut.

Mengingat pria dan wanita (atau putra dan putri) masing-masing memiliki tipologi khas tersendiri maka pelbagai faktor pendukung dan penghalang untuk mencapai keselamatan juga berbeda-beda. Sebagaimana dalam sebuah taman atau kebun, masing-masing bunga dan tumbuhan memerlukan perawatan dan perhatian sendiri-sendiri, dalam sebuah komunitas manusia merupakan bunga-bunga bagi taman kehidupan (putra dan putri), yang memerlukan perawatan dan perhatian tersendiri.

Wanita dan putri merupakan entitas dan makluk yang sangat lembut sebagaimana hal ini dinyatakan dalam sabda Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As "wanita adalah kusuma yang menawarkan aroma wewangian."[1] Ia lebih peka, lebih rawan dan boleh jadi dengan sentuhan semilir angin, ia akan mengelepak. Oleh itu, ia harus diperlakukan ekstra hati-hati.

Atas dasar inilah, Islam mewajibkan hijab dan pakaian khusus bagi kaum wanita. Hijab ini menjadi penyebab terjaganya kaum wanita dari pelbagai bahaya dan penyakit yang boleh jadi menjatuhkan nilai, kemuliaan dan mutiara kehormatannya. Hijab ini sejatinya merupakan bentuk pemuliaan dan penghormatan yang diberikan kepada wanita. Bukan pembatasan dan penghinaan kepadanya.

Apakah Anda dengan menyimpan harta benda yang sangat berharga pada sebuah brankas dan kemudian menguncinya dengan rapat dan meletakkannya pada sebuah tempat yang aman akan menurunkan nilai mutiara tersebut? Tentu saja tidak. Karena nilai mutiara tersebut tinggi sehingga Anda melakukan hal tersebut.

Aturan-aturan Islam tentang hijab dan pakaian juga demikian adanya. Namun hal ini tidak berlaku bagi kaum pria. Lantaran kaum pria tidak memiliki tipologi dan kelembutan seperti ini. Karena itu, ia tidak memerlukan perawatan dan perhatian khusus (sebagaimana kaum wanita). Namun pada saat yang sama, Islam meletakkan pelbagai tugas di atas pundak pria dimana apabila ia menunaikannya dengan baik dan kaum wanita juga mengamalkan tugasnya dengan baik maka masyarakat akan tetap terpelihara keselamatannya.

Poin lainnya adalah perbedaan mental dan perasaan yang terdapat pada pria dan wanita. Mengingat bahwa kaum wanita memiliki perasaan yang sangat peka, Allah Swt memberikan aturan-aturan khusus bagi wanita dimana dengan mengamalkan aturan-aturan ini akan menghasilkan stabilitas mental dan perasaan wanita. Karena apabila mental ini tidak stabil (alias labil) maka institusi keluarga akan mengalami keruntuhan.

Singkatnya, seluruh aturan ini yang diberikan Islam kepada kaum wanita dan tugas-tugas syariat (taklif) yang ditetapkan kepadanya adalah berada pada tataran untuk menjaga kemaslahatannya. Masyarakat yang menyebut tujuan tugas-tugas tersebut adalah menjaga kemaslahatan kaum wanita, bukan membatasi dan mempersulitnya. Demikian juga tugas-tugas dan taklif yang ditetapkan bagi kaum pria juga untuk maksud demikian.


Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat:
Falsafa-ye Hijab, Ustad Syahid Muthahhari, bagian ketiga, hal. 71 dan seterusnya.


Catatan Kaki:
[1]. Ushul Kâfi, jil. 5, hal. 510, bab Ikram Zaujah (Pemuliaan Wanita).

4
Tanya Jawab Masalah Akhlak

3. Bagaimana cara bertaubat dari menonton film-film vulgar?


Saya seorang pemuda berumur 23 tahun dan beberapa tahun terakhir ini saya terjangkiti penyakit sering menonton film-film vulgar dan celakanya semakin mudah saja untuk ditonton. Telah berulang kali saya bertaubat namun belum jua berhasil meninggalkan kebiasaan buruk ini, tolong bimbingan Anda bagaimana cara bertaubat yang benar?

Dosa dan maksiat bagai endapan lumpur busuk yang membuat manusia semakin tenggelam di dalamnya maka semakin ia tidak menyadari kebusukan dari amal perbuatan yang di lakukannya. Karena indera penciumannya tidak lagi bekerja dan tidak menyadari bahwa sebentar lagi ia akan karam.

Dari sisi lain ketulusan niat dan tekat bulat dari manusia untuk kembali dari jalan ini dan segenap kebusukan dari dosa yang ada adalah sebuah kemenangan tersendiri. Orang-orang yang telah berhasil tiba pada tingkat ini, pada hakikatnya, telah tiba pada sebuah kemenangan. Untuk itu ia harus berusaha dengan dasar kenyakinan yang kuat untuk melawan keinginan untuk berbuat dosa hingga ia dapat mencapai pelbagai kemenangan pada tingkatan-tingkatan tingkatan berikutnya.


Terkait dengan jalan dan cara-cara untuk menguatkan diri dengan niat yang kuat untuk melawan segenap keinginan-keinginan rendah untuk berbuat dosa dapat dilakukan dengan beberapa cara berikut:
1. Memperhatikan kerusakan-kerusakan dan kerugian-kerugian yang di akibatkan dari dosa yang di lakukan.

2. Memperhatikan derajat dan martabat kehormatan dirinya.

3. Memperhatikan segenap kebesaran Tuhan dan melaksanakan perintah-perintahnya.

4. Memperhatikan nilai-nilai peperangan dengan dosa dan hawa nafsu, sebagai bagian dari kemenangan jiwa.

Di samping hal-hal di atas ia harus menjauh dari berdiam diri di lingkungan yang sepi (menyendiri) dan memenuhi waktu-waktunya dengan belajar, olahraga, membaca dan menghafal ayat Al-Quran, ibadah, puasa, memperbanyak komunikasi dengan orang-orang saleh, membangun kepribadaian dirinya dan yang paling penting adalah menghilangkan media-media yang bisa menjadi penyebab ia terjerembab dalam kubangan dosa.

Kalau Anda masih berstatus bujang (jomblo), maka percepatlah menikah sehingga Anda dapat menyalurkan libido Anda dan tentunya akan sangat membantu Anda dalam mencapai tujuan yang Anda inginkan.

Poin yang paling penting di jalan ini adalah jangan berputus asa dari rahmat Ilahi, senantiasa bersandar dan bertawakkal kepadanya dan tidak berputus asa dengan tujuan yang pasti. Dengan memperhatikan poin-poin yang telah disebutkan di atas bangkitlah dan lawan keinginan-keinginan yang menyeru untuk berbuat keburukan. Kami menyakini bahwa dengan rahmat serta kasih sayang ilahi saudara akan berhasil di jalan ini.

Dosa dan maksiat bagai endapan lumpur busuk yang membuat manusia semakin tenggelam di dalamnya maka semakin ia tidak menyadari kebusukan dari amal perbuatan yang di lakukannya. Karena indera penciumannya tidak lagi bekerja dan tidak menyadari bahwa sebentar lagi ia akan karam.

Sedemikian sehingga manusia tidak lagi memiliki kemampuan dan kehendak untuk keluar dari lumpur kotor tadi. Kalau pun ia memutuskan untuk keluar dari lumpur dosa tersebut maka hal itu terlalu berat baginya.

Pada sisi lain, kendati manusia terjerembab dalam kubangan kesesatan, kemudian memutuskan untuk keluar dan menebus pelbagai kesalahan yang telah dilakukannnya, maka sesungguhnya ia telah meraih kemenangan. Kemenangan yang ia capai ini merupakan kemenangan besar yang menjadi dasar dan fondasi untuk kemenangan-kemenangan berikutnya.

Adanya perhatian terhadap nista dan vulgarnya film-film seperti ini, pada tingkatan pertama dosa ini, merupakan perlambang hidupnya nurani Anda dan adanya kemurahan Tuhan kepada Anda.

Dan keputusan Anda untuk bertaubat dan menemukan solusi untuk meninggalkan kubangan dosa ini merupakan kemenangan besar atas nafsu dan tingkatan ini merupakan salah satu dari tingkatan taubat yang sangat bernilai.


Namun harus diketahui bahwa salah taubat memiliki beberapa tingkatan:
1. Tekad meninggalkan dosa dan maksiat.

2. Meninggalkan dosa.

3. Menebus dosa-dosa (mencari dan mengamalkan perbuat-perbuatan yang baik).


Kami melihat tekad dan keinginan kuat Anda untuk meninggalkan perbuatan dosa, pada hakikatnya, bermakna menjejakkan kaki pada tingkatan pertama taubat. Untuk itu, kami ucapakan selamat kepada Anda atas lahirnya tekad dan keputusan ini.

Namun demikian Anda harus segera melangkah kepada tingkatan berikutnya dan untuk hal ini Anda harus tahu bahwa alasan mengapa Anda ingin maninggalkan dosa yang telah dilakukan? Karena kalau Anda tidak tahu atau tidak memiliki alasan yang kuat untuk amal perbuatan ini maka Anda tidak akan bisa berhasil meninggalkan amal perbuatan yang jelek ini dan ini tentunya lantaran manusia merasa nikmat melakukan dosa.

Imam Ja’far Shadiq As bersabda: ”Surga (amal perbuatan yang menyebabkan kita masuk ke dalam surga) dikellingin dengan kesusahan dan kesulitan, sementara neraka (amal perbutan yang menyebapkan masuk ke neraka) dikelilingi dengan kesenangan dan syahwat.”[1]

Oleh karena meninggalkan dosa memerlukan alasan yang kuat melebihi alasan yang membuat manusia menjadi tertarik untuk melakukan dosa. Kalau seseorang tidak memiliki alasan ini maka ia harus memunculkannya dalam dirinya dan setelah itu ia harus senantiasa memupuk dan menumbuhkan alasan tersebut.


Di sini akan kami tunjukkan beberapa contoh dan jalan untuk menguatkan dan menumbuhkan alasan untuk meninggalkan dosa dan menjauhinya:
1. Berusaha mendapatkan pengetahuan dan informasi yang lebih banyak terkait dengan kerugian yang disebabkan oleh dosa tadi. Suatu hal yang jelas bahwa ketika manusia melihat efek dan akibat buruk dari perbuatan dosa yang dilakukan dalam jangka waktu yang panjang maka ia tak akan mengulang dosa dan kesalahan yang sama.

2. Mengingat, menemukan derajat dan posisi kemanusiaannya sebagai khalifah dan wakil Tuhan di muka bumi, maka manusia yang melakukan dosa-dosa ini akan terjatuh ke dalam kehancuran.

3. Mengingat segenap kebesaran Tuhan di muka bumi, melaksanakan segenap perintah dari-Nya, bahwa Dia mengawasi dan menyaksikan segenap amal perbuatan yang ia lakukan maka tak akan ada tempat untuk melakukan dosa di muka bumi ini.

4. Mengingat bahwa seorang pemuda Muslim adalah orang yang memberikan pengaruh pada kehidupan sosial dan berdasarkan pendidikan dan penggemblengan jiwa yang ia lakukan ia dapat memerangi perbuatan dosa tadi dan tentunya ia akan menjadi pusat perbuatan positif di masyarakat. Tidak hanya ia terbebas dari belenggu dosa namun juga menjadi penyebab kebebasan orang lain dari dosa.

5. Mengingat bahwa apabila Allah Swt melarang hamba untuk melakukan perbuatan dosa maka tentunya dosa ini hanya membawa kerugian pada hamba, dan kalau tidak demikian maka Allah Swt tak akan pernah melarang hamba-hamba-Nya untuk berbuat amal yang akan mendatangkan kebaikan untuknya. Oleh karena itu, jika Alah Swt melarang manusia menuruti hawa nafsunya bukan pada tempatnya (melampui batasan syariat)[2] dan untuk orang-orang yang melanggar perintah ini akan mendapatkan balasan pedih dari apa yang ia lakukan. Kalau seseorang mencintai Tuhannya tentunya ia tidak akan menentang apa yang Dia perintahkan dan kalau dia tidak mencintai Tuhan (Naudzu billah) minimal dia mengetahui kerugian yang di hasilkan dari perbuatan dosa ini dan dia meninngalkannya.

6. Mengingat bahwa kenikmatan yang ia dapat dari perbuatan dosa adalah kenikmatan yang sementara akan tetapi kerugian yang di datangkannya adalah abadi, tentunya tidak ada manusia yang berakal akan menukar kenikmatan yang sesaat dengan kerugian yang abadi.

7. Mengingat bahwa tergelincir dalam perbuatan dosa bukanlah sebuah seni yang lahir dari orang-orang yang berkehendak. Sesungguhnya nilai seni manusia adalah bahwa ia berdiri dan melawan segenap seruan syaitan dari dalam dirinya dan memeranginya, masuk ke dalam medan peperangan ini adalah sebuah kemenangan besar.


Dengan memperhatikan poin-poin yang telah kami sampaikan di atas, maka berusahalah sejauh mungkin untuk menghindar dari lingkungan yang mampu menyebabkan dosa. Manfaatkanlah waktu-waktu yang dimiliki dengan baik seperti berolahraga, belajar, membaca dan menghafal Al-Quran, berpuasa dan pekerjaan-pekerjaan bermanfaat lainnya.

Apabila Anda masih berstatus bujang (jomblo), maka segerahlah menikah hingga saudara dapat menyalurkan libido seksual Anda pada jalan yang halal dan di benarkan agama dan hal ini akan sangat membantu Anda.[3]

Sobat! Memerangi dosa dan menampik seruan-seruan hawa nafsu dan syaitan adalah perjuangan yang sangat susah, namun penuh dengan nilai dan kenikmatan akan kemenangan pada setiap tingkat dari peperangan ini. Dimana nikmat kemenangan ini tidak dapat dibandingkan dengan kenikmatan apapun.

Seperti yang diungkapkan dalam dua bait syair:
Sekiranya engkau mengetahui kenikmatan meninggalkan kenikmatan

Maka engkau tak akan mencari kenikmatan yang lain

Oleh karena itu berusahalah untuk memperkuat tekad dan niat Anda untuk meninggalkan dosa dan perbuatan-perbuatan yang merugikan. Dan ketahuilah pada setiap keadaan dan kondisi ada yang akan senantiasa menolong Anda dan Dia adalah Allah Swt yang pada saat taubat yang sesungguhnya ia mengampuni dosa kita dan Dia menempatkan kita pada jalan jihad melawan dosa dan hawa nafsu. Dia akan menolong kita kapan saja dan dengan jalan yang tak pernah terpikirkan oleh akal kita.

Janganlah berputus asa dari rahmat Tuhan di jalan ini, tawakkallah kepada-Nya. Jangan biarkan hatimu keok dan kuatkan tekadmu, berusahalah memperbaiki tujuan dan maksud untuk meninggalkan perbuatan dosa tadi, bangkit dan lakukanlah seperti apa yang kami jelaskan pada saudara di pembahasan di atas. Kami yakin dengan sandaran kasih sayang dari Allah Swt, Anda akan berhasil dan suskes pada peperangan ini. Semoga


Catatan Kaki:
[1]. Al-Jannat mahfufatun bil makarih wa al-Jahannamu mahfufatun bil lazzati wa syahwat. Wasâil al-Syiah, jil. 15. hal 309, bab 42.

[2]. "Barang siapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas." (Qs. Al-Mukminun [23]:7)

[3] Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat, Indeks No. 326 tentang Onani dan Jalan Keluar Darinya.


5
Tanya Jawab Masalah Akhlak

4. Apa yang menjadi tugas seorang warga Muslim dalam pemeliharaan kesehatan dan lingkungan?


Dengan memperhatikan perkembangan warga masyarakat perkotaan dan perluasan kota, apa yang menjadi kewajiban setiap warga dalam melindungi lingkungan hidup dan kesehatan lingkungan? Dalam hal ini aturan-aturan dan perintah-perintah apakah yang ditawarkan oleh literatur-literatur agama?

Agama Islam adalah agama yang komprehensif dan lengkap. Jelas dengan karakteristik ini Islam memperhatikan seluruh kebutuhan hidup manusia dan memiliki aturan-aturan untuk seluruh persoalan yang berkaitan dengan kebutuhan hidup manusia baik secara individu maupun sosial.

Di antara persoalan yang mendapat perhatian Islam hingga kini adalah metode kehidupan sosial dan lingkungan hidup. Dikarenakan air dan udara merupakan faktor yang sangat signifikan dan pemanfaatan air serta udara yang bersih dan sehat merupakan salah satu kebutuhan primer manusia, maka berdasarkan ajaran-ajaran Islam mencemari kedua unsur ini merupakan tindakan yang haram dan termasuk salah satu dari dosa-dosa besar.

Selain itu hal ini dianggap juga sebagai sebuah tanda ketidak-syukuran terhadap nikmat Tuhan dan salah satu dari dosa yang tidak terampuni.

Saat ini, urgensi penjagaan kesehatan lingkungan merupakan salah satu wacana yang sangat serius dan asasi. Pada hakikatnya, isu-isu seputar ini dan segala yang dianggap penting dalam masyarakat industri modern saat ini merupakan isu-isu yang jauh-jauh sebelumnya telah disinggung dan diperingatkan dalam Islam dan oleh para pemimpin, yaitu 1400 tahun yang lalu.

Islam telah mewajibkan para pengikutnya untuk memperhatikan aturan-aturan yang berkaitan dengan hal tersebut dan melaksanakan hukum-hukum individu maupun sosial. Dan Islam juga menunjukkan metode dan solusi untuk menjaga serta memelihara lingkungan hidup dan kesehatannya.


Aturan-aturan seperti:
1. Haram hukumnya mengkonsumsi segala sesuatu (meminum, menghisap) yang akan membahayakan tubuh manusia, kecuali apabila diperlukan secara darurat;

2. Tidak menyimpan sampah di dalam rumah pada malam hari, melainkan mengeluarkannya pada siang hari;

3. Menghindar dari mengotori dan mencemari tepian air yang jernih, atau membuang hajat di bawah pohon yang tengah berbuah atau di jalanan;

4. Jika di tangan salah satu dari kalian terdapat sebuah tunas, maka tanamlah tunas tersebut meski hari kiamat telah datang.


Dan ratusan aturan-aturan dan saran-saran etika lainnya telah menyebabkan seorang warga muslim menganggap memelihara dan menjaga lingkungan hidup dan kesehatan sebagai salah satu dari kewajiban prinsip.


Sebelum melanjutkan pembahasan topik utama, ada baiknya kita perhatikan hal-hal berikut:
1. Agama Islam memiliki aturan dan perintah-perintah untuk seluruh aspek dan dimensi kehidupan manusia, dari masalah politik dan pemerintahan yang paling rumit hingga masalah–masalah individu yang paling mendasar seperti hukum-hukum yang berkaitan dengan toilet dan kamar mandi. Ini berarti kita mengenal Islam sebagai agama yang komprehensif, universal dan lengkap, oleh karena itu kita meyakini bahwa kehidupan sosial dan lingkungan hidup[1] juga merupakan salah satu dari persoalan yang mendapatkan perhatian agama Islam, dari dulu hingga kini.

Tentunya universalitas Islam ini berarti bahwa filsafat, maktab dan sistem Islam bisa diperoleh dan direncanakan secara tepat dengan menyimpulkan unsur-unsur universalitas yang terdapat dalam Islam.[2]

2. Berdasarkan perspektif Islam, manusia diciptakan bukan atas dasar kesia-siaan atau tanpa makna,[3] bahkan hukum-hukum sosial Islam pun dirancang berdasarkan pada tujuan dan filosofi penciptaannya, tentunya hukum-hukum dan aturan-aturan ini kadangkala muncul dalam bentuk dorongan, ajakan ataupun nasihat-nasihat yang hanya memiliki dimensi etika dimana terdapat hukuman-hukuman ukhrawi atasnya, akan tetapi kadangkala ketika berhadapan dengan ketiadaan perhatian terhadap aturan dan hukum-hukum ini, maka yang akan berbicara adalah hukuman-hukuman duniawi.

3. Terdapat prinsip-prinsip universal dalam Islam yang bisa menjadi sebuah kewajiban bagi seorang warga Muslim, seperti:

a. Dalam Islam, memberantas dan memusnahkan segala sesuatu yang menjadi kebergantungan generasi manusia, akan dianggap sebagai sebuah tindakan yang haram, seperti menganiaya sesama, tidak mengkufuri nikmatnya,[4] dan sebagainya.

b. Dalam perspektif Islam, kegiatan yang memberikan kenyamanan masyarakat dan dalam rangka menjaga keselamatan mereka, dianggap sebagai sebuah pengabdian dalam keridhaan-Nya, serta ibadah dan penghambaan kepada-Nya, karena sesungguhnya tidak ada tujuan lain dalam penciptaan manusia selain ibadah.[5]

Karena perlindungan terhadap lingkungan hidup, memperhatikan kesehatan lingkungan hidup dan menghindarkannya dari pencemaran merupakan sebuah usaha dalam rangka menyelamatkan manusia dari kehancuran dan memberikan kenyamanan pada mereka, maka tindakan seperti ini memiliki keistimewaan (sehingga diletakkan dalam kedudukan wajib atau mustahab [dianjurkan]).

Akan tetapi Islam tidak hanya mencukupkan sampai di sini, selain menjelaskan tentang masalah-masalah yang universal, Islam juga memberikan penekanan pada topik-topik tertentu.


Di sini secara ringkas kami akan mengisyarahkan sebagian dari topik-topik tersebut:

A. Pencemaran udara
Kita semua telah mengetahui, apabila udara tidak melingkupi seluruh permukaan bumi, begitu satu bagian dari permukaan bumi kehilangan sinar matahari, maka bagian ini akan segera mengalami penurunan suhu udara hingga 160 derajat dibawah nol, dimana hawa dingin tak tertahankan ini akan segera memusnahkan seluruh eksistensi hidup, karena pada prinsipnya, udara berfungsi untuk menghalangi bumi dalam mempertahankan hawa panas yang diperolehnya dari matahari.[6]

Selain itu manusia membutuhkan oksigen untuk kelangsungan hidupnya, dan kebutuhan yang diperlukannya melalui pernafasan ini akan terpenuhi dengan adanya hawa yang bersih dan sehat, oleh karena itu memanfaatkan udara yang bersih dan sehat merupakan salah satu dari kebutuhan primer manusia.

Namun dari sisi yang lain, perkembangan teknologi dan modernitas kehidupan masyarakat, demikian juga urgensi penciptaan fasilitas-fasilitas baru perkotaan untuk menjawab kebutuhan masyarakat kota yang semakin hari semakin berkembang, telah membuat tingkat pencemaran udara semakin tinggi dan secara bertahap kita menyaksikan juga semakin berkurangnya ruang hijau perkotaan serta terjadinya pencemaran lingkungan hidup.

Dikarenakan kelangsungan generasi dan masyarakat manusia bergantung pada kesehatan dan keselamatan masyarakat, maka dengan mengharamkan hal-hal yang buruk dan tercela serta menghalalkan kesucian dan kebersihan[7], Islam telah mempersiapkan jalan untuk mencapai tujuan dan sasaran ini.

Seseorang telah bertanya kepada Imam Shadiq As tentang pernafasan dengan udara yang tercemar dan kebergantungan hidup manusia dengannya. Dalam menjawab pertanyaan ini beliau mengutarakan sebuah hukum universal yang merupakan solusi bagi sedemikian banyak problematika dan kesulitan yang ada. Imam bersabda, “Haram mengkonsumsi (meminum atau menghisap) segala sesuatu yang akan membahayakan tubuh manusia, kecuali apabila dalam keadaan darurat.”[8]


B. Limbah
Persoalan urgensi menjaga kebersihan lingkungan hidup merupakan salah satu topik yang sangat serius dan asasi bagi masyarakat saat ini. Jika menjaga lingkungan hidup tidak dianggap sebagai kewajiban umum, tidak dianggap secara serius oleh warga, siapapun bisa mencemari lungkungan hidup, atau limbah serta sampah-sampah tidak dikumpulkan dengan metode yang benar dan sehat, maka limbah dan sampah akan menjadi faktor pencemar lingkungan hidup dan pembawa bencana bagi keselamatan masyarakat.

Sampah dan limbah-limbah menyimpan berbagai mikroba dan menjadi tempat perkembangbiakan serangga serta berbagai sumber penyakit. Oleh karena itu Rasulullah saw dalam salah satu hadisnya bersabda, “Jangan menyimpan sampah di dalam rumah pada malam hari, melainkan keluarkan sampah-sampah tersebut pada siang hari, karena sampah merupakan tempat berkumpulnya setan.”[9]

Demikian juga beliau bersabda, “Jangan mengumpulkan tanah di belakang pintu (halaman), karena akan menjadi sarang setan.”[10]

Jelaslah bahwa yang dimaksud dengan setan di sini adalah tempat berkumpulnya serangga-serangga yang membahayakan, tempat perpindahan dan perkembangbiakan berbagai macam penyakit.

Dalam sirah dan metode kehidupan Rasulullah Saw dan para Imam Maksum As banyak kita saksikan penekanan beliau terhadap kebersihan dan menyarankan hal ini kepada para pengikutnya.

Rasulullah Saw bersabda, “Tuhan Maha Suci dan mencintai kesucian, Bersih dan mencintai kebersihan. “[11]

Kewajiban menghindari kotoran manusia dan kenajisannya ketika bersentuhan dengannya serta kewajiban bersuci dan mencuci segala sesuatu yang terkotori olehnya, merupakan salah satu layanan ilmiah yang diberikan oleh agama Islam kepada manusia yang menciptakan kebersihan lingkungan hidup dari pencemaran dan hal-hal yang najis.

Saat ini kotoran manusia dianggap sebagai pemicu utama dari mayoritas penyakit-penyakit mikroba dan cacing seperti kolera dan penyakit-penyakit yang dikenal dengan parasit usus pencernaan yang disebabkan oleh mikroba dan cacing.[12]

Dari sinilah sehingga dalam salah satu hadisnya, Imam Ali As bersabda, “Rasulullah Saw melarang membuang kotoran besar di tepian air yang mengalir, di dekat mata air yang jernih dan di bawah pepohonan yang berbuah.“[13] Demikian juga dalam riwayat yang lain dikatakan, “Rasulullah Saww melarang manusia membuang air kecil di bawah pepohonan yang berbuah, di halaman atau di atas air yang tergenang.[14]

Saat ini dengan adanya perkembangan inovasi, urbanisasi dan meningkatnya konsumerisasi pada masyarakat perkotaan, pada setiap harinya akan dihasilkan ribuan ton sampah dimana pengumpulan dan penimbunan serta pembuangannya yang dilakukan dengan benar dan sehat merupakan hal terpenting dari masalah kesehatan yang perlu mendapatkan perhatian lebih banyak.

Dalam perspektif agama Islam dan seluruh agama-agama Ilahi lainnya, jiwa manusia dianggap memiliki nilai tinggi dan menjaganya merupakan tidakan yang wajib. Dengan alasan inilah sehingga al-Quran menekankan kepada seluruh Muslim untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang akan menyebabkan kehancuran diri mereka sendiri., berfirman, “... dan janganlah kamu menjerumuskan dirimu sendiri ke dalam jurang kebinasaan, ...” [15]

Almarhum Allamah Thabathabai salah seorang mufassir besar mengatakan, “Ayat ini mutlak, kesimpulannya pelarangan yang terdapat di dalamnya mencakup seluruh tindakan-tindakan yang ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan (ifrath dan tafrith).”[16]

Oleh karena itu, agama Islam tidak memberikan kebolehan kepada siapapun untuk mencemari lingkungan hidupnya dan selainnya, baik dengan tindakan maupun perbuatannya, tidak boleh acuh tak acuh terhadap persoalan-persoalan yang berkaitan dengan unsur terpenting kesehatan, dan tidak berhak menghilangkan peluang masyarakat dalam memperoleh kehidupan yang sehat dengan ketidakpedulian terhadap lingkungan sosial.

Selain itu, berdasarkan kaidah kaidah “la dharar”, dimana Rasulullah Saw bersabda, “Membahayakan dan merugikan diri sendiri maupun selainnya adalah dilarang dalam Islam. “[17] manusia bahkan dalam memanfaatkan fasilitas-fasilitas pribadinya tidak boleh sampai mengganggu apalagi membahayakan orang lain.


C. Ruang Hijau
Iklim perkotaan saat ini telah mengalami perubahan yang yang mencolok di bawah pengaruh kepadatan dan keterpusatan kegiatan-kegiatan kota dimana pengkajian wilayah-wilayah kota akan ditinjau secara tertentu dan terpisah dari iklim wilayah, seperti pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan melalui kurangnya ruang hijau perkotaan terhadap ekologi kota terutama dalam kaitannya dengan iklim udara, tanah, air bawah tanah dan sebagainya sedemikian berpengaruh sehingga unsur-unsur pembentuk dan konstruktifnya benar-benar mengalami perubahan di lingkungan perkotaan.

Meskipun masalah ruang hijau perkotaan ini tidak dijabarkan dalam bentuk yang khas dan kekinian dalam teks-teks dan literatur-literatur utama agama kita, akan tetapi topik ini berada dibawah subyek yang lebih universal, seperti penanaman pohon, mendorong masyarakat untuk melakukan penghijauan dan melarang penebangan pepohonan, dimana hal ini menghikayatkan kepedulian dan perhatian agama Islam terhadap masalah ini.

Dalam kaitannya dengan masalah ini Rasulullah Saw dalam salah satu hadisnya bersabda, “Jika kiamat telah tiba dan terdapat sebuah tunas di tangan salah satu kalian, maka tanamlah tunas tersebut jika mampu.”[18] Dalam melarang dan menegur mereka yang menebangi pepohonan dan menghancurkan sumber-sumber daya alam serta lingkungan hidup, Rasulullah saww bersaba, “Siapapun yang memotong pohon Sadr, maka ia akan terpuruk ke dalam api jahannam.”[19]

Oleh karena itu berdasarkan hukum perlindungan dan kepedulian terhadap sumber daya alam dan hutan cadangan negara, tidak ada seorangpun atau bahkan instansi atau lembaga-lembaga pemerintahan ataupun swasta manapun yang berhak merusak sumber daya nasional, dan Departemen Pertanian berkewajiban untuk menjaga sumber-sumber serta kekayaan negara ini.[20]

Dalam fikih Islam pun terdapat aturan dan undang-undang yang mencegah masyarakat dari mempergunakan kepemilikan umum dan pemerintah, aturan-aturan ini bersumber pada aturan-aturan Ilahi dan al-Quran al-Karim, “Mereka menanyakan kepadamu tentang al-Anfâl[21] (harta rampasan perang dan setiap harta yang tak berpemilik). Katakanlah, “Al-Anfâl itu kepunyaan Allah dan rasul. Sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu, dan taatlah kepada Allah dan rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman.”[22]

Oleh karena tu bisa dikatakan bahwa merusak dan menghancurkan segala sesuatu yang termasuk dalam sumber daya nasional bisa dikatakan tidak sesuai syari.

Selain di dunia tempat kita hidup terdapat ribuan faktor-faktor penting lainnya yang saling bekerjasama supaya manusia bisa memperoleh manfaat. Ketiadaan salah satu dari mereka ini akan memperhadapkan manusia pada berbagai dilema kehidupan yang sangat serius.

Tuhan Yang Maha Tinggi telah menciptakan kenikmatan-kenikmatan di dunia dalam bentuk makanan, minuman dan segala yang memberikan kesejahteraan dan kenyamanan hidup bagi manusia dan berdasarkan ajaran-ajaran al-Quran al-Karim manusia tidak dilarang untuk memanfaatkan dan merasakan kenikmatan-kenikmatan hidup tersebut, akan tetapi mereka dilarang dari menyia-nyiakan, merusak dan memanfaatkannya secara tidak tepat, berfirman, “Hai anak cucu Adam, ..., makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”[23]


Kesimpulan
Untuk menjamin keselamatan dan kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup, dengan memperhatikan kenaikan tingkat pencemaran udara dan sebagainya serta dampak-dampak yang ditimbulkannya dalam tubuh, maka wajib bagi seluruh warga –baik dari kalangan pejabat, aparat pelaksana, maupun masyarakat awam secara individu maupun sosial- untuk memperhatikan aturan-aturan yang berkaitan dengannya, karena manusia tidak bisa terleoas dari masyarakat dan komunitas dimana dia hidup, dan kepedulian atau ketakpedulian terhadap aturan-aturan kesehatan akan berdampak pada keselamatan seluruh individu masyarakat. Seluruh masyarakat juga harus memperhatikan aturan-aturan dan undang–undang umum. Majemuk dari undang-undang inilah yang akan menjamin kesehatan sosial dan mengantisipasi kerusakan lingkungan hidup.[]


Catatan Kaki:
[1] . Yang dimaksud dengan lingkungan hidup adalah lingkungan yang ada di sekitar kita, yang menjadi titik perhatian terutama kondisi-kondisi yang memberikan pengaruh terhadap kehidupan masyarakat.

[2] . Untuk memperoleh informasi lebih lanjut, rujuklah: Maktab wa Nedham Iqtishadi-ye Islam, Hadaei Tehrani, Mahdi, hal. 19-51.

[3] . Qs. Al Mukminun: 115, “Maka apakah kamu mengira bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?”

[4] . Memanfaatkan nikmat-nikmat Ilahi yang diciptakan oleh Tuhan untuk para hamba-Nya untuk keselamatan manusia, kesejahteraan dan kenyamanannya, memiliki tempat tersendiri. Konsekuensitas minimal yang dimiliki oleh manusia berhadapan dengan nikmat-nikmat yang diperoleh dari-Nya adalah memanfaatkan nikmat-nikmat tersebut untuk kebutuhan penyempurnaan fisik dan spiritual dirinya dan selainnya. Jika manusia mencemari udara yang sehat, atau mengubah air jernih dan suci yang diturunkan-Nya dari langit, “... dan Kami turunkan dari langit air yang dapat menyucikan.” (Qs. Furqan: 48) yang mengalir ke permukaan tanah dan menjadi unsur penting dalam kehidupan manusia menjadi cairan yang berbahaya, maka tindakan ini merupakan pemanfaatan yang tidak benar terhadap nikmat-nikmat Ilahi, dan dikatakan pula sebagai tindakan yang mengkufuri nikmat.

[5] . Qs. Adh-Dhariyat: 56, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”

[6] . Niyazmand, Yadullah, I’jâz Qurân az Nazhar Ulûm-e Imruzi, hal. 131.

[7] . Qs. Al-A’raf (7): 157, “... menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.”

[8] . Tahaful Uqul, hal. 337.

[9] . Muhammad Rey Syahri, Muhammad, Mizanul Hikmat, jil. 13, hal. 6340.

[10] . Ibid.

[11] . Ibid.

[12] . Neilfarusyan, Muhammad Ali, Dharabi, Jalil, Mir Fatahi, Muhammad Baqir,

ehdâsyt, hal. 20.

[13] . Majlisi, Muhammad Baqir, Bihârul Anwâr, jil. 17, hal. 170.

[14] . Hurr Amuli, Wasâil Asy-Syiah, jil. 1, hal. 228; Majlisi, Muhammad Baqir, Bihârul Anwâr, jil. 77, hal. 169.

[15] . Qs. Al-Baqarah (2): 195.

[16] . Thabathabai Muhammad Husain, Al-Mizân, jil. 2, hal. 93-180.

[17] . “Ladharar wa la dhirar fil Islam”, Syeikh Shaduq, Man La Yahdhuruhul Faqih, jil. 4, hal. 334.

[18] . Nahjul Fashâhah, hal. 113.

[19]. Kanzul 'Ummâl, jil 3, hal. 894. Tentunya mengenai riwayat ini dan kandungannya, para peneliti mengatakan bahwa pohon sade mengarah pada pohon sadr yang ditanam di Karbala sebagai tanda makam Imam Husain As. Bagaimanapun juga pelarangan untuk menebang pepohonan secara universal bisa diperoleh dari riwayat-riwayat yang ada dalam teks-teks agama.

[20] . Manshur, Jahangir, Majmu’eh Qawânin wa Muqarrârat-e Huquqi, hal. 921-924.

[21] . Menurut pandangan fikih Syiah yang termasuk dalam anfal antara lain adalah:1. Tanah-tanah mati.

2. Ladang-ladang yang tak bertuan.

3. Puncak-puncak gunung, lereng dan hutan-hutan.

4. Harta rampasan yang diperoleh oleh para mujahid tanpa seizin Imam.

5. Harta warisan seseorang yang tidak memiliki ahli waris.

6. Tambang-tambang.

7. Lautan dan jalanan.

8. Khumus dari harta kekayaan yang merupakan hak milik Imam dan anfal.

[22] . Qs. Al-Anfal (8): 1.

[23] . Qs. Al-A’raf (7): 31.


6
Tanya Jawab Masalah Akhlak

5. Saya tidak bergairah dan memiliki mood saat mengerjakan shalat, apa yang harus saya lakukan?


Shalat memiliki sisi lahir dan sisi batin. Sebagiamana bentuk lahirnya memiliki adab-adab dan syarat-syarat tertentu, demikian juga dengan bentuk batinnya.

Karena itu, sebagiamana menjaga syarat-syarat lahir shalat seperti kesucian pakaian, menghadap kiblat, memiliki wudhu dan sebagainya akan menyebabkan benarnya shalat. Memperhatikan syarat-syarat batin seperti perhatian kepada Allah Swt, khusyu', tuma'ninah dan sebagianya juga akan menyebabkan benarnya batin shalat dan sejatinya akan menjadikan shalat kita diterima di sisi Allah. Swt.

Dengan memperhatikan pendahuluan ini maka harus kita lihat bahwa sumber tiadanya gairah, semangat dan mood dalam mengerjakan shalat adalah lantaran ditinggalkannya salah satu dari syarat batin shalat dan dengan menjaga syarat-syarat ini maka kita dapat mendapatkan gairah, semangat, mood dan kehadiran hati dalam menunaikan shalat.

Shalat berada pada puncak tertinggi di antara ibadah-ibadah yang lain. Hal ini sebagaimana disinyalir dalam banyak riwayat disebutkan bahwa shalat adalah mikraj mu'min dan tiang agama. Dua redaksi ini menandaskan pentingnya kewajiban yang dititahkan Allah Swt kepada kaum Muslimin ini.

Dari satu sisi, tersedianya satu fenomena yang berada di luar kebutuhan yang menjadi tuntutan dan tidak ada penghalang. Shalat juga tidak terlepas dari kaidah ini. Dalam shalat, terpenuhinya tuntutan dan tersingkirkanya pelbagai halangan dan sampainya pada shalat yang sejati hanya dapat terlaksana dengan menjaga syarat-syarat dan adab-adab lahir dan batin shalat. Berbicara tentang adab-adab batin shalat sangat banyak.


Akan tetapi secara ringkas kita akan menyebutkan beberapa dari adab-adab tersebut:
1. Memberikan perhatian penuh kepada Allah Swt dan mencari tahu mengapa ibadah ini diperintahkan:

Artinya bahwa pelaku shalat harus memiliki makrifat dan pengetahuan yang lurus dan benar tentang Allah Swt. Dan mengetahui bahwa dengan siapa ia berhadap-hadapan. Allah Swt adalah kesempurnaan mutlak. Dan seluruh kesempurnaan bahkan kesempurnaan itu sendiri. Dan salah satu kesempurnaan Ilahi itu adalah hikmat.

Atas alasan ini, seluruh perbuatan Ilahi memiliki tujuan. Dan di antara perbuatan Ilahi itu adalah penciptaan alam semesta dan bunga mahkota penciptaan itu adalah manusia dan tujuan penciptaan adalah sampainya manusia kepada kesempurnaan (takamul) dimana hakikat ini tidak dapat tercapai kecuali melalui jalan yang lurus (shirat mustaqim).

Dan jalan yang lurus ini (shirat mustaqim) adalah penghambaan kepada Allah Swt: "Wa ani'buduni hadza Shirat Mustaqim." (Dan sembalahku inilah jalan yang lurus, Qs. Yasin [36]:61) Artinya mematuhi seluruh perintah dan aturan Ilahi. Ketaatan terhadap perintah Ilahi yang paling penting dan paling nyata memanifestasi dalam bentuk ibadah.

Apabila seseorang tidak mengetahui falsafah dan tujuan ibadah maka sekali-kali tidak akan mendapatkan manfaat dari ibadah tersebut. Falsafah dan tujuan ibadah hanya dapat diraih melalui sinar ajaran agama.

2. Menjauh dari segala yang berseberangan dengan ibadah: Mizan pengaruh seluruh perbuatan bergantung sepenuhnya pada pelbagai ruang yang disediakan sebelumnya, perhatian dan keikhlasan orang tersebut. Atas alasan ini, ibadah memiliki pengaruh yang beragam pada diri setiap orang. Menjauh dari segala perbuatan yang berseberangan dengan ibadah dan mengeliminir efeknya merupakan perkara yang sangat penting.

Misalnya dua orang pasien yang mengerjakan perintah seorang dokter dan memakan obat-obat yang disarankan dokter untuk diminum. Akan tetapi salah satunya, menghindar dari segala yang merugikan dan satunya lagi tidak mengindahkan masalah ini. Dalam hal ini, anjuran dan resep dokter tidak mujarab atau kurang mujarab bagi yang kedua.

Kita harus menghindar dari segala perbuatan dosa dan berpotensi menzalimi diri dan orang lain supaya ibadah yang kita kerjakan berpengaruh dan menghujam pada kedalaman batin kita dan akan menimbulkan gairah dalam beribadah.

Karena itu, dalam banyak riwayat disebutkan bahwa sebisa mungkin untuk menjauh dari perbuatan dosa; karena kegelapan akan mendiami batin kita dengan perbuatan dosa, "Idza adznab al-rajul dakhala fii qalbihi nuqtatun saudah." (Jika seseorang berbuat dosa maka akan masuklah titik hitam dalam hatinya).[1]

Imam Shadiq As bersabda: "Sesungguhnya ayahku bersabda: Tiada yang lebih merusak hati kecuali perbuatan dosa. Karena hati akan ternoda dengan perbuatan dosa dan maksiat sehingga pada akhirnya dosa yang akan mendominasi hati dan membinasakannya."[2] Artinya, hati sesuai dengan watak aslinya adalah bersifat malakuti dan bercorak Ilahiah. Akan tetapi karena pengaruh dosa maka parasnya akan rusak, dan akhirnya bersifat nasuti (serba duniawi) dan setani.

Imam Shadiq As bersabda: "Sesungguhnya perbuatan dosa akan menjauhkan manusia dari ibadah dan shalat tahajjud serta kelezatan bermunajat dengan Tuhan.[3] Pengaruh perbuatan dosa melebih kecepatan belati tajam yang ditusukkan ke hati."[4]

3. Berusaha untuk mensucikan jiwa: Tujuan pensucian jiwa adalah menyingkirkan pelbagai hijab dan tirai yang membentang antara manusia dan fitrahnya. Dengan membentangnya tirai ini, kristalisasi dan manifestasi tercerminnya wajah Tuhan melalui fitrahnya tidak terpenuhi. Tirai-tirai dan hijab-hijab ini tersusun dari pelbagai dosa, kelalaian, tenggelam dalam kenikmatan duniawi dan melupakan Tuhan dan akhirat serta alam malakut.

Seluruh perintah dan hukum yang ditetapkan dalam syariat suci semuanya memiliki tujuan yang satu dan hal itu adalah mengurangi corak atau menyingkirkan pelbagai hijab dan benderangnya pancaran sinar fitrah dan hakikat manusia yang telah tenggelam dalam kubangan kelalaian dan maksiat. "Qad aflaha man zakkaha wa qad khaba man dassaha." (Sesungguhnya menanglah orang-orang yang mensucikan diri dan merugilah orang-orang yang menodainya, Qs. Al-Syams [91]:9-10)

4. Mengerjakan perbuatan-perbuatan positif: Dari satu sisi, seluruh perbuatan yang dikerjakan oleh raga manusia dikendalikan oleh ruh. Seluruh anggota badan berada di bawah kontrolnya. Dan dari sisi lainnya, seluruh yang benderang dan gelap tempatnya pada ruh. Gelap dan benderangnya ruh adalah dipengaruhi oleh seluruh perbuatan manusia.

Semua orang tahu pengaruh langsung segala perbuatan positif dan negatif atas ruh. Di antara perbuatan-perbuatan positif adalah mengerjakan ibadah; artinya apabila manusia memiliki sepuluh derajat kadar cahaya dan juga menunaikan shalat malam atau berupaya memenuhi kebutuhan masyarakat maka perbuatan-perbuatan baik ini akan menambah kadar cahaya pada ruhnya.

Dan hal ini menjadi penyebab menguatnya ruh dan batinnya. Dan kadar cahaya agung yang bertambah ini akan menyebabkan munculnya gairah dan mood pada diri seseorang dalam mengerjakan ibadah seperti shalat. Akan tetapi kebalikannya yaitu pada perbuatan-perbuatan yang negatif tentu akan menambah kadar kegelapan dalam diri pelakunya. "Qul kulllu ya'mal 'ala syakilatihi." (Katakanlah segala sesuatunya berlaku berdasarkan bentuknya, Qs. Al-Isra [17]:84).

5. Mencintai Allah Swt: Dosa dan kesalahan seseorang memiliki akar pada kecintaannya pada dunia dan kecendrungan ekstrem kepada pelbagai kelezatan alam natural dan kenikmatan material. Dalam hadis disebutkan bahwa "Hubb al-Dunya ra's kulli khatia'" (Kecintaan kepada dunia adalah akar dari segala kejahatan).

Karena itu, apabila seseorang ingin kosong hatinya dari perbuatan dosa maka hendaknya ia berperang dengan akar dan sumber perbuatan dosa tersebut. Ia harus berupaya meminimalisir kecintaan kepada dunia dalam dirinya dan menetralisir kecendrungan kepada pelbagai kelezatan duniawi dalam jiwanya.

Apabila ia melakukan hal ini dan dengan meminta pertolongan Allah Swt maka dalam pekerjaan yang mahaberat ini ia akan menuai keberhasilan. Dengan demikian ia dapat mengosongkan hatinya dari perbuatan dosa dan alih-alih mencintai dunia beserta isinya ia mengalihkan cintanya kepada Allah Swt dan para wali-Nya.


Kesimpulan:
Apabila kita ingin memiliki gairah dan khusyu dalam menunaikan shalat maka kita harus menjaga adab-adab batin shalat dengan perbuatan-perbuatan yang mendatangkan cahaya. Dengan menjaga adab-adab batin shalat maka kita memberikan kekuatan pada cahaya batin kita dan mensucikan eksistensi kita dari pelbagai penyakit moral sehingga dapat meraih kelezatan dalam beribadah. Lantaran orang sakit karena penyakit yang dideritanya tidak dapat merasakan lezatnya makanan-makanan yang terbaik sekalipun. Perasaan anoreksi dan tiadanya selera makanan dalam menyantap makanannya. Akan tetapi patut diingat bahwa memakan makanan meski demikian memainkan peran penting dalam menyembuhkan orang sakit tersebut. Karena itu, sebagiamana yang telah disinggung di sela-sela pembahasan, kita memandang bahwa keduanya saling mempengaruhi antara satu dengan yang lain.[]


Sumber referensi dan telaah:
1. A^dâb al-Shalât, Imam Khomeini.

2. Râh-e Khuruj az Shifat Radzilah, Sayid Rahim Tawakkal

3. Sirr al-Shalât, Imam Khomeini.


Catatan Kaki:
[1]. Ushûl Kâfi, jil. 3, Bab al-dzunub, riwayat ke-13.

[2]. Ushûl Kâfi, jil. 2, hal. 268, Bab al-dzunub, hadis pertama.

[3]. Ibid, hal. 272, hadis ke-16; Jâme' al-Sa'âdah, jil. 3, hal. 48.

[4]. Muhammad Ridha Mahdi Kani, Nuqtehâ-ye A^ghâz dar Akhlâq 'Amali, hal. 116.



7
Tanya Jawab Masalah Akhlak

6. Bagaimana manusia bisa sampai pada kesempurnaan?


1. Jawaban untuk pertanyaan di atas bisa diklasifikasikan dalam empat bahasan, yaitu: a. Definisi dari kata "sempurna" dan perbedaannya dengan kata "lengkap"; b. Kesempurnaan manusia; c. Kesempurnaan manusia dari perspektif Islam; dan d. Jalan menuju kesempurnaan.

2. Kata "sempurna" terkadang digunakan dengan makna yang sejajar dengan kata "lengkap", dan kadangkala pula diartikan dengan pengertian selain lengkap, sedangkan lawan kata keduanya adalah "kurang" atau "cacat".

3. Yang dimaksud dengan "sempurna" adalah murni aktual (segalanya ada secara aktual), ketiadaan potensi atau keberadaan sifat-sifat yang mesti dimiliki oleh sesuatu.

4. "Sempurna" merupakan derajat dan tingkatan sesuatu, sedangkan "lengkap" merupakan keterwujudan bagian-bagian dari sesuatu. Dengan demikian, sebuah sesuatu bisa saja "lengkap" akan tetapi tidak "sempurna". "Berkembang" pun pada sebagian penggunaannya memiliki pengertian selain pengertian "sempurna".

5. Pelbagai entitas di alam (alam akal, mitsal, materi) terkelompokkan ke dalam dua jenis, yaitu maujud materi dan nonmateri. Segala yang memiliki gerak dan menyempurna merupakan entitas-entitas yang materi, dan kesempurnaan setiap entitas di alam materi ini disesuaikan dengan hakikatnya sendiri. Sementara entitas nonmateri yang murni telah memperoleh seluruh kesempurnaannya sejak awal ia diciptakan.

6. Kesempurnaan hakiki manusia lebih sulit ditentukan jika dibandingkan dengan kesempurnaan entitas lainnya, dan yang dimaksud dengan 'pengenalan kesempurnaan manusia' di sini adalah pengenalan secara intelektual, teoritis, dan konseptual. Akan tetapi, pemahaman intuitif dan pengetahuan hakiki tentang kesempurnaan, baru akan tersingkap ketika seseorang telah sampai kepada hakikat kesempurnaan.

7. Tentang apakah kesempurnaan manusia itu, terdapat berbagai teori di kalangan para filosof dan cendekiawan, berikut adalah sebagian dari teori tersebut:

a. Teori reaksi terhadap alam, b. Teori kodrat dan kekuatan, c. Teori para hukama dan filosof Islam, dan d. Teori para arif.

Penjelasan rinci dan kritik untuk setiap teori di atas membutuhkan ruang dan kesempatan yang berbeda.

8. Seluruh entitas di alam berada dalam keadaan bergerak menyempurna untuk kemudian bertemu dengan Yang Maha Kuasa. Dan seluruh entitas tidak terlepas dari hukum universal "proses" dan "menjadi", dan manusia tidak terkecualikan dari hukum ini.

Perbedaan antara "menjadi" dengan makna perubahan dan menyempurna, dengan "berjalan" yang bermakna gerak (dalam atmosfer bumi dan langit) merupakan sebuah persoalan yang juga disinggung dalam al-Quran.

9. Tujuan dan akhir dari seluruh perubahan dan pergantian, terutama dalam diri manusia, tidak lain adalah "bertemu" dan "mendekat" kepada Tuhan.

10. Untuk sampai pada kesempurnaan manusia (yaitu bertemu dan berdekatan dengan-Nya), membutuhkan sarana. Dan sarana tersebut tidak lain adalah ibadah dan penghambaan. Penghambaan merupakan maqam tertinggi dan tingkatan perjalanan menuju Tuhan yang paling mulia bagi manusia sempurna. Penghambaan merupakan sebuah esensi dimana batinnya adalah hal-hal yang berkaitan dengan ketuhanan. Nama "hamba" merupakan nama yang terbaik dan Rasulullah Saw bukan hanya seorang abdullah (hamba Allah yang merupakan nama Tuhan yang paling sempurna, yakni pada maqam wahidiyah), melainkan abduhu (hamba Dia yang berkaitan dengan dzat mutlak Tuhan yang tanpa nama, yakni pada maqam ahadiyah) dimana kehambaan disini dilakukan untuk identitas mutlak Ilahi, oleh karena itulah di dalam shalat kita mengatakan, "Asyhadu anna Muhammadan abduhu wa rasuluhu" (Aku bersaksi bahwa Muhammad itu sesungguhnya hamba Dia dan rasul Dia).

Yang dikatakan sebagai hamba adalah seseorang yang memiliki ilmu dan keyakinan kepada Tuhan, menjauhkan diri dari selain-Nya, dan berdekatan dengan Tuhan tanpa adanya sedikitpun tabir dan perantara.

11. Satu-satunya jalan untuk menghamba adalah ketaatan dan ibadah dimana hal ini telah menjadi kewajiban setiap hamba setelah mengenal dan menyaksikan nama agung Ilahi dan menyingkirkan hijab keegoan dan keakuan.

12. "Ibadah" dengan makna luas yang dimilikinya meliputi seluruh aktivitas yang dilakukan oleh hamba untuk mendekati Tuhan dan memperoleh keridhaan-Nya. Dan tujuan dari penciptaan pun tidak lain adalah ibadah itu sendiri.

13. Ibadah yang paling penting sebagaimana yang dijelaskan dalam kalimat-kalimat suci para Imam Maksum Ahlulbait dan para pembesar ahli makrifat serta orang-orang yang dekat dengan-Nya, adalah mereka yang melaksanakan kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang haram dan dosa.

14. Sementara itu perbuatan paling penting yang bisa disimpulkan dari riwayat-riwayat dan perkataan para ulama adalah bahwa untuk sampai kepada kesempurnaan terdapat lima perkara yang harus dilakukan, yaitu diam (tidak banyak bicara), lapar (tidak banyak makan), khalwat (menyendiri berduaan dengan Tuhan), menghidupkan malam (melakukan shalat malam), dan senantiasa berzikir.


Jawaban untuk pertanyaan yang dimaksudkan di atas bisa dipaparkan dalam empat bagian, yaitu: a. Definisi dari kata "sempurna" dan perbedaannya dengan kata "lengkap" dan "berkembang"; b. Kesempurnaan manusia; c. Kesempurnaan manusia dari perspektif Islam; dan d. Jalan menuju kesempurnaan.

a. Definisi kata "sempurna" dan perbedaannya dengan kata "lengkap" dan "berkembang".
Kata "sempurna" kadangkala diartikan dengan makna yang sinonim dengan kata "lengkap", dan kadangkala dengan pengertian selain itu, namun bagaimanapun, lawan kata keduanya adalah "kurang", sebagaimana halnya lawan kata "lengkap" adalah "kurang".

Yang dimaksud dengan kesempurnaan adalah murni aktual (segalanya ada secara aktual), ketiadaan potensi atau keberadaan sifat-sifat yang mesti dimiliki oleh sesuatu. Kesempurnaan adalah kepemilikan segala hal yang mungkin dan layak untuk dimiliki oleh sesuatu. Dengan ungkapan lain, kesempurnaan adalah titik akhir dan tingkatan akhir setiap sesuatu, atau keberadaan sifat-sifat yang niscaya dimiliki oleh sesuatu, dan persoalan-persoalan lain dalam batasan yang penting dan bermanfaat untuk sampai pada kesempurnaan hakikinya akan menjadi "kesempurnaan awal" dan "pengantar kesempurnaan" baginya.[1]

Mungkin dapat dikatakan bahwa dalam filsafat dan beberapa kasus tentang "sempurna" memiliki makna "lengkap", dan tidak ada perbedaan yang begitu berarti di antara keduanya. Akan tetapi, dalam teks-teks agama dan pandangan umum masyarakat, terdapat perbedaan antara kata sempurna dengan lengkap. Untuk dua kata "sempurna" dan "lengkap" (kesempurnaan dan kelengkapan) ini Al-Quran al-Karim memberikan dua pengertian. Sebagaimana hal ini terlihat dalam salah satu firman-Nya, "Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam itu menjadi agama bagimu."[2] Agama berjalan dari kurang ke arah sempurna, dan nikmatpun demikian bergerak dari kurang ke arah lengkap.

Dari sini perbedaan antara kata "sempurna" dan "lengkap" bisa dijelaskan dengan dua cara: "sempurna", berada dalam derajat dan tingkatan sesuatu, sedangkan "lengkap" merupakan terwujudnya dan keberadaannya bagian-bagian sesuatu, sedemikian hingga jika seluruh bagian yang dibutuhkan untuk diperolehnya prinsip keberadaan sesuatu telah terwujud, maka sesuatu tersebut berarti telah cukup, total dan lengkap. Dan jika tidak demikian maka dia akan cacat atau kurang dalam prinsip kewujudan dan esensinya. Sekarang, karena "sempurna" berada dalam sebuah posisi yang masih bisa memiliki tingkatan lebih tinggi dari sesuatu yang telah sampai pada batasan "lengkap", maka sebuah sesuatu bisa saja lengkap akan tetapi ia tidak sempurna.

Sementara itu, perbedaan antara sempurna dan berkembang adalah bahwa dalam pengertian "sempurna" -ketika beriringan dengan gerak dan menuju pada kesempurnaan- dan menyempurna, terdapat ketinggian yang tersembunyi. Menyempurna merupakan gerak, sebuah gerak vertikal yang mengarah ke atas, gerak dari satu permukaan ke permukaan yang lebih tinggi, dari sebuah tingkatan dan tahapan ke tingkatan dan tahapan yang lebih tinggi, akan tetapi "berkembang" berlaku juga dalam gerak horisontal dan mendatar. Misalnya apabila sebuah pasukan atau laskar tengah berperang di belahan bumi dan menguasai sebagian daerah musuh, maka kita akan mengatakan, fulan pasukan dalam posisi berkembang dan bergerak maju, dan kita tidak mengatakan bahwa mereka berada dalam posisi menyempurna.[3]


b. Kesempurnaan manusia.
Entitas dan eksisten di alam terbagi menjadi dua, dimana kelompok pertama adalah kelompok eksisten yang sejak awal penciptaannya telah memiliki segala sesuatu yang layak dengan hakikat wujudnya dan tidak memiliki gerak untuk menyempurna. Yang termasuk ke dalam eksisten dan entitas semacam ini adalah eksisten dan entitas nonmateri murni seperti malaikat dan sebagainya; dan kelompok yang lainnya adalah di awal penciptaannya tidak memiliki kesempurnaan akhir dan tidak memiliki kesempurnaan yang sesuai untuk esensi wujudnya, dan untuk memperoleh kesempurnaan ini mereka membutuhkan gerak dan proses untuk menyempurna, dan yang termasuk dalam kelompok ini adalah eksisten-eksisten materi dan juga manusia tentunya.

Dengan memperhatikan makna pada kata sempurna dan menyempurna (gerakan dari potensi ke aktual), maka dapat diketahui bahwa setiap eksisten pasti memiliki kesempurnaan yang sesuai dengan jati dirinya. Kesempurnaan yang dicari oleh sebatang pohon pasti berbeda dengan kesempurnaan yang hendak diraih oleh seekor binatang. Demikian juga kesempurnaan manusia pasti berbeda dan tidak akan pernah sama dengan kesempurnaan eksisten-eksisten lainnya.

Dari sinilah sehingga eksisten-eksisten materi dalam kaitannya dengan kesempurnaan wujudnya bisa diklasifikasikan tingkatannya. Di antara eksisten dan entitas yang kita kenal, eksisten non-organik berada pada tingkatan yang paling rendah, kemudian disusul secara berurutan oleh nabati dan hewan yang berada di urutan tengah, selanjutnya manusia berada pada tingkatan yang paling tinggi. Dari sini terlihat dengan jelas bahwa dalam tingkatan derajat ini yang diperhatikan adalah jenis dan nilai kesempurnaannya, bukan volume atau jumlahnya.[4]

Menentukan kesempurnaan manusia tentu saja lebih sulit jika dibandingkan dengan menentukan kesempurnaan segala sesuatu yang lain, sebagaimana misalnya kesulitan ketika menghadapi masalah seperti dimanakah letak kesempurnaan manusia. Walhasil, kesempurnaan mayoritas benda di alam ini dengan mudah dapat kita kenali, akan tetapi tidak demikian halnya dengan kesempurnaan manusia.[5]

Jelaslah bahwa pengenalan kesempurnaan hakiki manusia dengan metode pemahaman kalbu dan penyaksian intuitif (syuhudi) hanya akan tersingkap ketika seseorang telah sampai pada maqam kesempurnaan itu sendiri, akan tetapi karena untuk sampai kepada "kesempurnaan ikhtiari" (diperhadapkan dengan kesempurnaan yang non-ikhtiari, seperti kesempurnaan entitas dan eksisten nonmateri) bergantung pada ilmu dan pengetahuan, maka layaklah jika kesempurnaan semacam ini perlu diketahui sebelumnya supaya bisa ditempatkan dalam posisi kehendak dan kecintaan kemudian berusaha memperolehnya dengan pilihan dan kebebasan, namun jika jalan untuk mengenalinya pada batas tertentu tidak bisa dilakukan secara intelektual dan akal, maka hal ini tidak mungkin bisa terjangkau dan tercapai. Jadi pengenalan awal tentang kesempurnaan tidak diketahui dengan cara intuisi atau syuhudi, melainkan tidak lain adalah pengenalan yang bersifat intelektual, akal, dan ilmu perolehan (hushuli).[6] Dengan memperhatikan pembahasan sebelumnya, maka bisa diketahui bahwa ikhtilaf dan perbedaan para filosof dan cendekiawan pada persoalan penentuan kesempurnaan hakiki manusia merupakan ikhtilaf yang wajar.

Penjelasan berbagai teori tentang kesempurnaan manusia (dan manusia sempurna), beserta kritik dan analisanya dalam persoalan ini akan menyebabkan panjangnya pembahasan dimana hal ini bukan pula merupakan tujuan artikel ini. Dengan alasan inilah kami mencukupkan diri dengan hanya menjelaskan tetang beberapa teori kesempurnaan manusia, dan untuk mendapatkan informasi yang lebih detail hendaklah merujuk pada kitab-kitab yang berkaitan dengannya.


1. Teori reaksi terhadap alam, teori ini terbagi dalam dua bagian, a. Reaksi individu terhadap alam, dan b. Reaksi masyarakat terhadap alam.
Berdasarkan teori "reaksi individu terhadap alam" yang dibentuk berdasarkan prinsip Individualisme, kesempurnaan manusia terletak pada semakin banyaknya dia memanfaatkan alam dan memanfaatkan kenikmatan-kenikmatan materi, dan kehidupan yang lebih sejahtera dan lebih menyenangkan akan diperoleh dengan memanfaatkan ilmu empirik, sarana dan inovasi-inovasi terbaru yang digunakan untuk mendulang sumber-sumber dan kekayaan-kekayaan alam.[7]

Sedangkan berdasarkan teori "reaksi masyarakat terhadap alam" yang muncul dari teori sosialisme disepakati bahwa kesejahteraan dan pemanfaatan yang lebih banyak atas kenikmatan-kenikmatan duniawai dan materi merupakan tujuan bagi seluruh tingkatan masyarakat.[8]


2. Teori kodrat dan kekuatan.
Dalam teori ini kesempurnaan manusia terletak pada kodrat dan kekuatannya, dan yang dimaksud dengan manusia sempurna adalah manusia yang kuat dan berkuasa, dengan semakin kuat dan semakin berkuasanya seseorang dan semakin menguasai lingkungan di luar dirinya, yaitu lebih menguasai alam dan manusia-manusia lainnya, berarti dia semakin dekat dengan kesempurnaan.

Teori evolusi Darwin pun bertolak dari dasar ini. Dalam pandangan Darwin, yang dimaksud dengan eksisten yang lebih sempurna adalah eksisten yang lebih kuat, yaitu eksisten yang lebih bisa menjaga dirinya dan memiliki kekuatan yang lebih dalam menyingkirkan lawan dan musuhnya. Dari sini kemudian muncul berbagai sanggahan dan sangkalan yang tertuju kepada Darwin bahwa dengan adanya "prinsip keabadian" dia benar-benar telah memusnahkan perbedaan dan ikhtilaf yang ada, karena keberadaan prinsip ini telah menggetarkan dasar-dasar etika[9].


3. Teori para hukama dan filosof Islam (teori akal dan hikmah).
Berdasarkan teori ini kesempurnaan manusia terdapat pada dua hal, yang pertama terletak pada pemahamannya tentang hakikat dan realitas (sebagaimana adanya) dan yang kedua terletak pada keadilan. Dengan kata lain, kesempurnaan manusia berada pada hikmah teoritis dan hikmah praktis.[10]

Jadi manusia sempurna di mata para hukama adalah manusia yang akalnya berada dalam persoalan-persoalan teoritis dan bijak (hikmah) dan dalam persoalan amal (dari prespektif etika) pun ia juga harus seorang manusia yang berkeadilan.


4. Teori para Arif (teori cinta).
Para arif sepakat bahwa "hakikat" adalah satu yang tidak lain adalah Tuhan. Dan mereka menganggap selain Tuhan merupakan kegelapan, dan bayangan dari hakikat. Manusia akan menjadi sempurna ketika dia memahami hakikat dan juga sampai kepada hakikat. "Bergabung dengan Yang Haq" dan "kedekatan kepada Tuhan" dan sebagainya adalah sebuah kesempurnaan yang merupakan tujuan dari setiap aspirasi, harapan kerinduan dan pengenalan Ilahi. Sedangkan makna bergabung dan sampai adalah "kefanaan dalam Tuhan", dengan artian bahwa ia tidak menetap dalam lingkaran "keakuan" dan "keegoan". Orang yang tidak memiliki perjalanan seperti ini dan tidak sampai pada hakikat ini maka ia akan tertinggal di jalannya sendiri. Kendaraan dalam sair dan perjalanan spiritual ini adalah cinta, kasih sayang, dan kedekatan (taqarrub).[11]

Sedangkan pusat cintanya adalah kalbu. Tentu saja cinta sebagaimana yang dikatakan oleh para arif ini berbeda dengan cinta yang dimengerti oleh kalangan umum. Cinta seorang arif adalah cinta hakiki yang akan membawa manusia ke atas dan mengantarkannya untuk sampai kepada Tuhan. Dan kekhususan dalam cinta kepada Tuhan (bukan cinta seksual atau cinta yang lainnya) dalam teori yang merupakan sarana dan cara yang akan mengantarkan manusia ke maqam kesempurnaan ini adalah "memperbaiki diri dan mensucikan jiwa".

Persoalan-persoalan semacam kecenderungan mutlak terhadap batin, peniadaan ego, dan pelecehan jiwa merupakan persoalan-persoalan yang sangat mendapat perhatian dalam aliran Irfan.[12]

Terdapat pula teori-teori lain berkaitan dengan kesempurnaan manusia ini dimana kami menghindari untuk menyebutkannya. Mengenai keempat teori di atas terdapat pula analisa-analisa dan koreksi-koreksi dari perspektif Islam dan teks-teks agama serta para pemuka Ahlulbait As dimana kamipun menghindarkan diri untuk menyajikannya, dan untuk mendapatkan informasi lebih lengkap dan mendetail tentang hal tersebut hendaklah merujuk kepada kitab-kitab yang telah ditulis sehubungan dengan wacana ini.[13]


c. Kesempurnaan dari perspektif agama Islam.
Tentu saja terhadap masing-masing teori di atas, Islam tidak menerima begitu saja teori-teori tersebut secara umum dan tidak memberikan analisa serta kritikan apapun, demikian juga Islam tidak pula langsung menolak dan menyangkalnya, melainkan menerima poin-poin yang positif dan benar dari masing-masingnya, dan juga memberikan peringatan pada persoalan-persoalan yang tidak sesuai dengan pandangan Islam dan ajaran-ajaran al-Quran.[14]

Tuhan yang Maha Tinggi adalah Kesempurnaan Murni dan Pencipta Kesempurnaan. Segala sesuatu yang muncul dan terlahir dari-Nya adalah sempurna. Alam dan manusia muncul dari-Nya dan keduanya merupakan manifestasi dari Kesempurnaan Yang Haq. Seluruh atom-atom alam wujud akan bergerak ke arah kesempurnaan, melakukan pertemuan dengan-Nya, dan bergerak mengarungi perintah Ilahi. Manusia bukanlah serat yang terpisah dari jaringan dunia penciptaan, oleh karena itulah dengan sampainya ke kesempurnaan yang sesuai ia akan berusaha untuk mengharmonikan dirinya dengan seluruh alam penciptaan.[15]

Al-Quran al-Karim dalam beberapa ayat mendeskripsikan tentang pandangan dunia (world view) yang benar dan menunjukkan jalan seir dan suluk (perjalanan ke arah kesempurnaan) kepada para arif yang salik. Hal ini karena pertama, Al- Quran memperkenalkan Tuhan sebagai Huwal akhir (Dialah Yang Terakhir)[16], yaitu Dia adalah tujuan terjauh dan paling tinggi yang harus dicapai. Kedua, kafilah maujud tengah berada dalam keadaan berproses dan menjadi untuk menuju pertemuan dengan-Nya, sebagaimana firman-Nya, "Ingatlah, bahwa kepada Allah-lah kembali semua urusan"[17] di sini Al-Quran al-Karim mengingatkan kepada manusia tentang gerak dan lintasan kepada proses ini.

Perbedaan antara "berproses" dan "bergerak" di sini adalah bahwa bergerak memiliki makna gerak yang terdapat pada seluruh unsur-unsur bumi dan langit. Akan tetapi berproses merupakan perubahan dan gerakan menyempurna dari jenis satu ke jenis lainnya serta dari tingkatan yang satu ke tingkatan lainnya. Manusia yang tak terkecuali dari keadaan berproses dan bergerak ini, tengah berproses, berubah dan menjadi, dimana titik akhirnya adalah "Pertemuan dengan Tuhan Yang Maha Tinggi".[18]

Meskipun seluruh maujud -termasuk manusia- berada dalam prosesnya bergerak ke arah-Nya, akan tetapi masing-masing individu saling berbeda, sebagian berproses ke arah "Nama-Nya yang Agung", sebagiannya lagi ke arah "Nama yang lebih Agung", sedangkan sebagiannya berproses ke arah ...[19]

Walhasil, majemuk dari seluruh proses-proses ini, terutama proses kesempurnaan manusia adalah "Pertemuan kepada Tuhan"[20], "Kedekatan kepada-Nya", dan "Maqam di samping-Nya". Ketiga, dalam salah satu ayat-Nya Tuhan berfirman, "... carilah perantara untuk mendekatkan diri kepada-Nya ..."[21] yaitu pilihlah sarana untuk bertemu dengan-Nya dimana Tuhan merupakan tujuan dan selain Tuhan (segala bentuk perbuatan yang mendekatkan kepada-Nya) adalah sarana.[22]

Berbagai ayat, riwayat dan teks-teks doa menganggap bahwa tujuan gerak manusia adalah pertemuan dengan-Nya,[23] dan begitu banyak para pembesar ahli makrifat yang membahas wacana ini di dalam kitab-kitabnya.[24]

Para Nabi dan auliya Tuhan telah banyak meninggalkan rahasia dan kebutuhan-kebutuhan tinggi dalam pertemuan dengan-Nya dimana membicarakannya meniscayakan penganalisaan terhadap sekian kitab, dan sekumpulan riwayat dan doa-doa merupakan hasil dari karya seperti ini.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, di dalam teks-teks agama terdapat berbagai pengertian tentang kesempurnaan manusia, seperti kedekatan kepada-Nya, pertemuan dengan-Nya, maqam dan kedudukan di sisi-Nya, bersama dengan-Nya, wilayah, tauhid, khilafah, warna (sibgha) Tuhan, berakhlak dengan akhlak Ilahi, memandang wajah-Nya, kefanaan pada-Nya, bergantung kepada kesucian-Nya, kekasih Allah (habibullah), kemenangan, nama Tuhan, penghambaan, dan sebagainya, dimana penjelasan tentang masing-masingnya bukanlah merupakan tujuan, melainkan yang perlu diperhatikan adalah jalan untuk menuju kesempurnaan (dengan cara manapun yang telah dijelaskan) yang hal ini akan kami jelaskan pada pembahasan mendatang.[25]


d. Jalan menuju kesempurnaan (kedekatan Ilahi).
Setelah pengertian tentang sempurna dan kesempurnaan manusia dari perspektif Islam telah jelas hingga batasan yang diperlukan, selanjutnya "jalan menuju kesempurnaan" merupakan salah satu persoalan yang mendapatkan perhatian khusus pada wacana seir dan suluk.

Kesempurnaan manusia yang adalah kedekatan Ilahi dan bergabung ke arah-nya membutuhkan sarana, sebagaimana yang terdapat dalam salah satu firman-Nya, "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, carilah perantara untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah di jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan."[26], dan sarana ini tak lain dan tak bukan adalah "penghambaan".

Penghambaan merupakan kunci bagi "wilayah"[27] dan "hamba" merupakan nama yang terbaik. Dari sinilah sehingga Rasulullah saw yang merupakan manusia sempurna adalah Abdullah ((hamba Allah yang merupakan nama Tuhan yang paling sempurna, yakni pada maqam wahidiyah)) dan pada malam mi'raj memohon penghambaan dengan bersabda,"Ya Tuhanku dekatkan aku kepada-Mu dengan penghambaan (ubudiyah)"[28]

Penghambaan dalam seluruh keberadaan-Nya, kesempurnaan-Nya, dan sebagainya… berhutang budi pada Sang Maula dan Pemimpin-nya, dan akan membuatnya fana secara murni di haribaan-Nya.

"Hamba yang hakiki" tak lain adalah "Arif yang hakiki" yang tak akan terhiasi oleh setiap warna kecuali warna Tuhan (sibghatullah), ia pasrah secara total, merendahkan diri dan tunduk kepada-Nya, dan jika demikian adanya, maka kalbunya merupakan tempat bagi Dzat Suci Tuhan, "Bumi dan langit tidak mampu 'menampung-Ku', tetapi hati seorang mukminlah yang mampu 'menampung-Ku'."[29]

Sementara itu jika manusia keluar dari penjara jiwanya, menetapkan diri pada penghambaan Sang Khalik, memiliki kalbu yang dipenuhi dengan ketauhidan, menghilangkan beragam kecenderungan dalam ruhnya, dan mengarahkan kalbunya pada satu titik kecenderungan yaitu pusat kesempurnaan mutlak, maka ia akan mendapatkan keluasan sedemikian rupa dalam kalbunya yang akan menjadi tempat manifestasi dan penampakan kekuasaan mutlak Ilahi, dan akan muncul sedemikian kaya dimana seluruh pemilik lahir dan batin tidak akan menyepelekannya. Dan dia akan memiliki kehendak yang sedemikian besar sehingga tidak bergantung pada kekayaan dan malakut dan dia tidak menempatkan kedua alam sebagai tempat yang layak baginya.

Ibadah dan penghambaan merupakan sebuah esensi dimana batinnya adalah hal-hal yang berkaitan dengan ketuhanan."[30] Jiwa dan ruh seorang hamba akan bercahaya karena penghambaan yang dilakukannya dan akan menjadi pantulan dan tempat munculnya cahaya-cahaya Ilahi, sifat dan asma-asma Rabbani, demikian juga akan menjadi cermin yang memperlihatkan seluruh keagungan dan keindahan Yang Maha Kuasa.

Kata 'abd (hamba) terbentuk dari tiga huruf 'ain, ba, dal. Huruf 'ain merupakan konteks dari ilmu dan keyakinan hamba pada Tuhan, huruf ba merupakan isyarah terhadap keterpisahan dan keterjauhannya dari selain Yang Haq, sementara huruf dal menunjukkan atas kedekatan hamba kepada Tuhan Yang Maha Agung, tanpa adanya sedikitpun keberadaan hijab dan perantara.[31]


Mi'rajnya Rasulullah saw dan sampainya ke maqam
"auadna" adalah karena berkah sampainya ke tingkatan penghambaan mutlaknya insan kamil tersebut (yaitu Rasulullah saw), sebagaimana salah satu firman-Nya, "Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha."[32] Rasulullah tidak hanya menyandang nama 'abdullah akan tetapi telah sampai pada maqam 'abduhu, dimana 'abd merupakan identitas mutlak yang merupakan sumber dari Asmaul Husna (asma-asma agung) Tuhan, oleh karena itulah sehingga dalam shalat kita bersaksi, "Dan sesungguhnya aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah hamba-Nya dan rasul-Nya".

Dan menurut deskripsi dari sebagian pemuka agama, dalam al-Quran al-Karim, pada setiap tempat dimana kata abd digunakan secara mutlak dan tanpa penyebutan nama, berarti abd tersebut tertuju khusus untuk Rasulullah saw.[33]

Ketaatan dan ibadah merupakan satu-satunya jalan penghambaan (kedekatan kepada-Nya): dari berbagai ayat dan riwayat yang terdapat dalam bahasan penghambaan; kedudukan, bagian, sifat hamba dan penghambaan bisa diperoleh. Bahkan dengan melakukan kajian dan analisa terhadapnya bisa dikatakan bahwa hakikat penghambaan atas ketaatan dan ibadah akan semakin kokoh setelah makrifat dan penyaksian hamba terhadap Dzat Suci Tuhan.

Hamba yang hakiki adalah yang menyingkirkan hijab keakuan dan melakukan penghambaan diri karena makrifat dan penyaksian terhadap Maulanya dan meletakkan kerendahan ibadah dan penghambaan dirinya dalam kemuliaan rububiyyah. Menyingkap hijab keakuan dan keegoan merupakan langkah yang lebih sulit dari menyingkap seluruh hijab-hijab lainnya dan penyingkapan hijab ini merupakan langkah awal dari penyingkapan hijab-hijab yang lain, bahkan merupakan kunci dari kunci-kunci gaib, penyaksian, dan pintu dari pintu-pintu menaik ke arah kesempurnaan ruhani.

Dari sinilah sehingga jalan bergabung kepada hakikat rububiyyah adalah gerak dalam tingkatan penghambaan. Seorang pesuluk ke arah Tuhan apabila memahami akan kerendahan maqamnya dan hakikat wujudnya adalah kerendahan dan kemuliaan rububiyyah, dan dengan semakin kuatnya pandangan ini maka akan memunculkan ibadah yang semakin meruhani dan ruh ibadah yang semakin kuat.[34]

Dengan perkataan lain, langkah pertama dalam perjalanan ke arah kesempurnaan dan kedekatan kepada-Nya adalah sampainya kepada maqam kefanaan dzati dan dilepaskannya segala keegoan dan keakuan. Tuhan dalam salah satu ayat-Nya berfirman, "Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan rasul-Nya, kemudian kematian menjemputnya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh pahalanya berada di sisi Allah."[35]

Ketika jiwa bergantung kepada kebaikannya dan memberikan perhatian terhadap keakuan, maka ia belum menjadi orang yang melakukan perjalanan (ke arah Tuhan) dan belum berada dalam hukum musafir (orang yang melakukan perjalanan) dan muhajir (orang yang berhijrah) melainkan masih berada dalam hukum hadir.[36]

Langkah kedua adalah ketaaatan dan ibadah kepada Yang Haq. Tuhan telah meletakkan ibadah sebagai tujuan penciptaan jin dan manusia, sebagaimana hal ini tersirat dalam firman-Nya, "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku."[37], dan memperkenalkan beribadah kepada-Nya sebagai jalan yang lurus, berfirman, "Dan hendaklah kamu menyembah-Ku. Inilah jalan yang lurus."

Dari sinilah sehingga Imam Baqir As bersabda, "Mendekatkan diri kepada Tuhan tidak akan bisa diperoleh kecuali dengan ketaatan", dengan alasan inilah sehingga pelaksanaan kewajiban-kewajiban, nafilah-nafilah, shalat, zakat, dan sebagainya merupakan cara untuk mendekati-Nya, sebagaimana salah satu hadits yang mengatakan, "Shalat merupakan pilar utama dari seluruh ketaatan"[38] dan "Tidak mendekat kepada-Ku seorang hamba dari hamba-hamba-Ku kecuali dengan sesuatu yang paling Aku cintai dari apa-apa yang Aku wajibkan kepadanya."[39]

Ibadah kadangkala dengan pengertian khas yang dimilikinya dalam fikih dan syariat Islam menginformasikan pada amalan-amalan seperti shalat, puasa, haji, jihad dan sebagainya (yaitu kewajiban-kewajiban dan mustahab-mustahab) dan kadangkala pula menginformasikan pada makna umum dan makna luasnya yang meliputi seluruh perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh manusia dengan tujuan mendekati-Nya dan memperoleh keridhaan-Nya, meskipun pada masalah-masalah yang mubah sekalipun.

Dengan asumsi ini maka ayat mulia "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku." akan memberikan makna yang lebih jelas, karena sesuai dengan mafhum ayat, ibadah merupakan satu-satunya tujuan penciptaan dan dengan kedua maknanyalah sehingga akan membuat seluruh aktivitas-aktivitas manusia sebagai ibadah. Dan sekarang, jika yang dimaksud oleh ayat adalah ibadah dengan makna khususnya, maka secara pasti sebagian dari kehidupan seseorang adalah melakukan aktivitas-aktivitas selain ibadah dan pada saat-saat seperti ini berarti ia berada dalam aktivitas yang tidak mentaati kehendak Tuhannya.

Langkah pertama ibadah untuk mendapatkan kesempurnaan dan kedekatan kepada Tuhan adalah melaksanakan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan.


Pada berbagai hadis yang berasal dari para auliya Allah dan para Maksum Ahlulbait As yang sampai kepada kita menegaskan dua poin, berikut kami akan mengisyarahkan sebagian dari hadis tersebut:
a. Amirul Mukminin As bersabda, "Tidak ada ibadah seperti melaksanakan kewajiban-kewajiban."[40]

b. Demikian juga Imam Sajjad As dalam salah satu hadisnya bersabda, "Barang siapa melakukan apa yang diwajibkan oleh Tuhan atasnya, maka ia adalah sebaik-baik manusia."[41]

c. Imam Shadiq As menukilkan dari Rasulullah saw bahwa Tuhan berfirman, "Untuk mencari kedekatan (kepada-Ku) hamba-Ku tidak akan mencari sesuatu yang lebih dicintai dari apa yang Aku wajibkan, dan demikianlah ..."[42]

d. Dari Imam Shadiq As telah dinukilkan bahwa beliau bersabda,"Di dalam apa yang dibisikkan oleh Tuhan kepada Musa As, Tuhan berfirman, "Wahai Musa, orang-orang yang mendekat ke arah-Ku tidak akan mendekati-Ku kecuali dengan sesuatu seperti wara' dan menghindarkan diri dari hal-hal yang diharamkan."[43]

e. Dari Amali Syeikh Shaduq ra menukilkan dari Rasulullah saw bahwa beliau bersabda, "Paling tingginya penghambaan manusia adalah orang yang menjalankan kewajiban-kewajiban, dan paling tingginya upaya manusia adalah orang yang meninggalkan dosa-dosa."[44]

f. Musa bin Ja'far As, salah satu cucu Rasul saw menukilkan bahwa Rasul saw bersabda, "Tidak ada sesuatu yang lebih dicintai di sisi-Nya kecuali beriman kepada-Nya, melakukan amalan yang shaleh, dan meninggalkan segala hal dilarang."[45]

Berdasarkan ungkapan dari sebagian pembesar dikatakan bahwa melakukan kewajiban-kewajiban merupakan perhatian hamba ke arah yang dicinta dan meninggalkan apa yang diharamkan merupakan perhatian terhadap kesuciannya dan maqam penghambaannya.[46]

Perlu dikatakan bahwa dalam riwayat-riwayat dan doa-doa yang dinukilkan dari para Imam Maksum As, telah disebutkan pula berbagai langkah-langkah lain untuk mendekatkan diri kepada-Nya dimana di sini kami memiliki keterbatasan untuk membahasnya, dan mencukupkan diri hanya dengan mengisyarahkan pada satu hal: Imam BaqirAs bersabda, "Di antara apa yang dibisikkan oleh Tuhan kepada Musa As di gunung Thur, Ia berfirman, "Tidak akan mendekat hamba-hamba kepada-Ku seperti tangisan karena takut kepada-Ku."[47] Menangis karena ketakutan kepada-Nya merupakan cara terbaik untuk mendekati-Nya.


Di akhir pembahasan, penting kiranya untuk mencantumkan 3 poin penting berikut:
1. Apa yang telah dijelaskan di atas merupakan sebagian kecil dari pembahasan yang bisa dijelaskan dalam topik "cara untuk menuju ke arah kesempurnaan".

2. Sampai kepada kesempurnaan dan ibadah Ilahi memiliki syarat-syarat, sarana, penghalang, dan sebagainya dimana untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap tentangnya, hendaklah merujuk kepada kitab-kitab yang telah disusun oleh para pembesar ahli makrifat yang berkaitan dengan persoalan ini.[48]

3. Para ahli seir-suluk menjelaskan beberapa tingkatan dan tahapan untuk bergabung dan bertemu serta memperoleh kedekatan Ilahi, sebagian menyebutkannya dua tingkatan, sebagiannya tiga tingkatan, kelompok lain tujuh, empat, seratus bahkan ada yang menyebutkan hingga seribu tingkatan.

Namun, apa yang dicantumkan sebagai cara untuk mendekati-Nya dan tatacara yang terdapat dalam riwayat-riwayat, kitab-kitab dan apa yang ditentukan oleh para arif, terangkum dalam 5 perbuatan penting berikut: yaitu diam (tidak banyak bicara), lapar (tidak banyak makan), khalwat (banyak menyendiri), menghidupkan malam (melakukan shalat malam), dan senantiasa berzikir.

Penjelasan lengkap tentang persolan ini bisa didapatkan dalam kitab-kitab irfan praktis dan seir-suluk.[49][]


Catatan Kaki:
[1] . Misbah Yazdi, Muhammad Taqi, Khudsyenâsi baroye Khudsâzi, hal. 12.

[2] . Qs. Al-Maidah (5): 3.

[3] . Muthahhari, Mutadha, Takâmule Ijtimâ'i-ye Insân, hal. 12-14; Insân Kâmil, hal. 17.

[4] . Misbah Yazdi, Muhammad Taqi, Khudsyenâsi baroye Khudsâzi, hal. 12-14.

[5] . Muthahhari, Murtadha, Takâmule Ijtimâ'i-ye Insân, hal. 139.

[6] . Misbah Yazdi, Muhammad Taqi, Hudsyenosi baroye Hud Sozi, hal. 19.

[7] .Muthahhari, Murtadha, Insân Kâmil, hal. 140; Takâmule Ijtimâ'i-ye Insân, hal. 130; Misbah Yazdi, Muhammad Taqi, Khudsyenâsi baroye Khudsâzi, hal. 23.

[8] . Misbah Yazdi, Muhammad Taqi, Khudsyenâsi baroye Khudsâzi, hal. 23.

[9] . Muthahhari, Murtadha, Insân Kâmil, hal. 126; Takâmule Ijtimâ'i-ye Insân, hal. 142.

[10] . Rujuklah: Muthahhari, Murtadha, Insan Kamil, hal. 121; Takâmule Ijtimâ'i-ye Insân, hal. 139; Misbah Yazdi, Muhammad Taqi, Khudsyenâsi baroye Khudsâzi, hal. 23.

[11] . Rujuklah: Muthahhari, Murtadha, Insân Kâmil, hal, 123; Takâmule Ijtimâ'i-ye Insân, hal. 135.

[12] . Rujuklah: Muthahhari, Murtadha, Insân Kâmil, hal. 121-126, 170-190; Takâmule Ijtimâ'i-ye Insân, hal: 135-138, 152-154.

[13] . Muthahhari, Murtadha, Insân Kâmil, hal. 170-244; Takâmule Ijtimâ'i-ye Insân, hal. 152-154.

[14] . Ibid.

[15] . Jawadi Amuli, Abdullah, Mabâni-ye Akhlâq dar Qurân, hal. 51.

[16] . Qs. Al-Hadid (57): 3.

[17] . Qs. Asy-Syura (26): 53.

[18] . Jawadi Amuli, Abdullah, Shurat wa Sirat-e Insân dar Qurân, hal.99.

[19] . Ibid, hal. 107-108; Jawadi Amuli, Abdullah, Tafsir-e Tasnim, jil. 2, hal. 594.

[20] . Qs. Al-Insyiqaq (84): 6.

[21] . Qs. Al-Maidah (5): 35.

[22] . Jawadi Amuli, Abdullah, Mabâni-ye Akhlâq dar Qurân, hal. 283.

[23] . Qs. Al-An'am (6):31; Yunus (10): 7; Ar-Ra'd (13): 2; Al-Kahfi (18): 110; Ar-Rum (30): 8, dan ...; Hadis Qurb Farâidh wa Nawâfil; Doa Kumail, Doa Arafah, Munajat Khamsu' Asyara, Munajat-munajat Zâhidin, Khâifîn, Râghibîn, Muridîn, Muhibbîn, Mutawassilîn, Muftaqirîn, 'A^rifîn, Dzâkirîn.

[24] . Malaki Tabrizi, Mirza Jawad, Risâle-ye Liqaullâh; Imam Khomeini, Ruhullah, Syarh-e Cihil Hadis, Liqaullâh, hadis ke 28, hal. 451; Hasan Zodeh,Hasan, Liqaullâh, ....

[25] . Silahkan lihat beberap indeks: Kesempurnaan dan Kebahagiaan Manusia, pertanyaan ke 91; Kedekatan Ilahi dan Bagian-bagiannya, pertanyaan ke 89; Hamba dan Penghambaan, pertanyaan ke 110.

[26] . Qs. Al-Maidah (5): 35.

[27] . Thabathabai, Muhammad Husain, Tafsir Al-Mizân, jil. 1, hal. 277.

[28] . Kâfi, jil. 1, hal. 32.

[29] . Kâfi, jil. 2, Kitab Iman wa Kufr, hal. 250, hadis ke 2.

[30] . Rujuklah: Imam Khomeini, Ruhullah, Syarh-e Cihil Hadis, hal. 82.

[31] . Miqdadi Ishfahani, Ali, Nesyân az bi Nesyân-hâ, hal. 317; Mishbâh Asy-Syariah, hal. 7.

[32] . Qs. Al-Isra' (17): 1.

[33] . Shadral Muta'alihin, Tafsir al-Qurân al-Karim, hal. 124.

[34] . Rujuklah: Imam Khomeini, Ruhullah, A^dâb-e Namâz, hal. 8.

[35] . Qs. An-Nisa (4): 100.

[36] . Rujuklah Imam Khomeini, Ruhullah, A^dâb-e Namâz, hal. 7-9.

[37] . Qs. Adz-Dzariyat (51): 56.

[38] . Qs. Yasin (36): 61.

[39] . Syeikh Shaduq, Man La Yahdhûrul Faqih, jil. 1, hal. 310; jil.7, hal. 63.

[40] . Kâfi, jil. 2, hal. 82. 352.

[41] . Nahjul Balâghah, Hikmah ke 113; Biharul Anwar, jil. 71, hal. 208.

[42] . Bihârul Anwâr, jil. 71, hal. 195.

[43] . Kâfi, jil.2, hal. 82; Bihârul Anwâr, jil. 71, hal. 196, hadis ke 5.

[44] . Ibid, hal. 206 dan 207.

[45] . Ibid, hal.208.

[46] . Husaini Tehrani, Muhammad Husain, Risâleh-ye Labul Bab dar Seir wa Suluk (Yodnomeh Ustadz Syahid Muthahhari, hal. 236)

[47] . Bihârul Anwâr, jil. 70, hal.313.

[48] . Malaki Tabrizi, Mirza Jawad, Risâlah Liqaullâh;Thabathabai Najafi, Sayyed Mahdi, Risâleh-ye Seir wa Suluk; Husaini Tehrani, Muhammad Husain, Risâleh-ye Labul Bab; Feidh Kasyani, Mulla Muhsin, Akhlâq-e Hasaneh; Râh-e Nejât; Muhajjatul Baidhâ; Bahari Hamadani, Muhammad,Tadzkiratul Muttaqin; Dastur Amal-hâye Irfâni Ayat-eIlâhi:Marhum Hasan'ali Nuhudki Ishfahani (Nesyân az bi Nesyân-hâ); Sayyid Ahmad Karbalai, Mula Husainquli Hamadani, Sayyid Ahmad Karbalai, Mirza Ali Qadhi Thabathabai, dan ..., Syarh Cihil Hadis wa Syarh Junude Aql wa Jahl, Imam Khomeini Ra; Khajah Nashiruddin Thusi, Aushâf al-Asyrâf dan penjelasannya; Jawadi Amuli, Abdullah, Marâhil-e Akhlâk; Muhajjatul Baidhâ, Feidh Kosyoni, Mula Muhsin, jil. 5, hal.128, dan sebagainya.

[49] . Husaini Tehrani, Muhammad Husain, Risâleh-ye Labul Bab; Mahjatul Baidhâ, jil.5,hal. 128 dan setelahnya, Nesyân az bi Nesyân-hâ, hal. 30, 303, dan 313.

8
Tanya Jawab Masalah Akhlak

7. Hakikat dosa itu? Apa pengaruhnya terhadap ruh dan jiwa manusia?


Saya ingin bertanya bahwa bagaimana gambaran kita tentang dosa? Bukankah dosa itu tidak lain adalah suatu amalan yang menyebabkan kerusakan atau kerugian dan hilangnya suatu hak dari dirinya atau dari orang lain? Bagaimana gambaran Anda tentang dosa dan solusi apa yang mungkin bisa menyelamatkan diri ini darinya?


Jawaban atas pertanyaan di atas terdiri dari 4 bagian:
1. Hakikat dosa: Dosa dalam bahasa Arab disebut dengan itsm dan ‘ishyaan. Dosa dengan pengertian ini memiliki makna berpaling dari perintah tuan, melakukan kesalahan dan kelalaian. Seorang pendosa itu tidak mengikuti akalnya tapi justru mengekor kepada syahwat dan amarahnya dan ketika itu mungkin saja ia terjerambab ke dalam suatu perbuatan dosa dan ketika itu juga ia telah berkhianat kepada dirinya sendiri.

Dosa merupakan perangkap setan dimana bagian dalamnya adalah api dan bagian luarnya itu disertai dengan rasa nikmat dan keinginan syahwat yang sifatnya spontanitas membuat orang lalai terlena dan tenggelam bahwa balasan siksa Ilahi tengah menantinya.

2. Efek dan pengaruh dosa: Dosa memiliki efek-efek negatif, baik yang sifatnya pribadi maupun sosial. Efek dan pengaruh negatif dosa yang sifatnya personal di antaranya adalah: Kebebalan dan kekerasan hati dan hilangnya peluang untuk menerima dan memperoleh ajaran dan rahasia-rahasia Tuhan, menjadikan hati sebagai sarang dan pusat bertengger para setan, menjadi hijab dan penghalang dari mengenal diri dan Allah Swt, menghilangkan rasa nikmat ketika bermunajat atau berdoa, tidak dikabulnya ibadah-ibadah, membuat manusia mengingkari akan adanya hari kiamat dan balasan atau imbalan berupa kenikmatan di akhirat.

Efek dan pengaruh negatif dosa yang sifat sosial di antaranya adalah: Menyebabkan kemunduran dan keterbelakangan masyarakat, meskipun secara lahiriah nampak mengalami kemajuan, namun dibelenggu oleh berbagai macam persoalan-persoalan seperti kerusakan akhlak dan etika, mengantarkan nilai-nilai kemanusiaan itu menuju sebuah kehancuran dan kepunahan.

3. Sumber dosa: Para tokoh-tokoh agama (ulama) menganggap bahwa kejahilan dan kelalaian merupakan dua sumber fundamental yang menyebabkan terjerumusnya seseorang ke dalam perbuatan dosa dan senjata ampuh dan cara paling pertama untuk menembus manusia adalah dengan membuat mereka (manusia) lalai. Kejahilan juga merupakan sumber kefasadan dan kerusakan, jahil terhadap nilai-nilai keberadaan manusia, jahil terhadap pengaruh positif kesucian dan kemuliaan, jahil terhadapat akibat dan dampak dosa dan lain sebagainya.

4. Solusi: Ada beberapa solusi yang dapat disodorkan di sini, di antaranya adalah:

a. Taubat dan istigfar: Taubat bermakna kembali keharibaan Allah Swt disertai dengan niat dan tekad untuk meninggalkan perbuatan dosa. Taubat ini sendiri beberapa tingkatan.

b. Mengingat-ingat dosa yang dilakukan.

c. Mengingat Allah Swt.


Keinginan dan kehendak manusia.
Dosa dalam bahasa Arab disebut dengan itsm dan ‘ishyaan. Dosa dengan pengeritan ini bermakna berpaling atau membelok, salah dan lalai, menentang atau membangkang perintah atau pun larangan sang Maula (Allah Swt); yakni melakukan suatu perbuatan yang dalam kacamata Sang Maula dan dan Sang Pencipta tidaklah baik dan layak.

Karena ia memiliki unsur merusak dan mafsadah maka ia dilarang. Atau tidak melakukan dan meninggalkan suatu pekerjaan yang sifatnya wajib (ditinggalkan) karena di balik pelarangan itu terkandung kemaslahatan. Dengan demikian, dosa itu bertentangan dan kontra dengan konsep ‘ubudiyah (ketaatan dan kebaktian).

Seorang manusia pendosa memposisikan syahwat dan amarah itu, yang menjadi bagian dari diri manusia itu dan seharusnya mentaati akalnya, sebagai pemimpin dari semuanya; yakni menundukkan akal dan ketika syahwat dan amarah telah menguasai dirinya maka hal itu akan menjadi kesayangan dan kekasihnya dan pada masa itu, setiap ia melakukan suatu pekerjaan maka pekerjaan tersebut harus disenangi oleh syahwat atau disenangi oleh rasa amarah.

Dengan alasan ini, ia pun terjerumus untuk melakukan dosa. Sebagaimana halnya seorang manusia punya kewajiban untuk tidak mengkhianati orang lain, maka ia juga berkewajiban untuk tidak mengkhianati dirinya.

Sekiranya ada seseorang yang memposisikan syahwat dan amarah (gadhab) tersebut di tempat akal praktis, dan menempatkan khayalan dan wahm (delusi) itu pada posisi akal teoritis, maka sesungguhnya ia adalah seorang perampas dan telah berkhianat kepada dirinya sendiri. Ketika seseorang berkhianat pada makrifat dan pengetahuannya maka otomatis dalam beramal pun ia pasti melakukan perbuatan khianat dan tidak akan mengindahkan hak-hak asasinya sendiri.[1]


Dosa merupakan perangkap setan
Dalam banyak riwayat dari Ahlulbait As disebutkan bahwa ketergantungan pada materi itu merupakan perangkap dan media untuk berburu dan dosa-dosa itu menjadi tali-tali dan tempat berburu setan; yakni dosa-dosa itu merupakan perangkap-perangkap yang dengannya setan memburu manusia-manusia dan tali-tali yang ada padanya itu digunakan setan untuk mengikat setiap manusia dan tentunya tali-tali tersebut itu bermacam-macam bentuknya, ada yang tebal dan ada juga yang kurang tebal (kecil) dan setan memperdaya setiap orang itu sesuai dengan kondisi orang yang akan dirayu dan diperdayakannya itu, sebagian orang diperdaya dengan kekayaan, sebagiannya lagi dengan kedudukan dan pangkat serta sebagiannya lagi dengan nafsu birahi dan semisalnya.

Api jahannam itu diaduk dengan kelezatan dan kenikmatan dan keduanya menyatu atau tercampur. Dalam artian bahwa bagian dalam perangkap tersebut adalah api dan bagian luarnya adalah berupa gelas syahwat dan manusia dengan ketamakan dan kerakusannya pada gelas syahwat, terjerumus ke dalam perangkap api yang berkobar.[2]


Efek dan pengaruh dosa
Efek ataupun dampak negatif dosa itu dibagi menjadi dua bagian, yaitu dampak negatif pada pribadi dan pada sosial masyarakat.


Dampak dan efek negatif dosa yang sifatnya pribadi
1. Sejatinya dosa itu merupakan kotoran dan bercak yang menodai ruh dan jiwa. Akibat dosa, manusia tidak lagi merasakan nikmatnya tidur yang diselingi dengan mimpi-mimpi indah berupa makrifat dan pengetahuan dan juga tidak memiliki kondisi baik ketika terjaga sehingga ia bisa menemukan dan menyerap ilmu-ilmu hakikat dan mengajarkannya secara benar kepada orang lain.

Oleh karena itu, kalau ruh dan jiwa telah dijejali noda dan menjadi gelap maka betapa banyak rahasia-rahasia yang tidak bisa diraih dan dicapainya. Allah Swt menjadikan ruh dan jiwa sebagai sumber ilham dan bersumpah dengan menyebutnya. Seorang yang dikatakan pesuluk adalah sedikit berbicara dan menjaga makanannya, dengan inilah ia dapat mendengar suara ilham-ilham Ilahi, karena kalau seseorang hendak mendengar suara dari dalam dirinya maka ia harus diam dan tidak berbicara.[3]

2. Ketika seseorang berada di bawah wilayah atau pengawasan setan dan menerima bisikan-bisikannya lalu beramal sesuai dengan bisikan-bisikan tersebut, maka secara bertahap hatinya akan menjadi pusat berdiam dan hunian setan, sedemikian sehingga setan menjadi pelayannya. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam beberapa ayat Al-Qur’an.[4]

Hati manusia pendusta dan pembohong menjadi sarang kediaman para setan. Namun seseorang yang dalam masalah-masalah ilmiah sangat amanah dan menepati janji dan juga dalam masalah-masalah harta dan ilmiah, amanah dan terpercaya, maka hatinya terjaga dan terpelilhara dari sasaran tembak setan.[5]

3. Dosa, merupakan hijab dan penghalang untuk mengenal diri dan jiwa. Akibat dosa, manusia dapat melupakan Allah Swt dan kelalaian ini adalah hijab yang dapat menjadi penghalang dari mengenal diri dan jiwa dan tidak membiarkan orang tersebut mengenal dirinya.[6]

Kalau ada seseorang yang menjerumuskan dirinya dalam kerusakan dan maksiat, maka ia telah menjatuhkan wujud dirinya itu untuk selamanya. Ia mengikat dirinya sendiri dan tidak ada satu pun yang bisa melepaskan ikatan tersebut, meski harus dibakar dengan api neraka, karena meskipun api itu punya kekuatan untuk melelehkan besi, namun kalau besi itu adalah api itu sendiri, yaitu api yang berbentuk besi, maka tak ada satupun yang bisa melelehkannya (api melelehkan api yang berbentuk besi adalah sesuatu yang mustahil).[7]

4. Dampak dan efek lain dosa adalah bahwa seorang pendosa itu akan kehilangan kenikmatan dan lezatnya bermunajat dan berdoa. Ia senantiasa mengungkapkan bahwa seandainya ia bisa merasakan dan mencicipi kelezatan dan nikmatnya ibadah, namun karena dosa dan kekerasan hati, rasa itu pun hilang atau lari dari dirinya.

Syaikh Shaduq dalam kitabnya al-Tauhid, menukil dari Imam Ridha As bahwa; “Ada seseorang bertanya: Mengapa Allah Swt itu tidak bisa disaksikan (mahjûb)? Beliau bersabda: Allah Swt itu bisa disaksikan (tidak mahjûb), bahwa kamu tidak dapat menyaksikannya, itu akibat bertumpuknya dosa-dosa yang dilakukan manusia dan dosa-dosa itu menjadi sebuah tirai yang menghalangi penyaksian fitrawi dan tidak membiarkan manusia menyaksikan Allah Swt dengan penyaksian fitrawi”.[8]

Dalam riwayat-riwayat lain juga yang menjadi perhatian besar bahwa dosa itu merupakan sebuah tirai penghalang. Misalnya sabda Rasulullah Saw yang mengatakan bahwa:”Ketika seorang manusia melakukan dosa maka akan nampak dalam hatinya itu sebuah titik hitam dan kalau ia menghindarinya serta bertaubat, maka hatinya akan mengkilap. Namun kalau ia mengulang dosa tersebut maka titik hitam itu akan bertambah banyak hingga memenuhi hatinya”.[9]

Dan juga Rasulullah Saw bersabda:”Dosa yang telah menumpuk dapat merusak dan menghancurkan hati manusia”. Atau dinukil dari Imam Shadiq As, beliau bersabda:”Tiada yang lebih jelek yang dapat merusak hati melebihi dosa. Hati akan berada di bawah kendalinya dan secara bertahap dosa berpengaruh dalam dirinya hingga ia menguasai diri manusia.”

Demikian juga Imam Shadiq As bersabda: ”Saya wasiatkan (kepadamu) untuk bertakwa dan wara’ dari segala yang diharamkan. Berusaha dan seriuslah dalam beribadah, ketahuilah bahwa beribadah tanpa menjauhi hal-hal yang diharamkan sama saja dengan perbuatan sia-sia dan tidak punya manfaat”.

Dalam hadis Nabi Saw yang ditujukan kepada Abu Dzar disebutkan bahwa: ”Wahai Abu Dzar, dasar agama adalah meninggalkan dosa dan rahasia agama adalah taat kepada Allah Swt. Ketahuilah bahwa kalau pada dampak shalat, karena badan pun menunduk (ruku’) dan karena puasa badan pun menjadi kurus, semua tak ada guna dan manfaatnya kecuali dengan wara’ dan meninggalkan dosa-dosa. Wahai Abu Dzar, mereka yang meninggalkan hal yang diharamkan di dunia ini dan memilih jalan kezuhudan, berhak menjadi wali-wali dan sahabat-sahabat Allah Swt”.[10]

5. Mengingkari hari kiamat: Dosa dapat menjadi penghalang untuk mengenal hari kiamat; yakni mungkin saja seseorang itu tahu tentang hari kiamat, namun ilmunya tertanam di bawah bayangan hawa nafsu. Tentu bahwa ilmu semacam ini tidaklah memberikan manfaat.[11] Dalam surat al-Muthaffifiin ayat 11-14, Al-Qur’an menyinggung orang-orang yang secara keseluruhan mengingkari hari kiamat, lalu mengatakan: Dalil-dalil akan adanya kiamat sangatlah jelas dan orang-orang yang mengingkarinya itu hanyalah para pendosa dan orang yang melampaui batas, mereka tidak akan pernah tunduk terhadap ayat-ayat Ilahi, oleh karena itu ketika ayat-ayat Ilahi dibacakan kepada, mereka menolaknya dan berkata: "Itu semua adalah mitos dan cerita khayalan para pendahulu.” Al-Qur’an dengan jelas menyatakan bahwa: "Tidak demikian seperti apa yang disangka mereka, ucapan-ucapan ini (terlontar dari mulut mereka) adalah akibat dari perbuatan-perbuatan buruk dan dosa-dosa mereka yang mana tirai hijab telah menongkrongi hati dan jiwanya." Dari ayat-ayat ini dapat ditarik konklusi bahwa dosa itu dapat menghilangkan kelembutan hati, sedemikian sehingga hakikat-hakikat yang ada pada cermin Ilahi ini (baca: hati) tidak lagi memantulkan cahaya. Dan kalau tidak, ayat-ayat hak ini khusus berkenaan dengan masalah mabda dan ma’ad yang sudah cukup jelas dan terang (bagi mereka).[12]


Efek dan dampak negatif dosa yang sifatnya sosial kemasyarakatan
Dosa menyebabkan kejumudan dan keterbelakangan masyarakat. Tingkat kriminalitas dan kejahatan semakin bertambah dan juga dengan melihat reaksi yang dimilikinya, dosa dapat mengacaukan seluruh aktifitas orang-orang aktif di masyarakat dan menjadi tembok penghalang kemajuan. Bahkan di kalangan masyarakat Barat, orang-orang pendosa dan kriminalis umumnya berasal dari kalangan menengah ke bawah masyarakat dan mereka kehilangan posisi sebagai makhluk sosial.


Sumber dosa adalah kelalaian dan kejahilan (kebodohan)
Senjata terampuh dan cara paling pertama untuk menembus manusia adalah dengan membuat mereka (manusia) lalai. Kalau setan mampu membuat seseorang itu lalai, maka ia tidak akan lagi merasa kesulitan dalam mewujudkan kejahilan yang sifatnya berlipat ganda. Kalau dengan bisikan setan, gambaran kebajikan hilang dari benak manusia maka setan pun merasa lebih santai dan nyaman. Kejahilan merupakan sumber kejahatan dan kerusakan.

Ayat-ayat yang berkenaan dengan kisah Nabi Yusuf As menunjukkan bahwa rasa cinta yang dibarengi dengan dosa dan penyelewengan instink itu semua bersumber dari kebodohan dan kejahilan, jahil terhadap nilai-nilai eksistensial manusia, jahil terhadap efek dan dampak positif dari kesucian dan kebersihan diri dan jiwa, jahil terhadap akibat naas dari dosa dan terakhir jahil terhadap seluruh perintah dan larangan Allah Swt.[13]


Solusi dan jalan selamat:

Ada beberapa solusi dan jalan selamat yang bisa disebutkan di sini:
1. Taubat dari dosa[14] dan beristigfar[15]: Taubat dalam bahasa Arab diartikan sebagai rujuu’ (kembali), ketika hamba kembali kepada tuannya, maka itu dikatakan ia telah bertaubat. Allah Swt dalam Al-Qur’an menyeru kepada seluruh kaum mukminin untuk bertaubat.

2. Mengingat (akibat buruk) dosa.[16]

3. Mengingat Allah Swt.[17]

4. Adanya keinginan dan tekad manusia (untuk tidak melakukan dosa).[18][]


Catatan Kaki:
[1] .Abdullah Jawadi Amuli, Marâhil-e Akhlâq dar Qur’ân, hal 332-334.

[2] .Nahjul Balâghah, khutbah ke 176; Abdullah Jawadi Amuli, Mabâdi Akhlâq dar Qur’ân, hal 318; Mulla Mahdi Naraqi, Jâmi’u al-Sa’âdah, hal 194; Abdullah Jawadi Amuli, Tasnîm, hal. 400.

[3] . Abdullah Jawadi Amuli, Marâhil-e Akhlâq dar Qur’ân, hal 155-159.

[4] . "Apakah Aku beritakan kepadamu, kepada siapa setan-setan itu turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi yang banyak dosa." (Qs. Syu’ara [26]: 221-222).

[5] . Abdullah Jawadi Amuli, Mabâdi Akhlâq dar Qur’ân, hal 112.

[6] . "Setan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah. Mereka itulah golongan setan. Ketahuilah bahwa sesungguhnya golongan setan itulah golongan yang merugi." (Qs. Al-Mujadalah [58]:19)

[7] . Abdullah Jawadi Amuli, Mabâdi Akhlâq dar Qur’ân, hal 235-236.

[8] .Syekh Shaduq, al-Tauhid, hal 252; Abdullah Jawadi Amuli, Fitrat dar Qur’ân, hal 103.

[9] . Tafsir Qurthubi, jil. 10, hal 705; Rûh al-Ma’âni, jil. 30, hal 73.

[10] .Kulaini, Ushûl al-Kâfi, jil. 2, bab dosa-dosa, riwayat 1 dan 13; Makarim Syirazi, Payâm-e Qur’ân, jil. 1, hal 360-367; Durr al-Mantsûr, jil. 6, hal 326; Allamah Majlisi, Hilyat al-Muttaqîn, hal. 98.

[11] . "Pernahkah kamu pernah melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya (bahwa ia tidak layak lagi memperoleh petunjuk), serta Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan di atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat)? Mengapa kamu tidak mau ingat?" (Qs. Al-Jatsiyah [45]:23); Abdullah Jawadi Amuli, Tafsir Tasnîm, jil. 2, hal 203.

[12] .Makarim Syirazi, Payâm Qur’ân, jil. 1, hal 361; Tafsir Fakhrurrazi, jil. 31, hal 94.

[13] .Abdullah Jawadi Amuli, Tafsir Tasnîm, jil. 3, hal 397; Nasir Makarim Syirazi, Payâm Qur’ân, jil. 1, hal 88.

[14] . "Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung." (Qs. Al-Nur [24]:31).

[15] .Nahjul Balaghah, hikmah 409; Mulla Ahmad Naraqi, Mi’raj al-Sa'âdah, hal 669; Syahid Muthahari, Falsafe-ye Akhlâq, hal 164.

[16] .Abdullah Jawadi Amuli, Mabâdi Akhlâq dar Qur’ân, hal 55-56.

[17] .ibid.

[18] . "Hai orang-orang yang beriman, ingatlah Allah sebanyak-banyaknya." (Qs. al Ahzab [33]:41).



9
Tanya Jawab Masalah Akhlak

8. Dalam kondisi bagaimana doa itu pasti dikabulkan dan diijabah?


Kata doa bermakna membaca dan meminta hajat serta pertolongan. Dan terkadang yang dimaksud adalah ‘membaca’ secara mutlak. Doa menurut istilah adalah: “memohon hajat atau keperluan kepada Allah Swt”. Kata doa dan kata-kata jadiannya (musytaq) dalam Al-Qur’an digunakan sebanyak 13 makna.

Doa merupakan sebuah bentuk ibadah, karena itu ia juga memiliki syarat-syarat positif dan negatif seperti ibadah-ibadah lainnya dimana. Dengan memperhatikan syarat-syaratnya, dapat mendekatkan diri serta terijabahnya doa. “Terijabahnya doa” tidaklah berarti bahwa doa tersebut diijabah dan berefek di luar secepat mungkin.

Karena itu, terkadang setelah 40 tahun kemudian barulah nampak terijabahnya doa tersebut. Dan pada hari kiamat nanti, Allah Swt akan memberikan imbalan doa tersebut dengan beberapa kali lipat yang jika orang tersebut melihatnya (imbalan) pasti akan tergiur dan mengharapnya sambil berbisik:”seandainya tak ada satupun doa dan hajat saya yang terkabul di dunia”.

Para ilmuan dan ulama Islam –dengan berdasar pada ayat-ayat Al-Qur’an dan riwayat-riwayat dari para Imam Maksum As– menyebutkan beberapa adab dan syarat-syarat berdoa yang jika hal tersebut betul-betul direalisasikan, maka doanya pasti akan dikabulkan.

Di antara syarat-syarat tersebut adalah sebagaimana yang disebutkan Al-marhum Faidh Kasyani; 10 syarat dan 10 syarat lainnya dinukil dari kitab ‘iddatu ad daa’i. Pemilik buku “du’ahaa wa tahliilaat qur’an” (doa-doa dan tahlil-tahlil Al-Qur’an) itu menyebutkan 17 syarat.

Dengan memperhatikan pelbagai redaksi yang umumnya digunakan dalam riwayat, maka dapat disebutkan beberapa syarat yang secara pasti punya peran dalam terijabahnya doa, di antaranya adalah: Berdoa jangan sampai bertentangan dengan sistem terbaik (nizham ahsan) alam dan ketentuan (qadha) pasti Allah Swt. Dan jika bertentangan, maka pasti tidak akan terijabah. Doa harus dimulai dan ditutup dengan bacaan shalawat atas Nabi Saw dan Ahlulbait As. Orang yang berdoa harus memiliki makrifat dan pengetahuan hati yang sempurna tentang Allah Swt; jadi, harapannya hanya kepada Allah Swt semata dan jangan bersandar kepada siapapun selain-Nya. Harus ikhlas dan merasa perlu sekali (darurat). Lisan dan hatinya harus sejalan. Melaksanakan hal-hal yang wajib dan meninggalkan yang haram dan memohon ampun dari segala dosanya. Memiliki tekad yang kuat untuk berdoa dan dengan yakin berharap kepada Allah Swt serta tidak putus asa. Mengucapkan: “wahai Tuhan-ku, sebagaimana engkau mengetahui apa yang maslahat dan baik untuk saya maka ijabahlah” dan yakinlah bahwa pasti Allah Swt akan mengabulkannya, kendatipun hasilnya itu akan nampak kemudian.

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, kami akan jelaskan secara sederhana tentang makna dan pentingnya doa menurut Al-Qur’an. Masalah perlunya doa tidak hanya agama Islam yang menganggapnya sebagai sesuatu yang sangat serius. Tetapi juga pada agama nabi-nabi dan rasul-rasul sebelumnya,. Berdoa merupakan sebuah perkara yang pasti dan para pemimpin Ilahi telah menyampaikan dan mengajarkan hal ini kepada umatnya.

Selain itu mereka sendiri telah berdoa dalam banyak hal, di antaranya adalah doa Nabi Ibrahim As serta proses terijabahnya. Hal ini disebutkan dalam surat Ibrahim ayat 37,[1] dan juga doa Nabi Musa As[2] dan nabi-nabi lainnya. Di dalam beberapa ayat, Allah Swt menyeru hamba-hamba-Nya untuk berdoa, di antaranya adalah surat al- Baqarah ayat 186 dan surat al Ghafir ayat 60.


Makna leksikal dan teknikal doa.
Doa (dalam bahasa Arab) berarti membaca, meminta hajat dan memohon pertolongan. Terkadang juga diartikan secara mutlak; yakni membaca.[3] Doa menurut istilah adalah memohon hajat kepada Allah Swt. Dalam Al-Qur’an, kata doa dan kata-kata jadiannya (musytaq) itu digunakan sebanyak 13 makna yang berbeda-beda, di antaranya adalah membaca, berdoa, meminta kepada Allah Swt, menyeru, memanggil, mengajak kepada sesuatu atau kepada seseorang, memohon pertolongan dan bantuan; beribadah dan lain sebagainya.[4]

Dari sebagian ayat dan riwayat Islam dapat disinyalir bahwa doa merupakan ibadah dan penyembahan atas Allah Swt. Selain itu, pada sebagian redaksi riwayat dikatakan bahwa “ad du’aa mukhkhul ‘ibadah” (doa itu adalah otaknya ibadah), Dari sini doa juga sama seperti ibadah-ibadah lain yang memiliki syarat-syarat positif dan negatif.

Dengan kata lain, supaya doa dapat dilakukan dengan benar dan sempurna serta bisa dikabulkan dan bisa mendekatkan diri (kepada Allah Swt), maka orang yang berdoa harus memenuhi beberapa syarat dan adab. Dan juga harus meninggalkan hal-hal yang dapat menghalangi terijabahnya doa. Dengan ini jelas bahwa sebab tidak diijabahnya sebagian doa karena Allah Swt adalah Maha Bijak lagi Maha Tahu dan seluruh perbuatan-perbuatan-Nya itu berdasar pada hikmah dan maslahat, dan terkabulnya doa itu tergantung pada kemaslahatan.

Demikian pula janji dikabulkannya doa itu bergantung kepada maslahat. Apabila ada seseorang yang terhormat lagi mulia mengumumkan; barangsiapa yang menginginkan sesuatu dariku maka aku akan memenuhi permintaannya. Lalu seseorang datang dan meminta sesuatu –dengan berkhayal bisa bermanfaat untuknya– yang pada hakikatnya berbahaya dan bahkan bisa merusak dirinya.

Pada kondisi seperti ini, hal yang patut dilakukan oleh orang terpandang lagi mulia tersebut adalah ‘tidak memberi’ dan ‘tidak memenuhi’ permintaan orang tersebut. Jika ia tetap memberi dan memenuhi permintaannya, maka sikap ini bisa digolongkan sebagai perbuatan aniaya dan zalim. Mayoritas permintaan serta permohonan hamba-hamba-Nya itu mengandung hal-hal yang membahayakan diri mereka sendiri, dan mereka tidak menyadari hal ini.[5]

Dalam sebuah hadis Qudsi disebutkan: Sebagian hamba-hamba-Ku tidak bisa berubah menjadi baik dan tidak bisa menjaga imannya kecuali jika mereka itu kaya dan memiliki harta benda. Dan jika terjadi sebaliknya maka (iman) mereka akan hancur lebur dan sebagian hamba lainnya, kefakiran dan kemiskinan itu lebih baik dan lebih bagi mereka.

Jika ditakdirkan kondisi lain kepada mereka, maka mereka akan menjadi binasa dan hancur.[6] Mungkin saja terlintas sebuah syubhat dalam benak kita bahwa: Allah Swt lebih tahu hal yang maslahat bagi diri kita dan apa yang Ia kehendaki, itulah yang ditakdirkan untuk kita dan pasti akan terjadi dan tidak perlu lagi kita berdoa dan memohon kepada Allah Swt?

Untuk menjawab pertanyaan ini cukup dikatakan bahwa: Terealisasinya sebagian takdir Ilahi itu dengan doa hamba berantung pada doanya; artinya bahwa apabila seorang hamba berdoa dan meminta, maslahat Ilahi itu punya hubungan erat dengan pemberian atau pemenuhan tersebut dan kalau ia tidak berdoa maka tak akan ditemukan satu pun maslahat dan tidak akan ditakdirkan baginya.[7]

Berasaskan hal ini, Allah Swt akan menolak doa-doanya yang bertentangan serta bertolak belakang dengan sistem terbaik alam semesta dan qadha (ketentuan) pasti Ilahi. Misalnya seseorang memohon kepada Allah Swt supaya ia bisa hidup selamanya dan tidak pernah mati, karena doa seperti ini bertentangan dengan ketetapan Ilahi yang telah dijelaskan dalam surat Ali ‘Imran ayat 185 (kullu nafsin dzaiqatul maut; setiap yang hidup pasti akan merasakan kematian) atau ia meminta kepada Allah Swt supaya ia tidak lagi membutuhkan orang lain, maka doa seperti ini tidak akan pernah diijabah.

Dalam beberapa riwayat dikatakan bahwa Imam Ali As mendengar seseorang mendoakan temannya dengan mengatakan: “Semoga Allah Swt tidak menimpakan kepadamu hal-hal yang tidak disukai dan tidak disenangi”, Imam Ali As bersabda: Anda ini telah memohon kepada Allah Swt akan kematian dan kebinasaan sahabat sendiri.[8]

Yakni pada hakikatnya selama manusia itu hidup maka ia, sesuai dengan sistem tabiat dan alam cipta, akan selalu berhadapan dengan hal-hal yang tidak disukai dan bala serta malapetaka, kecuali ia tidak berada di dunia ini.

Terkait dengan masalah “tidak diijabahnya doa” , Allamah Majlisi –dalam menafsirkan sebuah riwayat– menyebutkan beberapa poin sebagai sebuah jawaban, yaitu:

Pertama: Janji Ilahi untuk mengabulkan doa itu tergantung pada kehendak Allah Swt, apabila Dia menghendaki, maka pasti akan diijabah sebagaimana firman-Nya dalam surat al An’am ayat 41 yang artinya adalah: ”maka Dia menghilangkan bahaya yang karenanya kamu berdoa kepada-Nya jika Dia menghendaki...”

Kedua: Maksud “ijabah” dalam riwayat itu adalah didengarkan dan diperhatikannya doa tersebut, karena Allah Swt mengabulkan doa orang mukmin itu sekarang juga. Akan tetapi Dia menunda untuk memberikan apa yang diinginkannya itu sehingga ia terus menerus melantunkan doa dan Allah Swt sentiasa mendengarkan bisikan suara kekasih-Nya tersebut.

Ketiga: Dalam mengabulkan doa, Allah Swt telah menyaratkan adanya maslahat dan kebaikan untuk hamba yang berdoa tersebut, karena Allah Swt adalah Maha Bijak dan Ia tidak akan pernah meninggalkan sesuatu hal yang maslahat dan membahagiakan hamba-hamba-Nya hanya karena sesuatu yang tidak bermanfaat. Jadi jelas bahwa seyogyanyalah kita mengakui bahwa janji-janji seperti ini yang datang dari Yang Maha Bijak memiliki persyaratan berupa unsur “maslahat”.[9]


Dalam kitab Ushul al-Kâfi disebutkan empat makna “ijâbah”, yaitu:
1. Allah Swt segera memberikan apa yang diinginkan orang yang berdoa.

2. Allah Swt mengijabah dan mengabulkan keinginannya, namun karena Allah Swt suka mendengar suara orang yang berdoa itu maka Dia menundanya dulu.

3. Allah Swt mengabulkan dan mengijabah doanya, namun hasilnya itu berupa pembersihan dan penebusan atas dosa-dosa yang dilakukannya.

4. Allah Swt mengabulkan doanya dan menyimpannya untuk di akhirat kelak.[10]


Dari objek kajian diatas dapat dipahami bahwa makna “diijabahnya doa” itu bukan berarti bahwa ia dikabulkan secepat mungkin dan hasilnya nampak secara spontanitas dan yang berdoa pun mendapatkan apa yang dikehendakinya. karena sebagaimana diisyarahkan dalam Al-Qur’an surat Yunus ayat 89 Allah Swt mengijabah doa Nabi Musa As, dan karena demi beberapa kemaslahatan maka hasilnya itu berupa kehancuran dan kebinasaan Fir’aun, baru nampak 40 tahun kemudian.

Dan terkadang bukti diijabahnya doa itu berbentuk seperti ini dimana Allah Swt melipat-gandakan imbalan apa yang diinginkan orang yang berdoa itu pada hari kiamat –kepada orang yang ia sendiri tidak tahu bagaimana baik dan maslahatnya– sebegitu rupa dimana ketika ia menyaksikan imbalan dari keinginannya itu (yang demikian banyak) hingga berbisik sambil berharap bahwa seandainya tak ada satu pun hajat saya yang diijabah di dunia. (ia membenarkan bahwa doanya terkabul dengan sempurna).[11]

Sampai saat ini kita telah menjelaskan tentang makna doa, pentingnya doa dan syarat-syaratnya. Juga kita telah menjelaskan kenapa sebagian doa itu tidak dikabulkan serta apa maksud dari “diijabahnya doa”. Nah, sekarang gilirannya kita menjawab pertanyaan tentang kondisi yang bagaimana doa itu diijabah dan dikabulkan?

Para ulama dan mufassir Islam –berdasarkan pada ayat-ayat Al-Qur’an dan riwayat-riwayat para Imam Ma’shum As– telah menyusun dan menyebutkan syarat-syarat dan adab-adab doa dan orang yang berdoa dimana dengan memenuhinya maka doa tersebut pasti akan dikabulkan. Dalam buku “Du’ahâ wa Tahlilât Qur’ân” disebutkan sebanyak 17 syarat dan adab doa, seperti: Makrifatullah, kesesuaian antara lisan dan hati orang yang berdoa, melaksanakan hal yang diwajibkan dan meninggalkan hal yang diharamkan, beristigfar dan membaca shalawat atas Nabi Saw dan Ahlulbait As, dan lain-lain.[12]

Dan juga almarhum Faidh Kasyani dalam kitab “Mahajjatul Baidhâ” menyebutkan 10 syarat dan ia juga menyebutkan 10 syarat lain yang dinukil dari kitab “Iddatuddaa’ii” (Allamah Hillii Ra), dimana sebagian di antara syarat-syarat tersebut adalah: niat dalam berdoa, berkumpul dalam berdoa, menghadap dengan hati kepada Allah Swt, tidak menyandarkan segala hajat dan keinginan kepada selain Allah Swt, dan lain sebagainya.[13]

Terkait dengan riwayat-riwayat tentang masalah terkabulnya doa secara pasti terdapat ungkapan yang tidak ada salahnya kita sebutkan di sini. Imam Shadiq As bersabda:”Doa-doa tersebut selalu berada di balik tirai; yakni ia tidak akan bisa bebas menembus jalan menuju keharibaan Ilahi selama doa tersebut tidak diiringi dengan bacaan shalawat atas Nabi Saw”.[14]

Ada riwayat lain yang dinukil dari Imam Shadiq As yang artinya adalah: “Ketika seseorang meminta Anda untuk berdoa, maka pertama anda membaca shalawat untuk Nabi Saw karena shalawat atas Nabi Saw itu pasti dikabulkan Allah Swt dan Allah Swt tidak akan melakukan hal dimana sebagian doa itu diijabah dan sebagiannya lagi tidak diijabah.[15] Dan dalam riwayat lain, beliau bersabda:”Selain membaca shalawat pada permulaan doa, maka hendaknya pula membaca shalawat ketika selesai berdoa”.[16]

Imam Hasan As bersabda:”Jika ada seseorang yang senantiasa menjaga hatinya sehingga tak ada satupun bisikan berupa hal-hal yang tidak diridhai Allah Swt terlintas di dalamnya, maka saya menjadi jaminan bahwa doanya pasti diijabah”.[17]

Imam Shadiq As bersabda:”Janganlah tumpukan harapan kalian kepada selain Allah Swt sehingga hati kalian pun tidak bersandar kepada suatu kekuatan selain kepada kekuatan Allah Swt, dan pada saat itu kalian berdoa, maka pasti doanya dikabulkan”.[18]

Juga diriwayatkan bahwa: “Seorang yang teraniaya yang tidak punya tempat berlindung selain Allah Swt, doanya pasti diijabah dan dikabulkan”.[19]

Oleh karena itu, apabila doa telah dilantunkan maka tidak ada lagi kata ditolak dan doanya akan dikabulkan. Karena sang pelaku dan orang yang memenuhi keinginan tersebut, Sempurna dan Maha Sempurna dan rahmat-Nya sempurna lagi Maha sempurna dan jika limpahan rahmat itu tidak punya penampakan dan tidak dilimpahkan, maka dianggap sebagai sebuah kecacadan potensi. Jadi apabila orang yang menerima itu punya potensi untuk menerima limpahan rahmat tersebut, maka akan dilimpahkan kepadanya rahmat Ilahi yang merupakan khazanah yang tidak akan habis, tidak punya kekurangan dan tidak terbatas serta tidak akan pernah berkurang.[20]

Dari sini dapat dikatakan bahwa perkara itu dibagi tiga: pertama: adalah tanpa doa, maslahat dalam pemberian atau pengabulan itu tetap akan ada. Dalam kondisi seperti ini, baik mereka berdoa atau pun tidak berdoa, Allah Swt tetap akan bersikap dermawan. Kedua: adalah bahwa doa juga tidak maslahat. Dalam kondisi ini, mereka berdoa pun tetap tidak dikabulkan. Ketiga: dengan berdoa ada maslahat dalam mengabulkannya dan tidak berdoa, tidaklah maslahat.

Dalam kondisi ini, pengabulan itu bergantung pada berdoa. Mengingat bahwa manusia tidak punya kemampuan untuk memilih dan memilah mana yang baik dan yang tidak baik dalam seluruh perkara, maka ia jangan sampai menyepelekan doa dan kalaupun tidak diijabah janganlah merasa putus asa dan anggaplah bahwa hal itu tidak ada maslahatnya.

Terlepas dari hal ini, seperti yang telah diisyarahkan sebelumnya, doa itu merupakan sebuah ibadah dan bahkan dianggap sebagai ibadah terbaik dimana ia dapat “mendekatkan diri” kepada Yang Maha Hak (Allah Swt) dan “mendekatkan diri” (taqarrub) itu sendiri merupakan manfaat terbaik untuk setiap ibadah.[21]

Ketika seseorang selesai berdoa maka –sesuai riwayat-riwayat serta sunnah para maksum As–dianjurkan mengusapkan kedua tangannya itu ke kepala dan wajah; karena taufik Allah Swt telah memberikan jawaban kepada tangan ini, sebuah tangan yang dijulurkan keharibaan Allah Swt pasti tidak akan kembali dengan tangan kosong dan tangan yang menerima pemberian Allah Swt itu dianggap mulia. Oleh itu alangkah baiknya jika diusapkan ke wajah atau ke kepala.[22] []


Catatan Kaki:
[1] . Muhammad Taqi Falsafi, Syarh-e Du’â-e Makarim Akhlâq, jilid 1, halaman 2.

[2] . Qs. Thaaha ayat 25 – 28.

[3] . Sayid Ali Akbar Qursyi, Qâmuus Qur’ân, kata do’a.

[4] . Bahauddini Khurramshahi, Dânesh Nâme-e Qur’ân wa Qur’an Pazhuhi, jilid 1, halaman 1054.

[5] . Sayid Muhammad Baqir Syahidi dan Rahbatuddin Syahrastani, Du’âhâ wa Tahlilât Qur’ân, halaman 43.

[6] . Mulla Hadi Sabzawari, Syarh Asmâ al-Husnâ (cetakan Maktabah Bashiirati – Qom), halaman 32.

[7] . dinukil dari Muhammad Baqir Syahidi, Du’âhâ wa Tahlilât qur’an, halaman 43.

[8] . Muhammad Taqi Falsafi, Syarh-e Du’â-e Makârim Akhlâq, jilid 1, halaman 7.

[9] . Muhammad Baqir Majlisi, Mir’âtul ‘Uqûl, jilid 12, halaman 19 – 20.

[10] . Kulaini, al-Kâfi, dan al-Raudhâh, halaman 330.

[11] . Muhammad Baqir Majlisi, Mir’âtul ‘Uqûl, jilid 12, halaman 1 – 5.

[12] . Sayid Muhammad Baqir Syahidi dan Rahbatuddin Syahrastani, Du’ahâa wa Tahlilât Qur’ân, halaman 15.

[13]. Faidh Kasyani, Mahajjatul Baidhâ, jilid 1, halaman 301 – 380.

[14] . Kulaini, al-Kâfi, jilid 2, halaman 491.

[15] . Syaikh Thusii, A^mâli, jilid 1, halaman 157.

[16] . Muhammad Taqi Falsafi, Syarh-e Du’â-e Makârim Akhlâq, jilid 1, halaman 9.

[17] . Kulaini, al-Kâfi, jilid 2, halaman 67, hadits 11.

[18] . Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jilid 72, halaman 107, hadits 7.

[19] . Abdullah Jawadi Amuli, Hikmat-e Ibâdat, halaman 220 – 234.

[20] . Imam Khomeini Ra, Syarh-e Du’â-e Sahar, terjemahan Sayid Ahmad Fahri, halaman 38.

[21] . Sayid Muhammad Baqir Syahidi dan Rahbatuddin Syahrastani, Du’ahâ wa Tahliilâat Qur’ân, halaman 45.

[22] . Abdullah Jawadi Amuli, Hikmat-e Ibâdat, halaman 215.



10
Tanya Jawab Masalah Akhlak

9. Apakah ucapan ini "Kalau niatnya tulus maka kita tidak lagi memerlukan sebab-sebab lainnya seperti doa dan ziarah, karena niat tersebut sudah mencukupi" benar adanya?


Ucapan ini merupakan salah satu bisikan setan untuk menjauhkan manusia dari memanjatkan doa, melakukan ziarah dan pelbagai aktifitas keagamaan lainnya. Karena berdoa dan bertawassul kepada para Imam Maksum As melakukan perintah langsung Allah Swt kepada manusia, menjadi sebab bersihnya hati dan mampu meneladani metode dan jalan para imam As. Kemudian merajut hubungan intens dan erat dengan mereka.

Doa dan tawassul secara lahir (skin deep) saja tidak berdaya guna, kecuali disertai dengan penghayatan dan pendalaman. Artinya manusia harus dengan tulus ikhlas memanjatkan doa dan menjadikan media-media Ilahi ini sebagai perantara sehingga di samping, dengan perantara doa dan tawassul ini, mampu menyingkirkan pelbagai kesulitan dan memenuhi pelbagai hajat, hati juga menjadi tersucikan. Dan dengan mengambil berkah dari hubungan dengan para wali Allah Swt, hati dipoles dengan sirah dan shurat mereka.

Dengan demikian harus dikatakan bahwa niat tulus, tawassul, ziarah dan membaca doa seluruhnya merupakan sebab-sebab tak-sempurna dan bagian dari sebab untuk meraih kesempurnaan dan ketinggian manusia. Dan adanya salah satu dari media-media ini tidak menjadikan kita tidak membutuhkan perantara yang lainnya; dengan kata lain, menetapkan sesuatu tidak berarti menafikan yang lainnya. Artinya apabila disebutkan bahwa "Niat tulus tidak diperlukan" atau dinyatakan "Tawassul dan ziarah serta doa diperlukan" tidak bermakna bahwa kesemuanya ini telah memadai dan mencukupi.

Iya! Apabila niat tulus dan ikhlas, namun tidak bertawassul, berdoa dan berziarah, Allah Swt sesuai dengan kemurahan dan kemulian-Nya, menganugerahkan ganjaran kepadanya; namun kaidah ini tidak dapat berlaku bagi orang yang mampu melakukan perbuatan-perbuatan ini namun mengabaikan dan meninggalkannya; sejatinya orang ini telah menipu dirinya sendiri! Persis sebagaimana orang yang membayangkan minum air atau berniat untuk minum air tanpa meminum air maka sekali-kali hal itu tidak akan pernah memenuhi dahaganya.

Perbuatan-perbuatan bebas dan berkehendak manusia bertitik tolak dari "niat"nya. Maksudnya bahwa manusia yang berakal terkait dengan perbuatan yang dimaksudnya dan diinginkannya, tentu ia memiliki pengetahuan tentang perbuatan tersebut kemudian menimbang hasil positif dan negatifnya lalu memutuskan untuk mengerjakan perbuatan itu (apabila perbuatan tersebut menguntungkan baginya) atau meninggalkan perbuatan tersebut (apabila merugikan baginya).

Setelah itu ia menemukan kecendrungan untuk memilih apakah ia melakukan atau meninggalkan perbuatan tersebut. Kemudian setelah itu, ia merealisirkan niatnya. Dengan kata lain, pengetahuan secara umum, pengetahuan terhadap positif dan negatifnya, kecendrungan terhadap mengerjakan atau meninggalkan, tujuannya menyiapkan lahan-lahan (sebab-sebab) pekerjaan, kemampuan fisik, pikiran dan mentalnya, kemudian lahirlah perintah mengerjakan atau meninggalkan. Karena itu tiada perbuatan ikhtiari manusia yang dilakukan tanpa adanya niat, kendati boleh jadi manusia lalai terhadap permasalahan ini.

Tingginya himmah dan menjulangnya niat, dan memurnikan niat tersebut dari noda-noda duniawi merupakan hal-hal yang sangat dianjurkan dan ditekankan dalam masalah-masalah agama. Hal ini dibahas pada pembahasannya tersendiri. Karena itu, niat itu sendiri merupakan bagian dari perbuatan-perbuatan ikhtiari manusia yang dapat dikoreksi dan diarahkan kepada sesuatu yang lebih tinggi dan menjulang.

Pengaruh ketinggian dan perbaikan niat mengkristal pada ucapan, tindakan dan pelbagai reaksinya. Dan sebaliknya tanpa himmah yang tinggi juga menjelma pada ucapan, tindakan dan pelbagai kondisinya. Dengan demikian, niat dan perbaikannya, memiliki peran penting dan asasi dalam memberikan arahan pada ucapan, tindakan dan pelbagai kondisi manusia.

Akan tetapi yang penting di sini: Apakah niat dan perbaikannya telah memadai bagi kita untuk memilih segala perbuatan baik dan tidak perlu lagi merealisir niat tersebut pada tataran aksi? Jawabannya jelas bahwa tiada satu pun orang yang sehat akalnya akan memberikan jawaban positif terhadap pertanyaan ini. Lantaran mustahil manusia hanya berniat saja untuk belajar dan mengajar akan menjadi seorang yang pandai dan mukhlis; atau semata membayangkan makanan dalam benak dan berniat untuk menyantapnya akan dapat melepaskan laparnya dan mengeyangkannya?!

Terkait dengan pertanyaan yang diajukan juga demikian adanya bahwa bagaimana mungkin seseorang mensucikan niatnya, namun tidak menjalin hubungan dengan Tuhan (melalui jalan doa), para wali, pecinta-Nya (melalui ziarah dan tawassul)? Untuk apa ia mensucikan niatnya dan dari mana ia mensucikannya?

Apakah ia mensucikan niatnya melalui tawassul, ziarah para imam dan doa? Memangnya mereka ini adalah orang-orang nista dan kotor yang membuat Anda menghapus mereka dalam niat Anda? Sayang seribu sayang tidak ada yang dapat disimpulkan dari pertanyaan ini secara sepintas dan bisikan-bisikan setan semacam ini.


Perkara ini merupakan perkara batil dengan beberapa alasan:
1. Meninggalkan pekerjaan seperti doa dan ziarah itu sendiri memerlukan niat dan tanpa niat, pekerjaan ini tidak akan ditinggalkan. Karena itu harus ditanya: Apa niat Anda meninggalkan doa dan ziarah? Dengan parameter apa Anda merasa cukup dari kedua pekerjaan ini? Kami sendiri tidak menemukan jawaban yang memuaskan atas dua pertanyaan ini.

2. Allah Swt yang telah kita tinggalkan dalam niat kita! Memerintahkan kita untuk bertawassul, berdoa dan melakan ziarah; sebagaimana Dia berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina.” (Qs. Fusshilat [41]:60) Dan sebagaimana firman-Nya, "berpegang teguh pada (agama) Allah” & “Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan berpegang kepada (agama)-Nya.” (Nisa [4]:146 & 175); “Dan berpeganglah pada tali Allah. “ (Qs. Al-Hajj [22]:78) dan berfirman, "Dan berpegang teguhlah kamu semua kepada tali (agama) Allah" (Qs. Ali IMran [3]:103) dan juga berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, carilah perantara untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah di jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan." (Qs. Al-Maidah [5]:35); “Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari sarana (untuk bertakarub) kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah), mengharapkan rahmat-Nya, dan takut akan azab-Nya.” (Qs. Al-Isra [17]:57) Terdapat banyak hadis yang diriwayatkan dari para Imam Maksum As di antaranya, "Kami adalah Hubl (tali) Ilahi dan kami adalah perantara-Nya.[1] Jelas bahwa jalan-jalan yang terpenting adalah berziarah kepada mereka dan memuliakan hari lahir dan hari wafatnya serta kuburan mereka sehingga melalui jalan ini kita dapat menjalin hubungan dengan mereka dan melalui perantara mereka kita memohon kepada Allah untuk memenuhi segala hajat dan keperluan agama dan duniawi kita.

3. Bertawassul kepada penyembuh (dokter) dalam urusan serius merupakan perkara yang diterima akal sehat pada seluruh masyarakat dan boleh jadi pada urusan keseharian kita senantiasa melakukan pekerjaan ini. Tiadanya tawassul kepada dokter, tatkala diperlukan, tidak lain menunjukkan bahwa orang ini adalah orang angkuh dan ego sentrik.

Tiada seorang mukmin pun yang tidak memerlukan hubungan dengan para wali Allah, karena apabila mereka ingin meraih kesempurnaan, perbaikan dan terbina akhlaknya, maka ia harus mengambil pelajaran dan petunjuk dari mereka sehingga ia dapat sampai kepada tujuannya dan rahasia perintah Tuhan untuk bertawassul kepada mereka adalah terpendam dalam poin ini kalau tidak demikian sekali-kali mereka tidak memerlukan perhatian, pemuliaan, penghormatan dan ziarah kita.

4. Doa dan ziarah adalah pemoles hati, dan barang siapa yang menjauhkan dirinya dari kedua hal ini, maka ia akan terlontar jauh dari kebaikan dan anugerah yang melimpah. Bahkan untuk naik ke tingkat yang lebih tinggi dan menjulang menjadi tidak mungkin baginya dan pada akhirnya berujung pada keabadian di dalam neraka![2]


Dengan memperhatikan beberapa matlab di ata ini maka kita sampai pada beberapa kesimpulan berikut ini:[3]
1. Tawassul, ziarah dan doa merupakan bagian dari perbuatan ikhtiari manusia yang tidak dapat ditunaikan tanpa adanya niat yang mengawalinya.

2. Niat yang baik dan ketinggiannya memiliki pengaruh secara langsung pada perbuatan baik manusia.

3. Melakukan sebuah perbuatan baik tidak membuat kita tidak lagi memerlukan pujian orang lain; artinya untuk menanjaknya manusia ke jenjang yang lebih tinggi "kebaikan pelaku" (kebaikan niat) juga menjadi syarat demikian juga kebaikan perbuatan (harus melakukan perbuatan baik). Dengan kata lain, niat yang baik dan perbuatan yang baik keduanya merupakan bagian dari sebab.

Adanya dan perbaikan perbuatan salah satu dari kita tidak membuat kita tidak lagi memerlukan perbaikan orang lain. Oleh karena itu, untuk menyempurna dan mendaki tangga yang lebih tinggi kita memerlukan keduanya, niat yang baik dan perbuatan yang baik.

4. Boleh jadi seseorang bersandar pada sebagian hadis dan memandang hadis tersebut berseberangan dengan matlab yang disampaikan sebelumnya; di antaranya, sebagai contoh Nabi Saw bersabda: "Wahai Abu Dzar! Berniatlah untuk melakukan kebaikan kendati engkau tidak melakukannya."[4] atau pada kesempatan lain Nabi Saw bersabda: "Niat seorang mukmin lebih baik daripada perbuatannya."[5] atau Imam Ali As bersabda: "Cukuplah niat yang lebih baik daripada amalan."[6] atau pada kesempatan lain Imam Ali As bersabda: "Allah Swt lantaran baiknya niat dan kesucian batin, memasukkan mereka ke dalam surga kepada siapa yang dikehendaki."[7] dan seterusnya.

Hadis-hadis semacam ini berada pada tataran menjelaskan signifikannya niat perbuatan baik. Dan sekali-kali tidak menunjukkan bahwa niat telah memadai tanpa mengerjakan perbuatan tersebut manakala ia mampu mengerjakannya.

Dengan kata lain, bahwa jadikan senantiasa niat dan prasangkamu untuk mengerjakan kebaikan dan menjauhkannya dari melakukan perbuatan buruk. Perkara ini sendiri telah menjadi sebab termotivasinya manusia untuk melakukan pelbagai pekerjaan baik dan menjauhkan pelbagai pikiran buruk dan pengalaman pikiran buruk tersebut.

Dengan demikian, janji-janji yang melimpah atas niat yang baik dan keharusan memperbaiki dan meninggikan niat tersebut, misalnya disebutkan dalam riwayat, "Barang siapa yang beranjak ke pembaringannya dan berniat untuk menunaikan shalat malam, akan tetapi ia tertidur hingga pagi, maka apa yang menjadi niatnya akan dituliskan baginya dan tidurnya adalah sedekah dari sisi Tuhannya untuknya."[8]

Imam Shadiq As bersabda, "Pada hakikatnya Allah Swt menolong hamba-Nya berdasarkan segala niat mereka, karena itu hendaknya ia memperbaiki niatnya, maka pertolongan Tuhan akan sempurna baginya dan barangsiapa yang berkurang niatnya maka pertolongan Tuhan juga akan berkurang baginya."[9]

Hadis pertama menunjukkan terhadap perkara bahwa manusia sejatinya berniat untuk melakukan kebaikan namun ia tidak memiliki kemampuan untuk melakukan hal itu. Atau tidak memiliki kesempatan untuk melakukan perbuatan baik tersebut. Dan hadis kedua menunjukkan dan menegaskan pada niat yang baik atas Tuhan dan apabila berdoa dan melabuhkan harapan kepada Tuhan, ia yakin bahwa Tuhan akan memperhatikan dan mengabulkan doanya dan sekali-kali tidak pernah ragu terhadap jawaban Tuhan dan pertolongan-Nya; di samping itu, ia menaruh keyakinan terhadap Tuhan terkait dengan urusan-urusan trasendental dan penting, bukan urusan sepele dan hampa nilai.

Dengan demikian, apabila hadis-hadis yang menyoroti masalah niat di sandingkan dengan hadis-hadis yang menekankan pada ziarah kuburan para wali Allah, tawassul kepada mereka atau menegaskan pentingnya bedoa maka akan ketahuan bahwa penegasan terhadap satu masalah tidak bermakna bahwa hal yang tidak diperlukan.

Benar! Apabila seseorang benar-benar berniat baik akan tetapi belum berhasil memenuhinya, Tuhan dengan segala Kemurahan dan Kemuliaan-Nya akan memberikan ganjaran kepadanya, berbeda dengan niat buruk yang sepanjang tidak diamalkan, tidak akan diberikan hukuman kendati niat buruk memiliki pengaruh negatif terhadap ruh manusia.[]


Daftar Pustaka:
1. Mizân al-Hikmah, Muhammad Rei Syahri, jil. 13, hal. 6560-6568, Muassasah Farhangg-e Dar al-Hadits, cetakan kedua, 1379 S, Qum.

2. Al-Mahajjat al-Baidhâ, Mulla Muhsin Faidh Kasyani, jil. 8, Muassasah Nasyr Islami, Qum.

3. A^muzesy-e ‘Aqâid, Muhammad Taqi Misbah Yazdi, jil. 3, Sazeman-e Tablighat-e Islami, pelajaran 54-56, hal. 124-129, cetakan 14, 1375 S, Qum.

4. Akhlâq dar Qur'ân, Muhammad Taqi Misbah Yazdi, jil, 1, hal. 95-174, Muassasah Amuzesy wa Pazuhesy Imam Khomeini, cetakan kedelapan, 1376, Qum.


Catatan Kaki:
[1]. Kitab-kitab tafsir terkait dengan ayat yang menjadi obyek pembahasan.

[2]. “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina.” (Qs. Fusshilat [41]:60)

[3]. Muhammad Rei Syahri, Mizân al-Hikmah, terjemahan Hamid Ridha Syaikhi, jil. 13, hadis 20976, hal. 6575.

[4]. Ibid,.

[5]. Ibid, hadis 20978, hal. 6577.

[6]. Ibid, hadis 20998, hal. 6577.

[7]. Ibid, hadis 21015, hal. 6579.

[8]. Ibid, hadis 20977, hal. 6575.

[9]. Ibid, hadis 20985, hal. 6576.



11
Tanya Jawab Masalah Akhlak

10. Apakah dalam mazhab Syiah terdapat kitab all-inklusif (Jâmi’) hadis seperti kitab hadis Sahih Bukhari dan Shahih Muslim dalam mazhab Sunni? Apabila ada tolong sebutkan kitab-kitab tersebut?


Mazhab Syiah berkat hadis-hadis Rasulullah Saw dan Itrahnya, yaitu para Imam Maksum As dalam pelbagai bidang, memiliki hadis-hadis muktabar yang sangat kaya. Hal ini disebabkan karena para Imam Maksum As adalah orang-orang yang terdekat kepada Nabi Saw dari sudut pandang kedudukan dan zaman. Mereka adalah orang-orang maksum dan dari mereka terdapat banyak hadis yang terhimpun dalam kitab-kitab hadis.


Pada kesempatan ini kami akan menyebutkan beberapa kitab hadis penting Syiah:
1. Al-Kâfi karya Tsiqatul Islam Muhammad bin Ya’qub Kulaini Ra, wafat 329 H

2. Al-Tahdzib karya Syaikh Thusi Ra, wafat 460 H

3. Al-Istibshâr, karya Syaikh Thusi Ra, wafat 460 H

4. Man laa Yahdhur al-Faqih karya Syaikh Shaduq Ra, wafat 381 H

5. Wasâil al-Syiah, karya Syaikh Hurr al-Amili, wafat 1104 H

6. Bihâr al-Anwâr, Allamah Muhammad Baqir Majlisi, wafat 1110 H

7. Jâmi’ al-Ahâdits al-Syiah, karya Ayatullah Isma’il Mu’azza Malairi, wafat 1429 H

8. Software Jâmi’ al-Ahâdits (Nur 2/5) yang dibuat oleh Markaz Komputeri Ulum-e Islami (Nur) yang memuat banyak kitab-kitab hadis Syiah.

Tentu saja harus diperhatikan bahwa kitab-kitab ini di samping sangat berharga dan mengandung banyak hadis-hadis sahih, namun seluruh hadis di dalamnya tidak kami pandang sebagai muktabar dan sahih. Karena itu, kami mengkaji dan menelaah satu per satu hadis-hadis ini dan menjelaskan kesahihan dan kecacatan riwayat-riwayat di dalamnya.

Atas alasan ini kami berpandangan bahwa satu-satunya kitab yang paling sahih dan muktabar hanyalah al-Qur’an. Sementara saudara-saudara Sunni meyakini bahwa seluruh riwayat dalam kitab Sahih Bukhari dan Sahih Muslim adalah sahih (dan paling muktabar setelah al-Qur'an).[]



12
Tanya Jawab Masalah Akhlak

11. Dalam ilmu pendidikan dan psikologi bersandar kepada percaya diri. Dan pada Islamologi, disiplin ilmu akhlak dan irfan yang mengemuka adalah masalah tawakkal kepada Allah Swt. Apakah kedua hal ini berseberangan satu dengan yang lain?


Mengetahui kontradiksi atau tidak kontradiksinya antara percaya diri dan tawakkal bergantung sepenuhnya kepada pemahaman kita terhadap dua redaksi ini.


Tentang definisi percaya diri terdapat dua pandangan:
1. Mengenal segala kemampuan, potensi dan bersandar pada kesimpulan-kesimpulan dalam memperoleh segala kehendak, kecendrungan dan identitas asli. Definisi percaya diri semacam ini sama sekali tidak bertentangan dengan budaya tawakkal. Keunggulan redaksi ini, kesesuaiannya dengan dua redaksi kunci dan orisinil agama “pengenalan jiwa” dan “mengenal segala nikmat dan pemanfaatannya.”

2. Percaya diri sedemikian percayanya sehingga ia bersandar sepenuhnya kepada segala yang dimiliki dan yang diketahui. Memandang bahwa segala kehendak dan keinginannya adalah sumber segala kebaikan dan kesuksesan.

Definisi ini tidak hanya sejalan dan selaras dengan pelbagai pengetahuan agama tapi juga merupakan fatamorgana dalam fantasi! Dan percaya diri sedemikian adalah percaya diri yang tercela dan tidak lain kecuali “ego sentris” dan “over self-confident.” Amirul Mukminin As bersabda terkait dengan percaya diri sedemikian, “Barang siapa yang bersandar kepada dirinya maka sesungguhnya ia telah berkhianat kepada dirinya.”


Definisi tawakkal
Tawakkal derivatnya dari klausul “wikâlah” (perwakilan) yang bermakna memiliki wakil dan yang dimaksud dengan tawakkal di sini sejalan dengan makna percaya diri (bagian pertama) adalah seorang manusia di hadapan kesulitan luar biasa, tidak merasa rendah dan lemah, melainkan dengan bersandar kepada kekuasaan nir-batas Allah Swt, ia memandang dirinya jaya dan menang di hadapan kesulitan ini.

Demikian ia berusaha untuk menuntaskan pelbagai persoalan, kepelikan dan ketika tidak memiliki kemampuan ia ber-tawakkal kepada Tuhan. Artinya bersandar kepada-Nya. Dan tidak berdiam diri melainkan sepanjang ia mampu tetap memandang bahwa yang memberi pengaruh secara hakiki adalah Tuhan.

Karena dalam pandangan seorang muwahhid (pemuja satu Tuhan), sumber segala kekuatan dan kekuasaan adalah Tuhan dan memisahkan seluruh pengaruh-pengaruh faktor-faktor natural dari kehendak Tuhan adalah termasuk perbuatan syirik! Karena faktor-faktor natural juga segala yang dimilikinya berasal dari-Nya dan segala sesuatunya berjalan berdasarkan kehendaknya.

Akan tetapi, definisi kedua terkait percaya diri tidak sejalan dengan makna tawakkal. Karena kita memandang segala faktor dan kekuatan sebagai media mandiri di hadapan kehendak Tuhan. Dan hal ini merupakan instanta dan pahaman yang berseberangan dengan tawakkal kepada Tuhan dan bersandar kepadanya.

Rasulullah Saw bersabda: “Aku bertanya kepada Jibrail As, apa makna tawakkal? Ia menjawab, “Mengetahui bahwa makhluk tidak dapat memberikan kerugian juga manfaat. Dan menutup mata dari apa yang dimiliki manusia; tatkala seorang hamba telah berlaku demikian tidak berbuat selain untuk Tuhan dan tidak melabuhkan harapan kepada selain-Nya. Dan kesemua ini adalah hakikat dan batasan tawakkal.”

Untuk memahami kontradiksi antara “percaya diri” dan “tawakkal” bergantung kepada pemahaman dari dua redaksi ini. Atas alasan ini pertama-tama kita akan membahas apa yang dimaksud dari dua kata ini:


A. Definisi percaya diri

Untuk redaksi percaya diri, terdapat dua makna yang berbeda:
1. Percaya diri artinya mengenal kemampuan, potensi dan bersandar kepada kesimpulan-kesimpulan untuk sampai kepada pelbagai keinginan dan kepada identitas yang sebenarnya.

Percaya diri dalam hal ini bukan saja bertentangan dengan disiplin ilmu agama tetapi juga persis sejalan dengan kehendak Allah dan orang-orang yang menyembah Allah. Dan kita untuk memperoleh sifat-sifat seperti ini memiliki tanggung jawab dan apabila tidak dapat memperoleh tipologi ini alangkah banyaknya yang terlepas dari tangan kita.

Sesuatu yang minimal kerugiannya adalah gagalnya seseorang dalam kehidupannya dan tertahan dalam mencapai keridhaan Ilahi. Dengan demikian, pahaman yang tinggi seperti ini kita sebut sebagai “percaya diri yang terpuji.”


Banyak faktor yang membuat makna ini terpuji dan diterima di antaranya:
A. Bahwa saya tahu ihwal diriku? Apa kemampuan yang aku miliki? Di mana titik kekuatan dan kelemahanku? Tipologi-tipologi positif apa yang terdapat pada “diriku”? Apa saja yang menjadi tanggung jawabku? Apa saja yang menjadi kepemilikian dan modal materi dan maknawiku? Dan bagaimana dan dengan agenda apa sehingga saya manfaatkan kekayaanku untuk hidup dan kehidupanku? Dan sebagainya.

Seluruhnya merupakan refleksi dari dua redaksi kunci “makrifat nafs” dan “mengenal dan memanfaatkan nikmat-nikmat yang ada.” Kepercayaan ini tidak lain mengantarkan seseorang untuk melihat selain kepada kuiditas unggul manusia dan dimensi-dimensi transendental manusia dimana hal itu dilakukan melalui kanal “mengenal nikmat.”

Bukankah Tuhan menganugerahkan pelbagai nikmat kepada manusia dan memandangnya bertanggung jawab atasnya dan kelak ia akan ditanya perihal nikmat-nikmat itu?

Oleh karena itu, tanggung jawab yang diemban manusia atas nikmat-nikmat ini tidak lain bersandar kepada kepemilikan ini dan mengandalkan dirinya serta memanfaatkan nikmat-nikmat dan merasa “positif” dan “menjadi positif.”

Berangkat dari sini, definisi “memiliki rasa percaya diri” adalah meyakini bahwa saya salah seorang hamba dari hamba-hamba Tuhan yang memberi segala nikmat dan dengan memanfaatkan segala nikmat ini saya termasuk sebagai orang-orang yang bersyukur.

B. Kita menerima makna pertama “percaya diri” ini karena menetapkan kemandirian dan percaya diri, menafikan ketergantungan dan pesimisme dalam diri. Dengan kata lain, percaya diri menerima secara sadar dan memanfaatkan nilai-nilai, modal dan simbol-simbol.

Sedemikian sehingga dengan percaya diri manusiawi dan islami berhadapan dengan rendah diri, merasa minder dan teralienasi, ibarat tong kosong nyaring bunyinya yang tidak mengenal kemanusiaan kecuali namanya saja.

Dengan mental percaya kepada diri, pikiran akan terorientasi dan dengan reformasi pemikiran seperti ini seluruh kunci emas kesuksesan berada dalam genggaman tangan. Kalau tidak demikian maka tatkala para penjajah ingin melakukan penetrasi pertama-tama mereka meyakinkan pelbagai bangsa dan budaya bahwa kalian tidak memiliki apa pun! Pikiran kalian ketinggalan dan jauh tertinggal dari kereta modernitas! Terlalu cepat kalian berpikir merdeka! Dengan demikian, manusia dari mental percaya diri terjatuh ke lembah inferioritas dan rasa rendah diri.

Dan karena memandang dirinya di bawah zero dan berubah dari “be your self” menjadi alienasi. Dan orang-orang seperti ini akan menjadi pengemis dan peminta-minta yang menjadi cikal-bakal kehancuran sebuah masyarakat, budaya dan agama.

Janganlah engkau menjadi cermin menampilkan keindahan orang

Semenjak hati dan mata tenggelam dalam fantasi orang

Alangkah banyaknya orang yang menderita kekosongan jiwa dan menjadi sampah masyarakat. Orang-orang seperti ini memandang dirinya inferior dan rendah.

Salah seorang psikolog berkata, “Kemuliaan diri memainkan peran penting dalam segala perilaku logis dan patut atau perilaku-perilaku tidak patut, abnormal dan kriminalitas pada diri seseorang. Sebagaimana berdasarkan riset-riset yang dilakukan, kemuliaan diri menjadi penyebab keseimbangan atau kesetimpangan sebagian perilaku manusia.”[1]

Imam Hadi As bersabda, “Barangsiapa yang bersikap inferior, memandang rendah dirinya dan pada batinnya merasa rendah dan hina maka ia tidak akan aman dari keburukannya.”[2]

Oleh karena itu, percaya diri merupakan sesuatu yang terpuji dan menyebabkan munculnya self-confident dan hasil dari self-confident ini adalah semangat dan kemampuan.

Rasulullah Saw bersabda, “Semangat ksatria seseorang dapat menaklukan gunung-gunung.”[3] Ghazali berkata, “Yang dimaksud dengan himmah adalah penguasaan diri dan penuh semangat. Dan semangat orang-orang besar adalah mengenal dan mengasihi dirinya.”[4]

Sekiranya di alam semesta harus ada keunggulan

Jangan-jangan engkau memandang dirimu rendah

Karena engkau memandang dirimu rendah

Maka jangan berharap orang lain memandangmu mulia

Engkau tidak melihat ketinggian lalu engkau telah merasa rendah

Dimana ketiadaan menjadi bahan keberadaan?

C. Tipologi lainnya dari makna percaya diri ini sejalan dan selaras dengan budaya tawakkal.


2. Makna kedua dari percaya diri adalah mengandalkan dirinya sendiri! Sedemikian sehingga ia bersandar kepada kepemilikian dan pengetahuannya dimana kehendak dan keinginannya dipandang sebagai sumber seluruh kebaikan dan kesuksesan. Makna percaya diri ini bukan saja tidak sejalan dengan pengetahuan-pengetahuan agama, namun juga merupakan fatamorgana dalam fantasi! Lebih baik kita menamainya sebagai “percaya diri yang tercela” dan “ego sentris! ysang menjadi sumber segala kekalahan dan merupakan tikaman dari belakang sebagaimana sabda Imam Ali As tentang percaya diri sedemikian, “Man watsaqah binafsihi khanatahu.” (Barangsiapa yang mengandalkan dirinya sesungguhnya ia akan mengkhianatinya.)[5]


Mengapa makna percaya diri ini tercela? Faktor-faktor berikut ini berpengaruh pada tercelanya makna percaya diri ini:
A. Anggapan di atas menjadi penyebab munculnya pribadi palsu dan menghilangkan keseimbangan (ta’âdul). Tatkala ia beranggapan demikian bahwa “Cukup aku berkehendak”, “Yang benar adalah apa yang aku pandang benar.” “Pendapatku yang harus dijalankan.” “Tiada yang dapat menghalangi jalanku.”

Dan sebagainya. Pemikiran dan pandangan semacam ini menjadi sebab seseorang “memandang dirinya segala-galanya.” Dan dengan mengakselerasi “berlebihan dalam percaya diri” (over self-confident), membuka jalan untuk egosentris; amat jelas bahwa dengan berlaku seperti ini gelombang dan gemuruh anging beliung dalam ruh dan pikirannya akan menyeretnya kepada “ketimpangan” serta mengoyak tatanan “kepribadiannya yang sejati.”

Bagaimanapun, demarkasi-demarkasi harus diketahui dan untuk faktor-faktor lainnya dan realitas-realitas juga wilayah eksklusif serta keadaan juga dipandang penting. Dengan kepercayaan yang berlebihan kepada dirinya, maka tidak tertinggal lagi peluang untuk mengevaluasi diri secara realistis terhadap pelbagai kemampuannya. Amirul Mukminin Ali As bersabda, “Apabila kalian menghendaki rahmat Tuhan maka kalian harus mengenali dimensi-dimensi kemampuanmu dan batasan ketidakmampuanmu. Kalau tidak, kalian melanggar tapal batas wilayah kalian dan harapan untuk maju serta rahmat Tuhan itu telah kalian injak-injak.”[6]

Oleh karena itu, Islam melarang manusia sedemikian tersedot perhatiannya kepada dirinya dan mengingatkan bahwa apabila ia tidak melupakan kondisi kejiwaan semacam ini maka ia akan terjangkiti penyakit kejiwaan seperti sifat angkuh (ujub) dan cinta diri.”

“Di samping mudharat yang ditimbulkan oleh ujub (yang mengeluarkan dirinya dari perasaan bersalah dan merasa berbahagia dengan perbuatanyna), banyak dosa-dosa besar yang menyertai pohon buruk ini. Tirai ujub dan hijab tipis memuji diri menjadi penghalang untuk melihat keburukan pada dirinya. Penyakit ini merupakan musibah yang mencegah manusia untuk sampai kepada kesempurnaan. Keburukan lainnya yang ditimbulkan oleh ujub, percaya kepada diri dan perbuatan-perbuatannya menjadi sebab manusia dungu merasa tidak membutuhkan Tuhan dan tidak memperhatikan keutamaan Allah Swt.” [7]

B. Meyakini terhadap perbuatan diri sendiri, mengingkari secara praktis tauhid perbuatan Tuhan:

Dalam ilmu Kalam (Teologi) telah ditetapkan bahwa setiap maujud, setiap gerakan dan setiap perbautan di alam semesta ini kembali kepada Allah Swt. Dia adalah Penyebab dan Pemula seluruh sebab-sebab (Musabbab al-Asbab dan ‘Illat al-Ilal). Bahkan perbuatan-perbuatan yang kita lakukan, dalam satu makna, bersumber dari-Nya. Dia memberikan kekuasaan, pilihan dan kebebasan kepada kita. Namun perbuatan Tuhan di sini tidak bermakna menepikan perbuatan manusia.

Karena Dia menganugerahkan kekuasaan kepada kita, pada saat yang sama, kita adalah pelaku seluruh perbuatan kita. Kita bertanggung jawab atas apa yang kita lakukan namun kepelakuan Tuhan tidak tertepikan. Karena segala sesuatu yang kita miliki berasal dari-Nya dan kembali kepada-Nya. Laa Muattsir fi al-wujud illa Allah.[8] (Tiada yang memberi pengaruh pada realitas kecuali Allah). Ketika ia memandang dirinya sebagai poros, dan menetapkan kepelakuannya tanpa tedeng aling-aling, maka sesungguhnya ia berhadap-hadapan dengan kehendak mutlak dan pemerintahan tak-terbatas Tuhan!


B. Definisi Tawakkal
Tawakkal derivatnya dari kata dan klausul “wikâlah” yang bermakna memilih seorang wakil. Dan kita ketahui bahwa, pertama, memilih seorang wakil dan pembela pada setiap perbuatan merupakan keharusan dimana manusia tidak mampu melaksanakan perbuatan tersebut secara pribadi. Dalam hal ini, ia memanfaatkan kekuatan dari orang lain dan dengan bantuannya ia memecahkan masalah yang dihadapi. Kedua, seorang wakil yang baik adalah yang memiliki minimal empat sifat, pengetahuan memadai, amanah, berkuasa, dan menaruh perhatian.[9]

Interpretasi pertama ihwal percaya diri (mengenal diri dan percaya diri yang senantiasa mengerahkan seluruh potensi dan kemampuan yang dimiliki) tidak berseberangan dengan tawakkal. Karena (terlepas dari pelbagai pendekatan 100 persen agama seperti, makrifat nafs, mengenal dan memanfaatkan nikmat-nikmat yang diberikan yang terpendam dalam makna ini), pada dasarnya tawakkal yang sebenarnya sama dengan makna percaya diri ini.

Karena yang dimaksud dengan tawakkal adalah bahwa seorang manusia dalam menghadapi pelbagai musibah dan kesulitan, tidak merasa rendah dan lemah, namun bersandar kepada kekuasaan nir-batas Tuhan dan memandang dirinya sebagai pemenang dan berjaya. Dengan demikian, makna tawakkal adalah menciptakan harapan, memberikan energi, penguat, dan menjadi bertambahnya resistensi dan kegigihan dalam menghadapi pelbagai kesulitan hidup.

Berangkat dari sini, bertawakkal kepada Tuhan maknanya tidak lain kecuali bahwa manusia dalam menghadapi pelbagai kesulitan dan peristiwa dalam hidupnya, musuh-musuh dan penentang sengitnya, kepelikan dan kebuntuan, dengan bersandar kepada Tuhan dan tawakkal kepada-Nya, berusaha memecahkan pelbagai persoalan yang dihadapinnya dan tidak sekedar berdiam diri dan berpangku tangan saja.

Oleh karena itu, dimana saja ia memandang bahwa yang memberikan pengaruh secara hakiki adalah Tuhan. Karena dari sudut pandang seorang muwahhid, sumber segala kekuatan, kekuasaan dan energi adalah Allah Swt.

Dan apabila ada seseorang yang beranggapan sedemikian bahwa perhatian kepada alam sebab-akibat dan faktor-faktor natural tidak sejalan dengan semangat tawakkal maka sesungguhnya orang ini keliru besar. Karena memisahkan efek-efek faktor natural dari kehendak Tuhan termasuk jenis syirik! Kalau tidak demikian faktor-faktor natural juga segala yang dimilikinya adalah bersumber darinya. Dan segalanya di bawah titah dan komando-Nya. Namun, apabila kita memandang bahwa faktor-faktor dan segala kemampuan kita merupakan media mandiri di hadapan kehendak Tuhan maka hal ini tidak akan selaras dengan semangat dan budaya tawakkal.”[10]

Inti ucapan ini adalah percaya kepada diri bermakna bersandar kepada segala nikmat dan memanfaatkan segala yang dimiliki serta jauh dari putus asa adalah sejalan dan selaras dengan tawakkal! Bagaimana tidak demikian adanya sementara Nabi Saw sendiri adalah penghulu orang-orang yang bertawakkal dan pada saat yang sama beliau tidak pernah melalaikan kesempatan, strategi, taktik, agenda dan memanfaatkan seluruh media dan wahana lahiriyah untuk mewujudkan tujuannya. Dan mengingatkan orang-orang beriman “Kalian bisa dan kalian lebih unggul.”[11]

Akan tetapi, percaya diri dalam interpretasi kedua bertentangan dengan tawakkal. Titik seberang tawakkal kepada Allah Swt adalah bersandar kepada selain Tuhan. Artinya dalam kehidupannya di dunia ini bergantung kepada makhluk yang lain dan memandang wujudnya bersifat mandiri. Karena tawakkal kepada Tuhan, menyelamatkan manusia dari ketergantungan yang merupakan sumber kehinaaan dan perbudakan. Dan memberikan kebebasan dan kepercayaan diri kepada manusia.

Diriwayatkan dari Rasulullah Saw bahwa beliau bersabda: “Aku bertanya kepada pembawa wahyu, Jibril As, apa tawakkal itu? Ia bersabda: “Mengetahui bahwa mahkluk tidak dapat memberikan manfaat dan mudharat! Dan engkau menutup mata dari harta manusia! Tatkala seorang hamba telah bersemi sifat demikian tiada yang ia lihat selain Tuhan dan tidak berharap kepada selain-Nya! Inilah hakikat dan demarkasi tawakkal.”[12][]


Daftar pustaka:
1. Imam Khomeini Ra, Cehel Hadits, Syarah Ahadits 3 (‘ujub), 4 (kibr), 10 (hawa nafsu), 13 (tawakkal), 20 (ikhlas).

2. Muhammad Najati, Qur’ân wa Rawân Syinâsi, terjemahan ‘Abbas ‘Arab, Nasyr Ustan-e Quds Radhawi As, bagian 9 (syakshiat dar Qur’an), hal. 287.

3. Hasan Syarqawi, Gami Farâsui Rawâsyinasi Islâmi, terjemahan Sayid Muhammad Baqir Hujjati, Nasyr Farhangg-e Islami, bab-e Sewwum, Râh wushul beh Salâmat-e Nafsâni wa Behdasyti Rawâni, fashl 1, 4, dan 13 (bab keempat), be khidmat giriftane Rawânsyinasi dar Zaminehâi Gunâguni, hal. 397 – 528.


Catatan Kaki:
[1]. Ali Mirzabigi, Naqsy Niyazha Rawani, hal. 33

[2]. Hasan Irfani, Fashl Name Hadits-e Zendegi, wizye I’timad-e Nafs, hal. 7.

[3]. Musnad al-Syahab, jil. 1, hal. 378

[4]. Ghazali, Nashihat al-Muluk

[5]. Ghurar al-Hikam, jil. 5, hal. 161.

[6]. Allamah Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 66, hal 79; ‘Ali ibnu Maitsam Bahrani, Syarh Mia’t Kalimah, hal. 59.

[7]. Imam Khomeini Ra, Syarh Cihil Hadits, hal. 69, hadits-e sewwum.

[8]. Nasir Makarim Syirazi, Payâm-e Qur’ân, jil. 3, hal. 274.

[9]. Nasir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 10, hal. 205.

[10]. Nasir Makarim Syirazi, Op Cit, hal. 297.

[11]. Ibid, jil. 10, hal. 297.

[12]. Ibid, hal. 298; Bihâr al-Anwâr, jil. 71, hal. 137; Ma’âni al-Akhbâr, hal. 461.



13
Tanya Jawab Masalah Akhlak

12. Mengapa kecenderungan kepada aspek-aspek material dan duniawi sangatlah besar dan mudah daripada kecenderungan kepada alam akhirat dan nilai-nilai maknawi?


Sebagaimana di alam natural, gerak menurun (nuzuli) lebih mudah daripada gerak menaik (shu'udi). Hukum ini pula berlaku dalam gerak dan suluk pada perkara-perkara maknawi, spiritual, dan akhlak. Dalam istilah qurani, gerak dan proses menaik dikatakan senantiasa bersama dengan usaha, upaya, dan derita. Tuhan berfirman dalam al-Quran surah Insyiqaq ayat keenam, "Hai manusia, sesungguhnya kamu menuju kepada Tuhan-mu dengan kerja dan usaha yang sungguh-sungguh, maka kamu pasti akan menjumpai-Nya."

Sementara di alam dunia -dikatakan dunia karena wujud dan hakikatnya sangat rendah dari segala sesuatu- dan kecenderungan kepada hawa nafsu maka cukuplah manusia menutup matanya dari kesempurnaan-kesempurnaan, kesucian-kesucian, fitrah, dan akal.

Gerak dan berproses menuju alam spiritual dan maknawi seperti mendaki puncak yang sangat tinggi dan penuh dengan kesulitan serta bahaya. Sedangkan berjalan di atas jalur kecenderungan-kecenderungan hawa nafsu seperti bergerak ke arah menurun yang penuh dengan kemudahan dan keringanan. Karena kecenderungan ke alam akhirat dan nilai-nilai spiritual merupakan suatu gerak ke arah fitrah Ilahi, dan kecenderungan kepada duniawi, aspek-aspek material dan lahiriah adalah sangat besar dikarenakan hal ini bersesuaikan dengan tabiat alam materi dan keinginan natural manusia itu sendiri.

Sebagaimana di alam natural, gerak dan proses menurun lebih mudah daripada gerak menaik. Hal ini juga berlaku pada gerak dan suluk dalam perkara-perkara maknawi dan akhlak. Sebagaimana pernyataan al-Quran, gerak menaik atau proses menyempurna adalah senantiasa beriringan dengan usaha yang sungguh-sungguh dan penderitaan. Kata "Kâdihun" atau "kadhan" yang ada dalam ayat tersebut di atas yang dalam bahasa Arab adalah bermakna "upaya yang sungguh-sungguh".[1]

Untuk kejatuhan manusia di lembah dunia ini, maka cukuplah dia mengikuti hawa nafsu dan keinginginan syahwatnya. Karena bergerak di atas jalan keinginan-keinginan rendah hawa nafsu seperti berjalan ke arah menurun yang penuh dengan kemudahan dan keringanan.

Sementara bergerak dan berjalan sesuai dengan perintah akal dan agama serta berlawanan dengan kecenderungan duniawi, waswas setan, dan kehendak hawa hafsu adalah suatu proses menyempurna dan menaik. Sebagaimana mendaki suatu puncak yang tinggi adalah sangat sukar dan penuh kesulitan, namun senantiasa diiringi dengan perasaan bahagia dan keyakinan.

Dalam perspektif al-Quran, manusia adalah suatu makhluk yang memiliki dua dimensi, dimensi fitrah Ilahi dan aspek natural material. Fitrah manusia senantiasa mengajaknya kepada makrifat yang tinggi, nilai-nilai spiritual, maknawi, akhlak, dan kebaikan-kebaikan. Sedangkan dimensi naturalnya selalu menggiringnya kepada kerendahan material, hawa nafsu, dan keburukan.

Kehidupan manusia adalah lapangan pertempuran yang terus menerus antara aspek natural dan fitrah Ilahinya. Apabila dimensi tabiat manusia menang atas fitrah Ilahinya, maka dia akan menjadi tawanan bagi kecenderungan naturalnya yang rendah itu. Dalam pandangan al-Quran, manusia seperti ini dikategorikan sesat dan rendah. Namun, jika fitrah Ilahinya mampu mengalahkan keinginan rendah tabiatnya, maka segala kecenderungan naturalnya diarahkan sejalan dengan fitrahnya. Dalam keadaan seperti ini, manusia ini dikatakan berada dalam hidayah Ilahi dan berjalan di atas jalan yang benar .[2]

Kata "dunya" dalam makna leksikalnya adalah rendah. Dan manusia untuk menggapai keinginan-keinginan duniawinya maka cukuplah dia menutup matanya dan tidak memandang langit suci Ilahi. Namun, untuk keluar dari tarikan kecendengan dan penjara duniawi serta berjalan ke arah alam spiritual dan fitrah Ilahi, maka tidaklah cukup hanya sekedar berencana, berkata, dan klaim. Melainkan dia harus melawan secara nyata segala keinginan hawa nafsu, menentang seluruh bisikan dan waswas setan, meninggalkan segala tingkah laku dan adat yang buruk, dan memotong ribuan akar yang menjebaknya dalam aktivitas-aktivitas keseharian.

Oleh karena itu, para guru akhlak dan irfan praktis kadang memaparkan hakikat-hakikat tinggi spritual dan metode meniti tingkatan-tingkatan kesempurnaan itu dalam bentuk seratus tahapan, atau seribu tingkatan, atau menghadirkannya dalam bentuk adab-adab suluk. Supaya manusia pada akhirnya bisa melepaskan dirinya dari ikatan-ikatan hawa nafsu dan berujung menjadi seorang hamba Tuhan yang sejati.

Perjalanan maknawi dan suluk spritual seorang hamba kepada Tuhan adalah suatu proses menaik dan gerak vertikal, bukan gerak horisontal dan mendatar. Dan maksud dari vertikal dan menaik di sini adalah vertikal dalam "bangunan" dan "geometris" Ilahi yakni mencapai suatu "derajat yang tinggi", bukan dalam dimensi materi yakni pergi ke suatu "tempat yang tinggi".

Dari aspek ini menuntuk adanya suatu metode, cara, dan jalan supaya manusia terbantu untuk menggapai suatu derajat dan maqâm yang tinggi. Tuhan menyebut suluk ruhani dan penapakan spiritual itu dengan perjalanan menaik dan vertikal, hal ini sebagaimana tertera dalam surah Mujadalah ayat sebelas yang berbunyi, "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan di antara kamu beberapa derajat".

Seseorang yang berjalan menaik dan menyempurnakan dirinya maka niscaya akan mencapai derajat yang tinggi dan Tuhan dalam ayat di atas berkaitan dengan perjalanan maknawi ini menggunakan kata "yarfa'u" yang berarti meninggikan. Begitu pula dalam surah Fathir menamakan perjalanan maknawi ini dengan "menaik". Kepada-Nya-lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh akan mengangkatnya. (Qs. Fathir [35]: 10)

Maka dari itu, kedua kata "menaik" dan "mengangkat" dalam suluk tersebut telah menjadi jelas, yakni berkonsekuensi pada nilai-nilai vertikal dan penggapaian derajat-derajat, bukan nilai-nilai horisontal dan pergi pada suatu tempat. Karena perjalanan ke suatu tempat -walaupun tempat itu tinggi seperti gunung- adalah masih digolongkan dalam perjalanan horisontal, bukan vertikal. Dan Tuhan mengingatkan berkaitan dengan pengangkatan Nabi Idris As yang telah menapaki perjalanan vertikal ini sebagai berikut, "Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat dan tempat yang tinggi." (Qs. Maryam [19]: 57).

Maksud dari "tempat yang tinggi" dalam ayat itu bukanlah tempat lahiriah sebagaimana di dunia ini. Dan Tuhan berhubungan dengan zat suci-Nya sendiri juga menggunakan istilah sebagai wujud yang memiliki derajat dan "tempat" yang tinggi. Hal ini sebagaimana dalam surah Ghafir ayat limabelas, "(Dia-lah) yang mengangkat derajat (para hamba yang saleh)."

Oleh karena itu, perjalanan menuju Tuhan adalah perjalanan ke arah derajat dan tingkatan yang tinggi, dan para mukmin akan mencapai derajat yang tinggi serta para alim akan mendapatkan kesempurnaan yang lebih besar lagi. Begitu pula kalimat-kalimat yang baik akan mengarah ke derajat yang tinggi itu.[3]

Pernyataan lain juga memiliki kaitan bahwa kecenderungan kepada Tuhan itu sendiri tidak lain adalah gerak menaik dan ketinggian derajat, sementara keinginan duniawi adalah gerak menurun, kehinaan, dan kerendahan martabat itu sendiri. Dunia dikatakan sebagai dunia karena memiliki derajat yang sangat rendah atau paling rendahnya sesuatu. [4]Kecenderungan duniawi menyebabkan manusia menjadi rendah dan hina derajatnya.[5]

Untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan menggapai nilai-nilai spiritual … apabila dengan mengorbankan harta benda dan keluarga, maka itu sangatlah layak dan terpuji.[6] Dan mengakui kesalahan-kesalahan dan dosa-dosa secara jantan akan menyebabkan Tuhan pasti mengantarkannya kepada derajat dan martabat yang tinggi.[7]

Oleh karena itu, kecenderungan dan keinginan kepada perkara-perkara maknawi dan spiritual serta alam akhirat adalah suatu gerak dan proses ke arah fitrah Ilahi. Dan kecenderungan kepada hal-hal duniawi dan nilai-nilai material adalah suatu gerak dan proses yang didasarkan pada tabiat alam materi dan aspek natural manusia serta manusia sangat termotivasi untuk menggapai keindahan-keindahan lahiriah alam materi ini dan larut dalam menikmatinya, "Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia ini; sedang mereka lalai tentang (kehidupan) akhirat." (Qs. Rum [3]: 7)

Begitu pula segala apa yang manfaat-manfaat dan hasil-hasilnya cepat hadir dan berlalu merupakan sesuatu yang senantiasa diinginkan dan dikehendaki oleh manusia, seperti dalam ayat berikut ini, "Sekali-kali tidak (seperti yang kamu yakini bahwa dalil-dalil tentang hari kiamat itu tidak cukup). Sebenarnya kamu (hai manusia) hanya mencintai kehidupan dunia dan meninggalkan (kehidupan) akhirat." (Qs. Qiyamat [75]: 20 dan 21).

Dengan berpijak pada realitas ayat tersebut di atas Imam Ali As bersabda, "Orang-orang yang sesat itu mendahulukan perkara-perkara duniawi dan manfaat-manfaat yang cepat berlalu itu serta menunda-nunda perkara-perkara ukhrawi dan nilai-nilai yang abadi."[8] Dan kesimpulannya, kecenderungan dan keinginan manusia kepada perkara-perkara duniawi dan nilai-nilai material nampaknya sangatlah mudah dan ringan.[]


Catatan Kaki:
[1]. Askary, Abu Halal, Al-Furug fil lughah, hal. 369, Intesyarat Oston Quds-e Radhawi.

[2]. Hadavi Tehrani, Mahdi, Bowarha wa Pursesyha, hal. 84, Muassasah Farhangi Khoney-e Kherad.

[3] . Jawadi Amuli, Abdullah, Tafsir Maudhu'I Quran Karim, Marahile Akhlaq dar Quran, Bakhsye Sewwum, hal. 223, Markaz-e Nasyr-e Isra'.

[4] . Rey Syahri, Muhammad, Muntakhab Mizanul Hikmah, hadis nomor 2171, Imam As.

[5] . Ibid, hadis nomor2192.

[6] . Nahjul Balaghah, khotbah 52.

[7] . Ibid, hikmah 20.

[8] . Nahjul Balaghah, khotbah 144.



14
Tanya Jawab Masalah Akhlak

13. Bagaimana saya hidup sebagai seorang Syiah di kalangan Ahlusunnah?


Bagaiaman saya dapat menjalani hidup sebagai seorang Syiah sejati? Dan bagaimana saya dapat menjalani hidup sebagai seorang Syiah sejati di kalangan Ahlusunnah?

Menunaikan tugas-tugas yang dianjurkan para Imam Maksum bagi setiap Syiah adalah wajib. Namun bagi mereka yang hidup di kalangan Ahlusunnah maka pelaksanaan tugas-tugas ini lebih mesti hukumnya. Mengingat Anda bermukim di kalangan Ahlusunnah dan melakukan interaksi dengan mereka, maka Anda harus lebih memperhatikan dan melaksanakan banyak hal.

Dalam kitab Wasail al-Syiah terdapat sebuah bab (pembahasan) yang menentukan pola hubungan dan interaksi orang-orang Syiah dengan Ahlusunnah.


Dari sekempulan riwayat ini dapat disimpulkan bahwa hal-hal yang paling penting dipenuhi pada tempat-tempat seperti ini adalah sebagai berikut:
1. Menunaikan amanah:

2. Membesuk orang-orang sakit dan turut serta dalam upacara pemakaman mereka.

3. Memenuhi hak-hak yang berada dalam tanggungan kita, seperti hak tetangga.

4. Memiliki akhlak budiman

Ahlulbait dan para Imam Maksum As senantiasa mengajurkan kepada kita untuk menjaga keutamaan akhlak dan ilmu dan sudah seharusnya kita menjalankan anjuran tersebut. Keinginan mereka bahwa kita harus menjadi teladan dalam ilmu, akhlak, dan takwa sehingga kita dapat mengajak dan berdakwah kepada orang-orang dengan perbuatan kita, tidak semata hanya dengan lisan.


Syaikh Kulaini banyak menukil riwayat terkait dengan persoalan ini yang akan kita sebutkan di sini dua contoh sebagai perumpamaan:
1. Usamah berkata bahwa ia mendengar Imam Shadiq As bersabda: “Bertakwalah dan bersikap wara, berkata jujur dan tunaikanlah amanah, berperilaku baiklah terhadap tetangga. Ajaklah manusia kepada agamamu dengan perbuatanmu (perbuatan kalian orang-orang Syiah sedemikian indah sehingga para penentang kalian condong kepada mazhab kalian). Jadilah perhiasan bagi kami bukan celaan. Dan hendaklah kalian memanjangkan ruku dan sujud; karena barang siapa yang memanjangkan ruku dan sujud maka setan akan berteriak di belakangnya, “Celakalah Aku! Orang ini mentaati (perintah Allah) dan aku bermaksiat. Orang ini bersujud sementara aku membangkang (ketika aku diperintahkan untuk bersujud di hadapan Adam).”[1]

2. Dinukil dari Ali bin Abi Zaid dari ayahnya, katanya, Aku berada di sisi Imam Shadiq As ketika Isa bin Abdullah Qumi datang kepada beliau. Beliau mengucapkan selamat datang kepadanya: Dan memberikan tempat di sampingnya dan kemudian bersabda: “Wahai Isa bin Abdullah! Bukan bagian dari kami (Syiah) yang tinggal di suatu kota yang penduduknya 100 ribu atau lebih dan di kota itu ada yang lebih bertakwa darinya; yaitu para penentang mazhab Syiah; karena Syiah yang (harus) lebih unggul dari semuanya (dari sisi ketakwaan).”[2]

Apabila kita sedemikian adanya maka kita telah menampilkan wajah rupawan Islam dan mazhab Ahlulbait kepada pendudukan dunia. Karena itu, kita diharapkan dapat menyesuaikan diri dengan anjuran dan keinginan para Imam Maksum pada seluruh bidang akhlak, keilmuan, keyakinan, kebudayaan dan sebagainya.[3]


Sebagian hal yang harus ditunaikan seabgai masalah paling pertama dan utama dalam amalan dan perbuatan kita sebagai seorang Syiah adalah sebagah berikut:

1. Menghormati hak-hak rakyat (haqqunnas) dan tidak melanggar hak-hak warga kota
Dalam pandangan Islam, asas dan fondasi kehidupan sosial terletak pada penghormatan manusia pada hak-hak sosial orang lain yang akan disinggung dengan beberapa contoh berikut ini:

Rasulullah Saw bersabda terkait dengan penunaian hak-hak tetangga: "Barang siapa yang mengganggu tetangganya maka Allah Swt akan mengharamkan bau surga baginya."[4] Atau pada sabdanya yang lain, "Bukan dari golongan kami orang yang melanggar hak-hak tetangganya."[5]


2. Memiliki rasa tanggung jawab dan penuh dedikasi
Tipologi utama masyarakat Islam terpenuhinya tanggung jawab umum dan akuntabilitas sosial. Tanggung jawab umum ini bermula dari institusi keluarga melebar pada tetangga, kota dan seterusnya. Sesuai dengan ajaran Islam, seorang warga kota pada komunitas Islam harus merasa bertanggung jawab terhadap apa yang terjadi pada masyarakat, baik masalah-masalah kebudayaan, perekonomian, politik dan bahkan bencana-bencana alam. Ia harus berupaya semaksimal mungkin untuk menyelesaikan masalah ini atau paling tidak meminimalisir persoalan yang dihadapi masyarakat.


Di bawah ini kami akan menyampaikan beberapa cermin rasa tanggung jawab ini secara ringkas sebagai berikut:

A. Menolong dan membantu orang lain
Al-Qur'an memandang menolong dan membantu orang lain adalah tugas dan tanggung jawab setiap Muslim. Al-Qur'an menandaskan, "Jika mereka meminta pertolongan kepadamu untuk membela agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan." (Qs. Al-Anfal [8]:72); "Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara." (Qs. Al-Hujurat [49]:10)

Kaum Muslimin pada komunitas Islam memiliki tanggung jawab terhadap nasib, masa depan dan persoalan yang dihadapi masing-masing anggota komunitasnya. Apabila ia ingin bersikap acuh-tak-acuh terhadap persoalan kaum Muslimin dan menolak tanggung jawab ini, sesuai dengan riwayat, maka sesungguhnya ia telah keluar dari barisan kaum Muslimin. "Barang siapa yang menjumpai pagi dan tidak menaruh perhatian kepada urusan kaum Muslimin maka sesungguhnya ia bukan Muslim."[6] Amirul Mukmin Ali bin Abi Thalib As, memandang setiap warga kota masyarakat Islam, baik dari kalangan ulama, orang kaya dan sebagainya bertanggung jawab terhadap urusan masyarakat tersebut. Imam Ali As bersabda: "Allah tidak mewajibkan orang bodoh belajar sebelum Dia mewajibkan orang terpelajar mengajar."[7] Atau pada kesempatan lain beliau bersabda, "Allah telah menentukan rezeki orang miskin dalam kekayaan orang kaya. Akibatnya, bilamana seorang miskin tetap lapar adalah itu karena beberapa orang kaya telah menolak (bagiannya). Allah akan menanyainya tentang hal itu.[8] Karena itu, menolong dan membantu tetangga adalah hal yang sangat penting dalam pandangan Islam. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As bersabda: "Rasulullah Saw sedemikian mewasiatkan tentang tetangga sehingga kami menyangka bahwa tetangga mewarisi harta warisan tetangganya."[9]


3. Mengamalkan nilai-nilai luhur Islam dalam pergaulan sosial
Berbudi luhur dan berperilaku mulia terhadap orang lain merupakan faktor terpenting untuk mencapai kesukesan dan kemajuan manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Bahkan penyebarannya di antara pelbagai strata masyarakat akan sangat membantu penyebaran keadilan di tengah masyarakat.


Kami akan menyebutkan beberapa contoh etika sosial Islam sebagai kelanjutan dari pembahasan ini:

A. Berakhlak budiman, berperilaku mulia dan berawajah ceria
Al-Qur'an menyatakan kepada Nabi Saw, "Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung " (Qs. Al-Qalam [68]:4); "Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. " (Qs. Ali Imran [3]:159)

Karena itu, al-Qur'an memandang budi pekerti yang luhur (khulqin azhim) sebagai faktor kesuksesan Nabi Saw dalam menarik hati masyarakat. Terdapat banyak riwayat dari para pemimpin agama terkait dengan masalah ini yang kami akan sebutkan beberapa di sini sebagai contoh:

Nabi Saw bersabda: "Budi pekerti yang baik dan terpuji merupakan setengah agama."[10]


B. Bersikap rendah hati dan tawadhu
Bersikap rendah hati atau tawadhu dihadapan masyarakat dan menghindar dari sikap angkuh dan egois. Tawadhu ini merupakan salah satu sifat dan kondisi kejiwaan manusia yang terefleksi dalam segala perbuatan dan tindakannya.

Tanpa ragu, sikap rendah hati dan tawadhu di hadapan masyarakat dan warga kota akan mengundang simpati dan kecintaan publik di dunia dan mendatangkan keridhaan Tuhan di akhirat kelak. Persoalan ini merupakan salah satu persoalan penting dimana para wali Allah senantiasa menganjurkan dan mewasiatkan hal ini.


C. Bersikap Lembut dan Toleran
Rifq dan mudâra artinya bersikap lembut dan toleran dengan masyarakat.

Manusia dari dimensi bahwa ia memiliki kehidupan sosial, senantiasa berinteraksi dan berkomunikasi dengan manusia lainnya. Hak-haknya dengan hak-hak orang lain bertaut satu dengan yang lain dalam ragam bentuk. Karena itu, sikap toleran merupakan salah satu masalah yang mendapat perhatian serius dalam Islam.


D. Sabar dan tabah
Hilm (tabah) adalah bersikap tegar dan kokoh dalam menghadapi pelbagai kesulitan hidup. Kehidupan sosial adalah kehidupan dengan ragam manusia. Berinteraksi dengan aneka model mental, dengan ragam selera, dengan pandangan yang berbeda-beda, dengan perilaku dan keinginan yang berlainan. Karena itu, syarat pertama kehidupan sosial adalah bersikap tabah dan sabar. Sifat sabar dan tabah ini merupakan salah satu sifat dan karakteristik seluruh Nabi Ilahi di hadapan pelbagai gangguan para penentang dan kaum musyrikin.[11]

Dengan demikian, menunaikan tugas-tugas yang dianjurkan para Imam Maksum bagi setiap Syiah adalah wajib. Namun bagi mereka yang hidup di kalangan Ahlusunnah maka pelaksanaan tugas-tugas ini lebih mesti hukumnya. Mengingat Anda bermukim di kalangan Ahlusunnah dan melakukan interaksi dengan mereka, maka Anda harus lebih memperhatikan dan melaksanakan banyak hal. Dalam kitab Wasail al-Syiah terdapat sebuah bab (pembahasan) yang menentukan pola hubungan dan interaksi orang-orang Syiah dengan Ahlusunnah.[12]


Dari sekempulan riwayat ini dapat disimpulkan bahwa hal-hal yang paling penting dipenuhi pada tempat-tempat seperti ini adalah sebagai berikut:
1. Menunaikan amanah:

2. Membesuk orang-orang sakit dan turut serta dalam upacara pemakaman mereka.

3. Memenuhi hak-hak yang berada dalam tanggungan kita, seperti hak tetangga.

4. Memiliki akhlak budiman.[13]


Catatan Kaki:
[1]. Kâfi, jil. 2, hal. 78, Hadis 8.

[2]. Ibid, Hadis 9.

[3]. Diadaptasi dari Pertanyaan 8049 (Site:8141)

[4]. "Man adza Jarahu HarramaLlâh 'alaih raiha al-Jannah." Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 72.

[5]. "Man dhaya' haqqa jarihi falaisa minna." Ibid, jil. 71, hal. 150.

[6]. "Man Asbaha wala yahtam bi umur al-Muslimin, falaisa bimuslim." Kulaini, Ushul Kâfi, jil. 2, hal. 131.

[7]. "Mâ akhadzaLlâh 'ala Ahli al-Jahl an yata'allamu hatta akhadza 'ala Ahli al-'Ilm an-Yu'allimu." Abdulmajid Ma'adikha, Khursyid bi Ghurûb (terjemahan Persia Nahj al-Balâgha), hal. 522, hikmah no. 478.

[8]. "InnaLlâh Subhanahu Faradha fii Amwal al-Aghniyâ Aqwât al-Fuqarâ…", Ibid, hal. 479, hikmah no. 329.

[9]. Al-Kâfi, jil. 7, hal. 51; Bihâr al-Anwâr, jil. 42, hal. 248.

[10]. "Al-Khulq al-Hasan nisf al-din." Muhammad Baqir al-Majlisi, jil. 68, hal. 385.

[11]. Diadaptasi dari Pertanyaan 6122 (Site:6335)

[12]. Muhammad bin Hasan Hurr ‘Amili, Wasâil al-Syiah, jil. 12, hal. 5, Muassasah Ali al-Bait, Qum, 1409.

[13]. Imam Shadiq As bersabda, “Tatkala kalian berinteraksi dengan Ahlusunnah, kalian memiliki takwa dan wara, berkata jujur dan berlaku amanah serta berperilaku budiman maka mereka akan berkata bahwa orang ini adalah Ja’fari (disandarkan kepada Imam Ja’far Shadiq As). Hal ini tentu saja akan membahagiakanku. Silahkan lihat, Wasâil al-Syiah, jil. 12, hal. 6.



15
Tanya Jawab Masalah Akhlak

14. Darimana harus memulai proses pensucian jiwa dan tazkiyah nafs?


Tazkiyah artinya mensucikan jiwa dan diri dari pelbagai noda dan kotoran. Dalam al-Qur'an disebutkan beberapa ayat-ayat yang menyoroti ihwal signifikannya pensucian jiwa. Hanya saja harus dipahami bahwa titik mula (starting point) dalam proses pensucian jiwa dan pembangunan jiwa, masing-masing berbeda pada setiap orang.

Bagi orang-orang yang tidak (belum) memeluk Islam, jalan pertama dan titik mulanya adalah dengan memeluk Islam. Bagi orang-orang beriman, tingkatan pertama adalah tanabbuh (perhatian) dan menyadari sepenuhnya bahwa nafs (jiwa) itu harus disucikan.

Adapun memikirkan masalah-masalah seperti; mengapa ada penciptaan dan pengadaan semesta, apa yang menjadi tujuan penciptaan dan sebab pengutusan para nabi dan seterusnnya akan menambah stressing dan tekanan pada perhatian (tanabbuh) dan pengetahuan dasar ini.

Tingkatan kedua adalah tingkatan taubat dari pelbagai perbuatan yang dikerjakan pada masa lalu dan tekad untuk menebus pelbagai kesalahan tersebut. Menebus dan memenuhi hak-hak orang yang pernah dilanggar haknya dan memenuhi hak-hak Tuhan yang masih tersisa dalam diri kita.

Tingkatan lainnya adalah usaha untuk mengerjakan segala kewajiban dan meninggalkan segala yang haram seukuran pengetahuan yang dimiliki tentang halal dan haram. Kemudian konsisten dan berketerusan mengayunkan langkah di jalan ini yang akan menyebabkan Allah Swt menganugerahkan pelbagai pengetahuan kepada kita dan dengan perantara jalan ini kita akan menuai kemajuan dalam proses sair dan suluk kepada Allah Swt.

Di samping itu, Allah Swt juga memberikan berita gembira dalam sebagian ayat-ayat al-Qur'an berupa bantuan dan sokongan bagi para hamba yang berjihad di jalan ini.

Masalah pembangunan atau pensucian jiwa dalam al-Qur'an disebut sebagai tazkiyah atau tazakka. Adapun makna leksikal tazkiyah adalah mensucikan diri dari segala sesuatu yang kotor.[1] Pada kebanyakan ayat-ayat al-Qur'an ditegaskan signifikansinya pensucian jiwa, misalnya pada surah al-Syams kita membaca, "Sungguh beruntunglah orang yang telah menyucikannya, dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya."[2] (Qs. Al-Syams [91]:9-10) Demikian juga pada ayat 18 surah Fatir (35) [3] dan ayat 14 dan 15 surah A'la (87)[4] menegaskan hal yang sama dengan masalah ini.

Dengan demikian, membangun dan mensucikan jiwa merupakan sebuah perkara yang diterima dan terpuji dalam pandangan syariat. Akan tetapi harus dikatakan bahwa titik mula pembangunan jiwa dan pensucian jiwa berbeda bagi setiap orang. Untuk non-Muslim tingkatan pertama adalah memeluk Islam. Ulama akhlak dalam mengklasifikasi tingkatan ini, berkata bahwa titik-mula adalah Islam kemudian iman dan pada tingkatan berikutnya adalah hijrah dan setelah itu berjihad di jalan Allah (jihad fii sabilillah)."[5]

Akan tetapi terkait orang-orang yang telah memeluk Islam, beriman dan menjadi obyek ayat-ayat al-Qur'an seperti pada ayat, "Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu."[6] (Qs. Al-Maidah [5]:105) dan "Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman."[7] (Qs. Al-Nisa [4]:136) harus dikatakan bahwa tingkatan-tingkatan perdana pensucian jiwa bagi mereka adalah tanabbuh dan keterjagaan. Ia sepenuhnya sadar bahwa ia harus memulai dan membersihkan dirinya dari segala noda dan kotoran.

Setelah tingkatan tanabbuh dan kesadaran ini, sebuah pertanyaan kemudian mengemuka bahwa darimana harus memulai proses pembangunan jiwa? Dalam menjawab pertanyaan ini harus dikatakan bahwa orang yang mengajukan pertanyaan ini telah melalui tingkatan pertama; lantaran ia telah mencapai pada sebuah kesimpulan dengan pikiran dan inteleksi bahwa "alam dunia ini bukan tempat hunian abadi dan segala sesuatunya serta pengutusan para nabi bukan untuk kehidupan dunawi."[8]

Setelah melintasi tingkatan ini (tafakkur dan tanabbuh) kemudian tiba giliran tingkatan "taubat"; artinya menebus segala sesuatu yang telah berlalu. Menebus dan memenuhi hak-hak orang yang telah dilanggar. Serta menebus dan memenuhi hak-hak Tuhan yang belum tertunaikan atau yang ditinggalkan.

Akan tetapi tingkatan taubat ini disertai dengan tekad. Bertaubat dari apa yang telah kita lakukan dan bertekad untuk mencapai apa yang ingin kita capai. Atas dasar ini, sebagian ulama akhlak menetapkan tingkatan taubat sebagai stasiun kedua[9] dan sebagian lainnya memandang tekad ('azam) sebagai tingkatan berikutnya setelah tingkatan tanabbuh.[10]

Imam Khomeini Ra, terkait dengan 'azam yang selaras dengan tingkatan ini, berkata, "Bertekad untuk menjauhi maksiat dan mengerjakan segala kewajiban serta menebus segala yang telah ditinggalkan (segala yang telah lewat) dan bertekad untuk menjadikan segala yang lahir dan bentuknya sejalan dengan manusia berakal dan seiring dengan syariat."[11]

Dalam doa hari Mab'ats disebutkan: "Aku meyakini bahwa sebaik-baik bekal bagi orang yang ingin menuju-Mu adalah kemauan kuat (tekad) yang dengannya ia memilih-Mu."[12]


Tingkatan selanjutnya adalah menjauhi maksiat dan mengerjakan segala kewajiban.
Hadhrat Ayatullah Bahjat dalam menjawab sebuah pertanyaan yang diajukan kepadanya: Apa yang harus saya lakukan tatkala saya telah memutuskan untuk meniti jalan sair dan suluk? Beliau berkata: "Meninggalkan maksiat sepanjang hidup telah memadai meski hidup seribu tahun."[13] Karena itu dalam tingkatan ini seluruh kewajiban Ilahi harus ditunaikan berdasarkan ilmu yang kita miliki.

Meninggalkan segala yang haram juga berdasarkan kadar pengetahuan yang kita miliki tentang hal-hal yang haram. Masalah ini akan menjadi penyebab Tuhan menganugerahkan pelbagai macam pengetahuan kepada kita. Sehingga dengan perantara jalan ini, kita dapat meraup kemajuan dalam mengayunkan langkah di jalan sair dan suluk Ilahi.

Kita harus mengamalkan apapun yang kita ketahui dan Allah Swt akan menganugerahkan segala yang tidak kita ketahui. Sepanjang kita mengamalkan segala tugas kita, rotasi dan sirkulasi penganugerahan ilmu ini akan senantiasa berlanjut. Rasulullah Saw bersabda: "Barang siapa yang melakukan apa yang ia ketahui maka Allah Swt akan memahamkan segala yang ia tidak ketahui."[14]

Riwayat ini sejalan dengan ayat al-Qur'an yang menyatakan, "Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami."[15] (Qs. Al-Ankabut [29]:69) Di samping itu, harus diketahui bahwa manusia selama hidupnya, selama hayat dikandung badan ia senantiasa bergerak dan tidak pernah diam; apakah ia bergerak menyongsong cahaya (petunjuk) atau ia berjalan menuju kegelapan (kesesatan). Dan yang sentral dalam gerakan ini adalah gerakan menuju cahaya.

Untuk telaah lebih jauh dalam masalah ini, Anda dapat merujuk kitab Risâlah Lubb al-Lubab, Sayid Muhammad Husain Husaini Tehrani, jil. 1 hal. 87. Akhir kata kami memandang perlu menyebutkan bahwa jawaban yang diberikan di sini adalah jawaban yang bersifat umum. Sekiranya Anda ingin jawaban yang lebih jeluk dan dalam, dengan menyebutkan tingkat pendidikan Anda, kami persilahkan Anda untuk kembali menulis surat ke meja redaksi. Terima kasih.


Catatan Kaki:
[1]. Tazkiyah al-Tathir min al-Akhlâq al-Dzamimah, Majma' al-Bahraîn, jil. 1, hal. 203.

[2]. "Qad aflaha man zakkaha wa qad khaba man dassaha."

[3]. "Dan barang siapa yang menyucikan dirinya, sesungguhnya ia menyucikan diri ntuk kebaikan dirinya sendiri."

[4]. "Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri. Dan dia ingat nama Tuhan-nya, lalu dia salat "

[5]. Sayid Muhammad Husain Husaini Tehrani, Risalah Lubb al-Lubab, hal. 55.

[6]. Yâ Ayyuhalladzina amanû 'alaikum anfusakum.

[7]. Yâ Ayyuhalladzina amanû A^minû."

[8]. Imam Khomeini, Cihil Hadits (40 Hadis), hal. 76. .

[9]. Mirza Jawad Malik Tabrizi, Risâlah Liqâ'a Allah, hal. 52.

[10]. Imam Khomeini, Cihil Hadits, hal. 7.

[11]. Ibid.

[12]. "Wa laqad 'alimtu anna afdhal zâdi al-râhil ilaika 'azmun irâdatin yakhtaruka bihâ." Mafâtih al-Jinân, Doa Hari Mab'ats. Al-Iqbâl bil A'mal al-Hasanah, hal. 277.

[13]. Be suye Mahbûb, Dastur al-'Amalha wa Rahnemâ-haye Hadhrat Ayatullâh Bahjat, hal. 58

[14]. "Man 'amala bimâ 'alima warratsahuLlâh ilmâ ma la ya'lam." Al-Mahajjat al-Baidhâ, jil. 6, hal. 24. Bihâr al-Anwâr, jil. 89, hal. 172. Al-Kharâij, jil. 3, hal. 1058.

[15]. " Alladzina jahadu finâ lanahdiyanahum subûlanâ."



16
Tanya Jawab Masalah Akhlak

15. Apakah kita harus melakukan istikhâra apabila ingin melangsungkan pernikahan?


Saya ingin tahu apakah orang harus melakukan istikhâra apabila ia ingin menikah? Beberapa tahun ini saya ingin menikahi seorang gadis namun sayang setiap kali saya menyatakan lamaran, pihak keluarganya menolak. Mereka menyodorkan pelbagai dalih. Dalih terakhir yang mereka sampaikan adalah bahwa mereka menelpon ke Kantor Ayatullah Bahjat Ra dan melakukan istikhâra, baik-tidaknya pernikahan putri mereka.

Namun sayang hasil istikhâra tersebut tidak baik. Apakah orang dapat melakukan istikhâra tatkala ingin menikah? Bukankah orang bijak berkata bahwa dalam perbuatan baik tidak diperlukan istikhâra? Terima kasih.

Masalah pernikahan dan membentuk ikatan rumah tangga merupakan masalah yang paling penting dalam kehidupan manusia semenjak awal sejarah kehidupan manusia. Pernikahan dan ikatan rumah tangga merupakan masalah terpenting dan rukun asasi dalam masyarakat manusia.

Jelas bahwa masalah yang amat penting seperti ini harus dilakukan dengan penuh kesadaran, rasionalitas dan penuh perhitungan; karena masa depan sebuah keluarga akan dimulai dengan pernikahan ini. Ribuan masalah seperti masalah melanjutkan keturunan, pembinaan generasi, pendidikan, pengajaran anak dan sebagainya dapat muncul sebagai konsekuensi dari pernikahan ini.

Karena itu, tatkala seseorang ingin melangsungkan pernikahan, maka ia seharusnya mengkaji seluruh dimensi yang ada. Melakukan penilitian dan pengenalan akurat serta tidak menyandarkan urusannya semata pada istikhâra dan suratan nasib.

Adapun terkait dengan masalah pernikahan, masalahnya seperti pelbagai masalah lainnya. Manusia setelah berpikir matang dan menimbang pelbagai sudut pandang serta setelah melakukan musyawarah dengan orang lain dengan memanfaatkan pengalaman-pengalaman namun tetap tidak sampai pada sebuah keputusan, kabut keraguan dan sangsi masih menyelimuti, maka ia dapat menyandarkan urusannya dengan melakukan istikhâra.

Dengan melakukan istikhâra, ia bermohon kepada Allah Swt untuk menolongnya dalam masalah ini. Melakukan istikhâra tidak ada halangannya dari sudut pandang agama. Hanya saja harus diperhatikan bahwa istikhâra tidak dilakukan kecuali untuk menghilangkan keraguan di antara dua pilihan yang ada.

Yang pokok dalam istikhâra adalah istikhâra mutlak. Artinya bahwa manusia menjadikan pandangan, pendapat dan pelbagai perbuatannya sebagai sandaran dan pijakan, melainkan memohon pertolongan kepada Allah dan meminta kebaikan (khair) dari-Nya. Bertawakkal kepada-Nya. Menyandarkan segala urusan kepada-Nya yang Mahatahu dan Bijaksana.

Oleh itu, saran kami kiranya Anda bertawakkal dan berserah diri kepada-Nya setelah memperhatikan beberapa penjelasan di atas. Dan penting untuk diingat bahwa masalah "kufu" (selevel tidaknya) di antara keluarga juga harus menjadi bahan pertimbangan dalam menjatuhkan pilihan kepada salah seorang yang diminatinya.

1. Sejarah pernikahan dan masalah perkawinan sebanding dengan sejarah umat manusia. Semenjak zaman Adam dan Hawa As hingga sekarang masalah pernikahan merupakan masalah yang paling penting dan rukun asasi dalam kehidupan masyarakat manusia. Ikatan pernikahan merupakan titik-sambung dalam kehidupan manusia dan termasuk masalah yang senantiasa mengemuka dalam keseharian manusia. Sedemikian sehingga agama-agama Ilahi pun pada tingkatan tertentu menyampaikan pandangannya masing-masing dan memperkenalkan kepada manusia aturan-aturan dan syarat-syarat pernikahan.

Islam sebagai agama pamungkas Ilahi dengan memandang secara tajam, dalam dan realistis terhadap manusia dan pelbagai kebutuhannya, mengemukakan pandangan-pandangan khusus tentang masalah ini. Di antara sekumpulan maarif dan ajaran-ajaran agama Islam dapat disimpulkan bahwa dalam pandangan Islam pernikahan dan pembentukan institusi rumah tangga merupakan masalah yang paling dicintai di hadapan Allah Swt.[1]

2. Dalam masalah pernikahan, kriteria dan standar dalam memilih istri dalam Islam adalah agama dan akhlak budiman. Nabi Saw dalam hal ini bersabda: "Apabila seseorang datang (kepadamu) untuk meminang dan engkau senang dengan akhlak dan agamanya maka terimalah pinangannya. Apabila engkau tidak melakukan (hal tersebut), maka akan terjadi fitnah dan kerusakan di bumi."[2]

3. Akal merupakan anugerah terbesar yang diberikan kepada umat manusia. Manusia dengan pelita akalnya dapat melintasi jalan-jalan gelap kehidupan dan melewati berbagai kesulitan dan marabahaya. Al-Qur'an banyak memberikan anjuran untuk memberdayakan akal dan berpikir rasional. Dan dalam pandangan al-Qur'an bahwa seburuk-buruk makhluk adalah orang-orang yang tidak memanfaatkan akalnya.[3]

Lebih tinggi dari ini, secara asasi, salah satu sebab utama pengutusan para nabi adalah pemberdayaan akal manusia.[4] Bersandar pada akal dan memberdayakan pelita cerlang ini memiliki kedudukan yang tinggi dalam Islam. Sedemikian tinggi derajatnya sehingga dalam syariat akal dijadikan sebagai salah satu sumber inferensi (istinbâth) hukum-hukum syariat.[5]

4. Demikian juga dalam ajaran-ajaran agama, sangat dianjurkan kepada manusia untuk mencari faktor-faktor yang mendukung dalam melahirkan sebuah keputusan rasional, mencari kebenaran, transparansi dalam berpikir dengan mencari dukungan dari akal. Dan yang paling penting dari hal tersebut adalah "musyawarah." Musyawarah yaitu berpikir kolektif untuk dapat dengan mudah membuka simpul-simpul kecil yang terajut kusut dalam pikiran-pikiran invidivual.

Dengan bermusyawarah, cela yang terdapat pada akal invidual, hingga pada tataran tertentu, dapat ditutupi dan sejumput informasi dan pengalaman yang dimiliki orang-orang dalam beberapa tahun terakhir dapat diperoleh dengan mudah.

5. Acap kali terjadi bahwa manusia setelah berpikir dan bermusyawarah keraguan masih saja menghantui. Di sini akal dan syariat menganjurkan untuk sekali lagi bermusyarawah. Bermusyawarah dengan akal yang tak-terbatas dan Pemilik pengetahuan mutlak terhadap seluruh keberadaan, Mahatahu atas segala keburukan dan kebaikan para hamba, dan menghendaki kebaikan bagi seluruh hamba.

Musyarawah semacam ini adalah apa yang disebut dalam kebudayaan Islam sebagai "istikhâra." Istikhârah artinya menghendaki sebaik-baik hal dari dua perkara, permintaan terbaik, memohon kebaikan, menuntut kebaikan.[6] Atas dasar ini, semakin mantap mental dan batin orang yang melakukan istikhâra maka kemantapannya dalam istikhâra akan semakin tinggi.

Istikhâra memiliki dua makna. Istikhâra bermakna hakiki sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat dan hadis yaitu mencari kebaikan dari Tuhan. Jenis istikhâra seperti ini sejatinya merupakan cabang dan ranting doa. Istikhâra semacam ini adalah istikhâra mutlak, yang tidak terkhusus pada adanya keraguan dan sangsi. Istikhâra semacam ini pada hakikatnya meminta pertolongan kepada Tuhan dan menyandarkan urusan kepadanya dalam pelbagai urusan dan perbuatan dalam kehidupan kita.

Oleh itu, kita jumpai sebuah riwayat yang berasal dari Imam Shadiq As yang bersabda: "Allah Swt berfirman: "Min syiqai 'abdi an la ya'mal al-a'amal wala yastakhirini." Di antara kecelakaan hamba-Ku adalah bahwa ia bekerja tanpa melakukan istikhâra dari-Ku (memohon kebaikan)." Karena itu, sesuai dengan riwayat, jenis istikhâra semacam ini bukan untuk melepaskan manusia dari keraguan dan keheranan, melainkan istikhâra yang diperlukan pada setiap tingkatan untuk mendapatkan sebuah pekerjaan baik, terpuji dan melegakan.

Makna kedua istikhâra adalah memohon kebaikan dari Tuhan supaya terbebas dari kebingungan dan keheranan yang terkhusus ketika seseorang berada dalam keraguan untuk memilih satu di antara beberapa pilihan.

Bagaimanapun, apabila istikhâra dilakukan setelah shalat, doa, bersuci (thaharah) dan memiliki kehadiran hati (hudhur qalb) maka istikhâra sedemikian tentu saja lebih baik; karena dalam adab-adab istikhâra para Imam Maksum diperintahkan sedemikian.[7]

6. Ihwal kedudukan istikhâra dalam kebudayaan agama kita (Islam) maka harus dikatakan bahwa secara asasi terdapat tiga pandangan terkait dengan masalah ini:

a. Kelompok yang berpandangan bahwa istikhâra adalah sebuah perbuatan yang tidak melibatkan pikiran, rasionalitas dan pengkajian atas sebuah masalah, hasil seluruh pekerjaan semata-mata disandarkan pada istikhâra.

b. Kelompok lain yang secara asasi semata-mata bersandar pada akal (rasionalis) dan mengingkari istikhâra.

c. Adapun kelompok ketiga, dengan mengakui kedudukan dan posisi akal dan mengenal peran musyawarah, berpandangan bahwa istikhâra merupakan cara rasional dan berada pada tataran inteleksi dan berpikir rasional. Sesuai dengan pandangan ini, tiada halangan dan dalih untuk menolak istikhâra dari sudut pandang agama; karena istikhâra tidak lain kecuali menentukan salah satu dari dua pilihan atau pekerjaan yang harus dilakukan. Istikhâra tidak menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.

Istikhâra tidak mewajibkan sesuatu yang tidak wajib atau sebaliknya. Pendeknya istikhâra tidak berposisi ingin merubah hukum-hukum Allah, melainkan semata-mata berkata, orang yang melakukan istikhâra, apakah baik untuknya apabila ia melakukan atau meninggalkan sebuah perbuatan atau tidak sehingga dengan istikhâra ini, ia dapat terbebas dari sikap sangsi dan ragu. Adapun terkait dengan persoalan bagaimana atau apa pengaruh mengerjakan atau meninggalkan suatu pekerjaan di masa mendatang dan peristiwa apa yang akan terjadi tidak berada di atas pundak istikhâra (tidak terkait dengan masalah istikhâra).

7. Adapun ucapan bijak yang disampaikan oleh Hafizh Syirazi bahwa "Dar kâr-e khair hajat hich istikhâra nist." (Dalam memenuhi sebuah hajat yang baik tidak diperlukan istikhâra) merupakan ucapan yang sangat tepat dan baik. Inti persoalan pernikahan merupakan sebuah perbuatan baik dan sangat dianjurkan dalam agama. Tentu saja dalam melakukan perbuatan baik seperti ini tidak diperlukan istikhâra. Namun terkait dengan persoalan khusus dalam memilih Anda sebagai calon menantu oleh sebuah keluarga, boleh jadi dari pihak keluarga perempuan, berdasarkan pada banyak alasan, merasa ragu dan sangsi.

Boleh jadi mereka memandang baik dan maslahat apabila putri mereka tidak dinikahkan dengan Anda. Dan mungkin bukan karena istikhâra yang menjadi alasan utama penolakan mereka atas lamaran Anda atas putri mereka. Mungkin istikhâra sekedar dalih supaya Anda berubah pikiran dan mengurungkan niat Anda untuk meminang putri mereka.

Salah satu hal yang dianjurkan dalam agam Islam dalam urusan pernikahan adalah masalah "kufu" (selevel) antara pria dan wanita, antara calon suami dan calon istri, antara dua pasangan pemuda dan pemudi; artinya pria tatkala mengajukan pinangan terhadap seorang perempuan, ia harus memperhatikan kondisi keluarga, pikiran, ekonomi, budaya perempuan tersebut.

Apakah perempuan ini selevel dengannya atau tidak? Alangkah baiknya apabila keduanya setingkat dan selevel sehingga di masa mendatang kehidupan mereka tidak terjerat masalah yang dapat berakibat pada perceraian mereka.

Anda harus mencari sebab utama penolakan mereka atas pinangan ini dan Anda harus memberikan kemungkinan bahwa penolakan mereka karena Anda tidak termasuk menantu ideal dan idaman bagi mereka. Atau Anda tidak memiliki kriteria untuk menjadi menantu ideal dan idaman bagi mereka. Apabila Anda benar-benar berpikir bahwa gadis tersebut adalah istri idaman dan ideal bagi Anda maka berusahalah untuk memenuhi syarat-syarat yang rasional dan mampu Anda penuhi sehingga Anda memenuhi kriteria idaman tersebut.

Kami sarankan kepada Anda untuk teliti dan berhati-hati dalam urusan pernikahan ini khususnya pada masa sekarang ini dan berusahalah memilih orang untuk kehidupan masa depan yang menaruh perhatian dan memandang penting agama dan akhlak. Sehingga dengan demikian Anda mampu bersamanya menghadapi pelbagai kesulitan hidup dan mencintai hidup di samping Anda.


Catatan Kaki:
[1]. "Ma buniya fil Islâm binaan ahabba ilaLlah Azza wa Jallah wa a'azza minal tazwij." Mustadrak al-Wasâil, jil. 2, hal. 531.

[2]. Wasâil al-Syiah, jil. 14, hal. 51.

[3]. "Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya di sisi Allah ialah orang-orang yang bisu dan tuli yang tidak mengerti apa-apa pun." (Qs. Al-Anfal [8]:22)

4]. Nahj al-Balâgha, khutbah 1.

[5]. "Kullu maa hakama bihi al-'aql hakama bihi al-syar' wa kullu maa hakama bihi al-syar' hakama bihi al-'aql." Segala sesuatu yang dihukumi oleh akal (juga) dihukumi oleh syariat. Dan segala yang dihukumi syariat juga dihukumi oleh akal.

[6]. Farhangg-e Mu'in dan Muntaha al-'Arab, klausul Istikhâra.

[7]. Bihâr al-Anwâr, jil. 91, hal. 222; Wasâil al-Syiah, bab Istikhâra.



17
Tanya Jawab Masalah Akhlak

16. Mengapa manusia tidak boleh melenyapkan nikmat kehidupan bagi dirinya?



Apabila yang Anda maksud adalah pertanyaan tentang mengapa manusia tidak oleh melakukan tindakan bunuh diri maka dalam menjawab pertanyaan ini harus dikatakan bahwa:
1. Akal dan fitrah seluruh manusia memahami bahwa mengeliminir setiap kenikmatan yang terdapat di dunia ini merupakan sebuah perbuatan tercela dan tidak terpuji. Sedemikian jelasnya masalah ini sehingga seluruh manusia, pada agama dan mazhab apa pun, dapat dengan mudah memahami hal ini. Karena itu, di dunia ini terdapat lembaga-lembaga yang dibentuk untuk menjaga nikmat-nikmat pemberian Tuhan ini dengan ragam nama; seperti Green Peace (GP), Animal Defense League (ADL) dan sebagainya.

Di samping itu, untuk menjaga lingkungan hidup di muka bumi dan sebagainya pelbagai organisasi internasional dibentuk sehingga dengan aturan-aturan yang mereka tetapkan, mereka dapat mengendalikan dan menjaga pelbagai nikmat pemberian Tuhan pada tataran internasional. Dengan demikian, jika akal dan fitrah manusia mengecam dan mencela perbuatan melenyapkan dan menyia-nyiakan nikmat Ilahi sekecil apa pun itu, bagaimana mungkin manusia memandang boleh melenyapkan hidupnya yang merupakan nikmat dan anugerah terbesar Ilahi?

Dengan pendahuluan ini, menjadi jelas bahwa anggapan manusia boleh melakukan tindakan bunuh diri sejatinya merupakan penyimpangan akal dan fitrah manusia dan sejenis penyakit kejiwaan yang harus segera diobati. Kita jumpai dewasa ini terdapat sentral-sentral pengobatan untuk mengobati jenis penyakit ini. dan para dokter banyak menggunakan cara-cara psikologis untuk mengobatinya.

2. Agama Islam juga dimana seluruh aturannya berdasarkan akal, fitrah dan realita, memandang haram dan terlarang perbuatan bunuh diri dan melenyapkan nyawa sendiri.

3. Dalam perspektif pandangan dunia Islam (Islamic World View) dan berdasarkan ajaran-ajaran al-Qur'an dideklarasikan bahwa Allah Swt merupakan Pemilik alam semesta.[1] Allah Swt yang menganugerahkan segala nikmat ini kepada kita manusia adalah untuk digunakan demi pencapaian kesempurnaan dan kebahagiaan manusia sendiri.

Karena itu, menyia-nyiakan segala nikmat dan melenyapkannya bertentangan dengan keridhaan Sang Pemiliknya. Dan akal menghukumi bahwa sebagai penerima amanah, kita harus menjaga hal-hal yang diamanahkan kepada kita dan tidak melakukan perbuatan yang bertentangan dengan pandangan-Nya.

4. Poin yang lebih penting bahwa hikmah pelarangan dan keharaman bunuh diri dalam Islam bukan semata-mata penjagaan kehidupan seseorang yang ingin bunuh diri, melainkan dengan menetapkan hukum ini, Islam ingin menjaga dan memelihara kehidupan seluruh umat manusia dari bahaya kepunahan dan kemusnahan.

Tatkala perbuatan bunuh diri ditetapkan sebagai perbuatan haram dan terlarang dan siapapun tidak dibenarkan membunuh dirinya sendiri, yang dalam pandangannya bukan pemilik dan penguasa atas dirinya, tentu saja tidak akan ada izin untuk membunuh orang lain. Pelarangan dan keharaman merupakan penghalang dan pencegah berkembangnya penyakit sejenis ini dalam masyarakat dan pada orang-orang seperti ini.

Bagaimanapun orang-orang yang melakukan tindakan bunuh diri adalah orang-orang, telah terjangkiti penyimpangan dan penyakit. Hal ini dapat ditinjau secara mental dan rasional. Tentu saja orang-orang ini sedemikian sakit sehingga rela melenyapkan nyawanya sendiri dan tidak mengasihi dirinya, maka bagaimana mungkin dapat diharapkan ia akan mengasihi orang lain yang tak berdosa. Ia tidak akan segan-segan melakukan pembunuhan dan mencelakakan orang lain.

Meski terdapat beberapa pengecualian dalam hal ini, akan tetapi apabila aturan dan syariat secara umum memandang boleh melakukan bunuh diri dan berkata kepada orang-orang seperti ini bahwa Anda boleh membunuh diri sendiri, pada hakikatnya ia telah melakukan kejahatan kemanusiaan dengan membunuh manusia itu sendiri. Atas dasar ini, dalam Islam "bunuh diri" tergolong sebagai dosa besar dan orang-orang yang melakukan dosa besar ini diancam dengan azab yang sangat pedih.[2]


Catatan Kaki:
[1]. "Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (Qs. Al-Imran [3]:189)

[2]. Imam Shadiq As bersabda: "Barangsiapa yang melakukan bunuh diri dengan sengaja, maka ia akan masuk neraka Jahannam selamanya." Man la Yahdhur al-Faqih, jil. 4, hal. 95






17. Menurut anda, langkah-langkah apakah yang harus ditempuh untuk mempraktikkan nikah mut'ah?




Demi menghindari perbuatan zina, Al-Qur'an sangat menekankan nikah mut'ah (surat an-Nisa ayat: 24), sebagaimana pula Rasulullah Saw dan para Imam Maksum As sangat menekankah hal itu. Akan tetapi sangat disayangkan bahwa masyarakat kita yang mengaku mengikuti ajaran Islam, bukan hanya tidak mau mempraktikkan aturan itu dengan baik, bahkan terkadang mereka malah berusaha menghindarinya.

Percayalah bahwa mayoritas para pemuda kita tidak mengenal ketentuan nikah tersebut, atau apabila mereka mengetahuinya, mereka merasa takut untuk mempraktikkannya. Menurut Anda apa yang harus kami lakukan?

Agar para pemuda memperoleh ketenangan dan kedamaian, maka langkah yang tepat adalah membantu mereka untuk bisa melakukan nikah da'im (permanen). Memang tidak diragukan lagi bahwa bagi seorang pelajar atau mahasiswa yang tidak dapat melakukan nikah da'im (permanen), maka jalan yang paling baik, paling tepat dan paling selamat demi menghindari bisikan dan godaan setan adalah melakukan nikah mut'ah.

Karena Islam tidak membenarkan baik kebebasan seks tanpa ikatan, maupun rahbaniyah (seperti para pendeta yang menjauhkan wanita) dan menahan dorongan libido seks yang tinggi.

Islam sebagai agama yang paling semurna mensyariatkan dan membolehkan nikah mut'ah bagi sebagian orang yang mempunyai problem dan halangan untuk melakukan nikah da'im sehingga hal ini dapat dijadikan sebagai obat penenang (remedy) untuk sementara waktu.

Ketentuan ini merupakan salah satu kelebihan dan kemajuan positif fikih Syi'ah dan Ahlubait As yang di samping memberikan jawaban terhadap dorongan seksual secara da'im, juga dapat memberikan solusi sementara dan syar'i (dibenarkan oleh syariat) terhadap dorongan seksual sebagian orang.

Akan tetapi, sebagaimana yang telah Anda singgung, terdapat problem dalam menerapkan aturan syariat ini yang pada umumnya muncul karena kebodohan masyarakat umum. Sehubungan dengan hal itu Imam Ali as. Bersabda: "Manusia itu membenci terhadap segala hal yang tidak diketahuinya"[1]

Apabila kegunaan nikah mut'ah dapat dijelaskan dan disebarkan secara merata, maka dapat dipastikan bahwa masyarakat umum dan khususnya para wanita akan lebih siap untuk menerima aturan ini. Tetapi tidak adanya kesadaran mengakibatkan sebagian masyarakat menganggap aib (cela yang buruk) dan menjauhkan aturan tersebut.

Oleh karena itu, salah satu metode terbaik untuk memperkenalkan ajaran ini adalah dengan cara menjelaskan manfaat-manfaat dan kelebihan-kelebihannya melalui media massa umum baik dalam bentuk tulisan, audio dan berbagai pertemuan (konferensi, diskusi, dll).

Untuk menjelaskan sunnah dan tuntunan sakral ini kepada masyarakat umum, kami memandang perlu dijalin kerjasama yang baik antara para pemuda dengan para pengurus yang terkait. Karena untuk memulai usaha mulia ini diperlukan adanya seorang mutawalli (pengurus, manager) yang memiliki wawasan luas.

Maka untuk mencari solusi atas problema para pemuda tersebut sangat diperlukan pembentukan sebuah lembaga atau yayasan yang bertugas memberikan penerangan seputar masalah itu, bimbingan tentang bagaimana tatacara pelaksanaannya dan bantuan yang semestinya kepada para pemuda yang ingin mengamalkannya. Dan selama lembaga semacam ini belum terbentuk, maka Anda dan juga yang lainnya dapat mencari seseorang yang Anda anggap sesuai dan cocok melalui internet. []


Catatan Kaki:
[1] . Nahjul Balaghah, hikmah 172.



18
Tanya Jawab Masalah Akhlak

18. Rasulullah Saw:”Kebersihan merupakan "bagian dari iman”. Dan di tempat lain juga Nabi Saw bersabda: ”Dengan menikah, sebagian dari imannya menjadi sempurna”. Lantas bagaimana dengan shalat dan puasa?


1. Dari pertanyaan yang diajukan disebutkan bahwa sebuah riwayat dinukil dari Nabi Saw bahwa: ”Kebersihan merupakan sebagian dari iman”! dimana nukilan riwayat semacam ini tidak ditemukan dalam kitab-kitab hadis dan lain sebagainya.

2. Apa yang dinukil dari Nabi Saw di dalam kitab-kitab itu adalah:”an-nazhâfatu minal iimân”. Maknanya bahwa iman merupakan sumber dari kebersihan dan atau kebersihan itu membentuk sebagian dari iman tersebut. Jadi seorang mukmin punya perhatian khusus dalam masalah kebersihan.

3. Dengan memperhatikan sebagian riwayat-riwayat dari Nabi Saw yang mana beliau menitahkan bahwa: ”buniyaddînu ‘ala al-nazhâfati” (agama dibangun di atas kebersihan) dan juga dalam ungkapan-ungkapan para Imam Maksum As terkait masalah wudhu dan lain-lain dimana dikatakan: ”lâ shalâta illâ bithahûrîn”, mungkin dapat dikatakan, maksud dari nazhâfah (kebersihan) adalah thahârah (kesucian) dan tidak hanya shalat, bahkan tidak ada satu pun amalan yang dianggap sahih dan benar jika tanpa ada thahârah dan nazhâfah, kendati tahapan-tahapan dan pembagian thahârah itu (thahaarah dari hadats dan khubuts dan thahârah dari selain Allah Swt) berbeda-beda.

4. Dalam kacamata Islam, pernikahan dan membentuk rumah tangga, memiliki kekhususan tersendiri, karena dari satu sisi, pernikahan itu dianggap sebuah media untuk menjaga kesucian diri dan menjaga dari terjerumus ke hal-hal yang negatif (dalam kaitannya dengan nafsu hewani) dan juga memberikan ketenangan serta membantu guna mencapai kesempurnaan agama, dan pada sisi lain, penafian atas rahbaniyah (meninggalkan dunia dan segala kenikmatannya), hal itu dianggap menjadi penghalang atau kendala untuk sampai pada kesempurnaan dan kebahagiaan. Dengan padangan seperti inilah dimana pernikahan itu merupakan suatu media untuk menjaga sebagian agama.

5. Ungkapan “sebagian agama” bagi pernikahan, merupakan sebuah perkara yang mentradisi dan untuk menjelaskan suatu masalah yang sangat penting, banyak digunakan ungkapan dan redaksi semacam ini.

6. Shalat, puasa, haji, jihad, wilayat dan lain-lain adalah hal-hal yang banyak ditemukan ungkapan-ungkapan terkait dengannya dalam riwayat-riwayat dan teks-teks agama dan demikian juga dalam masalah-masalah pernikahan dan kebersihan tidak kalah banyaknya ungkapan-ungkapan terkait dengannya dalam riwayat-riwayat dan teks-teks agama tersebut.

7. Dalam riwayat-riwayat yang demikian banyak, telah dijelaskan ihwal batasan-batasan dan bagian-bagian Islam dan Iman, seperti tawakkal, menyerahkan segala perkara kepada Allah Swt, rela dengan ketentuan Allah Swt, pasrah, baik dan benar, berkorban, ilmu dan sabar, shalat, wilâyah, dan lain-lain dan penisbahan bahwa nikah adalah ”sebagian dari agama” itu merupakan perkara yang sifatnya relatif (nisbi) saja.

Dalam pertanyaan tersebut, sebuah riwayat yang dinukil dari Nabi Saw dimana model seperti ini tidak memiliki wujud luar. Dalam kitab mana disebutkan bahwa kebersihan sebagian dari iman? Apa yang terdapat dalam sumber-sumber hadis adalah bahwa sebuah hadits diriwayatkan dari Rasulullah Saw yang redaksinya seperti ini:”al nazhâfatu min al-îman”.[1]

Kebersihan berasal dari iman. Dan hal ini bermakna bahwa seorang beriman, seperti karena seorang mukmin maka tentunya ia juga bersih dan sumber kebersihan itu adalah iman atau bahwa kebersihan membentuk sebagian dari iman itu dan tidak bisa dibenarkan orang yang mengklaim dirinya mukmin tapi tidak punya perhatian terhadap kebersihan, jadi pastinya bahwa kata “sebagian” itu tidak ada dalam riwayat-riwayat sehingga dalam pertanyaan itu ada semacam kesulitan.

Khususnya lagi kebersihan itu tidak dapat dibatasi hanya pada hal-hal semacam mencuci tangan, wajah, pakaian dan rumah serta yang lainnya; akan tetapi hal itu memiliki pengertian yang lebih umum dan dengan mengkaji hal-hal tersebut, kita bisa meraih sebuah hasil dimana shalat, puasa dan lain sebagainya juga bisa termasuk.

Dengan kata lain, kebersihan dimaknai dengan thaharah (kesucian) yang mana ketika itu, jika pemikiran dan amal seorang manusia tidak diserta dengannya (thaharah) maka tidak akan membuahkan hasil. Jadi tidak hanya tidak bisa dikatakan bahwa: “tidak ada shalat kecuali dengan thaharah”[2], bahkan tak ada satu pun amalan tanpa thaharah dan kebersihan dianggap benar dan dikabulkan dan kalau sudah seperti ini, maka iman tanpa kebersihan tidak akan terealisasi.

Tambahan, pada bagian-bagian yang mana dijelaskan dalam riwayat-riwayat yang terkait dengan kadar ukuran dan kuantitasnya, itu hanya melihat kuantitas dari aspek relatifitasnya saja. Misalnya kalau dikatakan bahwa dengan menikah sebagian dari iman seseorang menjadi sempurna; yakni ketika membandingkan antara orang yang sudah menikah dengan orang yang belum menikah, orang yang sudah menikah itu lebih senang dan lebih santai dan dengan pikiran tenang ia dapat beribadah serta melaksanakan perintah Allah Swt secara lebih baik dan ia telah melintasi sebagian jalan, namun seseorang yang belum menikah akan selalu berhadapan dengan berbagai masalah dalam menjaga dan memelihara iman dan lain sebagainya. Jadi menikah dapat dikatakan merupakan faktor penting dalam perkara ini.

Diriwayatkan dari Nabi Saw bahwa beliau besabda: ”Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian yang punya kemampuan, hendaknyalah menikah, karena menikah itu dapat menahan pandangan lebih baik kepada seorang yang non-muhrim dan memberikan kesucian diri yang lebih baik...”.[3]

Dalam Islam dari satu sisi terkait dengan unsur positif nikah itu sangat ditekankan bahwa: pernikahan ini merupakan sebuah media untuk meraih ketenangan dan ketentraman, dan menjadi sebab untuk cinta dan sayang. Dengan menikah, tekanan adanya keinginan seksualitas bisa teratasi, ruh dan jiwa pemuda yang dipenuhi oleh rasa ketidak tentraman dan lainnya dapat menemukan keberimbangan, dapat memahami lebih baik tentang hakikat hidup dan segera melangkahkan kaki di atas jalan menuju agama dan kesempurnaan dengan lebih cepat.

Dan sejatinya, ketentraman nikah itu bisa lebih dipahami oleh orang-orang yang pernah merasakan betapa beratnya hidup dalam keadaan sendiri dan orang-orang yang mengetahui tentang keadaan jiwa dan ruh yang penuh dengan kekhawatiran dan ketidak tenangan para pemuda yang belum menikah.

Dan dari sisi lain, hidup secara rahbaniyah (meninggalkan dunia dengan segala kenikmatannya) dianggap tidak terpuji dan telah dilarang. Rasulullah Saw bersabda: ”Tidak ada rahbaniyah pada umat-ku...”[4], dan meninggalkan pernikahan dan wanita dan kehidupan dan lain-lain dimana sebagian (Utsman bin Mazh’uun, salah seorang sahabat Rasulullah Saw) menjalani metode hidup seperti ini, merupakan hal yang tidak diterima dan diridhai Rasulullah Saw, dalam kaitan ini, beliau Saw bersabda: ”Aku tidak diutus oleh Allah Swt untuk hidup secara RAHBANIYAH, akan tetapi Allah mengutusku dengan membawa sebuah agama yang adil dan mudah serta tidak susah. Saya berpuasa, saya shalat dan dengan para istri....barangsiapa yang menyukai agama fitrah-ku, maka ia harus mengamalkan sunnah dan cara-ku dan nikah merupakan salah satu cara dan sunnah-ku...”.[5] dan pada sisi inilah serta dengan cara pandang inilah menikah itu dianggap sebagai pelengkap sebagian iman, dan ungkapan-ungkapan semacam ini banyak ditemukan dalam riwayat-riwayat Imam Maksum As.

Dan ini merupakan sebuah perkara yang sifatnya mentradisi, dalam artian bahwa kalau kita ingin menjelaskan kepada teman kita tentang sebuah pekerjaan yang sangat penting, maka kita mengatakan seperti ini bahwa kalau kamu melaksanakan pekerjaan ini, maka kamu telah menempuh sebagian dari jalan tersebut dan sebagian dari masalah kamu dikarenakan bahwa kamu telah terlibat melakukan sebuah pekerjaan dan pada dasarnya mungkin maknanya tidak seperti ini dimana kalau dihitung secara teliti, sebagian dari jalan atau masalah, akan tetapi maksudnya adalah dimana pekerjaan ini memiliki saham besar dalam menyelesaikan persoalan atau mewujudkan masalah.

Tentunya, jangan pula lalai dari poin ini bahwa kemungkinan pada sebagian masalah, hakikat adalah satu hal, misalnya tergantung pada dua hal dan masalah-masalah lain juga punya peran dalam kesempurnaannya. Umpamanya kalau kita punya sebuah riwayat dimana kebersihan sebagian dari iman dan menikah juga sebagian dari iman, kita bisa mengatakan bahwa hakikat iman itu bisa langgeng dengan dua pilar dan tanpa keduanya, iman itu tidak akan terealisasi dan shalat, puasa dan lain-lain dalam hal ini punya peran yang mana bisa lebih menyempurnakan dan memperkuat iman tersebut; karena iman merupakan satu kondisi hati dimana banyak faktor-faktor yang bisa berpengaruh dalam memperkuatnya.

Nah, karena ungkapan semacam ini tidak ada. selain bahwa pentinng dan peranan shalat dalam Islam dan dampaknya dalam kehidupan pribadi dan sosial orang-orang dan lain sebagainya adalah sesuati yang tdaik bisa dipungkiri oleh siapa pun juga.[6] Shalat juga merupakan tiang agama[7] dan zikir dan mengingat Allah Swt,[8] dan pendekat setiap orang takwa[9] merupakan salah satu pondasi dasar Islam,[10] timbangan amal-amal[11] dan lain-lain dan meninggalkannya (sengaja atau menganggap remeh) adalah kafir.[12] Juga amalan-amalan lain seperti puasa, jihad, wilayah dan lain-lain dimana memiliki peran yang sangat penting dalam ajaran agama Islam dan ungkapan-ungkapan yang khusus berkaitan dengannya dalam teks-teks agama itu tidak kalah banyaknya dengan ungkapan-ungkapan yang ada kaitannya dengan pernikahan dan kebersihan.

Tentunya, sebagaimana yang dikatakan sebelumnya bahwa kebersihan itu tidak hanya ada pada apa yang populer di kalangan masyarakat dan ia memiliki makna yang lebih luas dimana ia mungkin juga mencakup hal-hal diantaranya kebersihan badan dari hadats dan khubuts, dan kebersihan hati dari akhlak buruk dan tidak islami. Berdasarkan hal inilah sehingga ada pada sebagian sumber, riwayat-riwayat yang dinukil dari Rasulullah Saw, dimana beliau Saw bersabda: ”Agama dibangun atas dasar kebersihan”.[13] Atau apa yang berkenaan dengan masalah wudhu dan mandi dan lain-lain ditemukan dalam sabda-sabda para Imam Maksum itu bermakna sebagai thahuur (penyuci).[14]

Terakhir, perlu disebutkan hal ini bahwa dengan merujuk ke riwayat-riwayat dimana “iman” dan “bagian-bagian serta rukun-rukun iman” dan “Islam” dan “bagian-bagian Islam” dan lain-lain tersebut dijelaskan, maka secara sempurna akan jelaslah bahwa bagian-bagian dan rukun-rukun Islam dan Iman itu tidak hanya ada pada pernikahan dan kebersihan dan lain sebagainya. Misalnya:

1. Abu Hamzah menukil dari Imam Baqir As bahwa Imam bersabda:”Islam itu dibangun diatas lima pilar: shalat, zakat, puasa, haji dan wilayah...”.[15]

2. Imam Shadiq As dalam menjawab pertnyaan ini dimana terkait dengan definisi Iman, bersabda: ”Bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah Swt, Rasulullah Saw utusan-Nya, mengakui apa yang datang dari Allah Swt, shalat lima waktu, mengeluarkan zakat, puasa pada bulan ramadhan, menunaikan ibadah haji, dan berwilayah adalah sahabat kami dan memusuhinya adalah musuh kami dan...”.[16]

3. Imam Shadiq As dari Imam Baqir As, dan beliau menukil dari Imam Ali As dimana beliau bersabda:”iman itu memiliki 4 rukun: tawakkal kepada Allah Swt, menyerahkan urusan kepada Allah Swt, ridha dengan ketentuan dan qadha Allah Swt dan pasrah kepada perintah Allah Swt”.[17]

4. Imam Shadiq As bersabda:”Allah Swt meletakkan iman itu pada 7 bagian: kebaikan dan kebenaran, yakin, ridha, setia, ilmu dan sabar,...”.[18][]


Catatan Kaki:
[1] .Bihâr al-Anwâr, jil. 59, hal 291, bab 89; Muhaddits Nuri, Mustadrak al-Wasâil, jil. 16, hal 319, bab Istihbâb takhlîl al-Insân; Abul ‘Abbas Mustagfiri, Thibb al-Nabi, hal 19.

[2] . Bihâr al-Anwâar, jil. 42, hal 245.

[3] . Muhaddits Nuri, Mustadrak al-Wasâil, jil. 2, hal. 531, hadits 21.

[4] . Bihâr al-Anwâr, jil. 70, hal 115.

[5] . Wasâil al-Syi’ah, jil. 14, hal 74.

[6] . Indeks: Shalat.

[7] . Bihâr al-Anwâr, jil. 82, hal 201; Nahj al-Balâghah, surat 47.

[8] .Qs. Thahaa (20): 14.

[9] . Nahj al-Balâghah, hikmah 136.

[10] . Bihâr al-Anwâr, jil. 82, hal 234.

[11]. Al-Kâfi, jil. 3, hal 267, hadits 13; al-Faqîh, jil. 1, hal 33, hadits 622; Wasâil al-Syi’ah, jil. 3, hal 22, bab 8, hadits 8.

[12] . Bihâr al-Anwâr, jil. 82, hal 216-217.

[13]. Mahajjatul Baidhâ, jil. 1, hal 281.

[14] . Wasâil al-Syi’ah, kitab Thahârah; Imam Khomeini, Adab al-Shalah, hal 55-94 dan lain-lain.

[15] . Bihâr al-Anwâr, jil. 68, hal 329, juga hal 225-396.

[16] . Ibid, hal 330, hadits 4.

[17] . Ibid, hal 340 dan 341, hadits 12.

[18] . Ibid, jil. 69, hal 159.



19
Tanya Jawab Masalah Akhlak

19. Apa yang harus dilakukan dan berdayaguna sehingga kita dapat menyatukan ilmu dan amal?


Kita semua tahu alangkah banyaknya orang alim dan berilmu. Akan tetapi amat disayangkan (kebanyakan) di antara kita adalah ahli ilmu tapi bukan ahli amal. Pertanyaan yang ingin saya ajukan adalah apa yang harus dilakukan dan berdaya guna sehingga tidak terbentang jarak yang menganga antara ilmu dan amal?

Prinsip-prinsip Islam menegaskan bahwa ilmu dan pengetahuan akan bermakna dan bermanfaat tatkala disertai dengan amal kebaikan. Namun demikian kita menyaksikan bahwa sebagian orang berilmu memandang enteng dalam mengerjakan amal saleh. Boleh jadi hal ini bersumber dari pelbagai dalil. Di antara dalil tersebut adalah bahwa mereka hanya mempelajari pelbagai terminologi dan belum menjadi ilmuwan sejati, tidak menunaikan hak ilmunya, memilih dunia atas akhirat dan tidak memanfaatkan ilmu dengan baik.

Mereka beranggapan bahwa apa yang selama ini mereka kerjakan telah memadai dan melalaikan apa kata Allah dan para wali-Nya. Memandang bahwa Tuhan itu Maha Pengampun dan Pemberi maaf. Mereka telah terjerembab pada waswas setan dan selalu menunda-nunda tatkala ingin mengerjakan kebaikan. Sesungguhnya mereka telah didominasi oleh makar Ilahi. Mereka beranggapan bahwa segala kedudukan dan harta yang didapatkan merupakan tanda keridhaan Tuhan kepadanya dan seterusnya.

Sebab itu, untuk menutupi segala kekurangan di atas manusia mesti berusaha dan senantiasa mengingat, berzikir kepada Allah Swt dan selalu mencari apa yang menjadi keridhaan Allah Swt.

Akan tetapi, bagaimanapun, kita tidak boleh berburuk sangka kepada orang-orang beriman; khususnya kepada ulama dan beranggapan bahwa mereka semua tidak mengerjakan amal saleh dan kebaikan-kebaikan. Karena jelas bahwa kebanyakan perbuatan baik, tidak tampak lahir dan luput dari perhatian orang lain.

Boleh jadi alangkah banyaknya orang yang tidak terlalu terkenal dalam ibadah dan amal saleh namun sejatinya merupakan para kekasih Allah Swt yang tentu saja orang-orang yang melakukan dosa secara terang-terangan tidak termasuk dalam hitungan ini.

Kita memahami dan sepakat dengan kerisauan Anda. Karena para imam maksum as juga melaknat orang-orang yang semata-mata bertutur kata namun tidak beramal.[1] Sampai-sampai para imam maksum menyerupakan mereka dengan pemanah tanpa anak panah.[2] Banyak faktor yang menyebabkan orang banyak dikenal karena ilmunya namun tidak dikenal karena amalnya. Sebagian faktor tersebut adalah:

1. Tidak memiliki pengetahuan sejati: Sebagian orang secara lahir adalah alim, sementara pada kedalaman jiwa mereka hampa dan kosong pengetahuan Ilahi. Mereka sekedar belajar beberapa istilah dan terminologi, sehingga dengan bantuan istilah ini, mereka dapat memperoleh kedudukan dan posisi di kalangan masyarakat.

Orang-orang seperti ini, menyitir Abu Dzar al-Ghiffari, tidak akan pernah mencium semerbak bau surga,[3] dan tentu saja karena tidak memiliki niat yang tulus, mereka akan menggunakan segala cara untuk sampai pada tujuan utamanya. Meski harus membenamkan ajaran-ajaran agama.

2. Lebih memilih kehidupan dunia atas kehidupan akhirat: Dalam kehidupan keseharian kita berhadapan dengan para pemuda yang menerima segala yang menyenangkan dari kedua orang tuanya seperti perjalanan ke luar negeri, laptop, mobil dari satu sisi. Sementara, dari sisi lain, dengan dukungan penuh material dan spiritual setelah menikah, mereka yakin bahwa kedua orang tua mereka tidak berkata dusta kepada mereka. Akan tetapi, apa yang mereka kejar sekarang, membuat mereka lalai melupakan keuntungan-keuntungan yang kelak diperoleh di masa mendatang! Sangat disayangkan, di antara ulama juga kita akan menyaksikan hal sedemikian! Terkait dengan salah seorang dari mereka (Bal'am Bau'ra) al-Quran menjelaskan demikian, Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami, kemudian ia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu ia diikuti oleh setan (sampai tergoda), maka jadilah ia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu. Tetapi dia cenderung kepada dunia dan menuruti hawa nafsunya yang rendah. Perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya, anjing itu menjulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya, ia menjulurkan lidahnya (juga). (Ia sangat haus terhadap dunia sehingga tidak pernah terpuaskan). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir (QS al-A'raf [7]:175-176) Merasa takjub sedemikian tinggi terhadap kehidupan material (baik uang dan harta atau kedudukan dan pangkat) merupakan salah satu perkara yang sangat berbahaya yang senantiasa menghantui ulama. Untuk dapat selamat dari marabahaya ini, mereka mesti mencari pertolongan kepada Allah Swt dan harus berusaha bertungkus lumus melawan kecenderungan ini. Kalau tidak demikian, sesuai dengan tuturan para imam maksum, kita harus meragukan keberagamaan mereka.[4]

3. Tidak memanfaatkan bashirah (visi) agama: Terkadang manusia di antaranya adalah ulama melakukan pelbagai perbuatan yang mereka pandang dapat dibenarkan dan beranggapan bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan baik dan terpuji. Padahal sejatinya yang terjadi adalah sebaliknya. Allah Swt dalam memperkenalkan orang-orang seperti ini, berfirman, Katakanlah, “Apakah akan Kami memberitahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatan mereka?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. (QS al-Kahfi [18]:103-104)

Keyakinan semacam ini akan tetap hingga detik-detik terakhir kematian orang-orang ini. Mereka berkata kepada para malaikat bahwa kami tidak melakukan amal keburukan![5] Dalil atas kesalahan dan kekeliruan ini adalah bahwa setan senantiasa berada pada tataran ingin menjatuhkan manusia ke dalam kubangan kesalahan dan memperindah segala keburukannya.[6] Dan celakanya orang-orang sedemikian tidak kuasa memanfaatkan visi agama yang dimilikinya dengan baik sehingga mereka dapat membedakan antara hak dan batil. Dengan kata lain, nampaknya dalam memilih metode dan jalan yang tepat mereka seperti orang-orang buta[7] meski memiliki mata namun mereka tidak menggunakannya sehingga tersesat.[8]

4. Merasa cukup dengan amal kebaikan yang telah dikerjakan: Sebagian orang memiliki latar belakang amal kebaikan, seperti jihad, zakat, haji dan sebagainya. Setan, dengan waswas yang dilancarkannya, membisikkan kepadanya bahwa apa yang telah dikerjakan itu sudah cukup dan telah memadai untuk sampai pada kebahagiaan! Padahal manusia sekali-kali tidak boleh merasa cukup dengan amal kebaikan yang telah ia perbuat. Karena boleh jadi, ia akan berhadapan dengan terhapusnya dan tidak bermanfaatnya segala perbuatan yang telah dilakukan di masa lalu.[9]

5. Lalai bahwa Allah dan para wali-Nya mengawasinya: apabila manusia mengetahui bahwa segala yang dilakukannya mendapatkan pengawasan dan kontrol orang lain secara lahir, maka sedapat mungkin ia akan mengurangi tingkat kesalahan dan kekeliruan yang dilakukannya. Namun apabila pengawasan dan kendali tersebut dilakukan sembunyi-sembunyi dan tidak terlihat oleh seorang pun, nampaknya mereka akan merasakan keamanan dan beranggapan bahwa mereka dapat melakukan kesalahan sesuka hatinya! Atas alasan ini, para pengemudi yang suka melanggar akan senantiasa berusaha tampil taat di hadapan polisi. Namun tatkala polisi tidak nampak di hadapan mata, maka sedapatnya ia akan melakukan kesalahan dan pelanggaran. Makanya, boleh jadi di jalan-jalan antarprovinsi atau perempatan yang terdapat kamera sembunyi di sana, ia akan melakukan pelanggaran.

Sama halnya apabila kita tidak menyaksikan dengan mata kepala akan adanya orang yang mengawasi seperti Tuhan atau para wali-Nya maka dengan mudah kita akan melakukan kesalahan. Atas dasar ini, Allah Swt, puluhan kali dan ratusan kali, menyatakan kehadiran dan pengawasan-Nya kepada kita.[10] Dan kita harus yakin akan adanya pengawasan ini dalam diri kita sehingga kita tidak mudah melakukan kesalahan.

6. Berharap terhadap ampunan Tuhan: Orang-orang beriman meyakini bahwa Tuhan dan para wali-Nya senantiasa hadir dan mengawasi gerak-gerik mereka. Akan tetapi, melabuhkan harapan dan asa berlebihan kepada rahmat Tuhan dan ampunan-Nya dari segala kesalahan akan menciptakan sebuah kondisi sehingga hasilnya adalah tidak sinkronnya antara ilmu dan amal. Terkait dengan orang-orang seperti ini, Imam Shadiq as bersabda, "Apabila kalian tahu bahwa Allah Swt mengawasimu dan maka kalian akan menghindar dari melakukan perbuatan tercela. Akan tetapi, ketika kalian melakukan dosa di hadapan-Nya maka seolah-olah kalian telah menganggap Tuhan sebagai pengawas yang tidak ada bernilai sama sekali."[11] Akan tetapi, kita membaca dalam doa-doa yang sering dibacakan terkait dengan masalah ini, memohon ampun dan mengaku bersalah dan menjelaskan, ”Tuhanku! Aku melakukan dosa bukan karena memandang-Mu sebagai pengawas yang tidak bernilai. Melainkan karena aku tahu bahwa Engkau mengampuni dosa-dosaku. Dan bahwa Engkau sabar dan tabah sehingga Engkau tidak akan tergesa-gesa dalam mengazabku."[12]

7. Menunda-nunda (taswif): Dengan memperhatikan berita gembira Tuhan bahwa Dia menerima taubat orang-orang yang bertaubat, salah satu waswas setan adalah membisikkan bahwa kesempatan untuk bertaubat dan berbuat kebaikan masih luas dan karena itu, orang-orang terkadang menunda-nunda perbuatan baik! Dalam hal ini, orang-orang beriman harus memperhatikan hal-hal ini bahwa: Pertama, taubat tidak berguna sama sekali tatkala kematian datang menjemput.[13] Kedua, kematian adalah suatu hal yang tidak dapat diprediksi, kapan saja dan dimana saja siap datang menjemput manusia.[14] Dengan memperhatikan dua perkara ini, kita tidak boleh menunda-nunda dalam mengerjakan kebaikan.

8. Istidraj: Sekelompok orang, mendapatkan nikmat Ilahi di dunia ini dan memandang kemajuan dan perolehannya dari harta duniawi itu merupakan tanda keridhaan dan perhatian khusus Tuhan kepadanya. Meski, anggapan seperti ini boleh jadi ada benarnya pada kebanyakan perkara.[15] Akan tetapi, harus dicermati bahwa apabila hal itu berlaku tanpa amal saleh, namun ragam kenikmatan dan kemakmuran melimpah pada kehidupan manusia, maka boleh jadi hal ini merupakan sebuah pertanda makar Ilahi (istidraj) dan banyak berujung dengan nestapa dan penderitaan.[16]


Delapan hal yang telah diuraikan di atas merupakan beberapa faktor yang dapat dijadikan sebagai indikator bahwa meski manusia itu berilmu tetapi pada tataran praktik hampa amalan dan perbuatan. Kita sedapat mungkin harus berupaya untuk memenuhi kehampaan ini. Atas dasar ini, satu-satunya yang dapat mengantarkan manusia untuk berjumpa dengan Tuhan adalah amal saleh.[17] "Dzikir" atau mengingat Tuhan[18] juga "tadzakkur" atau mengingatkan merupakan sebaik-baik jalan bagi manusia untuk dapat memanfaatkan ilmu dan pengetahuan. Artinya ia harus senantiasa mengingat Tuhan dan segala yang diketahui senantiasa diulang-ulang bagi diri dan orang lain.[19] Ibadah-ibadah merupakan hal-hal yang diulang-ulang. Seperti shalat juga merupakan pengingat praktis yang bila dipahami dengan benar akan menjauhkan manusia dari kelalaian dan mencegahnya dari segala keburukan dan kemungkaran.[20]

Akhir kata, kiranya kita perlu mengingat poin penting ini bahwa kaum ulama juga seperti orang-orang beriman lainnya dengan adanya segala perbuatan yang dilakukan, boleh jadi suatu waktu melakukan kesalahan-kesalahan kecil.[21] Akan tetapi, masalah ini tidak akan menciderai keimanannya. Karena itu, kita tidak boleh berburuk sangka pada seluruh ulama dan bahkan orang-orang mukmin biasa bahwa mereka tidak memiliki amalan dan perbuatan baik. Lantaran amal kebaikan tidak terbatas pada yang lahir saja yang pada galibnya terlihat dan dapat mengundang pujian orang lain. Sebaliknya kita harus ragu terkait dengan keberagamaan seseorang apabila ia berada pada tataran memamerkan dan ingin membuat dirinya terkenal sebagai seorang abid (ahli ibadah) dan amil (ahli amal).[22] Dan juga harus diketahui bahwa boleh jadi amal-amal kebaikan tidak tampak oleh mata tetapi ganjaran dan pahala yang diterima melebih ibadah-ibadah biasa. Atas alasan ini, orang-orang yang kita pandang sebagai tidak beramal, sejatinya memiliki tingkatan yang lebi tinggi daripada orang lain.[23]

Karena itu, orang-orang yang secara terang-terangan melakukan dosa atau biasa disebut sebagai "mujahir bi fisq", yang atas dasar ini dibolehkan menggunjing mereka,[24] harus dikecualikan dari hal ini. Adapun dalam kaitannya dengan ulama dan orang beriman lainnya kita harus berpikir positif.[]


Catatan Kaki:
[1] Muhammad bin Hasan, Hurr al-Amili, Wasail al-Syiah, jil. 16, hal. 280, hadis ke-21555, Muassasah Ali al-Bait, Qum, 1409.

[2] Ibid, jil. 7, hal. 145, hadis ke-8692.

[3] Syahid Tsani, Muniyat al-Murid, hal. 142, Intisyarat Daftar-e Tablighat Islami, Qom, 1409 H.

[4] Muhammad bin Ya'qub Kulaini, Al-Kafi, jil. 1, hal. 46, hadis ke-4, Dar al-Kitab al-Islamiyah, Teheran, 1365 S.

[5] “Kami sekali-kali tidak mengerjakan sesuatu kejahatan pun.” (QS Al-Nahl [16]:28)

[6] "Demi Allah, sesungguhnya Kami telah mengutus para rasul Kami kepada umat-umat sebelum kamu, tetapi setan menghiasai perbuatan mereka (yang buruk) bagi mereka. Maka setan menjadi pemimpin mereka di hari itu dan bagi mereka azab yang sangat pedih." (QS al-Nahl [16]:63); Apakah orang yang pekerjaan buruknya dihias indah (oleh setan) sehingga dia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan orang yang melihat realita sebagaimana adanya)? (QS Fathir [35]:8); "Setan itu balik ke belakang seraya berkata, “Sesungguhnya saya berlepas diri darimu; sesungguhnya saya dapat melihat apa yang kamu sekalian tidak dapat melihat; sesungguhnya saya takut kepada Allah. Dan Allah sangat keras siksa-Nya.” (QS al-Anfal [8]:48).

[7]. "Dan Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka; (mereka tidak akan pernah beriman) seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al-Qur’an) pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat." (QS al-An'am [6]:110)

[8]. "Dan setan menghiasai perbuatan-perbuatan mereka, lalu ia menghalangi mereka dari jalan (Allah), sedangkan mereka adalah orang-orang yang berpandangan tajam." (QS al-Ankabut [29]:38).

[9]. "Dan Allah akan menghapuskan (pahala) amal-amal mereka. Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada rasul dan janganlah kamu merusakkan amal-amalmu." (QS Muhammad [47]:32-33); supaya tidak terhapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari." (QS al-Hujurat [49]:2); Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan. (QS Hud [11]:15-16); Mereka itu tidak beriman, maka Allah menghapuskan (pahala) amal mereka. Dan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah (QS al-Ahzab [33]:19); Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan mengungkit-ungkit dan tindak menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia dan ia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaannya adalah seperti batu licin yang di atasnya terdapat tanah, lalu hujan lebat menimpanya, dan ia menjadi bersih nan licin (tak bertanah). Mereka tidak mampu (mendapatkan) sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan, dan Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir (QS al-Baqarah [2]: 264).

[10] QS Yunus [10]:61; Taubah [9]:105; Ibrahim [14]:42. Allah Swt dengan menggunakan ragam redaksi mendeklarasikan pengawasan-Nya atas perbuatan manusia. Sebagai contoh: redaksi "khabir" … digunakan sebanyak lebih dari 40 kali dalam al-Quran.

[11] Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 67, hal. 386, hadis ke-48, Muasassah al-Wafa, Beirut 1404 H.

[12] Ibid, jil. 95, hal. 84, penggalan doa Abu Hamzah Tsumali.

[13] QS an-Nisa [4]: 18; al-Mukminun [23]: 99-100.

[14] QS al-An'am [6]: 47; A'raf [7]:95; Nahl [16]:45.

[15] QS Yusuf [12]:101.

[16] QS Al-An'am [6]:44; A'raf [7]:182.

[17] QS al-Kahfi [18]:110.

[18] QS ar-Ra'ad [13]:28.

[19] QS Qaf [50]:45; al-A'la [87]:9; adz-Dzariyyat [51]:55.

[20] QS al-Ankabut [29]:45.

[21] QS at-Taubah [9]:102.

[22] Wasâil al-Syiah, jil. 1, hal. 79, hadis ke-179.

[23] Ibid, jil, 16, hal. 248, hadis ke-21478.

[24] Ibid, jil. 12, hal. 289, hadis ke-16328.



20