• Mulai
  • Sebelumnya
  • 23 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Pengunjung: / Download:
Ukuran Ukuran Ukuran
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib AS.

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib AS.

Indonesia
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib AS. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib AS.

Judul: "Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib"

Penulis: Tim penyusun Majma' 'Alami li Ahli Bayt

Penerjemah: Saleh Lapadi

Produser: Divisi penerjemahan Departemen

Kebudayaan Majma' 'Alami li Ahli Bayt

Tim redaksi: Penyunting:

Pemeriksa akhir:

Lay out:

Disain sampul:

Penerbit: Majma' 'Alami li Ahli Bayt

Cetakan : Pertama

Tahun dicetak: 2005

Tiras: 5000

Percetakan: Leyla

e-mail: www.ahl-ul-bait.org

ISBN: 964-

Hak cipta untuk Majma' 'Alami li Ahli Bayt dilindungi oleh undang-undang


1
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib AS.


DAFTAR ISI
Kata Pengantar

Pendahuluan

Bab I: Imam Ali bin Abi Abi Thalib AS. berdasarkan teks

Kesan dan pengaruh kepribadian Imam Ali bin Abi ThalibAS.

Sifat-sifat Imam Ali bin Abi Thalib AS:

Ibadah dan ketakwaan

Kezuhudan

Penolakan dan keluhuran budi

Menjaga harga diri

Kebenaran dan keikhlasan

Keberanian

Keadilan

Rendah hati

Kesucian

Kedermawanan

Ilmu dan pengetahuan

Bab II: Kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib

Nasab Ali bin Abi Thalib

Kakek

Ayah

Ibu

Periode kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib

Imam Ali bin Abi Thalib sejak lahir hingga menjadi Imam

Periode pertama : Sejak lahir hingga bi'tsah

Kelahiran

Laqab dan Kunyah

Nabi mempersiapkan Ali

Periode kedua : Sejak bi'tsah hingga hijrah

Ali orang pertama yang beriman kepada Rasulullah saw

Ali bin Abi Thalib orang pertama yang melakukan salat

Ali bin Abi Thalib orang pertama yang melakukan salat jamaah dalam Islam

Ali pada masa dakwah terang-terangan

Hadis Yaum Al-Indzar

Ali sejak dakwah terang-terangan hingga hijrah

Ali bin Abi Thalib di Syi'b Abi Thalib

Ali bin Abi Thalib dan hijrah ke Thaif

Ali bin Abi Thalib pada baiat 'aqabah kedua

Ali bin Abi Thalib dan malam hijrah Nabi dari Mekkah ke Madinah

Kebanggaan Allah dan malaikat-Nya terkait dengan sikap Ali bin Abi Thalib

Pekerjaan-pekerjaan penting setelah malam hijrah

Ali bin Abi Thalib berhijrah

Beberapa makna tidurnya Ali bin Abi Thalib di pembaringan Nabi

Periode ketiga: Ali bin Abi Thalib semenjak hijrah hingga wafat Nabi

1. Ali bin Abi Thalib dan persaudaraan

2. Perkawinan Ali bin Abi Thalib dan Fathimah AS.

3. Ali bin Abi Thalib bersama Nabi dalam peperangan

a. Ali bin Abi Thalib di perang Badr

b. Ali bin Abi Thalib di perang Uhud

Kondisi-kondisi setelah perang Uhud

c. Ali bin Abi Thalib di peperangan Khandaq

d. Ali bin Abi Thalib di Shulh Hudaibiah (gencatan senjata Hudaibiah)

e. Ali bin Abi Thalib di peperangan Khabar

f. Ali bin Abi Thalib di Fathu Mekkah (pembebasan kota Mekkah)

Ali naik ke pundak Rasulullah untuk meruntuhkan patung-patung

g. Ali bin Abi Thalib di peperangan Hunain

h. Ali bin Abi Thalib di peperangan Tabuk

Penyampaian surat Bara'ah (surat At-Taubah)

Ali bin Abi Thalib Di Yaman

Inti dan tujuan perbuatan Nabi

Ali bin Abi Thalib di Hajjah Al-Wada' (haji perpisahan)

Ali pada peristiwa Ghadir Khum, pemimpin kaum muslimin

Peristiwa Harits bin Nu'man dan ayat Sa'ala Sailun bi 'Adzabin Waqi'

Usaha-usaha Rasulullah memperkuat baiat kepada Ali bin Abi Thalib

Nabi sakit dan pengiriman pasukan Usamah

Sebuah pandangan

Ali bin Abi Thalib bersama Nabi di akhir ajalnya

Bab III: Zaman Imam Ali bin Abi Thalib AS.

Kejadian wafat Rasulullah

Kelompok Quraisy dan Anshar di Saqifah

Analisa pertemuan Saqifah

Pandangan Qurasiy tentang khilafah

Beberapa rencana untuk menggulingkan Ali dari kekhalifahan

Peristiwa Saqifah dan dampak negatifnya

Sikap Ali bin Abi Thalib dan pertemuan Saqifah

Sikap Abu Sufyan

Para oposan Saqifah

Hasil-hasil Saqifah

Imam Ali bin Abi Thalib AS. di zaman Abu Bakar

Rencana penguasa menghadapi oposan

Argumentasi para penentang khalifah terpilih di Saqifah

Upaya pemaksaan baiat kepada Ali bin Abi thalib

Imam Ali AS. dan kesulitan-kesulitan pasca Saqifah

Imam Ali bin Abi Thalib dan proses pengumpulan Al-Quran

Sikap Ali bin Abi Thalib di zaman Abu Bakar

Wasiat Abu Bakar kepada Umar bin Khatthab

Keberatan terhadap wasiat Abu Bakar

Imam Ali bin Abi Thalib di zaman Umar bin Khatthab

Bentuk-bentuk perilaku Umar bin Khatthab

Malapetaka syura (penetapan enam orang kandidat pemilih khalifah)

Keberatan terhadap syura

Dialog Ibnu Abbas dengan Umar bin Khatthab seputar kekhalifahan

Sikap Ali bin Abi Thalib dan Syura

Mengapa Ali bin Abi Thalib tidak menerima syarat Abdurrahman?

Imam Ali bin Abi Thalib di masa Usman bin Affan

Sikap Abu Sufyan setelah pembaiatan Usman bin Affan bin Affan

Dampak negatif kebijakan pemerintahan Usman bin Affan

Sikap Ali bin Abi Thalib terhadap Usman bin Affan

Dampak negatif pemerintahan Usman bin Affan terhadap umat Islam

Bab IV: Imam Ali bin Abi Thalib AS. setelah pembunuhan Usman bin Affan

Kaum muslimin membaiat Ali bin Abi Thalib

Para pelanggar baiat

Halangan-halangan dalam perjalanan pemerintahan Imam Ali

Poros perbuatan Imam Ali bin Abi Thalib kepada umat

Kebudayaan Islam di masa pemerintahan para khalifah

Usaha keras Imam Ali bin Abi Thalib menghidupkan kembali syariat Islam

Imam Ali bin Abi Thalib bersama kelompok Nakitsin (perang Jamal)

Para pencetus fitnah

Aisyah mengumumkan pemberontakan

Perbuatan makar Muawiyah dan pelanggaran janji baiat dari Zubeir dan

Thalhah

Pergerakan Aisyah menuju kota Basrah

Pertempuran-pertempuran kecil Basrah

Peperangan, gencatan senjata dan pengkhianatan

Usaha Imam Ali bin Abi Thalib menumpas pemberontak

Nasihat terakhir

Perang dimulai

Sikap Imam Ali bin Abi Thalib setelah perang Jamal

Dampak negatif perang Jamal

Kufah menjadi ibu kota pemerintahan Islam

Imam Ali bin Abi Thalib bersama Qasithin (pasukan Shiffin)

Persiapan Muawiyah untuk memerangi Imam Ali bin Abi Thalib

Menguasai sungai Furat

Usaha damai

Perang setelah gencatan senjata

Kematian Ammar bin Yasir

Muslihat pengangkatan Mushaf

Penghakiman (tahkim) dan rekonsiliasi

Sikap Cerdas Malik Al-Asytar

Kembalinya Imam Ali bin Abi Thalib dan pemisahan diri Khawarij

Pertemuan dua wakil

Keputusan penghakiman (tahkim)

Imam Ali bin Abi Thalib dan Khawarij (Mariqin)

Imam Ali bin Abi Thalib menolak keputusan penghakiman (tahkim)

Perang dengan Khawarij

Pendudukan Mesir

Kehancuran dan perpecahan umat Islam

Akhir usaha Imam Ali bin Abi Thalib

Imam Ali bin Abi Thalib syahid mihrab

Wasiat Imam Ali bin Abi Thalib

Penguburan dan pidato pujian terhadap Imam Ali bin Abi Thalib

Warisan inteletual Imam Ali bin Abi Thalib

Mengenal Nahjul Balaghah

Mengenal akal, pengetahuan dan ilmu

Mengenal Al-Quran dan Sunah

Mengenal Tauhid, keadilan dan hari akhir

Mengenal kepemimpinan ilahi (kenabian dan imamah)

Mengenal Imam Mahdi

Mengenal pemerintahan Islam: filsafat dan prinsip

Mengenal ibadah dan kewajiban

Mengenal akhlak dan pendidikan

Mengenal doa dan munajat

Mengenal sastra Imam Ali bin Abi Thalib


2
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib AS.

Kata Pengantar
Zaman ini adalah masa perang budaya. Setiap aliran pemikiran manapun yang mampu memanfaatkan metode yang memiliki pengaruh untuk menyebarkan ide-ide dan pikiran-pikirannya akan menjadi pemenang. Lebih dari itu, ia juga akan mempengaruhi pemikiran global nantinya.

Setelah kemenangan revolusi Iran, sekali lagi budaya Ahli Bayt dan mazhab Syi'ah menjadi incaran masyarakat dunia. Budaya Ahli Bayt dan mazhab Syi'ah memiliki daya tarik dan daya tolak yang perlu disikapi. Di satu sisi, musuh-musuh revolusi berusaha keras untuk menghantam dan membungkam kekuatan rasionalitas dan rohani Syi'ah. Dan di sisi yang lain, para pencinta menjadikan revolusi ini sebagai sebuah contoh dan panutan. Iran telah menjadi Ummul Qura (ibu kota) budaya Ahli Bayt dan mazhab Syi'ah yang telah mampu mengukir sejarah buat dirinya sendiri.

Persatuan pengikut Ahli Bayt dan mazhab Syi'ah memerlukan persatuan, kebersamaan visi dan kerja sama antara satu dengan yang lainnya. Kebutuhan yang telah sangat mendesak ini dipahami dengan baik oleh Majma' 'Alami li Ahli Bayt. Majma' 'Alami li Ahli Bayt merasa berkewajiban untuk membangun hubungan aktif seluruh pengikut Ahli Bayt dan mazhab Syi'ah di seluruh dunia. Usaha ini dimulai dengan mengajak bekerja sama dengan tenaga-tenaga potensial dan inovatif dari orang-orang Syi'ah sendiri. Para pemikir dan cendekiawan mazhab Syi'ah adalah bagian terpenting dari usaha ini. Langkah nyata yang telah diambil untuk mewujudkan tujuan di atas seperti mengadakan seminar-seminar ilmiah internasional tentang Syi'ah, penerbitan buku-buku dan menerjemahkannya ke dalam bahasa-bahasa dunia serta menginformasikannya lewat media elektronik akan pikiran-pikiran keislaman mazhab Syi'ah.

Rasa syukur yang tak terhingga kepada Allah swt. Terima kasih juga kami ucapkan kepada nasihat-nasihat guna perbaikan kerja. Terutama wejangan-wejangan pemimpin spiritual Islam Iran Ayatullah Khamanei (mudda zhilluhu al-'ali) terkait dengan cakupan kerja yang penting dan kritis karena berhubungan erat dengan pembangunan budaya. Langkah-langkah penting telah dilakukan dengan harapan besar bahwa dikemudikan hari gerakan yang muncul dari hati nurani namun sangat prinsip ini semakin fleksibel dan menunjukkan grafik yang semakin menaik.

Dunia sekarang dan manusia yang hidup di dalamnya haus akan pengetahuan yang murni tentang Al-Quran dan keluarga Nabi saw. Kebanyakan orang akan merasa puas dengan mazhab yang memiliki kekayaan yang tinggi terkait dengan intelektual dan kejiwaan. Syi'ah mampu menunjukkan bahwa ia mazhab yang kaya dengan kedua masalah itu.

Kami percaya bahwa dengan memahami dengan benar, penelitian yang tepat dan logis tentang budaya budaya Ahli Bayt dan mazhab Syi'ah dapat menunjukkan format dan model yang kekal dari warisan khazanah keluarga Nabi. Tidak itu saja, bahkan sebagai panutan dalam kebangkitan dan gerakan tanpa melupakan pembersihan diri dan jiwa. Dunia saat ini telah letih dari kejahiliahan dunia modern. Ketidakmampuan para penguasa dunia saat ini untuk menanggulangi budaya bobrok yang menghantam nilai-nilai moral dan kemanusiaan dengan sendirinya membentuk 'masa kemunculan' dan kehausan akan sebuah pemerintahan global dari Imam Mahdi AF.

Dengan alasan ini, kami sangat menerima hasil-hasil penelitian dan usaha keras ilmiah para peneliti dan penulis. Dan kami merasa sebagai pelayan para penulis dan para penerjemah yang telah berusaha sekuat tenaga menyebarkan budaya Ahli Bayt yang tinggi ini.

Hal yang sangat menyenangkan, bahwa pada kesempatan kali ini kami ingin mempersembahkan salah satu karya penelitian dari Majma' 'Alami li Ahli Bayt dengan judul 'A'lam Al-Hidayah' (Silsilah pembawa hidayah), hasil kerja keras para peneliti tim Majma' 'Alami li Ahli Bayt. Dan dengan semangat dan kerja keras diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Saleh Lapadi. Hasil ini kami persembahkan kepada para pembaca. Dan kepada para penulis dan penerjemah yang terhormat kami mengharapkan kesuksesannya.

Dari sini, kepada seluruh saudara-saudara di bagian Dar At-Tarjamah (divisi penerjemahan yang telah berusaha sekuat tenaga menerbitkan karya ini kami mengucapkan terima kasih yang seluas-luasnya. Mudah-mudahan langkah kecil di medan perjuangan budaya ini mendapat kerelaan dari Imam Mahdi AF.

Departemen Kebudayaan

Majma' 'Alami li Ahli Bayt


3
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib AS.

Pendahuluan
Allah swt telah menciptakan manusia dan melengkapinya dengan akal dan kehendak. Unsur akal membantunya mengenal sesuatu, mencari kebenaran dan memisahkannya dari kebatilan. Sementara kehendak membuat manusia dapat memilih; mana yang menurutnya baik dan dapat mewujudkan tujuan-tujuannya.

Allah swt menjadikan akal sebagai alat penyingkap ciptaan-Nya di dalam dirinya. Dengan akal, Allah swt membantu makhluk-Nya guna meraih hidayah. Dialah Zat yang mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya dan menuntunnya ke arah kesempurnaan yang selayaknya. Dan dengan akallah Dia menerangkan tujuan penciptaan-Nya di bumi dengan harapan; bahwa manusia dapat mewujudkan tujuan tersebut.

Teks-teks Al-Quran secara gamblang memuat ajaran-ajaran tentang hidayah ilahi; keluasan, kelaziman-kelazimannya dan cara-caranya. Di samping menjelaskan sebab-sebab hidayah dari satu sisi, Al-Quran juga memuat dampak-dampak hidayah dari sisi yang lain. Allah swt berfirman:

'Katakanlah! (wahai Muhammad), Sesungguhnya petunjuk Allah itulah (yang sebenarnya) petunjuk dan hidayah'.

'Dan Allah selalu memberi petunjuk siapa yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Siratul mustaqim)'.

'Dan Allah berkata yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar)'.

'Dan barang siapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah, maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus (Siratul mustaqim)'.

'Katakan (wahai Muhammad)! "Allah-lah yang menunjuki kepada kebenaran". Maka apakah orang-orang yang menunjuki kepada kebenaran itu lebih berhak diikuti ataukah orang yang tidak dapat memberi petunjuk kecuali (bila) diberi petunjuk? Bagaimanakah kamu mengambil keputusan?

'Dan orang-orang yang diberi ilmu (Ahli Kitab) berpendapat bahwa wahyu yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itulah yang benar dan menunjuki (manusia) kepada jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji'.

'Dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun'.

Allah swt adalah sumber hidayah yang hakiki. Dia menuntun manusia menuju jalan yang lurus dan kebenaran. Hakikat ini diperkuat oleh ilmu dan dipahami oleh ulama. Mereka tunduk di hadapannya dengan segenap wujud mereka.

Allah swt meletakkan di dalam fitrah manusia usaha meraih kesempurnaan dan keindahan, kemudian menuntunnya kepada kesempurnaan yang selayaknya. Allah juga menyempurnakan, untuk manusia nikmat mengenal jalan kesempurnaan. Oleh karenanya Allah swt berfirman:

'Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu'.

Karena ibadah yang hakiki tidak dapat terwujud tanpa pengetahuan, maka pengetahuan dan ibadah merupakan satu-satunya jalan dan tujuan yang dapat mengantarkan manusia ke puncak kesempurnaan.

Setelah dibekali dua potensi; ghadhab (daya tolak) dan syahwat (daya tarik), untuk merealisasikan motivasi pencapaian kesempurnaan, manusia belum aman dari cengkeraman ghadhab dan syahwat serta hawa nafsu yang muncul dari keduanya. Konsekuensi adanya dua potensi ini dalam diri manusia membuatnya perlu - sebagai tambahan dari akal dan sarana pengetahuan - kepada sesuatu yang dapat menjamin keutuhan hati nurani dan pikirannya agar hujjah Allah dan nikmat hidayah-Nya menjadi lengkap. Pada diri manusia akan terkumpul segala macam sarana yang membuatnya dapat memilih jalan kebaikan dan keselamatan atau memilih jalan keburukan dan kecelakaan berdasarkan kehendaknya sendiri.

Undang-undang hidayah ilahi menuntut akal manusia senantiasa bersandar kepada wahyu ilahi dan kepada orang-orang yang telah dipilih oleh Allah swt untuk mengemban tanggung jawab menuntun manusia. Dan itu dapat dilakukan dengan cara; menerangkan secara detail masalah yang berkenaan dengan pengetahuan dan hidayah yang diperlukan di setiap dimensi kehidupan.

Para Nabi dan Imam adalah pembawa obor petunjuk ilahi semenjak munculnya sejarah kehidupan manusia hingga sekarang. Allah swt tidak akan membiarkan manusia begitu saja tanpa tuntunan hujjah (seorang pemberi petunjuk), ilmu petunjuk dan cahaya penerang, sebagaimana teks-teks wahyu secara fasih menegaskan dalil-dalil akal, bahwa bumi tidak akan kosong dari hujjah Allah untuk makhluk-makhluk-Nya agar kelak mereka tidak lagi memiliki alasan di hadapan Allah.

Dengan demikian, hujjah ada sebelum penciptaan, bersama ciptaan, dan tetap ada setelah penciptaan. Seandainya di muka bumi ini hanya ada dua orang, maka salah satunya adalah hujjah. Al-Quran dengan gamblang menjelaskan:

'Sesungguhnya kami hanyalah pemberi peringatan, dan bagi tiap-tiap kaum ada orang yang memberi petunjuk'.

Para wakil mereka yang telah diberi petunjuk bertugas memberi hidayah dengan berbagai derajatnya. Tugas-tugas itu dapat diringkas dalam beberapa poin berikuit ini:

1. Penerimaan wahyu dan risalah ilahi secara utuh dan sempurna. Periode ini menuntut kesiapan yang sempurna untuk menerima risalah ilahi. Dari sini, pemilihan nabi, rasul dan wakil-wakil mereka adalah hak Allah semata, sebagaimana Al-Quran menyebutkan,

'Allah lebih mengetahui di mana Dia mempercayakan tugas kerasulan'.

'Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya'.

2. Penyampaian risalah ilahi kepada manusia. Penyampaian risalah bersandar pada kualifikasi yang sempurna dan penguasaan terhadap rincian risalah, tujuan dan tuntutan-tuntutannya, di samping ishmah, yakni keterjagaan dari kesalahan dan dosa. Allah swt berfirman,

'Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab dengan benar untuk memberi keputusan di antara manusia tenteng perkara yang mereka perselisihkan'.

3. Pembentukan umat yang beriman atas dasar risalah ilahi. Tugas ini untuk mendukung kepemimpinan para nabi guna merealisasikan tujuan dan menerapkan undang-undangnya dalam kehidupan. Ayat-ayat Al-Quran menjelaskan tugas penting ini dengan dua terminologi; tazkiah dan ta'lim. Allah berfirman:

'Mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan hikmah'.

Tazkiah adalah pembinaan dengan tujuan meraih kesempurnaan yang selayaknya didapatkan oleh manusia. pembinaan membutuhkan panutan yang saleh yang sudah barang tentu sebelumnya telah memiliki semua elemen-elemen kesempurnaan tersebut. Sebagaimana tersurat dari firman Allah swt.:

'Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian.

4. Melindungi risalah ilahi dari penyimpangan dan kehancuran sampai pada waktu yang telah ditentukan. Tugas berat ini juga membutuhkan kelayakan dan kualifikasi ilmiah dan kejiwaan. Ini yang dalam terminologi teologi Syi'ah disebut ishmah (keterjagaan dari salah dan dosa).

5. Berbuat untuk merealisasikan tujuan-tujuan maknawi risalah ilahi dan mengokohkan nilai-nilai moral ke dalam setiap individu dan pilar-pilar sosial manusia; yaitu dengan cara melaksanakan arahan-arahan rabbani, dan menerapkan undang-undang agama pada masyarakat dengan membentuk sebuah institusi politik yang menangani urusan umat berdasarkan agama Islam. Dalam pelaksanaannya, institusi yang semacam ini tentu membutuhkan kepemimpinan yang bijak, berani, tabah dan pengetahuan yang sempurna tentang individu-individu, kelas masyarakat, arus pemikiran, politik, sosial, manajemen, pendidikan dan undang-undang kehidupan (sunnatullah). Semua syarat-syarat ini dapat disimpulkan dalam kualifikasi ilmu dalam mengatur negara universal dan agamis, di samping sifat ishmah yang dimiliki sebagai kualifikasi psikis. Kondisi kejiwaan yang mampu melindungi kepemimpinan agama dari semua penyimpangan atau kesalahan yang sangat mungkin berdampak negatif terhadap perjalanan kepemimpinan dan usaha menyelamatkan umat, karena bertentangan dengan tujuan risalah Islam itu sendiri.

Para Nabi sebelumnya dan wakil-wakil mereka yang terpilih telah berjalan sesuai dengan jalur hidayah yang berkesinambungan. Mereka telah berusaha lewat jalur pendidikan yang sulit dan menanggung semua kesulitan dalam rangka melaksanakan tugas penting ini. Dalam merealisasikan tujuan-tujuan risalah ilahi, mereka mendahulukan segala sesuatu yang dilakukan oleh seorang yang lebur dalam prinsip dan akidahnya. Sedetik pun mereka tidak pernah bergeming dari jalur yang telah ditentukan.

Pada akhirnya, Allah meletakkan penghormatan-Nya pada usaha sungguh-sungguh yang telah mereka lakukan secara berkesinambungan di sepanjang zaman; dengan mengutus silsilah terakhir dari utusan-Nya; Muhammad bin Abdullah saw, dimana Allah swt. memberinya tanggung jawab dan amanat yang besar untuk memberi petunjuk di semua lapisan masyarakat manusia, dengan harapan ia dapat merealisasikan tujuan-tujuan risalah Islam.

Rasulullah saw telah menjalani kehidupannya sesuai jalur sulit ini dengan sangat luar biasa. Dalam waktu yang cukup singkat, beliau telah berhasil merealisasikan banyak tujuan-tujuan, yang bila semua itu diperhitungkan dapat dikategorikan sebuah revolusi. Itu semua berkat perjuangan tak kenal lelahnya, siang dan malam, selama dua dekade. Beberapa tujuan penting yang berhasil direalisasikan adalah:

1. Menyodorkan sebuah risalah yang sempurna ke hadapan manusia yang memuat unsur-unsur yang kontinyu dan kekal.

2. Membekali risalah dengan elemen-elemen yang dapat melindunginya dari penyimpangan dan penyesatan.

3. Membentuk umat Islam yang meyakini Islam sebagai prinsip, Nabi Muhammad saw. sebagai pemimpin dan syariat Islam sebagai undang-undang kehidupan.

4. Membentuk negara Islam yang mengibarkan bendera Islam dan menerapkan syariat Langit di bumi.

5. Mengedepankan wajah yang cerah bagi kepemimpinan ilahi dan bijaksana yang terwujud pada kepemimpinan Nabi Muhammad saw.

Untuk merealisasikan tujuan-tujuan risalah Islam dengan bentuknya yang sempurna, diperlukan hal-hal berikut ini:

1. Adanya kesinambungan dalam kepemimpinan yang memiliki kualifikasi sama dengan Nabi dalam menerapkan risalah Islam dan melindunginya dari tangan-tangan perusak yang senantiasa menunggu kesempatan.

2. Adanya kesinambungan dalam proses pembinann yang benar dengan memperhatikan perkembangan generasi, dan itu dapat terwujud di bawah bimbingan seorang pembina yang andal secara keilmuan dan kejiwaan. Syarat ini tetap harus terpenuhi, karena ia adalah seorang contoh dan panutan yang baik dalam perilaku dan moral selayaknya Rasulullah saw sebagai pengemban risalah Islam dan mewujudkannya dalam kehidupannya.

Garis risalah Islam yang telah digambarkan menuntut agar Rasulullah saw menyiapkan orang-orang terpilih dari keluarganya. Persiapan ini dilakukan dengan berbagai macam cara; menyebutkan nama dan peran mereka. Hal ini dilakukan agar mereka kemudian memegang kendali pergerakan kenabian dan hidayah ilahi yang kekal atas perintah Allah swt., dan mampu melindungi risalah ilahi yang telah di pastikan kekekalan dan keabadiannya, dan tidak akan goyah dengan usaha penyimpangan orang-orang jahiliyah dan para pengkhianat.

Tanggung jawab lainnya adalah menbina dan membangun masyarakat di atas nilai-nilai dan norma-norma syariat, memerikan ajaran-ajarannya dan menyingkap rahasia-rahasianya di setiap zaman, sampai ketika Allah mewariskan bumi dan seisinya kepada Imam Mahdi afs.

Proyek ilahi ini terlihat jelas dalam hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah saw.: 'Sesungguhnya aku tinggalkan kepada kalian dua pusaka yang berharga; Kitab Allah dan 'Itrah; Ahli Baytku. Selama kalian berpegang teguh pada keduanya, niscaya tidak pernah tersesat sepeninggalku selama-lamanya'.

Para Imam AS. adalah orang-orang terbaik yang diperkenalkan oleh Rasulullah saw atas perintah dari Allah demi menjaga kepemimpinan sepeninggalnya.

Sejarah kehidupan para Imam 12 dari Ahli Bayt mencerminkan perjalanan sejarah Islam setelah zaman Rasulullah saw. Mengkaji dan menelaah kehidupan mereka secara komprehensif dapat menyingkap secara lengkap pula pergerakan Islam yang murni, yang dimulai dengan terbukanya akses ke umat setelah kemampuannya yang terbebaskan melemah pasca wafat Rasulullah saw. Setelah itu, para imam maksum AS. mulai melakukan penyadaran dan kaderisasi. Mereka juga memobilisasi kekuatan umat dengan harapan menumbuhkan kesadaran terhadap syariat Islam, pergerakan dan revolusi Rasulullah saw. Semua ini tidak keluar dari sunnatullah yang solid dalam perjalanan kepemimpinan dan umat secara bersama-sama.

Keberlangsungan kehidupan para imam maksum mengkristal berdasarkan metode yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Metode tersebut adalah bersikap dan bergaul dengan umat, karena umat juga membuka diri dengan mereka. Ini tidak lain karena mereka adalah orang-orang pembawa obor hidayah untuk menerangi hidup orang-orang mukmin yang berjalan bersama kepemimpinan mereka. Para imam maksum AS. adalah penunjuk bagi manusia kepada Allah swt dan keridaan-Nya, saehingga menjadi orang-orang yang komit pada perintah Allah, sempurna dalam mencintai Allah, lebur dengan kecintaan mereka kepada Allah dan terdepan dalam mencapai puncak kesempurnaan yang diinginkan.

Mereka telah menghiasi kehidupan mereka dengan berbagai macam perjuangan dan kesabaran untuk tetap taat kepada Allah serta menanggung semua kekerasan yang dilakukan oleh mereka yang berhati keras. Semua ini membuat mereka patut disebut sebagai panutan dan contoh yang agung dalam kesabaran demi melaksanakan hukum-hukum Allah swt. Kemudian, mereka memilih jalan kesahidan sekaligus memberikan kemuliaan, daripada kehidupan dengan menanggung kehinaan. Akhirnya, mereka berhasil menemui Allah setelah perjuangan keras.

Para sejarawan dan penulis tidak mampu untuk menghimpun semua dimensi kehidupan para imam maksum AS., atau mengklaim telah mengkajinya secara komprehensif. Dari sini, usaha kami dalam hal ini menggambarkan sebagian kehidupan mereka, sebagian dari sejarah hidup mereka, dan sikap-sikap mereka yang telah disusun oleh para sejarawan. Kami berhasil menyingkapnya dengan menganalisa dan meneliti sumber-sumber yang ada. Semua ini berpangkal dari harapan kepada Allah swt., semoga usaha ini dapat bermanfaat. Sesungguhnya hanya Allah-lah pemberi taufik.

Kajian kami tentang pergerakan Ahli Bayt AS. dimulai dari Rasulullah, akhir para Nabi Muhammad bin Abdullah saw., dan berakhir pada pengemban pamungkas wasiatnya; Muhammad bin Al-Hasan Al-Askari Al-Mahdi yang dinantikan, semoga Allah mempercepat kemunculannya, dan ia akan menerangi bumi dengan keadilan.

Buku ini secara khusus mengkaji kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib AS.; imam pertama Ahli Bayt Rasulullah saw. Ia adalah orang maksum kedua dari para pembawa obor hidayah yang dengan sempurna mampu mewujudkan Islam di semua dimensi kehidupannya. Ia laksana pelita yang menyinari dan panutan yang sempurna bagi manusia setelah Rasulullah saw.

Tidak lupa pula kami mengucapkan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada saudara-saudara yang telah bersusah payah ikut menyumbangkan pandangan-pandangannya demi terlaksananya usaha dan proyek ini. Terutama kepada anggota panitia penyusun yang dipimpin oleh Sayyid Mundzir Al-Hakim, semoga Allah senantiasa melindunginya.

Akhirnya, tujuan dari usaha kami adalah berdoa dan bersyukur kepada Allah swt. Hanya karena taufik-Nya ensiklopedia ini dapat terealisasikan.

Qom,

Majma Jahani Ahlul Bait



4
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib AS.

Bab I: Imam Ali bin Abi Abi Thalib AS. berdasarkan teks
Ali bin Abi Thalib adalah amir mukminin, pemimpin para washi (orang yang mendapat wasiat), khalifah Rasulullah yang pertama. Penetapan ini berdasar perintah Allah dan Rasulnya. Al-Quran dengan gamblang menjelaskan keismahannya, keterjagaan dan kesucian dari segala salah dan dosa. Nabi Muhammad saw melakukan mubahalah (sumpah setelah berdebat) disertai Imam Ali bin Abi Thalib, Fathimah dan kedua anaknya. Mereka berempat disebut Al-Qurba (keluarga). Wajib hukumnya mencintai mereka. Berkali-kali disebutkan bahwa keluarga Nabi adalah padanannya Al-Quran. Siapa yang berpegangan pada keduanya akan selamat, sementara yang meninggalkan keduanya akan tersesat.

Imam Ali bin Abi Thalib AS. Tumbuh dan besar lewat asuhan Rasulullah saw. Sejak kecil ia disuap oleh Nabi. Ia adalah seorang murid yang senantiasa setia terhadap gurunya. Imam Ali bin Abi Thalib memerankan seorang saudara tanpa tendensi apapun berhadapan dengan Nabi. Ali bin Abi Thalib AS. orang pertama yang memeluk Islam, orang pertama yang salat bersama Nabi dan orang pertama yang lebur di jalan Allah. Ia mengorbankan dirinya demi kemenangan risalah Allah pada kondisi yang paling sulit sekalipun ketika berhadap-hadapan dengan masyarakat Arab jahiliah. Pengorbanannya dilakukan pada kedua periode perkembangan Islam, Mekkah dan Madinah. Pengorbanannya tidak hanya dilakukan semasa Nabi masih hidup namun hal itu berlangsung hingga ajal menjemput Rasul Allah dan setelah sepeninggal Nabi. Ali bin Abi Thalib luruh dalam prinsip dan risalah Allah sebagaimana ia adalah personifikasi kebenaran. Ia tidak pernah berpaling dari kebenaran walau seujung rambut.

Dhirar bin Dhamrah Al-Kannaani memerikan sifat-sifat mulai Ali bin Abi Thalib kepada Muawiyah bin Abi Sufyan. Mendengar sifat-sifat yang disandang Ali, ia langsung menangis. Mereka yang mendengarkan penyifatan itu juga ikut menangis. Kemudian ia memohon kepada Allah untuk memberikan kemurahan kepadanya dengan ucapannya:

'Demi Allah! Ali adalah orang yang memiliki pandangan yang jauh ke depan dan sangat kuat. Ucapannya menyelesaikan setiap masalah, hukuman yang dijatuhkan mencerminkan keadilan. Ilmu memancar dari dirinya, hikmah selalu menghiasinya. Ia menjauhkan dirinya dari dunia dan gemerlapnya, meraih malam dan keheningannya menjadi teman. Dari Ali banyak pelajaran yang dapat diambil dan ia adalah orang yang berpikir panjang. Ia senantiasa membalikkan tangannya (untuk berdoa) dan sering berbicara kepada dirinya sendiri. Ia menyukai pakaian yang sederhana dan makanan secukupnya. Bila ia berada di tengah-tengah kerumunan orang tidak terlihat berbeda dengan orang lain. Bila seseorang hendak mendekatinya ia lebih dahulu menghampiri ke arah orang tersebut. Ia pasti menjawab bila ditanya. Bila diundang pasti datang. Ia senantiasa memberikan kabar bila kami menanyakan sesuatu. Demi Allah! Walaupun ia senantiasa mendekatkan dirinya kepada para sahabat atau ia berada dekat-dekat dengan mereka para sahabat segan berbicara dengannya. Keseganan itu muncul dari wibawa yang dimilikinya. Ia tersenyum bak mutiara yang tersusun. Ia senantiasa menghormati orang-orang alim dan dekat dengan kalangan mustadh'afin. Orang kaya tidak akan memanfaatkannya dalam kebatilan sebagaimana orang lemah tidak pernah berputus asa akan keadilannya.

Imam Ali bin Abi Thalib membantu Rasulullah saw semenjak permulaan dakwah. Ia berjuang bersama Rasulullah. Perjuangannya dalam sejarah dakwah Nabi tidak dapat dibandingkan dengan para sahabat yang lain. Perjuangan yang dilakukannya berakhir pada suatu titik di mana malam tidak dapat membohongi pagi dan kebenaran muncul dalam dimensinya yang murni. Ia berbicara sebagai pemimpin agama. Ia membungkam asa para setan setelah terlebih dahulu membenamkan harapan serigala-serigala Arab dan keinginan-keinginan ahli kitab.

Setelah Rasulullah saw menetapkan langkah-langkah dakwahnya untuk mengubah masyarakat jahiliah dalam masa yang singkat, jalan semakin terbuka untuk mencapai tujuan besar Islam. Di sisi lain, terbukanya jalan memiliki arti semakin sulit dan panjangnya perjalanan dakwah Islam. Kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi membutuhkan rancangan yang sempurna dan pemimpin yang sadar akan masalah ini. Pribadi pemimpin sepeninggal Nabi harus seorang yang tidak berbeda jauh kepribadiannya dengan Nabi sendiri baik dari sisi iman, kesempurnaan, keikhlasan, kematangan intelektual dan memiliki pengalaman yang cukup. Tentunya, secara alami, risalah penutup (baca: Islam) sebagai inti sari dakwah para nabi dan pewaris usaha yang telah dilakukan sebelumnya dan sebagai ajaran ilahi, hendaknya memiliki blue print yang jelas tentang masa depannya. Dengan alasan di atas, Nabi, dengan perintah Allah, memilih seorang pribadi yang lebur dan menyatu wujudnya dengan eksistensi dakwah Islam. Pribadi tersebut harus fana' dan lebur dalam tujuan Islam dan tidak boleh terkotori oleh konsep-konsep jahiliah. Ia harus memiliki keutamaan-keutamaan seperti kesadaran penuh akan tanggung jawab yang diemban, keimanan, keikhlasan dan siap berkorban di jalan Allah.

Ali bin Abi Thalib adalah satu-satunya sahabat yang dipersiapkan oleh Rasulullah untuk mengemban tugas ini. Ali bin Abi Thalib adalah tokoh puncak pemikiran dan politik sepeninggal Nabi yang mampu menyambungkan proses perubahan panjang yang telah digariskan Nabi. Hal itu akan dilakukan dengan bersandarkan pada kaedah-kaedah yang jelas dan sadar yang telah dipersiapkan oleh Rasulullah untuk membimbing kaum Muhajirin dan Anshar.

Konsep hidup jahiliah yang telah melekat erat dalam kehidupan sosial waktu itu tidak hancur hanya dengan perang Badr, Hunain dan di sela-sela sebuah perjanjian terkait dengan penghancuran dan pemusnahan. Jelas, secara alamiah, ia akan muncul kembali dengan mengambil baju Islam agar dapat leluasa tampil di panggung masyarakat baru setelah puluhan tahun. Secara alamiah sikap dan ide-ide jahiliah perlahan-lahan akan merambah posisi-posisi kepemimpinan baik secara langsung maupun tidak. Dari sini, kembali kepada ide-ide dan kebiasaan jahiliah -menggabungkannya dengan kepemimpinan yang mendapat legalitas syariat di tengah masyarakat Islam memiliki dampak yang sangat berbahaya dari setiap dimensi permasalahannya. Sementara di sisi lain, prinsip-prinsip kepemimpinan Islam sendiri belum sempurna secara sadar- menjadi sebuah keniscayaan bahkan dinanti oleh setiap pemimpin yang memiliki kesadaran politik dan sosial yang sangat rendah sekalipun. Bila ini dapat dibayangkan bagaimana apakah Rasulullah tidak pernah memikirkan kondisi dan kemungkinan yang seperti ini?

Bila diandaikan bahwa risalah Islam bertujuan untuk mengubah realitas sebuah masyarakat jahiliah maka seyogianya untuk memperhatikan dengan sungguh-sungguh kenyataan ini dari setiap usaha untuk mengaburkan masalah yang sebenarnya. Setelah itu menyiapkan langkah-langkah perubahan baik untuk rencana jangka pendek maupun jangka panjang. Risalah Islam sendiri telah memiliki rancangan tersebut yang merupakan keharusan logis sebuah syariat. Rancangan Islam terimplementasikan pada ajaran-ajaran bagaimana dan kepada siapa seorang muslim harus merujuk masalah-masalah keagamaan dan politik. Islam memerintahkan umatnya untuk merujuk kepada para Imam yang terjaga dari perbuatan dosa. Itu pun setelah Nabi mengangkat Ali pada peristiwa Ghadir Khum (telaga Khum) sebagai pemimpin kaum mukminin dan meminta para sahabat waktu itu untuk melakukan baiat kepada Imam Ali bin Abi Thalib AS.

Rancangan Nabi berbenturan dengan realita yang dinanti oleh Nabi. Berbenturan juga dengan arus lemah yang kembali menunjukkan kurangnya kesadaran umat yang semestinya dapat membentuk lingkaran yang aman untuk melindungi kepemimpinan. Mayoritas kaum muslimin belum memahami secara mendalam bahwa konsep jahiliah bekerja sama di belakang layar untuk menggulingkan revolusi Islam. Problem yang dihadapi tidak hanya sekedar mengganti seorang pemimpin dengan pemimpin yang lain. Masalah yang dihadapi adalah penggantian rancangan Islam yang revolusioner dengan rancangan jahiliah yang berselimutkan Islam.

Peristiwa Saqifah (peristiwa pemilihan khalifah sepeninggal Nabi di tempat bernama Saqifah bani Saidah) menggugurkan rancangan kepemimpinan yang disiapkan oleh Nabi sang pemimpin. Lebih-lebih setelah pada kejadian tersebut Nabi telah tiada. Kejadian Saqifah membenarkan ramalan Al-Quran, 'Muhammad hanyalah seorang utusan Allah. Sebelumnya telah diutus beberapa utusan. Apakah bila Muhammad mati atau terbunuh kalian akan kembali pada kondisi kalian sebelumnya?'

Nabi telah menetapkan Ali bin Abi Thalib sebagai pelindung risalah, umat dan negaranya. Ia telah mewajibkan kepada Ali untuk menjaga risalah dan syariat sebagaimana ia juga telah diwajibkan untuk mendidik umat dan menjaga negara yang baru berdiri dan masih rentan terhadap goyangan.

Imam Ali bin Abi Thalib AS. telah melakukan usaha untuk mengembalikan permasalahan-permasalahan yang ada pada tempat yang seharusnya. Ia mengingkari proses Saqifah dan hasil kejadiannya dengan bertahan tidak melakukan baiat dan tidak mau bersikap kooperatif dengan penguasa terpilih dari peristiwa Saqifah. Usaha yang telah dilakukan tidak banyak manfaatnya bahkan kondisi yang ada sedemikian rupa sehingga beliau harus memilih antara tersungkurnya pemerintahan yang ada baik secara politis dan teritorial dan melindungi negara dengan menerima mereka yang tidak layak menjadi pemimpinnya.

Pada awalnya Imam Ali bin Abi Thalib AS. mengambil sikap pertama sebagaimana dicatat oleh sejarah ketika beliau berkata, 'Aku berdiam diri ketika melihat kebanyakan orang telah berpaling dari Islam. Mereka berdoa untuk yang membenarkan agama Muhammad saw kondisi ini membuat aku khawatir, bila tidak membantu Islam dan pengikutnya, aku sedang melihat keretakan dan kehancuran. Kehancuran ini bagiku sangat berat sekali untuk ditanggung dari pada hilangnya kepemimpinan yang menjadi hakku. Kepemimpinanku yang kuanggap hanya sesuatu yang sangat tidak berarti. Ia akan lenyap bagaikan hilangnya fatamorgana atau sebagaimana awan yang lenyap'.

Sikap yang diambil oleh Imam Ali bin Abi Thalib AS. dapat dilihat dari ujian yang dihadapinya selama 25 tahun. Semua kepahitan yang dirasakannya dihadapinya dengan penuh kesabaran dengan harapan ia dapat membantu terwujudnya persatuan di kalangan umat Islam dan dengan tidak adanya bentrokan negara muda yang telah dirintis pendiriannya oleh Nabi Muhammad saw . Itu semua dilakukan dengan membiarkan haknya terambil untuk sementara. Ia menjadi konsultan bagi para khalifah sekaligus menjadi penasihat mereka. Di samping itu, beliau tidak lupa untuk melakukan hal-hal lain yang lebih penting seperti mengumpulkan Al-Quran sekaligus menafsirkannya. Memberikan pencerahan kepada umat dengan menjelaskan makna-makna Al-Quran dan hakikatnya. Semua itu dilakukan tanpa melupakan menyingkap konspirasi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok dari kaum muslimin. Beliau juga sering meluruskan pemahaman-pemahaman yang salah tentang Islam dan juga praktek-praktek yang mengatasnamakan Islam. Pada saat yang sama beliau juga mengkader sejumlah sahabat yang masih beriman dan meyakini rancangan Nabi tentang kepemimpinan Islam dan berusaha agar ini dapat menyebar dan tidak lupa mengingatkan untuk berkorban demi terwujudnya rancangan Nabi.

Setelah bersabar selama dua puluh lima tahun akhirnya Imam Ali bin Abi Thalib AS. mulai memetik hasil dari usahanya. Tersingkaplah hakikat yang selama ini terpendam. Semuanya tampak di depan generasi yang mulai sadar. Mereka tahu bahwa Ali bin Abi Thalib AS. adalah yang paling layak untuk menjadi khalifah sepeninggal Nabi. Hanya Ali bin Abi Thalib satu-satunya yang mampu untuk memperbaharui apa yang telah rusak selama ini. Sebuah kondisi yang sangat sulit dan kompleks sementara keberpisahan mereka dari kebenaran telah semakin jauh. Mengenai masalah ini Imam Ali bin Abi Thalib AS. berkata, 'Demi Allah! Aku tidak memiliki sedikit pun perasaan untuk menjadi khalifah, kalianlah yang meminta dan memaksaku untuk menjadi khalifah'.

Setelah menjadi khalifah kaum muslimin beliau menyampaikan garis besar politiknya, 'Ketahuilah! Aku telah menerima permintaan kalian untuk menjadi khalifah namun aku akan berbuat sesuai dengan pengetahuanku. Aku tidak akan memerintah dengan mengikuti ucapan atau peringatan orang lain (sesuai dengan khalifah terdahulu)'.

Pada kesempatan lain beliau mengucapkan, 'Wahai Allah! Engkau mengetahui bahwa tidak satu pun dari kami (Ahli Bayt) yang ingin berebut kekhalifahan dan mengais runtuhan puing-puing. Yang menjadi perhatian kami adalah mengembalikan ajaran-ajaran agama Mu sekaligus melakukan perubahan di negeri-Mu sehingga hamba-hamba-Mu yang dizalimi merasa aman karena hak-haknya dilindungi dan batasan-batasan agama yang selama ini dilalaikan dapat ditegakkan kembali'.

Imam Ali bin Abi Thalib AS. sendiri melakukan usaha sebisa mungkin untuk merealisasikan keadilan sosial dan politik di tengah-tengah masyarakat. Keamanan, kebebasan, kesejahteraan, dan menjaga stabilitas negara dengan menjaga persatuan umat dengan berusaha mendidik, mengajari dan memberikan umat hak-haknya secara sempurna. Tidak lupa ia memberhentikan pejabat-pejabat korup dan menggantikannya dengan orang-orang saleh yang dapat dipercaya tanpa meninggalkan pengawasan yang ketat. Usaha terakhir ini dilakukan untuk menjauhkan lingkaran pemerintahan dari orang-orang yang tamak dan rakus akan kekuasaan. Imam Ali bin Abi Thalib AS. konsekuensi dengan sikapnya; terbuka dan selalu bersikap benar di setiap dimensi masalah. Ia tidak akan memerintah dengan perbuatan yang memalukan seperti menipu dan mencurangi. Beliau berjalan searah dengan rancangan yang telah disiapkan oleh saudara dan anak pamannya Muhammad Rasulullah saw.

Usaha Imam Ali bin Abi Thalib AS. mendapat penentangan keras dari seluruh kekuatan tamak yang merasa posisinya dalam bahaya secara politik, sosial dan ekonomi. Semua kekuatan yang ada saling bahu membahu, mereka yang ikut dalam kasus pembunuhan Usman, menyuarakan slogan untuk meminta pertanggungjawaban atas kejadian itu kepada khalifah terpilih Imam Ali bin Abi Thalib AS. Ada yang kemudian muncul dalam peristiwa Nakitsin (pasukan Jamal yang kemudian dikenal dengan perang Jamal), Qasithin (pasukan Muawiyah yang kelak dikenal dengan perang Shiffin) dan Mariqin (kaum Khawarij). Imam Ali bin Abi Thalib AS. setelah melakukan perjuangan yang sulit ia sendiri menjadi martir dan tubuhnya disiram oleh darahnya yang suci. Kejadian itu terjadi di mihrab tempatnya melakukan salat di Masjid Kufah pada malam lailatul qadr tahun keempat puluh hijriah. Imam Ali bin Abi Thalib telah meraih kemenangannya dengan mereguk manisnya syahadah dan menang berada di jalur dan nilai-nilai risalah dan kebenaran demi menegakkan Islam. Ini sebuah kemenangan revolusi nilai ilahi atas nilai jahiliah.

Salam untuk mu wahai Amir Mukminin dan pemimpin orang-orang yang putih bercahaya karena bekas wudu di hari kelahiran mu, di hari engkau dibesarkan di ruang risalah, di hari engkau berusaha untuk meninggikan bendera Islam, di hari ketika engkau sabar dan memberi nasihat, di hari ketika engkau dibaiat dan memerintah, di hari ketika terbukanya kedok jahiliah yang senantiasa bersembunyi dibalik slogan Islam, di hari ketika engkau menjadi martir dan darahmu yang suci menyiram pohon Islam menjadi lebih lebat dan di hari ketika engkau dibangkitkan di mana engkau membawa tanda-tanda kemenangan di surga yang tinggi.


5
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib AS.

Kesan dan pengaruh kepribadian Imam Ali bin Abi ThalibAS.
Kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib AS. berbarengan dengan masa pergerakan wahyu hingga terputusnya wahyu sepeninggal Nabi. Ia memiliki posisi yang mulia di sisi Nabi. Posisi ini yang membuatnya berusaha untuk membantu dan melindungi Rasul Allah dan risalah selama dua puluh tiga tahun dengan perjuangan yang terus menerus. Pembelaannya terhadap batasan-batasan Islam yang suci. Kias balik posisi, perbuatan-perbuatan dan keutamaan yang dimilikinya dengan indah dilukiskan oleh ayat-ayat Al-Quran dan teks-teks hadis.

Ibnu Abbas berkata, 'Ada 300 ayat yang turun berkenaan dengan Ali'. Dan setiap turun ayat yang berbunyi Yaa ayyuhal ladzina aamanuu (wahai orang-orang yang beriman) Ali bin Abi Thalib pasti disebutkan di sana karena ia adalah pemimpin dan yang termulia dari orang-orang yang beriman. Allah dalam sebagian ayat-Nya pernah memperingatkan para sahabat Nabi namun setiap kali menyebutkan tentang Ali pasti berkenaan dengan yang baik.

Banyaknya jumlah ayat yang turun berkenaan dengan Imam Ali bin Abi Thalib AS. oleh ulama mutaqaddimin (yang terdahulu) maupun muta'akhirin (yang terakhir) dikumpulkan dalam buku-buku mereka. Sebagian dari ayat-ayat yang memiliki sangkut paut dengan Imam Ali bin Abi Thalib akan disebutkan sesuai juga dengan penjelasan para ahli hadis:

1. Riwayat dari Ibnu Abbas: Pernah Ali bin Abi Thalib hanya memiliki uang empat dirham. Dengan empat dirham itu ia memberikan sedekah satu dirham pada malam hari dan satu dirham lagi di siang hari. Dua dirham terakhir juga disedekahkan; satu dirham secara sembunyi-sembunyi sementara dirham terakhirnya disedekahkan secara terang-terangan. Setelah melakukan hal tersebut turun ayat yang berbunyi, 'Orang-orang yang menginfakkan hartanya di malam dan siang hari, secara sembunyi-sembunyi dan terang-terangan. Bagi mereka yang berbuat demikian pahalanya ada di sisi Tuhannya. Orang yang melakukan ini tidak memiliki rasa takut dan tidak pernah bersedih'.

2. Dari Ibnu Abbas: Ali bin Abi Thalib bersedekah dengan cincinnya sementara ia dalam kondisi melakukan ruku'. Kemudian Nabi bertanya kepada pengemis, 'Siapa yang memberimu cincin ini? Ia menunjuk sambil berkata, 'Yang memberiku orang yang sedang melakukan ruku' itu'. Setelah itu turun ayat, 'Wali/pemimpin kalian hanyalah Allah dan Rasulnya dan orang-orang yang beriman, orang-orang yang menegakkan salat sembari memberikan sedekah dalam kondisi ruku'.

3. Ayat Tathir menunjukkan bahwa Ali termasuk Ahli Bayt wahyu yang disucikan dari segala noda dan dosa. Sementara ayat Mubahalah mengatakan bahwa Ali adalah jiwa Nabi.

4. Surat Al-Insan menjadi bukti akan keikhlasan Ali dan keluarganya dan kekhusyu'an mereka kepada Allah. Bukti dan persaksian ilahi ini menjadi penjamin bahwa mereka adalah ahli surga.

Para tokoh ahli hadis menyiapkan bab khusus dan bagian tersendiri berkenaan dengan keutamaan Ali terkait dengan riwayat-riwayat Rasulullah saw. Sejarah panjang kemanusiaan belum pernah mengenal manusia yang lebih utama dari Ali bin Abi Thalib setelah Rasul. Tidak pernah tercatat untuk orang lain keutamaan sebagaimana yang tertulis untuk Ali bin Abi Thalib sekalipun ia banyak menuai cercaan dan makian di atas mimbar salat Jumat sepanjang kekuasaan bani Umayyah dan orang-orang yang membencinya. Mereka yang membencinya senantiasa berusaha untuk mengurangi keutamaan Ali sampai tidak lagi ditemukan apa yang dapat dilakukan. Semua usaha menemui jalan buntu. Umar bin Al-Khatthab berkata bahwa Rasulullah sempat bersabda, 'Tidak ada seorang pun yang dapat meraih keutamaan seperti keutamaan yang dimiliki Ali. Keutamaan ini selalu menunjukkan pemiliknya ke jalan hidayah dan mencegahnya dari kehancuran.

Dikatakan kepada Ali bin Abi Thalib, 'Bagaimana bisa engkau banyak meriwayatkan hadis dari Rasulullah saw lebih dari sahabat yang lain? Ia menjawab, 'Bila aku bertanya niscaya Nabi memberi kabar kepadaku. Bila aku diam Nabi yang memulai memberitahukan kepadaku'.

Dari Ibnu Umar, 'Pada hari penetapan persaudaran yang dilakukan Nabi kepada para sahabat, Ali bin Abi Thalib tiba dengan air mata berlinang. Rasulullah saw bersabda, 'Engkau adalah saudaraku di dunia dan di akherat'.

Dari Abi Laila Al-Ghiffari berkata, 'Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, 'Sepeninggalku akan terjadi fitnah. Bila fitnah itu terjadi maka hendaklah kalian berpegangan dengan Ali bin Abi Thalib. Ia pertama kali orang yang beriman kepadaku. Orang pertama yang menyalamiku di hari kiamat. Ia adalah orang yang paling jujur (As-Shiddiq Al-Akbar). Ia adalah pemisah (Faruq) umat ini. Ia merupakan pemimpin (lebah jantan) kaum mukminin sementara harta adalah pemimpin kaum munafikin'.

Seluruh khalifah mengatakan bahwa Ali adalah yang paling mengetahui dan paling tepat dalam mengadili, hakim. Lebih dari itu, mereka sepakat bahwa seandainya Ali tidak ada niscaya mereka pasti celaka. Ungkapan ini lebih dikenal dalam ucapan-ucapan Umar yang berbunyi, 'Seandainya tidak ada Ali niscaya Umar telah celaka'.

Dari Jabir bin Abdillah Al-Anshari berkata, 'Kami tidak pernah mengenal orang-orang munafik kecuali lewat kebencian mereka terhadap Ali bin Abi Thalib'.

Ketika Muawiyah tiba di tempat terbunuhnya Ali bin Abi Thalib AS. ia berkata, 'Pemahaman yang detil dan ilmu telah lenyap dengan meninggalnya ibnu Abi Thalib'.

As-Sya'bi berkata, 'Keberadaan Ali bin Abi Thalib di tengah-tengah umat Islam sebagaimana keberadaan Isa bin Maryam di tengah-tengah Bani Israil. Sebagian dari pengikutnya begitu mencintainya sehingga mereka sampai pada batasan kekafiran akibat kecintaan yang berlebihan. Sementara sebagian yang lain begitu membencinya sehingga mereka sampai pada batasan kekafiran akibat kebencian yang berlebihan'.

Ali adalah paling dermawannya manusia. Ia senantiasa berakhlak sebagaimana yang diinginkan Allah; dermawan dan tangannya senantiasa terbuka. Ia tidak pernah berkata 'tidak' seumur hidupnya untuk peminta-minta.

Sha'sha'ah bin Shuhan berkata kepada Ali bin Abi Thalib di hari ketika ia dibaiat, 'Demi Allah! Wahai Amir Mukminin, engkau telah menghiasi khilafah sementara khilafah tidak pernah membuatmu terhiasi. Engkau telah meninggikan derajat khilafah sementara khilafah tidak pernah meninggikanmu. Kekhalifahan lebih membutuhkanmu dibanding kebutuhanmu terhadapnya.

Dari Abi Syibrimah, 'Tidak pernah ada seorang pun yang berkata di atas mimbar 'Saluni' (tanyailah aku), selain Ali bin Abi Thalib'.

Al-Qa'qa' bin Zurarah berdiri di sisi kuburan Ali sambil berkata, 'Semoga Allah rela denganmu. Demi Allah! Kehidupanmu selama ini adalah kunci kebaikan. Seandainya masyarakat sebelum ini menerimamu niscaya mereka akan mendapat makanan dari langit dan dari bawah kaki-kaki mereka. Sayangnya mereka menganggap remeh nikmat yang selama ini ada bersama mereka dan lebih mementingkan dunia'.

George Jordaq seorang Masehi berkata dalam bukunya 'Al-Imam Ali bin Abi Thalib Shaut Al-'Adalah Al-Insaniyah' (Ali suara keadilan manusia), berkata, 'Ali bin Abi Thalib salah satu dari orang yang unik dan sulit ditemukan yang semisalnya. Bila engkau mengetahui hakikat mereka pasti engkau terjauhkan dari status taklid. Engkau akan memahami fokus keagungan mereka yang terwujud dalam keimanan mutlak akan kemuliaan manusia, kebenaran manusia yang kudus dalam kehidupan yang bebas dan mulia. Manusia yang semacam ini yang diinginkannya selamanya. Kejumudan, keterbelakangan dan senantiasa terhenti pada kondisi sebelumnya atau masa kini hanyalah sebuah kematian dan penunjuk pada kefanaan.

Syibli Shcmeil berkata, 'Imam Ali bin Abi Thalib paling agungnya orang yang teragung. Pribadi satu-satunya yang tidak akan pernah ada yang menyamainya, baik di barat maupun di timur, tidak juga sebelum dan sesudahnya'.

Ali bin Abi Thalib tetap tinggal sebagai rumusan dan kepemimpinan praktis yang tidak dapat dipisahkan. Ia senantiasa konsekuensi bersama generasi sahabat-sahabat besar dengan pengertian pertama Islam sebagai petunjuk dan pengorbanan guna memperbaiki alam dan membentengi Islam menuju ke jalan kebenaran dan keadilan. Dengan kata lain, sesuai dengan pengertian Islam sebagai revolusi yang tetap dan berkelanjutan.

Muawiyah di sela-sela peperangannya dengan Imam Ali bin Abi Thalib menampakkan dirinya di hadapan generasi muda muslim sebagai orang yang berada di puncak kekuasaan dengan ekspansinya. Di sisi yang lain ia tidak ingin melepaskan ketamakannya atas kekayaan materi yang telah dikumpulkannya. Sikap permusuhan yang sangat dalam dan kelam ini sangat merusak dan memiliki daya hancur yang kuat. Hal ini memberikan kesempatan kepada Muawiyah untuk mengukuhkan rasa cinta keduniaan yang mengakar. Rasa ini mengoyak-ngoyak persatuan kaum muslimin. Kondisi ini memberikan sebuah lahan baru tentang hak-hak milik agama yang lebih mencakup kepada politik pemerintahan dalam menghadapi semangat risalah dan revolusi.

Masih seputar masalah ini, profesor Hasyim Ma'ruf menulis:

"Imam Ali bin Abi Thalib adalah fenomena historikal yang tidak pernah dikenal oleh umat manusia dalam kehidupan mereka. Ketidaktahuan ini mulai dari kelahirannya. Tempat lahirnya merupakan tempat yang sangat fenomenal dalam sejarah. Belum pernah ada seorang pun yang pernah dilahirkan di sana (Ka'bah), tidak sebelumnya dan tidak sesudahnya. Sebagaimana ia dilahirkan di rumah Allah, saat menghadapi kematiannya oleh Allah ia dikeluarkan dari rumahnya."

Ditambahkan olehnya:

'Belum pernah terjadi dalam sejarah kemanusiaan seperti yang terjadi pada Ali bin Abi Thalib. Orang-orang yang tidak memiliki keimanan seperti para pecintanya menganggapnya sebagai pemimpin yang terdepan dan salah satu manusia terjenius yang pernah dilahirkan zaman. Orang-orang yang obyektif mencintainya, memandangnya sebagai pendamping kenabian dan kerasulan. Sementara orang-orang yang berlebih-lebihan dalam mencintainya meletakkannya pada posisi ketuhanan."



6
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib AS.

Sifat-sifat Imam Ali bin Abi Thalib AS.
Imam Ali bin Abi Thalib merupakan salah seorang yang terkumpul padanya sifat-sifat mulia. Bersamanya fitrah yang suci dan jiwa mardhiyah (yang direlai) yang tidak dimiliki oleh orang lain yang unik dari sekian tokoh-tokoh yang ada.

Nasab dan keturunannya adalah yang terbaik dan termulia. Ayahnya adalah Abu Thalib tokoh penting Quraisy. Kakeknya adalah Abdul Mutthalib pemimpin kota Mekkah. Sebelum itu pun ia merupakan tokoh penting Bani Hasyim.

Keturunannya lebih bermakna dengan kedekatan nasabnya dengan Nabi Muhammad saw. Nabi adalah anak paman, mertuanya sekaligus orang yang paling dicintai Nabi dari sekalian keluarganya. Ali bin Abi Thalib juga adalah penulis wahyu yang turun pada Nabi. Ali bin Abi Thalib adalah yang paling menyerupai Nabi dalam kefasihan dan sastra Arab. Ia juga termasuk yang paling menghafal sabda-sabda Nabi dan yang paling memahami keluasan maknanya.

Ali bin Abi Thalib adalah orang pertama yang mengikrarkan keislamannya di hadapan Nabi tanpa pernah tersentuh akidah Arab Jahiliah sebelumnya. Sebelum akalnya dirusaki oleh kesyirikan. Ia selalu bersama Nabi di masa-masa sulit maupun senang begitu juga pada masa perang maupun damai. Kebersamaannya dengan Nabi membuatnya senantiasa berakhlak dengan akhlak Nabi sebagai panutannya. Ia memahami agama dari Nabi dan mempelajari apa yang diturunkan Jibril kepada Nabi. Ali bin Abi Thalib akhirnya terkenal sebagai sahabat yang paling paham agama, paling layak untuk menghakimi dengan aturan-aturan syariat, yang paling menjaga agama, yang paling layak mendakwahi orang lain, paling teliti dalam memberikan pandangan dalam masalah agama dan yang paling mendekati kebenaran. Kelebihan-kelebihan ini mengharuskan Umar untuk berkata,'Bila ada Abul Hasan (Ali bin Abi Thalib) tidak akan ada masalah yang tersisa pasti ia dapat menyelesaikannya.

Ali bin Abi Thalib adalah yang paling berilmu, lebih berpengalaman, bijaksana dan pengkritik yang sangat paham. Perasaannya sangat halus, jiwanya suci dan bersih, emosinya terkontrol, pandangannya tajam, jalan yang dicarinya adalah yang terbaik, pemahamannya sangat cepat, ingatannya luar biasa dan mengenal benar apa yang penting.



Ibadah dan ketakwaan
Ali bin Abi Thalib terkenal dengan ketakwaannya. Ketakwaannya menjadi penyebab bagi perilaku-perilaku baik dengan diri, keluarga dan masyarakat. Ibadah dalam pandangan mayoritas terkadang diartikan sebagai kembalinya kelemahan pada diri. Terkadang juga diartikan sebagai pelarian dari persoalan-persoalan kehidupan. Di sisi lain, diartikan sebagai bentuk kegelisahan yang diwariskan kemudian diperkuat oleh kebingungan baru yang sumbernya adalah pengkudusan manusia dan masyarakat bagi semua warisan di banyak kondisi.

Ketakwaan yang dimiliki oleh Imam Ali bin Abi Thalib merupakan sumber semua potensi kekuatan yang dimilikinya sekaligus penyambung seluruh lingkaran moral yang menguat dan berlanjut hingga hari kiamat. Ketakwaan juga memberikan makna jihad di jalur yang menghubungkan kehidupan dengan segala nilai-nilai kebaikan. Bagaimanapun juga, Ketakwaan yang ada pada diri Imam Ali bin Abi Thalib adalah semangat pembangkangan terhadap fasad dan kemungkaran yang senantiasa diperanginya dari segala sisi. Pembangkangan terhadap kemunafikan, semangat mengeksploitasi sesama manusia dan pembunuhan karena manfaat pribadi. Pembangkangan terhadap kenistaan, kemiskinan, kemelaratan dan kelemahan. Pembangkangan terhadap semua predikat-predikat yang melekat pada kondisi yang rusuh dan riuh di masa hidupnya.

Siapa saja yang menyaksikan ibadah Imam Ali bin Abi Thalib akan jelas baginya bahwa terlihat ia sangat serius sehingga terkesan berlebih-lebihan dalam ibadah dan takwanya. Hal yang sama, ia sangat serius mengikuti metodenya dalam politik dan memerintah. Dalam masalah ibadah, penyair akan terpana terhenti pada kebesaran wujud yang luas, kejernihan jiwa dan hati yang penuh dengan kecintaan sehingga bila tersingkap baginya keindahan alam niscaya segalanya saling melengkapi dengan apa yang ada dalam wujudnya baik itu bayang-bayang kenikmatan yang menaungi atau keseimbangan. Tanda-tanda yang agung ini dapat dilihat dari penjelasan puncak ketakwaan seorang yang merdeka dan jiwa-jiwa yang besar dan gagah. 'Sebagian manusia menyembah Allah karena mengharapkan sesuatu. Ibadah seperti ini adalah penghambaan seorang pedagang. Sebagian manusia menyembah karena ketakutan. Ibadah ini adalah penghambaan seorang budak. Sebagian manusia menyembah Allah karena merupakan sebuah bentuk terima kasih dan syukur. Ibadah dengan bentuk yang seperti ini adalah penghambaan seorang merdeka.'

Ibadah Imam Ali bin Abi Thalib AS. bukan elemen pengantar untuk meraih keuntungan atau alat untuk dapat lari dari Allah swt karena ketakutan sebagaimana ibadah yang dilakukan oleh kebanyakan orang. Ibadah dengan makna semacam ini memiliki muatan negatif. Ibadah Ali bin Abi Thalib adalah ibadah yang berbeda. Ibadahnya memiliki muatan positif. Ibadah yang muncul dari manusia agung yang muncul dari kesadaran akan dirinya dan alam berdasarkan eksperimen-eksperimen yang telah nyata berhasil, rasio yang bijaksana dan hati yang sensitif.

Makna takwa yang didefinisikan dan didemonstrasikan Ali bin Abi Thalib membuatnya mampu mengarahkan manusia untuk bertakwa kepada Allah di jalur kebaikan kemanusiaan universal. Atau katakanlah: Di jalan urusan yang lebih mulia dari keinginan seorang pedagang yang beribadah untuk meraih kenikmatan akhirat. Jalur yang dirintis oleh Imam Ali bin Abi Thalib mampu mengarahkan manusia dalam bertakwa agar perbuatan mereka dapat mencerminkan keadilan dan meredam kemazluman dari seorang zalim. Ali bin Abi Thalib berkata, seyogianya kalian bertakwa kepada Allah. Dan dengan berbuat dan menjaga keadilan terhadap teman akrab dan musuh'. Dalam bertakwa, menurut Ali, kebaikan sebuah takwa akan muncul di mana ia mampu melindungimu untuk tidak menerima kebenaran begitu saja tanpa bukti-bukti yang dapat dipertanggungjawabkan. Takwa yang baik akan menahanmu untuk berbuat zalim kepada orang yang engkau benci dan menahanmu untuk tidak berbuat dosa. Kehidupan, dengan makna takwa yang didefinisikan Ali, tidak diharapkan karena kenikmatannya sedikit dan kelezatannya yang bakal lenyap.



Kezuhudan
Ali bin Abi Thalib telah menunjukkan bahwa selama hidupnya adalah orang yang zuhud. Yang lebih penting lagi adalah ia jujur dalam kezuhudannya. Hal yang sama ketika ia jujur dalam semua apa yang dilakukan atau yang terlintas dalam hatinya bahkan yang diucapkannya. Ia mempraktekkan hidup zuhud dari dunia, gemerlapan negara dan kekuatan seorang penguasa serta hal-hal apa saja yang menurut orang lain dapat mengangkat derajat mereka. Sesuatu yang dilihat oleh mereka sebagai inti keberadaan. Ali bin Abi Thalib hidup di sebuah rumah yang sederhana bersama anak-anaknya sementara kekhalifahan berlindung padanya bukan kerajaan. Ia makan dari gandum yang digiling sendiri oleh istrinya dengan tangannya sementara pembantu-pembantu serta gubernur-gubernurnya hidup dalam gemerlap duniawi di Syam, hidup dalam kekayaan di Mesir dan hidup dalam kenikmatan di Irak. Ali bin Abi Thalib memakan roti kering dan keras yang ketika hendak dimakan di patahkan dengan lututnya. Bila musim dingin tiba dan hawa dingin menggigilkan semua orang, Ali tidak mempergunakan beberapa selimut untuk menghangatkan badannya untuk mengusir rasa dingin yang menghantamnya. Ali bin Abi Thalib mencukupkan dirinya dengan pakaian hangat yang tidak terlalu tebal sebagai petanda akan kehalusan ruh yang dimilikinya.

Harun bin 'Antarah meriwayatkan dari ayahnya, 'Aku menemui Ali bin Abi Thalib di daerah Khuznaq. Pada waktu itu musim dingin. Ali bin Abi Thalib memakai pakaian beludru sementara badannya terlihat menggigil. Aku berkata kepadanya, 'Wahai Amir Mukminin! Allah telah memberikan kepadamu dan keluargamu bagian di harta ini (baitul mal). Engkau dapat memanfaatkannya untuk dirimu'. Ali menjawab, 'Demi Allah! Aku menganggap apa yang kalian lihat selama ini kecil. Aku merasa cukup dengan pakaian beludru ini yang kubawa dari Madinah'.

Salah seorang mendatangi Ali bin Abi Thalib sambil membawakan makanan manis yang berharga mahal yang disebut Al-Faludzaj (kue yang dibuat dari tepung, susu dan madu). Ali tidak memakannya. Sambil melihat makanan tersebut sambil berkata, 'Demi Allah! Engkau adalah makanan yang berbau wangi, warnamu sangat menarik dan tepat untuk dimakan. Sayangnya, aku tidak akan membiasakan diriku dengan sesuatu yang tidak menjadi kebiasaanku'.

Sungguh, kezuhudan Ali bin Abi Thalib adalah makna gabungan dari kekesatriaan walaupun, menurut sebagian orang bahwa kezuhudan dan kekesatriaan dua makna yang berbeda.

Kehidupan Umar bin Abdul Aziz yang indah patut menjadi contoh. Ia mengatakan, 'Manusia yang paling zuhud adalah Ali bin Abi Thalib'. Sementara keluarganya Bani Umayyah begitu membenci Ali bin Abi Thalib. Mereka memperkenalkan keburukan Ali bin Abi Thalib di hadapan masyarakat bahkan mencaci-makinya di atas mimbar salat Jumat.

Semua mengetahui bahwa Ali bin Abi Thalib tidak tinggal di istana negara yang telah dipersiapkan untuknya di Irak. Ali tidak ingin rumahnya lebih dari rumah-rumah para fakir miskin yang tinggal dalam kesederhanaan dan kefakirannya. Ucapan beliau terkait dengan sikapnya dalam hidup mencerminkan hal itu. 'Apakah aku akan merasa cukup dengan diriku ketika orang-orang mengatakan padaku Amir Mukminin sementara aku tidak pernah merasakan kesulitan-kesulitan yang dialami mereka?.



Penolakan dan keluhuran budi
Ali bin Abi Thalib mendemonstrasikan kekesatriaan dengan makna puncaknya yang mengagumkan. Kekesatriaan yang dipraktekkannya mencakup semua bentuk keluhuran budi. Penolakan dan kebanggaan adalah dua prinsip dan semangat kekesatriaan. Keduanya merupakan sifat dan sikap Imam Ali bin Abi Thalib AS. Oleh karenanya, ia akan sangat marah bila melihat seseorang diganggu sekalipun orang itu tadinya mengganggu orang lain. Ali sangat membenci seseorang yang berinisiatif untuk menzalimi orang lain sekalipun perilaku itu dapat dipercaya bahwa orang yang akan dizalimi akan membunuhnya.

Semangat penolakan dan kebanggaan inilah yang melatarbelakangi ia berada di atas angin dalam menghadapi orang-orang Bani Umayyah yang mencaci-makinya di hari ketika mereka berusaha menjatuhkannya dengan caci maki. Ali bin Abi Thalib melarang para sahabatnya untuk melontarkan caci makian kepada Bani Umayyah dengan ucapannya, 'Aku benci melihat kalian suka mencaci maki. Aku dapat menolerir bila kalian menjelaskan perilaku dan menyebutkan kondisi mereka. Hal yang demikian, menurutku, lebih tepat dan bila salah lebih mudah untuk mengucapkan kata maaf, dari pada kalian mengatakan tempat di mana kalian mencaci mereka. Ya Allah, peliharalah darah kami dan darah mereka. Perbaiki hubungan kami dengan mereka. Tunjukkanlah mereka dari kesalahan yang ada sehingga orang yang tidak mengetahui dapat mengenal kebenaran. Sehingga tidak lagi ada yang melakukan perbuatan jelek dan permusuhan'.



Menjaga harga diri
Kekesatriaan dan penghormatan terhadap harga diri seseorang yang dimiliki oleh Ali bin Abi Thalib lebih sulit ditemukan padanannya dalam sejarah. Kejadian-kejadian penghormatan terhadap harga diri seseorang yang dilakukan Ali dalam sejarah kehidupannya lebih banyak dari yang dibayangkan. Salah satunya pada kejadian ketika Ali bin Abi Thalib menahan pasukannya yang dalam kondisi marah untuk tidak membunuh musuh yang bertobat. Ia juga melarang mereka untuk menyingkap tabir dan mengambil harta. Selain itu, saat ia memenangkan pertempuran dengan musuh bebuyutannya yang mencari kesempatan untuk menyelamatkan diri darinya. Ia mengampuni dan berbuat baik dengan mereka. Ali melarang sahabat-sahabatnya untuk menyiksa mereka walaupun mampu melakukan itu.



Kebenaran dan keikhlasan
Kebenaran dan keikhlasan adalah dua sifat yang dimiliki Imam Ali bin Abi Thalib AS. Kedua saling terkait satu dengan yang lainnya dalam hubungan yang tidak ada habis-habisnya. Salah satunya menjadi bukti bagi yang lainnya. Kebenaran dalam sifat Ali bin Abi Thalib telah mencapai puncaknya sehingga ia harus merelakan khilafah yang menjadi haknya hilang, dirampas orang. Seandainya Ali bin Abi Thalib mau rela sedetik untuk menggantikan sikap kebenaran yang diyakininya niscaya ia tidak memiliki musuh. Orang-orang yang semula adalah temannya tidak akan berbalik memusuhinya. Ali membuang jauh-jauh apa yang menjadi prinsip Muawiyah dalam perilakunya. Ia berkata, 'Aku tidak akan mencari muka karena agama yang kuanut. Aku tidak akan melakukan hal-hal yang rendah dalam urusan keagamaanku'. Ketika terpampang dengan lebar akan tipu muslihat Muawiyah di hadapan masyarakat, Ali mengucapkan kalimat yang hanya diungkapkan oleh orang yang memiliki moral yang agung. 'Demi Allah! Muawiyah tidak lebih cerdik dari aku. Yang dilakukan oleh Muawiyah adalah kecurangan dan perbuatan tercela. Seandainya kecurangan adalah perbuatan yang tidak tercela niscaya aku adalah orang yang paling curang di muka bumi.' Ali bin Abi Thalib selalu mengingatkan akan keharusan berkata benar dalam kondisi apapun. 'Salah satu dari tanda-tanda iman adalah selalu berkata benar sekalipun itu membahayakanmu. Tidak kompromi dengan kebohongan sekalipun itu memberimu manfaat.'



Keberanian
Keberanian Imam Ali bin Abi Thalib AS. bila diungkapkan adalah ide dan pemikiran sementara pada tataran praktis adalah iradah dan kehendak. Poros keberanian adalah melindungi hal yang alami seperti kebenaran dan keimanan akan kebaikan. Semua mengetahui bagaimana tidak ada seorang pahlawan di zamannya yang mampu menang melawannya di medan pertempuran. Keberaniannya menentang maut tidak membuatnya takut menghadapi siapa saja. Lebih dari itu, pikiran akan mati dalam peperangan tidak pernah melintas dalam benak Ali bin Abi Thalib sementara ia dalam posisi berduel dalam medan perang. Ia tidak akan berduel dengan musuh-musuhnya dan mengalahkan mereka sebelum berdialog dan menasihati serta menuntun mereka kepada kebenaran.

Ali bin Abi Thalib dengan segenap kekuatannya yang luar biasa tidak pernah melakukan penganiayaan terhadap musuhnya dalam kondisi bagaimanapun. Para sejarawan sepakat bahwa Ali bin Abi Thalib tidak pernah memulai dalam berperang hingga musuh telah terlebih dahulu menyerangnya. Ia senantiasa berusaha sebisa mungkin menyeimbangkan segala urusannya berbarengan dengan kemarahannya dengan cara damai agar tidak terjadi pertumpahan darah, tidak terjadi peperangan.

Secara alamiah tidak melakukan perbuatan melampaui batas merupakan prinsip dan moral Ali bin Abi Thalib. Ia senantiasa menghubungkan dirinya secara erat dengan fondasi universal yang diyakininya yang dibangun atas pengenalan akan perjanjian dan melindungi tanggungan dan berbelas kasih terhadap manusia sekalipun orang lain mengkhianati perjanjian dan melakukan perbuatan tidak beradab dan tidak ada rasa perikemanusiaan.

Ali bin Abi Thalib tidak pernah sedikit pun memenangkan rasa permusuhannya atas kebenaran. Hal itu sudah pasti akan dilakukan bila tidak ada lagi tuntunan agung dari sifat memenuhi janji dan kewibawaan serta kedermawanan yang memenuhi jiwanya dalam mengalahkan rasa takutnya.

Sayangnya, pemilik kasih sayang ini tidak dilindungi oleh sahabat-sahabat yang betul-betul mencintainya. Mereka tidak ingin menjadi seperti Ali bin Abi Thalib dan dirinya. Akhirnya Ali bin Abi Thalib membiarkan mereka dalam kebaikan bumi namun tidak seluruh makhluk. Ali bin Abi Thalib berkata, 'Demi Allah! Seandainya aku diberi tujuh iklim di bumi ini namun aku harus bermaksiat kepada Allah dengan merebut sebutir gandum murahan dari mulut seekor semut niscaya aku tidak akan mengabulkan itu. Dunia kalian di sisiku lebih rendah nilainya dari dedaunan yang sedang dikunyah oleh seekor belalang'.

Ali bin Abi Thalib dalam hal ini, tidak sekedar berkata dan kemudian melakukannya. Namun, ucapannya mengalir dari perbuatan yang alami yang dipraktekkan dan dari perasaan yang dirasakannya. Ali bin Abi Thalib adalah orang yang paling mulia di antara manusia. Ia adalah makhluk Allah yang paling jauh untuk mengganggu makhluk yang lain. Ia paling dekat dengan manusia untuk membantu mereka agar hati nuraninya tidak tersiksa. Bukankah seluruh kehidupannya adalah rentetan peperangan yang berkepanjangan untuk menolong orang-orang yang dizalimi dan lemah? Ia dengan senang hati akan menolong kaum tanpa permintaan pertolongan dari mereka yang selalu menjadi alat produksi dari para penguasa yang mewarisi sistem kesukuan. Apakah pedang tajamnya yang di arahkan ke leher orang-orang Quraisy yang ingin menguasai kekhalifahan, kepemimpinan, posisi dan pengumpulan harta masih belum jelas menjelaskan hakikat ini! Bukankah ia meletakkan khilafah dan kehidupan di atas bumi hanya karena ia enggan berjalan berbarengan dengan pencinta dunia yang selalu memarginalkan kaum lemah dan papa serta yang dizalimi?



Keadilan
Tidak aneh bila dikatakan Ali bin Abi Thalib adalah orang yang paling adil. Aneh bila Ali bin Abi Thalib adalah kebalikannya. Riwayat-riwayat tentang keadilan Ali bin Abi Thalib adalah harta peninggalan yang tak terkira yang senantiasa mengawasi posisi dan derajat manusia dan semangat kemanusiaan.

Ali bin Abi Thalib tidak ingin ditinggikan dalam hak-haknya di peradilan. Bahkan ia selalu berusaha agar diadili bila harus karena pengadilan adalah bagian dari semangat keadilan.

Semangat keadilan dalam diri Ali bin Abi Thalib mengalir hingga merasuki hal-hal yang paling sederhana. Wasiat-wasiat dan surat-suratnya kepada para gubernurnya hampir seluruhnya berisikan pesan untuk berlaku adil. Keadilan telah memenangi pertempuran di dalam hati Ali bin Abi Thalib dan hati para pengikutnya sekalipun mereka dizalimi dan ia disakiti.



Rendah hati
Salah satu prinsip moral Imam Ali bin Abi Thalib AS. adalah ia senantiasa menyandarkan perilakunya pada kesederhanaan dan menolak pemaksaan. Ia berkata, 'Teman yang paling buruk adalah yang memaksa orang lain untuk melakukan pekerjaan yang sulit'. Di tempat lain ia juga berkata, 'Ketika seorang mukmin membuat saudara mukminnya marah, maka hampir dapat dipastikan bahwa ia telah berpisah dengannya'.

Oleh karenanya, Ali bin Abi Thalib tidak pernah berbuat-buat dalam pandangan yang disampaikannya, nasihat yang dianjurkannya, harta yang diinfakkannya atau harta yang dilarang untuk diberikan. Semua yang dilakukan dengan sungguh-sungguh. Sifat alami ini senantiasa dilakukannya sehingga sahabat-sahabat yang mengharap keuntungan merasa putus asa sekalipun dengan tipu daya. Sebagian sahabat menyebutnya orang yang berhati keras, orang yang terasing dan arogan. Kebenaran yang dirasakan dan mengungkapkan kebenaran itu sendiri bukanlah sikap arogan dan bukan pula orang yang terasing dari lingkungannya. Bahkan sebaliknya, sikap menyampaikan kebenaran adalah usaha untuk memerangi sikap arogansi dan 'ujub (merasa besar hati). Dan, Ali bin Abi Thalib sejak awal senantiasa melarang anak-anak, pembantu-pembantu dan gubernur-gubernurnya untuk merasa takabur dan 'ujub dengan ucapannya, 'Hati-hatilah engkau dengan rasa 'ujub yang menghinggapi dirimu. Ketahuilah rasa 'ujub (menganggap besar diri sendiri) adalah bentuk dari rasa permusuhan terhadap kebenaran dan salah satu perusak hati'. Ia membenci kecintaan kepada dirinya yang dipaksakan sebagaimana ia membenci kebencian yang di alamatkan kepada dirinya dengan cara paksa. Ali bin Abi Thalib berkata, 'Dua kelompok yang celaka terkait dengan diriku. Pertama, pencinta yang berlebih-lebihan dan kedua, pembenci yang berlebih-lebihan'.

Ali bin Abi Thalib maju ke medan pertempuran menghadapi musuh-musuhnya untuk berduel tanpa memakai topi pelindung sementara para musuhnya memakai pelindung dari besi. Tidak aneh bila ia keluar menghadapi mereka dengan keterbukaan jiwa sementara mereka menutupi dirinya dengan tipu muslihat dan riya.



Kesucian
Ali bin Abi Thalib dikenal dengan hatinya yang sehat. Ia tidak pernah merasa hasut kepada orang lain bahkan kepada musuh bebuyutannya sendiri. Ia tidak punya perasaan jelek bahkan kepada orang yang membencinya karena hasut.



Kedermawanan
Salah satu moral Ali bin Abi Thalib adalah kedermawanan. Kemuliaannya tidak mengenal batas. Kemuliaan Ali bin Abi Thalib memiliki muatan positif dan sehat sesuai dengan prinsip-prinsip dan tujuannya. Ali bin Abi Thalib tidak akan memuliakan gubernur-gubernurnya yang dihormati lewat harta dan usaha-usaha masyarakat. Sikap penghormatan dan kemuliaan seperti ini tidak pernah dilakukannya sekalipun dalam hidupnya. Kemuliaan Ali bin Abi Thalib dapat diungkapkan dengan sekumpulan kekesatriaan. Ia memeriksa anak wanitanya dengan seksama bahkan dapat dikatakan sangat tegas karena mempergunakan kalung dari harta Baitul Mal menyongsong hari raya. Ali bin Abi Thalib dengan tangannya sendiri menyirami pohon kurma yang dimiliki sekelompok orang-orang Yahudi Madinah sehingga tangannya melepuh. Upah yang diterima diberikannya kepada mereka yang membutuhkan dan fakir miskin. Sebagian dari upah yang diterimanya dipakai untuk membeli budak-budak untuk kemudian dimerdekakannya.

Muawiyah secara pribadi menyaksikan akan kedermawanan Ali bin Abi Thalib sambil berkata, 'Seandainya Ali bin Abi Thalib memiliki sebuah rumah dari emas dan sebuah lagi dari jerami niscaya ia akan menghabiskan rumah dari emasnya terlebih dahulu sebelum rumahnya yang dibuat dari jerami hancur'.



Ilmu dan pengetahuan
Ibnu Abi Al-Hadid berkata, 'Apa yang harus aku katakan pada seorang yang berkumpul padanya semua keutamaan, semua perbedaan kembali menyatu padanya dan bagaikan magnet semua pihak tertarik dan mengelilinginya. Ia adalah pemimpin segala keutamaan bahkan sumbernya. Siapa saja yang memiliki sifat-sifat besar pasti mengambil dan mencontohinya dari Ali bin Abi Thalib.

Paling mulianya ilmu-ilmu yang membicarakan tentang Allah diambil dari ucapan-ucapannya, dinukil darinya, akhir dan awal kembali padanya. Ilmu fikih misalnya, asal dan dasarnya adalah Ali bin Abi Thalib. Setiap fakih dalam Islam adalah keluarga besar Ali bin Abi Thalib dan memanfaatkan ilmu dan fikih Ali bin Abi Thalib. Ilmu tafsir Al-Quran diambil darinya dan dari ucapannya kemudian diperluas. Ilmu tarekat dan hakikat serta keadaan-keadaan tasawuf diambil dari khazanah ucapan-ucapan Ali bin Abi Thalib. Silsilah pimpinan para sufi akhirnya terhenti pada Ali bin Abi Thalib. Ilmu Nahwu dan bahasa Arab yang dikuasai kebanyakan manusia merupakan hasil kreativitas Ali bin Abi Thalib yang didiktekan kepada Abu Al-Aswad Ad-Duali; prinsip-prinsip dan kesimpulannya.'

Ibnu Abi Al-Hadid menambahkan, 'Akan halnya kefasihan, Ali bin Abi Thalib adalah tokoh dan pakar kefasihan dan pemimpinnya. Terkait dengan ucapan-ucapannya, Ibnu Abi Al-Hadid memberikan penilaian, 'di bawah kalam ilahi dan di atas kalam manusia'. Orang-orang mempelajari seni pidato dan menulis darinya. Demi Allah! Tidak ada yang lebih fasih di lingkungan orang-orang Quraisy selain Ali bin Abi Thalib. Bukti kefasihannya adalah kitab yang saya komentari. Buku ini, Nahjul Balaghah, tidak tertandingi dalam kefasihan dan tidak ada yang menyamainya dalam retorika.

Dilanjutkan lagi, 'Masalah zuhud dari dunia yang menjadi sifat Ali bin Abi Thalib dapat dikatakan bahwa ia adalah pimpinan mereka yang mengaku zuhud. Kaki, tangan dan otot-otot sampingnya senantiasa sakit karena setiap perjalanan kembali padanya, pakaiannya adalah kain tebal yang kaku, ia tidak pernah kenyang seumur hidupnya dan orang yang berpakaian dan makanannya kasar.'

Terkait dengan ibadah maka Ali bin Abi Thalib adalah manusia yang paling banyak melakukan ibadah baik salat maupun puasa. Para sahabat mempelajari bagaimana melakukan salat malam, membaca wirid-wirid dan bagaimana melakukan salat-salat sunat. Apa yang dapat kau pikirkan dari seorang lelaki yang secara serius dan berkesinambungan membaca wirid dengan menghamparkan kain untuk salat dan berdoa di perang Shiffin pada malam Harir. Ali bin Abi Thalib pada malam pertempuran itu melakukan salat dan membaca wiridnya sementara anak-anak panah berjatuhan di depannya. Anak-anak panah menembus dan merobek apa saja yang berada di kiri dan kanannya. Ali bin Abi Thalib tidak terlihat bergeming dari tempatnya. Tidak terlihat ada rasa ketakutan sedikit pun dari wajahnya. Ia tidak meninggalkan salatnya hingga selesai melakukannya. Seandainya engkau merenungi doa-doa dan munajat yang dilakukannya, seandainya engkau terhenti sebentar bagaimana ia mengagungkan dan memuliakan Allah swt, pengagungan yang mengandung kekhusyukan, kerendahan dan penyerahan total di hadapan kebesaran dan keagungan-Nya niscaya engkau akan mengetahui seberapa murni keikhlasannya. Engkau akan memahami lewat hati dari siapa ungkapan-ungkapan ini mengalir, lewat lisan siapa terlontar. Ali bin Al-Husein AS. seorang yang mencapai puncak dalam beribadah sehingga di beri gelar Zainul Abidin (hiasan orang-orang yang beribadah) berkata, 'Ibadahku bila dibandingkan dengan ibadah yang dilakukan kakekku Ali bin Abi Thalib sama perbandingannya dengan ibadah Ali bin Abi Thalib bila dibandingkan dengan ibadah Rasulullah saw'.

Bacaan Al-Quran dan kesibukannya membaca dan memahaminya merupakan fokus bab ini. Semua sepakat bahwa Ali bin Abi Thalib menghafal Al-Quran sejak zaman Rasulullah saw sementara belum ada yang menghafalkannya. Ali bin Abi Thalib adalah orang pertama yang mengumpulkan Al-Quran. Terkait dengan masalah qiraat (bentuk-bentuk pembacaan) Al-Quran, dapat ditemukan bahwa para pimpinan qiraat ujung-ujungnya berakhir pada Ali bin Abi Thalib AS.

Apa yang dapat kukatakan tentang seorang yang dicintai oleh ahli dzimmah yang mencintainya sekalipun mereka tidak menerima konsep kenabian. Seorang yang diagungkan para filsuf sementara mereka memusuhi umat beragama. Seorang yang dilukis gambarnya oleh orang-orang Eropa dan Roma di gereja-gereja dalam keadaan memegang pedangnya. Seorang yang dicintai oleh semua orang dan ingin agar orang yang sepertinya diperbanyak. Seorang yang disenangi oleh setiap orang untuk dapat dihubungkan dengannya?

Aku merasa sulit menyifati seorang yang terlebih dahulu mendapat hidayah dari orang lain. Orang paling awal yang mengesakan Allah setelah Muhammad Rasulullah saw.


7
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib AS.

Bab II: Kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib

Nasab Ali bin Abi Thalib
Nasab Imam Ali bin Abi Thalib demikian Ali bin Abi Thalib bin Abdul Mutthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka'b bin Lua'iy bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhir bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Iyaas bin Mudhar bin Nizar bin Ma'ad bin 'Adnan.


Kakek
Abdul Mutthalib dikenal sebagai Syaibah Al-Hamd (orang tua yang suka bersukur) namun ia juga biasa dipanggil dengan Abu Al-Harts. Nasab Imam Ali bin Abi Thalib bertemu dengan nasab Rasulullah saw pada Abdul Mutthalib. Abdul Mutthalib beriman kepada Allah swt dan tahu dengan persis bahwa Muhammad saw akan menjadi seorang nabi.

Ketika Abdul Mutthalib mendekati ajalnya ia memanggil anaknya Abu Thalib. Ia berkata, 'Wahai anakku! Engkau tahu betul betapa aku mencintai Muhammad. Aku ingin mengetahui pendapatmu. Bagaimana engkau akan menjaganya sepeninggalku? Abu Thalib menjawab, 'Wahai ayah! Jangan mewanti-wantiku tentang pengasuhan Muhammad saw. Ia telah kuanggap sebagai anakku sendiri walaupun ia adalah anak saudaraku'.


Ayah
Ayahnya bernama Abdi Manaf. Ada dua nama yang disebutkan berkenaan dengan nama ayah Imam Ali bin Abi Thalib bin Abi Thalib; Imran dan Syaibah. Ayah Ali bin Abi Thalib lebih dikenal dengan sebutan Abu Thalib. Abdi Manaf adalah saudara sekandung Abdullah ayah Nabi Muhammad saw. Abu Thalib dilahirkan di Mekkah sekitar tiga puluh lima tahun sebelum kelahiran Nabi Muhammad saw. Abu Thalib adalah pemimpin kabilah Quraisy sepeninggal ayahnya Abdul Mutthalib. Tugasnya antara lain memberi minum mereka yang melakukan ziarah ke Mekkah secara keseluruhan. Tugas ini dalam sejarah disebut siqayatul haj. Abu Thalib adalah orang yang menyembah Allah dan mengesakan-Nya tanpa pernah terlibat penyembahan berhala. Pada masanya ia melarang perkawinan sesama muhrim, membunuh anak wanita yang baru lahir, zina, meminum minuman keras dan melakukan tawaf mengelilingi Ka'bah sambil telanjang.

Sepeninggal Abdul Mutthalib, ia menjadi pengasuh Rasulullah saw. Abu Thalib mencintai Muhammad lebih dari cintanya kepada anak-anaknya sendiri. Setiap hendak tidur Muhammad selalu ditidurkan di sisinya. Bila ia keluar senantiasa Muhammad saw dibawa bersamanya. Makanan Muhammad saw pun olehnya disendirikan.

Diriwayatkan bahwa Abu Thalib pernah mengumpulkan sanak keluarga Abdul Mutthalib dan berkata, 'Kalian senantiasa mendengar bahwa Muhammad selalu melakukan kebajikan sayangnya kalian belum mengikutinya. Ikutilah dia, bantu dia niscaya kalian akan menemukan kebenaran'. Sepeninggal Abu Thalib kabilah Quraisy senantiasa berada di belakang Rasulullah saw membantunya.

Abu Thalib meninggal dunia tiga tahun sebelum hijrah dan setelah terbebasnya Bani Hasyim bersama Nabi dari As-Syi'b. Ketika meninggal Abu Thalib berumur delapan puluh tahunan lebih. Nabi Muhammad saw juga memiliki kecintaan tersendiri terkait dengan pamannya Abu Thalib. Sejak berumur delapan tahun (sepeninggal kakeknya Abdul Mutthalib), ia hidup bersama pamannya. Sekitar 43 tahun ia merasakan kasih sayang pamannya.

Jelas, Abu Thalib adalah orang yang beriman kepada Allah dan mengesakan-Nya. Ia memiliki keyakinan yang dalam akan kebenaran Islam hingga maut menjemputnya. Ia, selama hidupnya, menyembunyikan keimanannya agar masih tetap dapat melakukan hubungan dengan orang-orang kafir Mekkah dan mencari informasi tentang tipu daya dan makar yang akan dilakukan terhadap Muhammad saw. Semasa hidupnya ia melakukan taqiyyah (menyembunyikan iman). Ia bagaikan Ashabul Kafi yang menyembunyikan imannya dari masyarakat sekitarnya. Ia merupakan salah satu orang mukmin yang akan mendapat dua pahala karena keimanan yang dimilikinya dan taqiyyah yang dilakukannya.


Ibu
Ibu Ali bin Abi Thalib bernama Fathimah binti Asad bin Hasyim bin Abdi Manaf. Nasab ibu dan ayahnya bertemu pada Hasyim. Ia memeluk Islam dan berhijrah bersama Nabi. Fathimah termasuk dari orang-orang pertama yang beriman. Fathimah di mata Muhammad bagaikan seorang ibu yang telah bersusah payah membesarkannya. Oleh karenanya, ketika Fathimah ibu Ali bin Abi Thalib meninggal dunia Nabi Muhammad saw memasuki kamar tempat Fathimah dibaringkan dan duduk di bagian atas kepalanya dan berkata, 'Semoga Allah merahmatimu wahai ibu. Engkau kuanggap ibuku sendiri sepeninggal ibuku. Engkau sering rela untuk menahan lapar namun tidak membiarkan aku tanpa makanan. Engkau tidak memiliki banyak pakaian namun senantiasa aku kau pakaikan pakaian. Engkau menahan diri untuk tidak menikmati makanan yang lezat dan membiarkannya untukku. Ku tahu apa yang kau perbuat hanya karena mengharap pahala dari Allah di hari akhirat'.

Setelah mendoakannya Nabi kemudian kembali menutupnya dan memerintahkan untuk memandikan jenazahnya dengan air tiga kali. Ketika sampai pada mandi dengan air yang dicampur dengan kapur Nabi sendiri yang menuangkan air dengan tangannya. Nabi kemudian melepaskan baju gamisnya dan memakaikannya ke tubuh Fathimah binti Asad ibu Ali bin Abi Thalib. Kemudian mengafankannya lalu beliau memanggil Usamah bin Zaid (budak Nabi yang telah dimerdekakannya), Abu Ayub Al-Anshari, Umar bin Khatthab dan seorang budak hitam untuk menggalikan kuburannya. Setelah mencapai kedalaman yang diinginkan Nabi dengan tangannya sendiri menggali tempat persemayaman terakhir ibu yang telah membesarkannya dan mengangkat tanahnya sendiri. Setelah itu beliau masuk lagi dan berbaring di dalam kuburan sambil berkata, 'Allah Zat yang menghidupkan dan mematikan. Zat yang selalu hidup tak pernah mati. Ya Allah! Ampunilah ibuku Fathimah binti Asad bin Hasyim. Beritahu bahwa ia telah menemukan kebenarannya. Demi kebenaran yang dibawa oleh Nabi-Mu dan para Nabi sebelum ku, luaskan kuburan ini baginya. Sesungguhnya Engkau Maha pengasih Maha Penyayang. Setelah berdoa Rasulullah saw dengan dibantu oleh Abbas dan Abu Bakar memasukkan jasad Fathimah ke dalam kubur.

Disebutkan bahwa ada yang bertanya terkait dengan penguburan Fathimah binti Asad, 'Wahai Rasulullah! Kami melihat engkau meletakkan sesuatu di kuburan Fathimah. Sementara engkau tidak pernah melakukan hal ini kepada siapa pun sebelumnya? Beliau menjawab, 'Aku memakaikannya pakaianku sendiri agar kelak ia memakai pakaian orang-orang ahli surga. Aku juga sempat berbaring di kuburannya agar Allah meringankannya tekanan kuburan. Ia adalah salah satu ciptaan Allah yang terbaik bagiku setelah Abu Thalib. Semoga Allah rela dengan keduanya.



8
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib AS.

Periode kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib
Imam Ali bin Abi Thalib AS. dilahirkan sepuluh tahun sebelum bi'tsah (pengangkatan Muhammad saw ebagai Nabi). Ia hidup dan mengalami semua kejadian mulai dari bi'tsah hingga seluruh pergerakan risalah selama di Mekkah. Periode pembentukan umat Islam dan penguatan prinsip-prinsip risalah. Beliau juga mengikuti seluruh pergerakan Islam di Madinah. Periode di mana bangunan pemerintahan Islam lewat kepemimpinan Nabi Muhammad saw telah sempurna. Imam Ali bin Abi Thalib memiliki saham besar dalam keberadaan Islam hingga muncul dan diketahui oleh dunia.

Sesuai perintah Rasulullah saw , Imam Ali bin Abi Thalib bin Abi Thalib bertanggung jawab membawa obor hidayah ilahiah dan kepemimpinan Islam setelah meninggalnya Nabi. Di sisi lain, para sahabat melakukan pembangkangan terhadap teks-teks yang telah diucapkan Rasulullah saw untuk menjadikan Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin mereka. Para sahabat berusaha sedemikian rupa agar Ali bin Abi Thalib tidak menjadi pemimpin sepeninggal Nabi. Akan tetapi, Imam Ali bin Abi Thalib bin Abi Thalib tetap berjalan mengemban risalah di tengah-tengah kondisi yang sulit. Ia hidup bersama para khalifah padahal dia tahu siapa sebenarnya yang layak menduduki kursi kepemimpinan. Ali bin Abi Thalib mampu menahan kesabarannya sedemikian rupa selama dua puluh lima tahun hingga pada akhirnya kesabarannya membuahkan hasil. Umat akhirnya mengetahui sejumlah penyimpangan yang telah mereka lakukan dari nasihat dan garis yang telah ditentukan oleh Nabi.

Memahami akan kesalahan yang terjadi, umat kemudian mendatanginya dan menyerahkan kepemimpinan kepadanya. Itu setelah menjalani segala kesulitan yang panjang di mana pada akhirnya ia harus mengemban tanggung jawab berat ini. Semua nilai kebaikan yang dimilikinya hanya dapat diterapkan selama lima tahun. Setelah berjuang selama lima tahun akhirnya beliau menyerahkan darahnya di jalan Allah karena membela nilai-nilai risalah. Risalah yang diperjuangkannya agar merasuk kuat ke dalam hati nurani masyarakat Islam dan kemanusiaan.

Berdasarkan perjuangannya kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib dapat dibagi menjadi dua periode besar.

Periode pertama : Kehidupannya mulai dari lahir hingga wafatnya Rasulullah saw.

Periode kedua : Kehidupannya sejak wafatnya Nabi, memegang tampuk kepemimpinan hingga menemui kesahidannya di mihrab masjid.

Namun dengan melihat beragamnya tahapan kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib bin Abi Thalib maka akan lebih tepat bila periode pertama dibagi menjadi tiga bagian agar lebih memudahkan dalam memahami sejarah kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib bin Abi Thalib:

Periode pertama : Sejak lahir hingga bi'tsah.

Periode kedua : Sejak bi'tsah hingga hijrah.

Periode ketiga : Sejak hijrah hingga wafatnya Nabi.

Sementara itu untuk periode kedua juga dapat dibagi menjadi dua kelompok. Bagaimana ia melakukan perlawanan diam untuk tetap mempertahankan risalah dan rasul. Kedua, bagaimana ia menjadi pemimpin. Oleh karenanya periode kedua seperti demikian.

Periode keempat : Kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib di zaman pemerintahan Abu Bakar, Umar dan Utsman.

Periode kelima : Kehidupannya selama memerintah hingga kesahidan.

Periode pertama hingga ketiga akan dibahas pada bab ini juga sementara periode keempat akan dibahas pada bab tiga sementara bab keempat dari buku ini dikhususkan untuk periode kelima dari kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib AS.



9
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib AS.

Imam Ali bin Abi Thalib sejak lahir hingga menjadi Imam

Periode pertama : Sejak lahir hingga bi'tsah

Kelahiran
Imam Ali bin Abi Thalib berkata, 'Aku dilahirkan atas fitrah. Aku termasuk yang lebih dahulu dalam beriman dan berhijrah'.

Imam Ali bin Abi Thalib dilahirkan di kota Mekkah. Tepatnya ia dilahirkan di dalam Ka'bah pada hari Jumat tanggal 13 bulan Rajab tahun 30 dari tahun gajah atau dua puluh tiga tahun sebelum hijrah. Dalam sejarah belum pernah tercatat seorang yang dilahirkan di dalam Ka'bah selain Imam Ali bin Abi Thalib. Tentunya ini sebagai bentuk kekhususan yang dimilikinya yang diberikan oleh Allah dan sekaligus sebuah penghormatan dan kedudukannya.

Diriwayatkan dari Yazid bin Qa'nab, ia berkata, 'Aku sedang duduk-duduk bersama Abbas bin Abdul Mutthalib dan sekelompok dari keluarga Bani 'Izza di hadapan Ka'bah. Sementara dalam kondisi demikian, Fathimah binti Asad mendekati Ka'bah. Ia dalam keadaan hamil sembilan bulan dan sebentar lagi akan melahirkan. Di hadapan Ka'bah ia mengangkat tangannya dan berdoa, 'Ya Allah, Aku beriman kepadaMu dan juga beriman kepada yang datang dari sisi-Mu baik itu Rasul atau Kitab. Aku membenarkan apa yang diucapkan oleh kakekku Ibrahim Al-Khalil bahwa ia yang membangun Ka'bah. Demi hak yang membangun Ka'bah, dan demi bayi yang berada dalam kandunganku, permudahkan kelahiran bayiku ini'.

Yazid melanjutkan, 'Aku kemudian melihat Ka'bah terbuka menganga dan Fathimah melangkah masuk ke dalamnya. Kami kemudian tidak mengetahui lagi apa yang terjadi karena dinding yang seakan-akan disobek itu kembali menutup seperti sediakala. Kami berlari mengambil kunci Ka'bah untuk membuka pintu namun pintu tidak dapat terbuka. Akhirnya kami mencoba memahami bahwa kejadian yang baru kami lihat tadi adalah kuasa Allah. Pada hari keempat, semenjak masuk ke dalam Ka'bah, Fathimah keluar dari Ka'bah sambil menggendong seorang bayi kecil. Bayi kecil itu adalah Ali bin Abi Thalib AS.

Kabar gembira ini secepatnya disampaikan kepada Abu Thalib dan keluarganya. Kegembiraan tampak di wajah mereka. Semuanya berebut ingin lebih dahulu melihat bayi. Muhammad Rasulullah adalah yang paling terdepan. Ia mengambil bayi itu kemudian menggendongnya. Ia membawa bayi yang baru lahir itu ke rumah Abu Thalib. Pada masa itu, Nabi telah menikah dengan Khadijah namun masih tetap tinggal di rumah pamannya. Abu Thalib melihat bayinya dan memberinya nama Ali. Abu Thalib mengadakan perayaan menyambut kelahiran anaknya dan menyembelih banyak hewan.



Laqab dan Kunyah
Ali bin Abi Thalib memiliki laqab (alias) dan kunyah (alias dengan tambahan Abu) yang sangat banyak sehingga sulit untuk menentukan berapa jumlah pastinya. Semuanya itu adalah pemberian dari Rasulullah saw terkait dengan kejadian yang bermacam-macam demi menyebarkan dan mempertahankan Islam dan Nabi.

Sejumlah laqab yang dimilikinya: Amir Mu'minin, Ya'sub Ad-Din wa Al-Muslimin, Mubir As-Syirk wa Al-Musyrikin, Qatil (penghancur) an-Nakitsin wa Al-Qasithin wa Al-Mariqin, Maula Mukminin (pemimpin kaum mukminin), syabih Harun (menyerupai Harun), Al-Murtadha (yang direlai), Nafs Ar-Rasul (jiwa Rasul), Akhu Rasul (saudara Rasul), Zauj Al-Batul (suami Fathimah), Saif Allah Al-Maslul (pedang Allah yang tangkas), Amir Al-Bararah (pemimpin orang-orang baik), Qatil Al-Fajarah (pembasmi orang-orang yang berlaku jahat), Qasim Al-Jannah wa An-Nar (pemisah antara surga dan neraka), Shahib Al-Liwa' (yang memiliki bendera), Sayyid Al-'Arab (pemimpin Arab), Khashif An-Na'l (penjahit sandal), Kassyaf Al-Kurb (penyingkap kesulitan), As-Shiddiq Al-Akbar (pembenar yang terbesar), Zulqarnain, Al-Hadi (petunjuk), Al-Faruq (pemisah antara yang hak dan batil), Ad-Da'i (pendakwah), As-Syahid (penyaksi), Bab Al-Madinah (pintu kota ilmu), Al-Wali (yang mengatur), Al-Washi (yang mendapat wasiat), Qadhi Din Rasulilllah (hakim agama Rasulullah), Munjiz wa'dahu (yang melaksanakan janjinya), An-Naba' Al-'Azhim (kabar agung), As-Shirat Al-Mustaqim (jalan lurus) dan Al-Anza'u Al-Bitthin.

Sementara kunyahnya antara lain : Abu Al-Hasan, Abu Al-Husein, Abu As-Sibthain, Abu Ar-Raihanatain, Abu Turab.



Nabi mempersiapkan Ali
Nabi sering hilir mudik di rumah pamannya Abu Thalib sekalipun ia dan Khadijah telah hidup sendiri. Nabi senantiasa memiliki perhatian yang lebih kepada Ali bin Abi Thalib. Nabi begitu menyayanginya dan sering menggendongnya. Nabi sering menggoyang tempat tidur bayi hingga Ali bin Abi Thalib tertidur. Begitu besar perhatian Nabi kepada Ali bin Abi Thalib.

Sebuah nikmat ilahi yang meliputi kehidupan Ali bin Abi Thalib ketika pada masa itu kabilah Quraisy tertimpa krisis ekonomi yang cukup parah. Abu Thalib terkenal memiliki keluarga besar. Ia termasuk yang paling menderita dengan kondisi ini. Melihat itu Rasulullah saw mengusulkan kepada Abbas, termasuk yang berpunya di kalangan Bani Hasyim, untuk meringankan beban Abu Thalib. Nabi berkata, 'Wahai Abbas! Saudaramu Abu Thalib memiliki keluarga banyak. Di sisi lain bukankah engkau tahu apa yang tengah menimpa masyarakat. Mari kita bersama-sama meringankan tanggungannya. Aku akan mengambil salah satu dari anak-anaknya dan menjadi tanggunganku dan engkau mengambil yang lainnya dan menjadi tanggunganmu. Abbas menjawab, 'Baiklah'.

Keduanya segera berangkat menuju Abu Thalib dan berkata padanya, 'Kami berdua ingin meringankan beban dari tanggungan yang berat atas keluarga besarmu agar masyarakat mengetahui apa yang harus mereka kerjakan. Abu Thalib menyetujui usulan keduanya dan berkata, 'Kalian boleh mengambil yang mana saja yang kalian kehendaki tapi biarkan 'Aqil bersama kami. Rasulullah saw dan Abbas setuju. Nabi mengambil Ali bin Abi Thalib dan langsung mendekapnya. Pada waktu itu Ali bin Abi Thalib berumur enam tahun. Sementara Abbas mengambil Ja'far. Semenjak itu Ali bin Abi Thalib senantiasa bersama Muhammad saw sehingga diangkat menjadi Nabi. Ketika telah menjadi Nabi, Ali bin Abi Thalib kemudian mengikuti, beriman dan membenarkan Muhammad sebagai Nabinya. Ja'far juga bersama Abbas hingga ia masuk Islam dan ketika telah mampu ia berpisah dengan Abbas.

Rasulullah berkata setelah ia memilih Ali bin Abi Thalib, 'Aku telah memilih seseorang yang dipilihkan Allah untukku yaitu Ali'.

Demikianlah, telah tiba waktunya bagi Ali bin Abi Thalib untuk hidup sejak kecil bersama Muhammad Rasulullah saw. Ia dibesarkan di bawah naungan akhlak Nabi yang mulia. Ia minum dari sumber-sumber kecintaan dan kasih sayang Nabi. Muhammad saw membimbingnya tepat sesuai dengan cara pendidikan yang diajarkan Allah kepadanya. Semenjak itu Ali bin Abi Thalib tidak pernah terpisah dari Muhammad saw Nabinya.

Imam Ali bin Abi Thalib AS. sendiri menyebutkan sisi-sisi edukatif yang dipelajarinya dari sang guru dan pendidiknya Muhammad saw. Bagaimana pendidikan yang diterimanya memiliki dampak yang dalam dan sangat membekas dalam dirinya. Itu disampaikan oleh Ali bin Abi Thalib dalam khotbahnya yang terkenal dengan Al-Qashi'ah. Ia berkata:

'Bukankah kalian telah mengetahui bagaimana hubungan dan kedekatanku dengan Muhammad Rasulullah saw dan posisi serta kekhususanku bagi Nabi. Ia meletakkanku di kamarnya di umurku yang masih kecil. Ia sering merengkuh dan menarikku dalam dekapannya. Ia senantiasa menjagaku di pembaringannya. Tubuhku sering bergesekan dengan tubuh Nabi. Ia memberiku kesempatan untuk mencium bau badannya yang wangi dari dekat. Nabi biasanya mengunyah makanan hingga halus kemudian di masukannya ke dalam mulutku. Ia tidak pernah menemukan aku berkata bohong dan melakukan perbuatan salah karena tidak tahu'.

'Aku mengikuti jejak Nabi bak anak unta yang terus mengikuti ke mana ibunya pergi. Setiap hari ia mengangkat derajatku dengan menunjukkan akhlaknya yang mulia dan memintaku untuk mengikutinya. Nabi setiap tahunnya pergi menyepi ke gua Hira. Tidak ada yang mengetahui keadaan ini kecuali aku. Pada masa itu, tidak ada satu rumah pun yang meyakini Islam kecuali rumah Rasulullah saw. Di rumah ini Nabi, Khadijah dan aku sebagai orang ketiga yang memeluk Islam. Aku melihat cahaya wahyu dan risalah. Aku mencium bau kenabian. Aku dapat mendengar suara setan ketika Nabi diturunkan wahyu untuk pertama kali. Ketika itu aku memberanikan diri bertanya kepada Rasulullah saw, 'Wahai Rasulullah! suara apa ini? Beliau menjawab, 'Itu suara setan yang berputus asa dari orang-orang yang menyembahnya. Engkau mendengar apa yang kudengar. Melihat apa yang aku lihat. Sayangnya engkau bukan seorang Nabi. Akan tetapi engkau seperti seorang menteri. Dan engkau berada di atas kebaikan.'


10
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib AS.

Periode kedua : Sejak bi'tsah hingga hijrah

Ali orang pertama yang beriman kepada Rasulullah saw
Rasulullah saw, oleh Al-Quran disebutkan hidup berdasarkan nilai-nilai ilahiah sebagaimana disebutkan oleh ayat 'sesungguhnya engkau (wahai Muhammad) berada di atas akhlak yang agung', adalah seorang contoh pribadi yang berbeda dengan masyarakat jazirah Arab lainnya dari sisi keyakinan, pemikiran, perilaku dan akhlak. Semenjak kecilnya ia senantiasa berperilaku yang sesuai dengan nilai-nilai risalah para Nabi. Lebih-lebih sesuai dengan nilai yang dibawa oleh Nabi Ibrahim Al-Khalil AS. Dalam masalah kehidupan qana'ah (sifat merasa cukup) yang dicontohkan Nabi, tidak akan ditemukan kesesuaian dengan nilai yang dianut oleh masyarakat jahiliah. Dengan dasar ini, ia membangun sebuah keluarga mukmin yang terdiri dari dirinya sendiri dan Khadijah serta Ali bin Abi Thalib.

Sesuai dengan ajaran yang dibawanya Nabi memiliki tugas untuk mengubah sejarah yang ada. Ia harus membuka sebuah jalan alternatif di tengah-tengah aliran global yang ada masa itu. Ia akan berjuang melawan penyimpangan yang berkuasa dengan keluarga yang telah dibangunnya. Ia akan menciptakan gelombang yang menderu-deru, mengubah perlahan-lahan arus penyembahan berhala dan semangat jahiliah dari permukaan bumi. Ali bin Abi Thalib AS. adalah orang yang dibesarkan di keluarga wahyu belum pernah menyembah berhala seumur hidupnya. Ia belum pernah melakukan kesyirikan kepada Allah. Ketika wahyu turun kepada Nabi saw Ali bin Abi Thalib berada di sampingnya. Ia orang pertama yang beriman kepada risalah Nabi sebagaimana buku-buku sejarah menjadi saksi peristiwa agung itu.

Dari Anas bin Malik berkata, 'Kenabian diturunkan kepada Muhammad saw pada hari senin dan Ali bin Abi Thalib melakukan salat pada hari selasa.

Diriwayatkan juga dari Salman Al-Farisi berkata, 'Orang pertama dari umat Islam yang sampai pada telaga Kautsar Nabi adalah orang yang pertama memeluk Islam dan itu adalah Ali bin Abi Thalib.

Dari Abbas bin Abdul Mutthalib pernah mendengar Umar bin Khatthab berkata, 'Jangan mengucapkan sesuatu tentang Ali bin Abi Thalib kecuali terkait dengan kebaikan. Aku sendiri pernah mendengar Rasulullah berkata, 'Pada diri Ali bin Abi Thalib ada tiga kekhususan'. Mendengar sabda Nabi aku ingin sekali memiliki satu dari tiga kekhususan yang dimiliki Ali bin Abi Thalib itu. Setiap satu kekhususan bagiku lebih berharga dari bumi dan seisinya. Hal ini dikarenakan aku, Abu Bakar, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah dan seorang dari sahabat Nabi menyaksikan Rasulullah saw menepuk pundak Ali bin Abi Thalib sambil berkata, 'Wahai Ali! Engkau adalah orang yang paling pertama memeluk Islam. Engkau adalah orang yang pertama beriman. Posisimu dibandingkan denganku seperti posisi Harun di sisi Musa. Pendusta adalah orang yang mengatakan bahwa ia mencintaiku namun dalam hatinya ia membencimu wahai Ali.

Bila diyakini bahwa para sejarawan sependapat akan Ali bin Abi Thalib merupakan orang pertama yang memeluk Islam, sayangnya mereka berselisih pendapat pada umur Ali bin Abi Thalib ketika menyatakan keislamannya. Mengkaji secara serius untuk mendapatkan umur Ali bin Abi Thalib ketika memeluk Islam tidaklah menjadi masalah yang begitu penting. Hal ini dikarenakan ia belum pernah kafir sehingga kemudian memeluk Islam atau pernah syirik setelah itu beriman. Ali bin Abi Thalib sendiri berkata, 'Aku dilahirkan atas fitrah'. Atas dasar ini, ahli hadis sepakat untuk menghormati keutamaan yang dimiliki oleh Ali bin Abi Thalib. Kehormatan oleh mereka diwujudkan dengan menambah kata Ali bin Abi Thalib dengan Karramallahu Wajhahu. Islam bersemayam di lubuk hatinya yang paling dalam setelah dibesarkan di kamar risalah. Ia makan dari tangan kenabian. Dan akhlak Nabi membuatnya lebih baik.

Ustad Al-'Aqqad berbicara tentang Ali bin Abi Thalib sebagai berikut:

'Lewat penelitian yang serius dapat dipastikan bahwa Ali bin Abi Thalib dilahirkan dalam kondisi Islam. Kami melihat kelahirannya dengan pandangan akidah dan ruh. Ia membuka matanya dengan Islam. Ia belum pernah menyembah berhala sebelum memeluk Islam. Ia besar dan dididik di rumah tempat dakwah Islam bermula. Ia memahami bagaimana cara beribadah lewat salat yang dilakukan oleh Nabi dan istrinya yang suci sebelum mengetahuinya dari salat ibu bapaknya.


Ali bin Abi Thalib orang pertama yang melakukan salat
Imam Ali bin Abi Thalib hidup bersama Rasulullah dengan segala perubahan yang terjadi dalam kehidupan Nabi. Ia memandang Nabi sebagai teladan sempurna yang dapat memenuhi tuntutan keingintahuan dan kejeniusannya. Ali bin Abi Thalib mengaplikasikan semuanya dalam perilaku dan pergerakannya. Ia mencontoh perilaku Nabi dan taat padanya terkait dengan perintah maupun larangan. Perilaku ini dilakukan sejak diutusnya Muhammad saw menjadi Nabi hingga akhir hayat Nabi. Oleh para sejarawan sepakat bahwa ia belum pernah membantah ucapan Rasulullah saw seumur hidupnya.

Imam Ali bin Abi Thalib sendiri menjelaskan bahwa ia adalah orang pertama yang melakukan salat setelah Nabi. Ia berkata, 'Tidak ada seorang pun yang mendahuluiku melakukan salat selain Rasulullah saw'.

Diriwayatkan juga dari Habbah Al-'Irni, ia berkata, 'Pada suatu hari aku melihat Ali bin Abi Thalib tertawa. Aku sebelumnya belum pernah melihatnya tertawa lebih dari tawanya kali ini hingga terlihat gigi taringnya. Kemudian Ali bin Abi Thalib berkata, 'Ya Allah, Aku belum pernah melihat seorang hamba terbaik sebelum ku selain Nabi umat ini'.

Dalam tafsir ayat 'Dan rukulah kalian bersama orang-orang yang melakukan ruku' dari Ibnu Abbas, ia berkata, 'Ayat ini turun berkenaan dengan Rasulullah saw dan Ali bin Abi Thalib. Mereka berdua adalah orang yang paling pertama melakukan salat dan ruku.

Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Rasul bersabda, 'Para malaikat bersalawat kepadaku dan kepada Ali tujuh kali. Hal itu dikarenakan kalimat syahadatain (Asyhadu An Laa Ilaaha Illah Allah wa Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah) tidak akan diangkat ke langit kecuali melaluiku dan Ali'.


Ali bin Abi Thalib orang pertama yang melakukan salat jamaah dalam Islam
Rasulullah sebelum memulai dakwahnya bila hendak melakukan salat ia keluar menuju jalan setapak menuju gunung di Mekkah dengan cara sembunyi-sembunyi. Ia membawa Ali bin Abi Thalib bersamanya dan keduanya melakukan salat sesuai yang diinginkan Allah. Setelah usai melakukan salat mereka berdua kembali. Keduanya senantiasa melakukan hal ini tanpa sepengetahuan Abu Thalib, seluruh paman-paman, dan kabilahnya. Sehingga pada suatu hari Abu Thalib melewati mereka dan melihat apa yang tengah mereka lakukan. Ia bertanya kepada Rasulullah saw, 'Apa yang aku lihat ini? Sepertinya engkau tengah melakukan perbuatan atas sebuah agama?

Nabi segera menjawab, 'Ini adalah agama Allah, malaikat, agama utusan-utusan sebelumnya dan agama ayah kita Ibrahim. Allah telah mengutusku sebagai Nabi kepada hamba-hambaNya. Wahai paman! Engkau adalah orang yang tepat untuk kuberikan nasihat dan kuajak menuju petunjuk dan kebenaran. Engkaulah orang yang paling tepat mengiakan seruanku dan yang paling tepat untuk menolongku mengemban agama ini'.

Ali bin Abi Thalib juga ikut berkata, 'Wahai Ayah! Aku telah beriman kepada Rasulullah. Aku telah mengikutinya dan salat bersamanya karena Allah swt'.

Abu Thalib menjawab, 'Wahai anakku! Muhammad saw yang aku ketahui tidak akan meninggalkanmu kecuali dalam kebaikan. Ikutlah dengannya'.

Contoh lain dari sikap pamannya Abbas yang diriwayatkan oleh 'Afif Al-Kindi. Ia berkata:

'Aku adalah seorang kaya. Suatu saat aku pergi melakukan haji. Aku menemui Abbas bin Abdul Mutthalib untuk menjual beberapa barang. Demi Allah, Aku berada di sampingnya ketika di Mina ketika muncul seorang dari kemah yang berdekatan dengan milik Abbas. Orang tersebut melihat ke matahari. Setelah melihat matahari telah tergelincir ia pun berdiri melakukan salat. Saat itu juga keluar seorang wanita dari kemah tadi dan berdiri di belakang sambil ikut melakukan salat. Muncul juga seorang anak kecil dari kemah tadi dan berdiri di samping lelaki tadi dan ikut melaksanakan salat bersamanya. Aku bertanya dengan penuh keheranan, 'Apa ini Abbas?' Itu adalah Muhammad bin Abdillah bin Abdil Mutthalib'. Ku lanjutkan pertanyaanku, 'Lalu wanita itu siapa?' 'Istrinya Khadijah binti Khuwailid', jawab Abbas. 'Anak kecil itu siapa?', tanyaku lagi. Abbas menjawab, 'Itu Ali bin Abi Thalib anak pamannya'. 'Apa yang sedang dilakukan oleh Muhammad?' tanyaku tidak habis mengerti. Lagi-lagi Abbas menjawab, 'Ia tengah melakukan salat. Ia mengaku dirinya sebagai nabi. Sampai saat ini belum ada yang mengikuti ajarannya kecuali istri dan anak pamannya. Ia juga berkata bahwa akan menguasai pundi-pundi kekaisaran Kisra (Persia) dan Kaisar (Romawi)'.

Setelah terbentuknya inti dari umat Islam yang terdiri dari Rasulullah, Ali dan Khadijah, tersebarnya berita tentang agama baru di tengah-tengah masyarakat Quraisy, mulai banyak orang yang mendapat hidayah dari Allah yang pada akhirnya memeluk Islam, ketika kaum muslimin mulai kuat, ketika berlalu beberapa tahun dirasa Islam semakin kuat dan mampu untuk menampakkan diri secara terbuka di hadapan masyarakat serta mampu berhadap-hadapan terkait dengan masalah agama dan akidah, Allah swt memerintahkan Nabi untuk memulai dakwah secara terang-terangan. Para sahabat yang sebelumnya bila hendak melakukan salat pergi ke tempat-tempat sepi untuk menunaikannya di sana. Pada suatu ketika, saat sebagian sahabat melakukan salat di tempat sepi dekat gunung sebagian dari kaum musyrikin mengetahui perbuatan itu. Mereka yang mengetahui adalah Abu Sufyan bin Harb dan Al-Akhnas bin Syirriq dan selainnya. Mereka mencaci maki para sahabat yang tengah melakukan salat bahkan membunuh mereka.



Ali pada masa dakwah terang-terangan

Hadis Yaum Al-Indzar
Hadis Yaum Al-Indzar (hari peringatan) adalah peristiwa khusus tentang pertemuan keluarga Nabi dengan undangan dari beliau untuk meminta baiat dari mereka dan menolongnya kelak. Orang pertama yang mengumumkan dirinya dan siap memenuhi ajakan Rasulullah pada hari itu adalah Ali bin Abi Thalib. Para ahli tafsir dan sejarawan, salah satunya adalah Thabari, dalam buku-buku sejarah dan tafsir mereka menuliskan bahwa ketika ayat Wa Andzir 'Asyirataka Al-Aqrabin (beri kabar keluarga dekatmu) turun kepada Nabi ia merasa sulit karena tahu bagaimana permusuhan yang ditunjukkan oleh kabilah Quraisy. Nabi memanggil Ali bin Abi Thalib untuk membantunya menyebarkan agama Allah ini.

Imam Ali bin Abi Thalib AS. berkata,' Rasulullah memanggilku dan berkata, 'Wahai Ali, Allah telah memerintahkan kepadaku untuk mengabarkan agama Allah ini kepada keluarga terdekat. Perintah ini membuat aku kebingungan. Aku tahu bahwa kapan saja aku berinisiatif untuk mengabarkan mereka, aku dapat membayangkan kebencian mereka. Sampai saat ini aku belum melakukan apa-apa hingga Jibril mendatangiku dan berkata, 'Wahai Muhamamd! Bila engkau tidak melakukan perintah Allah maka Ia akan mengazabmu'. Oleh karenanya, Ali! Buatkanlah makanan dari segantang gandum. Campurkan kaki seekor kambing . Siapkan seteko susu untuk minum nanti. Setelah itu undang keluarga Abdul Mutthalib agar aku dapat berbicara dan menyampaikan apa yang telah diperintahkan kepadaku.

Ali melakukan apa yang diperintahkan oleh Nabi kemudian ia mengundang keluarga Abdul Mutthalib. Mereka yang diundang kira-kira berjumlah empat puluh orang laki-laki. Di antara mereka terlihat paman-pamannya Abu Thalib, Hamzah, Abbas, Abu Lahab. Mereka yang hadir menyantap makanan yang dihidangkan. Ali bin Abi Thalib menginformasikan, 'Mereka makan hingga kenyang. Yang tertinggal adalah bekas-bekas tangan mereka. Demi Allah! Bila salah seorang dari mereka meminta tambah niscaya aku akan membawa lagi untuk mereka semua'.

Setelah selesai makan kepada Ali, Nabi berkata, 'Beri mereka minum! Aku membawa susu yang telah disiapkan sebelumnya. Mereka semua minum hingga kenyang. Demi Allah! Setiap satu orang dari mereka minum seteko. Ketika Rasulullah saw hendak berbicara dengan mereka, Abu Lahab dengan sigap berkata, 'Tuan rumah telah menyihir kalian yang hadir. Yang hadir pun bubar sementara Nabi belum sempat berbicara apapun. Kembali Nabi memerintahkan Ali bin Abi Thalib pada hari kedua untuk melakukan apa yang telah dilakukan sebelumnya. Setelah mereka selesai makan dan minum, Nabi segera berkata, 'Wahai keluarga Abdul Mutthalib! Demi Allah! Tidak ada seorang pemuda sebaik aku yang membawa sesuatu kepada kaumnya. Aku membawa ajaran tentang kebaikan dunia dan akhirat kalian. Allah memerintahkan kepadaku untuk mengajak kalian mengimani ajaran-Nya. Siapa dari kalian yang bersedia membantuku menyebarkan perintah Allah ini niscaya ia akan menjadi saudaraku, pengemban wasiatku (washi) dan khalifahku di antara kalian sepeninggalku. Semua terdiam tidak menyambut apa yang disampaikan Nabi kecuali Ali. Ia berteriak dengan lantang, 'Wahai Nabi Allah! Aku siap menjadi pembantumu. Nabi kemudian memegang tengkuk Ali seraya berkata, 'Ini adalah saudara, pengemban wasiatku dan khalifahku di antara kalian. Dengarkan apa yang diucapkan dan taatilah ia. Mereka yang hadir berdiri sambil berkata kepada Abu Thalib, 'Muhammad telah memerintahkanmu untuk mendengarkan dan menaati anakmu sendiri'.

Dengan demikian, Yaum Ad-Dar (hari kejadian penyampaian dakwah pertama di rumah), merupakan pengumuman resmi tahapan baru dalam kehidupan Nabi dan keberlangsungan kehidupan dakwah Islam. Telah terjadi penantangan dua arah antara Islam dan kesyirikan.

Siapa saja yang mengikuti dengan teliti sejarah Nabi Muhammad saw, memahami semua detil permasalahan semenjak awal terbentuknya pemerintahan Islam dan penetapan syariat yang berkenaan dengannya, pengaturan dan pelaksanaan pemerintahan yang senantiasa sesuai dengan perintah ilahi, akan menemukan bahwa Ali bin Abi Thalib selalu menjadi pendamping Nabi baik dalam melaksanakan perintah atau berperang dengan musuh. Ali bin Abi Thalib senantiasa membantu Nabi, bersama-sama membangun hingga maut menjemput Nabi. Yaum Al-Indzar dan Yaum Ad-Dar adalah titik tolak perjuangan Islam. Saat itu tak ada penolong bagi Muhammad seperti Ali bin Abi Thalib. Semboyan, Semangat, perjuangan dan pengorbanan Ali bin Abi Thalib hanya untuk Nabi dan kemenangan Islam.


Ali sejak dakwah terang-terangan hingga hijrah
Quraisy terlalu lemah untuk dapat memadamkan dakwah Islam dan mencegah Nabi untuk berdakwah. Rencana-rencana makar yang telah mereka susun dan usaha menakut-nakuti bahkan penyiksaan telah mereka lakukan namun tetap menemui jalan buntu. Semua ini berkat Abu Thalib. Abu Thalib bagaikan benteng kokoh yang senantiasa melindungi Rasulullah. Abu Thalib juga selalu berusaha untuk menghalau ejekan dan gangguan orang-orang Quraisy. Melihat sikap dan posisi Abu Thalib yang demikian Quraisy secara pengecut mempergunakan anak-anak untuk maksud-maksud jeleknya. Anak-anak oleh mereka diperintahkan untuk mengejek Nabi dan melemparinya dengan batu. Pada kondisi seperti inilah peran Ali bin Abi Thalib menjadi dibutuhkan. Ayahnya jelas tidak akan berhadap-hadapan dengan anak kecil dan mengusir mereka. Abu Thalib adalah tokoh kabilah Hasyim. Apa yang akan dikatakan orang bahwa tokoh sebesar Abu Thalib harus berurusan dengan anak-anak. Ali maju ke depan untuk menghalau gangguan yang ditimbulkan oleh anak-anak suruhan Quraisy.


Ali bin Abi Thalib di Syi'b Abi Thalib
Islam dengan cepat menyebar di kota Mekkah. Islam. Islam telah menjelma menjadi sesuatu yang setiap saat dapat merobek-robek tempat pembaringan kabilah Quraisy. Islam perlahan-lahan muncul sebagai bahaya besar yang siap menghancurkan kepentingan-kepentingan mereka. Quraisy akhirnya harus mengambil sikap keras untuk membungkam suara Islam. Mereka sengaja hendak menggunakan pedang untuk niat mereka namun, Abu Thalib tidak melemah dalam usahanya melindungi Rasulullah. Ia masih memiliki wibawa dan posisi yang diperhitungkan di kalangan para pemimpin Quraisy. Kondisi inilah yang selalu menjadi penghalang mereka untuk melenyapkan Nabi. Membunuh Nabi sama artinya secara terang-terangan mengajak Abu Thalib berhadap-hadapan sekaligus keluarga Bani Hasyim. Quraisy mengenal betul akan risiko yang akan ditanggung oleh mereka dengan tindakan itu.

Melenyapkan Nabi dengan adanya Abu Thalib di sampingnya adalah tidak mungkin tapi, menyiksa bahkan membunuh kaum muslimin yang lemah dari kalangan budak dan fakir miskin adalah pekerjaan yang mudah. Penyiksaan yang mereka lakukan bertujuan agar keluar dari agama Islam dan tidak lagi berhubungan dengan Muhammad saw. Sayangnya jalan ini pun tidak banyak memberikan hasil selain semakin kokoh dan bersikeras untuk tetap dalam agama Islam serta konsekuensi dalam ajaran Islam. Rasulullah melihat kondisi yang sangat sulit bagi pengikutnya ini membuat ia berpikir untuk mencari jalan keluar terbaik. Jalan keluar itu adalah pergi berhijrah ke Habasyah.

Setelah sebagian para sahabat pergi berhijrah ke Habasyah maka yang tinggal di Mekkah sebagian besarnya adalah mereka yang memiliki posisi di tengah-tengah masyarakat. Untuk menyiksa dan membunuh bagi Quraisy sudah tidak memungkinkan lagi. Cara lain sudah tidak terpikirkan lagi oleh mereka. Yang ada hanya bagaimana cara melemahkan Nabi dan kemudian membunuhnya. Akhirnya mereka sepakat untuk memblokade Bani Hasyim dan yang ikut bersama mereka secara ekonomi dan sosial. Kesalahan Bani Hasyim dan yang ikut dengan Nabi adalah karena mereka menolong Nabi selama ini. Dimulailah peperangan negatif dengan Bani Hasyim.

Reaksi umat Islam dan Bani Hasyim dalam menghadapi sikap Quraisy kali ini adalah dengan berkumpul di Syi'b Abu Thalib. Hal ini agar perlindungan yang dapat diberikan kepada Nabi lebih baik dan terpadu. Dengan berkumpul mereka dapat membuat garis pertahanan dari kemungkinan serbuan Quraisy.

Sikap kehati-hatian demi menjaga keselamatan Rasulullah, ditunjukkan oleh Abu Thalib dengan meminta anaknya untuk tinggal dan tidur di tempat Nabi pada waktu malam agar lebih dapat menjaga keselamatan Rasulullah dari pembunuhan dan kekejian musuhnya di luar Syi'b. Ali bin Abi Thalib mendengar permintaan ayahnya dan betapa pentingnya pekerjaan ini untuk segera dilakukan langsung melakukannya dan tidur di atas pembaringan Nabi mengorbankan dirinya demi berlangsungnya risalah dan hidup pembawa risalah.

Pengorbanan dan perilakunya menantang bahaya tidak cukup sampai di situ saja. Ali bin Abi Thalib bahkan terkadang secara sembunyi-sembunyi keluar dari Syi'b untuk mencarikan makanan buat mereka yang terkepung di sana ke kota Mekkah. Hal ini dilakukannya bila melihat mereka sampai pada kondisi di mana apa saja yang ditemukan di atas tanah di makan oleh mereka.

Perbuatan yang dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib di masa-masa sulit seperti ini tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang. Perbuatan yang dilakukannya karena memiliki hati pemberani, kesadaran terhadap misi Islam dan cinta yang tulus terhadap Rasulullah saw. Pada pengepungan itu, Ali bin Abi Thalib sedang melalui masa remajanya. Usia Ali pada waktu itu berumur 17 tahun. Keluar dari Syi'b Abi Thalib ia telah berumur 20 tahun. Masa pengepungan di Syi'b selama 3 tahun. Masa tiga tahun yang dilewatinya selama di Syi'b memberikan sebuah pengalaman baru dalam kehidupannya. Ia telah terbiasa menghadapi bahaya. Ali tumbuh menjadi pemuda pemberani. Ia mampu menghadapi masalah baru dan penting yang menimpanya. Kondisi ini membuatnya lebih dekat dengan Nabi. Sebagaimana ia juga mempelajari bagaimana harus bersabar, taat dan lebur dalam Zat Allah swt dan kecintaan terhadap Nabi.


Ali bin Abi Thalib dan hijrah ke Thaif
Kejadian yang menimpa Rasulullah saw telah semakin banyak dan berat. Quraisy semakin intens mengganggu Nabi. Lebih-lebih sepeninggal Abu Thalib. Ketiadaan Abu Thalib membuat tak ada lagi yang ditakuti oleh Quraisy untuk mengganggu Muhammad saw. Hal ini dapat diketahui lewat ucapan Nabi, 'Selama ini Quraisy tidak dapat berbuat banyak terhadapku. Semua ini berlaku hingga Abu Thalib meninggal'.

Mencermati kondisi yang dihadapi, Nabi bermaksud merubah tempat dakwahnya ke tempat yang lebih aman. Tempat aman akan lebih memberi kesempatan lebih banyak untuk berdakwah menyebarkan Islam. Dan dengan ini penyebaran Islam ke Jazirah Arab bahkan ke seluruh dunia lebih mudah. Untuk memulai idenya ia melirik kabilah-kabilah Arab dan dimulainya dengan Thaif. Nabi pergi ke Thaif dan tinggal di sana selama sepuluh hari. Masa tinggalnya di sana tidak mendapat jawaban yang seperti diharapkan bahkan oleh mereka anak-anak, pembantu, dan budak-budak diperintahkan untuk melempar Nabi dengan batu. Lagi-lagi, Ali bin Abi Thalib yang menyertai Nabi dan Zaid bin Haritsah maju ke depan menyongsong lemparan-lemparan itu agar tidak mengenai Nabi. Usaha yang dilakukan membuat mereka harus menerima lemparan dan keduanya terluka. Usaha yang dilakukan dengan mengorbankan dirinya tidak sepenuhnya berhasil karena Nabi pun terluka oleh lemparan mereka. Betis Nabi terluka dan mengalirkan darah.

Diriwayatkan bahwa Nabi melakukan beberapa kali hijrah yang dilakukannya ke kabilah-kabilah Arab untuk menyebarkan dan menjaga Islam. Selama perjalanan yang sering dilakukannya Ali bin Abi Thalib yang senantiasa bersamanya. Nabi bersama Ali bin Abi Thalib pergi ke Bani 'Amir bin Sha'sha'ah dan kepada Rabi'ah dan Bani Syaiban.


Ali bin Abi Thalib pada baiat 'aqabah kedua
Beberapa pemuka kaum muslimin yang datang dari Madinah (pada waku itu bernama Yatsrib) sempat melakukan pertemuan bersejarah dengan pemimpin mereka Rasulullah saw. Pertemuan tersebut dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi di rumah Abu Thalib. Dalam pertemuan itu Nabi disertai oleh pamannya Hamzah dan Abbas serta anak pamannya Ali bin Abi Thalib. Dalam pertemuan itu dilakukan baiat kepada Rasulullah.

Pertemuan yang dilakukan benar-benar dirahasiakan sehingga ketika telah selesai pembaiatan tidak satu pun dari muslimin yang mengetahui kejadian tersebut. Sayangnya, di satu sisi yang lain kabar ini ternyata telah tersebar di kalangan kaum musyrikin. Kaum musyrikin berkumpul mengurung tempat pertemuan dalam kondisi bersenjata. Melihat kondisi ini, Hamzah dengan disertai Ali bin Abi Thalib keluar sambil menghunus pedangnya. Dengan penuh kegeraman mereka bertanya kepada Hamzah tentang pertemuan yang dilakukan di dalam rumah. Hamzah mengingkari adanya pertemuan di rumah itu. Mendengar jawaban Hamzah mereka semua kembali dengan tangan hampa.

Keberadaan Ali bin Abi Thalib pada kejadian penting itu, lagi-lagi, menunjukkan peran penting Ali bin Abi Thalib terkait saat-saat genting dakwah Islam dan sejarah risalah Islam. Kehadirannya pada proses-proses penting sebagai penolong dan pembantu Nabi memberikan wajah baru bagi Nabi dan perlindungan Bani Hasyim atasnya. Hal ini juga menambah kepercayaan dan ketenangan yang lebih terhadap dakwah dan risalah Islam.

Kehadiran Ali bin Abi Thalib pada masa-masa kritis tidak luput dari arahan-arahan yang cerdas dari Nabi. Ia memperbantukan seorang yang terkenal keberaniannya dari Bani Hasyim. Hamzah dan Ali bin Abi Thalib dua pemberani Bani Hasyim. Keduanya terkenal akan kekuatan dan keseriusannya dalam menggalang kekuatan yang cukup untuk melindungi Nabi dan Risalah.


Ali bin Abi Thalib dan malam hijrah Nabi dari Mekkah ke Madinah
Perjanjian 'aqabah kedua antara Nabi dan kaum Aus dan Khazraj membuka peluang baru dalam berdakwah. Perjanjian 'aqabah kedua merupakan titik tolak dakwah Islam yang lebih luas. 'Aqabah kedua adalah pandangan besar bangunan masyarakat mukmin. Semua ini dikarenakan Islam telah menyebar di Madinah lewat para pendakwah yang tidak mengharap apa-apa kecuali kerelaan ilahi. Mereka mengorbankan dirinya demi Allah untuk menyebarkan ajaran-ajaran Islam. Usaha ini menghasilkan sebuah hasil sebuah tempat yang memberikan keamanan sekaligus sebagai pusat penting pengkristalan proses pemikiran, pendidikan dan dakwah Islam di masyarakat Jazirah Arab.

Saat sikap ekstrim para pemimpin Quraisy memuncak dalam menyiksa dan menekan kaum muslimin agar meninggalkan agama Islam dan sebisanya mematahkan pertolongan Nabi untuk mereka, tiba masanya Nabi untuk memerintahkan sahabat-sahabatnya melakukan hijrah ke Madinah. Nabi berkata, 'Allah telah menyiapkan sebuah tempat untuk kalian di mana kalian akan merasakan keamanan dan persaudaraan di sana'. Berdasarkan perintah Nabi, para sahabat meninggalkan Mekkah dengan bentuk konvoi kecil-kecilan dalam beberapa kelompok secara sembunyi-sembunyi dari incaran Quraisy.

Semua penderitaan yang menimpa Nabi baik dari dekat atau jauh, tekanan-tekanan, menyifatinya sebagai pembohong dan ancaman-ancaman, tidak membuat beliau surut dalam berdakwah. Harapan Nabi hanyalah muncul sebagai pemenang dalam perjuangan ini dan kemenangan dakwah Islam. Beliau sendiri berkata, 'Tidak seorang pun berkaitan dengan dakwah ilahi pernah mendapat gangguan seperti yang ku alami'. Kepercayaannya yang mutlak kepada Allah swt lebih kuat dari pada persekongkolan Quraisy. Orang-orang Quraisy tahu betul bila Nabi berhasil dengan niatannya ini niscaya bahaya besar akan menghantui mereka. Hal ini dikarenakan pada tahun-tahun yang akan datang, bila Nabi berhasil bergabung dengan para sahabatnya yang telah terlebih dahulu sampai di Madinah, ia akan menjadikannya sebagai pusat dan titik tolak dakwah Islam ke seantero dunia. Mengingat bahaya besar yang muncul, mereka mulai mengambil sikap, sebelum segalanya berlalu, untuk mulai bersiap-siap melenyapkan dan membunuh Nabi. Usaha mereka di dasari dengan sebuah argumentasi bahwa tanggung jawab pembunuhan ini jangan hanya ditanggung oleh sebuah kabilah saja tetapi, ditanggung oleh semua kabilah. Dengan cara itu, Bani Hasyim dan Bani Mutthalib tidak mungkin akan berperang meminta pertanggungjawaban semua kabilah. Para penolong Nabi dari kedua kabilah ini pasti dengan secara terpaksa akan memaafkan perbuatan ini.

Rencana ini dimatangkan di Dar An-Nadwah (tempat pertemuan). Setelah banyak usulan yang dikemukakan bagaimana cara membunuh Muhammad saw akhirnya, disetujui bahwa setiap kabilah menyiapkan dan mengirimkan seorang pemuda yang terkenal. Setiap mereka dibekali dengan sebuah pedang yang sangat tajam. Mereka diminta untuk berkumpul dan bersiap-siap di luar rumah Muhammad saw. Rencananya mereka akan membunuhnya dengan sekali tebasan secara serempak. Malam pembunuhan juga sudah ditetapkan.

Malaikat Jibril mendatangi Nabi dan mengabarkan apa yang sedang terjadi. Nabi diminta untuk tidak tidur di atas tempat tidurnya. Lebih dari itu, Nabi diizinkan untuk melakukan hijrah. Setelah diberi tahu oleh Jibril, Nabi mendekati Ali bin Abi Thalib dan menyampaikan apa yang akan terjadi dan memintanya untuk tidur di tempat tidurnya sebagaimana ia biasa tidur. Nabi mewasiatkan Ali untuk melindungi apa yang menjadi tanggungannya dan menyampaikan amanat yang selama ini dijaga oleh Nabi. Nabi bersabda, 'Bila engkau yakin secara penuh dengan apa yang kuperintahkan kepadamu maka, engkau telah dipersiapkan untuk melakukan hijrah ke Allah dan Rasul-Nya. Dan, mulai berjalan ketika suratku sampai kepadamu'. Di sinilah tampak keagungan lembaran-lembaran kehidupan Ali bin Abi Thalib. Ia menerima perintah Nabi dengan jiwa yang tenang, sabar dan penuh keimanan. Sikap Ali bin Abi Thalib memberikan gambaran bagaimana ketaatan mutlak dalam melaksanakan hal-hal yang penting dengan penerimaan yang sadar dan pengorbanan yang agung demi akidah dan Sang Pencipta. Kondisi itu tercermin dari pertanyaan Ali bin Abi Thalib kepada Nabi, 'Apakah bila aku melakukan itu engkau akan selamat wahai Rasulullah? Demi keselamatanmu aku siap menyerahkan jiwaku'. Nabi menjawab, 'Iya, memang demikian yang dijanjikan oleh Allah kepadaku'. Mendengar jawaban Nabi, Ali bin Abi Thalib kemudian tertawa menunjukkan rasa senangnya yang tak terkira. Setelah itu ia kemudian menjatuhkan dirinya ke tanah dan bersujud. Berterima kasih akan kabar yang disampaikan oleh Nabi bahwa beliau akan selamat dengan perbuatannya tidur di atas tempat tidur Nabi.

Setelah itu, Nabi meraih tubuh Ali bin Abi Thalib dan mendekapnya sambil menangis terharu menemukan sikap Ali. Ali bin Abi Thalib mendapatkan dirinya menangis karena merasa akan berpisah dengan Nabi.

Malam tiba. Ali bin Abi Thalib memakai kain Rasulullah yang biasa dipakainya. Kemudian direbahkan tubuhnya di pembaringan Nabi. Dengan penuh ketenangan dan keberanian Ali bin Abi Thalib gembira dapat mewakili Nabi dan dengan perbuatannya ini Nabi selamat. Pada saat itu, para pemuda Quraisy mendatangi rumah Nabi dengan segala kebencian yang memenuhi diri mereka dan dengan pedang terhunus siap menebas leher Ali bin Abi Thalib yang disangka Nabi. Perlahan-lahan mereka mulai mengepung rumah Nabi. Mereka memperhatikan pintu yang terbuka yang biasa dipakai Nabi secara seksama dan tempat di mana beliau tidur. Mereka menemukan ada sesosok tubuh yang terbaring di sana. Melihat itu, mereka yakin bahwa Nabi ada dan sedang tidur. Hal itu menambah keyakinan bahwa rencana yang telah disiapkan hampir pasti berhasil. Ketika sepertiga terakhir malam tiba, Nabi keluar dari rumah. Sebelumnya beliau bersembunyi di sebuah tempat di dalam rumah. Nabi keluar menuju gua Tsur. Ia menyembunyikan dirinya di sana untuk sementara waktu dan kemudian melanjutkan perjalanannya yang kemudian dikenal dengan hijrah Nabi.

Waktu yang ditentukan telah tiba. Para pemuda Quraisy serentak menyerang rumah Nabi. Yang berada paling depan adalah Khalid bin Walid. Pada saat yang bersamaan Ali bin Abi Thalib melompat dari tempat tidurnya langsung menyambar pedangnya. Ali bin Abi Thalib berhadap-hadapan dengan mereka. Para pemuda Quraisy merasa ketakutan di hadapan Ali bin Abi Thalib. Serentak juga mereka berlari keluar rumah. Mereka menanyainya tentang Muhammad. Ali menjawab, 'Aku tidak tahu ke mana ia pergi'.

Demikianlah bagaimana Allah berencana untuk menyelamatkan Nabi-Nya dan menyebarluaskan dakwah agamanya.

Sikap Ali bin Abi Thalib patut dicontoh, penuh keberanian dan cara yang unik memberikan sebuah bentuk bagaimana seseorang harus melakukan pengorbanan. Para revolusioner mendapat sebuah teladan bagaimana harus berbuat demi mengubah dan memperbaharui dalam masalah akidah dan jihad. Yang menjadi tujuan Ali hanya satu. Kerelaan Allah atasnya dan keselamatan Nabi Allah serta tersebarnya dakwah Islam. Sebuah ayat turun terkait dengan pengorbanan Ali. Allah berfirman, 'Dan dari sebagian manusia ada yang menjual dirinya karena mengharapkan ridha Allah. Dan Allah Maha Penyayang hamba-Nya'.

Kebanggaan Allah dan malaikat-Nya terkait dengan sikap Ali bin Abi Thalib

Perbuatan Ali bin Abi Thalib tidur di tempat pembaringan Nabi dengan nyata membuka kedok permusuhan Quraisy. Rencana dan harapan yang sudah dibuat sedemikian rupa untuk membunuh Nabi gagal. Pertarungan ini adalah simbol keruntuhan setan dan kemenangan iman. Belum pernah tercatat sebuah perbuatan seperti yang dilakukan Ali bin Abi Thalib dalam nilai dan pahala. Bagaimana tidak, Allah dan para malaikat merasa bangga dengan pengorbanan yang ditunjukkan Ali bin Abi Thalib sesuai dengan riwayat:

'Pada malam itu Ali bin Abi Thalib tidur di pembaringan Rasulullah saw. Allah berkata kepada malaikat Jibril dan Mikail, 'Aku telah menjadikan kalian berdua bak saudara. Umur salah satu dari kalian lebih panjang dari yang lainnya. Siapa dari kalian yang ingin berkorban demi kehidupan yang lain?

Salah satu dari keduanya memilih kehidupan dan kedua-duanya mencintainya. Kemudian Allah berkata kembali kepada keduanya, 'Apakah kalian berdua tidak ingin seperti Ali bin Abi Thalib ketika Aku menjadikannya saudara Muhammad saw. Ali bin Abi Thalib tidur di pembaringan Nabi dan mengorbankan jiwanya demi Muhammad. Turunlah kalian berdua ke bumi dan lindungi Ali bin Abi Thalib dari musuh-musuhnya. Mereka berdua turun. Jibril berada di sisi kepala sementara Mikail berada tepat pada kakinya. Setelah itu Jibril berkata, 'Selamat, selamat. Siapa yang dapat melakukan hal yang sama seperti yang engkau lakukan wahai Ali bin Abi Thalib. Allah membanggakanmu di hadapan malaikat di atas langit ketujuh?'


Pekerjaan-pekerjaan penting setelah malam hijrah
Fajar menyongsong keesokan harinya. Hari pertama hijrah di bawah lindungan keselamatan dan keamanan dari Allah, Nabi dengan berpegangan pada rencana sebelumnya tetap melanjutkan perjalanan menuju Madinah pusat risalah Islam yang baru. Rahasia-rahasia kebaikan hati Ali bin Abi Thalib seakan-akan pecah. Ia telah melalui malam yang sangat menakutkan dalam hidupnya. Malam yang setiap kemungkinan buruk dan tidak diinginkan dapat terjadi. Untungnya ia melaluinya dengan selamat. Ia telah melakukan pekerjaan penting dengan sangat baik. Ali bin Abi Thalib melakukannya dengan ketepatan, ketelitian dan kesadaran yang tinggi.

Pekerjaan-pekerjaan penting setelah kejadian malam itu telah menunggu Ali bin Abi Thalib. Tidak ada seorang pun yang sanggup melakukannya selainnya. Salah satu tugas berat itu adalah mengembalikan amanat yang sempat dititipkan kepada Nabi kepada pemiliknya. Mengembalikan amanat orang-orang musyrik yang sebelumnya meyakini akan keikhlasan dan kepercayaan yang dimilikinya. Di lingkungan orang-orang Quraisy Nabi dikenal sebagai As-Shadiq Al-Amin (orang jujur dan tepercaya). Begitu juga, bila ada orang-orang Arab yang hendak menunaikan haji biasanya mereka menitipkan barang-barangnya, baik perhiasan maupun harta lainnya, kepada Nabi. Mereka tahu betul bahwa Nabi bukan orang yang suka merusak perjanjian yang dilakukannya. Ia tidak mengkhianati amanat yang diberikan kepadanya. Mereka betul-betul tahu bahwa bila kondisi sesulit apa pun, bahkan sampai pada usaha pembunuhan pada dirinya, yang sedang menimpanya ia tidak akan memanfaatkan kesempatan untuk mengkhianati amanat yang diberikan kepadanya. Kondisi di mana mampu membuat seorang yang berakal pun dengan cepat dapat melupakan semua itu. Tanpa melupakan satu hal lagi, Nabi menyerahkan urusan ini kepada orang yang benar tahu apa yang harus dikerjakannya dan melakukannya dengan sebaik-baiknya. Orang tersebut tidak lain adalah Ali bin Abi Thalib. Ali bin Abi Thalib yang benar-benar tahu tentang Nabi dan siapa-siapa saja yang menitipkan harta kepada Nabi. Ia juga seorang yang kuat dan dapat dipercaya.

Ali bin Abi Thalib kemudian mengembalikan semua amanat kepada pemilik-pemiliknya. Itu dilakukannya di depan Ka'bah sambil berteriak dengan suara tinggi, 'Wahai orang-orang Mekkah, siapa yang merasa memiliki amanat? Apakah ada yang memiliki wasiat? Apakah ada yang merasa memiliki barang-barang yang dititipkan kepada Rasulullah saw? Setelah dibagi dan menunggu tidak ada lagi yang datang Ali bin Abi Thalib kemudian pergi menyusul Nabi ke Madinah. Ali bin Abi Thalib tinggal di Mekkah selama tiga hari'.


Ali bin Abi Thalib berhijrah
Rasulullah saw telah sampai di Quba dengan selamat. Nabi dijemput oleh sekumpulan orang-orang Anshar. Dari sini Nabi menulis surat dan mengirimkannya kepada Ali bin Abi Thalib agar ia segera berangkat dan bergabung dengannya. Yang mengirimkan surat tersebut Abu Waqid Al-Laitsi. Ketika surat tersebut sampai di tangan Ali bin Abi Thalib, ia pun segera mempersiapkan kendaraan dan bahan makanan yang dibutuhkan selama perjalanan. Ia meminta kepada sebagian kaum muslimin yang masih tinggal, sebagian besar dari kalangan mustadh'afin, agar dengan diam-diam, tanpa membawa sesuatu yang berat, untuk berkumpul di Dzi Tuwa (tempat dekat Mekkah) pada tengah malam. Dengan datangnya surat Nabi dimulailah pekerjaan berat ketiga yang harus dilakukan Ali. Pekerjaan itu adalah melakukan perjalanan dengan para wanita ke Madinah. Hijrah yang dilakukannya bersama beberapa wanita yang bernama Fathimah; Fathimah binti Rasulullah, Fathimah binti Asad (ibunya), Fathimah binti Zubair bin Abdul Mutthalib, Fathimah binti Hamzah. Ikut bersama mereka Aiman budak Rasulullah dan Abu Waqid Al-Laitsi.

Abu Waqid Al-Laitsi bertugas menjaga dan mengatur unta-unta. Karena diterpa keletihan yang sangat ia mengusulkan jalur yang lebih cepat agar musuh-musuh tidak dapat mengejar mereka.

Ali bin Abi Thalib berpendapat untuk tetap dengan kecepatan gerak unta yang sudah ada. Hal itu karena bersama mereka wanita-wanita Bani Hasyim. Oleh karenanya, Ali bin Abi Thalib berkata kepada Abu Waqid, 'Kasihanilah wanita-wanita! Mereka lemah. Akhirnya Ali bin Abi Thalib mengambil inisiatif untuk mengendalikan konvoi. Ia mengatur sedemikian rupa agar tidak terlalu cepat. Ia berusaha agar mereka yang ikut bersamanya merasa aman dan tenang dengan mengucapkan syair:


Tinggikan persangkaanmu kepada Allah
Apa pun yang kau pikirkan hanya Allah yang akan mencukupimu

Ali bin Abi Thalib tetap melanjutkan perjalanan dengan tenang dan tidak tergesa-gesa hingga sampai pada jalan menuju desa yang bernama Dhajnan. Di sana ia bertemu dengan orang-orang yang dikirim oleh Quraisy untuk menangkap dan mengembalikan Ali bin Abi Thalib dan orang-orang yang bersamanya ke Mekkah. Mereka terdiri dari tujuh orang penunggang kuda yang menutupi wajahnya dengan sapu tangan. Bersama mereka budak Harb bin Umaiyah yang bernama Jinah. Ali bin Abi Thalib berkata kepada Abu Waqid dan Aiman, 'Ikatlah unta-unta'. Ia maju kemudian menurunkan para wanita setelah itu menghadap para penunggang kuda dengan menghunus pedangnya. Mereka berkata kepadanya, 'Wahai pengkhianat! Apakah engkau menganggap akan selamat dengan para wanita? Pulanglah kau sudah tidak memiliki ayah lagi!' Ali bin Abi Thalib menjawab, 'Bila aku tidak melakukan apa yang kalian inginkan? Mendengar jawaban Ali bin Abi Thalib mereka semakin marah dan benci sambil melanjutkan, 'Engkau boleh memilih pulang dengan beradu senjata atau kami akan memulangkanmu dengan memperbanyak rambutmu sehingga engkau akan terlihat lebih lemah dari orang mati'.

Sebagian dari mereka mendekat kumpulan unta dan menakut-nakuti agar para wanita merasa ketakutan. Ali bin Abi Thalib menghalangi apa yang ingin dilakukan mereka. Jinah dengan cepat menuju Ali bin Abi Thalib ingin memenggal kepalanya. Ali bin Abi Thalib menghindar tebasannya dan dengan cepat ia melayangkan dengan cepat pedangnya tepat mengarah kepala Jinah. Badannya terbelah dua. Saking kuat dan cepatnya pukulan Ali bin Abi Thalib pedangnya sampai melukai pundak kuda Jinah. Ali bin Abi Thalib setelah menjatuhkan Jinah memburu penunggang kuda lainnya. Melihat itu, mereka segera menggerakkan kudanya berlari menjauhi Ali bin Abi Thalib saking takutnya.

Mereka berkata, 'Wahai Ali, tahan dirimu'. Ali bin Abi Thalib menjawab, 'Aku ingin pergi menemui saudara dan anak pamanku Rasulullah. Barang siapa yang merasa gembira dan senang dagingnya tercincang dan darahnya mengalir maka mendekatlah'. Mereka lari terbirit-birit ke belakang ketakutan.

Ali bin Abi Thalib berbalik menghadap Aiman dan Abu Waqid sambil berkata, 'Bukakan tali-tali pengikat unta. Mereka kemudian menaiki kendaraannya dan melanjutkan perjalanan hingga sampai di desa Dhajnan. Di sana mereka tinggal sehari semalam hingga seorang dari mustadh'afin sampai. Pada malamnya wanita-wanita melakukan salat dan berzikir; berdiri, duduk dan berbaring, hingga fajar menyingsing. Ali bin Abi Thalib mengimami salat subuh bersama mereka. Setelah menunaikan salat subuh secara berjamaah, mereka melanjutkan perjalanan melalui satu persatu rumah dan pada saat yang sama mereka tidak pernah lupa untuk berzikir kepada Allah hingga sampai di kota Madinah.

Sebelum mereka sampai di Madinah, wahyu turun menjelaskan kondisi mereka dan Allah telah menyiapkan pahala yang besar untuk mereka. Allah berfirman, 'Orang-orang yang mengingat Allah dalam kondisi berdiri, duduk dan berbaring dan memikirkan penciptaan langit ... Allah mengabulkan mereka ... orang-orang yang melakukan hijrah dan diusir dari rumah-rumah mereka dan diganggu di jalanku dan mereka yang berperang ... Aku akan memasukkan mereka ke dalam surga ... dan di sisi Allah pahala yang baik.

Rasullah ketika tiba di Quba, ia tinggal di tempat Amr bin 'Auf. Ia tinggal tidak lebih dari sepuluh hari. Nabi melakukan salat sehari-harinya dengan qashar (memendekkan salat). Maukah engkau tinggal bersama kami? Akan kami sediakan rumah dan tempat yang dapat dijadikan masjid. Nabi menjawab, 'Tidak. Aku menanti Ali bin Abi Thalib. Aku telah memintanya untuk menemuiku. Aku tidak akan mencari tempat tinggal terlebih dahulu hingga Ali bin Abi Thalib sampai. Aku tidak akan mendahuluinya insyaallah'.

Ali bin Abi Thalib beserta rombongan tiba. Terlihat kakinya yang melepuh dan sebagiannya malah terluka. Itu akibat perjalanan yang melelahkan dan cuaca yang sangat panas. Ali bin Abi Thalib dalam perjalanan tidak menaiki unta melainkan berjalan kaki. Nabi ketika melihat kondisi Ali bin Abi Thalib langsung menitikkan air mata. Nabi kemudian mengusap kedua kaki Ali bin Abi Thalib dengan tangannya. Luka-luka di kaki Ali bin Abi Thalib sembuh dan semenjak itu kakinya tidak pernah sakit.

Dengan kedatangan Ali bin Abi Thalib, Rasulullah saw bersama rombongan dari Quba menuju Bani Salim bin 'Auf. Di sana Nabi menggariskan dan mendirikan masjid. Kiblat di tetapkan oleh Nabi. Nabi bersama rombongan melakukan salat dua rakaat dan kemudian berkhotbah dengan dua khotbah. Pada hari itu juga mereka menuju Madinah. Nabi menaiki untanya dan Ali bin Abi Thalib bersamanya lagi. Ali bin Abi Thalib berjalan sesuai dengan jalannya Nabi. Pada akhirnya Nabi turun dan tinggal, disertai Ali, di tempat Abu Ayub Al-Anshari. Mereka tinggal di sana hingga masjid dan rumah tempat tinggal mereka dibangun. Setelah rumah mereka dibangun Nabi menuju rumahnya dan Ali bin Abi Thalib tinggal di rumahnya sendiri.


Beberapa makna tidurnya Ali bin Abi Thalib di pembaringan Nabi
1. Tidurnya Ali bin Abi Thalib di pembaringan Nabi menunjukkan kematangan pribadi Ali bin Abi Thalib dalam kaca mata risalah Islam. Ia dianggap telah mampu memperagakan pribadi Nabi dalam menghadapi masalah-masalah sulit, kejadian-kejadian yang berat dan dalam melaksanakan perintah-perintah penting.

2. Proses penghancuran propaganda Quraisy yang dilakukan Ali bin Abi Thalib dengan memakai kain Nabi yang biasa dipakai oleh Rasulullah saw dan tidurnya di pembaringan Nabi menunjukkan hubungan kekerabatan sebagai daya rekat paling awal. Ditegaskan lagi, daya rekat awal ini ditunjukkan dengan ungkapan jiwa Ali bin Abi Thalib adalah jiwa Rasulullah saw. Khususnya ketika Ali bin Abi Thalib menyelesaikan dengan baik pekerjaan-pekerjaan penting lainnya terkait dengan masalah materi dan sosial yang terkait erat dengan Nabi.

3. Ali bin Abi Thalib tinggal selam tiga hari di kota Mekkah menunjukkan keberaniannya. Ia dengan berani mengumumkan sikap awalnya. Ia tepat dengan jalur yang di siapkan oleh Nabi. Ia melakukan perintah Nabi dengan ketenangan penuh dan teliti. Setelah menyelesaikan semua itu, dengan keberanian penuh ia mengumumkan di hadapan orang-orang Quraisy bahwa ia akan melakukan hijrah ke Madinah.

4. Proses tidurnya Ali bin Abi Thalib di pembaringan Nabi menyingkap sisi-sisi lain dari keagungan kepribadian yang dimilikinya. Keagungan kepribadian Ali bin Abi Thalib dapat dinilai dari selain keberanian adalah kekuatan jiwa yang luar biasa, kekuatan badan, kematangan intelektual, kesadaran mutlak akan risalah dan penguasaannya terhadap perintah-perintah Allah.


11
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib AS.

Periode ketiga: Ali bin Abi Thalib semenjak hijrah hingga wafat Nabi

1. Ali bin Abi Thalib dan persaudaraan
Tiba di Madinah Nabi mulai berusaha untuk membentuk inti masyarakat Islam. Nabi berkeinginan untuk menguatkan dan merekatkan hubungan antar individu masyarakat. Langkah awal yang dilakukannya adalah mempersaudarakan sesama muslim secara terang-terangan agar merasuk lebih dalam dan menjadi fondasi dasar dari prinsip-prinsip Islam yang mudah. Persaudaraan yang lebih rekat dan dekat dibutuhkan dalam dakwah sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Oleh karenanya, persaudaraan pertama kalinya dilakukan oleh Rasulullah saw di Mekkah sebelum hijrah. Nabi pada waktu itu mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan Anshar.

Seandainya ingin diteliti lebih dalam, proses persaudaraan yang dilakukan Nabi, ditemukan bahwa Nabi menyamakan bentuk dengan bentuk yang sama dan posisi dengan posisi yang sama. Hal ini dilakukan karena proses persaudaraan sebenarnya adalah program strategi luas yang memiliki makna pergerakan menuju ke arah dakwah Islam. Persaudaraan yang dilakukan merupakan elemen pengantar penguat hubungan antara kaum muslimin yang hasilnya adalah kematangan pemikiran dan usaha-usaha untuk melakukan hal-hal yang lain dan baru sebagai wujud kreativitas.

Diriwayatkan bahwa Nabi ketika mempersaudarakan antara para sahabat, ia mempersaudarakan Abu Bakar dan Umar, antara Utsman dan Abdurrahman bin 'Auf sementara beliau belum juga mempersaudarakan Ali bin Abi Thalib dengan seorang pun dari sahabat yang lain.

Ali bin Abi Thalib kemudian berkata, 'Wahai Rasulullah! Aku hampir kehilangan semangatku dan punggungku seakan patah ketika aku melihat apa yang kau lakukan dengan mempersaudarakan para sahabatmu. Apa yang akan engkau lakukan denganku dan orang yang akan menjadi saudaraku. Bila belum ditentukannya seorang menjadi saudaraku karena sulit maka, engkau adalah kerelaanku dan penghormatanku'.

Rasulullah saw mendengar itu langsung berkata, 'Demi Zat yang mengutusku dengan kebenaran, aku tidak mengakhirkan persaudaraanmu kecuali untukku. Posisimu di sisiku bak posisi Harun di sisi Musa. Perbedaannya adalah sepeninggalku nanti tidak ada Nabi setelah ku. Engkau adalah saudara dan pewarisku'.

Ali bin Abi Thalib bertanya, 'Aku mewarisi apa darimu?'

Rasul Allah menjawab lagi, 'Nabi-nabi sebelum ku ketika mewariskan sesuatu wujudnya berupa Kitab Allah dan Sunah-sunah nabi mereka. Engkau akan bersama denganku di istanaku di surga'.

Sementara persaudaraan kedua yang dilakukan di Madinah beberapa bulan setelah hijrah.

2. Perkawinan Ali bin Abi Thalib dan Fathimah AS.
Kaum muslimin menetap dan tenang di Madinah. Dimulailah pokok-pokok dan ajaran-ajaran Islam merasuk ke dalam jiwa kaum muslimin. Semakin tampak kekuatan kaum muslimin melindungi Islam dan Nabi Islam. Semakin terbuka hubungan antara kaum muslimin dalam bentuk masyarakat yang semakin berbudaya dan adanya loncatan perubahan pemikiran masyarakat yang sangat luas. Rasulullah saw adalah pengawal semua perubahan ini. Ia adalah seorang yang dijaga oleh Allah dalam pemahaman, menerima dan menyampaikan wahyu, mendidik dan melaksanakan kebijakan-kebijakan sosial politik.

Pada kondisi ini, tampak pribadi Ali bin Abi Thalib yang telah memasuki usia dua puluh tahun. Ia adalah pemuda terdepan dalam berjihad dan melindungi akidah dan dakwah Islam. Ali bin Abi Thalib selalu menyertai Rasulullah saw dalam setiap langkahnya. Ia telah meraih puncak dari jiwa Rasulullah. Ia hidup bersama Nabi dan tidak ada satu pun yang lebih dekat dengannya kecuali Ali bin Abi Thalib. Setelah berlalu dua tahun dari hijrah di rumah Nabi tumbuh Fathimah putri Rasulullah sebagai seorang wanita dewasa. Berdatangan beberapa orang untuk meminangnya antara lain; Abu Bakar dan Umar. Mereka seakan-akan berlomba-lomba untuk menjadi yang terdepan mendapatkan putri Nabi. Sayangnya Nabi menolak mereka satu persatu secara sopan dan baik. Beliau berkata, 'Aku menunggu perintah Allah terkait dengan pernikahan anakku. Aku merasa senang dengan mereka yang ingin meminang anak ku'.

Ali bin Abi Thalib belum memberanikan diri untuk maju meminang putri Nabi. Rasa malu dan kondisi dirinya yang tidak memiliki apa-apa mencegahnya untuk melakukan itu. Untungnya, sebagian sahabat memberanikannya untuk maju dan meminang anak Nabi. Akhirnya, Ali bin Abi Thalib mendatangi Nabi sambil memandang ke bawah saking malunya. Nabi merasakan apa yang terjadi dalam diri Ali. Beliau menerima Ali bin Abi Thalib dengan senyum dan terbuka. Nabi kemudian memulai bertanya kepada Ali apakah ada sesuatu yang dapat dilakukan dan dibantu untuknya. Ali bin Abi Thalib menjawab dengan suara yang lemah, 'Wahai Rasulullah! Relakah engkau menikahkan Fathimah denganku?

Nabi menjawab, 'Selamat datang. Nabi kemudian masuk ke kamar Fathimah untuk menyampaikan apa keinginan Ali bin Abi Thalib. Nabi berkata kepada Fathimah, 'Aku telah memohon kepada Allah untuk menikahkanmu dengan ciptaan terbaik-Nya dan makhluk yang paling dicintai. Engkau telah mengetahui dan mengenal keutamaan dan posisi Ali. Hari ini ia datang untuk meminangmu. Bagaimana pendapatmu? Fathimah berdiam diri. Ia tidak mengucapkan sesuatu apapun. Akhirnya Nabi keluar sambil berkata, 'Diamnya menunjukkan kerelaannya'.

Kemudian Rasulullah saw mengumpulkan kaum muslimin dan berpidato kepada mereka. Beliau berkata, 'Sesungguhnya Allah telah memerintahkanku untuk menikahkan Fathimah dengan Ali.

Sejenak Nabi menoleh kepada Ali bin Abi Thalib dan berkata, 'Allah memerintahkanku untuk menikahkan Fathimah denganmu. Apakah engkau rela dengan penikahan ini, wahai Ali? Ali bin Abi Thalib menjawab, 'Aku rela,wahai Rasulullah'. Kemudian ia menundukkan wajahnya ke tanah bersujud mengucapkan syukur kepada Allah.

Nabi berkata, 'Semoga Allah memberkati kalian berdua. Semoga Allah memberikan keturunan yang banyak dan baik kepada kalian berdua'.

Ali membawa mahr (mas kawin) hasil dari penjualan baju perangnya. Ia meletakkannya di hadapan Rasulullah saw. Nabi meminta kepada Abu Bakar, Bilal, Ammar bin Yasir, dan sekumpulan sahabat serta Ummu Aiman untuk membeli perlengkapan perkawinan. Ketika perlengkapan telah sempurna terkumpul diletakkan di hadapan Nabi. Oleh Nabi perlengkapan perkawinan itu di lihat-lihat bahkan di bulak balik seraya berkata, 'Semoga Allah memberkati kaum yang besar perabot-perabotnya.

Kesederhanaan dan tanpa ada unsur-unsur terpaksa acara perkawinan selesai sudah. Perabot-perabot yang dimiliki sangat sederhana dari yang dikenal oleh masyarakat Madinah. Nabi dan Bani Hasyim membuat acara menyambut perkawinan sederhana namun penuh dengan kebaikan dan keberkatan.

Diriwayatkan bahwa Nabi kemudian mengomentari pernikahan Fathimah putrinya, 'Seandainya Allah tidak menciptakan Ali bin Abi Thalib niscaya Fathimah tidak memiliki seseorang yang dapat menyamainya untuk menjadi suaminya (kafa'ah)'.

Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa Nabi pada saat Ali datang meminang Fathimah berkata, 'Seandainya tidak ada engkau maka Fathimah tidak memiliki kufu' (yang sebanding) di atas bumi'.

3. Ali bin Abi Thalib bersama Nabi dalam peperangan

a. Ali bin Abi Thalib di perang Badr
Dengan melakukan hijrah Nabi telah membuka ufuk baru dalam sejarah manusia secara umum dan sejarah dakwah Islam secara khusus. Hijrah adalah permulaan bentuk sebuah negara dan semakin jelas kekuatan kaum muslimin. Di sisi lain Quraisy dan kaum musyrikin Madinah seperti Yahudi dan kaum munafikin yang berpura-pura menjadi muslim untuk menutupi rencana rahasia mereka menghancurkan Islam dan pengikut-pengikutnya. Namun, mereka salah menebak sikap Nabi. Rasulullah saw menyelesaikan masalah-masalah yang muncul dengan bijaksana. Tentu saja ia tidak akan mungkin mengambil sikap seperti orang yang lemah di hadapan rencana busuk musuh-musuh Islam. Untuk menanggulangi hal itu, terkadang ia mengirimkan sekelompok pasukan kecil melakukan manuver untuk menakut-nakuti mereka.

Letak kota Madinah sangat strategis. Madinah berada pada lalu lintas para pedagang yang menghubungkan jazirah Arab. Dengan semakin bertambah jumlah kaum muslimin membuat mereka patut diperhitungkan oleh mereka yang mempergunakan Madinah sebagai rute perdagangannya. Semenjak Ali bin Abi Thalib menjejakkan kakinya di kota Madinah, dimulailah pembangunan di segala bidang yang dituntut oleh dakwah Islam. Ali bin Abi Thalib selalu bersama-sama Rasulullah saw membangun negara dan mengembangkan dakwah Islam. Tentunya, ini semua dapat dilakukannya karena pemberian Allah kepadanya. Segala kekuatan yang diberikan kepadanya dimanfaatkan untuk kepentingan agama yang itu bila dihitung sulit untuk dilakukan oleh orang lain bahkan sejumlah orang secara bersama-sama. Ali bin Abi Thalib mempunyai sebuah baju perang yang diberikan oleh Nabi kepadanya. Dan ini menjadi sebuah petanda penting di setiap peperangan yang diikutinya. Selayaknya, setiap peperangan yang diikuti oleh sebuah negara yang terpenting adalah yang pertama kali dilakukan. Siapa yang muncul sebagai pemenang akan menjadikan peperangan adalah keuntungan untuknya. Hal yang demikian terjadi dalam perang Badr. Perang Badr dapat dikatakan sebagai awal keruntuhan segala kekuatan militer di Jazirah Arab secara umum dan buat Quraisy secara khusus. Di sisi lain, perang Badr adalah pembukaan kemenangan-kemenangan yang dilakukan oleh kaum muslimin.

Diriwayatkan bahwa kedua bersaudara 'Utbah dan Syaibah bin Rabi'ah disertai Al-Walid bin 'Utbah dalam perang Badr mewakili Quraisy untuk berduel dengan kaum muslimin. Pada awalnya, dari pihak kaum muslimin diwakili oleh dua bersaudara 'Auf dan Mu'awwidz bin 'Afra disertai Abdullah bin Rawahah. Ketiganya dari kaum Anshar. Ketika ditanya oleh pihal Quraisy, 'Siapa kalian? Mereka menjawab, 'Kami dari kaum Anshar'. Mereka kemudian berkomentar, 'Kalian orang-orang mulia sayangnya kami tidak merasa berpentingan untuk berduel dengan kalian, tidak ada gunanya. Kami ingin berduel dengan kaum kami yang setara dengan kami'.

Mendengar tantangan itu Nabi memerintahkan pamannya Hamzah dan 'Ubaidah bn Al-Harits serta Ali bin Abi Thalib untuk berduel menghadapi lawan. Mereka kemudian saling mendekat dan memulai peperangan. Ubaidah bin Al-Harits menghadapi 'Utbah. Hamzah berhadapan dengan Syaibah. Sementara Ali bin Abi Thalib ditantang oleh Al-Walid. Hamzah tidak memberi kesempatan lebih lama kepada Syaibah untuk menghirup napas lebih lama. Hamzah membunuh Syaibah. Ali bin Abi Thalib juga demikian ia membunuh Al-Walid. Sementara itu, 'Ubaidah dan 'Utabah telah berhasil melukai lawannya masing-masing sebanyak dua kali. Melihat keadaan itu, Ali bin Abi Thalib dan Hamzah secepatnya mendekati 'Utbah dan membunuhnya.

Duel terhenti dengan kemenangan pihak muslimin. Setelah itu peperangan kedua belah pihak tidak terelakkan lagi. Peperangan antara dua kekuatan perang yang tidak seimbang. Pasukan kaum muslimin berjumlah 313 orang yang berperang dengan penuh keimanan untuk membela akidah dan melindungi kebenaran yang telah memanggil mereka ke jalannya. Pada kesempatan itu, ada faktor lain yang membantu semangat kaum muslimin. Faktor tersebut adalah doa yang dipanjatkan oleh Nabi untuk menguatkan dan menambah keberanian kaum muslimin. Kemantapan sikap Nabi, keberanian Hamzah, kekuatan Ali bin Abi Thalib dan para pahlawan kaum muslimin yang terus merangsek ke tengah-tengah pasukan Quraisy. Ini semua seakan-akan membuat mereka lupa akan diri dan banyaknya jumlah pasukan musuh. Terlihat kepala-kepala yang mulai terpisah dari badannya. Allah memberikan suport kepada kaum muslimin dengan kekuatan, kepastian dan kemantapan. Hasilnya adalah kaum muslimin mampu menawan sejumlah orang yang tidak mampu melarikan diri dari medan pertempuran. Mereka yang ditawan berjumlah tujuh puluh orang. Sementara yang terbunuh dari Quraisy berjumlah tujuh puluh dua orang.

Disebutkan dalam riwayat bahwa di antara kaum muslimin yang paling banyak membunuh musuh adalah Ali bin Abi Thalib. Ia sendiri berhasil membunuh sekurang-kurangnya 16 orang dan ikut serta bersama yang lain membunuh dua puluh delapan orang lainnya. Tampaknya, kebanyakan mereka yang dibunuh oleh Ali bin Abi Thalib terhitung para pahlawan dan tokoh Quraisy.

Diriwayatkan ada seorang dari Bani Kinanah masuk menemui Muawiyah bin Abi Sufyan. Muawiyah bertanya padanya, 'Apakah engkau ikut dalam perang Badr? 'ia', jawabnya. 'Bila memang demikian ceritakan padaku apa yang kau saksikan dalam perang Badr', pinta Muawiyah.

Ia kemudian bercerita, 'Kami berada di medan perang namun sepertinya tidak sepenuhnya berada di sana. Kami pada awalnya tidak yakin akan dapat memenangkan peperangan. Yang ada hanya keraguan dapat menang'. Muawiyah tidak sabar. Ia kembali meminta untuk diceritakan apa yang disaksikannya. 'Gambarkan kepadaku apa yang kau lihat! perintah Muawiyah.

Ia memulai ceritanya, 'Aku melihat Ali bin Abi Thalib sebagai anak muda yang gagah berani, sangat kuat. Ia membuka pertahanan musuh. Tidak ada yang dapat bertahan di hadapannya kecuali pasti terbunuh. Bila ia memukul sesuatu pasti akan hancur dan mati. Saat itu aku tidak melihat seorang yang paling mengorbankan dirinya seperti Ali bin Abi Thalib. Ia menyerang dan merangsek ke depan. Matanya dengan tajam menyapu musuh yang ada. Ali bin Abi Thalib bagaikan serigala yang siap menerkam mangsanya. Seakan-akan ia mempunyai mata lagi di belakang kepalanya. Ia melompat menerkam musuh-musuhnya dengan sangat liar.'


b. Ali bin Abi Thalib di perang Uhud
Quraisy masih belum bisa melupakan kekalahan yang dideritanya ketika perang Badr. Pada peperangan Badr banyak tokoh-tokoh Quraisy yang terbunuh. Para pahlawan perang yang dibanggakan oleh mereka pun banyak yang tewas. Mengingat ingat kekalahan ini memunculkan keinginan yang sangat kuat untuk membalas kekalahannya dan mengembalikan reputasinya di kalangan Arab yang hilang setelah kekalahan di perang Badr. Tidak lebih setahun dengan propaganda yang tepat mereka telah mampu mengumpulkan pasukan yang cukup besar. Para sekutu Quraisy seperti orang-orang musyrikin dan Yahudi turun tangan ikut membantu. Kali ini semua kebencian bersatu untuk ditumpahkan di atas pasukan Islam. Mereka sepakat. Kekuatan kebatilan telah bersatu untuk memerangi kebenaran. Pasukan Quraisy dan sekutunya bergerak menuju Madinah dengan kekuatan tiga ribu pasukan. Pergerakan mereka menuju Madinah dimulai pada awal-awal bulan Syawal tahun ketiga hijrah.

Pergerakan pasukan Quraisy diketahui oleh Nabi. Rasulullah saw kemudian mengumpulkan kaum muslimin dan bermusyawarah dengan mereka untuk mengambil sikap dan strategi yang tepat. Nabi berpidato di hadapan kaum muslimin mengajak mereka untuk berperang, kesabaran dan kemantapan hati. Nabi memberikan janji bahwa dalam peperangan ini sekali lagi kita akan menjadi pemenangnya sekaligus mendapat pahala. Kaum muslimin kemudian mempersiapkan segala sesuatunya untuk keluar berperang. Jumlah mereka sekitar seribu pasukan lebih sedikit. Nabi memberikan benderanya kepada Ali bin Abi Thalib. Umbul-umbul lainnya dibagikan kepada tokoh-tokoh Muhajirin dan Anshar. Di sini muncul sikap munafik dari sebagian pasukan yang pada gilirannya berdampak pada melemahnya kekuatan pasukan muslimin. Di pertengahan jalan Abdullah bin Ubay dan para pengikutnya kembali pulang ke Madinah tidak ikut berperang. Jumlah mereka sekitar tiga ratusan orang.

Kondisi itu tidak menurunkan semangat Nabi dan yang lainnya. Mereka tetap melanjutkan perjalanannya hingga sampai ke bukit Uhud. Nabi menyiapkan pasukannya untuk bertempur. Ia membuat rencana yang paling tepat dan jitu untuk menghadapi peperangan dan dapat meraih kemenangan. Beliau menyiapkan lima puluh orang pemanah di balik gunung untuk berjaga-jaga jangan sampai ada pasukan yang menyerang dari arah belakang. Ia mewanti-wanti mereka untuk tidak meninggalkan posisi ini. Mereka harus tetap di situ sekalipun semua kaum muslimin terbunuh.

Quraisy tiba di Uhud. Pasukan disiapkan untuk berperang. Pasukan Quraisy dibagi menjadi beberapa bagian dan memiliki tugas sendiri-sendiri. Bendera Quraisy diberikan kepada Bani Abd Ad-Dar. Yang pertama memegang bendera itu adalah Thalhah bin Abi Thalhah. Ketika Nabi mengetahui bendera Quraisy di tangan Thalhah, beliau segera mengambilnya dari tangan Ali bin Abi Thalib dan menyerahkannya kepada Mush'ab bin 'Umair. Ia juga dari Bani Abd Ad-Dar. Bendera itu tetap bersamanya hingga ia terbunuh. Setelah ia terbunuh bendera dikembalikan kepada Nabi yang kemudian diserahkan kembali kepada Ali bin Abi Thalib. Perang Uhud terjadi di bulan Syawal tahun ketiga hijriah.

Setelah persiapan untuk memulai peperangan telah sempurna, perang dimulai ketika pembawa bendera Quraisy Thalhah bin Abi Thalhah maju sambil membawa bendera. Ia termasuk salah satu ksatria dalam medan pertempuran. Ia maju ke depan menuju kaum muslimin sambil berteriak menantang kaum muslimin sekaligus memberi semangat pasukannya. Ia berkata, 'Wahai sahabat-sahabat Muhammad! Bukankah kalian beranggapan bahwa Allah dengan pedang kalian dapat mempercepat kami memasuki pintu neraka sementara pedang kami dapat mengantarkan kalian lebih cepat memasuki surga! Apakah ada di antara kalian yang sudah tidak sabar memasuki pintu surga dengan pedangku ini atau ada yang ingin membuatku cepat-cepat masuk neraka dengan pedangnya?

Ali bin Abi Thalib keluar dari barisan pasukan memenuhi tantangannya. Mereka berdua berdiri di antara pasukan masing-masing sementara Nabi memandang duel ini sambil duduk di atas tikar yang disiapkan untuknya. Nabi mengawasi pertempuran sambil waspada dengan jalan pertempuran. Terlihat Ali bin Abi Thalib mengayunkan pedangnya ke arah kaki Thalhah memisahkan kakinya dari badannya. Setelah kakinya terpotong oleh tebasan pedang Ali, Thalhah kemudian terjatuh. Berbarengan dengan jatuhnya Thalhah bendera yang bersamanya pun terjatuh. Ali bin Abi Thalib segera berlari secepatnya ke arah Thalhah namun apa yang terjadi? Thalhah membuka pakaian bagian bawahnya dan memperlihatkan kemaluannya. Ia lalu bersumpah atas nama Allah dan kasih sayang-Nya. Melihat gelagat Thalhah, Ali bin Abi Thalib langsung meninggalkannya. Rasulullah saw kemudian mengucapkan takbir yang kemudian diikuti oleh para sahabat. Semua bergembira dengan duel yang dimenangkan Ali bin Abi Thalib.

Melihat Thalhah terjatuh, adiknya Utsman bin Abi Thalhah segera bercepat-cepat ke depan mengambil bendera. Hamzah bin Abdil Mutthalib maju menyerangnya dan berhasil membunuhnya. Duel belum berhenti, saudara lain mereka yang bernama Abu Said segera mengambil bendera Quraisy namun, Ali tidak membiarkannya. Ali bin Abi Thalib maju menyerangnya dan kemudian membunuhnya. Arthah bin Syarahbil berusaha menyelamatkan bendera Quraisy namun, lagi-lagi, Ali bin Abi Thalib maju menghadangnya dan melakukan duel. Ali bin Abi Thalib berhasil membunuhnya. Begitulah seterusnya hingga sembilan orang dari pihak Quraisy yang berniat mengambil bendera dari Bani Abd Ad-Dar dan Ali bin Abi Thalib dan Hamzah dengan gagah perkasa membunuh kesembilan orang tersebut. Orang terakhir dari Bani Abd Ad-Dar yang memegang bendera Quraisy adalah seorang pemuda dari Bani Abd Ad-Dar yang biasanya dipanggil As-Shawab. Ali bin Abi Thalib menyerang dan kemudian membunuhnya. Bendera terjatuh di tengah-tengah medan pertempuran. Tidak ada satu pun dari Quraisy yang berani untuk mengambilnya. Orang-orang Quraisy mulai dihinggapi rasa ketakutan. Semangat berperang pun mulai luntur. Kaum musyrikin mulai merasa bahwa mereka akan terbunuh dan kaum muslimin akan menguasai wanita-wanita mereka. Peperangan pun dimulai namun seakan-akan peperangan akan berpihak pada kemenangan kaum muslimin.

Kemenangan yang sudah di depan mata kemudian berubah menjadi sebuah malapetaka yang besar untuk kaum muslimin. Para pemanah yang disiapkan Nabi di bukit untuk menangkal pasukan yang akan datang dari belakang turun meninggalkan pos mereka. Mereka turun ikut serta dengan kaum muslimin lain yang tengah memungut harta rampasan. Di atas bukit yang tersisa hanya sepuluh pemanah.

Khalid bin Al-Walid, pemimpin pasukan berkuda Quraisy, melihat bahwa bukit telah kosong dari pasukan pemanah. Yang tinggal Cuma beberapa orang. Ia kemudian mengajak pasukannya menyerang para pemanah yang masih tinggal dan kemudian membunuh semuanya. Ikrimah adalah salah seorang yang ikut dalam pasukan Khalid. Setelah berhasil melumpuhkan pasukan pemanah kekuatan kemudian berbalik menguntungkan Quraisy. Peperangan sekarang berpihak ke Quraisy. Mereka mampu menekan dan mengobrak-abrik barisan kaum muslimin. Kenyataan ini laksana sebuah tragedi besar yang pernah dialami kaum muslimin dan sulit untuk dilupakan. Kaum muslimin terombang-ambing seakan-akan kebenaran mereka telah lenyap. Mundur dan kehancuran setelah kemenangan. Kaum muslimin berhamburan tidak karuan. Para sahabat meninggalkan Nabi, menyerahkannya seorang diri kepada musuh. Itu juga setelah Hamzah, paman Nabi, terbunuh bersama Mush'ab bin Umair. Hanya tertinggal beberapa orang dari Muhajirin dan Anshar yang bersama Nabi. Salah satunya adalah Ali bin Abi Thalib.

Pada kondisi yang sangat kritis ini, sejarah mencatat peran penting dan pengorbanan seorang Ali bin Abi Thalib terhadap Rasulullah saw. Ali bin Abi Thalib berusaha sekuat tenaga melindungi Nabi. Yang ada dalam pikirannya adalah bagaimana Nabi dan Islam bisa selamat. Ia memegang bendera di satu tangannya dan pedang di tangannya yang lain. Ia berusaha menahan pasukan yang menyerang Nabi sekaligus membubarkan mereka. Ia seorang diri bak sebuah pasukan yang terlatih dan dengan persiapan yang matang. Rasul Allah setiap kali melihat ada segerombolan pasukan yang hendak menyerangnya ia memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk menyerang mereka. Ali bin Abi Thalib secepat kilat mengarahkan pedangnya kepada mereka dan memorak-porandakan pasukan itu. Ali bin Abi Thalib senantiasa berperang sehingga terlihat bagaimana ia menderita luka-luka yang banyak. Darah bercucuran dari wajah, kepala, dada, perut dan kedua tangannya.

Pada saat itu Jibril turun kepada Nabi dan berkata, 'Apa yang terjadi pada Ali bin Abi Thalib adalah kesamaan'. Rasulullah saw kemudian berkata, 'Ia (Ali) adalah dariku dan aku dari Ali'. Jibril kemudian menambahkan, 'Dan aku dari kalian berdua'. Setalah itu, mereka yang hadir pada waktu itu mendengar suara dari langit yang mengatakan, 'Tidak ada pedang seperti Dzul Fiqar dan tidak ada seorang pemuda bagaikan Ali'.

Dengan pengorbanan yang sulit diucapkan, Ali bin Abi Thalib berhasil melindungi keselamatan Nabi. Pengorbanan Ali bin Abi Thalib pulalah yang membuat kekuatan menjadi seimbang. Tidak ada dari kedua pasukan yang menang secara mutlak.


Kondisi-kondisi setelah perang Uhud
Setelah Abu Sufyan tidak lagi melanjutkan peperangan, ia dan pasukannya kembali. Rasulullah saw mengutus Ali bin Abi Thalib dan berkata, 'Pergilah ikuti jejak musuh. Perhatikan apa yang dilakukan mereka. Bila mereka masih menarik dan menuntun kuda namun mengendarai untanya maka mereka pasti menuju Madinah. Namun bila sebaliknya, mereka mengendarai kuda dan menuntun unta, itu artinya mereka sedang menuju Madinah'.

Ali bin Abi Thalib berkata, 'Aku keluar menelusuri jejak mereka. Mereka menuntun kuda dan menaiki unta menuju Mekkah.

Nabi kembali ke Madinah. Sesampainya beliau ia menyerahkan pedangnya kepada anaknya Fathimah seraya berkata, 'Anakku, cuci pedang ini dari darah yang masih melekat! Sesampainya Ali bin Abi Thalib, ia menyerahkan pedangnya ke Fathimah. Darah menutupi tangannya hingga daerah pundak. Rasulullah berkata kepada Fathimah, 'Wahai Fathimah! Terima Ali bin Abi Thalib. Suamimu telah melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Dengan pedang itu ia telah membunuh tokoh dan pahlawan Quraisy.

Peperangan Uhud adalah perang yang sangat berat dan kelam untuk kaum muslimin. Peperangan yang sulit. Namun di samping kesulitan yang dihadapi dapat disaksikan peran Ali bin Abi Thalib yang tidak dapat dipungkiri sangat penting. Dalam perang Uhud peran dan posisi Ali bin Abi Thalib menduduki tempat tersendiri yang tidak dimiliki oleh sahabat yang lain dan hal itu dikarenakan beberapa hal:

1. Ali bin Abi Thalib adalah yang memegang bendera Nabi. Bendera itu tidak pernah terjatuh sekalipun sebagian besar kaum muslimin telah melarikan diri dari medan pertempuran.

2. Ali bin Abi Thalib membunuh para pembawa bendera kaum musyrikin yang mencoba menghadapinya. Ini menunjukkan pengalaman militer dan keberanian yang luar biasa. Akibatnya adalah Ali bin Abi Thalib mampu menggedor dan memorak-porandakan barisan musuh sekaligus penyebab kelemahan pasukan musuh di awal peperangan.

3. Ketetapan hatinya untuk tetap berperang di samping Rasulullah saw dan tidak ikut melarikan diri dari medan peperangan setelah sebagian besar sahabat melarikan diri. Ini menunjukkan keimanan absolut terhadap Nabi untuk memenangkan peperangan yang telah mengkristal dalam dirinya.

4. Ali bin Abi Thalib adalah pelindung Rasulullah dari serangan-serangan kaum musyrikin yang hendak membunuh Nabi. Ali bin Abi Thalib bak tameng melindungi Nabi agar tidak ada yang dapat maju mendekati Rasulullah saw. Ini menunjukkan kebesaran cintanya kepada Nabi dan rasa yang begitu besar akan keselamatan Nabi.

5. Sebagian besar mereka yang terbunuh dari kaum Quraisy mati di tangan Ali bin Abi Thalib. Ini sebagai pertanda akan aktivitasnya di medan pertempuran, kekuatan dan keberaniannya.

6. Moral dan nilai-nilai yang mulia yang dipraktekkannya di medan perang ketika meninggalkan Thalhah bin Abi Thalhah yang membuka auratnya karena nilai-nilai kehormatan.

7. Ali bin Abi Thalib adalah yang paling dekat dengan Rasulullah saw. Senantiasa bersamanya sehingga Nabi memintanya untuk menghalau para penyerang. Ali bin Abi Thalib juga yang menangkap tangan Nabi ketika terjatuh di salah satu galian yang sengaja digali oleh Abu 'Amir Ar-Rahib agar kaum muslimin terjatuh ke dalamnya. Ali bin Abi Thalib juga yang membawakan air kepada Nabi yang dipakai untuk mencuci darah dan tanah dari wajah dan kepalanya.

8. Ali bin Abi Thalib menderita banyak luka-luka karena usaha kerasnya melindungi Nabi namun, oleh Nabi ia masih juga diutus untuk menelusuri jejak Quraisy yang tidak melanjutkan lagi peperangan dan kembali ke Mekkah. Ali bin Abi Thalib harus melakukan itu untuk mengetahui apakah benar mereka kembali ke Mekkah atau jangan-jangan hendak ke Madinah. Ini menunjukkan kepercayaan Nabi yang besar kepadanya dan kekuatan serta ketelitian Ali. Ali bin Abi Thalib mampu untuk menyikapi kejadian yang terjadi tiba-tiba. Peperangan belum selesai dengan mundurnya pasukan Quraisy.


c. Ali bin Abi Thalib di peperangan Khandaq
Quraisy dalam usahanya untuk menghancurkan Islam terlihat lemah. Keadaan ini terlihat jelas akan tetapi kejahiliahan, kebencian dan penegasan untuk tetap berjalan di jalur kekafiran membuat Quraisy untuk yang ke sekian kalinya menyiapkan pasukan untuk sebuah peperangan besar yang sangat menentukan. Hal ini dapat dilakukan dengan mengadakan perjanjian dengan kabilah-kabilah jahiliah lainnya selain dengan Yahudi. Perjanjian yang dilakukan oleh Quraisy berhasil mengumpulkan jumlah pasukan sebesar sepuluh ribu. Pasukan ini dipimpin oleh Abu Sufyan. Quraisy menjadi bertambah geram ketika menemui metode dan cara berperang kaum muslimin berubah. Kali ini, strategi dan pertahanan kaum muslimin berbeda dengan yang sebelumnya. Rasulullah saw mencoba taktik bertahan setelah bermusyawarah dengan para sahabat. Salman Al-farisi mengusulkan untuk menggali parit. Quraisy dengan jumlah pasukan sebesar itu membuat mereka lupa dan menganggap kekuatan mereka tidak mungkin terkalahkan. Mereka pasti dapat mengalahkan kaum muslimin dan melenyapkan mereka untuk selamanya dari muka bumi.

Sebagian pasukan berkuda dapat melewati parit yang lebar lebih sempit dari tempat yang lain. Pasukan berkuda kemudian berhadap-hadapan dengan kaum muslimin. Ketakutan merasuki kaum muslimin. Ali bin Abi Thalib maju dan keluar dari kelompok pasukan muslimin menutupi jalan pasukan berkuda sehingga kelihatannya mereka kesulitan mengendalikan kudanya dan barisan mereka agak cekung ke dalam.

Amr bin Abd Wad menantang kaum muslimin untuk berduel. Tantangannya serta-merta membuat riuh rendahnya suara kaum muslimin menjadi senyap seketika. Kepala-kepala tertunduk seakan-akan ada burung di atas kepala mereka. Setiap yang hadir berpikir tentang dirinya. Seribu pikiran di kepala untuk mengambil keputusan melawan Amr.

Rasulullah saw memecah keheningan dengan bertanya kepada sahabat-sahabatnya, 'Apakah ada yang mau berduel dengan Amr? Ali bin Abi Thalib siap untuk berduel dengan Amr dan meminta kepada Rasulullah saw agar ia yang maju melawan Amr. Nabi menyarankan Ali bin Abi Thalib untuk diam di tempat. Nabi kembali mengulangi pertanyaannya hingga tiga kali. Untuk kali kedua dan ketiga, Ali bin Abi Thalib jugalah yang mengacungkan tangan untuk diizinkan berduel dengan Amr. Selain Ali bin Abi Thalib tidak seorang pun yang menawarkan diri untuk maju berduel dengan Amr. Pada kali kedua dan ketiga itu juga Nabi meminta Ali bin Abi Thalib untuk tidak bergerak dari tempatnya. Pada kali keempat akhirnya Nabi mengizinkan Ali bin Abi Thalib untuk berduel dengan Amr. Sebelum maju menghadapi Amr, Nabi memakaikan Imamahnya (sorban) ke kepala Ali bin Abi Thalib dan menyiapkan pedangnya untuk dipakai Ali bin Abi Thalib serta memakaikan Ali pakaian perangnya. Setelah itu, Nabi mengangkat tangannya ke atas seraya berdoa, 'Ya Allah! Engkau telah mengambil 'Ubaidah di perang Badr dan Hamzah di perang Uhud. Kali ini yang akan maju adalah Ali bin Abi Thalib saudaraku dan anak pamanku. Kumohon agar Engkau tidak membiarkanku sendiri. Engkau adalah sebaik-baik Pewaris'.

Ali bin Abi Thalib maju ke depan menuju medan untuk berduel setelah Nabi berucap, 'Seluruh keimanan tengah berhadapan dengan seluruh kesyirikan'.

Ali bin Abi Thalib bergerak menuju Amr dengan kepercayaan mutlak akan kemenangan yang memenuhi hatinya. Amr yang tidak menyangka akan berhadapan dengan Ali bin Abi Thalib yang akhirnya membuatnya agak ragu untuk bertarung. Melihat keadaan Amr yang agak bimbang, Ali bin Abi Thalib berkata kepadanya, 'Wahai Amr! Pada masa jahiliah engkau pernah berkata bahwa siapa saja yang meminta tiga hal pada pasti akan kau kabulkan setidak-tidaknya satu dari permintaan itu'. 'Benar apa yang kau katakan', jawab Amr.

Ali bin Abi Thalib kemudian menyambung, 'Aku mengajakmu untuk bersaksi bahwa tidak Tuhan kecuali Allah. Muhammad adalah utusan Allah. Serahkanlah dirimu menjadi Islam di hadapan Tuhan pengatur alam'. Amr menjawab, 'Jangan kau tawarkan yang seperti ini. Biarkan ini menjadi tawaran yang terakhir'. 'Apa yang kutawarkan padamu adalah yang terbaik bagimu bila engkau mengiakannya', tambah Ali bin Abi Thalib. Amr geram dan berkata, 'Kembalilah engkau ke tempat asalmu! Engkau tidak boleh sama sekali berbicara seperti itu kepada wanita-wanita Quraisy apa lagi kepadaku'. Akhirnya Ali bin Abi Thalib menambahkan, 'Bila memang demikian, turunlah dari kudamu dan lawanlah aku.

Mendengar ucapan terakhir Imam Ali bin Abi Thalib, Amr menjadi sangat marah. Ia turun dari kudanya kemudian melukainya. Amr berjalan ke arah Ali bin Abi Thalib dan akhirnya duel pun dimulai. Amr mengayunkan pedangnya yang ditangkis oleh Ali bin Abi Thalib dengan tamengnya. Setelah itu dengan cepat Ali bin Abi Thalib dan dengan kekuatan penuh menghantam kepala Amr. Pukulan Ali bin Abi Thalib ini mengenai kepala Amr hingga melukai bahunya dan ia pun terjatuh ke tanah dan darahnya membasahi bumi. Setelah memenangkan duel, Ali bin Abi Thalib kemudian dengan suara lantang mengucapkan suara takbir yang kemudian diikuti oleh kaum muslimin. Apa yang terjadi di medan pertempuran menjadi jelas dengan jatuhnya Amr. Pasukan yang menyertai Amr dengan menyaksikan apa yang terjadi dihinggapi rasa takut yang membuat mereka kemudian lari meninggalkan gelanggang duel. Ali bin Abi Thalib mengejar mereka. Noufel bin Abdillah terjatuh ke dalam parit. Ali bin Abi Thalib turun ke bawah dan membunuhnya.

Pasukan koalisi setelah mengetahui apa yang terjadi dalam duel itu diliputi rasa heran yang luar biasa. Tidak pernah terpikirkan oleh mereka bahwa ada seorang yang menghadapi Amr bin Abd Wad bahkan sampai membunuhnya. Kejadian ini memang membuat mereka tidak ada yang berani untuk berusaha melewati parit dan menantang duel. Yang dapat dilakukan oleh mereka saat ini adalah tetap di tempat mengepung kota Madinah untuk beberapa waktu sehingga dengan izin Allah mereka kalah. Itu terjadi setelah Rasulullah saw mencoba taktik lain dalam perang kali ini.

Di sini ada beberapa poin yang menunjukkan kelebihan-kelebihan yang dimiliki Imam Ali bin Abi Thalib dalam perang Khandaq:

1. Inisiatif Imam Ali bin Abi Thalib melindungi ruang kosong yang dipakai oleh Amr bin Abd wad dan teman-temannya setelah melompat melewati parit. Ini menunjukkan kewaspadaan dan cepat mengambil keputusan atas kejadian-kejadian tak terduga di medan pertempuran.

2. Duel Imam Ali bin Abi Thalib dengan Amr bin Abd wad yang diakhiri dengan kemenangan Ali bin Abi Thalib dan terbunuhnya Amr. Pada awalnya kaum muslimin ragu untuk melakukan duel dengan Amr yang pada akhirnya tidak satu pun yang berani maju menjawab tantangan Amr. Oleh karenanya, Rasulullah saw memuji apa yang dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib dalam duel perang Khandaq dengan ucapannya, 'Duel Ali bin Abi Thalib berhadap-hadapan dengan Amr bin Abd wad pada peperangan Khandaq lebih utama dari perbuatan umatku hingga hari kiamat'.

3. Keberanian dan kekuatan yang luar biasa dari Imam Ali bin Abi Thalib yang terjadi dalam perang Khandaq sangat jelas di mana Amr bin Abd wad dan sebagian pasukannya yang mampu melewati parit dengan menunggangi kuda sementara Imam Ali bin Abi Thalib seorang diri dengan berjalan kaki.

4. Nilai-nilai moral yang didemonstrasikan Ali bin Abi Thalib di berbagai kondisi membuatnya berbeda dengan yang lain. Ali bin Abi Thalib mengapresiasikan Islam dan ajaran Rasulullah saw dengan sempurna. Salah satunya, Imam Ali bin Abi Thalib tidak mengambil baju perang Amr yang terkenal sebagai baju perang terbaik yang dimiliki oleh orang-orang Arab.

5. Terbunuhnya Amr dan Noufel oleh Imam Ali bin Abi Thalib serta pengejaran yang dilakukan terhadap sebagian pasukan lainnya yang bersama Amr mengembalikan kepercayaan diri kaum muslimin setelah melihat pasukan koalisi yang sangat banyak jumlahnya. Hal itu pula yang menyebabkan kekalahan kaum musyrikin setelah diterpa angin yang bertiup dengan kencang dan suhu udara yang sangat dingin serta rasa takut untuk kembali memerangi kaum muslimin.

6. Kemuliaan yang diraih oleh Ali bin Abi Thalib sebagaimana yang ucapan Nabi yang menjadi saksi untuk itu dalam duel yang dilakukannya, 'Seluruh keimanan tengah berhadapan dengan seluruh kesyirikan'.


d. Ali bin Abi Thalib di Shulh Hudaibiah (gencatan senjata Hudaibiah)
Setelah kejadian-kejadian yang sangat menyakitkan dan pertumpahan darah dalam perang antara Nabi dan kaum muslimin di satu pihak dan Quraisy dan Yahudi di pihak lain, dakwah Islam telah mampu meletakkan garis-garis dakwahnya untuk jangka panjang. Rancangan-rancangan yang mampu menunjukkan eksistensi dan keberadaan kaum muslimin sebagai sebuah kekuatan yang mandiri dan harus diperhitungkan di segala medan.

Pada masa-masa itu, perlahan-lahan kaum muslimin mulai merindukan Ka'bah. Ka'bah sebagai arah kiblat mereka setiap kali melakukan salat. Pada saat yang sama Nabi berkeinginan untuk melakukan kewajiban yang telah diwajibkan oleh Allah yaitu melakukan kewajiban haji. Nabi mulai melakukan persiapan-persiapan yang diperlukan untuk kepergiannya. Salah satu yang harus dilakukannya adalah mengumumkan berkali-kali bahwa kepergiannya tidak untuk berperang melawan Quraisy atau siapa saja.

Quraisy mendengar rencana Nabi. Mereka sepakat untuk menahan rencana Nabi untuk memasuki Mekkah sekalipun mereka memaksa. Akhirnya, diutuslah Khalid bin Al-Walid sebagai pemimpin rombongan tentara berkuda untuk menahan Nabi agar tidak mewujudkan niatnya.

Nabi beserta kaum muslimin lainnya telah sampai di tempat bernama Juhfah. Persediaan air telah habis dan di tempat itu tidak ditemukan air. Nabi memerintahkan beberapa orang untuk mencari air. Mereka yang diperintahkan tidak dapat menemukan air karena ragu dan takut dari serangan pasukan berkuda. Pada waktu itu, Nabi memanggil Ali bin Abi Thalib untuk mengambil air bersama beberapa orang. Orang-orang yang bersama Ali bin Abi Thalib tidak mau melakukannya karena tahu pasti tidak akan menemukan air sebagaimana kelompok pertama kembali dengan tangan kosong. Ali bin Abi Thalib pergi mencari air hingga tiba di satu tempat bernama Al-Hirar dan menemukan air di sana. Ali bin Abi Thalib kembali menemui Nabi dan bersamanya sebuah anak panah. Saat Ali tiba Nabi langsung mengucapkan takbir dan berdoa untuk kebaikan Ali.

Quraisy menekan dan memaksa Nabi beserta rombongan untuk mengambil jalan lain agar tidak sampai ke Mekkah. Seorang dari kabilah Aslam berhasil mengarahkan Nabi dan rombongan dari jalan yang sebenarnya dan melalui jalan-jalan tandus. Akhirnya mereka keluar menuju Tsaniyah Al-Murad yang akhirnya tiba di tempat bernama Hudaibiah. Beberapa kali Quraisy dengan pimpinan Khalid bin Al-Al-Walid berusaha untuk mencari gara-gara dengan kaum muslimin untuk dijadikan alasan untuk menyerang. Ali bin Abi Thalib, melihat kenyataan ini, bersama beberapa orang yang kuat berusaha untuk tidak terjadi kontak senjata sekaligus melenyapkan kesempatan Quraisy untuk menyukseskan tujuan-tujuan permusuhan mereka.

Quraisy memaksa untuk melakukan negosiasi dengan Nabi setelah mereka melihat bahwa keinginan kaum muslimin tidak dapat dibendung lagi untuk memasuki Mekkah. Quraisy mengirimkan delegasinya untuk bernegosiasi. Quraisy mengutus Suhail bin Umar dan Huwaithib dari Bani Abd Al-'Izza. Tampaknya, negosiasi ini tidak terbatas hanya pada masalah memasuki kota Mekkah pada tahun itu, melainkan ada masalah-masalah lain juga yang dibicarakan untuk kepentingan keduanya.

Diriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib berkata, 'Pada hari perjanjian Hudaibiah, beberapa orang dari kaum musyrikin mendatangi kami dan berkata kepada Rasulullah saw, 'Wahai Muhammad! Banyak orang yang lari dari Mekkah mengikutimu. Mereka terdiri dari anak-anak, saudara dan kerabat-kerabatmu sementara mereka tidak mengerti apa itu agama yang engkau bawa. Mereka pergi meninggalkan Mekkah hanya karena ingin lari membawa harta benda kami. Kembalikanlah mereka kepada kami! Nabi menjawab, 'Seandainya memang benar apa yang kalian katakan maka kami akan memahamkan agama ini kepada mereka'. Nabi menambahkan, 'Wahai orang-orang Quraisy! Berhentilah! Atau Allah akan mengirimkan seseorang yang akan menebas leher-leher kalian dengan pedangnya. Ingat! Allah telah menguji hatinya dengan iman'. Nabi kemudian berkata, 'Orang itu adalah penjahit sandal'. Nabi pernah memberikan sandalnya kepada Ali untuk dijahit.

Setelah dicapai kesepakatan-kesepakatan antara kedua belah pihak atas beberapa butir-butir perjanjian gencatan senjata, Nabi memanggil Ali seraya berkata padanya, 'Ali! Tuliskan Bismilillah Ar-Rahman Ar-Rahim'. Suhail segera memotong ucapan Nabi, 'Tentang kata Ar-Rahman, demi Allah, aku tidak tahu itu. Lebih baik bila ditulis demikian Bismika Allahumma'. Kaum muslimin serentak berkata, 'Kami tidak akan menulis selain kata Bismillah Ar-Rahman Ar-Rahim'. Kemudian Nabi memerintahkan Ali untuk menulis Bismika Allahumma'. Lanjutannya, 'Ini disepakati oleh Muhammad utusan Allah. Lagi-lagi Suhail menyela, 'Bila sejak awal kami meyakini engkau sebagai utusan Allah, niscaya tidak akan kami halang-halangi niat kalian untuk melakukan ziarah ke kota Mekkah dan kami tidak pernah berperang dengan kalian. Tulis Muhammad bin Abdillah! Nabi menegaskan, 'Aku adalah utusan Allah sekalipun kalian mendustakanku'. Kemudian Nabi memerintahkan Ali bin Abi Thalib, 'Hapuslah kata utusan Allah! Ali bin Abi Thalib menjawab, 'Wahai Rasulullah! Tanganku tidak dapat digerakkan untuk menghapus namamu dari kenabian'. Akhirnya, Rasulullah saw mengambil perjanjian dan kemudian ia dengan tangannya sendiri menghapus kata utusan Allah. Kemudian sambil menghadap Ali bin Abi Thalib, Nabi berkata, 'Ketahuilah Ali! Apa yang terjadi saat ini akan menimpamu suatu saat kelak dan engkau terpaksa melakukan hal itu'.


e. Ali bin Abi Thalib di peperangan Khaibar
Perjanjian Hudaibiah telah selesai. Nabi menjadi lebih tenang akan kelanjutan dakwah Islam dari rencana-rencana Quraisy dan sebagian kabilah-kabilah Arab sekitar Jazirah Arab yang masih dalam kondisi musyrik. Hal ini dikarenakan poin-poin perjanjian yang disepakati lebih menguntungkan kaum muslimin. Di samping itu, perjanjian Hudaibiah menumbuhkan dan menambahkan kekuatan kaum muslimin dari sisi kuantitas dan kualitas. Banyak yang kemudian memasuki Islam. Orang-orang Arab tahu betul bahwa Quraisy dengan menandatangani perjanjian Hudaibiah berarti kekuatan dan kesombongannya telah hilang. Rencana mereka untuk melenyapkan Islam dari muka bumi telah menemui kegagalan. Oleh karenanya, penandatanganan perjanjian artinya penerimaan akan adanya Islam oleh Quraisy.

Kekuatan yang masih tertinggal dan mengganggu ketenangan Nabi adalah kelompok yang sering menyebarkan fitnah yang muncul dalam bentuk kemunafikan dan kelompok-kelompok yang melanggar perjanjian. Kelompok ini adalah sekelompok orang-orang Yahudi yang tinggal di sekitar Madinah. Nabi senantiasa mengawasi mereka khawatir melakukan perbuatan-perbuatan dengan bantuan pihak luar. Lebih-lebih dengan melihat bahwa sepanjang sejarah Yahudi terkenal sebagai kelompok yang suka melanggar perjanjian. Dengan sebab itulah, Nabi bersiap-siap untuk menyerang orang-orang Yahudi dan benteng-benteng mereka yang kemudian dikenal dengan nama perang Khaibar. Nabi memerintahkan para sahabat untuk menyiapkan segala keperluan dengan cepat untuk memerangi Yahudi Khaibar. Setelah persiapan selesai semua keluar dari kota Madinah dan bendera berada di tangan Ali bin Abi Thalib. Semua bergerak cepat dan dengan sungguh-sungguh menuju Khaibar. Nabi dan sahabat sampai di Khaibar pada malam hari dan saat yang sama penduduk Khaibar tidak mengetahui kedatangan kaum muslimin. Saat pagi tiba, penduduk Khaibar keluar untuk melakukan aktivitasnya. Ketika melihat pasukan muslimin secepatnya mereka kembali dan tidak keluar dari benteng.

Nabi melakukan pengepungan dan membuat kondisi mereka semakin terjepit membiarkan peperangan antara kedua belah pihak di sekitar benteng-benteng yang ada. Cara ini cukup berhasil menguasai beberapa benteng yang ada. Pengepungan dilanjutkan terhadap benteng-benteng lain yang belum ditaklukkan. Pengepungan ini berlangsung hingga dua puluhan hari. Ada beberapa benteng besar dan kuat yang masih berdiri tegak. Nabi mengirim Abu Bakar dengan memberinya bendera Nabi untuk menaklukkan benteng-benteng itu. Abu Bakar kembali dengan tangan hampa. Ia tidak berhasil melakukan apa-apa. Keesokan harinya Nabi mengutus Umar bin Al-Khatthab untuk melakukan tugas yang sama yang telah dilakukan oleh Abu Bakar. Tampaknya nasib Umar bin Khatthab tidak berbeda dengan Abu Bakar. Ia tidak berhasil melakukan apa-apa. Ia kembali dengan tangan kosong, gagal. Ia mengatai sahabat-sahabat yang menyertainya sebagai pengecut. Para sahabat tidak berdiam diri mereka mengatakan hal yang sama bahwa Umar bin Khatthab adalah seorang pengecut. Rasulullah saw telah berusaha memberikan bendera sekaligus pemimpin pasukan namun akhirnya gagal. Ia mengutus yang lainnya lagi namun mundur teratur. Akhirnya, Nabi mengumumkan dengan ucapannya yang terkenal mengandung makna yang sangat dalam pada perang kali ini. Nabi dengan suara lantang yang didengar oleh seluruh kaum muslimin yang hadir dalam perang Khaibar: 'Keesokan hari aku akan memberikan bendera kepada seorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya dan sebaliknya Allah dan Rasul-Nya mencintainya. Ia seorang pejuang yang gigih pantang mundur. Allah akan memenangkan pertempuran ini dengannya. Malaikat Jibril akan berada di samping kanannya dan Mikail berada di sisi kirinya'.

Setiap orang yang hadir di perang Khabar sangat berharap keesokan harinya ia yang bakal dipilih oleh Nabi. Umar bin Khatthab sendiri berkata, 'Aku selama ini tidak pernah mengharapkan kedudukan kecuali pada hari ini. Aku sangat berharap keesokan harinya Nabi memberiku bendera'.

Keesokan harinya ketika matahari terbit, Nabi berdiri dan mengumpulkan para sahabat untuk berbaris dengan mengisyaratkan benderanya. Nabi kemudian memanggil Ali bin Abi Thalib. Dijawab oleh sebagian sahabat, 'Wahai Rasulullah! Matanya sakit'. Nabi meminta kepada mereka untuk membawa Ali bin Abi Thalib ke hadapannya. Salamat bin Al-Akwa' meninggalkan barisan menuju Ali bin Abi Thalib dan sambil menuntun tangan Ali bersama-sama menuju Nabi sementara Ali menutup kedua matanya. Nabi meletakkan kepala Ali bin Abi Thalib di pangkuannya. Kemudian Nabi membasahi kedua tangannya dengan air ludahnya yang kemudian di usap ke mata Ali. Setelah diusap seketika mata Ali bin Abi Thalib sembuh dari sakitnya seakan-akan tidak pernah sakit sebelumnya. Setelah menyembuhkan sakit mata Ali, Nabi kemudian mengangkat tangannya dan berdoa untuk Ali, 'Ya Allah! Lindungi Ali dari hawa dingin dan panas'.

Nabi memakaikan baju perangnya kepada Ali bin Abi Thalib dan menyisipkan pedangnya Dzul Fiqar di tengah-tengah pakaian perang. Setelah itu Nabi memberikannya bendera dan memerintahkannya untuk segera pergi menuju benteng. Nabi berkata, 'Perintahkan pasukanmu hingga sampai di depan benteng. Sesampainya di sana, ajaklah mereka untuk memeluk Islam terlebih dahulu. Beritahu apa yang menjadi kewajiban mereka di hadapan Allah. Demi Allah yang jiwaku berada di tangannya, bila ada seorang saja yang mendapat hidayah dengan ucapanmu, atau ada seorang yang diberi hidayah oleh Allah swt lewat petunjukmu, itu lebih baik dari sejumlah besar binatang ternak'.

Salamah berkata, 'Ali bin Abi Thalib dengan cepat bergerak sementara kami mengikutinya dari belakang hingga tiba di depan benteng. Ali bin Abi Thalib menancapkan bendera di atas batu di bawah benteng. Orang-orang Yahudi yang berada di atas benteng segera mengetahui akan kehadiran pasukan muslimin. Mereka bertanya kepada Ali, 'Siapakah kau? 'Saya Ali bin Abi Thalib', jawab Ali. Seorang Yahudi berkata kepada teman-temannya, 'Kalian akan menang sebagaimana kemenangan yang diberikan kepada Musa'.

Penghuni benteng keluar. Orang pertama yang keluar bernama Al-Harits saudara Marhab. Al-Harits terkenal akan keberaniannya. Kaum muslimin agak mundur ke belakang. Ali bin Abi Thalib melompat menyambut Al-Harits. Keduanya mulai bertempur yang pada akhirnya dimenangkan oleh Ali. Ali bin Abi Thalib berhasil membunuh Al-Harits. Orang-orang Yahudi pada berebutan masuk kembali ke dalam benteng ketakutan. Setelah itu keluar Marhab dengan memakai dua pakaian perang dua lapis, dua buah pedang di tangannya dan memakai dua lapis topi serta bersamanya ujung anak panahnya ada tiga gerigi.

Keduanya memulai duel. Mereka telah melakukan dua kali pukulan ke arah lawan masing-masing. Ali bin Abi Thalib kemudian menghantamnya dengan pedang. Kain selempang Marhab yang diikat di pahanya diganti dan diikat di kepala. Ali bin Abi Thalib berhasil mengoyak-ngoyak pakaian perang Marhab. Pukulan Ali bin Abi Thalib berhasil membelah kepala Marhab menjadi dua hingga giginya. Ketika orang-orang Yahudi menyaksikan apa yang menimpa penunggang kuda terhebat mereka Marhab serentak masuk kembali ke dalam benteng dengan ketakutan yang sangat dan kemudian menutup pintu benteng.

Ali bin Abi Thalib bersegera mendekati pintu benteng dan berusaha untuk membukanya. Pasukannya yang berada di sisi parit yang melingkari benteng tidak berani lewat bersama Ali. Ali bin Abi Thalib berhasil melepaskan pintu gerbang benteng dan meletakkan di atas parit agar mereka berani menyeberanginya. Setelah menyeberangi dan masuk benteng kaum muslimin berhasil menaklukkan benteng terkuat Yahudi Khaibar dan berhasil mendapat harta rampasan perang yang banyak.

Diriwayatkan: sejumlah orang berusaha untuk menggerakkan pintu tapi tidak mampu.

Ibnu Amr berkata, 'Kami sangat terheran-heran bagaimana Allah membuka benteng Khabar dengan tangan Ali bin Abi Thalib. Namun kami lebih heran lagi bagaimana ia dapat melepaskan pintu benteng dari tempatnya dan melemparkannya ke belakang sejauh empat puluh dzira' (satu dzira' sekitar delapan belas inci). Sekitar empat puluh orang berusaha susah payah untuk mengangkatnya namun mereka tidak mampu. Nabi kemudian memberitahukan tentang hal itu dengan ucapannya, 'Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, Ada empat puluh malaikat yang telah menolong Ali'.

Diriwayatkan bahwa Imam Ali bin Abi Thalib AS. dalam salah satu suratnya kepada Sahl bin Hanif, 'Demi Allah! Aku tidak membobol pintu Khaibar dan melemparkannya ke belakang sejauh empat puluh dzira' dengan kekuatan materi dan tidak karena makanan yang aku makan melainkan aku dibantu oleh kekuatan malakuti dan jiwa yang diberi cahaya oleh pemiliknya yang terang benderang. Aku dari Ahmad (Muhammad) bak cahaya dari cahaya'.


f. Ali bin Abi Thalib di Fathu Mekkah (pembebasan kota Mekkah)
Kondisi yang melingkupi kaum muslimin dan Quraisy lebih tenang. Rasulullah berpegang teguh dengan poin-poin perjanjian gencatan senjata. Quraisy yang memulai untuk melanggar perjanjian. Mereka beranggapan bahwa setelah perang Mu'tah kaum muslimin lebih lemah dari sebelumnya akibat kekalahan yang dideritanya. Quraisy menganggap remeh kaum muslimin. Hal itu diwujudkan dengan mencoba menyerang koalisi Nabi dari bani Khuza'ah. Ia mengajak koalisinya seperti Bani Bakar untuk menyerang Bani Khuza'ah. Terjadi pertempuran kecil di antara mereka. Bani Bakar memenangi peperangan dengan bantuan Quraisy. Perbuatan Quraisy dengan membantu Bani Bakar telah melanggar perjanjian Hudaibiah. Artinya, Quraisy kembali mengumumkan peperangan dengan kaum muslimin.

Nabi setelah merasa pasti bahwa mengkhianati perjanjian bersiap-siap untuk menyerang Quraisy. Terkait dengan masalah ini, Nabi mengucapkan kalimat yang terkenal, 'Aku tidak akan meraih kemenangan selama belum menolong Bani Khuza'ah'. Nabi mulai mempersiapkan segalanya untuk memerangi Quraisy tapi itu dilakukan dengan diam-diam agar tidak diketahui oleh Quraisy. Akan tetapi salah seorang sahabat bernama, Hathib bin Abi Balta'ah perlahan-lahan dan dengan secara sembunyi-sembunyi berusaha menyampaikan kabar tersebut. Ia mengirim surat kepada Quraisy lewat seorang wanita tentang apa yang direncanakan oleh Nabi. Sebelum wanita utusan Hathib keluar dari batas kota Madinah, wahyu turun kepada Nabi dan menjelaskan tentang apa yang dilakukan Hathib. Nabi secepatnya mengutus Ali bin Abi Thalib dan Zubair untuk segera mengejar wanita pembawa surat. Bila menemuinya mereka harus mengambil surat darinya sebelum segalanya terlambat. Dengan cepat keduanya keluar mengejar wanita tersebut dan menemukannya beberapa mil dari Madinah. Zubair mendekati wanita itu dan bertanya tentang surat. Wanita utusan mengingkari sambil menangis. Zubair melihat itu menjadi lemah dan tidak memaksanya kemudian. Ia kembali dan mengabari Ali bin Abi Thalib bahwa wanita itu tidak membawa apa-apa. Zubair mengajak Ali bin Abi Thalib pulang dan memberi kabar apa yang terjadi. Ali bin Abi Thalib berkata, 'Rasulullah saw memberi tahu kita bahwa wanita itu membawa surat. Engkau berkata bahwa ia tidak membawa apapun. Ali bin Abi Thalib mengeluarkan pedangnya dan berjalan ke arah wanita itu sehingga akhirnya ia mengeluarkan surat tersebut. Ali bin Abi Thalib kembali kepada Nabi dan menyerahkan surat tersebut.

Setelah Nabi menyelesaikan segala persiapan yang dibutuhkan untuk menguasai Mekkah, beliau menyerahkan benderanya ke tangan Ali bin Abi Thalib dan membagikan umbul-umbul untuk setiap kabilah satu buah. Setiap pemimpin kabilah memegang satu umbul-umbul. Nabi dan seluruh sahabat akhirnya menuju Mekkah.

Quraisy menyaksikan kekuatan kaum muslimin yang sedemikian besar merasa tidak dapat lagi bertahan di hadapan mereka. Tidak ada jalan lain kecuali harus menyerah. Setiap orang harus masuk ke rumahnya masing-masing untuk menyelamatkan dirinya sebagaimana pengumuman yang disampaikan Nabi.

Diriwayatkan bahwa Sa'ad bin 'Ubadah yang memegang umbul-umbul dari kalangan Anshar ketika melewati Abu Sufyan yang tengah berdiri di sebuah lembah yang sempit, jalan menuju kota Mekkah, Abu Sufyan bertanya, 'Kabilah mana ini? Orang-orang menjawab, 'Ini sahabat Nabi dari kalangan Anshar. Sa'ad bin 'Ubadah sebagai pemimpinnya. Ia yang membawa umbul-umbul Nabi. Ketika berhadap-hadapan, Sa'ad berkata, 'Wahai Abu Sufyan! Hari ini adalah hari pertempuran besar. Hari di mana dihalalkan apa yang haram. Hari di mana Allah menghinakan Quraisy. Ketika Rasulullah saw melewati Abu Sufyan dan berhadap-hadapan, Abu Sufyan memanggil, 'Wahai Rasulullah! Apakah engkau memerintahkan untuk membunuh kaummu sendiri? Sa'ad ketika melewati kami hal ini yang dibicarakannya. Ia akan membunuh kami. Ia berkata, 'Hari ini adalah pertempuran besar. Aku bersumpah padamu di hadapan Allah tentang kaummu, engkau adalah manusia terbaik, paling penyayang dan yang paling suka menyambung hubungan kekeluargaan.

Nabi berkata, 'Apa yang dikatakan Sa'ad tidak benar. Hari ini adalah hari kasih sayang. Hari di mana Allah memuliakan Quraisy. Hari di mana Allah memuliakan Ka'bah. Hari di mana Ka'bah terlindungi'.

Nabi kemudian mengutus Ali bin Abi Thalib kepada Sa'ad untuk mengambil umbul-umbul yang berada di tangannya. Ali bin Abi Thalib masuk kota Mekkah dengan bendera Sa'ad dan bendera Nabi.

Akhirnya, Nabi memasuki Mekkah dengan pasukan besar yang tidak pernah dilihat sebelumnya oleh orang-orang Mekkah dalam sejarah Mekkah yang panjang. Bendera Nabi ada di tangan Ali bin Abi Thalib dan ia mengumumkan, dari pintu-pintu Ka'bah, tentang amnesti umum kepada semua orang tanpa terkecuali.

Ali naik ke pundak Rasulullah untuk meruntuhkan patung-patung

Diriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib berkata, 'Aku berjalan bersama Rasulullah saw untuk menghancurkan patung-patung yang berada di Ka'bah. Nabi berkata kepadaku, 'Duduklah! Aku kemudian duduk di sisi Ka'bah. Nabi kemudian menaiki pundakku dan berkata, 'Sekarang bangunlah dengan membopongku ke atas'. Aku kemudian berdiri dan Nabi berada di atas pundakku. Ketika Nabi melihat bahwa aku kelihatan tidak mampu menahan berat badannya, ia berkata, 'duduklah dan turunkan aku! Aku duduk dan Nabi turun dari pundakku. Nabi kemudian berkata,'Ali! Sekarang kau yang naik di atas pundakku'. Aku kemudian naik ke atas pundak Nabi. Ia kemudian berdiri dan aku tetap di atas pundaknya pada pikirku seandainya aku ingin pasti tanganku dapat menyentuh langit. Aku kemudian menaiki Ka'bah dan kutemukan patung yang paling besar. Patung itu terbuat dari tembaga yang dipaku dengan besi. 'Cabut ia dari tempatnya! perintah Nabi. Ketika aku tengah sibuk mencongkelnya dari tempatnya Nabi mengucapkan kata, 'cabut, cabut', hingga akhirnya aku berhasil mencongkelnya. Nabi memerintahkanku untuk menghancurkannya. Aku memukul-mukulinya hingga hancur dan kemudian turun'.


g. Ali bin Abi Thalib di peperangan Hunain
Nabi telah berhasil menguasai kota Mekkah dengan tanpa terjadi pertumpahan darah. Penduduk Mekkah yang dalam hal ini adalah Quraisy menyerah kepada Nabi dan pasukannya. Namun, kabilah Hawazan dan Tsaqif berkumpul dan terinisiatif menyerang Nabi dan pasukannya sebelum mereka diserang. Ketika Nabi mendengar kabar ini, ia segera menyiapkan pasukan. Jumlah pasukan yang besar membuat kaum muslimin menganggap remeh pertempuran kali ini dan kemudian keluar kota Mekkah untuk berperang. Jumlah pasukan kaum muslimin pada waktu itu dua belas ribu pasukan.

Ketika semakin mendekati tempat pasukan musuh, Nabi menyusun barisan mereka dan membagi-bagikan bendera kepada setiap pemimpin pasukan dan para pimpinan kabilah. Nabi memberikan Ali bin Abi Thalib bendera kaum Muhajirin. Kabilah Hawazan mempersiapkan taktik perang menunggu sampai pasukan kaum muslimin lengah. Mereka bersembunyi di ceruk-ceruk lembah di lembah Tuhamah agar tidak ada tempat lari bagi yang melewati jalan itu.

Saat kaum muslimin tiba di lembah Hunain sekonyong-konyong mereka diserang oleh pasukan Hawazan dari segala arah. Bani Salim adalah yang paling menderita karena mereka adalah pasukan terdepan. Pasukan Bani Salim kalah dan kocar-kacir hal itu kemudian diikuti oleh pasukan di belakangnya. Allah swt membiarkan kaum muslimin tanpa pertolongan karena kesombongan mereka sendiri melihat jumlah pasukan mereka yang sangat besar. Pasukan yang tinggal bersama Nabi hanya sedikit. Mereka dari Bani Hasyim dan Aiman bin 'Ubaid.

Ali bin Abi Thalib yang masih tinggal melindungi seperti orang kalap membabat pedangnya ke kiri dan ke kanan. Tidak ada seorang pun yang berani mendekati Nabi. Siapa saja yang maju pasti tewas di tangan Ali bin Abi Thalib. Sikap Nabi yang masih tetap bertahan dan perlindungan Ali bin Abi Thalib membuat sebagian kaum muslimin yang kocar-kacir serasa mendapat dukungan untuk tetap melanjutkan peperangan. Mereka kembali menyusun barisan untuk menyerang balik kabilah Hawazan. Salah seorang jagoan Hawazan yang biasanya dipanggil Abu Jarwal menuju kaum muslimin sambil membawa bendera mereka. Sebagian pasukan muslimin berusaha menyerangnya tapi mereka tidak mampu. Ali bin Abi Thalib kemudian maju berduel dengannya. Lagi-lagi, Ali bin Abi Thalib berhasil membunuh lawan duelnya. Melihat kematian jagoan perangnya, kabilah Hawazan mulai dirundung rasa takut. Sebaliknya, kaum muslimin seperti mendapat tenaga baru malah menjadi bersemangat. Kaum muslimin akhirnya berhasil mengalahkan kabilah Hawazan beserta koalisinya. Selain banyak yang terbunuh, banyak juga yang tertawan. Ali bin Abi Thalib adalah yang terbanyak membunuh musuh. Ia sendiri berhasil membunuh sekitar empat puluh orang dari pasukan musuh. Peran Ali bin Abi Thalib jugalah yang membuat kaum muslimin akhirnya berhasil keluar sebagai pemenang dalam pertempuran yang sangat sulit ini.


h. Ali bin Abi Thalib di peperangan Tabuk
Nabi mendapat kabar bahwa kekaisaran Romawi hendak menyerang kaum muslimin. Mendengar itu Nabi segera menyiapkan pasukan. Nabi menyiapkan segala strategi jitu terkait dengan kualitas maupun kuantitas. Nabi menyiapkan dirinya sebagai pemimpin terdepan mengingat penting dan kritisnya peperangan kali ini. Akan tetapi situasi politik dan militer tidak memberikan ketenangan yang sempurna untuk itu. Di sisi lain kaum munafikin dan mereka yang suka menebar fitnah di tengah kaum muslimin masih ada dan banyak di Madinah. Sangat mungkin sekali mereka akan menggunting dalam lipatan dengan menguasai Madinah atau melakukan tindakan-tindakan makar lainnya. Kondisi yang demikian membuat Nabi harus berpikir keras untuk menyiapkan seseorang di Madinah yang layak, mampu, bijaksana dan memahami dengan betul kondisi ini. Seorang yang betul-betul mampu menjaga akidah Islam sehingga tahu apa yang harus dilakukan bila ada kejadian luar biasa. Akhirnya, Nabi memilih Ali bin Abi Thalib sebagai orang paling pantas menjadi penggantinya di kota Madinah.

Nabi berkata, 'Wahai Ali! Madinah tidak layak dipimpin kecuali aku dan kau'.

Saat untuk berangkat telah tiba. Nabi dan pasukan telah siap untuk menuju medan pertempuran. Kaum munafikin merasa sulit dengan ditetapkannya Ali bin Abi Thalib sebagai wali kota sementara kota Madinah pusat pemerintahan Islam. Mereka tahu persis bahwa Ali bin Abi Thalib tidak akan membiarkan tangan-tangan yang tamak untuk begitu saja merusak apa yang telah dibangun oleh Nabi. Untuk itu mereka mulai menyebarkan kabar buruk tentang hal ini. Dalam setiap kesempatan mereka menyampaikan bahwa Nabi tidak akan menugaskan seseorang menjadi wali kota sementara Madinah kecuali ia pasi orang yang tidak disukai oleh Nabi. Mereka berusaha menyebarkan kabar ini di tengah masyarakat tentang Ali bin Abi Thalib sebagaimana Quraisy dahulu pernah melakukannya terhadap Nabi dengan mengatakannya sebagai tukang sihir dan orang yang terkena jin.

Ketika isu-isu ini sampai ke telinga Ali bin Abi Thalib, ia berusaha bagaimana caranya membongkar konspirasi kaum munafikin. Ali bin Abi Thalib kemudian mengambil pedangnya berlari-lari mengejar Nabi untuk ikut dalam rombongan pasukan. Setelah menemui Rasulullah saw ia berkata, 'Wahai Rasulullah! Orang-orang munafik menganggap bahwa engkau meninggalkanku di Madinah karena merasa berat dan sudah tidak menyukaiku lagi? Rasulullah saw berkata kepadanya, 'Kembali ke tempatmu! Madinah hanya layak dipimpin olehku dan kau. Engkau adalah khalifahku di Ahli Baytku, di tempat hijrahku dan di kaumku. Apakah engkau tidak rela, wahai Ali, posisimu di sisiku seperti posisi Harun di sisi Musa? Hanya saja sepeninggalku tidak ada lagi nabi'.

Ali bin Abi Thalib kemudian kembali dan Rasul juga melanjutkan perjalanannya.


Penyampaian surat Bara'ah (surat At-Taubah)
Rasulullah secara kontinyu mendakwahkan agama Islam. Beliau menyebarkan ke seluruh jazirah Arab. Pada saat yang bersamaan beliau menggunakan
kekuatan militer sehingga pada tahun kesembilan hijriah beliau telah mampu menguasai jazirah Arab. Islam telah berubah menjadi sebuah eksistensi
mandiri dan umat yang dituntun oleh hubungan-hubungan yang kuat dan batas-batas teritori tertentu. Sebaliknya, kekuatan-kekuatan syirik sudah tidak dianggap sebagai penghalang bahkan keberadaannya sudah semakin tidak dianggap, mereka harus dibersihkan. Pada masa itu turun wahyu dari Allah tentang surat Bara'ah (surat Taubah). Surat Bara'ah membawa syariat yang menjelaskan batasan-batasan hubungan dengan kaum musyrikin. Juga tentang perjanjian-perjanjian yang telah dilakukan dengan mereka sebelumnya. Paling tepat untuk membacakan dan menjelaskan aturan-aturan yang dimuat dalam surat Bara'ah adalah di Ka'bah. Sementara waktu paling tepat adalah pada tanggal 10 Dzi Hijjah. Hari di mana kaum musyrikin dari sekitar jazirah Arab berkumpul melaksanakan haji. Nabi kemudian mengutus Abu Bakar untuk melakukan haji bersama-sama manusia yang lain selain itu tugas utamanya adalah menyampaikan surat Bara'ah. Ketika ia tiba di Dzil Hulaifah tempat yang sekarang dikenal dengan nama Masjid Syajarah, turun wahyu kepada Nabi untuk menggantikan tugas Abu Bakar dan diberikan kepada Ali bin Abi Thalib. Nabi kemudian mengirim Ali bin Abi Thalib dan memerintahkannya untuk mengambil ayat-ayat yang akan dibacakan oleh Abu Bakar. Ia diperintahkan oleh Nabi untuk menyampaikannya kepada kaum musyrikin. Ali bin Abi Thalib segera berangkat menuju Mekkah sambil menunggang unta Rasulullah hingga sampai ke tempat Abu Bakar. Abu Bakar ketika mendengar suara unta yang dikenalnya sebagai unta milik Rasulullah, ia merasa takut. Ia merasa penunggangnya adalah Nabi ternyata Ali bin Abi Thalib penunggangnya. Ali bin Abi Thalib kemudian mengambil ayat-ayat yang sedianya akan dibaca oleh Abu Bakar. Abu bakar sendiri langsung kembali ke Madinah. Ia merasa tidak enak dan takut. Jangan-jangan ada wahyu yang turun mengenai dirinya yang membuat Nabi marah kepadanya. Ia berkata kepada Rasulullah, 'Wahai Rasulullah! Apakah turun wahyu mengenai diriku? Nabi berkata, 'Tidak. Akan tetapi aku diperintahkan agar yang menyampaikan surat Bara'ah hanya aku dan orang yang sama dengan aku'.

Ali bin Abi Thalib, setelah mengambil ayat-ayat dari surat Bara'ah, kemudian melanjutkan perjalanannya hingga sampai ke Mekkah. Saat orang-orang sedang berkumpul untuk melakukan ibadah, Ali bin Abi Thalib membacakan kepada mereka ayat-ayat dari Surat Bara'ah. Dengan suara lantang Ali bin Abi Thalib berteriak, 'Setelah tahun ini kaum musyrikin tidak boleh lagi memasuki kota Mekkah. Tidak boleh melakukan tawaf dengan keadaan telanjang. Barang siapa yang masih memiliki perjanjian dengan Rasulullah maka perjanjiannya masih tetap hingga waktunya'.


Ali bin Abi Thalib Di Yaman
Nabi selalu memikirkan dakwah ke depan Islam. Untuk itu beliau mengirimkan sahabat-sahabatnya untuk berdakwah ke Yaman yang dipimpin oleh Khalid bin Al-Walid. Mereka bertugas untuk berdakwah ke kabilah Hamdan. Sayangnya telah enam bulan berdakwah di sana tidak membuahkan hasil. Khalid bersama sahabat lainnya belum berhasil membuat mereka percaya akan Islam. Khalid akhirnya mengirimkan seorang untuk mengabari Nabi apa yang terjadi. Setelah mendengar berita itu, Nabi kemudian mengirim Ali bin Abi Thalib sebagai peganti Khalid. Sementara Khalid bin Al-Walid ditarik ke Madinah. Ali bin Abi Thalib meminta siapa saja yang sebelumnya mengikuti Khalid untuk tinggal dengannya bila bersedia.

Diriwayatkan dari Bara bin 'Azib yang sebelumnya bersama Khalid dan tetap bertahan dengan misi lama bersama Ali, 'Aku adalah salah satu orang yang ditugaskan Nabi bersama Khalid. Kami tinggal di sana selama enam bulan mengajak mereka kepada Islam namun mereka tidak merespons sedikit pun. Setelah itu, Nabi menggantikan Khalid dengan Ali bin Abi Thalib. Ketika kami melakukan pendekatan dengan kabilah Hamdan, mereka keluar menuju kami. Ali bin Abi Thalib kemudian melakukan salat dengan kami. Setelah salat kami menjadi satu baris karena setelah itu Ali bin Abi Thalib berdiri di hadapan kami untuk mulai membaca tuntunan Nabi bila mereka masuk Islam. Setelah mendengar semua itu, berbondong-bondong mereka semua tanpa terkecuali memeluk Islam. Dengan kenyataan itu, Ali bin Abi Thalib lalu mengirim kabar kepada Rasulullah apa yang terjadi. Nabi kemudian menjatuhkan dirinya sambil melakukan sujud. Setelah bangkit dari sujudnya beliau berkata, 'Salam sejahtera kepada Hamdan'.

Diriwayatkan: Nabi mengutus Ali bin Abi Thalib untuk tugas penting kedua ke daerah Yaman untuk mengajak kabilah Madzhaj memeluk Islam. Ali bin Abi Thalib berangkat menunaikan tugas dari Nabi bersama tiga ratus penunggang kuda. Nabi sebelumnya memberikannya bendera dan memasangkan sorban di kepala Ali bin Abi Thalib dengan tangannya sendiri. Nabi mewasiatkan Ali bin Abi Thalib untuk tidak memulai menyerang bila tidak diserang. Ketika telah memasuki batas kota Madzhaj, Ali bin Abi Thalib mulai mengajak mereka untuk memeluk agama Islam. Mereka tidak mau mendengar seruan Ali bin Abi Thalib bahkan berusaha memanah Ali bin Abi Thalib beserta rombongan dengan panah dan yang lainnya melempari mereka dengan batu. Ali bin Abi Thalib akhirnya meminta pasukannya untuk bersiap memulai peperangan. Perang dimulai. Kaum muslimin menyerang kabilah Madzhaj dan Ali bin Abi Thalib seorang diri berhasil membunuh sekitar dua puluh orang musuh. Mendapat serangan yang hebat, akhirnya mereka kocar-kacir dan kalah. Ali bin Abi Thalib memberhentikan serangan dan mengajak mereka untuk memeluk Islam kedua kalinya. Pada kali kedua ini mereka menerima ajakan Ali bin Abi Thalib dan memeluk Islam. Sejumlah tokoh kabilah membaiat Ali bin Abi Thalib. Mereka berkata kepada Ali, 'Kami berada di belakang kaum kami. Ini harta bukti perjanjian kami. Ambillah hak Allah darinya!

Diriwayatkan: Ali bin Abi Thalib berkata, 'Rasulullah saw mengutusku ke daerah Yaman. Aku berkata kepada Rasulullah, 'Wahai Rasulullah! Engkau mengutusku ke sebuah kaum sementara aku masih terlalu muda dan tidak mengerti bagaimana cara menghakimi'. Nabi kemudian meletakkan tangannya di dadaku sambil berkata, 'Ya Allah! Tetapkanlah lisannya. Beri petunjuk hatinya'. Kemudian Nabi berkata, 'Bila datang kepadamu dua orang yang berselisih jangan sekali-kali engkau memutuskan perkaranya sebelum engkau mendengar dari keduanya. Bila engkau melakukan apa yang kuperintahkan maka urusan mengadili akan menjadi jelas buatmu'. Ali bin Abi Thalib berkata, 'Demi Allah! Semenjak itu aku tidak ragu lagi dalam mengadili masalah dua orang yang berseteru'.

Setelah peperangan kecil dengan kabilah Madzhaj selesai dan sisa yang hidup mengikrarkan keislamannya, Ali bin Abi Thalib kemudian mengumpulkan ghanimah (harta rampasan perang). Dari yang terkumpul dikeluarkan seperlimanya dan sisanya dibagikan kepada mereka yang mengikuti pertempuran. Setelah melakukan semua itu, Ali bin Abi Thalib mendapat kabar bahwa Rasulullah saw keluar dari kota Madinah menuju Mekkah untuk melakukan ibadah haji. Ali bin Abi Thalib kemudian bercepat-cepat untuk dapat bergabung dengan rombongan Rasulullah saw menuju Mekkah. Diriwayatkan: Sebagian rombongan yang bersama Ali bin Abi Thalib menuju Yaman tidak menerima apa yang dilakukan Ali. Ia terlalu keras dan tidak pandang bulu dalam memberikan hak setiap orang. Ketika kabar ini sampai ke telinga Rasulullah saw, beliau langsung berkata, 'Wahai para sahabatku, jangan kalian mengadu dan komplain terhadap apa yang dilakukan Ali. Demi Allah! Ia sangat keras terkait dengan Zat Allah dari apa yang kalian adukan itu'.

Diriwayatkan dari 'Amr bin Syas Al-Aslami, ia berkata, 'Aku bersama rombongan Ali ketika ia diutus ke Yaman. Aku menemukan kejadian yang tidak menyenangkanku terkait dengan sikap Ali. Ketika aku tiba di Madinah aku mengadukan masalah ini di setiap perkumpulan yang kami lakukan di Madinah dan juga aku bicarakan masalah ini dengan siapa saja yang aku temui. Suatu hari aku bertemu dengan Nabi yang berada di Masjid. Ketika beliau melihatku dan aku melihat ke kedua bola matanya ia terus melihatku hingga aku kemudian duduk di dekatnya. Nabi berkata, 'Katakan sekali lagi wahai 'Amr! Apa yang kau lakukan sangat menyakiti hatiku. Aku menjawab, 'Sesungguhnya kita semua berasal dari Allah dan akan kembali kepadaNya. Aku berlindung kepada Allah dan Islam untuk tidak mengganggumu, Rasul Allah. Rasulullah langsung memotong pembicaraanku, 'Barang siapa yang menyakiti hati Ali bin Abi Thalib berarti ia telah menyakiti hatiku'.


Inti dan tujuan perbuatan Nabi
Kehidupan Nabi isinya adalah Islam. Usaha yang dilakukan selama hidupnya adalah bagaimana dengan sekuat tenaganya mendakwahkan Islam dan berusaha mengantarkan masyarakat Islam yang kuat kepada kematangan dan kedewasaan sehingga mampu menghadapi segala macam kondisi yang muncul sehingga Islam dapat menuntun dunia. Untuk itu, Nabi dalam perbuatannya menekankan dua poros penting. Pertama, menyadarkan umat sebagai rakyat sebesar apa yang dinginkan oleh rakyat yang dewasa dan matang dari sisi pemahaman akan budaya dan kekuatan untuk mengusahakan keberlangsungan kehidupan Islam. Hal yang juga diinginkan oleh sang pemilik risalah Allah swt. Dalam rangka ini, Ali bin Abi Thalib memiliki peran yang sangat menonjol dalam sisi ini. Dapat dikatakan bahwa Nabi sibuk memperluas tujuan masyarakat Islam secara vertikal, sementara Ali bin Abi Thalib tugasnya memperdalam tujuan secara horizontal. Tugasnya adalah menyempurnakan tugas yang diemban Nabi.

Kedua, mempersiapkan dan mendidik orang-orang terpilih yang telah dipilih oleh Allah untuk menggantikan dirinya sepeninggalnya guna menuntun masyarakat dan ajaran Islam. Pengganti yang dapat melindungi ajaran Islam dan masyarakat Islam dari penyimpangan. Persiapan seorang pemimpin yang memiliki pengalaman dan mampu menjadi pemimpin politik. Nabi telah mempersiapkan Ali bin Abi Thalib sebagai seorang pemimpin yang memiliki banyak pengalaman. Nabi selalu mengikutsertakan Ali bin Abi Thalib pada kejadian-kejadian penting dan sulit serta kompleks. Dalam masalah keilmuan, Nabi adalah pengajar Ali. Ali bin Abi Thalib tidak pernah memiliki seorang guru selain Nabi. Ali bin Abi Thalib mengatakan, 'Nabi telah mengajarkan kepadaku seribu bab ilmu. Setiap bab yang diajarkan membuka seribu bab yang lain'.

Ali bin Abi Thalib memiliki segala kelayakan yang menjadikan ia sebagai orang yang dipercayai Nabi baik dalam perkataan dan perbuatan. Nabi telah mengambil Ali bin Abi Thalib sejak kecil dan membesarkannya. Ali bin Abi Thalib senantiasa bersama Nabi sepanjang hayatnya. Semua itu semakin mengkristal ketika Nabi menjadikan Ali bin Abi Thalib sebagai saudara dan pembantu tepercayanya dalam dakwah Islam. Nabi mengulangi masalah ini di tempat-tempat yang berbeda. Bahkan lebih dari itu, Nabi menjadikan Ali bin Abi Thalib sama persis dengannya kecuali masalah kenabian. Ali tidak memiliki predikat Nabi karena kenabian berakhir di tangan Rasulullah saw.

Setelah kepribadian Ali bin Abi Thalib dijelaskan dan disampaikan di banyak tempat, Nabi mulai memberikan tanggung jawab selaku penggantinya pada kondisi-kondisi yang hampir tidak mungkin ada orang lain yang mampu melakukannya. Seorang yang dapat melakukannya kalau tidak Nabi maka orang itu mesti seperti Nabi. Beberapa kondisi itu antara lain; peristiwa mabit (tidurnya Ali bin Abi Thalib di tempat tidur Nabi) pada malam hijrah Nabi. Pengembalian barang-barang titipan. Membawa para wanita yang bernama Fathimah melakukan hijrah. Salah satu perhatian lebih Nabi pada peristiwa hijrah adalah Nabi tidak ingin masuk ke kota Madinah terlebih dahulu hingga Ali bin Abi Thalib sampai di tempatnya. Nabi juga tidak menerima tempat yang ditawarkan untuk tinggal sambil menunggu kedatangan Ali bin Abi Thalib. Penyampaian surat Bara'ah adalah contoh lain bagaimana untuk menyampaikan surat ini, Ali bin Abi Thalib diperintahkan untuk mengambilnya dari tangan Abu Bakar dan dia sendiri yang membacakannya di Mekkah.

Pada kondisi sulit yang ditemui Nabi dalam peperangan-peperangan yang dilakukannya, benderanya hanya diberikan kepada Ali bin Abi Thalib. Nabi selalu mengirimnya pada misi-misi yang sangat sulit yang membutuhkan kepemimpinan yang kuat dan benar-benar layak. Ali bin Abi Thalib selalu melaksanakan tugasnya dengan baik dan sempurna.

Pada periode baru setelah jelas Ali bin Abi Thalib memiliki kekhususan yang membedakannya dengan sahabat yang lain karena ketulusan hati, kedalaman iman dan sifatnya yang lebur dengan akidah Islam, Nabi mulai menjelaskan pentingnya Ahli Baytnya, keberadaan dan besarnya kecintaannya kepada mereka. Al-Quran mendukung sikap Nabi dengan ayat yang berbunyi, 'Katakanlah wahai Muhammad! Aku tidak meminta balasan terkait dengan risalah Islam kecuali kecintaan terhadap keluargaku'.

Nabi menunjukkan akan kesucian Ali bin Abi Thalib dan Ahli Baytnya dari noda dan dosa baik materi maupun maknawi. Nabi tidak pernah meminta izin kepada seorang pun ketika akan berangkat ke masjid selain kepada Ali bin Abi Thalib.

Nabi senantiasa mengarahkan prinsip-prinsip masyarakat untuk selalu menjadikan Ali bin Abi Thalib sebagai porosnya. Nabi memerintahkan para sahabat untuk mencintainya dan menjadikannya sebagai pemutus masalah-masalah sulit yang ditemui dalam kehidupan mereka. Nabi menekankan pentingnya memahami pribadi seperti Ali bin Abi Thalib akan kedalaman dan kekuatan iman yang dimilikinya tentang Allah SWT, akan kedalaman pemahamannya tentang akidah Islam dan keluasan ilmunya. Dalam hadis-hadis disebutkan, 'Paling tepat untuk mengadili seseorang di antara kalian adalah Ali bin Abi Thalib. Paling mengetahui berbagai masalah di antara kalian adalah Ali. Orang yang paling adil di antara kalian adalah Ali'. Kejadian-kejadian dalam sejarah kehidupan Ali bin Abi Thalib sendiri menunjukkan kebenaran hadis-hadis di atas.

Ali bin Abi Thalib juga mengikuti nabi dalam prosesi peribadatan terakhir yang dilakukan Nabi yaitu haji. Keduanya bersama-sama melakukan haji hingga akhirnya bersama-sama menyembelih hewan kurban.

Semua ini adalah usaha-usaha untuk menyiapkan kondisi untuk pada gilirannya mengumumkan peristiwa Al-Ghadir. Kejadian setelah menunaikan ibadah haji terakhir. Kejadian yang diumumkan di depan khalayak ramai yang dihadiri oleh mayoritas sahabat. Pada peristiwa Al-Ghadir ada pengumuman dan pengangkatan yang bersumber dari Allah. Semua sahabat yang hadir melakukan baiat dengan Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin setelah Nabi yang diikuti dengan turunnya ayat kesempurnaan agama dan sempurnanya nikmat.


Ali bin Abi Thalib di Hajjah Al-Wada' (haji perpisahan)
Dengan hati yang penuh kerinduan untuk melakukan ibadah haji, umat Islam bergerak dari berbagai tempat menuju kota Mekkah. Ibadah haji kali ini adalah yang terbesar pertama kalinya dalam sejarah jazirah Arab. Nabi memulai perjalanannya di penghujung bulan Dzi Hijjah pada tahun kesepuluh hijrah. Semua mengumandangkan satu ucapan:

"Labbaika Allahumma labaik. Labbaika Laa Syarikat lahu Labbaik. Innal Hamda wan Ni'mata wal Mulka Laa Syarika laka Labbaik" (Aku di sini menerima seruan-Mu ya Allah, aku di sini menerima seruan-Mu. Aku menerima seruan-Mu. Tidak ada sekutu bagimu, aku menerima seruan-Mu. Sesungguhnya segala puji, kenikmatan dan tahta adalah milik-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu, aku menerima seruan-Mu)

Nabi sebelumnya telah menuliskan surat untuk disampaikan kepada Ali bin Abi Thalib di Yaman. Isi surat itu memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk menyertainya di Mekkah sekaligus melakukan ibadah haji bersama-sama. Mendapat surat tersebut Ali bin Abi Thalib langsung bercepat-cepat menuju kota Mekkah. Dari Yaman, Ali bin Abi Thalib membawa hasil-hasil rampasan perang dan barang-barang halal lainnya. Ali bin Abi Thalib akhirnya berhasil menemui Nabi di Mekkah. Nabi sangat gembira dengan kedatangan Ali. Ali bin Abi Thalib kemudian melaporkan segala yang terjadi di Yaman. Nabi sangat gembira mendengar apa yang telah dilakukan Ali di Yaman. Kemudian Nabi bertanya dengan apa engkau mengucapkan talbiah (labbaik)? Ali menjawab, 'Wahai Rasulullah! Dalam suratmu engkau tidak memberitahukan tentang hal itu. Karena aku tidak mengetahuinya maka aku mengikutkan niatku dengan niatmu. Aku akhirnya berkata, 'Ya Allah! Aku mengucapkan talbiah dengan niat yang sama dengan talbiah yang diucapkan oleh Nabi-Mu. Aku dengan susah payah membawa tiga puluh empat hewan kurban'. Nabi kemudian membaca takbir Allahu Akbar dan berkata, 'Aku membawa hewan kurban sebanyak enam puluh enam ekor. Kalau memang demikian engkau bersamaku melakukan haji, ibadah-ibadah lainnya serta bersama-sama memotong hewan kurba. Sekarang, berdirilah! Lakukan ihrammu. Kembali kepada pasukanmu dan bersama-sama mereka segera ikut dan berkumpul di Mekkah. Ali bin Abi Thalib pada waktu itu lebih dulu menemui Nabi seorang diri dekat kota Mekkah. Ia telah memerintahkan seseorang untuk sementara menjadi pemimpin hingga ia kembali.

Nabi melakukan ibadah haji dan umrah bersama Ali bin Abi Thalib. Nabi berkata, 'Di Mina kita melakukan pemotongan hewan kurban semuanya. Nabi sendiri memotong enam puluh tiga sementara Ali bin Abi Thalib memotong tiga puluh tujuh ekor. Keseluruhannya berjumlah seratus ekor. Setelah melakukan pemotongan hewan kurban, Nabi kemudian mengumpulkan seluruh kaum muslimin dan berpidato. Dalam pidato Nabi menasihati mereka semuanya.

Nabi dan seluruh kaum muslimin yang hadir menyempurnakan ibadah hajinya di Mina. Setelah itu mereka kembali ke kota Mekkah. Di Mekkah, beliau melakukan tawaf perpisahan. Akhirnya, beliau kembali ke kota Madinah.


Ali pada peristiwa Ghadir Khum, pemimpin kaum muslimin
Setelah melakukan tawaf perpisahan, Nabi kembali menuju Madinah. Sejumlah besar kaum muslimin yang bersamanya waktu itu. Dalam perjalanan pulang

Nabi dan kaum muslimin tiba di sebuah tempat yang bernama Ghadir Kaum (telaga Khum). Sebuah tempat yang masih termasuk daerah Juhfah. Di situ tempat
persimpangan jalan orang-orang yang ingin kembali ke daerahnya masing-masing baik yang dari Irak, Mesir, Madinah dan lain-lainnya. Hari itu tepat tanggal delapan belas Dzi Hijjah. Pada waktu itu turun wahyu yang berbunyi, 'Wahai Rasul! Sampaikan apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu'. Nabi diperintahkan untuk menunjuk Nabi sebagai pemimpin di hadapan kaum muslimin. Nabi diminta untuk menyampaikan apa yang diturunkan dari Allah bahwa Ali bin Abi Thalib adalah wali dan pemimpin kaum muslimin. Diwajibkan bagi setiap muslimin untuk taat kepada Ali bin Abi Thalib. Pada waktu itu rombongan pertama telah dekat dengan Juhfah. Nabi segera memerintahkan untuk mereka yang telah dahulu berjalan untuk segera kembali. Dan bagi mereka yang berjalan dari belakang untuk ditunggu. Tempat itu belum pernah ditinggali sebelumnya. Nabi tidak akan pernah berhenti di situ bila wahyu tidak turun kepadanya. Setelah semua terkumpul, Nabi kemudian berdiri di tengah-tengah kerumunan manusia dan berbicara dengan nada suara yang tinggi, 'Wahai seluruh manusia! Aku telah mengajak kalian untuk memeluk Islam dan kalian mengiakannya. Aku tinggalkan kepada kalian dua pusaka; Kitabullah dan 'Itrah, Ahli Baytku. Perhatikan dengan seksama apa yang kalian lakukan terhadap keduanya sepeninggalku nanti. Ingat! Keduanya tidak akan pernah terpisah hingga datang kepadaku di sisi telaga Kautsar (di hari kiamat). Kemudian beliau melanjutkan, 'Allah adalah pemimpinku. Aku adalah pemimpin segenap kaum muslim dan muslimah. Setelah itu Nabi mengangkat tangan Ali bin Abi Thalib seraya berkata, 'Barang siapa yang menjadikanku sebagai pemimpinnya maka, ini Ali bin Abi Thalib adalah pemimpinnya. Ya Allah! Engkau mencintai orang yang mencintai Ali. Engkau adalah musuh bagi orang yang memusuhi Ali. Tolonglah orang yang menolong Ali. Tinggalkan orang yang tidak puas dengannya. Lingkarilah kebenaran selama ia berlaku. Ketahuilah kalian semua, hendaknya setiap yang hadir di sini memberitahukan kepada yang tidak mengetahui masalah ini'.

Kemudian sebelum mereka berpencar kembali menuju arah tujuannya masing-masing turun ayat, 'Pada hari ini Aku telah menyempurnakan agama kalian dan aku telah menyelesaikan nikmat-Ku kepada kalian dan aku rela Islam sebagai agama kalian'.

Setelah membacakan ayat tersebut Nabi lantas berucap, 'Allahu Akbar, Allah Maha Besar atas penyempurnaan agama dan penyelesaian nikmat dan kerelaan Allah akan risalah yang aku emban dan kepemimpinan Ali bin Abi Thalib sepeninggalku'. Para sahabat berduyun-duyun mengucapkan selamat atas terpilihnya Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin kaum muslimin. Mereka yang paling dahulu mengucapkan selamat dari kalangan sahabat ternama adalah Abu Bakar dan Umar bin Khatthab. Mereka berdua menyalami Ali bin Abi Thalib sambil berkata, 'Selamat, selamat kepadamu. Wahai Ali bin Abi Thalib, engkau telah menjadi pemimpinku dan pemimpin semua kaum muslim dan kaum muslimah'.

Diriwayatkan: Nabi memerintahkan untuk membuat kemah tersendiri buat Ali bin Abi thalib. Kemudian memerintahkan kepada kaum muslimin secara berkelompok-kelompok untuk mengucapkan selamat kepada pemimpin mereka nantinya. Semua masuk mengucapkan selamat kepada Ali bin Abi Thalib bahkan istri-istri Nabi dan istri-istri kaum muslimin yang mengikuti ibadah haji tanpa terkecuali mengucapkan selamat kepada Ali bin Abi Thalib.


Peristiwa Harits bin Nu'man dan ayat Sa'ala Sailun bi 'Adzabin Waqi'
Setelah ucapan Nabi tentang kepemimpinan Ali bin Abi Thalib sepeninggalnya (barang siapa yang menjadikanku sebagai pemimpinnya maka ini Ali adalah pemimpinnya) tersebar dan sampai ke telinga Al-Harits bin An-Nu'man, ia langsung mendatangi Nabi sambil menaiki untanya. Nabi pada waktu itu berada di tempat bernama Al-Abthah ketika Al-Harits bin Nu'man menemuinya setelah turun dari untanya. Al-Harits berkata kepada Nabi di hadapan para sahabat, 'Wahai Muhammad! Engkau memerintahkan kami untuk bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan engkau adalah utusan Allah. Perintah ini kami terima karena engkau mengatakannya dari Allah. Kemudian Al-Harits menyebutkan seluruh rukun Islam dan kemudian ia berkata, 'Apakah engkau masih belum merasa cukup dengan semua ini sehingga perlu lagi mengulurkan tanganmu mengangkat tangan anak pamanmu melebihkannya dari kami semua dengan ucapanmu 'Barang siapa yang menjadikanku sebagai pemimpinnya maka ini Ali bin Abi Thalib adalah pemimpinnya'? Ucapan ini kau buat-buat sendiri atau dari Allah?

Nabi menjawab, 'Demi Allah yang tiada Tuhan selain-Nya. Apa yang aku ucapkan menurut perintah-Nya'. Al-Harits kemudian membelakangi Nabi untuk menaiki untanya sambil berkata, 'Ya Allah! Bila apa yang diucapkan itu memang benar dari-Mu, maka jatuhkanlah batu dari langit atau berikan kami azab yang sangat pedih'. Ucapan belum selesai ketika Allah melemparnya dengan sebuah batu yang jatuh tepat mengenai kepalanya dan keluar dari lubang pantatnya. Setelah kejadian itu, turun wahyu 'Ketika seorang meminta diturunkan azab yang pedih' .


Usaha-usaha Rasulullah memperkuat baiat kepada Ali bin Abi Thalib
Nabi sangat memahami benar apa yang akan terjadi dengan kaum muslimin sepeninggalnya. Oleh karenanya, ia selalu mengawasi dampak-dampak negatif dan penyakit-penyakit yang menimpa masyarakat Islam. Nabi juga percaya betul bahwa yang pertama menerima terpaan dan guncangan adalah garis risalah yang prinsip-prinsipnya dikuatkan oleh beliau bersama Ali bin Abi Thalib dan kepemimpinan yang telah dijelaskan oleh Nabi bahwa bila umat Islam meninggalkannya maka itu artinya telah berpaling dari garis yang benar dari dakwah Islam. Meninggalkan wasiat Nabi tentang kepemimpinan sangat merugikan dan merongrong kemaslahatan mayoritas mereka yang ingin mendapatkan manfaat dari Islam dan ingin mendapatkan nikmat yang dapat memuaskan dahaga mereka di bawah lindungan Islam. Dan meninggalkan kepemimpinan Islam bukanlah usaha yang memberikan kemanfaatan kepada Islam karena itu artinya membohongi keberadaan, yang tidak diragukan kebesarannya, yang telah dibangun oleh Nabi.

Rasulullah saw merasa khawatir akan perubahan syariat Islam menjadi syariat tidak seperti yang diturunkan oleh Allah. Syariat Islam akan tunduk pada hawa nafsu dan kepentingan. Salah satu kekhawatiran yang melanda Nabi seperti kejadian Al-Harits bin An-Nu'man yang meragukan bahkan mengingkari bahwa apa yang diucapkan Nabi dalam peristiwa Al-Ghadir adalah wahyu melainkan hawa nafsu.

Untuk menanggulangi agar peristiwa semacam Al-Harits tidak terulang lagi, Nabi berulang-ulang kali dan di tempat-tempat yang berbeda-beda sering mengulangi garis dakwah Islam yang benar. Sering kali Nabi mengulangi ucapannya, 'Bila kalian menjadikan Ali sebagai khalifah sepeninggalku, aku tidak berpikir bahwa kalian akan melakukannya, niscaya kalian akan melihatnya orang yang memberi petunjuk dan orang yang mendapat hidayah. Ia akan mengantarkan kalian kepada tujuan yang jelas'.

Diriwayatkan bahwa Sa'ad bin Abu 'Ubadah berkata di depan orang banyak, 'Demi Allah, Aku telah mendengar Rasulullah saw berkata, 'Bila aku meninggal dunia hawa nafsu akan semakin sesat. Manusia akan kembali kepada keyakinan sebelumnya. Pada saat-saat seperti itu kebenaran bersama Ali'.

Hadis At-Tsaqalain adalah bukti lain tentang keharusan berpegangan dan taat kepada Ali bin Abi Thalib. Berjalan mengikuti petunjuk, metode dan kepemimpinan Ali bin Abi Thalib adalah jaminan keselamatan akidah Islam dan pengawal manusia agar tidak tersesat.

Nabi dengan pemahamannya mulai memikirkan cara baru untuk menyelesaikan masalah ilahi tentang penetapan Ali bin Abi Thalib sebagai Amir Mukminin (pemimpin kaum mukminin). Untuk itu, Nabi berusaha untuk menyiapkan sebuah pasukan besar yang di dalamnya diikutkan seluruh elemen yang mungkin dapat mengganggu penetapan Ali sebagai pemimpin Islam sepeninggalnya. Bila mereka hadir di Madinah dan mampu membelokkan rencana ini maka risalah Islam akan menyimpang dari jalannya yang lurus. Atau, setidak-tidaknya kepemimpinan Islam dibutuhkan sebagai posisi politis atau pengaturan di samping struktur pemerintahan. Masalah kepemimpinan Islam dari elemen-elemen tersebut muncul sebagai sebuah sikap permusuhan ketika mereka menolak Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin. Penolakan Ali bin Ali Thalib menimbulkan banyak masalah terhadap umat Islam sementara masalah kepemimpinan Islam semakin kabur karena, pada saat yang bersama umat Islam kehilangan Nabi Muhammad saw.


Nabi sakit dan pengiriman pasukan Usamah
Kehidupan Ali bin Abi Thalib identik dengan kehidupan Rasulullah saw dan risalah Islam. Pada kondisi-kondisi genting dan sulit dalam masa-masa kritis dan peperangan Ali bin Abi Thalib selalu berada di barisan terdepan. Ali bin Abi Thalib menghadapi segalanya dengan kebijakan dan keberanian yang patut menjadi contoh. Hal itu berlangsung hingga akhir-akhir dari kehidupan Nabi. Semua ini mengandung makna yang dalam akan kedekatan dan hubungan yang terus menerus antara Nabi dan Ali bin Abi Thalib. Dengan melakukan penelusuran terhadap ayat-ayat, riwayat-riwayat dan data-data sejarah akan jelas bagi semuanya bahwa perwujudan Ali bin Abi Thalib adalah kepanjangan dari Rasulullah saw. Ali bin Abi Thalib adalah pribadi yang paling layak dan tepat untuk memimpin umat Islam setelah meninggalnya Rasulullah saw dan bukan orang lain.

Nabi telah menyiapkan dan menyimpan rahasia-rahasia kenabian, perincian risalah Islam dan memberikannya tanggung jawab untuk menjaga dan melindungi risalah Islam. Lebih dari itu, Nabi mewakilkan Ali bin Abi Thalib untuk melakukan segala prosesi kematiannya. Dimulai dengan mempersiapkan segala sesuatunya yang terkait dengan orang yang meninggal hingga penguburannya. Pekerjaan ini tidak diserahkan kepada orang lain. Nabi tahu betul dan percaya kepada Ali bin Abi Thalib bahwa apa yang diperintahkannya pasti dilaksanakannya. Ali bin Abi Thalib tidak akan menyimpang dari perintah Nabi sekecil apapun dan yang lebih penting adalah Ali tidak pernah ragu dalam melaksanakan perintah Nabi. Rasulullah tidak pernah mempercayai orang lain sebagaimana keyakinannya terhadap Ali bin Abi Thalib.

Nabi bersikeras selam hidupnya untuk menjelaskan kekhalifahan Ali bin Abi Thalib dan hanya Ali yang seharusnya menggantikannya. Hal itu senantiasa dilakukannya hingga akhir hayatnya selain apa yang telah dilakukannya sebelum-sebelumnya di berbagai tempat dan kondisi.

Setelah melakukan ibadah hajinya yang terakhir dan kembali ke Madinah, Nabi tinggal beberapa waktu sehingga sakitnya semakin bertambah berat. Beliau berkata, 'Aku sampai saat ini masih merasakan pedih dan sakitnya makanan yang aku makan di Khaibar. Sekarang ini saat-saat terputusnya urat-urat jantungku karena racun itu'. Kaum muslimin secara berkelompok menjenguk Nabi. Dalam jiwa mereka ada perasaan tidak enak sementara pikiran mereka bingung dan bertanya-tanya bagaimana masa depan risalah Islam. Nabi telah memberitahukan kabar semakin dekatnya kematiannya. Nabi memberi nasihat kepada mereka tentang hal yang dapat memberikan jaminan perjalanan sejarah risalah Islam dan mewujudkan kebahagiaan dan kemenangan. Nabi berkata, 'Wahai manusia! Semakin dekat waktu ajalku dan aku akan pergi bersamanya. Aku ingin mengucapkan permohonan maafku kepada kalian. Ketahuilah aku telah meninggalkan kepada kalian Kitabullah dan 'Itrah, Ahli Baytku'. Setelah mengucapkan kalimat tersebut , Nabi memudian mengangkat tangan Ali bin Abi Thalib sambil berkata, 'Ini adalah Ali bin Abi Thalib. Ali senantiasa bersama Al-Quran dan Al-Quran senantiasa bersama Ali. Ali dan Al-Quran tidak akan terpisah hingga keduanya mendatangiku di telaga Kautsar (di hari kiamat)'.

Nabi masih memiliki satu keinginan lagi. Beliau sangat ingin melihat suksesi berjalan mulus tanpa ada perseteruan dan persekongkolan dari orang-orang yang memiliki tujuan-tujuan buruk. Para sejarawan sepakat bahwa Nabi pada saat-saat terakhir dari kehidupannya sangat menekankan dan memperhatikan persiapan pasukan yang dipimpin oleh Usamah bin Zaid. Dalam pasukan itu, Nabi menyertakan para sahabat besar seperti Abu Bakar, Umar bin Khatthab dan tokoh-tokoh lain dari Muhajirin dan Anshar. Nabi mengirim pasukan ini ke batas utara jazirah Arab. Salah satu sahabat besar yang tidak ikut adalah Ali bin Abi Thalib.

Sejumlah sahabat tidak mengikuti perintah Nabi dan bersikeras untuk tetap tinggal dan tidak mau ikut beserta pasukan Usamah. Mereka mulai mengada-adakan alasan agar dapat tetap tinggal di Madinah. Tidak cukup itu saja, mereka juga mulai mengkritik dan tidak setuju dengan penunjukan Usamah sebagai pemimpin pasukan. Mendengar semua itu, Nabi dengan susah payah dan dengan menahan sakit yang tak tertahankan keluar dan menceramahi mereka. Nabi memberikan semangat agar mereka mau mengikuti pasukan yang dipimpin oleh Usamah. Nabi mengetahui bagaimana mereka mulai tidak mendengarkan ucapannya dan mulai bersikap keras kepala. Namun Nabi tetap secara konsisten memerintah mereka untuk bergabung dengan pasukan Usamah dan pergi menuju tujuan yang telah ditentukan. Pada akhir usahanya Nabi mengatakan, 'Ikut dan taatilah pasukan Usamah! Allah akan melaknat siapa saja yang membangkang dari pasukan Usamah'.

Di sini muncul sebuah keanehan. Rasulullah saw tetap bersikeras untuk menjelaskan betapa pentingnya perjalanan pasukan Usamah menuju tujuan yang telah ditentukan oleh Nabi, padahal beliau dalam kondisi sakit keras dan telah mendekati ajalnya. Seandainya siapa saja yang berada di bawah komando Usamah mau melihat pentingnya masalah ini dan itu terkait erat dengan dekatnya ajal Nabi, niscaya ia akan mengecualikan hal ini dan langsung menaati ucapan Nabi sejak awal.

Yang lebih aneh lagi adalah mereka tidak mau melakukan perintah Nabi dan membangkang. Apakah peristiwa ini tidak memberikan sebuah pelajaran ada sesuatu yang disembunyikan untuk dilaksanakan? Adakah rencana tersembunyi di balik semua ini?

Nabi telah mencium gerakan-gerakan sebagian sahabat. Mereka menunggu kesempatan untuk menghabisi Ahli Bayt. Mereka berkumpul untuk merampas kekhalifahan dari tangan Ahli Bayt. Oleh karenanya, Nabi merasa perlu, dengan segala daya dan upaya dengan kondisi yang tidak mendukung, untuk melindungi umatnya dari penyimpangan dan fitnah membuat langkah baru untuk menetapkan, sekali lagi, kepemimpinan dan khilafah Ali bin Abi Thalib. Nabi berkata, 'Bawakan aku kertas dan alat tulis! Aku ingin menuliskan sesuatu untuk kalian sehingga kalian tidak tersesat selama-lamanya'.

Kondisi menjadi kacau. Setiap orang berbicara membuat suasana sangat bising. Mereka saling berselisih tentang ucapan Nabi, padahal tidak boleh berselisih di hadapan Nabi. Sebagian berkata, 'Bagaimana keadaan Nabi? Apakah Nabi dalam kondisi sadar ketika mengucapkannya, mari kita tanyakan kepada Nabi. Mereka mendatangi Nabi dan menanyakan apa yang diinginkannya. Satu-satu bertanya. Nabi akhirnya tidak tahan lagi dan berkata, 'Enyahkan mereka dari sisiku! Kondisiku sebelumnya lebih baik dari apa yang kalian lakukan padaku'. Nabi kemudian menasihati mereka tiga hal. Belia berkata, 'Keluarkan orang-orang musyrik dari jazirah Arab. Biarkan utusan pergi ke arah yang telah aku tentukan. Kemudian Nabi terdiam, dengan sengaja, tidak menyebutkan yang ketiga. Atau ia berkata, 'Aku lupa yang ketiga'.


Sebuah pandangan
Mayoritas sejarawan Islam menuliskan tiga wasiat Nabi seperti hadis di atas. Mereka tidak menuliskan secara lengkap wasiat tersebut namun hanya mencukupkan dengan dua wasiat. Sementara ketika sampai pada wasiat ketiga mereka tidak menyebutkan apa-apa seakan-akan mereka melupakannya berdamai dengan dua pemimpin yang berbaju khilafah setelah meninggalnya Nabi. Ada satu hal yang terlupakan bagaimana para perawi tidak pernah lupa akan sesuatu yang diriwayatkan atau ada yang terlewatkan tanpa ditulis sehingga dapat dikatakan bahwa mencatat semua bahkan tarikan nafas Nabi. Bagaimana mungkin mereka yang hadir dengan jumlah yang sedemikian banyak melupakan wasiat yang ketiga di saat-saat Nabi mengucapkan kalimat perpisahan dengan mereka? Sementara di sisi yang lain, mereka menanti setiap kata yang keluar darinya yang dapat menenangkan ketakutan dan dapat memberikan harapan menatap masa depan? Kelihatannya wasiat ketiga terkait dengan teks yang memuat kepemimpinan Ali bin Abi Thalib. Tidak seorang pun yang melupakan hal itu atau mencoba untuk berbuat seolah-olah lupa!


Ali bin Abi Thalib bersama Nabi di akhir ajalnya
Sakit Nabi semakin keras sehingga ia pingsan. Ketika siuman kembali beliau berkata, 'Panggilkan saudara dan temanku! Setelah mengucapkan kalimat tersebut keadaan Nabi kembali melemah. Aisyah berkata, 'Seandainya aku membawa Abu Bakar mendekati Rasulullah'. Hafshah berkata, 'Seandainya aku membawa Umar mendekati Rasulullah'. Para sahabat berkumpul di sisi Nabi. Nabi kemudian berkata, 'Enyahlah kalian dari sisiku! Bila kalian membutuhkan sesuatu, aku akan mengirimkannya kepada kalian'.

Kemudian Ali bin Abi Thalib dipanggil untuk menghadap Nabi. Ketika Ali bin Abi Thalib telah mendekat Nabi mengisyaratkan sesuatu padanya dan kemudian kedua terlibat percakapan yang panjang. Setelah itu, kondisi Nabi semakin sulit dan menjelang kematiannya. Ketika jiwanya semakin dekat untuk keluar dari tubuhnya, Nabi berkata kepada Ali bin Abi Thalib, 'Letakkan kepalaku di pangkuanmu. Perintah Allah telah tiba. Bila sakaratul maut telah menjemputku sentuhkan tanganmu ke jiwaku setelah itu usapkan ke wajahmu. Bila telah kau lakukan, hadapkan aku ke arah kiblat. Lakukanlah semua urusanku. Salatilah aku sebelum yang lainnya menyalati diriku. Jangan berpisah denganku sampai aku dikebunkan. Dan, selalu memohon bantuan kepada Allah'.


12
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib AS.

Bab III:Zaman Imam Ali bin Abi Thalib AS.

Kejadian wafat Rasulullah
Pada saat-saat terakhir kehidupan Nabi, tidak ada seorang pun yang bersamanya kecuali Ali bin Abi Thalib dan Bani Hasyim. Kaum muslimin lainnya mengetahui kepergiannya lewat teriakan dan tangisan kaum wanita. Mereka segera berkumpul di masjid dan di sekelilingnya dengan disertai perasaan bingung yang menghantui. Jawaban dari kebingungan ini hanyalah tangisan. Kondisi ini tidak berubah bahkan ditambah dengan sikap aneh Umar bin Khatthab yang keluar setelah masuk ke dalam kamar Rasulullah sementara tangannya menggenggam sebilah pedang terhunus. Umar bin Khatthab berkata, 'Sekumpulan orang-orang munafik menganggap bahwa Rasulullah saw telah meninggal. Demi Allah, sesungguhnya Nabi tidak mati melainkan ia hanya pergi menghadap Tuhannya sebagaimana kepergian Musa bin Imran. Keadaan Umar bin Khatthab tetap tidak bisa tenang sehingga Abu Bakar tiba di rumah Nabi dan menyingkap kain yang menutupi wajah Rasulullah saw dan dengan cepat keluar sambil berkata, 'Wahai kalian semuanya, barang siapa yang beribadah kepada Nabi, maka ketahuilah bahwa Nabi telah mati. Sementara barang siapa yang menyembah Allah, maka ketahuilah bahwa Allah senantiasa hidup dan tidak pernah mati. Abu Bakar kemudian membacakan ayat, 'Muhammad hanyalah seorang rasul (utusan) Allah. Telah berlalu beberapa orang utusan sebelumnya'.

Setelah kondisi agak lebih tenang, Abu Bakar, Umar bin Khatthab dan Abu Ubaidah secara bersamaan keluar dari rumah Nabi dan meninggalkan jasad Nabi bersama Ali bin Abi Thalib dan keluarganya yang masih merasa kehilangan dengan meninggalnya Nabi. Musibah ini telah membuat mereka lupa akan segalanya. Yang menjadi pikiran mereka adalah bagaimana melaksanakan tugas sebaik-baiknya terhadap jasad Nabi hingga salat dan mengebumikannya. Sementara itu, pada saat yang bersamaan kaum Anshar tengah melakukan pertemuan di Saqifah Bani Sa'adah untuk memikirkan suksesi sepeninggal Nabi.


Kelompok Quraisy dan Anshar di Saqifah
Umar bin Khatthab belum mengetahui pertemuan yang dilakukan oleh Anshar di Saqifah, sampai ia menuju rumah Nabi dan di sana masih ada Abu Bakar. Segera ia menyuruh orang untuk memanggil Abu Bakar agar bertemu dengannya. Orang yang disuruhnya kembali dan menjawab bahwa Abu Bakar masih sibuk. Umar bin Khatthab bersikeras untuk mengirim orang tersebut kedua kalinya agar keluar menemuinya, akan ada sebuah kejadian sangat penting yang harus diikutinya.

Abu Bakar keluar menemui Umar bin Khatthab. Setelah menemuinya, dengan bercepat-cepat keduanya menuju Saqifah bersama Abu Ubaidah dan beberapa orang lain. Mereka menemukan kaum Anshar sedang berbincang-bincang dan ketika perkumpulan mereka selesai dan urusan sahabatnya telah selesai. Didatangi dalam kondisi demikian, air muka Saad bin Ubadah berubah dan apa yang ada di tangan mereka terjatuh. Perasaan malu dan salah tingkah menghantui mereka. Abu Bakar, Umar bin Khatthab dan Abu Ubaidah berhasil menguasai keadaan. Mereka mengenal betul titik-titik lemah yang dimiliki oleh kaum Anshar dan dengan itu mereka mampu menguasai suasana.

Umar bin Khatthab hendak berbicara namun dilarang oleh Abu Bakar. Ia tahu betul Umar bin Khatthab orang yang keras sementara kondisi sedang kritis. Pada kondisi yang seperti ini diperlukan kecakapan berdiplomasi dengan memakai kata-kata yang lembut untuk dapat menguasai keadaan. Bila tahap pertama ini tidak diterima baru dipergunakan model yang kedua yaitu kekerasan.

Abu Bakar membuka ucapannya dengan cara yang lembut. Ia berkata kepada kaum Anshar dengan pelan dan hati-hati. Ia tidak mempergunakan kata-kata yang dapat membangkitkan kemarahan kaum Anshar. Ia berkata, 'Kami adalah kaum Muhajirin yang paling pertama memeluk Islam, secara keseluruhan adalah kaum yang terhormat, tempat tinggal mereka adalah yang terbaik dan posisi mereka adalah yang paling baik. Kaum Muhajirin yang paling merasakan kasih sayang Nabi Muhammad saw. Kalian, Anshar, adalah saudara kami dalam Islam dan partner dalam agama. Kalian telah menolong dan membantu kami, semoga Allah swt membalas kebaikan kalian dengan sebaik-baik balasan. Kami dilahirkan sebagai pemimpin sementara kalian adalah pembantu dan menteri kami. Kalian adalah tempat bermusyawarah. Kami tidak akan memutuskan perkara tanpa kalian'. Al-Hubab bin Al-Mundzir bin Al-Jumuh berkata, 'Wahai kaum Anshar! Pertahankan apa yang menjadi milik kalian! Semua orang saat ini berada dalam lindungan kalian, tidak ada yang berani untuk melawan kalian. Tidak boleh ada satu ucapan pun yang keluar tanpa izin kalian. Kalian, Anshar, adalah kaum yang mulia dan mampu menghalau apa saja, jumlah kalian banyak dan memiliki kekuatan yang bisa diandalkan. Orang-orang selain kalian hanya dapat melihat apa yang kalian lakukan, jangan berselisih karena itu akan membuat rusak apa yang kalian ingin raih. Bila mereka tidak mau menerima semua ini, maka jadikan dua orang pemimpin, satu dari kita dan satu dari mereka. Mendengar ucapan itu, Umar bin Khatthab lalu berkata, 'Tidak mungkin itu! Dua buah pedang tidak mungkin dapat di masukan pada sebuah sarung pedang. Demi Allah! Arab tidak akan pernah rela menjadikan kalian sebagai pemimpin sementara Nabi Arab tidak dari kalian. Arab hanya akan mau bila yang mengatur kehidupannya adalah orang yang kenabian berasal darinya. Siapakah yang ingin menggoyahkan kekuasaan Muhammad dari kami sementara kami adalah wali dan keluarganya?

Al-Hubab Al-Mundzir menjawab ucapan Umar bin Khatthab, 'Wahai kaum Anshar! Miliki dan kuasai apa yang ada pada kalian. Jangan dengarkan apa yang diucapkan oleh dia (Umar bin Khatthab) dan teman-temannya karena apa yang diucapkannya berarti hilangnya kesempatan kalian untuk menguasai. Bila mereka menolak padahal kalian telah memuliakan mereka di kota ini. Kalian lebih berhak untuk memimpin bukan mereka. Dengan pedang kalian orang-orang kemudian memeluk agama ini. Aku adalah orang yang paling bisa dipercaya dalam masalah kepemimpinan ini. Aku adalah ayah dari singa kecil yang masih menyusu di sarang singa. Demi Allah! Bila kalian menginginkan kita dapat menjadikannya seekor kambing.

Kedua kelompok saling bersikeras hingga hampir saja terjadi pertempuran di antara keduanya. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah berdiri menjadi penengah dari kelompok yang bertikai sambil berbicara dengan suara yang lemah kepada Anshar, 'Wahai orang-orang Anshar! Kalian adalah orang pertama yang menolong dan memberikan tempat perlindungan namun bukan berarti kalian berada pada urutan pertama dalam masalah ini. Abu Ubaidah makin mengecilkan volume suaranya sehingga semua menjadi terdiam. Pada kondisi itu, Basyir bin Saad mengambil kesempatan buat keuntungan kaum Muhajirin dengan tangkas ia melontarkan ungkapan tanda ketidaksukaannya kepada Saad bin Ubadah, 'Wahai kaum Anshar! Ketahuilah bahwa Muhammad dari kabilah Quraisy dan ia pasti mengutamakan kaumnya. Demi Allah! Semoga Allah tidak melihatku sedang memperebutkan hak Quraisy dalam masalah kepemimpinan'.

Untuk kali ketiganya kaum Muhajirin berhasil meraih keuntungan berhadap-hadapan dengan Anshar. Kaum Muhajirin mulai saling melebih-lebihkan tokoh-tokoh yang dimilikinya. Di sini menjadi lebih jelas bagaimana mereka tidak mendapatkan salah satu dari orang-orang yang mereka sebutkan tidak mendapat penjelasan langsung dari wahyu mengenai kelayakannya untuk menjadi khalifah.

Abu Bakar berkata, 'Ini Umar bin Khatthab dan Abu Ubaidah baitlah salah satu dari mereka selama kalian ingin! Umar bin Khatthab sendiri berkata, 'Wahai Abu Ubaidah! Ulurkan tanganmu aku akan membaitmu. Engkau adalah orang yang tepercaya di umat ini'. Abu Bakar tidak mau kalah ia berkata, 'Wahai Umar bin Khatthab! Ulurkan tanganmu aku akan membaitmu'. Umar bin Khatthab berkata, 'Engkau, Abu Bakar, lebih utama dari aku'. Abu Bakar berkata, 'Tapi Engkau lebih kuat dan perkasa dari aku'. Umar bin Khatthab menambahkan, 'Kekuatan dan keperkasaanku kupersembahkan untukmu dengan segala keutamaan yang engkau miliki. Ulurkan tanganmu aku pasti akan membaitmu'. Ketika Abu Bakar mengulurkan tangannya untuk dibaiat oleh Umar bin Khatthab Basyir bin Saad mendahului dan membait Abu Bakar. Al-Hubab bin Al-Mundzir kemudian berteriak, 'Wahai Basyir! Engkau telah membobol semuanya. Apakah engkau ingin bersaing dengan anak pamanmu dalam masalah kepemimpinan?

Kabilah Aus ketika melihat apa yang diperbuat oleh Basyir dan dengan memperhatikan apa yang diinginkan kabilah Khazraj untuk menjadikan Saad sebagai Khalifah mulai timbul bisik-bisik di antara mereka. Suara mereka mulai terpecah. Usaid bin Khudhair salah satu dari kabilah Aus yang dikenal akan kebaikan budi pekertinya berkata, 'Demi Allah! Seandainya sekali saja Khazraj memberikan urusan ini, niscaya kalian senantiasa dalam keutamaan selama-lamanya. Bangun dan baiat Abu Bakar!' Kekuatan Saad menjadi terbelah. Khazraj yang sebelumnya sepakat memilih Saad menjadi semakin lemah. Para pengikut Usaid kemudian berdiri dan membaiat Abu Bakar. Sementara sebagian Anshar berkata, 'Kami hanya akan membaiat Ali bin Abi Thalib'.

Setelah terjadi proses pembaiatan Abu Bakar mereka semua kembali menuju masjid sambil mengarak Abu Bakar bak seorang pengantin baru sementara Nabi masih tergeletak di atas pembaringan. Umar bin Khatthab dengan cepat selalu berada di depan Abu Bakar mengucapkan pembaiatan dan membuka mulutnya lebar-lebar sementara orang-orang mengelilinginya. Mereka memakai kain dari Shana' (sebuah tempat di Yaman yang terkenal dengan kainnya yang bagus dan mahal). Ketika mereka bertemu dengan seseorang pasti akan diarak di depan dan tangannya ditarik agar terulur kemudian diusapkan ke tangan Abu Bakar agar membaiatnya baik orang tersebut suka atau tidak'.

Argumentasi kelompok Quraisy di Saqifah ketika berhadapan dengan kaum Anshar bertumpu pada dua prinsip:

1. Orang Muhajirin adalah yang paling pertama memeluk islam.

2. Mereka adalah kelompok yang paling dekat dengan Rasulullah saw dan paling mengasihinya.

Mereka yang mencalonkan dirinya menjadi kandidat pemimpin sepeninggal Nabi berargumentasi dengan dua prinsip di atas. Hal itu dikarenakan kekhalifahan hanya didapat dengan lebih dahulu memeluk islam dan kedekatan secara kekeluargaan dengan Rasulullah saw. Bila kedua prinsip ini diklaim sebagai syarat kepemimpinan maka yang paling layak untuk memimpin adalah Ali bin Abi Thalib. Ali adalah orang pertama yang memeluk islam, beriman dan yang paling dulu membenarkan risalah Islam. Di samping itu ia adalah saudara Rasulullah saw yang dikukuhkan lewat persaudaraan di hari persaudaraan antara orang Muhajirin dan Anshar yang dilakukan di Madinah. Ali bin Abi Thalib sendiri pada dasarnya adalah anak paman Rasulullah saw dan paling dekatnya orang pada diri dan hati Nabi.


Analisa pertemuan Saqifah
Anshar bercepat-cepat menuju Saqifah Bani Saidah untuk mengadakan pertemuan rahasia. Hadir dalam pertemuan itu tokoh Khazraj Saad bin Ubadah yang tengah sakit. Saad berkata kepada sebagian keluarganya bahwa mereka yang hadir tidak akan dapat mendengar suaranya karena penyakit yang dideritanya. Ia memerintahkan salah satu anaknya menjadi perantara apa yang diucapkannya agar yang hadir dapat mendengar apa yang diinginkannya. Saad kemudian berkata dan anaknya dengan serius mendengar apa yang diucapkannya dan setelah itu dengan suara yang tinggi diulangi apa yang diucapkan Saad. Saad berkata kepada yang hadir:

'Kalian, Anshar, lebih dahulu memeluk Islam dan memiliki keutamaan dalam Islam yang tidak dimiliki oleh kabilah Arab lainnya. Rasulullah saw tinggal sekitar sepuluh tahunan di tengah-tengah kaumnya dan mengajak mereka untuk menyembah Allah Sang Pengasih dan meninggalkan peribadatan kepada berhala. Setelah berusaha hanya sedikit yang beriman kepadanya. Akhirnya, Nabi menginginkan sebaik-baik keutamaan pada kalian. Nabi menuntun kalian kepada kemuliaan dan kehormatan dan mengkhususkan kalian dengan agamanya. Kalian adalah orang-orang yang bersikap keras dengan mereka yang menentang Nabi. Sikap kalian sangat keras terhadap musuh-musuh Nabi dibandingkan dengan yang lainnya. Sekarang, Allah telah memanggil Nabi-Nya dan ia rela dengan kalian. Oleh karenanya, pertahankan dengan segenap kekuatan tentang masalah kekhilafiahan. Kalian lebih berhak dari orang lain'.

Namun, dengan kembali melacak kejadian pertemuan itu dapat ditemukan bahwa pertemuan kaum Anshar pada awalnya tidak untuk mengeksploitasi peninggalan Nabi dan berusaha untuk mengambil kekhalifahan dari pemiliknya yang sah. Klaim ini dapat dibuktikan dengan beberapa poin berikut ini:

1. Tidak hadirnya tokoh-tokoh terbaik Anshar pada pertemuan tersebut seperti, Abu Ayub Al-Anshari, Hudzaifah bin Al-Yaman, Al-Barra bin 'Azib dan Ubadah bin As-Shamit.

2. Kaum Anshar mengetahui dan mengenal dengan baik teks-teks Nabi dan selalu berusaha untuk melindunginya. Salah satu dari teks hadis tersebut menyebutkan bahwa Aimmah min Quraisy (para pemimpin, imam, harus dari Quraisy). Kaum Anshar mengetahui secara pasti tentang hukum-hukum yang dijelaskan terkait dengan posisi keluarga suci Nabi. Mereka juga menyaksikan bagaimana Nabi mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah sepeninggalnya di Ghadir Khum. Nabi juga mewasiatkan mereka untuk tetap bersama Ali bin Abi Thalib dan keluarganya. Bila mereka mendapatkan kenyataan bahwa Ali bin Abi Thalib tidak memiliki peran penting dalam masalah pemerintahan mereka serentak berkata, 'Kami tidak akan membaiat seorang pun kecuali Ali'.

3. Nabi saat itu masih tergeletak di atas pembaringan menunggu di kuburkan. Kondisi ini menguatkan bahwa sangat tidak rasional sekali bila tokoh-tokoh terbaik Anshar tidak ikut dalam acara penguburan Nabi dan menyempatkan diri bertemu untuk memilih seorang khalifah?

4. Pertemuan Anshar dapat ditafsirkan sebagai usaha mereka untuk menetapkan sikap mereka terhadap pemerintahan baru setelah mereka mengetahui rencana Quraisy untuk mewujudkan semboyan 'kenabian dan kekhalifahan tidak boleh berkumpul di Bani Hasyim'. Kaum Anshar tidak memiliki alasan sebagaimana yang ada pada pemimpin-pemimpin Quraisy. Kekhawatiran mereka ini bukannya tanpa alasan. Kekhawatiran ini berawal dari Fathu Mekkah (pembebasan kota Mekkah). Orang-orang Anshar khawatir Nabi setelah itu tidak kembali bersama mereka ke Madinah. Kekhawatiran yang alami sebenarnya dari keterasingan secara politis dan kenegaraan.

Bila dapat dipastikan bahwa Quraisy akan mengambil kekhalifahan dari pemiliknya yang sah yaitu Ali bin Abi Thalib, maka peran apa yang dapat dilakukan oleh Anshar? Bukankah mereka adalah kelompok kedua terbesar setelah Muhajirin? Bukankah mereka memiliki peran penting dalam mengembangkan dakwah Islam?

Pertemuan Anshar di Saqifah sebenarnya belum sepakat untuk memilih pemimpin dari kalangan mereka. Pertemuan tersebut baru membicarakan kemungkinan-kemungkinan yang bakal muncul terkait dengan khilafah sepeninggal Nabi. Di sisi lain, kaum Anshar belum sepakat tentang apapun. Yang ada adalah keinginan-keinginan yang masih tersimpan dalam dada dan kelihatannya berbeda satu dengan yang lainnya. Untuk itu ditemukan bagaimana sebagian dari mereka menjawab ucapan Saad, 'Engkau benar dalam masalah ini dan ucapanmu juga benar. Kita tidak boleh melangkah lebih dari pandangan Saad. Untuk masalah ini kami siap menjadikanmu sebagai pemimpin.

Kemudian mereka saling berbicara dan menyanggah. Akhirnya mereka berkata, 'Bila kaum Muhajirin menolak kesepakatan kita ini, maka kitalah yang menjadi wali dan keluarga Nabi'.

Sebagian yang lain tidak menyetujui usulan sebelumnya dan memberikan usulan baru bahwa kita akan memilih pemimpin kita sendiri dan kaum Muhajirin akan memilih pemimpin mereka sendiri. Saad mengomentari pendapat ini, 'Ini pendapat pertama yang menunjukkan kelemahan'.

Anshar dengan sikap yang diambil telah menyiapkan sebuah kesempatan berharga secara politis untuk menghadapi lawan politik dan mencapai kemenangan. Mereka telah membuka pintu untuk berhadapan dengan Quraisy dengan argumentasi yang jauh dari hukum-hukum Islam. Mereka membuat perhitungan dalam menghadapi kemungkinan yang bakal muncul dengan argumentasi kesukuan. Keuntungan yang bakal diraih kembali kepada kabilah dan bukan Islam.

Umar bin Khatthab tidak setuju dengan sikap Anshar yang berkumpul di Saqifah. Ia berkata, 'Demi Allah! Kami tidak melihat masalah yang lebih besar keuntungannya selain membaiat Abu Bakar. Kami khawatir bila ada kaum lain yang tidak setuju dengan ide ini dan tidak membaiat Abu Bakar karena ada kemungkinan sepeninggal Abu Bakar mereka akan membaiat orang lain. Tawaran yang ada adalah kami mengikuti kaum Anshar sekalipun kita tidak setuju atau kami tidak mengikuti mereka walaupun akan terjadi kekacauan'.

Demikianlah sikap yang diambil secara politis semakin membuat keadaan bertambah sulit dan kompleks.


Pandangan Qurasiy tentang khilafah
Saat Islam mulai muncul di kota Mekkah di tengah kabilah Quraisy, orang-orang Quraisy pada hakikatnya tidak mampu menerima kenyataan ini. Bagaimana ada Nabi yang muncul dari salah satu kabilah terbaik bahkan yang paling utama dan itu adalah Bani Hasyim. Quraisy bersepakat untuk menyerang dan menghabisi Nabi serta Bani Hasyim dengan segala macam cara yang mungkin dapat dilakukan. Mereka kemudian bekerja sama bukan muncul dari rasa kecintaan terhadap berhala atau ingin melakukan ibadah dan juga bukan karena benci dengan dakwah agama baru. Dalam Islam tidak ada ajaran yang tidak dapat diterima oleh fitrah dan hati nurani yang sehat. Akan tetapi hal sebenarnya adalah Quraisy tidak ingin ada perubahan dalam peta kekuasaan yang dibangun atas pembagian posisi kepemimpinan. Khususnya, di Jazirah Arab sistem kesukuan yang berkuasa.

Oleh karenanya, Quraisy tidak ingin kabilah Bani Hasyim berbeda dengan kabilah yang lainnya bahkan jangan sampai ia berada di atas yang lainnya. Quraisy memandang bahwa konsentrasi Bani Hasyim di samping Nabi dan pembelaan mereka adalah usaha Bani Hasyim untuk mendapat peluang berbeda dengan kabilah lainnya bahkan lebih dari kabilah yang lainnya. Reaksi Quraisy adalah dengan mengembargo dan mengurung Bani Hasyim dan Nabi di Syi'b Abi Thalib. Mereka berusaha untuk melenyapkan Nabi. Embargo yang dilakukan mengalami kegagalan dan gagal pula semua usaha yang dilakukan oleh Quraisy untuk membunuh Nabi. Dakwah Islam menyebar ke mana-mana dan mampu mengatasi segala kekuatan yang ada. Pada peristiwa pembebasan kota Mekkah Quraisy, baik secara tulus atau terpaksa, memeluk Islam. Quraisy tidak lagi memiliki kekuatan untuk berhadap-hadapan dengan Nabi.

Nabi kemudian mempersiapkan khilafah sepeninggalnya agar berada di tangan Ali bin Abi Thalib dan keluarganya dan itu dengan perintah langsung dari Allah. Perintah ini sesuai dengan prinsip-prinsip dan hukum-hukum syariat. Ali bin Abi Thalibdan keluarganya adalah yang paling utama dibandingkan dengan semua pengikutnya. Ali bin Abi Thalib dan keluarganya adalah yang lebih tepat untuk memimpin umat. Sayangnya, logika wahyu ini mendapat reaksi lain dari Quraisy. Logika Quraisy yang masih bertumpu pada kekabilahan dan masih adanya permusuhan masa lalu membuat mereka semakin merasa yakin untuk menghalangi bertemunya kenabian dan khilafah di kabilah Bani Hasyim. Kenabian dan kekhalifahan menurut Quraisy adalah kekuasaan dan kepemimpinan, seperti yang diucapkan oleh Abu Sufyan pada peristiwa pembebasan kota Mekkah. Ia berkata kepada Abbas, 'Tampaknya, kerajaan anak saudaramu semakin besar dan agung'.

Cita-cita dan rasionalitas ini berkuasa pada iklim politik terutama pada akhir-akhir kehidupan Nabi. Quraisy dengan jeli mengetahui bahwa sakit kali ini akan mengantarkan Nabi pada kematiannya, Nabi sendiri di beberapa tempat mengabarkan hal itu. Dan bila kondisi ini dibiarkan apa adanya, niscaya Ali bin Abi Thalib yang akan menjadi khalifah sepeninggal Nabi. Dari sini cerita perebutan khilafah bermula dan pergerakan kelompok oposan ini diniatkan untuk mengganjal Bani Hasyim secara umum dan Ali bin Abi Thalib secara khusus dari kursi kepemimpinan. Oleh karenanya, lahirlah peristiwa Saqifah.

Pikiran dan cita-cita Quraisy agar kenabian dan kekhalifahan tidak hanya di tangan Bani Hasyim dapat ditemukan pada sela-sela obrolan Umar bin Khatthab dengan Ibnu Abbas di masa kekhalifahan Umar bin Khatthab. Umar bin Khatthab pernah berkata kepada Ibnu Abbas, 'Wahai Ibnu Abbas! Apa yang membuat kalian (Bani Hasyim) tidak menjadi khalifah sepeninggal Nabi? Ibnu Abbas berkata, 'Aku tidak ingin menjawab pertanyaan ini. Namun akhirnya Ibnu Abbas berkata, 'Bila aku tidak tahu alasannya mengapa, tentu amirul mukminin (Umar bin Khatthab) mengetahui alasannya mengapa demikian'. Umar bin Khatthab kembali berkata, 'Orang-orang tidak suka bila kenabian dan kekhalifahan berkumpul pada kalian (Bani Hasyim) akhirnya mereka bertindak tidak adil kepada kalian. Quraisy memilih sendiri seorang pemimpin untuk dirinya dan benar pilihan itu'.

Ada alasan lain lagi yang masih erat kaitannya dengan penyingkiran Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Dan itu dikarenakan Ali bin Abi Thalib telah menyakiti semua orang Quraisy dalam perang yang terjadi antara Islam dan Quraisy. Semua korban yang jatuh di tangan Nabi Muhammad saw lewat pedang Ali bin Abi Thalib. Saat ini Ali bin Abi Thalib seorang diri yang harus bertanggung jawab sepeninggal Nabi. Menurut Quraisy, dari kalangan pengikut Nabi tidak ada yang lebih berhak dari Ali bin Abi Thalib untuk mendapat pembalasan dendam atas jumlah korban yang terbunuh dalam perang.


Beberapa rencana untuk menggulingkan Ali dari kekhalifahan
Dengan memperhatikan beberapa poin di bawah ini dapat ditemukan bahwa ada rencana yang matang untuk menggulingkan Ali bin Abi Thalib dari kekhalifahan seperti:

1. Tidak keluar dari Madinah mengikuti pasukan Usamah dan bersikeras untuk tetap di Madinah tanpa mengindahkan perintah Nabi. Sikap ini lebih diperkuat dengan kenyataan bahwa sakit Nabi semakin parah dan di samping itu pada hari-hari terakhir, Nabi sering bahkan memperbanyak wasiat tentang Ali bin Abi Thalib dan keharusan kaum muslimin untuk mengikutinya agar agama dan negara tetap selamat.

2. Kehadiran mereka yang terus menerus di sisi Nabi dan berusaha untuk menggagalkan upaya Nabi untuk menyokong kepemimpinan Ali bin Abi Thalib. Hal itu dapat ditemukan dengan fitnah yang terjadi di kediaman Nabi dengan semboyan yang dilontarkan Umar bin Khatthab bahwa kita cukup dengan Al-Quran saja, Hasbuna Kitabullah. Yang kemudian itu ditambahkan dengan mengatakan bahwa apa yang ingin diucapkan Nabi sudah tidak di bawah kesadarannya lagi, Nabi mengigau akibat sakit yang dideritanya. Oleh karenanya, ketika Nabi berkata, 'Bawakan padaku alat tulis dan kertas' malah terjadi keributan karena ucapan Umar bin Khatthab sebelumnya yang pada akhirnya membuat banyak orang termakan dengan isu yang dibawakannya. Tujuan penting ucapan Umar bin Khatthab adalah bagaimana timbul keragu-raguan dari orang-orang di sekeliling Nabi dan mencegah Nabi untuk tidak menuliskan wasiat.

3. Kecepatan dalam usaha menutupi masalah kekhalifahan dan baiat dengan menghabiskan waktu yang tidak lama hanya seukuran kesibukan Ali bin Abi Thalib dan Bani Hasyim dalam mengurusi jenazah Nabi dan menguburkannya. Ketika Umar bin Khatthab mendengar kabar ada perkumpulan di Saqifah ia langsung mengutus seseorang untuk mengabari Abu Bakar yang berada di rumah Nabi untuk segera keluar karena ada peristiwa penting yang harus diikutinya. Umar bin Khatthab tidak menjelaskan kepada perantaranya apa yang sedang terjadi dan seberapa pentingnya kejadian itu karena khawatir Ali bin Abi Thalib dan Bani Hasyim mengetahui masalah itu. Bila Umar bin Khatthab tidak khawatir Ali bin Abi Thalib dan Bani Hasyim mengetahui kabar yang terjadi mengapa tidak dijelaskan kepada yang hadir di rumah Nabi? Apakah kejadian penting ini hanya perlu diikuti oleh Abu Bakar tidak seluruh kaum muslimin sementara diketahui bahwa banyak sahabat yang dalam masalah perhatian terhadap Islam lebih dari Umar bin Khatthab dan Abu Bakar? Mengapa Umar bin Khatthab tidak masuk sendiri ke dalam rumah Nabi menyampaikan kabar berita itu padahal kaum muslimin sedang berkumpul di sana dan menjelaskan apa sebenarnya yang sedang terjadi?

4. Usaha mereka untuk mendapat jaminan dari kaum Anshar untuk tetap bersikap netral dan menjauhkan mereka dari usaha memperebutkan posisi politik dengan mengklaim bahwa mereka bukan dari keluarga Nabi Muhammad saw.

5. Usaha untuk menempatkan Anshar sebagai yang pertama kali membaiat. Hal ini dikarenakan agar Quraisy yang lebih dahulu membaiat khalifah baru maka baiat yang mereka lakukan memiliki nilai yang rendah. Imam Ali bin Abi Thalib dapat saja setelah itu membatalkan argumentasi yang dipakai oleh Quraisy bila ia didukung oleh Anshar. Dan dari sisi yang lain, tidak ada seorang pun yang mampu memposisikan dirinya menjadi kandidat berhadapan dengan Ali bin Abi Thalib.

Proses ini dapat dilihat setelah pembaiatan setelah keluar dari Saqifah. Pada waktu itu para sahabat tengah bergerombol di Masjid dan Umar bin Khatthab berkata, 'Mengapa aku harus melihat kalian duduk secara berpencar? Bangunlah kalian! Baiat Abu Bakar! Kaum Anshar telah membaiatnya'. Usman bin Affan dan mereka yang bersamanya dari Bani Umayyah berdiri membaiat Abu Bakar. Saad dan Abdurrahman bersama kelompoknya dari Bani Zarah bangkit dari duduknya kemudian membaiat Abu Bakar.

6. Masuknya unsur lain dari luar kota Madinah yang sejak awal telah siap untuk menguatkan sikap mendiskreditkan Bani Hasyim sesuai dengan ucapan Umar bin Khatthab, 'Semua ini kami lakukan karena aku melihat kabilah Aslam dan dari situlah aku yakin akan meraih kemenangan'.

7. Upaya untuk menggeneralisasikan pelaksanaan dari rencana yang telah berjalan dengan segala macam cara dan menuduh setiap orang yang tidak setuju sebagai orang yang ingin memunculkan api fitnah agar umat Islam tenggelam dalam perpecahan. Hal ini dapat dimengerti dengan kejadian-kejadian sesudahnya dan usaha untuk melenyapkan siapa yang bertahan untuk tidak melakukan baiat dan tidak mau menerima keputusan Saqifah.

8. Salah satu alasan adanya rencana sebelumnya adalah Usman bin Affan bin Affan telah menulis nama Umar bin Khatthab, dalam wasiat, sebagai khalifah setelah Abu Bakar tanpa diperintah sebelumnya oleh Abu Bakar untuk melakukan itu di saat Abu Bakar tidak sadar. Dari mana Usman bin Affan mengetahui bahwa Umar bin Khatthab menjadi khalifah setelah meninggalnya Abu Bakar?

9. Umar bin Khatthab kemudian meletakkan Usman bin Affan sebagai salah satu kandidat dari enam orang kandidat yang bakal dipilih sebagai khalifah muslimin. Usman bin Affan dimasukkan oleh Umar bin Khatthab agar dapat menjamin ide-ide mereka. Siapa saja yang mempelajari sejarah tentang pelaksanaan pemilihan khalifah setelah Umar bin Khatthab dan kombinasi para kandidat enam dapat menganalisa dan memprediksi apa yang bakal terjadi. Hal yang sama dimengerti dengan baik oleh Imam Ali bin Abi Thalib sehingga ia dapat mengambil sikap dengan jelas dan transparan.

10. Setelah terbentuknya pemerintahan sepeninggal Nabi yang muncul dari peristiwa Saqifah, Abu Bakar menjadi khalifah, Abu Ubaidah menjabat sebagai menteri keuangan dan Umar bin Khatthab sebagai kepala Mahkamah Agung. Ketiga posisi ini adalah sangat vital dalam sebuah negara. Kombinasi ini tidak mungkin muncul begitu saja tanpa adanya perencanaan terlebih dahulu.

11. Ucapan Umar bin Khatthab menjelang kematiannya, 'Seandainya Abu Ubaidah masih hidup tentu aku akan mengangkatnya sebagai khalifah'. Ucapan Umar bin Khatthab bukan lahir dari kelayakan dan kapabilitas Abu Ubaidah yang mengilhami Umar bin Khatthab untuk mengucapkan hal itu. Umar bin Khatthab tahu betul yang layak menjadi khalifah adalah Ali bin Abi Thalib namun pada saat yang bersamaan ia tidak ingin Ali bin Abi Thalib yang menguasai urusan umat baik selama ia hidup atau mati.

12. Muawiyah menuduh Abu Bakar dan Umar bin Khatthab telah merencanakan sejak awal untuk merampas kekhalifahan dari Ali bin Abi Thalib. Hal itu diungkapkannya dalam suratnya yang dikirimkan ke Muhammad bin Abu Bakar. Dalam isinya Muawiyah berkata, 'Kita sama tahu, ayahmu (Abu Bakar) juga tahu, akan keutamaan Ali bin Abi Thalib dan hak Ali atas kekhalifahan adalah keharusan buat kita bahkan sebuah kebaikan. Namun, ketika Allah memilih untuk Nabinya seorang wakil dan kemudian Nabi menyempurnakan janji Allah dengan mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah setelahnya dan semua argumentasi telah dikeluarkan untuk menetapkan Ali hingga ajal menjemputnya, ayahmu dan Umar bin Khatthab adalah orang pertama yang merampok hak Ali bin Abi Thalib dan menentang perintah Nabi. Dalam masalah mengenyahkan Ali bin Abi Thalib dari pucuk kepemimpinan Abu Bakar dan Umar bin Khatthab telah bersepakat sebelumnya. Keduanya kemudian meminta baiat dari Ali. Ali bin Abi Thalib hanya menundukkan kepala tanda tidak ingin membaiat keduanya yang menyebabkan Abu Bakar dan Umar bin Khatthab seperti dilanda masalah yang besar hingga memunculkan keinginan untuk merekayasa kejadian yang lebih besar untuk Ali bin Abi Thalib'.

13. Ucapan Ali bin Abi Thalib AS. kepada Umar bin Khatthab, 'Wahai Umar bin Khatthab! Peraslah dengan sungguh-sungguh segala kecerdikan yang kau miliki. Persiapkan, semenjak hari ini, masalah ini (kekhalifahan) untuk dirimu karena mungkin masalah kekhalifahan menjadi bagianmu kelak'.

14. Tuduhan Fathimah Az-Zahra AS. yang dialamatkan kepada kedua khalifah (Abu Bakar dan Umar bin Khatthab) yang mengamalkan politik kesukuan dan persekongkolan untuk menjatuhkan kepemimpinan Ali bin Abi Thalib dan upaya untuk menjauhkan Bani Hasyim dari kekuasaan. Fathimah AS. berkata, 'Kalian telah menunjukkan selain unta kalian. Kalian telah minum selain dari tempat minum kalian. Semua itu karena ingin bercepat-cepat menentukan khalifah dari kalian dengan alasan takut akan munculnya fitnah? Ketahuilah dalam fitnah telah banyak manusia yang tersungkur dan neraka jahanam melingkari orang-orang kafir'.


Peristiwa Saqifah dan dampak negatifnya
1. Pemaksaan pendapat. Mereka yang berkumpul di Saqifah telah menghina dan menginjak-injak wasiat Rasulullah saw kepada kaum muslimin untuk senantiasa berpegangan teguh kepada keluarganya yang suci. Mereka menganggap remeh perintah-perintah Nabi yang secara transparan disampaikan terkait dengan keharusan untuk mengikuti keluarga Nabi. Seandainya diandaikan bahwa tidak ada teks wahyu yang menjelaskan bahwa khalifah sepeninggal Nabi diserahkan kepada salah seorang dari keluarga Nabi, dan itu adalah Ali bin Abi Thalib, dan andaikan bahwa keluarga Nabi tidak berbeda dengan sahabat yang lain baik dari sisi keturunan, ketokohan, moral, perjuangan, keilmuan, perilaku, keimanan dan atau keikhlasan, apakah pantas atau ada larangan secara normatif berbentuk teks-teks agama, adakah larangan secara rasionalitas atau larangan normatif kemasyarakatan untuk menunda pembaiatan hingga berakhirnya prosesi penguburan Nabi?!

Ketergesa-gesaan yang ditunjukkan oleh mereka yang berinisiatif untuk melangsungkan pemilihan khalifah guna mengisi kekosongan yang bakal terjadi dengan wafatnya Nabi. Bila ketergesa-gesaan ini menunjukkan satu hal, niscaya perilaku ini menunjukkan bahwa ada teks-teks dan persiapan yang telah diupayakan oleh Nabi yang masih harus diperkuat untuk memerintah. Namun, agar teks-teks yang berhubungan dengan kekhalifahan Ali bin Abi Thalib tidak efektif bila dibiarkan mengikuti alur alamiahnya perlu dilakukan sebuah penetrasi. Oleh karenanya, Umar bin Khatthab ketika melakukan pembaiatan kepada Abu Bakar sempat berkata, 'Pembaiatan ini adalah kejadian yang tidak pernah direncanakan dan terjadi begitu saja. Semoga Allah melindungi kaum muslimin dari bahaya dan keburukannya. Barang siapa yang melakukan hal seperti ini lagi maka kalian harus membunuhnya'.

2. Baiat tidak mencakup semua ahlul halli dan aqdi yang menjadi syarat pokok untuk menghasilkan kesepakatan dan untuk mendapatkan legitimasi dalam pemilihan. Pada peristiwa Saqifah tidak diikutsertakannya kelompok dan para tokoh dari sahabat Nabi seperti Ali bin Abi Thalib, Abbas, Ammar bin Yasir, Salman Al-Farisi, Khuzaimah bin Sabit, Abu Dzar Al-Ghiffari, Abu Ayub Al-Anshari, Zubeir bin 'Awwam, Thalhah, Ubai bin Ka'ab dan yang lain-lainnya.

3. Penggunaan kekerasan dan pemaksaan dalam mengambil baiat. Sebagian besar kaum muslimin dipaksa untuk melakukan baiat kepada Abu Bakar. Di sini peran Umar bin Khatthab dalam rangka mensosialisasikan, dengan kekerasan, masalah pembaiatan kepada Abu Bakar menjadi sangat penting.

4. Peristiwa Saqifah telah membentuk beberapa pengertian yang menyesatkan umat Islam, seperti:

a. Superioritas penguasa atas umat dan meremehkan pentingnya umat lewat semboyan, 'Siapa yang berani menentang kami yang memiliki kekuasaan Muhammad?

b. Penyimpangan term kenabian dan kekhalifahan menjadi sebuah pengertian yang rendah sebagai kekuasaan kekeluargaan yang kekuatan dan legitimasinya berawal dari pemilihan putra mahkota dari keluarga. Legitimasi kekhalifahan tidak berasal teks-teks wahyu suci.

c. Membuka lebar-lebar kesempatan kepada kaum muslimin untuk memunculkan ide berbilangnya kekuasaan islam dan terbukanya kesempatan bagi setiap orang untuk bersaing dengan orang yang secara pasti telah mendapat legitimasi lewat teks-teks wahyu. Di sisi lain, memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk membangkang terhadap pemerintah dan penguasa yang telah mendapat mandat dari Allah lewat teks-teks wahyu dengan ucapan, 'Dari kami seorang pemimpin dan dari kalian seorang pemimpin'.

d. Pertemuan Saqifah menyiapkan kondisi yang tepat untuk sekali lagi melanggar hak-hak umat dalam kepemilikan hak suara untuk memilih pemimpin politik sebagaimana yang terjadi dalam penetapan Umar bin Khatthab sebagai khalifah. Dan untuk yang ketiga kalinya ketika Umar bin Khatthab menjelang kematiannya. Sebelum meninggal Umar bin Khatthab menyiapkan enam kandidat untuk menjadi penggantinya yang hanya dipilih oleh keenam kandidat tanpa mengikutkan suara umat. Siapa yang terpilih harus diikuti oleh kaum muslimin.


Sikap Ali bin Abi Thalib dan pertemuan Saqifah
Imam Ali bin Abi Thalib AS. tidak rakus untuk menjadi khalifah dan juga tidak berusaha untuk mendapatkannya seperti yang dilakukan oleh sebagian sahabat. Keinginannya hanya satu, menguatkan sendi-sendi Islam, menyebarkan, membuat Islam dan pengikutnya menjadi mulia, menjelaskan keagungan dan kebesaran Nabi Muhammad saw tanpa lupa mengungkapkan sejarah kehidupannya dan mengajak manusia untuk mengikuti cara hidupnya. Sayangnya kaum muslimin kebanyakan memasukkan pikiran-pikiran dalam hati mereka yang berbeda dengan apa yang diwasiatkan Nabi di perang Uhud dan Hunain. Mereka rakus akan kekuasaan tanpa dasar. Mereka meninggalkan Nabi tanpa dikuburkan sebagaimana yang pernah mereka lakukan semasa hidup Nabi ketika menghadapi kesulitan dan mara bahaya.

Kabar pertemuan di Saqifah sampai juga ke rumah Nabi di mana di sana berkumpul Ali bin Abi Thalib dan Bani Hasyim dan beberapa sahabat yang benar-benar ikhlas mengelilingi jasad Nabi. Abbas paman Nabi berkata kepada Ali, 'Wahai anak saudaraku! Ulurkan tanganmu aku pasti akan membaiatmu. Pasti apa yang kulakukan ini akan disebarkan bahwa paman Rasulullah saw telah membaiat anak paman Rasulullah sendiri, yaitu Ali. Setelah itu aku pastikan tidak ada seorang pun yang akan berselisih mengenai masalah ini'. Ali menjawab, 'Wahai paman! Apakah engkau merasa ada orang yang begitu rakus ingin meraih kekuasaan selainku? Abbas berkata, 'Kau akan tahu nanti'.

Padahal Imam Ali bin Abi Thalib tahu betul apa yang terjadi dengan persekongkolan yang dilakukan pada waktu itu. Oleh karenanya ia dengan transparan berkata, 'Aku tidak senang dengan masalah kekuasaan ini direbut lewat pintu yang terkunci'.


Sikap Abu Sufyan
Diriwayatkan: Abu Sufyan datang di depan pintu rumah Rasulullah saw sementara Ali bin Abi Thalib dan Abbas berada di dalam. Abu Sufyan berkata, 'Apa yang terjadi tidak terlalu lama dalam kehidupan Quraisy. Demi Allah! Seandainya aku ingin akan kupenuhi mereka dengan kuda-kuda dan orang laki-laki'. Ali menjawab, 'Wahai Abu Sufyan! Pulanglah! Sudah sejak lama engkau memusuhi Islam dan pemeluknya namun kau tidak pernah berhasil sedikit pun mencelakainya'.

Diriwayatkan juga, 'Ketika kaum muslimin mengadakan pertemuan untuk memilih Abu Bakar, Abu Sufyan maju ke depan sambil berkata, 'Demi Allah! Aku sedang melihat segerombolan unta-unta yang hanya bisa dibasmi dengan darah. Wahai keturunan Abdi Manaf! Apa yang bisa diperbuat Abu Bakar dengan masalah-masalah kalian? Di mana orang-orang lemah, Ali dan Abbas? Ia kemudian melanjutkan, 'Abu Hasan (panggilan Ali bin Abi Thalib), ulurkan tanganmu aku ingin membaiatmu! Ali bin Abi Thalib menolak mengulurkan tangannya seraya berkata, 'Demi Allah! Aku tahu yang engkau inginkan adalah terjadinya fitnah. Sudah sejak lama sekali engkau memusuhi Islam dan menginginkan kejelekannya. Kami tidak butuh akan nasihatmu! Ketika Abu Bakar dibaiat, Abu Sufyan berkata, 'Apa yang ada di antara kami dan keberuntungan hanyalah Bani Abdi Manaf!

Dikatakan kepadanya, 'Ia telah menjadikan anakmu sebagai penguasa'. Abu Sufyan menjawab, 'Aku hanya melakukan silaturahmi'.

Ketidaksetujuan Abu Sufyan terhadap peristiwa Saqifah tidak menunjukkan keyakinannya akan kebenaran Ali bin Abi Thalib dan Bani Hasyim melainkan sebuah manuver politik yang isinya adalah tipuan untuk merusak citra Islam. Hubungan Abu Bakar dan Abu Sufyan sangat kuat dalam rangka mencapai tujuan yang dicita-citakan.


Para oposan Saqifah
Pada peristiwa Saqifah adalah sangat alamiah bila ada oposan. Hal itu diperkuat dengan ketidaklayakan siap yang terpilih sebagai khalifah. Dalam peristiwa Saqifah ada tiga oposan:

1. Anshar. Kaum Anshar termasuk kelompok politik yang berpengaruh dan dari sisi kuantitas memiliki jumlah yang tidak kecil. Oleh karenanya kaum Anshar perlu mendapat perhitungan yang serius sebagai kandidat sekaligus dalam pemilihan. Kaum Anshar tidak setuju dengan khalifah terpilih dan pendukungnya di Saqifah Bani Saidah. Sempat terjadi adu mulut yang cukup alot yang berakhir dengan kemenangan Quraisy.

Abu Bakar dan pendukungnya mendapat keuntungan dalam menghadapi Anshar dari dua sisi:

a. Mengkristalnya pemikiran pewarisan agama dalam benak bangsa Arab. Dan hal itu dapat ditelusuri dari ucapan yang mengatakan bahwa Quraisy masih serumpun dengan Nabi dan lebih dekat dibandingkan dengan suku lainnya. Dengan alasan ini, mereka merasa lebih layak ketimbang kaum muslimin yang lain dan selanjutnya, yang paling layak menjadi khalifah adalah dari Quraisy.

b. Kaum Anshar sendiri tidak memiliki pendapat yang satu. Suara mereka terpecah antara yang mendukung Abu Bakar dan yang menentangnya. Alasan perpecahan mereka dapat digambarkan lewat mengakarnya pemikiran kesukuan dan kedengkian antara satu dengan yang lainnya atau sebuah upaya untuk lebih dekat dengan khalifah terpilih nantinya dari Quraisy. Pemikiran ini muncul dalam ucapan Usaid bin Hudhair di Saqifah, 'Bila kalian menjadikan Saad sebagai khalifah, maka kekhalifahan akan senantiasa bersama kalian dan demikian pula dengan keutamaan. Namun perlu diperhatikan bahwa Saad tidak akan membagi-bagikan kekuasaan ini dengan kalian selama-lamanya. Sekarang, bangkitlah! Baiat Abu Bakar!

Pertemuan Saqifah sendiri memberi kekuatan kepada Abu Bakar dari dua sisi:

a. Melemahnya peran pengendalian terhadap suku-suku oleh Ali bin Abi Thalib. Hal ini dikarenakan, Anshar telah terdaftar sebagai kekuatan yang tidak mungkin mengikuti barisan Ali bin Abi Thalib setelah peristiwa Saqifah apa lagi menolong dan membantu Ali untuk merebut kekhalifahan.

b. Munculnya Abu Bakar sebagai pembela satu-satunya hak-hak kaum Muhajirin secara keseluruhan dan Quraisy secara khusus di tengah-tengah kaum Anshar. Kondisi saat itu memang sangat mendukung karena tidak adanya oposan dari Muhajirin sendiri yang dapat mencegah mereka meraih tujuan yang telah direncanakan sejak sebelumnya.

2. Bani Umayyah. Keturunan Umayyah memiliki rasa ketamakan yang luar biasa terhadap kekuasaan. Mereka berharap dari kejadian ini dapat memperoleh posisi dan mengembalikan segalanya seperti zaman jahiliah. Bani Umayyah dipimpin oleh Abu Sufyan. Abu Bakar dan kelompoknya telah melakukan kerja sama dengan Bani Umayyah karena tahu betul apa keinginan-keinginan mereka, baik secara politis maupun materi. Sangat mudah bagi Abu Bakar untuk kemudian tidak mengindahkan sebagian prinsip dan hukum-hukum syariat dan kemudian memberikannya kepada Abu Sufyan. Abu Bakar memberikan kepada Abu Sufyan sebagian harta dan hasil zakat kaum muslimin kepada Abu Sufyan yang dikumpulkannya semenjak ia diutus oleh Nabi. Pada sisi yang lain, kelompok yang menang di Saqifah tidak menunjukkan ketidaksukaan mereka kepada Bani Umayyah dan tidak menekan Abu Sufyan atas apa yang diucapkannya sebagai pendukung Ali bin Abi Thalib AS. dan Bani Hasyim.

Tidak itu saja, Abu Bakar dan kelompoknya malah memanfaatkan Bani Umayyah untuk melemahkan peran Bani Hasyim mulai sejak itu hingga masa-masa yang akan datang. Abu Bakar dan kelompoknya memberikan posisi-posisi penting dalam pemerintahan kepada Bani Umayyah.

3. Bani Hasyim dan beberapa sahabat pengikut mereka seperti Ammar bin Yasir, Salman Al-Farisi, Abu Dzar Al-Ghiffari dan Miqdad RA. dan sejumlah besar sahabat yang memandang keluarga Hasyim adalah yang layak dan memiliki legitimasi sah dari syariat untuk menjadi khalifah. Bani Hasyim adalah pewaris alami dan sah Rasulullah saw dengan dukungan teks wahyu di peristiwa Ghadir Khum.

Mereka tidak tunduk pada argumentasi-argumentasi lemah yang disampaikan para pendukung Saqifah. Mereka melihat para pendukung Saqifah bagaikan kumpulan kepentingan-kepentingan yang mencoba untuk menguasai dan mengeksploitasi kekuasaan demi memenuhi hasrat dan kerakusan dan sebagai sebuah upaya untuk menyesatkan perjalanan dan eksperimen islam dari jalannya yang sah dan benar.


Hasil-hasil Saqifah
Abu Bakar dan kelompoknya telah menjadi pemenang dalam menghadapi Anshar dan Bani Umayyah. Kekhalifahan telah berpihak pada mereka. Namun, kemenangan ini tidak sesederhana yang dibayangkan. Karena setelah itu muncul masalah yang lebih besar tentang kontradiksi politik. Tentunya ini bermula dari argumentasi mereka untuk meraih kursi kepemimpinan bertumpu pada kesukuan dan kekerabatan dengan Rasulullah saw. Atas dasar inilah tidak salah bila pasca Saqifah muncul mazhab genetik dan keturunan dalam kepemimpinan agama.

Keberadaan Bani Hasyim sebagai oposan kelompok Saqifah mampu membalikkan situasi. Mereka berargumentasi menghadapi kelompok Saqifah dengan alasan yang sama yang dipakai Abu Bakar dan kelompoknya ketika menghadapi kaum Anshar. Argumentasi itu berputar pada; bila Quraisy merasa lebih layak dan dekat dengan Rasulullah saw dari sekian banyak kabilah-kabilah Arab, maka Bani Hasyim lebih tepat dan layak untuk memegang tampuk kekhalifahan dibandingkan dengan kelompok Quraisy lainnya.

Hal inilah yang digembar-gemborkan oleh Ali bin Abi Thalib ketika ia berkata, 'Kaum Muhajirin berargumentasi dengan kedekatan mereka dengan Rasulullah saw. Hal yang demikian adalah argumentasi kami juga terhadap kaum Muhajirin. Bila argumentasi yang dipakai adalah kedekatan hubungan kekeluargaan maka itu dapat benar dibandingkan dengan yang lain tidak dengan kami Bani Hasyim. Bila argumentasi mereka juga mencakup kami, maka kaum Anshar tetap dengan klaimnya'.

Abbas juga menjelaskan hal yang sama dalam obrolannya dengan Abu Bakar, 'Ucapanmu ketika di Saqifah bahwa kami dari pohon Rasulullah saw, sesungguhnya kalian hanya tetangga kamilah sebagai rantingnya'.

Pada intinya Imam Ali bin Abi Thalib AS. adalah sumber ketakutan bagi mereka yang bermain dalam proses Saqifah. Ali bin Abi Thalib adalah satu-satunya penghalang yang mampu melenyapkan semua hasrat dan keinginan yang selama ini terpendam. Ali bin Abi Thalib mampu memborgol tangan-tangan yang bermain di Saqifah, dan jumlah mereka sangat banyak. Orang-orang yang pada umumnya ikut ke mana angin bertiup tanpa memiliki identitas. Ikut berteriak bersama mereka yang menjual suaranya di bursa kekuasaan politik. Orang-orang yang ingin mengenyangkan perut-perut mereka sepeninggal Nabi dengan harta khumus (seperlima) dan hasil perkebunan di kota Madinah begitu juga tanah Fadak (tanah milik Nabi yang diwariskan kepada Fathimah), sebuah tanah subur. Ali bin Abi Thalib enggan untuk menjadi khalifah dengan tujuan-tujuan rendah semacam itu atau demi ketenaran pribadi. Dari sisi yang lain, Ali bin Abi Thalib berusaha untuk berargumentasi di hadapan tokoh-tokoh penting Saqifah dengan prinsip yang sama yaitu kedekatan keluarga. Argumentasi yang pada gilirannya menjadi koin keberuntungan di tangan Ali bin Abi Thalib dengan ucapannya, 'Mereka berargumentasi dengan pohon (kedekatan dengan Nabi), namun pada saat yang bersamaan mereka lupa akan buah dari pohon itu'. Sebagian besar masyarakat Islam masih menguduskan Ahli Bayt Nabi dan menghormati mereka karena mereka adalah buah dari pohon kenabian yang pada gilirannya kekuasaan politik memasuki masa paling kritis yang tidak ada jalan keluarnya. Untungnya, Imam Ali bin Abi Thalib adalah seorang pribadi yang lebih mulia dari sekedar perebutan kekuasaan. Ia lebih mengedepankan maslahat umat islam ketimbang kepentingan pribadinya sebagai penguasa yang sah yang mendapat legitimasi langsung dari Nabi.

Untuk menyikapi kemungkinan Ali bin Abi Thalib jangan sampai menggoyahkan rencana yang telah dijalankan kelompok Saqifah berada dalam keraguan di antara dua sikap:

1. Meninggalkan prinsip kedekatan kekeluargaan sebagai unsur terpenting untuk menjadi khalifah. Namun ini artinya, melepaskan legitimasi wahyu terhadap kekhalifahan Abu Bakar yang telah direbutnya semenjak peristiwa Saqifah.

2. Memperkuat dan menegaskan kembali prinsip-prinsip yang telah diperjuangkan semenjak Saqifah (kedekatan kekeluargaan) menghadapi kelompok-kelompok oposan. Sosialisasi harus dilakukan sehingga hak Bani Hasyim terkait dengan masalah kepemimpinan dan kekhalifahan tidak lagi menjadi sesuatu yang penting sekalipun mereka termasuk yang paling dekat kekerabatannya dengan Nabi. Seandainya kekhalifahan masih merupakan hak Bani Hasyim, namun itu tidak pada kondisi ketika masyarakat menyepakati pemerintahan yang telah ada.

Tampaknya kemungkinan kedua yang dipilih dan lebih menguntungkan pemerintahan yang ada.


13
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib AS.

Imam Ali bin Abi Thalib AS. di zaman Abu Bakar

Rencana penguasa menghadapi oposan
Kelompok yang berhasil menguasai kekuasaan jelas tidak mungkin mundur kembali. Kondisi ini menjadi lebh sulit setelah rencananya telah disiapkan sejak sebelumnya. Kelompok ini menegaskan pandangan-pandangan yang telah dipromosikan di Saqifah dengan berbagai macam bentuk terlepas dari legitimasi yang dimilikinya sah atau tidak dalam rangka melindungi Islam. Oleh karenanya, dapat ditemukan sebagian kejadian dan rencana-rencana politik yang diikuti oleh kelompok ini senantiasa berusaha menjauhkan keluarga Nabi Muhammad saw dari kekuasaan secara keseluruhan bahkan lebih dari itu, berusaha untuk melenyapkan ide-ide yang menguatkan Bani Hasyim secara politis. Hal itu tidak saja untuk masa itu saja, namun kemungkinan yang akan datang telah diperkirakan sebelumnya. Kemungkinan-kemungkinan tersebut seperti:

1. Penguasa baru menganggap mereka yang menentang berusaha untuk mewujudkan fitnah di tengah-tengah kaum muslimin dan fitnah hukumnya haram dalam Islam. Hal itu ditambah dengan stabilitas negara yang mantap ditambah musuh-musuh di luar teritorial Islam yang senantiasa menanti kesempatan melemahnya pemerintahan Islam untuk kemudian mencaploknya. Di sisi lain, munculnya fenomena pemurtadan sebagian kaum muslimin sepeninggal Rasulullah saw masih di dalam kawasan Islam sendiri.

2. Metode kekerasan yang dipakai oleh khalifah terpilih dan kroniknya terhadap Ali bin Abi Thalib AS. dan orang-orang yang masih setia dengannya. Cara yang dipakai untuk membungkam Saad bin Ubadah di Saqifah. Kekerasan yang ditunjukkan oleh penguasa nampak sekali pada perilaku Umar bin Khatthab yang sesumbar akan membakar rumah Ali bin Abi Thalib sekalipun Fathimah putri Rasulullah berada di dalamnya. Sikap Umar bin Khatthab menunjukkan bahwa Fathimah keluarga Muhammad saw tidak lagi memiliki hak-hak untuk dihormati oleh pemerintah karena kebijakan mereka sama.

3. Abu Bakar dan pendukungnya tidak memberikan sebuah posisi pun dalam pemerintahannya kepada satu dari keluarga Bani Hasyim. Sikap ini adalah kepanjangan dari prinsip pertama agar jangan sampai Bani Hasyim suatu saat dapat mengambil kembali kekhalifahan yang menjadi hak mereka. Bahkan lebih dari itu, tidak satupun dari Bani Hasyim yang kemudian ditunjuk untuk menjadi gubernur di sebuh daerah Islam.

4. Mempersiapkan front politik besar sebagai rival keluarga Muhammad saw agar dapat meraih kepemimpinan dan menguasai posisi-posisi penting di pemerintahan. Di sini terlihat bahwa Bani Umayyah memiliki garis yang jelas dalam sikap politiknya. Mereka menduduki posisi-posisi strategis di zaman Abu Bakar dan Umar bin Khatthab. Di samping itu, prinsip Syura yang dikembangkan Umar bin Khatthab secara pasti untuk memunculkan Usman bin Affan sebagai kandidat yang pasti akan dipilih oleh mayoritas kandidat yang ada.

Front ini digambarkan bakal bertahan lama bahkan akan semakin meluas dan membesar karena ia tidak berwujud seseorang namun mengambil bentuk sebuah insitusi besar. Pada gilirannya, front ini tidak memberikan kesempatan kepada keluarga Muhammad saw untuk dapat meraih kekuasaan. Seandainya hal itu mungkin, maka tidak akan didapatkan dengan mudah.

5. Menyingkirkan semua elemen pendukung Bani Hasyim. Diriwayatkan bahwa Abu Bakar telah menyingkirkan Khalid bin Said bin Al-Ash. Semula ia adalah komandan tentara yang dipersiapkan menguasai Syam (Syiria). Namun, setelah Umar bin Khatthab membisikkan dan memperingatkannya bahwa Khalid bin Said seorang dari keluarga Bani Hasyim dan condong kepada Ali bin Abi Thalib. Tidak cukup itu saja, Umar bin Khatthab mengingatkannya juga bahwa Khalid termasuk orang yang menentang mereka sepeninggal Nabi.

6. Melemahkan kekuatan ekonomi Imam Ali bin Abi Thalib. Hal ini dikarenakan kekhawatiran kekuatan ekonomi yang dimilikinya dapat dipergunakan untuk membiayai pergerakannya untuk meraih kembali haknya yang terampas sebagai khalifah. Untuk itu, Khalifah memulai usahanya dengan memblokir dan merampas tanah Fadak dari Fathimah AS. Abu Bakar tahu bahwa Fathimah bagi Ali bagaikan kartu as yang senantiasa mengiringinya untuk menuntut haknya. Ini ditambahkan dengan kekuatan-kekuatan politik yang ada telah menjual suaranya kepada pemerintah. Sangat mungkin sekali pemerintah akan membatalkan perdagangan yang ditujukan kepadanya sekalipun mendatangkan keuntungan yang besar. Sebagaimana diketahui juga bahwa Abu Bakar sendiri mempergunakan politik uang sebagai alat untuk mendapatkan suara.

Bila ditambahkan pada penjelasan di atas, Fathimah, putri Rasulullah saw, adalah bukti terbesar yang sering dipakai oleh pendukung Ali bin Abi Thalib untuk menjelaskan kebenaran dan bahwa kekhalifahan adalah milik Ali. Di sisi lain, khalifah akan dianggap benar-benar sukses dalam usaha-usahanya yang bersifat politis bila mampu membuat sikap Fathimah, pendukung Ali, mengambil sikap netral. Cara paling ampuh adalah dengan tidak langsung memahamkan kaum muslimin bahwa Fathimah hanyalah seorang wanita yang tidak pantas untuk diikuti omongannya dalam pengaduan tentang masalah Fadak yang jelas-jelas merupakan masalah sederhana, apa lagi pada masalah yang lebih penting seperti masalah khilafah. Fathimah bila menuntut tanah yang bukan haknya, maka sangat mungkin sekali ia menuntut pemerintahan Islam untuk suaminya. Sementara Ali bin Abi Thalib tidak memiliki hak sama sekali sebagaimana yang diklaim oleh para sahabat yang menjadikan dirinya sebagai kandidat untuk menjadi khalifah Rasulullah saw.

Diriwayatkan bahwa ketika Abu Bakar berkuasa ia mengutus kepada wakil Fathimah Zahra yang menjaga Fadak, kemudian mengusirnya dari tanah Fadak setelah itu Abu Bakar menguasainya. Abu Bakar berargumentasi dengan sebuah hadis yang tidak pernah diriwayatkan oleh perawi lain selain dirinya. Ia mendengar bahwa Rasulullah saw bersabda, 'Kami para Nabi tidak mewariskan apapun, apa yang kami tinggalkan menjadi sedekah'. Dengan alasan hadis ini Nabi tidak mewariskan apapun, seandainya ada maka itu menjadi milik kaum fakir miskin.


Argumentasi para penentang khalifah terpilih di Saqifah
Sejumlah sahabat baik pendukung Ali bin Abi Thalib yang menuntut hak Ali sebagai khalifah berargumentasi dengan argumen yang kuat, jelas dan dengan teks-teks wahyu dengan memakai metode yang menunjukkan kehausan mereka akan kemenangan kebenaran dan terjaganya pemerintahan Islam dari penyesatan. Mereka berkumpul di masjid Nabi. Salah satu dari mereka bernama Khuzaimah bin Sabit berkata, 'Wahai kaum muslimin! 'Apakah kalian tidak tahu bahwa Rasulullah saw menerima persaksianku seorang diri? Mereka berkata, 'Ya! Kami tahu. Khuzaimah melanjutkan, 'Saksikanlah bahwa aku mendengar Rasulullah saw bersabda, 'Ahli Baytku adalah pembeda antara kebenaran dan kebatilan. Mereka adalah para Imam yang harus diikuti. Aku telah mengucapkan apa ku tahu, seorang utusan tugasnya hanyalah menyampaikan.

Ammar bin Yasir berargumentasi dengan ucapannya, 'Wahai Quraisy! Wahai kaum muslimin! Bila kalian telah mengetahui maka biarkan itu berlalu. Namun bila kalian belum mengetahui, ketahuilah bahwa Ahli Bayt Nabi kalian lebih utama dan lebih berhak atas warisan Nabi. Ahli Bayt Nabi lebih tangguh dalam urusan agama dan lebih tepercaya untuk orang mukmin, lebih menjaga umat Islam dan lebih memperhatikan umat Islam dan menasihati mereka. Perintahkanlah tuan kalian, Abu Bakar, agar ia mengembalikan hak yang diambil dari yang empunya sebelum urusan-urusan kalian melemah, kalian berpecah belah dan sebelum fitnah membesar di tengah kalian'.

Sahl bin Hanif berdiri dan berkata, 'Wahai Quraisy! Bersaksilah atas Rasulullah saw! Aku telah melihatnya di tempat ini (masjid). Nabi mengangkat tangan Ali bin Abi Thalib seraya berkata, 'Wahai manusia! Ini adalah Ali! Imam kalian setelahku, penerus wasiatku ketika aku hidup dan setelah matiku, hakim agamaku, pelaksana janjiku, orang pertama yang menjabat tanganku di kolam Kautsar pada hari kiamat. Sangat beruntung orang yang mengikuti dan menolongnya. Celakalah orang yang mengingkari dan menghinakannya'.

Abu Al-Haitsam bin At-Tihan tidak mau ketinggalan, ia berdiri dan berkata, 'Aku bersaksi atas Rasulullah saw bahwa beliau pernah mengangkat Ali pada hari Hadir Kaum. Kaum Anshar pada waktu itu berkata, 'Nabi mengangkat Ali dalam urusan kekhalifahan. Sebagian lain berucap, 'Nabi melakukan hal itu tidak lain agar manusia tahu bahwa Ali adalah pemimpin bagi siapa yang menjadikan Rasulullah saw sebagai pemimpinnya. Banyak suara-suara yang mencoba menafsirkan hal itu, akhirnya kami mengutus seseorang menemui Rasulullah untuk menanyakan masalah ini. Nabi kemudian menjawab, 'Ali adalah wali dan pemimpin kaum mukminin sepeninggalku dan orang yang paling peduli menasihati umatku. Dan aku, Abu Haitsam bersaksi dengan Zat yang menciptakanku, terserah kalian untuk memilih percaya atau tidak. Sesungguhnya hari kiamat nanti sangat pedih azabnya.

Kemudian secara berturut-turut berdiri Abu Ayub Al-Anshari, Utbah bin Abi Lahab, An-Nu'man bin 'Ajalan dan Salman Al-Farisi menyampaikan argumentasinya di hadapan kaum muslimin.


Upaya pemaksaan baiat kepada Ali bin Abi thalib
Keengganan Imam Ali bin Abi Thalib untuk berbaiat kepada Abu Bakar dan protes sejumlah sahabat besar secara terang-terangan dan tuntutan untuk mengembalikan kekuasaan kepada pemiliknya yang sah memiliki pengaruh efektif dalam menggerakkan emosi kaum muslimin untuk bergabung dengan barisan Imam Ali bin Abi Thalib. Hal ini ditambahkan dengan adanya sebagian kelompok muslim nomaden yang tinggal di pinggiran kota Madinah seperti Asad, Fazarah , Bani Hanifah dan selainnya yang menyaksikan secara langsung pembaiatan di hari Ghadir Khum yang dilakukan oleh Nabi terhadap Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin kaum mukminin sepeninggal dirinya membuat mereka enggan berbaiat kepada Abu Bakar. Mereka juga tidak membayar zakat kepada pemerintah baru terpilih karena menganggap bahwa pemerintahan terpilih tidak sah. Namun pada saat yang sama mereka tetap melakukan salat dan ibadah lainnya. Semua ini menjadi bahaya laten bagi pemerintahan yang ada. Oleh karenanya pemerintah merasa harus meletakkan rambu-rambu untuk meminimalkan bahaya tersebut. Cara paling ampuh adalah dengan memaksa pimpinan oposan yaitu Ali bin Abi Thalib untuk berbaiat kepada Abu Bakar.

Sebagian sejarawan menyebutkan, 'Pada suatu hari Umar bin Khatthab mendatangi Abu Bakar dan berkata kepadanya, 'Mengapa sampai saat ini engkau belum mengambil baiat dari si pembangkang, Ali bin Abi Thalib? Wahai Abu Bakar! Kau tidak akan dapat melakukan apapun bila Ali belum melakukan baiat terhadapmu! Utus pasukan kepadanya sehingga ia berbaiat kepadamu'.

Abu Bakar dan kroniknya sepakat untuk memaksa Ali bin Abi Thalib untuk berbaiat kepada Abu Bakar. Mereka mengirim sebuah pasukan berkekuatan penuh mengepung rumahnya dan masuk ke dalam rumahnya secara paksa. Mereka menyeretnya keluar dengan cara yang tidak pantas. Nabi menyifatinya sebagai pembantu utamanya seperti dalam hadis, 'Engkau di sisiku memiliki posisi yang sama seperti Harun di sisi Musa. Bedanya tidak ada Nabi sepeninggalku'.

Mereka membawanya ke hadapan Abu Bakar. Mereka berteriak dengan suara tinggi sambil memaksanya, 'Lakukan baiat terhadap Abu Bakar! Imam Ali bin Abi Thalib AS. menjawab dengan logika yang kokoh dan dengan penuh keberanian, 'Aku lebih berhak menjadi khalifah dibandingkan kalian. Aku tidak akan berbaiat kepada kalian. Lebih tepat kalian berbaiat kepadaku. Kalian telah merampas kekhalifahan dari kaum Anshar dengan berargumentasi akan kedekatan kalian secara kekeluargaan dengan Rasulullah saw. Apakah kalian ingin mengambilnya pula secara paksa dari kami Ahli Bayt Nabi dengan argumentasi yang sama! Apakah kalian tidak beranggapan dan berdalil di hadapan kaum Anshar bahwa kalian lebih tepat untuk memimpin dibandingkan mereka karena Muhammad saw adalah dari kalian dan dengan itu mereka menyerahkan kepemimpinan kepada kalian? Sekarang aku juga ingin berargumentasi dengan cara yang sama yang telah kalian lakukan terhadap kaum Anshar. Kami lebih layak dan dekat kepada Rasulullah saw baik semasa ia hidup atau sepeninggalnya. Bersikaplah adil bila kalian masih beriman bila tidak, lakukan kezaliman yang kalian inginkan sementara kalian tahu apa balasannya nanti!

Penjelasan transparan yang dilakukan oleh Imam Ali bin Abi Thalib AS. akan kebenaran sebagai kendaraan politiknya tidak begitu saja diterima oleh penguasa waktu itu sekalipun sudah tidak berdaya untuk menjawab tantangan Ali bin Abi Thalib. Untuk sesaat semua terdiam. Namun setelah itu, Umar bin Khatthab bangkit dan terpaksa menggunakan jalan kekerasan sambil berkata kepada Ali bin Abi Thalib, 'Engkau tidak akan kami biarkan hidup sampai melakukan baiat kepada Abu Bakar'. Imam Ali bin Abi Thalib AS. tetap tidak bergeming dengan pendapatnya dan menjawab, 'Wahai Umar bin Khatthab! Engkau telah memeras dengan sungguh-sungguh segala kecerdikan yang kau miliki. Persiapkan, semenjak hari ini, masalah ini (kekhalifahan) untuk dirimu karena mungkin masalah kekhalifahan menjadi bagianmu kelak. Demi Allah! Wahai Umar bin Khatthab, aku tidak mengikuti omonganmu dan tidak akan membaiat Abu Bakar'.

Ucapan Imam Ali bin Abi Thalib AS. menyingkap kedok rahasia perjuangan Umar bin Khatthab dan semangatnya untuk mendapat baiat dari Ali. Sikapnya selama ini agar setelah Abu Bakar, maka kekhalifahan akan jatuh ke tangannya.

Abu Bakar sendiri khawatir kejadian akan berkembang tidak sesuai dengan yang diinginkannya. Ia takut akan kemarahan Ali bin Abi Thalib. Akhirnya ia berkata, 'Bila engkau tidak ingin membaiatku aku tidak akan memaksamu'. Namun pada saat itu Abu Ubaidah bin Al-Harraj berusaha untuk tetap menundukkan Ali dan dalam waktu yang bersamaan meraih perhatian Abu Bakar dengan perkataanya:

'Wahai anak pamanku! Umurmu masih belum seberapa dibandingkan dengan mereka yang telah berumur. Engkau masih baru dan belum punya banyak pengalaman menyelesaikan masalah-masalah kenegaraan. Yang kutahu Abu Bakar lebih baik dalam masalah ini dibandingkan engkau. Di samping itu, Abu Bakar lebih luas pengetahuannya dibanding denganmu. Serahkan saja urusan pemerintahan ini kepada Abu Bakar. Bila engkau masih hidup dan diberi umur panjang maka pada waktu itu engkau yang lebih tepat untuk memerintah karena keutamaan, agama, ilmu, pemahaman, pengalaman, keturunan dan hubungan dekatmu berkat perkawinan'.

Ungkapan-ungkapan politis semacam ini puncaknya hanya untuk mengelabui orang lain. Namun tentunya ini tidak akan mempan bila diucapkan kepada Ali bin Abi Thalib. Ali tetap tidak kehilangan kesadarannya bahkan jiwanya merasa tertusuk dengan penyimpangan yang telah terjadi ini. Akhirnya Imam Ali berdiri dan berpidato di hadapan kelompok Abu Bakar untuk mengingatkan mereka akan kesalahan yang telah diperbuat. Ali bin Abi Thalib berkata, 'Takutlah kepada Allah wahai kaum Muhajirin! Jangan kalian keluarkan kekuasaan Muhammad di Arab dari dalam rumahnya ke rumah kalian. Jangan kalian hempaskan keluarga Muhammad dari posisinya yang sah dan dari manusia. Demi Allah! Wahai kaum Muhajirin, kami lebih berhak atas kekhalifahan dibandingkan manusia yang lain. Itu dikarenakan kami adalah Ahli Bayt Nabi. Kami lebih berhak atas kekhalifahan dibandingkan dengan kalian. Kami adalah orang yang membaca Kitab Allah. Kami adalah orang yang memahami dengan benar agama Allah. Kami adalah orang yang mengenal betul sunah-sunah Nabi Muhammad saw. Kami lebih faham mengenai masalah kemasyarakatan. Kami adalah orang yang akan menjauhkan keburukan dari kalian. Kami adalah pembagi yang adil. Demi Allah! Semua ini ada pada kami. Janganlah kalian mengikuti hawa nafsu karena itu akan membuat kalian sesat dan celaka dari jalan Allah dan semakin kalian berjalan akan semakin jauh dari kebenaran'.

Diriwayatkan bahwa Fathimah putri Nabi keluar mengikuti Ali bin Abi Thalib dari arah belakang. Ia khawatir mereka akan melakukan hal yang tidak-tidak kepadanya. Fathimah AS. keluar sambil menggandeng kedua tangan anaknya Hasan dan Husein AS. Melihat itu Bani Hasyim keluar bersamanya. Ketika sampai di masjid ia menantang mereka dan akan menyumpahi mereka bila tidak meninggalkan Ali bin Abi Thalib. Fathimah AS. berkata, 'Lepaskan anak pamanku! Bebaskan suamiku! Demi Allah aku akan membuka kain penutup kepalaku dan membiarkan rambutku tergerai dan akan kuletakkan pakaian ayahku di atas kepalaku dan aku akan menyumpahi kalian! Unta Nabi Saleh tidak lebih mulia di hadapan Allah dibanding denganku. Anaknya tidak lebih mulia di hadapan Allah dibanding anakku'.


Imam Ali AS. dan kesulitan-kesulitan pasca Saqifah
Bila sikap dan posisi Ali bin Abi Thalib membuat semuaorang merasa takut, maka sikap dan posisinya terhadap kekhalifahan setelah Rasulullah saw adalah yang paling menakutkan. Akidah ilahiah menginginkan di setiap zaman ada pahlawan yang mengorbankan jiwanya untuk menegakkan dan memuliakan prinsipnya. Hal inilah yang mengutus Ali bin Abi Thalib untuk tidur di atas pembaringan maut dan untuk berhijrah mengikuti Nabi ke Madinah. Ujian yang masih belum dilakukannya adalah mengorbankan kedua anak laki-lakinya, Hasan dan Husein. Ali bin Abi Thalib tidak mengorbankan kedua anaknya dalam peristiwa kekhalifahan agar kembali kepada arahnya yang tepat dan benar karena ia tahu betul bahwa itu berarti tidak akan ada yang tersisa untuk tetap menarik benang wahyu dari sisi yang lainnya. Kedua cucu Nabi adalah anak kecil yang belum disiapkan untuk masalah khilafah saat ini.

Ali bin Abi Thalib yang memiliki kesiapan penuh untuk menjadikan dirinya sebagai korban untuk prinsip Islam di setiap periode kehidupannya sejak di lahirkan di dalam Ka'bah hingga menjadi martir di masjid Kufah. Ia telah mengorbankan dirinya dengan posisi yang telah disahkan oleh Nabi Muhammad saw dengan menerima kenyataan untuk tidak berkuasa sebagai khalifah zhahir karena memikirkan kemaslahatan puncak umat Islam. Hal itu juga dikarenakan Rasulullah telah menyebutnya sebagai pengemban wasiat dan penjaga umat dan Islam.

Ali bin Abi Thalib berada di persimpangan jalan yang kesemua arahnya menyulitkan dirinya:

1. Ali bin Abi Thalib harus membaiat Abu Bakar. Kondisi Ali bin Abi Thalib dalam masalah pembaiatan tidak berbeda jauh dengan sebagian kaum muslimin yang lain. Dan pada saat yang sama, ia harus melindungi diri, kepentingan pribadi, masa depan yang baik dan dihormati oleh aparat pemerintah. Namun, ini tentu tidak mungkin di mana kedua-duanya bakal diraihnya. Membaiat Abu Bakar dan mengakui kekuasaannya artinya menyimpang dan meninggalkan perintah Rasullah saw yang pada gilirannya berakibat penyimpangan khilafah dan kepemimpinan dari jalannya yang sah dan makna hakikinya hingga akhir zaman. Semua usaha dan pengorbanan yang telah dilakukan oleh Rasulullah saw dan dirinya sendiri untuk menguatkan sendi-sendi Islam dan khilafah islamiah menjadi sia-sia yang pada akhirnya terjadi penyimpangan eksperimen Islam yang telah dibangun selama ini secara keseluruhan.

2. Ali bin Abi Thalib mengambil sikap diam sekalipun di matanya ada kotoran dan di tenggorokannya ada sesuatu yang mengganggu. Ali bin Abi Thalib harus berusaha untuk bersikap arif dan bijaksana untuk tetap dapat menjaga eksistensi Islam sekaligus melindungi kaum muslimin sekalipun ia harus rela menunggu hasil usahanya lebih lambat.

3. Ali bin Abi Thalib mengumumkan pemberontakan bersenjata terhadap kepemimpinan Abu Bakar dengan mengajak kaum muslimin untuk membantunya menghadapi khalifah yang berkuasa.

Seandainya opsi ketiga yang dipilih oleh Ali bin Abi Thalib, yaitu melakukan gerakan bersenjata apa yang bakal didapatkannya? Kondisi inilah yang ingin dicoba untuk dianalisa sesuai dengan kondisi sejarah yang sulit waktu itu.

Tidak sesederhana itu bila para penguasa langsung turun dari tahtanya dengan sedikit pemberontakan yang dihadapi, apa lagi dengan melihat kenyataan bahwa mereka sangat rakus dengan yang namanya kekuasaan. Artinya, mereka pasti dengan sekuat tenaga berusaha untuk membela dan mempertahankan kekuasaannya dengan cara apapun. Pada saat seperti itu, sangat logis bila Saad bin Ubadah akan memanfaatkan kesempatan emas ini untuk juga mengumumkan perang lainnya guna memenuhi hawa nafsunya untuk menguasai kekuasaan. Analisa ini muncul ketika ia mengancam kelompok terpilih sebagai penguasa, Abu Bakar, untuk memerangi mereka bila ia dituntut untuk melakukan baiat. Ia sempat berkata, 'Tidak! Demi Allah, aku tidak akan melakukan baiat hingga aku memerangi kalian dengan panah-panahku yang kucat ujungnya dengan darah kalian. Aku akan memerangi kalian dengan pedangku dan membunuh kalian satu persatu bersama keluargaku dan mereka yang masih taat kepadaku. Seandainya Semua manusia dan jin berkumpul dan membela kalian aku tidak akan melakukan baiat'.

Kemungkinan yang paling bisa dilakukan oleh Sa'ad bin Ubadah menyiapkan diri untuk melakukan kudeta, hanya saja ia tidak berani menjadi orang pertama yang mengangkat senjata. Ia merasa cukup dengan ancaman kerasnya sebagai pengumuman perang. Ia menanti buruknya kondisi untuk menjadi bagian dari orang-orang yang menentang khalifah terpilih. Ia bebas kapan saja melakukan kudeta saat melihat kelompok penguasa menjadi lemah dan ada kelompok kuat lainnya yang ingin juga mengkudeta pemerintah. Pada saat itu ia berharap dapat mengusir kaum Muhajirin dari Madinah atau menghabisi mereka di sana, sebagaimana diungkapkan di Saqifah.

Jangan lupa bahwa masih ada kelompok Bani Umayyah yang menanti posisi dan kekuasaan. Mereka masih punya pengaruh yang besar di Mekkah semenjak tahun-tahun jahiliah terakhir, bagaimana Abu Sufyan sebagai pemimpin mereka menentang dan ingin menghancurkan Islam. Di sisinya ada wakilnya yang benar-benar taat kepadanya bernama Itab bin Usaid bin Abi Al-Ash bin Umayyah.

Bila direnungkan kejadian di hari-hari itu kabar wafatnya Rasulullah saw sampai ke Mekah dan gubernurnya pada waktu itu adalah Itab bin Usaid bin Abi Al-Ash bin Umayyah. Ia menyembunyikan kabar tersebut sementara di Madinah terjadi kegelisahan dan itu hampir membuat penduduk Mekkah menjadi murtad. Tentunya tidak ada yang rela terhadap penyebab kemurtadan mereka. Kemurtadan itu berpulang pada kemenangan Abu Bakar yang sekaligus menunjukkan kemenangan mereka atas penduduk kota Madinah sebagaimana sebagian peneliti menjelaskan hal itu. Karena Abu bakar menjadi khalifah pada hari yang sama di mana Rasulullah wafat. Kemungkinan besar kabar Abu Bakar menjadi khalifah datang bersamaan dengan kabar wafatnya Nabi. Sebab kejadian itu dapat disebutkan dengan penjelasan ini: Gubernur Mekkah berusaha untuk menjelaskan sikap politik yang diyakini oleh Bani Umayyah waktu itu. Ia menyembunyikan kabar kemenangan Abu Bakar dan menyebarkan kematian Rasulullah saw sehingga bila ia tahu bahwa Abu Sufyan kemudian telah rela setelah kemarahannya terhadap pemerintahan Abu Bakar dan semua telah berakhir dengan hasil-hasil yang dituangkan dalam perjanjian damai di rumah seorang Bani Umayyah. Di sini sekali lagi tampak apa yang telah pernah terjadi sebelumnya.

Dengan demikian hubungan politis antara tokoh-tokoh Umawiyah dengan pemerintahan terpilih mulai terbangun sejak saat itu. Ini memberikan penafsiran adanya sebuah kekuatan yang tersimpan di balik ucapan-ucapan Abu Sufyan ketika ia marah kepada Abu Bakar dan teman-temannya. Abu Sufyan berkata, 'Aku sedang melihat segerombolan unta-unta yang hanya bisa dibasmi dengan darah. Dan ia berkata tentang Ali bin Abi Thalib dan Abbas, 'Demi jiwaku yang berada di tangan-Nya, akan kuangkat tangan keduanya hingga kecapaian (menjadikan keduanya sebagai pemimpin).

Bani Umayyah telah mempersiapkan diri untuk melakukan kudeta dan Imam Ali bin Abi Thalib AS. mengetahui niat mereka yang dilontarkan dalam kejadian Saqifah. Di samping itu Imam Ali bin Abi Thalib tahu bahwa mereka orang-orang yang tidak bisa dipercaya. Yang mereka inginkan adalah mencapai tujuannya. Oleh karenanya Ali bin Abi Thalib menolak permintaan Bani Umayyah. Bani Umayyah sejak saat itu menanti perpecahan ketika kelompok-kelompok bersenjata melakukan peperangan. Mereka tidak pernah yakin akan kemampuan pemerintah untuk menjamin kepentingan mereka dan makna pemisahan mereka pada waktu itu adalah sebuah pengumuman keluarnya mereka dari agama dan memisahkan Mekkah dari Madinah.

Dengan demikian bila kelompok Ali bin Abi Thalib pada masa itu melakukan pemberontakan menentang penguasa yang mengambilnya haknya akan terjadi pertumpahan darah yang diikuti oleh banyak kepentingan dan pada saat yang sama memberikan kesempatan kepada mereka yang menginginkan terjadinya fitnah dan kaum munafikin.

Kondisi yang sulit ini tidak memberikan kesempatan kepada Ali bin Abi Thalib untuk mengangkat suaranya melawan penguasa karena yang akan terjadi adalah pertumpahan darah dan pembunuhan antara kelompok-kelompok yang memiliki tujuan-tujuan sendiri. Akibatnya eksistensi Islam akan lenyap pada waktu di mana kaum muslimin perlu berlindung di balik kepemimpinan yang satu. Kaum muslimin perlu memusatkan kekuatannya untuk mencegah terjadinya fitnah dan kudeta.

Mempertimbangkan kondisi yang seperti ini Imam Ali bin Abi Thalib harus memilih jalan tengah yang dapat mewujudkan kemungkinan terbanyak tujuan risalah yang diembannya.

Dari sini dapat diketahui bahwa Rasulullah saw telah menyiapkan dua garis acuan atau sebuah acuan yang memiliki dua periode.

Periode pertama pengangkatannya sebagai imam dan khalifah secara resmi dengan pengumuman resmi dan pengambilan baiat dari kaum muslimin di hari Ghadir Khum. Rasul sebagai pemimpin politik diakui sepanjang sejarah dan orang-orang yang hidup sezaman dengannya. Nabi memiliki pandangan yang tajam dan jauh ke depan, keinginannya akan kebaikan umatnya dan hubungannya yang terus menerus dengan alam gaib dan ilmu ilahi yang berwujud syariat Islam sebagi penutup segala syariat hendaknya tujuan risalah ilahi dapat terwujudkan secara keseluruhan. Dari sini dan dari sisi pengetahuannya akan seberapa besar kesadaran umat Islam akan risalah Islam di zamannya dan seberapa besar peleburan sikap mereka dengan nilai-nilai risalah Islam dan kondisi masyarakat yang menerima atau terpaksa menerima negara yang didirikan oleh Nabi yang mencakup kabilah-kabilah dan nilai-nilai jahiliah tidaklah mudah untuk menghilangkannya dengan cepat dan dengan langkah-langkah pendidikan jangka pendek. Semua ini dapat diketahui oleh orang yang merenungi kondisi yang meliputi kehidupan Nabi dan negara. Orang akan merasakan keharusan adanya rencana jangka panjang yang nantinya mampu mewujudkan tujuan-tujuan besar risalah Islam setelah ketidakmungkinan mewujudkannya pada waktu hidup Nabi dan dalam kondisi masyarakat yang seperti ini dalam waktu singkat.

Dengan demikian periode kedua setelah umat Islam berpaling dari ajaran-ajaran Nabi langkah yang harus diambil oleh Ali bin Abi Thalib adalah sabar, waspada dan kembali menggariskan secara praktis proses pendidikan yang lebih mengakar di bawah pemerintahan Islam yang baru dengan harapan bahwa suatu saat kondisi memungkinkan untuk menguasai pemerintahan dan mewujudkan ajaran-ajaran Nabi pada saat itu semua tujuan-tujuan yang mungkin dapat diwujudkan dan umat Islam dapat mempraktekkan syariat Islam secara benar.


Imam Ali bin Abi Thalib dan proses pengumpulan Al-Quran
Semua riwayat yang sahih sepakat bahwa Ali bin Abi Thalib setelah melakukan prosesi penguburan jasad Nabi Muhammad saw, ia tinggal di rumahnya dan menyibukkan dirinya mengumpulkan ayat-ayat Al-Quran dan menertibkannya sesuai waktu turunnya. Ali bin Abi Thalib mengumpulkan ayat-ayat Al-Quran dari tulisan-tulisan yang berserakan.

Diriwayatkan dari Imam Ja'far Shadiq AS. bahwa Rasulullah saw berkata kepada Ali bin Abi Thalib, 'Wahai Ali! Al-Quran berada di balik pembaringanku, masih berada dalam mushaf, kain sutera dan kertas. Ambillah dan kumpulkan Quran itu! Dan jangan biarkan ia hilang sebagaimana orang-orang yahudi menghilangkan Taurat aslinya. Ali kemudian pergi mengambil dan mengumpulkannya kemudian diletakkan dalam sebuah pakaian kuning. Diriwayatkan pula bahwa Imam Ali bin Abi Thalib AS. melihat orang-orang dalam kondisi kebingungan ketika Nabi wafat. Ia kemudian bersumpah untuk tidak menyelempangkan surbannya sampai selesai mengumpulkan Al-Quran. Ali bin Abi Thalib kemudian mengumpulkan Al-Quran selama tiga hari tanpa keluar rumah.

Diriwayatkan pula Ali bin Abi Thalib tidak melakukan kontak dengan orang-orang untuk beberapa waktu sampai ia mengumpulkan Al-Quran. Kemudian ia keluar menemui orang-orang dengan memakai gamis sementara orang-orang sedang berkumpul di masjid. Setelah berada di tengah-tengah mereka Ali bin Abi Thalib meletakkan Al-Quran di hadapan mereka sambil berkata, 'Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda, 'Kutinggalkan kepada kalian sesuatu yang bila kalian berpegangan dengannya niscaya kalian tidak akan sesat; kitab Allah dan itrahku, Ahli Baytku. Ini adalah kitab Allah dan aku adalah itrah Ahli Bayt. kemudian ia menambahkan, 'Aku menjelaskan hal ini agar kelak kalian jangan berkata, 'Kami lupa tentang masalah ini'.

Kemudian ia berkata, 'Jangan sampai pada hari kiamat kalian berkata bahwa aku belum mengajak kalian untuk menolongku, aku belum mengingatkan kalian tentang hakku dan aku belum mengajak kalian akan kitab Allah dari pembukaannya hingga akhir'.

Umar bin Khatthab berkata kepada Ali bin Abi Thalib, 'Bila engkau memiliki Al-Quran kami memiliki yang sama. Oleh karenanya kami tidak membutuhkan Al-quran yang berada di tanganmu dan dirimu'.

Tampaknya Imam Ali bin Abi Thalib tidak cukup hanya dengan mengumpulkan ayat-ayat Al-Quran tetapi juga menertibkannya sesuai waktu turunnya. Imam Ali bin Abi Thalib juga menjelaskan mana ayat yang umum dan khusus, mutlak dan muqayyad, muhkam dan mutasyabih, nasikh dan mansukh, surat-surat yang wajib sujud dan yang tidak dan sunah-sunah dan adab yang berkaitan dengan Al-Quran. Sebagaimana juga Imam Ali bin Abi Thalib menjelaskan tentang sebab-sebab turunnya ayat (Asbab An-Nuzul). Imam Ali bin Abi Thalib juga mendiktekan penulisan enam puluh macam prinsip yang berkaitan dengan ilmu Al-Quran, setiap satu prinsip dibawakan contoh khusus yang berkaitan dengannya. Pekerjaan besar yang dilakukannya mengantarkan Imam Ali bin Abi Thalib AS. sebagai penjaga dan pelindung prinsip-prinsip penting Islam. Ali bin Abi Thalib AS. mengarahkan akal seorang muslim untuk mengkaji lebih dalam tentang ilmu-ilmu yang dikandung oleh Al-Quran. Tujuannya tidak lain agar Al-Quran menjadi sumber utama pemikiran manusia yang dibutuhkan oleh manusia dalam kehidupannya.

Apa yang dikerjakan oleh Ali bin Abi Thalib AS. perlu mendapat apresiasi yang lebih. Ia sendiri pernah berkata, 'Setiap ayat yang turun kepada Rasulullah saw pasti dibacakan kepadaku kemudian aku menulisnya dengan tulisan tanganku sendiri. Nabi mengajarkanku takwil ayat tersebut, tafsir, nasikh dan mansukhnya dan muhkam dan mutasyabihnya kemudian Nabi berdoa kepada Allah swt agar aku dapat memahami apa yang diajarkannya. Aku tidak pernah lupa sebuah ayat dari Al-Quran bahkan sebuah ilmu yang kutulis lewat ajaran Nabi. Allah telah mengajarkan kepada Nabi segala sesuatu baik halal dan haram, perintah dan larangan dan apa yang telah terjadi atau yang akan terjadi yang berkaitan dengan ketaatan atau kemaksiatan pasti Nabi mengajarkannya kepadaku dan aku menghafalkannya. Aku tidak pernah lupa walau satu huruf pun'.


Sikap Ali bin Abi Thalib di zaman Abu Bakar
Imam Ali bin Abi Thalib AS. Berkata, 'Demi Allah! Tidak pernah terpikirkan dalam benakku bahwa Arab akan mengambil kekhalifahan sepeninggal Nabi dari Ahli Baytnya atau aku bakal dicegah untuk memerintah. Satu hal yang membuatku gusar adalah orang-orang yang berduyun-duyun membaiat Abu Bakar. Aku tetap pada posisiku sampai suatu saat aku melihat bahwa masyarakat Islam tidak lagi berpegangan dengan Islam atau mereka ingin menghancurkan agama Muhammad saw. Pada saat itu, aku khawatir bila tetap tinggal diam menyaksikan hal itu terjadi. Aku harus maju menolong Islam dan pengikutnya. Kondisi ini buatku lebih sulit dari sekadar melepaskan kekuasaan yang menjadi hakku atas kalian. Kekuasaan yang menurutku tidak lebih dari sebuah barang yang pada akhirnya akan lenyap seperti fatamorgana atau bagaikan awan yang cepat berlalu. Oleh karenanya, aku harus berdiri di tengah-tengah kekacauan ini sampai kebatilan lenyap dan agama tetap dan pasti.

Semua kejadian yang terjadi setelah wafatnya Rasulullah saw dan sistem yang berkuasa berusaha menjauhkan masyarakat dari kebenaran, belum seluruhnya melupakan bahwa Ali bin Abi Thalib adalah pengemban wasiat untuk menuntun umat Islam untuk mempraktekkan risalah Islam.

Baiat yang dilakukan terhadap Abu Bakar telah memarjinalkan Ali bin Abi Thalib mengatur kehidupan umat Islam secara langsung. Kondisi ini pula memaksa Ali bin Abi Thalib untuk meminggirkan dirinya dari dunia politik sementara wasiat Nabi adalah untuknya sebagai sebuah kewajiban ilahi untuk melindungi umat Islam. Keinginannya yang kuat dan dalam akan risalah Islam sementara masyarakat Islam yang terkoyak-koyak selama ini telah menjadikan Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin sekaligus panutan yang membela Islam di setiap medan.

Berdasarkan hal-hal di atas, Ali bin Abi Thalib mulai menyampaikan pandangan-pandangannya, menjelaskan prinsip-prinsip agama yang benar di setiap kondisi yang sulit di mana orang-orang mengikuti kepemimpinan yang ada di zaman yang sulit dan pada umat yang akidah Islamnya masih belum kuat dan mengkristal dalam jiwanya. Ali bin Abi Thalib adalah tolok ukur dalam masalah-masalah peradilan dan fatwa dalam kehidupan masyarakat Islam mulai dari peradilan, sosial dan manajemen di zaman Abu Bakar hingga Usman bin Affan.

Posisi penting lain Ali bin Abi Thalib adalah melindungi Madinah dan sebagai benteng terhadap serangan kaum yang murtad dari Islam bersama-sama beberapa sahabat setianya yang siap setiap saat di sisinya.


Wasiat Abu Bakar kepada Umar bin Khatthab
Ali bin Abi Thalib senantiasa dizalimi. Ia mempertahankan haknya yang dirampas. Hatinya pedih melihat kondisi kekhalifahan dan Islam. Yang bisa dilakukannya hanyalah sabar dan membuka mata lebar-lebar untuk memahami apa yang terjadi. Ia mengungkapkan kepedihan dan kesedihannya dalam pidato terkenalnya yang bernama Syiqsyiqiah. Ali bin Abi Thalib berkata:

'Demi Allah! Ketahuilah, Abu Bakar bin Abi Quhafah telah memakai baju kekhalifahan. Padahal ia tahu bagaimana posisiku terhadap kekhalifahan. Aku bagaikan poros penggilingan yang senantiasa berputar mengelilingku. Ia tahu bahwa ilmu-ilmu tersebar melaluiku. Setiap orang yang ingin mencapai kesempurnaan tidak akan dapat melebihiku. Aku kemudian berusaha meminggirkan diriku dari usaha perebutan kekhalifahan yang menjadi hakku. Aku senantiasa berpikir, apakah mungkin seorang diri aku menuntut hakku? Ataukah dalam situasi yang tidak menentu aku perlu mengambil sikap sabar? Kondisi ini memaksa orang-orang tua musnah sementara para pemuda menjadi tua. Mereka yang beriman sampai kiamat dan bertemu dengan Allah dalam situasi sedih. Melihat kondisi yang semacam ini, aku merasa sikap yang paling tepat adalah sabar. Oleh karenanya aku bersabar melihat semua ini sekalipun bagaikan menahan duri yang menusuk mata dan tulang yang tersangkut di tenggorokkan. Dalam pandanganku, warisanku dirampok oleh mereka! Semua terjadi sampai Abu Bakar mati dan menyerahkan masalah kekhalifahan kepada Umar bin Khatthab. Sangat aneh! Abu Bakar meminta maaf kepada kaum muslimin selagi masih hidup. Bagaimana mungkin menjelang kematiannya ia memberikan hak kekhalifahan kepada orang lain (Umar bin Khatthab)? Keduanya telah bersusah payah memeras unta kekhalifahan dan bersenang-senang dengan hasilnya. Pada akhirnya khalifah pertama (Abu Bakar) memberikan hak kekhalifahan dan pemerintahan kepada seseorang yang terkenal dengan setumpuk kebobrokannya. Ia orang yang menyukai kekerasan, mempersulit orang lain dan sering melakukan kesalahan yang pada akhirnya menyesal dan meminta maaf.

Masa hidup Abu Bakar tidak panjang. Ia mulai lemah karena penyakit dan mulai mendekati ajalnya. Ia mengambil keputusan untuk menyerahkan urusan kekhalifahan kepada Umar bin Khatthab sepeninggalnya. Keputusan ini ditentang oleh mayoritas Muhajirin dan Anshar. Mereka mengumumkan kebencian terhadap keputusan itu karena tahu sifat keras Umar bin Khatthab dan perilakunya yang buruk terhadap orang lain.

Abu Bakar tidak menanggapi bahkan bersikeras dengan pendapatnya.

Abu Bakar kemudian memanggil Usman bin Affan menghadapnya untuk menuliskan surat keputusan pengangkatan Umar bin Khatthab. Abu Bakar berkata kepada Usman bin Affan, 'Tuliskan: Bismillahirrahmanirrahim, ini adalah ketetapan yang dibuat oleh Abu Bakar bin Abi Quhafah kepada kaum muslimin. Amma ba'du (selanjutnya). Kemudian Abu Bakar pingsan. Usman bin Affan menulis lanjutannya, 'Sesungguhnya aku telah menjadikan Umar bin Khatthab sebagai pengganti ku, aku bukan yang terbaik di antara kalian. Kemudian Abu bakar tersadar dari pingsannya. ia berkata kepada Usman bin Affan, 'Bacakan untukku! Kemudian Usman bin Affan membaca apa yang ditulisnya. Setelah mendengar itu Abu Bakar lantas mengucapkan takbir dan setelah itu berkata, 'Aku tahu engkau khawatir kaum muslimin akan berselisih bila aku mati dalam keadaan pingsan. Usman bin Affan menjawab, 'Ya. Abu Bakar berkata, 'Semoga Allah memberikan balasan kebaikan untukmu'.


Keberatan terhadap wasiat Abu Bakar
Ali bin Abi Thalib AS. tidak rela dengan apa yang diperbuat oleh Abu Bakar dengan alasan sebagai berikut:

1. Abu Bakar tidak melakukan musyawarah dengan satupun dari kaum muslimin untuk menetapkan perjalanan kekhalifahan kecuali dengan Abdur Rahman bin 'Auf dan Usman bin Affan. Kedua orang ini adalah yang paling tahu kecenderungan Abu Bakar untuk menjadikan Umar bin Khatthab sebagai pengganti setelahnya. Sikap Abu Bakar itu muncul dari rasa kekhawatiran para sahabat yang ikhlas akan menolak Umar bin Khatthab sebagai penggantinya kelak.

2. Penegasan untuk menjauhkan Imam Ali dari peta politik dan masalah penetapan arah kekhalifahan. Oleh karenanya, dalam masalah ini Abu Bakar tidak pernah melakukan konsultasi dengan Ali bin Abi Thalib. Padahal Abu Bakar selalu mencari Imam Ali bin Abi Thalib AS. untuk menyelesaikan masalah-masalah yang sulit atau sekurang-kurangnya menurut Abu Bakar pandangan dan sikap Ali selalu benar dibandingkan pandangan selainnya.

3. Abu Bakar menjadikan Umar bin Khatthab sebagai pemimpin dan diwajibkan kepada seluruh kaum muslimin untuk menaatinya seakan-akan Abu Bakar pengemban wasiat kaum muslimin baik ia hidup ataupun mati. Dan itu didasari dengan ucapannya, 'Aku telah mengangkat Umar bin Khatthab menjadi khalifah bagi kalian sepeninggalku. Dengar dan taatilah dia! Ucapan itu tetap diungkapkannya meskipun ia melihat tanda kemarahan di wajah mayoritas sahabat Nabi.

4. Abu Bakar melanggar keyakinannya selama ini bahwa ia berjalan dan memerintah sesuai dengan cara yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Ia mengklaim bahwa Nabi ketika meninggal dunia tidak menetapkan seorang sebagai penggantinya sementara sekarang ia malah mewasiatkan temannya sendiri, Umar bin Khatthab, sebagai khalifah setelahnya.

5. Abu Bakar tengah mempersiapkan kerajaan Bani Umayyah yang telah menyengsarakan kaum muslimin dan Islam. Dan itu terjadi karena ketamakan-ketamakan mereka akan kekuasaan di samping keberanian mereka untuk menguasainya. Hal ini tersirat dari ucapan Abu Bakar kepada Usman bin Affan, 'Seandainya Umar bin Khatthab tidak ada aku pasti akan memilihmu. Abu Bakar tahu benar Usman bin Affan secara emosional lemah dan condong ke Bani Umayyah dan mereka pasti akan menguasainya.


14
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib AS.

Imam Ali bin Abi Thalib di zaman Umar bin Khatthab
Abu Bakar telah menyiapkan tahta kekhalifahan kepada Umar bin Khatthab yang akhirnya dikuasainya dengan mudah tanpa protes yang berarti dari tokoh-tokoh oposan kaum Muhajirin dan Anshar. Umar bin Khatthab telah menguasai kekhalifahan dengan kekuatan sehingga pertemuannya dengan tokoh-tokoh sahabat menjadi terhambat. Quraisy jahiliah telah berhasil mewujudkan kemenangan secara politis untuk yang ke sekian kalinya. Sekali lagi, rencana mereka untuk tidak memberikan hak dan ruang kepada Bani Hasyim terlaksana dan Umar bin Khatthab sebagai lokomotifnya mampu melaksanakannya dengan baik dan lebih kokoh.

Ali bin Abi Thalib sendiri tidak bangkit untuk meminta kembali haknya yang dirampas setelah menyaksikan perilaku penguasa dan masyarakat yang tidak juga sadar apa yang harus diperbuat sementara penyimpangan terus terjadi. Ali bin Abi Thalib tidak punya cara lain kecuali menjadi penasihat tepercaya khalifah baru. Tanggung jawab Ali bin Abi Thalib sekarang lebih berat dari sebelumnya. Ia sekarang menjadi orang tepercaya atas keselamatan Islam dan umatnya. Ali bin Abi Thalib berusaha untuk berbuat sesuatu kepada masyarakat umum sesuai dengan kemampuannya. Ia melakukan usaha-usaha yang lebih dibandingkan dengan apa yang dilakukannya di zaman Abu Bakar mulai dari bidang pendidikan hingga peradilan. Luas teritorial Islam semakin melebar yang dengan sendirinya memunculkan banyak peristiwa baru yang tidak mampu dijawab oleh khalifah baru dan pendukungnya. Tidak ada yang mampu menyelesaikan masalah-masalah ini selain orang yang dijaga oleh Allah dari perbuatan salah dan dosa dan itu adalah Ali. Oleh karenanya Umar bin Khatthab bin Khatthab bersikap lebih bisa bekerja sama dengan Ali bin Abi Thalib, menghormati pendapatnya dan melaksanakan hukum yang diputuskannya, bahkan diriwayatkan bahwa berkali-kali dan di tempat yang berbeda-beda dan sulit ia berkata, 'Allah tidak akan membiarkan aku tetap hidup menghadapi sebuah masalah tanpa ada Abu Al-Hasan (Ali bin Abi Thalib).

Diriwayatkan bahwa Umar bin Khatthab pernah berkeinginan merajam seorang wanita gila yang dituduh telah berbuat zina. Imam Ali bin Abi Thalib menggagalkan hukum tersebut. Ali bin Abi Thalib mengingatkan sebuah hadis Rasulullah saw, 'Tidak diperhitungkan (diazab) tiga kelompok manusia; orang gila sampai sembuh, orang yang tidur hingga terbangun dan seorang anak hingga berakal (balig).' Mendengar itu Umar bin Khatthab berkata, 'Seandainya Ali bin Abi Thalib tidak ada, niscaya Umar bin Khatthab telah celaka.


Bentuk-bentuk perilaku Umar bin Khatthab
1. Sikap keras yang ditonjolkan ketika berhubungan dengan masyarakat memunculkan rasa takut di hati semua orang. Salah satu dari contoh sikap kerasnya muncul pada kejadian ketika seorang wanita hamil menanyakan sebuah masalah kepada Umar bin Khatthab. Dikarenakan rasa takut yang sangat kandungannya pun gugur. Wanita tersebut menceritakan kekerasan sikap Umar bin Khatthab kepada kelompoknya membuat mereka murtad dan lari ke negara Roma.

2. Adanya pembedaan dalam pemberian kepada kaum muslimin. Umar bin Khatthab membedakan satu dari yang lainnya berdasarkan patokan yang tidak pernah ada landasannya dari Nabi dan Al-Quran bahkan dapat dikatakan dasar pembagiannya dengan alasan kesukuan. Salah satu dampak yang muncul dari kebijakan ini adanya kelas masyarakat. Orang-orang ramai menyusun nasab dan membagi-bagi kabilah berdasarkan prinsip-prinsip yang mengakibatkan kebencian orang-orang yang baru masuk Islam selailn Arab kepada orang-orang Arab. Perilaku ini sangat bertentangan dengan perilaku Rasulullah saw dan Abu Bakar.

Umar bin Khatthab pada akhir hayatnya menyesali kebijakan yang diberlakukannya ketika melihat dampaknya yang merusak pada kebanyakan sahabat. Ia tidak senang dengan akibat yang terjadi. Ia berkata, 'Bila aku menerima kekhalifahan niscaya aku tidak akan meninggalkannya sampai aku mengambil kelebihan harta dari orang-orang kaya dan kuberikan kepada kaum fakir miskin.

3. Tidak teliti dan obyektif dalam memilih pejabat berdasarkan prinsip-prinsip Islam yang dapat memberikan legitimasi kepada pemerintahan Islam dan melindungi eksisitensi umat Islam. Ia memperbantukan orang-orang yang bejat dan tidak memiliki keikhlasan dalam beragama. Umar bin Khatthab bersikeras dengan kebijakan ini untuk menjauhkan apa saja yang ada hubungannya dengan kekhalifahan seperti Imam Ali bin Abi Thalib dan pendukungnya yang senantiasa bersamanya.

4. Tidak melakukan pengawasan kepada Muawiyah yang menyebabkan Muawiyah memperkuat pengaruhnya dan membiarkannya melakukan apa saja yang diinginkan selama bertahun-tahun. Hal ini membantu Muawiyah untuk bersikap zalim dan memerdekakan pemerintahannya di Syam pada zaman kekhalifahan Usman bin Affan. Hal ini berdasarkan ucapan Umar bin Khatthab ketika menjustifikasi perbuatan Muawiyah: Muawiyah adalah kaisar Arab.


Malapetaka syura (penetapan enam orang kandidat pemilih khalifah)
Bila Saqifah dan baiat Abu Bakar merupakan kondisi darurat, semoga Allah melindungi kaum muslimin dari keburukannya, sebagaimana ucapan Umar bin Khatthab, maka syura adalah fitnah yang lebih besar dan lebih luas penyelewengannya dari arah risalah Islam. Masalah syura meletakkan kaum muslimin dalam cobaan yang sangat berat. Masalah yang menuai fitnah, kesulitan-kesulitan dan kehancuran. Masalah ini melemparkan kaum muslimin ke dalam lubang kejelekan yang sangat besar karena menjadi semakin transparan persekongkolan untuk mengenyahkan Ali bin Abi Thalib dari pemerintahan dan menyerahkan kepemimpinan umat Islam kepada orang-orang yang menyelewengkan kekuasaan.

Ketika Umar bin Khatthab semakin mendekati ajalnya ia mendapatkan kritikan keras. Dikatakan kepadanya, 'Jadikan kami sebagai khalifah. Umar bin Khatthab menjawab, 'Aku tidak akan menyerahkan masalah ini kepada kalian selama aku masih hidup dan setelah matiku. Ia melanjutkan, 'Bila aku ingin menunjuk seseorang sebagai khalifah maka telah melakukan hal itu orang yang lebih baik dari diriku (Abu Bakar). Dan bila aku ingin membiarkan kekhalifahan, maka telah membiarkan orang yang lebih baik dari ku (Rasulullah saw). Umar bin Khatthab lalu menyampaikan keinginan hatinya tentang sebagian orang yang menyertainya dalam perjuangan merebut kekhalifahan. Ia berkata, 'Seandainya Abu Ubaidah masih hidup aku akan mengangkatnya sebagi khalifah penggantiku karena ia orang yang paling tepercaya. Dan seandainya Salim budak Abu Hudzaifah masih hidup aku akan menunjuknya sebagai khalifah penggantiku karena ia adalah orang yang paling mencintai Allah. Dikatakan kepadanya, 'Wahai amir mukminin! Buatkan sebuah surat keputusan untuk penggantimu!

Umar bin Khatthab bin Khatthab berkata, 'Aku telah mengumpulkan, setelah aku menulis untuk kalian, beberapa orang dan salah satunya akan menjadi

khalifah kalian. Ia adalah orang yang paling layak yang akan membawa kalian kepada kebenaran, sambil menunjuk kepada Ali bin Abi Thalib. Aku dalam kondisi tidak sadar ketika aku melihat seorang memasuki surga dan telah menanam di sana. Ia mulai memetik setiap yang lemah dan berlubang dan dikumpulkannya kemudian berada di bawah tanamannya. Aku mengetahui bahwa Allah akan memenangkan urusannya dan menarik ajal Umar bin Khatthab. Aku tidak ingin menanggung masalah kekhilafiahan kepada kalian selama hidup dan mati. Kalian adalah orang-orang yang dipuji oleh Nabi dengan ucapannya, 'Mereka adalah ahli surga; Ali bin Abi Thalib, Usman bin Affan, Abdur Rahman bin 'Auf, Sa'ad, Zubeir bin Awam dan Thalhah bin Ubaidillah. Pilihlah salah satu dari mereka. Bila keenam orang ini telah menetapkan seorang pemimpin maka kalian harus berbuat baik dan membantunya. Umar bin Khatthab memerintahkan bawahannya untuk menyekap keenam orang tersebut hingga memilih salah satu dari mereka dalam jangka waktu tiga hari. Dan memerintahkan untuk memenggal leher siapa yang tidak setuju dengan suara mayoritas atau tidak setuju dengan kelompok yang di situ ada suara Abdur Rahman bin'Auf. Umar bin Khatthab juga mengangkat Suhaib sebagai imam jamaah salat selama tiga hari sampai umat Islam memiliki seorang khalifah baru. Umar bin Khatthab meminta untuk menghadirkan tokoh-tokoh kaum Anshar sekalipun tidak ikut urusan apapun. Ketika enam orang anggota syura telah berkumpul di hadapan Umar bin Khatthab, ia memberikan pengarahan sesuai pikirannya yang tidak menunjukkan transparansi sebuah petunjuk pemilihan yang dilakukan umat Islam dalam masa krisis. Umar bin Khatthab berkata, ' Demi Allah aku tidak punya alasan untuk tidak menjadikanmu sebagai khalifah wahai Sa'ad! Hanya saja kekakuan dan kekerasanmu sebagai tentara tidak memberiku izin untuk memilihmu. Wahai Abdur Rahman! satu alasan yang membuatku tidak memilihmu karena engkau adalah Firaunnya umat Islam. Wahai Zubeir! Engkau tidak kupilih menjadi khalifah karena engkau ketika rela akan sesuatu adalah orang mukmin sementara bila marah engkau seperti orang kafir. Sedangkan aku tidak memilihmu Thalhah! karena kecongkakan dan kesombonganmu, Seandainya engkau menjadi pemimpin engkau akan meletakkan keputusan terakhir di tangan seorang wanita. Wahai Usman bin Affan! Aku tidak memilihmu karena rasa kekabilahanmu yang sangat kental. Wahai Ali bin Abi Thalib! Aku tidak memilihmu karena alasan kerakusanmu terhadap kekhalifahan sekalipun engkau adalah orang yang paling tepat. Bila engkau menjadi khalifah engkau pasti akan menegakkan kebenaran dan mengantarkan kaum muslimin kepada kebenaran.


Keberatan terhadap syura
Sistem syura yang dirintis oleh Umar bin Khatthab tidak memiliki legitimasi kebenaran apapun bahkan memiliki beberapa poin yang saling kontradiksi. Ada beberapa poin yang tidak diperkirakan dengan detil dan obyektif:

1. Enam orang kandidat yang diusulkan untuk duduk dalam syura tidak memiliki kelebihan dengan dasar keutamaan sesuai aturan pemilihan di mana dalam undang-undang publik mereka tidak memiliki kesamaan untuk menjadi kandidat dan dipilih. Selain itu, penyebutan syura dalam sistem pemilihan yang seperti ini hanyalah semboyan kosong. Hal itu dikarenakan yang ada adalah mengusulkan seorang kandidat lewat sekumpulan orang yang kemudian menjadi kewajiban umat Islam untuk menerimanya. Oleh karenanya, perintah dikumpulkannya keenam anggota syura di bawah tekanan dan ancaman dibunuh bila tidak memilih seorang dari mereka.

2. Anggota syura berbeda satu dengan lainnya dalam kepribadian dan pemikiran. Setiap seorang dari mereka membawa suaranya sendiri-sendiri. Dengan melihat komposisi yang seperti ini bagaimana mungkin mereka dianggap mewakili suara umat? Perselisihan yang saling tindih di antara mereka setelah syura membuat kaum muslimin tercerai berai.

3. Penghinaan terhadap kaum Anshar dengan tidak memandang peran mereka. Umar bin Khatthab meminta mereka untuk hadir namun tidak punya hak untuk memilih. Suara sah hanya terbatas pada enam orang kandidat. Di sini yang menjadi pertanyaan adalah apa arti kehadiran mereka? Bahkan lebih dari itu, Umar bin Khatthab menghina umat Islam secara keseluruhan ketika ia berharap agar Salim dan Abu Ubaidah hidup agar dapat memimpin umat seakan-akan tidak ada yang mampu untuk memimpin.

4. Umar bin Khatthab pada dasarnya mengkritik dirinya sendiri dalam proses pemilihan anggota kandidat. Pada pertemuan Saqifah ia mengklaim dan memaksa bahwa kekhalifahan adalah hak Quraisy, sementara pada masanya ia berharap Salim budak Abu Hudzaifah hidup agar urusan kekhalifahan diberikan kepadanya. Sebagaimana ia hanya mengajak anggota syura tidak yang lainnya dengan alasan bahwa Rasulullah saw meninggal dalam keadaan rela terhadap mereka atau karena mereka adalah ahli surga. Namun, anehnya, pada saat yang bersamaan ia menyebutkan kejelekan-kejelekan mereka yang intinya tidak sesuai dengan kerelaan Nabi terhadap mereka apa lagi sebagai penduduk ahli surga. Umar bin Khatthab juga memerintahkan Shuhaib sebagai imam salat jamaah untuk seluruh kaum muslimin di masjid Nabi selama tiga hari dengan alasan bahwa imam salat tidak ada hubungannya dengan masalah kekhilafiahan dan bukan kelazimannya. Sementara pada peristiwa Saqifah ia berjuang mati-matian menjadikan Abu Bakar dengan alasan bahwa Abu Bakar menjadi imam salat, yang disangkanya, adalah salah satu bukti akan kelayakannya untuk menjadi khalifah.

5. Umar bin Khatthab berkeinginan menjadikan Ali sebagai khalifah dengan alasan bahwa Ali dapat membawa umat kepada arah yang lebih benar. Akan tetapi ia pernah bermimpi yang mengubah keputusannya dan menarik keinginan tersebut seakan-akan ia bermaksud untuk menjelekkan derajat dan posisi Ali bin Abi Thalib dan kelayakannya.

6. Umar bin Khatthab berkata, 'Aku benci menanggung kekhalifahan baik semasa hidup dan mati, namun ia berbalik dan menetapkan enam orang sebagai perwakilan, menurutnya, umat Islam. Perilaku ini masih menunjukkan kecenderungannya untuk menguasai umat bukannya sudah tidak mau lagi memerintah.

7. Pemilihan enam orang anggota syura tampaknya dengan maksud-maksud tertentu dengan kemungkinan bahwa kans Usman bin Affan untuk terpilih lebih besar dari Ali bin Abi Thalib sementara Ali adalah yang paling layak dengan legitimasi Allah dan rasul-Nya untuk memimpin umat. Terpilihnya Thalhah sebagai bentuk penegasan permusuhan mereka. Ali bin Abi Thalib sebelumnya dianggap oposan terhadap Abu Bakar dan kekhalifahannya sementara sekarang ia dipasang untuk bertarung dengan seorang kandidat baru bernama Thalhah. Ali bin Abi Thalib di hadapkan dengan Usman bin Affan sebagai bentuk penegasan permusuhan dengan Bani Umayyah dalam masalah kekuasaan. Yang baru kali ini adalah menghadapkan Ali bin Abi Thalib dengan Abdurrahman bin Auf dan Saad. Hal ini dikarenakan keduanya dari Bani Zuhrah yang masih ada hubungan kekeluargaan dengan Bani Umayyah. Keduanya pasti akan memberikan suaranya kepada Usman bin Affan bila bersaing dengan Ali bin Abi Thalib.

8. Perintah Umar bin Khatthab bin Khatthab untuk membunuh enam orang anggota syura ketika tidak ada kesepakatan atau malah tidak setuju. Pertanyaannya, bagaimana mungkin mengsinkronkan antara perintah ini dan ucapan Rasullah saw yang mengatakan beliau meninggal dan rela dengan keenam orang ini? Bukankah tidak menaati perintah Umar bin Khatthab sama artinya dengan mati?


Dialog Ibnu Abbas dengan Umar bin Khatthab seputar kekhalifahan
Diriwayatkan bahwa ada dialog yang terjadi antara Umar bin Khatthab dan Ibnu Abbas tentang masalah kekhalifahan.

Umar bin Khatthab berkata, 'Ketahuilah, Demi Allah! Sesungguhnya temanmu (Ali bin Abi Thalib) adalah orang yang paling layak menjadi khalifah setelah Rasulullah saw, sayangnya kami mengkhawatirkan darinya dua perkara. Ibnu Abbas bertanya, 'Kedua perkara tersebut apa, wahai amir mukminin? Umar bin Khatthab menjawab, 'Kekhawatiran pertama terkait dengan umurnya yang masih muda dan yang kedua kecintaannya kepada Bani Abdul Mutthalib'.

Di sebagian acara-acara Umar bin Khatthab duduk bersama orang-orang lain Abdullah bin Abbas. Umar bin Khatthab berkata kepadanya, 'Tahukah engkau wahai Ibnu Abbas, mengapa orang-orang tidak setuju kalian (Bani Hasyim) menjadi khalifah? Ibnu Abbas menjawab, 'Tidak. Wahai Amir Mukminin'. Umar bin Khatthab melanjutkan, 'Akan tetapi aku tahu'. Ibnu Abbas balik bertanya, 'Apa itu? Umar bin Khatthab menjawab, 'Quraisy tidak suka kenabian dan kekhalifahan kedua-duanya ada di Bani Hasyim. Untuk itu Quraisy menyiapkan manusia di sekelilingnya dan umat untuk melihat dan kemudian memilih mereka. Dan akhirnya, kebenaran dan kesuksesan milik mereka.

Mendengar itu, Ibnu Abbas langsung menjawab kembali, 'Apakah bila aku menjawab amir mukminin akan marah kepadaku? Umar bin Khatthab menjamin keselamatannya dengan ucapannya, 'Katakan apa yang kau inginkan!

Ibnu Abbas memulai ucapannya, 'Terkait dengan ucapanmu bahwa Quraisy tidak suka kenabian dan kekhalifahan berkumpul pada Bani Hasyim, maka Allah berfirman kepada sekelompok manusia, 'Demikianlah karena mereka benci dengan apa yang diturunkan oleh Allah sehingga amal perbuatan mereka menjadi sirna dan sia-sia'. Adapun ucapanmu, kami (Quraisy) menyiapkan orang-orang di sekeliling kami. Seandainya kami menyiapkan diri untuk menjadi khalifah itu karena kedekatan kami dengan Nabi. Akan tetapi itu tidak kami lakukan karena kami berakhlak dengan akhlak Rasulullah saw yang dipuji oleh Allah swt, 'Dan engkau (Muhammad) berada di atas akhlak yang agung'. Dan Allah berfirman kepada Nabi, 'Rendahkan hatimu di hadapan orang-orang mukmin yang mengikutimu'. Sementara ucapanmu, Quraisy akhirnya memilih khalifah untuknya dan sukses, maka aku ingin menukil ayat yang berbunyi, 'Dan Tuhanmu menciptakan sesuatu sesuai keinginannya dan memilih buat manusia apa yang terbaik'. Wahai amir mukminin! Engkau tahu bahwa Allah telah memilih yang terbaik dari hamba-Nya. Seandainya Quraisy melihat dan memilih sesuai dengan pilihan Allah mereka baru disebut berhasil dan sukses.

Mendengar penjelasan Ibnu Abbas, Umar bin Khatthab untuk sementara terdiam (ucapan Ibnu Abbas membuatnya sangat tidak nyaman) kemudian berkata, 'Wahai Ibnu Abbas! Terima kasih atas petunjukmu. Wahai Bani Hasyim! Hati-hati kalian mengingkari kenyataan ini (masalah Quraisy) dengan tipuan, namun kekhalifahan yang ada di tangan Quraisy tidak akan dilepaskan. Hati kalian tidak menerima karena kebencian yang tidak pernah hilang'.

Ibnu dengan sigap berkata, 'Sebentar wahai Amir Mukminin! Jangan engkau menyifati hati Bani Hasyim dengan penipu. Hati Bani Hasyim adalah hati Rasulullah saw yang telah disucikan. Mereka adalah Ahli Bayt yang telah diberi jaminan oleh Allah dengan firman-Nya, 'Sesungguhnya Allah berkehendak untuk menghilangkan kotoran dari diri kalian wahai Ahli Bayt dan mensucikan kalian sesuci-sucinya'.

Ibnu Abbas mengimbuhkan, 'Sementara kebencian. Bagaimana mereka tidak benci bila barang milik mereka dirampas dan dengan mata kepalanya melihat barang itu di tangan orang lain? Mendengar ucapan terakhir Umar bin Khatthab langsung naik pitam dan berteriak, pada saat itu ada sesuatu yang terjadi tapi disembunyikan, 'Siapa kau wahai Ibnu Abbas! Aku betul-betul benci mendengarkan ucapanmu. Sekarang, kuberitahu engkau sesuatu yang dapat membuat derajat dan kehormatanmu hilang dari sisiku'.

Ibnu Abbas bertanya, 'Apa itu wahai Amir mukminin? Beritahu aku bila itu merupakan kebatilan, maka tugas orang seperti ku untuk menyingkap dan menghilangkannya dari diriku. Bila itu adalah kebenaran niscaya derajat ku tidak akan turun dari sisimu'.

Umar bin Khatthab berkata, 'Aku mendengar kabar bahwa engkau sering mengulang-ulang kata ini, 'Kekhalifahan telah dirampas dari kami karena kedengkian dan secara zalim'.

Ibnu Abbas tidak bergeming dari tempatnya bahkan dengan penuh keberanian berkata, 'Betul, kedengkian. Kedengkian iblis terhadap Adam mengakibatkan ia dikeluarkan dari surga. Betul, kezaliman. Engkau tahu wahai amir mukmnin siapa pemilik yang sah dari kekhalifahan ini. Wahai Amir mukminin! Siapa dia? Bukankah Arab berargumentasi terhadap Ajam dengan kebenaran Rasulullah saw dan Quraisy berargumentasi di hadapan seluruh masyarakat Arab dengan kebenaran Rasulullah? Kami lebih berhak dengan Rasulullah saw dibandingkan seluruh Quraisy dan Arab lainnya'.

Umar bin Khatthab tidak mampu menahan dirinya lagi. Ia berkata, 'Pergi dari sini, wahai Ibnu Abbas! Saat Umar bin Khatthab bin Khatthab melihatnya tengah berdiri untuk menyelamatkan diri karena khawatir Umar bin Khatthab berbuat buruk terhadapnya, cepat Umar bin Khatthab dengan suara lembut berkata kepadanya, 'Duduk kembali wahai Ibnu Abbas! Aku masih memegang janjiku untuk melindungi hak mu.

Ibnu Abbas melirik ke arah Umar bin Khatthab untuk meyakinkan apakah ia serius atau tidak dengan ucapannya barusan dan kemudian berkata, 'Wahai Amir Mukminin! Aku memiliki hak atasmu dan seluruh kaum muslimin karena terkait dengan Rasulullah saw. Siapa yang menjaga hak itu pada dirinya maka ia telah menjaganya dengan sebaik-baiknya. Dan siapa yang menghilangkannya maka ia telah menghilangkan kewajibannya dari Rasulullah'.


Sikap Ali bin Abi Thalib dan Syura
Ali bin Abi Thalib merasa sangat sedih, keraguan dan kekhawatiran akan sikap Umar bin Khatthab dan idenya serta kandidat yang dipersiapkannya. Ali bin Abi Thalib merasa ada rencana makar dibalik semua ini untuk melenyapkannya dari kekhalifahan dan membelokkan pemerintah islam dari jalurnya yang sebenarnya. Ketika keluar dari tempat Umar bin Khatthab, ia bertemu dengan pamannya Abbas. Akhirnya ia menyampaikan apa yang terjadi:

'Wahai paman! Kekhalifahan telah disingkirkan dari kita. Abbas, pamannya, berkata, 'Siapa yang memberitahumu akan hal ini? Ali menjawab, 'Aku disandingkan dengan Usman bin Affan. Umar bin Khatthab sendiri berkata, 'Kalian harus bersama dengan suara terbanyak. Bila dua dari kalian menyetujui seseorang dan dua lainnya memilih yang lain, maka yang terpilih sebagai khalifah adalah kelompok dua orang yang ada Abdurrahman bin Auf di dalamnya. Sementara menurut perhitungan, Saad pasti ikut dengan anak pamannya Abdurrahman sedangkan Abdurrahman adalah ipar Usman bin Affan. Ketiga orang ini pasti satu suara. Kemungkinan yang bakal muncul adalah Usman bin Affan memilih Abdurrahman atau sebaliknya Abdurrahman memilih Usman bin Affan, dan seandainya kedua lainnya (Zubeir dan Thalhah) berpihak kepadaku maka tidak ada gunanya'.

Firasat Ali bin Abi Thalib ternyata benar. Kekhalifahan ternyata mempersiapkan Usman bin Affan lewat persekongkolan Abdurrahman. Diriwayatkan bahwa Saad memberikan hak suaranya di syura kepada anak pamannya Abdurrahman. Thalhah cenderung kepada Usman bin Affan dan memberikan hak suaranya kepadanya. Yang tertinggal adalah Zubeir. Ia memberikan hak suaranya kepada Ali bin Abi Thalib. Di sinilah puncak dari semua ketegangan apakah Abdurrahman akan memberikan suaranya kepada Usman bin Affan atau Ali bin Abi Thalib. Terjadi tarik menarik pendapat. Ammar berkata, 'Bila engkau tidak ingin umat Islam berselisih, maka baiatlah Ali bin Abi Thalib'. Ibnu Abi Sarh menolak sambil berucap, 'Bila engkau tidak ingin Quraisy berselisih pendapat, maka baiatlah Usman bin Affan'. Fanatisme kesukuan semakin membara sehingga dalam masalah kekhalifahan kembali lagi ditegaskan tentang itu dan sekali lagi, penyimpangan semakin jelas.

Abdurrahman akan memilih salah satu dari keduanya dengan memberi syarat. Syarat yang diusulkannya adalah supaya berjalan sesuai petunjuk Kitab Allah dan Sunah Nabinya serta Sirah Syaikhain (perilaku Abu Bakar dan Umar bin Khatthab). Ali bin Abi Thalib menolak syarat ketiga sementara Usman bin Affan menerimanya. Akhirnya, Usman bin Affan terpilih sebagai Khalifah dan yang lain berbaiat kepadanya.

Ali menyaksikan hal itu, berkata kepada Abdurrahman, 'Ia (Usman bin Affan) semakin dekat dengan zamannya. Persekongkolan pada hari ini bukan pertama kalinya kalian tunjukkan kepada kami. Hanya kesabaran hal yang paling indah. Hanya Allah tempat meminta pertolongan dari apa yang kalian perbuat'.

'Demi Allah! Apa yang engkau lakukan (mengikuti syura) karena memenuhi permintaan kedua tuanmu (Abu Bakar dan Umar bin Khatthab) untuk khalifah setelah keduanya. Semoga Allah mengetuk di antara kalian dengan kayu yang berbau harum'.

Ali bin Abi Thalib kemudian menengok kepada semuanya yang hadir sembari menjelaskan kesalahan yang kemudian berulang-ulang dalam masalah pemilihan khalifah dan pandangannya tentang arah risalah Islam. Ia berkata:

'Wahai manusia! Kalian tahu benar bahwa yang paling layak untuk menjadi khalifah adalah aku bukan yang lainnya. Hal yang telah terjadi kalian tahu semuanya. Demi Allah! Aku akan mengikuti apa yang kalian lakukan selama demi memperbaiki keadaan umat Islam dan cukuplah aku menjadi bulan-bulanan kezaliman kalian dan tidak kaum muslimin yang lain. Diamku terhadap apa yang kalian lakukan karena mengharapkan keutamaan dari Allah. Aku tidak ingin digolongkan kepada kalian dalam perilaku kezaliman dan kesenangan duniawi yang kalian lakukan dan cari'.

Imam Ali bin Abi Thalib masuk dan ikut bersama yang lain sebagai anggota syura dengan pengetahuan apa yang akan terjadi dengannya. Hal itu tetap dilakukan juga sebagai usaha darinya untuk menunjukkan ketidaksetujuannya terhadap Umar bin Khatthab dan pendukungnya sepeninggal Nabi. Semboyan mereka agar jangan sampai khilafah dan nubuwwah berkumpul di satu rumah. Sementara saat ini Umar bin Khatthab mengusulkan Ali bin Abi Thalib sebagai salah satu kandidat.

Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, 'Aku ikut masuk bersama anggota syura yang lain karena Umar bin Khatthab telah berubah pikirannya saat ini dan menganggap aku layak menjadi khalifah. Sementara sebelum ini ia berkata, 'Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda, 'Nubuwwah dan Imamah tidak dapat berkumpul di sebuah rumah. Aku mengikuti syura untuk menjelaskan kepada manusia bagaimana Umar bin Khatthab tidak lagi sesuai dengan ucapannya yang dahulu dan ucapannya tidak sesuai dengan perbuatannya'.

Ali bin Abi Thalib AS. melakukan baiat terhadap Usman bin Affan sebagai usaha untuk memperbaiki dan mengarahkan umat sekaligus menjaga eksitensinya. Ali bin Abi Thalib tidak segan-segan untuk turun langsung menasihati umat, menuntun dan mendidik sekalipun pemerintah tidak pernah melakukan bahkan menjauhkan masyarakat dari dirinya dan nilai-nilai Islam. Ali bin Abi Thalib tanpa kenal lelah dalam setiap kesempatan menjelaskan kebenaran dan menuntun masyarakat kepada kebenaran, membantu khalifah bila dibutuhkan, memberi tahu khalifah ketika tidak mengetahui satu masalah sekaligus melarang khalifah dari satu hal bila itu dilakukan tanpa memikirkannya matang-matang.


Mengapa Ali bin Abi Thalib tidak menerima syarat Abdurrahman?
Sikap Ali bin Abi Thalib sebagai oposan dua khalifah (Abu Bakar dan Umar bin Khatthab) tidak didasari oleh kepentingan pribadi. Apa yang dilakukan semata-mata untuk kepentingan agama, umat dan akidah Islam. Sikapnya juga tetap didasarkan pada Al-Quran dan Sunah Nabi karena keinginan dan kecintaan yang dalam terhadap kebenaran dan risalah Islam. Sikap yang diambil selama ini karena ia merasa sebagai pemimpin yang mengayomi risalah Islam dan Umat ketika Nabi Muhammad saw telah tiada dengan tujuan agar risalah Islam tidak terkotori oleh yang lainnya.

Sikap beliau menolak dibaiat karena adanya syarat mengikuti cara dan aturan dua khalifah sebelumnya (Abu Bakar dan Umar bin Khatthab bin Khatthab) muncul dari kesadaran yang tinggi terhadap Islam. Tidak terdapat dalam asli dan dasar akidah Islam sesuatu yang bernama Sirah Syaikhain. Yang ada dalam Islam hanyalah Al-Quran dan Sunah Nabi tidak lebih. Seandainya Imam Ali bin Abi Thalib AS. setuju dengan syarat yang diajukan Abdurrahman itu artinya ia setuju dan menjadikan Sirah Syaikhain sebagai salah satu sumber syariat seperti Sunah Nabi. Sementara dalam Sirah Syaikhain penuh dengan kontradiksi satu dengan yang lainnya bahkan antara keduanya dengan Al-Quran dan Sunah Nabi.

Kemudian lebih lanjut Imam Ali bin Abi Thalib melihat bahwa perannya setelah Nabi bagaikan seorang pembimbing umat Islam. Dengan ini predikat yang dimilikinya sangat tidak mungkin ia menyetujui untuk berlaku sesuai dengan Sirah Syaikhaian sehingga ia harus menolaknya. Sementara apa yang dilakukan Usman bin Affan dengan menerima syarat itu ia menjadi khalifah namun ia juga tidak berhasil melakukan sesuai dengan syarat yang diajukan selama masa pemerintahannya.


15
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib AS.

Imam Ali bin Abi Thalib di masa Usman bin Affan
Ali bin Abi Thalib menjelaskan masa pemerintahan Usman bin Affan dengan ucapannya:

'Sehingga orang ketiga dari khalifah itu memegang tampuk pemerintahan. Orang yang perutnya buncit karena banyak makan. Pekerjaannya antara ruang makan dan tempat buang air. Bersama-sama saudara-saudara seayahnya dari Bani Umayyah menguras Baitul Mal. Kerakusan mereka bagaikan unta kelaparan di musim semi memakan rerumputan. Kehidupan royalnya dilanjutkan sampai sabuk yang dipakainya putus (tidak mampu menahan perut yang semakin membesar) Perilaku dan kerakusannya membuat masyarakat bangkit membunuhnya'.

Usman bin Affan tidak seperti pendahulunya yang cerdik dalam masalah politik dan mampu mengatur pemerintahnya lebih baik. Setelah Abdurrahman bin Auf menyerahkan suaranya kepada Usman bin Affan dan ia terpilih sebagai khalifah, Usman bin Affan diarak menuju masjid Rasulullah saw untuk mengumumkan kebijakan politiknya untuk memperbaiki kondisi yang ada. Usman bin Affan naik ke atas mimbar dan duduk di atas tempat yang bisa dipakai oleh Nabi semasa hidupnya, padahal Abu Bakar dan Umar bin Khatthab bin Khatthab tidak berani melakukannya ketika mereka menjabat sebagai khalifah. Mereka berdua hanya berani duduk di undakan yang menuju tempat duduk Nabi. Usman bin Affan kemudian di atas tempat duduk Nabi berpidato. Sebagian sahabat berkata, 'Hari ini kejahatan telah lahir'.

Usman bin Affan bukan seorang yang ahli pidato. Ia tidak mampu berkata banyak di atas mimbar Nabi. Ia berkata, 'Amma Ba'du (selanjutnya), sesungguhnya pertama kali akan mengendarai sesuatu adalah sangat sulit. Di sisi lain, aku bukanlah seorang orator. Allah Maha Mengetahui. Sesungguhnya seseorang yang di antaranya dan Adam ada seorang ayah yang telah meninggal perlu dinasehati'.

Al-Ya'qubi menulis, 'Usman bin Affan berdiri dan untuk sementara waktu ia terdiam tidak berkata apapun. Kemudian ia membuka mulutnya dan berkata, 'Sesungguhnya Abu Bakar dan Umar bin Khatthab telah menyiapkan posisi ini sebelumnya. Kalian lebih membutuhkan seorang khalifah yang adil dari pada seorang khalifah yang hanya bisa berpidato. Bila kalian masih hidup maka ucapan dan pidatoku akan mendatangi kalian'. Kemudian Usman bin Affan turun dari mimbar'.

Usman bin Affan mulai menjalankan pemerintahannya dan melakukan kebijakan-kebijakan yang membuat mayoritas kaum muslimin marah dan membencinya kecuali keluarganya, Bani Umayyah. Ia dengan transparan menunjukkan sikap fanatisme kesukuannya dan menunjukkan kecondongannya kepada keluarga dan sekaligus mengumumkan bahwa ia adalah bagian dari keluarga besar Umayyah. Ia mulai mengangkat dan menokohkan anggota keluarga Umayyah di atas masyarakat yang lain. Posisi penting mulai diisi oleh Bani Umayyah tanpa mampu ditolak oleh kaum muslimin.

Usman bin Affan bin Affan telah melampaui batas dalam kebijakan rasisnya melebihi apa yang telah ditanamkan oleh Abu Bakar dan Umar bin Khatthab bin Khatthab. Quraisy tidak lagi yang memegang kendali pemerintahan namun dibatasi oleh Usman bin Affan pada Bani Umayyah saja.

Usman bin Affan tidak lagi menaruh perhatian kepada nasihat dan peringatan-peringatan para sahabat dan di atas semuanya ada Ali bin Abi Thalib. Benar, Usman bin Affan telah menguasai kekuasaan namun ia lupa untuk berkaca kepada pendahulunya dalam menjalankan pemerintahan atas dasar metode yang sah berdasarkan pemerintahan Islam. Elemen-elemen penting dan baik semakin lemah untuk dapat mengubah kebijakan pemerintah secara langsung. Kebijakan Abu Bakar dan Umar bin Khatthab pada masa pemerintahan mereka cukup berhasil menjauhkan Ali bin Abi Thalib dari kekuasaan dan kepercayaan rakyat atas pandangan dan tuntunannya. Akibatnya penyelewengan dan penyimpangan dari pemerintahan islami dan munculnya arus kebencian dan permusuhan terhadap Ahli Bayt semakin menjadi. Kondisi ini sangat menyulitkan usaha Ali bin Abi Thalib agar khalifah baru mau mendengarkan nasihat. Kondisi dipersulit dengan arus kaum munafik dan Quraisy yang memeluk Islam secara terpaksa ketika pembebasan kota Mekkah serta orang-orang yang punya kepentingan yang berada di sekelilingnya.


Sikap Abu Sufyan setelah pembaiatan Usman bin Affan bin Affan
Setelah selesai pembaiatan Usman bin Affan, Abu Sufyan berjalan mendekati rumah Usman bin Affan dan dengan berdesak-desakan dengan keluarga dan teman-teman Usman bin Affan ia maju dan menyampaikan awal kemenangan menguasai kekuasaan. Tampak wajahnya berbinar-binar menerima kemenangan ini dengan terpilihnya Usman bin Affan sebagai khalifah kaum muslimin. Mulutnya terbuka lebar dengan menandakan kebenciannya. Tampak kegeramannya mengingat bagaimana Islam telah menghina tokoh-tokoh mereka. Ia kemudian memalingkan wajahnya ke kiri dan ke kanan kemudian berkata kepada segenap yang hadir di rumah Usman bin Affan, 'Apakah ada orang lain selain keluarga dan teman-teman Bani Umayyah? Mereka serentak menjawab, 'Tidak'. Abu Sufyan kemudian melanjutkan, 'Wahai Bani Umayyah! Dengan cepat kalian telah meraih dan menguasai kekuasaan seperti menangkap bola. Demi Zat Abu Sufyan bersumpah atasnya! Tidak ada yang namanya surga dan neraka. Tidak pula ada perhitungan di hari kiamat dan tidak ada juga yang namanya pembalasan. Sejak dahulu aku selalu mengharap kekuasaan ini untuk kalian. Jadikan ini sebagai warisan untuk anak cucu kalian'.

Ia kemudian berjalan menuju kuburan pemimpin para syahid, Hamzah bin Abdul Mutthalib. Ia berhenti di samping kuburan sambil menendang kuburan Hamzah dengan kakinya sambil berkata, 'Wahai Abu 'Imarah! Apa yang selam ini engkau perjuangkan dengan pedangmu sekarang telah berada di tangan anak keturunan kami. Mereka menjadikannya sebagai barang mainan'.


Dampak negatif kebijakan pemerintahan Usman bin Affan
Ali bin Abi Thalib AS. selama hidup dengan Abu Bakar dan Umar bin Khatthab tidak pernah secara terbuka menunjukkan ketidaksetujuannya. Sebabnya tidak lain karena penyimpangan yang terjadi juga tidak terang-terangan. Bahkan dalam banyak kesempatan Ali bin Abi Thalib ikut campur tangan dalam usaha memperbaiki sikap dan posisi khalifah bila terjadi kesalahan dan itu diiakan oleh keduanya. Abu Bakar dan Umar bin Khatthab tidak khawatir karena Ali bin Abi Thalib memainkan peranannya hanya sebatas tokoh agama terhadap umatnya dan sebagai pemilik yang sah kekhalifahan dan pemimpin oposan bersama sebagian sahabat besar lainnya. Ali bin Abi Thalib siap untuk tidak melakukan kudeta terhadap pemerintah yang ada dan memberikan rasa aman kepada masyarakat sekalipun ia tidak akan mundur dari prinsip yang diwarisinya dari Rasulullah saw sebagai penjaga dan pelindung akidah Islam.

Sikap yang diambil oleh Ali bin Abi Thalib berbeda ketika Usman bin Affan mengambil alih pemerintahan sebagai khalifah baru. Pada pemerintahan Usman bin Affan, kefasadan telah menyebar luas dan secara perlahan-lahan kerusakan itu masuk pada struktur pemerintahan secara terang-terangan. Kerusakan moral ini akhirnya berpindah dan diadopsi oleh masyarakat Islam. Di sini, Ali bin Abi Thalib kemudian mengambil sikap secara terang-terangan menentang dan mengingkari kepemimpinan Usman bin Affan. Para sahabat besar banyak yang berdiri dan mendukung sikap Ali bin Abi Thalib seperti Ammar bin Yasir, Abu Dzar dan lain-lain, bahkan dukungan juga mengalir dari mereka yang sebelumnya tidak setuju dengan hak Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah sepeninggal Rasulullah saw. Mereka tidak setuju dengan kebijakan Usman bin Affan dalam mengatur negara dan kerusakan moral pemerintahannya. Di sini dapat dilihat secara global pemerintahan Usman bin Affan dan dampak buruknya:

Usman bin Affan menerima tampuk pimpinan ketika ia telah berumur tujuh puluh tahun. Batasan umur di mana seseorang sangat mencintai keluarga dan mau berkorban untuk mereka. Diriwayatkan ucapan Usman bin Affan, 'Seandainya aku memiliki kunci-kunci pintu surga niscaya aku akan memberikannya kepada Bani Umayyah sehingga mereka semua memasukinya'. Begitu juga, sebelum Islam, Usman bin Affan hidup dalam kondisi yang serba berkecukupan dan kondisi itu berlangsung setelah memeluk Islam. Oleh karenanya,ia tidak dapat merasakan betapa sulitnya orang-orang fakir miskin menjalani kehidupannya. Kepribadiannya betul-betul teruji ketika harus bersikap dengan sekelompok besar orang-orang miskin yang meminta keadilan dan persamaan darinya. Ia memperlakukan mereka dengan keras dan kasar sebagaimana perlakuannya kepada Abdullah bin Mas'ud, Ammar bin Yasir, Abu Dzar dan lain-lainnya.

Dari sisi keluarga ia sangat dekat dan bahkan menjadikan dan mengangkat mereka pada posisi-posisi penting. Ia mengangkat Al-Walid bin 'Uqbah bin Abi Mu'ith sebagai gubernur Kufah padahal ia termasuk orang yang diberitakan oleh Rasulullah sebagai ahli dan penghuni neraka. Usman bin Affan juga mengangkat Abdullah bin Abi Sarh sebagai gubernur Mesir, Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai gubernur Syam dan Abdullah bin 'Amir sebagai gubernur Bashrah. Usman bin Affan juga telah mencopot Al-Walid bin 'Uqbah dari jabatannya sebagai gubernur Kufah dan menggantikannya dengan Said bin Al-Ash.

Usman bin Affan adalah orang yang lemah terutama bila berhadapan dengan Marwan bin Al-Hakam. Usman bin Affan senantiasa mendengar ucapan dan menuruti keinginan Marwan. Hal itu terus berlangsung bahkan ketika terjadi konspirasi untuk menggulingkannya dan kondisi yang betul-betul telah kritis. Ketika keadaan telah kritis, Ali bin Abi Thalib masuk dan ikut campur tangan untuk meredakan ketegangan yang ada sampai berhasil memulangkan orang-orang yang melakukan demonstrasi menuntut perubahan dan perbaikan kebijakan pemerintahan terkait dengan kolusi dan korupsi yang telah menggerogoti pemerintah bahkan permintaan untuk menggantikan sebagian gubernur di sebagian tempat. Ali bin Abi Thalib berhasil mendapatkan janji Usman bin Affan untuk tidak lagi mendengar dan mengikuti ucapan Marwan bin Al-Hakam dan Said bin Al-Ash.

Sayangnya, setelah kondisi kembali menjadi tenang Marwan dan Said kembali mendekati Usman bin Affan dan memaksanya keluar dari rumah dengan disertai pengawal pribadi. Melihat hal itu, Imam Ali bin Abi Thalib AS. menuju Usman bin Affan dengan penuh kemarahan sambil berkata, 'Kau setuju dengan perkataan Marwan namun ia tidak pernah rela denganmu. Yang diinginkan dari mu adalah agar engkau menyimpang dari agama dan akalmu seperti unta yang dicocok hidungnya ikut ke mana saja pemiliknya pergi. Demi Allah! Marwan bukan orang yang agama dan jiwanya baik'.

Pada kesempatan lain, Usman bin Affan sangat marah kepada para saksi yang menyaksikan Al-Walid bin 'Uqbah yang ditengarai meminum khamar dan Usman bin Affan mengusir mereka. Mengetahui kejadian tersebut, Ali bin Abi Thalib mengancam Usman bin Affan dengan akibat yang bakal terjadi dengan perbuatannya ini. Ali bin Abi Thalib memerintahkan Usman bin Affan untuk menghadirkan Al-Walid untuk diadili dan bila terbukti benar untuk kemudian dihukum. Ketika Al-Walid dihadirkan dipersidangkan dan terbukti melakukan itu dengan kesaksian para saksi, Imam Ali bin Abi Thalib sendiri yang melaksanakan hukumannya yang membuat Usman bin Affan semakin bertambah marah. Ia berkata kepada Ali bin Abi Thalib, 'Engkau tidak punya hak untuk melaksanakan hukum tersebut kepada Al-Walid'. Ali bin Abi Thalib menjawab dengan logika yang kuat berlandaskan syariat Islam, 'Bahkan yang lebih buruk dari ini adalah bila seseorang berbuat kefasikan dan mencegah hak-hak Allah berlaku kepada orang yang berbuat fasik'.

Kebijakan Usman bin Affan dalam bidang keuangan adalah kepanjangan tangan kebijakan yang diberlakukan sebelumnya oleh Umar bin Khatthab yang memunculkan sistem kasta. Umar bin Khatthab membagikan dengan tidak adil kepada sebagian kelompok dan tidak kepada sebagian lainnya. Ketimpangan itu yang kemudian dilanjutkan dengan bentuk yang lebih ekstrim di zaman Usman bin Affan. Ia memberikan perhatian yang lebih kepada Bani Umayyah. Suatu waktu penjaga khazanah Baitul Mal mengajukan keberatannya kepada Usman bin Affan terkait dengan kebijakan keuangannya. Mendengar itu Usman bin Affan menjawab, 'Engkau adalah penjaga Baitu Mal kami. Bila kami memberikan sesuatu kepadamu maka ambillah dan bila kami diam maka engkau juga harus diam. Penjaga Baitul Mal kemudian menjawab, 'Demi Allah! Aku bukan penjaga Baitul Mal khalifah dan keluarganya melainkan penjaga harta kaum muslimin'. Pada hari Jumat ketika Usman bin Affan berkhotbah penjaga Baitul Mal berkata, 'Wahai kaum muslimin, Usman bin Affan menganggap bahwa aku adalah penjaga Baitul Malnya dan keluarganya. Aku ingin mengatakan di sini bahwa aku adalah penjaga Baitul Mal kaum muslimin. Ini adalah kunci-kunci Baitul Mal punya kalian'. Ia kemudian melemparkan kunci-kunci tersebut ke hadapan Usman bin Affan.


Sikap Ali bin Abi Thalib terhadap Usman bin Affan
Kaum muslimin semakin membenci Usman bin Affan karena perilakunya. Sahabat-sahabat terbaik Rasulullah saw semakin bersatu berhadapan dengan penyimpangan khalifah dan pejabat yang berada di bawahnya. Di seberang sana, Usman bin Affan mengerti dan mulai menyiksa para oposan terhadap kebijakannya yang menyimpang. Penyiksaan yang dilakukan sudah tidak lagi memandang para sahabat Rasulullah saw. Dari situ, ia kemudian menyiksa Abu Dzar salah satu sahabat terbaik Rasulullah saw karena seringnya melakukan protes terhadap kebijakan Usman bin Affan yang buruk. Usman bin Affan membuangnya ke Syam. Muawiyah sebagai gubernur Syam juga tidak mampu menahan protes Abu Dzar sehingga ia kemudian mengirimkan Abu Dzar kembali ke Madinah. Di kota Madinah, Abu Dzar kembali melakukan perjuangan dengan memprotes kebijakan buruk Bani Umayyah. Usman bin Affan semakin terpojok dengan manuver-manuver yang dilakukan oleh Abu Dzar sehingga ia akhirnya mengambil keputusan untuk mengasingkan Abu Dzar ke daerah bernama Rabadzah (sebuah tempat di Lebanon sekarang ini) dan melarang siapa pun untuk mengucapkan selamat jalan kepadanya.

Ali bin Abi Thalib dengan ringan mengantarkan Abu Dzar untuk mengucapkan selamat tinggal. Ali ditemani kedua anaknya Hasan dan Husein, Aqil, dan Abdullah bin Ja'far. Marwan bin Al-Hakam tidak setuju dengan sikap yang ditunjukkan oleh Ali bin Abi Thalib. Ia melakukan protes kepada Usman bin Affan agar mengembalikan mereka untuk tidak memberi ucapan selamat sekaligus mengantarkan Abu Dzar. Ali bin Abi Thalib bangkit dan kemudian menyerang Marwan. Ali bin Abi Thalib berhasil memotong kedua telinga binatang tunggangan Marwan. Setelah itu Ali bin Abi Thalib berteriak kepadanya, 'Coba halangi! Semoga Allah mengirimmu ke Neraka'. Ali bin Abi Thalib tetap bersikeras untuk mengucapkan perpisahan dan mengantarkan Abu Dzar sambil berkata kepada Abu Dzar, 'Wahai Abu Dzar! Sesungguhnya engkau bila marah karena Allah, maka aku berharap kemarahanmu ditujukan kepada mereka. Orang-orang pada takut padamu karena urusan dunia dan harta mereka sementara engkau takut pada mereka karena masalah agama mereka. Tinggalkanlah kepada mereka apa yang membuat mereka takut padamu kepada mereka (harta dan dunia). Pergilah engkau kepada ketakutanmu pada mereka (agama). Mereka lebih butuh dengan apa yang engkau larang (cinta dunia). Apa yang mereka larang kepadamu lebih berharga (agama). Engkau akan tahu siapa yang lebih beruntung di hari kiamat dan siapa yang lebih dengki!

Ketika Ali bin Abi Thalib kembali setelah mengantar Abu Dzar untuk mengucapkan salam perpisahan, orang-orang menyambutnya sambil berkata, 'Usman bin Affan sangat marah denganmu'. Ali menjawab, 'Biarkan kuda marah karena kekangannya'.


Dampak negatif pemerintahan Usman bin Affan terhadap umat Islam
Pemerintahan Usman bin Affan merupakan kelangsungan dari garis politik pemerintah yang tidak sadar dengan kandungan risalah Islam baik dalam perilaku maupun akidah. Kondisi ini meninggalkan efek-efek negatif dalam perjalanan pemerintahan Islam dan umat sebagai kesatuan. Hal itu ditambah dengan kerusakan dan tuduhan keji terhadap transparansi pemerintahan Islam di hadapan umat Islam yang tidak pernah hidup dengan seorang pemimpin yang maksum (Nabi Muhammad saw) kecuali selama satu dekade. Pada sepuluh tahun itulah umat melihat pemimpinnya sekaligus penguasa dan pendidik. Sementara api fitnah semakin berkobar luas di pinggiran negara Islam yang akan membawa malapetaka kepada umat Islam. Dengan memeriksa data-data sejarah dapat ditemukan beberapa kesimpulan seperti di bawah ini:

1. Kebijakan pemerintahan Usman bin Affan tidak sesuai dengan cara dan metode syariat Islam. Hukum-hukum tidak dijalankan secara baik, kefasadan dan kebobrokan semakin meluas sehingga para pejabat pemerintahan tidak mampu memperkecil dan memperbaiki kondisi yang telah buruk itu. Ini semua menjadikan keonaran dalam kehidupan bermasyarakat yang pada akhirnya memunculkan semangat untuk tidak lagi taat kepada hukum. Dampak buruk akibat munculnya kebusukan ini adalah kesembronoan dan tidak lagi memperhatikan nilai-nilai moral dan hukum-hukum Islam. Dengan mudah di rumah-rumah gubernur dan pejabat-pejabat tinggi dapat ditemukan pesta pora yang diisi dengan acara musik dan nyanyian yang disela-sela itu disuguhi khamar, minuman keras.

2. Pemerintah Usman bin Affan memfokuskan kebijakannya lewat semangat kesukuan yang sejak awal telah ditanamkan oleh Abu Bakar dalam kebijakan politiknya. Semakin jelas kekuasaan yang di dasari oleh kesukuan dengan lebih transparan dalam kekuasaan Bani Umayyah. Mereka bagaikan sebuah keluarga besar menguasai semua jabatan-jabatan penting. Hal itu dikarenakan mereka menganggap bahwa mereka adalah pemimpin mutlak di mana Islam mengambil dari mereka dan sekarang telah kembali kepada pemilik aslinya. Di sini sudah tidak ada lagi prinsip-prinsip berdasarkan syariat Islam. Bani Umayyah muncul sebagai kekuatan politik yang kuat. Kekuatan yang memusuhi Islam dan pada khususnya kepada Ahli Bayt Nabi. Bani Umayyah telah menjelma menjadi penghalang terbesar yang dapat menahan Ali bin Abi Thalib untuk dapat mengambil kembali haknya yang terampas. Bani Umayyah kemudian membentuk front di bawah pimpinan Muawiyah bin Abi Sufyan untuk menghadapi Ali bin Abi Thalib AS.

3. Pemerintahan Usman bin Affan menganggap bahwa kekuasaan adalah hak dan sebuah pemberian kepada mereka dan tidak seorang pun berhak untuk merampasnya dari mereka. Kekuasaan dijadikan alat untuk memenuhi keinginan dan kerakusan mereka yang dipenuhi oleh hawa nafsu yang sesat. Menurut mereka kekuasaan bukan untuk memperbaiki masyarakat dan menyebarkan Islam di muka bumi. Pandangan seperti ini sedikit banyaknya mempengaruhi banyak orang untuk berlomba-lomba berusaha menguasai pemerintahan. Karena kekuasaan akan memberikan kenikmatan, kekuatan dan derajat. Amr bin Al-Ash, Muawiyah, Thalhah dan Zubeir termasuk dalam kelompok ini. Mereka tidak lagi berusaha meraih kekuasaan dengan alasan mewujudkan tujuan kemanusiaan atau sosial yang manfaatnya kembali kepada umat Islam.

4. Pemerintahan Usman bin Affan berhasil menciptakan masyarakat kelas kaya yang cukup besar. Masyarakat ini selalu terancam kepentingannya bila pemerintahan yang ada menginginkan pemraktekan kebenaran dan hukum Islam. Permintaan yang muncul dari gerakan kaum miskin muslimin yang menuntut perubahan sistem keuangan dan lajunya kehidupan ekonomi serta pengaturan campur tangan ke dalam kehidupan pribadi. Gerakan Abu Dzar menentang pemerintah karena kebusukan kebijakan moneter merupakan sebuah bukti betapa dalamnya kegusaran masyarakat miskin di tengah umat.

5. Penggunaan kekerasan untuk meredam kritik bahkan penghinaan yang dilakukan menimbulkan reaksi yang tersumbat dan pada waktunya muncul sebagai kudeta militer. Pembunuhan Usman bin Affan adalah titik geser dalam konflik yang melingkar di antara pandangan yang ada di kaum muslimin. Masyarakat menjadikan tindakan kekerasan sebagai jalan keluar dari kebuntuan yang ada selam ini. Hal ini ditambah dengan sikap keras kepala dari Bani Umayyah dan pejabat-pejabat mereka yang senantiasa menantang kebenaran dan keinginan serta tuntutan masyarakat banyak untuk munculnya sebuah perubahan dan perbaikan.

Kondisi ini sekali lagi membuka kesempatan kepada mereka yang ingin mencari untung agar dapat sampai kepada kekuasaan dengan kekerasan dan kekuatan bersenjata setelah umat Islam tercerai berai pandangan hidup mereka satu dengan yang lainnya. Setiap kelompok yang ada menginginkan kekuasaan untuknya.

6. Pembunuhan Usman bin Affan meninggalkan pekerjaan rumah yang besar. Fitnah yang setiap saat dapat memanas dan membakar siapa saja setiap saat. Fitnah yang akan dimanfaatkan oleh mereka yang mempunyai kepentingan dan mereka yang keluar dari baiat sebagai semboyan untuk menyulut peperangan dan pertumpahan darah menghadapi pemerintahan sah yang dipimpin oleh Ali bin Abi Thalib lewat pemilihan oleh masyarakat Islam. Fitnah ini kemudian dikemas sedemikian rupa dan menjadi sempurna di tangan Muawiyah setelah itu. Ia memerangi Ali bin Abi Thalib dan terjadilah pertumpahan darah yang mengakibatkan banyak kaum muslimin yang mati. Tidak itu saja, dengan fitnah yang terjadi mereka memanfaatkannya untuk menyesatkan perhatian kaum muslimin kepada agama yang benar dengan budaya yang digerakkan oleh sebuah masyarakat dengan tujuan melanjutkan kekuasaan kerajaan. Luasnya wilayah pemerintahan Islam sangat membantu mereka dikarenakan itu berarti banyaknya jumlah kelompok dalam masyarakat Islam yang tidak memahami akidah Islam dengan benar dan dengan kesadaran.

7. Salah satu hasil dari kudeta yang dilakukan terhadap Usman bin Affan adalah munculnya kelompok-kelompok bersenjata di sekitar kota-kota Islam yang kemudian mengepung Madinah. Mereka menunggu pemerintahan Islam pada akhirnya akan ke mana. Kejadian-kejadian yang ada memberikan ruang kepada masyarakat untuk melakukan tindakan-tindakan bersenjata untuk mengubah pemerintahan yang ada. Semua ini menjadi kartu as yang memiliki kekuatan untuk menekan pemerintah yang baru.


16
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib AS.

Bab IV: Imam Ali bin Abi Thalib AS. setelah pembunuhan Usman bin Affan

Kaum muslimin membaiat Ali bin Abi Thalib
Kekacauan menguasai kota Madinah setelah pembunuhan Usman bin Affan. Semua mata mengarah kepada Ali bin Abi Thalib. Hanya Ali bin Abi Thalib yang mampu menyelamatkan umat Islam. Tak ada seorang pun yang berani mengklaim dirinya lebih berhak menjadi khalifah setelah perjalanan kekhalifahan menemui berbagai masalah sulit. Situasi politik juga tidak memberi kesempatan kepada Usman bin Affan untuk mengambil sikap menentukan khalifah setelahnya sebagaimana yang telah dilakukan oleh kedua khalifah pendahulunya. Empat kandidat lainnya yang tersisa tidak merasa memiliki kelayakan untuk menjadi khalifah. Sekali lagi hal itu dikarenakan kondisi negara dan pemerintahan yang semakin kompleks. Negara dan pemerintah membutuhkan seorang pemimpin yang memiliki kekuatan yang dapat membangkitkan kembali umat Islam setelah kemunduran dan kemerosotan. Umat membutuhkan seorang pemimpin yang mampu mengatasi krisis dan melindungi umat dari kehancuran. Pemimpin dengan kriteria tersebut hanya dimiliki oleh Ali bin Abi Thalib AS.

Seluruh kaum muslimin bergerak menuju Ali bin Abi Thalib dan memaksanya untuk menerima tongkat estafet kekhalifahan. Namun Imam Ali bin Abi Thalib menerima mereka dengan keraguan. Mereka telah mencampakkan dirinya dari kekhalifahan sementara ia adalah pemilik aslinya. Saat ini mereka datang memintanya menjadi khalifah setelah terjadi penyimpangan yang cukup dalam dan setelah semua mengalami kebingungan dan masalah yang sang saling tumpang tindih telah sedemikian mengakar tanpa memiliki jalan keluar. Pada akhirnya Ali bin Abi Thalib berkata kepada mereka, 'Kalian tidak membutuhkanku untuk menyelesaikan permasalahan yang kalian hadapi. Aku bersama kalian, siapa saja yang kalian pilih aku pasti akan menerimanya, maka gunakanlah hak pilih kalian. Ali kemudian menambahkan, 'Bila kalian tidak melakukannya, dan tetap memaksa untuk memilih aku, maka aku lebih baik menjadi pembantu khalifah ketimbang menjadi khalifah'.

Imam Ali bin Abi Thalib AS. menjelaskan kepada mereka akan apa yang bakal terjadi, 'Wahai kaum muslimin kalian sedang menghadapi masalah yang memiliki banyak penafsiran di mana hati sulit untuk meyakininya dan akal tidak mampu bersamanya'. menghadapi paksaan kaum muslimin untuk menjadikannya sebagai khalifah pada akhirnya Ali bin Abi Thalib menerimanya seraya berkata, 'Aku menerima menjadi pemimpin kalian. Namun, aku akan berbuat sesuai yang aku ketahui. Bila kalian meninggalkan aku maka aku hanyalah salah satu dari kalian tidak lebih. Ketahuilah! Aku lebih mengetahui dan lebih taat dari orang yang kalian pilih sebelumnya'. Kaum muslimin semakin bertambah jumlahnya yang menghendaki Ali bin Abi Thalib menerima kekhalifahan. Hal itu tergambar pada ucapannya, 'Pada hari pembaiatan mayoritas masyarakat muslim berduyun-duyun mengitari diriku. Saking banyaknya jumlah orang yang ingin berbaiat sehingga hampir saja Hasan dan Husein terinjak-injak oleh mereka dan sorbanku ditarik-tarik sehingga sobek dari dua bagian. Aku seperti merasa di tempat peternakan di mana masyarakat seperti sejumlah besar kambing dan aku sebagai penggembala'.

Imam Ali bin Abi Thalib tidak rakus akan kekuasaan, namun ia sangat berharap mampu menyelamatkan yang tersisa dari umat Islam, dan melindungi syariat Islam dari penyimpangan. Ali bin Abi Thalib menerima kekhalifahan namun meminta waktu hingga keesokan harinya untuk memberikan jawaban dan meminta agar baiat kaum muslimin dilakukan secara terbuka di masjid, menolak metode baiat Saqifah (pemilihan Abu Bakar), wasiat (pemilihan Umar) dan syura (pemilihan Usman). Dan pada waktu yang bersamaan Ali bin Abi Thalib memberikan kesempatan lagi kepada umat untuk menguji emosi dan kemantapan umat Islam untuk tunduk kepadanya. Sebelumnya teks-teks Nabi yang berkenaan dengan penegasan kekhalifahan dirinya telah disingkirkan oleh umat yang menyebabkan mereka tersesat. Dari sini Ali bin Abi Thalib berkata, 'Demi Allah! Aku tidak mendekati kekhalifahan kecuali karena khawatir akan niat buruk kepada umat Islam dari kambing-kambing gunung yang kafir dari Bani Umayyah yang siap mempermainkan Kitab Allah'.

Kondisi kritis berkat penetrasi Bani Umayyah di pusat-pusat pemerintahan dan ketamakan mereka yang luar biasa akan kekuasaan saat hilangnya kesadaran akan Islam di masyarakat Islam.

Menjelang keesokan harinya mayoritas kaum muslimin mengerubungi Imam Ali bin Abi Thalib AS. yang berjalan ke arah masjid. Dia naik ke atas mimbar dan berpidato, 'Wahai kaum muslimin! Masalah kekhalifahan ada di tangan kalian. Tidak ada seorang pun yang berhak selain orang yang kalian pilih. Kemarin, kita telah berpecah belah dan aku sangat membenci menjadi khalifah bagi kalian dalam kondisi seperti itu. Aku enggan memerintah kalian. Ketahuilah, Aku tidak berhak untuk mengambil harta kalian. Bila kalian ingin aku duduk saja untuk kalian. Bila tidak maka aku tidak akan mengambil apapun dari kalian'.

Semua yang hadir berteriak dengan suara yang satu dan lantang, 'Perilaku kami yang meninggalkanmu sebagai pemimpin pada waktu yang lalu. dan mereka menambahkan, 'Sekarang kami membaitmu berdasarkan kitab Allah. Ali bin Abi Thalib kemudian menuntaskan omongan mereka dengan berkata, 'Ya Allah Engkau adalah saksi atas apa yang mereka ucapkan'.

Orang-orang berdesak-desakan bagaikan gelombang menuju Ali bin Abi Thalib untuk membaiatnya. Orang pertama yang membaiat Ali bin Abi Thalib adalah Thalhah, ia pula yang paling pertama melanggar sumpah setianya dan memerangi Ali. Orang kedua yang membaiat Ali adalah Zubeir. Kemudian secara berturut-turut mereka yang ikut di perang Badar, kaum Muhajirin dan Anshar yang diikuti oleh masyarakat lainnya yang berasal dari luar.

Pembaiatan Ali bin Abi Thalib adalah contoh pertama pemilihan umum. Hal yang tidak pernah dialami oleh ketiga khalifah sebelumnya. Kaum muslimin sangat gembira dengan baiat yang mereka lakukan. Harapan mereka adalah dengan Ali bin Abi Thalib akan terbentuk pemerintahan yang sah dan adil, kekhalifahan adalah penolong kaum lemah dan tertindas. Umat begitu gembira ketika Ali bin Abi Thalib menerima kekhalifahan sebagaimana yang diceritakan oleh beliau dalam ucapannya, 'Pembaiatan kaum muslimin terhadapku membuat mereka begitu gembira. Anak-anak terlihat senang sementara orang-orang tua badan mereka bergetar saking gembiranya. Semua orang sangat berhasrat untuk melakukan baiat bahkan orang sakit'.



Para pelanggar baiat
Sudah menjadi hal yang alami akan ada individu-individu yang berseberangan dengan kebenaran dengan berbagai alasan yang dimiliki; lemahnya keyakinan, adanya kedengkian dan kepentingan. Sekalipun Imam Ali bin Abi Thalib adalah khalifah yang sah seperti disebutkan dalam riwayat-riwayat dan sejarah Islam pun menegaskan hal itu bahwa Ali bin Abi Thalib adalah sebaik baik orang yang melindungi umat dan Islam sepeninggal Nabi. Ali bin Abi Thalib memiliki potensi dan kelayakan untuk itu dibandingkan kaum muslimin yang lain. Terlihat bagaimana umat Islam menerima dan membaiatnya dengan senang hati. Akan tetapi ada sekelompok kecil kaum muslimin yang sesat dan pengecut dalam menghadapi kebenaran dan mulai kembali dan mengingkari baiat yang telah dilakukan.

Pengingkaran kelompok kecil ini sedikit banyaknya merusak kesepakatan umat dan sebuah tantangan atas baiat yang telah dilakukan. Untuk itu mereka mulai mencari cara baru untuk menyebarkan fitnah dan usaha agar senantiasa terjadi konflik internal antar sesama kaum muslimin. Orang-orang itu antara lain Saad bin Abi Waqqas, Abdullah bin Umar, Kaab bin Malik, Muslimah bin Mukhlid, Abu Said Al-Khudri, Muhammad bin Muslimah, Nu'man bin Basyir, Rafi' bin Khadij, Abdullah bin Salam, Kudamah bin Mazh'un, Usamah bin Zaid, Al-Mughirah bin Syu'bah, Suhaib bin Sinan dan Muawiyah bin Abi Sufyan.

Sebagian dari mereka kemudian menyesali pelanggaran atas baiat yang telah dilakukan. Imam Ali bin Abi Thalib menerima taubat mereka tanpa sedikit pun melakukan tindakan balas dendam. Ali bin Abi Thalib menyerahkan penilaian terhadap mereka ke tangan umat Islam.



Halangan-halangan dalam perjalanan pemerintahan Imam Ali
Imam Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah kaum muslimin setelah seperempat abad diasingkan dari arena politik dan kepemimpinan akan umat. Keduanya, politik dan kepemimpinan umat telah menyimpang dari kebenaran selama dua puluh lima tahun. Penyimpangan selama seperempat abad ini adalah faktor penghambat terbesar yang melemahkan setiap pengambilan Keputusan dalam menghadapi peristiwa-peristiwa yang terjadi di zaman pemerintahannya. Selama dua puluh lima tahun orang-orang telah terbiasa melihat Ali sebagai rakyat biasa bukan penguasa. Menjadi rakyat biasa di tangan orang-orang yang kualitasnya di bawah dirinya. Sebagaimana juga pada sejumlah orang telah tumbuh rasa untuk berlomba-lomba mencapai kekuasaan untuk mewujudkan kepentingan pribadi. Zubeir adalah contohnya. Zubeir ketika di Saqifah adalah seorang yang memperjuangkan hak Imam Ali bin Abi Thalib di hadapan kelompok yang ingin meraih kekuasaan, namun setelah itu ia menjadi penentang Imam Ali untuk meraih kekuasaan. Begitu juga Muawiyah, At-Thaliq ibnu At-Thaliq (ia dan ayahnya termasuk yang masuk Islam karena adanya amnesti dari Rasulullah dan mereka yang diberi amnesti disebut At-Thaliq), setelah beberapa tahun memerintah menjadi sebuah kelompok yang kuat yang dapat mengancam pemerintah pusat.

Salah satu penghalang gerakan reformasi Imam Ali bin Abi Thalib adalah adanya sekumpulan sahabat yang mengambil posisi sebagai oposannya garis sesat yang sebagian besar mereka merupakan sahabat Rasulullah saw. Kedekatan mereka dengan Rasulullah sebelumnya yang membuat banyak orang tertipu dan membuat masalah menjadi sedemikian kompleks untuk keberlangsungan pemerintahannya.

Sebagai tambahan, luas wilayah pemerintahan Islam di masa pemerintahan Abu Bakar tidak lebih dari Jazirah Arab dan Irak. Sementara pada zaman khalifah Ali bin Abi Thalib AS. luas teritorial pemerintahan Islam telah mencakup Afrika Utara, Asia Tengah ditambah seluruh Jazirah Arab, Irak dan Syam. Yang masuk Islam pun semakin beragam. Mereka yang baru masuk Islam sebelumnya melakukan perjanjian dengan Islam di bawah pemerintahan yang tidak sah dan maksum, bahkan pemerintahan yang telah menyimpang dari ajaran yang asli dari Islam. Imam Ali bin Abi Thalib ketika menjadi khalifah, pekerjaan pentingnya adalah mengembalikan pamor pemerintahan Islam sesuai dengan ajaran Islam dengan cepat sekalipun ada pertikaian-pertikaian internal kaum muslimin sebagai berikut:

1.Menghancurkan sistem kelas sosial berdasarkan kesukuan yang dicanangkan khalifah-khalifah sebelumnya dengan cara:

a. Tidak adanya perlakuan khusus bagi sebuah golongan tertentu. Semua diperlakukan secara sama dalam pemberian dari Baitul Mal. Ini sesuai dengan Sunah Rasul saw yang kemudian diacuhkan oleh para khalifah sebelumnya. Ali bin Abi Thalib telah menjelaskan dalam khotbahnya tentang kebijakan distribusinya yang bersumber dari hukum Allah 'Sesungguhnya yang paling mulia dari kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa'. Imam Ali bin Abi Thalib AS. berkata, 'Ketahuilah, setiap orang menjawab seruan Allah dan Rasul-Nya kemudian ia membenarkan agama kami, dan masuk dalam agama kami, mengarah pada kiblat yang sama dengan kami, maka hak-haknya secara Islam harus dipenuhi. Kalian adalah hamba-hamba Allah. Harta yang ada adalah milik Allah. Harta tersebut akan dibagikan kepada kalian secara sama. Tidak ada seorang pun yang akan diperlakukan secara khusus sehingga mendapatkan lebih dari yang lain. Kelak, orang yang bertakwa akan mendapat balasan yang lebih baik di sisi Allah'.

b. Menarik kembali harta-harta yang dibawa lari dari Baitul Mal di zaman Usman bin Affan. Imam Ali bin Abi Thalib AS. mengumumkan bahwa harta apa saja yang diambil dari Baitul Mal secara tidak sah, sangat banyak terjadi di zaman Usman bin Affan, harus dikembalikan. Harta yang disebut Imam Ali bin Abi Thalib lebih banyak berada di kelompok yang selalu mendekati dan mengitari khalifah dan Usman bin Affan memang memanjakan mereka agar tetap loyal dengannya. Imam Ali bin Abi Thalib berkata, 'Ketahuilah, setiap apa saja yang diambil oleh Usman bin Affan dan setiap harta yang diberikan kepada orang lain dan itu berasal dari Baitul Mal, maka itu semua harus dikembalikan. Kebenaran tidak bisa dianulir oleh apapun sekalipun aku menemukannya telah dipakai untuk biaya perkawinan, pembelian budak dan telah dibagi di negeri-negeri niscaya aku akan mengembalikannya. Dalam keadilan ada kelapangan. Barang siapa yang melihat keadilan membuat hidupnya sempit maka berbuat kezaliman lebih sempit lagi buatnya'.

Kebijakan moneter yang diterapkan Imam Ali bin Abi Thalib membuat gerah Quraisy. Sejumlah tokoh Quraisy yang terkena peraturan Imam Ali bin Abi Thalib tidak taat dengan perintah tersebut bahkan bersikap sombong dan tetap merasa sebagai orang-orang terpandang, seperti: Marwan bin Al-Hakam, Thalhah dan Zubeir. Mereka percaya betul bahwa Imam Ali bin Abi Thalib secara serius akan melaksanakan keputusannya. Melihat itu mereka mulai melakukan manuver-manuver untuk menciptakan fitnah terhadap pemerintahan Imam Ali bin Abi Thalib. Suatu hari, Thalhah dan Zubeir mendatangi Imam Ali bin Abi Thalib mengkritik kebijakannya. Akhirnya terjadi dialog di antara mereka. Keduanya berkata, 'Kami memiliki hubungan kekerabatan dengan Rasulullah saw, termasuk yang dahulu masuk Islam dan melakukan jihad. Dengan berpatokan pada itu, mengapa engkau memberikan kepada kami dari Baitul Mal dengan bagian yang sama dengan orang lain. Umar dan Usman tidak pernah memberikan kami sama dengan yang lainnya. Mereka pasti memperlakukan kami secara khusus dengan memberikan kepada kami lebih dibandingkan yang lain.

Imam Ali bin Abi Thalib dengan tenang menjawab, 'Ini adalah Al-Quran. Kalian berdua lihat sendiri berapa bagian kalian dan ambillah sesuai dengan hak kalian. Mereka menyela, 'Tapi kami termasuk orang yang paling dahulu masuk Islam? Ali menjawab, 'Dibandingkan denganku? Mereka serentak menjawab, 'Tidak'. Tapi kekerabatan kami dengan Nabi! Ali menjawab lagi, 'Lebih dekat dari kekerabatanku dengan Nabi? Kembali mereka menjawab, 'Tidak'. Namun bagaimana dengan jihad dan perjuangan kami? Ali sekali lagi berkata, 'Jihad kalian lebih dariku? Serempak mereka berdua menjawa, 'Tidak'. Imam Ali bin Abi Thalib AS. kemudian berkata, 'Demi Allah! Bagian dan upahku sama dengan yang lainnya'.

c. Persamaan di depan hukum Allah:

Imam Ali bin Abi Thalib AS. tidak pernah lupa dengan penerapan syariat sekalipun di zaman khalifah sebelumnya. Ia selalu menghukumi dan memutuskan dengan benar dan adil ketika yang lain tidak mampu melakukannya. Hal yang sama dilakukannya ketika menjabat sebagai khalifah muslimin sehingga ia dikenal dan dijadikan contoh sebagai orang yang paling wara' dan takwa dalam kelompok orang-orang yang ingin menegakkan keadilan dan kebenaran. Imam Ali bin Abi Thalib adalah manifestasi keadilan syariat ilahiah dan kekuatan Islam yang mampu mendirikan negara yang berisi kebebasan, keamanan dan keadilan. Untuk mewujudkan keadilan, Imam Ali bin Abi Thalib tidak merasa berat untuk melaksanakan hukum baik bagi dirinya, keluarga dan sahabat-sahabatnya. Salah contohnya adalah ketika seorang Yahudi mengadukannya ke peradilan dalam masalah baju perang Imam Ali bin Abi Thalib yang hilang.

Pemutusan hukum yang dilakukan oleh Imam Ali bin Abi Thalib bersumber dari kedalaman syariat Islam dan keluasan ilmu beliau tentang agama dan masalah-masalah keduniaan. Hal itu menunjukkan keterjagaannya (ishmah) dalam berpikir dan berbuat.

2. Pengaturan sistem manajemen dan pengembalian kewibawaan negara secara terpusat:

Imam Ali bin Abi Thalib AS. ketika menjadi khalifah mulai mencopot satu persatu gubernur-gubernur yang diangkat oleh Usman bin Affan. Ali bin Abi Thalib menggantikan mereka dengan orang-orang yang lebih layak dan mampu bekerja. Mereka adalah orang-orang yang dipercayai oleh kaum muslimin. Ali kemudian melantik dan mengutus Usman bin Hanif Al-Anshari menggantikan Abdullah bin 'Amir di propinsi Basrah. Untuk daerah Kufah Ali mengirim Imarah bin Syahab sebagai pengganti Abu Musa Al-Asy'ari. Ubaidillah bin Abbas dikirim ke Yaman menggantikan Ya'la bin Munabbih. Abdullah bin Saad yang sebelumnya diangkat oleh Usman sebagai gubernur Mesir digantikan oleh Ali bin Abi Thalib dengan mengirim gubernur barunya yang bernama Qais bin Saad bin Ubadah. Tidak lupa dikirim ke Syam seoang gubernur baru bernama Sahl bin Hanif sebagai pengganti Muawiyah bin Abi Sufyan. Semua ini dilakukan oleh Imam Ali bin Abi Thalib karena kebusukan pemerintahan sebelumnya dan tidak sehatnya manajemen pemerintah. Usman telah mengangkat Ya'la bin Munabbih sebagai penjaga Baitul Mal di Yaman namun yang dilakukannya adalah membawa lari semua harta yang ada. Di sisi laiin, Muawiyah bersikeras untuk tetap berkuasa di Syam dan tidak taat kepada pemerintah pusat dengan kekuatan militernya berusaha mencegah Sahl bin Hanif untuk melaksanakan tugasnya.

Dalam memilih dan mengangkat pejabat baru, Imam Ali bin Abi Thalib melakukannya dengan sangat teliti dan obyektif. Semua itu dilakukan karena kepedulian yang dalam terhadap penerapan syariat Islam dalam jajaran pemerintahnya yang baru. Ali bin Abi Thalib mengembalikan kepercayaan kaum Anshar kepada diri sendiri dan meninggikan semangat dan rohani mereka dengan menyertakan mereka berpartisipasi dalam pemerintahannya. Sebagaimana di sisi yang lain, Imam Ali bin Abi Thalib tidak akan menerima oknum-oknum yang memiliki catatan negatif dan memiliki kecenderungan menyimpang. Imam Ali bin Abi Thalib telah bertekad bulat untuk menghapuskan kebobrokan yang selama ini terjadi. Ali bin Abi Thalib menolak memberikan waktu kepada Muawiyah bin Abu Sufyan untuk tetap bercokol di Syam tanpa harus menunggu pemerintahannya kokoh terlebih dahulu setelah itu baru melakukan tindakan pencopotan.

Imam Ali bin Abi Thalib berusaha menaikkan kewibawaan pemerintah pusat atas pemerintahan Syam setelah Muawiyah bin Abu Sufyan menolak untuk melakukan baiat. Untuk itu, Ali bin Abi Thalib memberikan bendera kepada anaknya Muhammad bin Al-Hanafiah, Abdullah bin Abbas mengiringi pasukan dari sisi kanan dan Umar bin Abi Salamah di sisi kirinya. Ali bin Abi Thalib juga memanggil Abu Laila bin Umar bin Al-Jarrah dan memutuskannya memimpin pasukan di front terdepan. Setelah itu, Ali bin Abi Thalib berpidato di hadapan penduduk Madinah dan memberi semangat mereka untuk berperang dengan Muawiyah. Namun sebelum pasukan bergerak ke arah Syam ada kabar yang memberitakan bagaimana Thalhah dan Zubeir keluar dari Madinah menuju Bahsrah menjadi oposan pemerintah setelah dengan licik keduanya meminta izin dari Ali bin Abi Thalib untuk melakukan umrah. Karena izin umrah maka Ali bin Abi Thalib memberi izin keduanya untuk tidak ikut dalam pasukan namun ternyata itu hanyalah siasat mereka saja. Imam Ali bin Abi Thalib dengan cepat memberi ultimatum kepada mereka untuk tidak melanggar perjanjian baiatnya.



Poros perbuatan Imam Ali bin Abi Thalib kepada umat
Terdapat sebuah kepastian akan dalam syariat Islam adanya seorang pribadi yang mampu melindungi sendi-sendi agama Islam dan keberlangsungannya dalam kehidupan. Mampu menghadapi serangan arus yang beragam setelah meninggalnya Rasulullah saw sang pemimpin. Teks-teks menetapkan bahwa pribadi-pribadi tersebut adalah Ali bin Abi Thalib dan keturunannya kelak.

Dalam melatih proses hubungan antara pemimpin dan rakyat dalam bingkai risalah Islam dituntut adanya seorang Imam maksum (yang terjaga dari salah dan dosa) yang berada di ujung piramida kekuasaan. Akan tetapi, setelah meninggalnya Rasulullah saw, ada elemen-elemen lain yang tidak memiliki kualifikasi ikut dan campur tangan dalam masalah ini. Itu terjadi dalam kondisi yang sangat kompleks dan kemudian elemen asing ini yang malah menjadi orang nomor satu dalam piramida kekuasaan Islam. Namun pun demikian, hal itu tidak mencegah Imam Ali bin Abi Thalib untuk tetap memainkan peranannya. Dan karena periode yang ada (tiga khalifah) memiliki kekhasannya sendiri-sendiri menuntut Imam Ali bin Abi Thalib berbeda-beda pula dalam menyikapinya. Namun dari semua itu dapat dilihat bahwa sikap dan perbuatan Imam Ali bin Abi Thalib terfokus pada dua poros dalam usahanya untuk menangkal arus penyelewengan umat dan melindungi akidah dan kepercayaan yang mereka miliki. Kedua poros tersebut sebagai berikut:

Poros pertama: upaya menguasai kontrol pemerintahan dan memimpin masyarakat meningkatkan kemampuan dan bangkit bersama umat dalam keberlangsungan perjalanannya menuju tujuan transendennya yang telah diwajibkan oleh Allah swt. Imam Ali bin Abi Thalib telah berbuat sebisa mungkin berkaitan dengan masalah ini setelah wafatnya Nabi Muhammad saw secara langsung. Beliau sendiri menjelaskan usahanya ini dengan ucapannya, 'Seandainya tidak karena keberadaan orang yang ingin melakukan baiat hadir, tidak karena para penolong terhadap argumentasi bagiku telah sempurna dan bila Allah tidak mengambil janji dari ulama untuk berhadapan dengan kekenyangan orang-orang zalim dan kelaparan orang-orang mazlum niscaya aku akan membiarkan dan tidak mengambil tanggung jawab kekhalifahan ini'.

Imam Ali bin Abi Thalib berusaha untuk memobilisasi masa secara besar-besaran, namun ia tidak dapat melakukannya sampai berhasil dikarenakan beberapa sebab sebagai berikut:

1. Tidak adanya kesadaran umat dalam peristiwa Saqifah dan apa yang terjadi di sana dimulai dengan persekongkolan untuk menguasai kekuasaan dan bimbingan yang salah yang secara tersirat pada bagian besar dari umat.

2. Tidak adanya pemahaman yang benar tentang peran dan tanggung jawab Imam dan Imamah (kepemimpinan). Masyarakat Islam memahaminya sebagai masalah pribadi dengan tujuan individual. Sementara hakikatnya tidak demikian. Keikutsertaan Imam dalam menghadapi para penguasa dengan landasan kesadaran akan risalah Islam dan dengan iradah dan kehendak yang jujur demi keberlangsungan agama Islam yang suci sebagaimana ia disyaratkan oleh Allah jauh dari kekotoran dan penyimpangan. Imam akan mengorbankan segalanya demi tujuan mulia ini bahkan bila itu harus dengan taruhan hak-hak pribadinya sekalipun. Tolok ukur adalah keselamatan risalah Islam dan keberlangsungannya berdasarkan prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan ilahi. Imam sendiri berkata, 'Pahamilah kebenaran niscaya engkau akan memahami siapa orangnya'. Dan Rasulullah saw telah bersabda, 'Ali senantiasa bersama kebenaran kapan dan di manapun saja kebenaran berada'.

Sebagaimana Imam Ali bin Abi Thalib berbuat dengan cakupan dimensi yang luas dan meliputi seluruh level masyarakat dan berhasil mensinkronkan antara teori dan penerapannya. Imam Ali bin Abi Thalib mendidik para sahabat untuk memahami bahwa kehidupan mereka memiliki tujuan untuk menyukseskan risalah Islam dan bukan para sahabat yang memikirkan pribadinya saja yang terombang ambing ke sana dan kemari tanpa arah yang pasti. Terlihat Imam Ali bin Abi Thalib siap menyerahkan kepemimpinan dengan syarat perjalanannya sesuai dengan sebelumnya ketika Rasulullah menanamkannya dan tidak mencederai risalah Islam dan masyarakat.

3. Endapan budaya jahiliah yang telah kronis dalam pemikiran umat Islam. Zaman belum lama berlalu namun umat masih belum menyadari akan kedalaman risalah Islam, Rasul dan peran seorang Imam. Mereka menggambarkan bahwa di zamannya Nabi telah berwasiat kepada Imam Ali bin Abi Thalib hanya sekedar proses menetapkan seorang kandidat buat salah satu dari anggota keluarganya. Nabi dianggap bertujuan untuk menghidupkan kembali masa keagungan keluarga yang memiliki angan-angan untuk berkuasa sebagaimana kebiasaan mayoritas para penguasa sebelum Nabi Muhammad saw dan sesudahnya.

4. Peran kaum munafikin dan ketamakan mereka dalam usaha untuk mengguncang stabilitas keamanan, sosial, aparatur negara dan juga negara. Mereka berusaha untuk semakin intens masuk ke dalam melakukan penetrasi bila pemerintah lemah dan menyimpang.

5. Secara psikologis, aparatur negara dan mereka yang memimpin negara tidak benar-benar sehat. Mereka senantiasa merasa lemah dan kurang dengan derajat yang cukup tinggi di hadapan Imam Ali bin Abi Thalib. Senantiasa, bagi mereka, Imam Ali bin Abi Thalib adalah bahaya laten. Itu dimulai dari keberadaannya, kejujuran, perjuangan, keterusterangan, kegagahberaniannya dan umurnya yang masih muda. (Sebagaimana termuat dalam surat Muawiyah kepada Muhammad bin Abu Bakar).

Poros kedua: Tahap ini adalah penerapan ketika rencana-rencana poros pertama tidak berhasil mencapai tujuan. Pada poros kedua ini Imam Ali bin Abi Thalib berusaha untuk membentengi umat dari kehancuran total sekaligus memberikan kekebalan secukupnya untuk tetap bertahan dalam gesekan yang terjadi dalam menghadapi ujian setelah kelompok yang tidak memiliki kualifikasi menguasai pemerintahan dan berupaya untuk menarik umat Islam dari jalan kebenaran.

Imam Ali bin Abi Thalib berusaha keras untuk memperdalam risalah Islam baik secara pemikiran, semangat dan politik ke dalam barisan kaum muslimin serta memberikan pilihan lain akan wajah Islam yang hakiki tentang sistem pemikiran Islam dengan metode sebagai berikut:

1. Campur tangan secara positif dalam kebijakan pemerintah yang menyeleweng setelah mereka tidak mampu menghadapi dan menyelesaikan masalah-masalah baik yang sederhana maupun kompleks. Imam Ali bin Abi Thalib memberikan advis kepada mereka bagaimana cara yang tepat dan benar untuk menyelamatkan umat dari kesesatan dan keterasingan. Peran yang coba dimainkan oleh Imam Ali bin Abi Thalib di sini seperti seorang partner yang ikut campur tangan untuk meluruskan sebuah masalah.

Imam Ali bin Abi Thalib ikut campur tangan dalam rangka menjawab kerancuan yang terjadi pada mereka yang mengingkari risalah Islam. Tentunya ini setelah mereka yang duduk dalam pemerintahan hingga khalifah sendiri tidak mampu untuk memberikan jawaban yang tepat. Tidak cukup itu saja, Imam Ali bin Abi Thalib juga mengambil peran sebagai konsultan khalifah dalam bidang militer dan ekonomi. Sejarah juga mencatat sumbangan pemikiran Imam Ali bin Abi Thalib dalam menyelesaikan masalah-masalah hukum dan peradilan.

2. Mengarahkan kebijakan politik khalifah dan mencegah penyimpangan agar tidak semakin melebar dengan semakin intens melakukan nasihat. Metode ini terlihat nyata pada masa pemerintahan Usman bin Affan ketika ia tidak lagi mau menerima nasihat dan peringatan orang lain.

3. Menyodorkan sebuah teladan tentang Islam dan bentuknya yang hakiki tentang prinsip-prinsip dan bingkai pemerintahan dan masyarakat Islam. Usaha Imam Ali bin Abi Thalib dalam hal ini dapat terwujud dalam masa pemerintahannya. Atas dasar inilah mengapa ia menerima menjadi khalifah setelah sebelumnya menolak. Imam Ali bin Abi Thalib telah mencoba memainkan peran seorang pemimpin politik yang cerdas dan bersikap adil, menjadi contoh bagi manusia yang ingin diwarnai oleh syariat Islam. Imam Ali bin Abi Thalib adalah contoh yang perlu diteladani untuk sampai pada tujuan risalah Islam. Ia seorang manusia yang ma'sum, terjaga dari kesalahan dan dosa baik dalam pemikiran, penerapan dan perilaku.

4. Mendidik dan menyiapkan kader dari sekelompok kaum muslimin yang berkualitas dan baik yang nantinya dapat membantunya mewujudkan penerapan reformasi dan perubahan. Dan itu dilakukannya bersamaan dengan pergerakannya di tengah-tengah umat untuk mematangkan pemikiran dan perluasan kelompok yang lebih sadar dan sehat. Diharapkan kondisi ini bisa tetap bertahan dan berlangsung melintasi sejarah hingga sampai kepada generasi yang akan datang untuk tetap berlaku dan berbuat sesuai dengan garis dan metode Islam.

5. Menghidupkan kembali Sunah Rasulullah saw dan menegaskan pentingnya, menyusun dan perhatian yang lebih kepada Al-Quran baik dari sisi pembacaan, penghafalan, penafsiran dan penyusunannya. Tidak lain dikarenakan keduanya adalah tiang syariat dan agama. Umat harus mengetahui hakikat Al-Quran dan Sunah sebagaimana keduanya diturunkan dan sebagaimana keduanya diinginkan untuk difahami.



Kebudayaan Islam di masa pemerintahan para khalifah
Problem paling krisis yang dihadapi oleh risalah dan akidah Islam adalah adanya sekelompok orang yang tidak memiliki kualifikasi dan idiot yang hendak melindungi dan menerapkannya. Ketika mereka yang tidak layak memangku kekuasaan diminta untuk memberi pandangan tentang Islam dan sejauh mana penguasaan mereka, bila tidak mampu menjawab atau sekurang-kurangnya terdiam tentu ini akan membangkitkan keraguan di hadapan masyarakat yang pada gilirannya mengguncangkan kepercayaan mereka kepada agama dan kemampuannya untuk dapat diterapkan dalam kehidupan. Dari sini, keraguan kemudian berubah menjadi kondisi yang menjadikan umat mengambil jarak dengan Islam atau setidak-tidaknya mencoba melindungi agama pada medan pertempuran dan krisis yang lebih luas. Oleh karena untuk menanggulangi hal ini, Rasulullah saw menangani semua problem yang tidak jelas bahkan misterius yang muncul di berbagai tempat dalam kehidupan umat sekaligus menunjukkan sikap yang transparan berkaitan dengan Islam. Sikap yang sama juga dapat disaksikan dalam perilaku Imam Ali bin Abi Thalib sepeninggalnya di sela-sela pemerintahan tiga khalifah sebelumnya ketika mereka menunjukkan kelemahannya di hadapan masyarakat baik dari sisi keilmuan maupun dalam penerapan. Ketika Imam Ali bin Abi Thalib memegang kendali kekuasannya kewibawaan Islam kembali muncul di tangannya dengan mengkaji dan menjawab semua permasalahan yang muncul di zamannya.

Ketika kelompok penguasa mendapatkan dirinya tidak mampu dan tidak layak bahkan secara keilmuan tidak bisa apa-apa, mereka kemudian mencoba menerapkan kebijakan-kebijakan lain untuk mengalihkan perhatian masyarakat akan kelemahan ini. Kebijakan-kebijakan tersebut antara lain:

1. Mencegah penebaran hadis-hadis Rasulullah saw yang berisikan pengarahan tentang keilmuan dan dorongan meraih kesadaran dan aktif dalam kehidupan. Sebagai tambahan, dengan menyembunyikan hadis-hadis Rasulullah saw mengumumkan secara transparan bahwa Ahli Bayt yang diinginkan dan layak menjadi pemimpin dan khalifah bukan mereka. Dari sini terbongkar pula rahasia dari semboyan 'Hasbuna Kitabullah' (kami cukup dengan Al-Quran) yang disampaikan untuk menantang Rasulullah yang dalam keadaan sakit ingin menuliskan sesuatu agar umat tidak tersesat sepeninggalnya.

Tampaknya pembatasan atau pelarangan penyebaran hadis-hadis Nabi dimulai sebelum kejadian itu. Semuanya ini dimulai ketika Quraisy melarang Abdullah bin Umar dan bin Al-'Ash untuk menulis hadis. Sebagaimana kemudian para penguasa membakar buku-buku yang memuat tulisan hadis-hadis Rasulullah saw.

2. Fenomena pelarangan pertanyaan kepada mereka yang tidak diketahui jawabannya tentang makna ayat-ayat Al-Quran. Gejala ini memiliki arti mengosongkan umat dari semangat mengkaji, meneliti dan mempelajari Al-Quran setelah Sunah nabi dicampakkan dari sisi Al-Quran. Pada akhirnya, perhatian hanya ditujukan kepada sisi lahir Al-Quran tanpa pendalaman dan pemahaman terhadap ayat-ayat dan hukum-hukumnya. Umar bin Khatthab mewasiatkan para pegawainya dengan ucapannya, 'Biarkan Al-Quran, riwayatkan saja hadis-hadis Rasulullah saw dan aku adalah bagian dari kalian'. Tidak itu saja, ia juga menyiksa setiap orang yang bertanya kepadanya tentang tafsir dari ayat-ayat Al-Quran'.

3. Pembukaan pintu ijtihad yang menentang teks-teks wahyu. Abu Bakar telah melakukan ijtihad dalam beberapa masalah. Salah satunya adalah penyitaan warisan Nabi Muhammad saw, menahan dan mencegah Ahli Bayt untuk mendapatkan haknya dari khumus (seperlima), membakar rumah Fathimah Az-Zahra AS. fatwanya tentang masalah Kalalah dan fatwanya tentang warisan seorang nenek. Hal yang sama juga dilakukan oleh Umar bin Khatthab. Ia membedakan pemberian dari Baitul Mal menyimpang dari Sunah Rasulullah saw. Umar bin Khatthab berijtihad melarang dan mengharamkan du mut'ah; mut'ah haji dan nikah mut'ah dan masih banyak lagi ijtihad yang dilakukannya sebagaimana dituturkan dalam buku An-Nash wa Al-Ijtihad. Tidak ketinggalan Usman pun melakukan ijtihad dengan memberhentikan Ubaidillah bin Umar dari jabatannya, pentawilan terhadap sejumlah hukum-hukum yang telah jelas berbeda dengan apa yang telah ditentukan oleh Rasulullah saw sehingga kaum muslimin bangkit dan melakukan kudeta terhadapnya.

Semua masalah ini dan yang lain-lainnya memunculkan sejumlah masalah dan musibah terhadap pemerintah dan masyarakat. Kesemua ini termasuk inti masalah yang menyebabkan penyimpangan jalur yang harus ditempuh oleh Islam yang pada gilirannya menjerumuskan semuanya dalam fitnah dan kesesatan sebagaimana yang diucapkan oleh Imam Ali bin Abi Thalib:

'Penyebab munculnya fitnah dikarenakan hawa nafsu yang diikuti, pelaksanaan bid'ah pengganti wahyu ilahi sehingga Al-Quran tidak lagi diikuti bahkan dipalingkan. Orang-orang menjadikan sekelompok orang sebagai pemimpin dengan dua alasan ini dan bukan alasan yang dibenarkan oleh agama. Seandainya kebatilan tidak dicampurkan adukkan dengan kebenaran, niscaya bagi mereka yang mencari kebenaran tidak akan tersesat. Seandainya kebenaran dipisahkan dari kebatilan niscaya musuh-musuh Islam tidak mampu berbicara apa-apa. Namun yang terjadi adalah mereka meramu sebagian dari kebenaran dengan sebagian dari kebatilan. Pada waktu itulah, setan menguasai teman-temannya. Hanya orang-orang yang mendapat kasih dayang dan rahmat-Nya yang dapat selamat'.



Usaha keras Imam Ali bin Abi Thalib menghidupkan kembali syariat Islam
Imam Ali bin Abi Thalib AS. melihat kewajiban paling pertamanya yang harus dilakukannya setelah meninggalnya Rasulullah saw adalah menjaga syariat Islam dari penyimpangan serta melindungi pemerintahan Islam agar tidak mendapat masalah dan tetap berjalan. Imam Ali bin Abi Thalib telah berusaha semaksimal mungkin di masa pemerintah tiga khalifah sebelumnya dengan mencoba melupakan kepedihan akibat haknya yang dirampas dalam mengatur urusan umat islam secara langsung. Ia pada masa itu tidak sempat menjadi pemimpin umat namun tetap melaksanakan langkah besar dalam menghidupkan Sunah Rasulullah saw dan ketika berdakwah menuju kehidupan selalu bernaung di bawah Sunah Nabi. Tentunya tanpa melupakan perhatian terhadap Al-Quran, tafsirnya, pendidikan umat dan memperbaiki kebobrokan kapan ditemukannya. Langkah-langkah yang telah ditempuh oleh Imam Ali bin Abi Thalib dapat dilihat sebagai berikut:

1. Membuka kesempatan yang seluas-luasnya kepada umat dan masyarakat Islam untuk berdialog dan mempertanyakan tentang Al-Quran dan Sunah serta segala sesuatu yang berhubungan dengan syariat Islam dengan cara ilmiah dan umum mencakup memberikan jawaban kepada penentang dan musuh-musuhnya yang membencinya.

2. Perhatian kepada para pembaca Al-Quran dan melindungi kehidupan mereka karena mereka mengikuti sunah Rasulullah saw dalam mengajarkan Al-Quran. Pengajaran membaca Al-Quran yang dibarengi dengan belajar memperdalam serta memahami dan mengamalkan apa yang tertera di dalamnya.

3. Perhatian dengan cara membaca Al-Quran bagi mereka yang bukan Arab atau orang-orang yang tidak dapat mengucapkan bahasa Arab dengan baik dan betul. Imam Ali bin Abi Thalib AS. kemudian menyusun ilmu Nahwu untuk menuntun pengucapan yang benar akan Al-Quran.

4. Imam Ali bin Abi Thalib AS. mengajak kaum muslimin untuk meriwayatkan hadis-hadis Rasulullah saw, menyusun dan mempelajarinya. Beliau sendiri berkata, 'Ikatlah ilmu dengan menuliskannya'.

5. Imam Ali bin Abi Thalib memfokuskan Al-Quran dan Sunah Rasulullah saw sebagai sumber perundang-undangan. Di sisi lain, sumber-sumber seperti Istihsan, Qiyas dan lain-lainnya oleh Imam Ali bin Abi Thalib ditetapkan bukan sebagai sumber hukum syariat.

Sebagaimana Imam Ali bin Abi Thalib berusaha untuk menghidupkan kembali Sunah Rasulullah dalam perilaku, ibadah dan akhlaknya. Ia berupaya untuk mengobati gejala dan perilaku bid'ah yang muncul dalam syariat Islam sebagai hasil ijtihad dari ketiga khalifah sebelumnya.

6. Imam Ali bin Abi Thalib mampu membangun dan menyiapkan sekelompok kaum muslimin sebagai kadernya yang bergerak di tengah-tengah masyarakat Islam untuk ikut memberikan sumbangan dalam eksperimen kepemimpinan dalam Islam dan ikut dalam melindungi masyarakat Islam.

Tampaknya Imam Ali bin Abi Thalib AS. memulai proses menuju tujuan yang diinginkan semenjak kehidupan Rasulullah saw bahkan sesuai dengan perintah Nabi sendiri. Terlihat bagaimana Nabi memberikan kepada Ali bin Abi Thalib tanggung jawab masalah-masalah penting untuk melindungi kaum muslimin yang memiliki kesadaran untuk menyesuaikan derap langkahnya dengan Islam. Nabi juga mendorong kaum muslimin untuk berbuat dan bersikap sesuai dengan jalur Imam Ali bin Abi Thalib sehingga terbentuk sekelompok sahabat yang dikenal dengan sebutan Syi'ah Ali (pengikut Ali) dalam kehidupan Rasulullah saw seperti; Ammar bin Yasir, Salman Al-Farisi, Abu Dzar Al-Ghiffari, Jabir bin Abdullah Al-Anshari, Al-Miqdad bin Al-Aswad dan Abdullah bin Abbas. Mereka ini dikenal sebagai orang-orang yang tetap bertahan dengan jalur Imam Ali bin Abi Thalib di segala kondisi bahkan dalam keadaan yang paling sulit sekalipun setelah wafatnya Rasulullah saw.

Ketika Imam Ali bin Abi Thalib AS. menjadi khalifah, berkumpul di sekelilingnya sekelompok kaum muslimin yang loyal kepadanya. Imam Ali bin Abi Thalib semakin intens memperhatikan dan menyiapkan mereka untuk tugas-tugas khusus. Imam Ali bin Abi Thalib mengajarkan mereka beragam ilmu yang dapat diamalkan dalam berbagai dimensi kehidupan. Kader-kader Imam Ali bin Abi Thalib kemudian sesuai dengan tugas mereka bangkit mulai berjuang untuk menguatkan pilar-pilar Islam dan Imamah serta turut menjaga syariat Islam dari penyimpangan. Sikap mereka berhadapan dengan pemerintah yang zalim menunjukkan kepribadian agung mereka. Orang-orang yang pantas dianugerahi medali kehormatan. Mereka itu seperti; Malik bin Al-Asytar, Kumail bin Ziyad An-Nakha'i, Muhammad bin Abu Bakar, Hijr bin 'Adi, Amr bin Al-Humq bin Al-Khuza'i, Sha'sha'ah bin Shuhan al-Abdi, Rasyid Al-Hijri, Hasyim Al-Mirqal, Qanbar, Sahl bin Hunaif dan lain-lain.



17
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib AS.

Imam Ali bin Abi Thalib bersama kelompok Nakitsin (perang Jamal)

Para pencetus fitnah
Pembaiatan terhadap Imam Ali bin Abi Thalib AS. oleh mayoritas kaum muslimin laksana petir yang menyambar bagi Quraisy dan bagi mereka yang memusuhi Islam. Mereka tahu bahwa pemerintahan Ali bin Abi Thalib adalah kepanjangan tangan pemerintahan Rasulullah saw yang merendahkan dan menghina kezaliman, permusuhan dan pemberontakan. Pemerintahan yang membawa nilai-nilai keadilan, persamaan dan kebenaran. Pemerintahan yang mengumumkan perang terhadap kebijakan-kebijakan ekonomi yang berlandaskan riba, monopoli dan eksploitasi. Pemerintahan yang memberikan hak yang sama kepada para tokoh Quraisy dengan masyarakat lainnya dari manapun ia. Itu setelah mereka mendapat perlakukan istimewa di zaman Usman.

Thalhah dan Zubeir keduanya melihat dirinya setara dengan Ali bin Abi Thalib. Hal itu dikarenakan keduanya adalah sama-sama kandidat dalam syura yang dibentuk oleh Umar bin Khatthab untuk dipilih menjadi khalifah. Setidak-tidaknya, bila tidak menjadi khalifah mereka mendapat bagian menguasai sebagian dari negara Islam. Sementara Aisyah memiliki posisi yang cukup diperhitungkan oleh khalifah-khalifah sebelum Ali bin Abi Thalib sebagaimana terlihat pada zaman itu ia dapat berbicara apa saja yang diinginkannya. Saat ini ia tahu benar bahwa kebebasan yang seperti itu tidak akan didapatkannya lagi di masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib yang senantiasa bersandarkan Al-Quran dan Sunah sebagai sumber perundang-undangan dan eksekutif.

Di Syam, Muawiyah bin Abu Sufyan berlaku bagaikan penguasa mutlak yang tidak berada di bawah pemerintah pusat. Ketamakannya akan kekuasaan untuk memimpin umat Islam membuatnya ia mengatur urusan kaum muslimin secara mutlak. Muawiyah bin Abu Sufyan dan kroniknya tiba-tiba dikejutkan dengan aturan-aturan Imam Ali bin Abi Thalib AS. yang melakukan perbaikan sesuai dengan langkahnya mendapatkan kenyataan bahwa posisi yang didapatkan di zaman Usman bin Affan sedang dalam terancam. Keberadaan Imam Ali bin Abi Thalib AS. di puncak piramida kekuasaan dianggap sebagai ancaman bagi garis kebijakan para khalifah sebelumnya yang menguntungkan Quraisy. Hal itu dikarenakan Imam Ali bin Abi Thalib mampu untuk mengangkat kembali bendera Islam dan kebenaran tanpa ada rasa takut sedikit pun. Ia pasti akan membuka kedok penyelewengan yang selama ini terjadi tanpa ada rasa khawatir sedikit pun.

Dari sini mereka sepakat memunculkan fitnah untuk mencegah kestabilan pemerintah yang baru. Adanya elemen-elemen yang memusuhi pandangan dan perjalanan pemerintahan Islam yang sah tidaklah aneh bagi Imam Ali bin Abi Thalib. Rasulullah saw telah memberitahukannya bahwa pada masa pemerintahannya akan ada kelompok-kelompok pemberontak yang menentangnya. Nabi juga mengatakan bahwa ia akan memerangi mereka sebagaimana kelompok-kelompok ini, dinamai oleh Rasulullah dengan Nakitsin, Qasithin dan mariqin.



Aisyah mengumumkan pemberontakan
Posisi Ummul Mukminin Aisyah pada Usman bin Affan adalah sangat aneh dan kontradiktif yang tidak pantas disandang oleh seorang wanita, istri Nabi. Ia berkali-kali berkata, 'Bunuh Na'tsal (orang tua yang bego, Usman bin Affan)! Aisyah juga mengajak orang-orang untuk membangkang terhadap Usman dan bahkan membunuhnya. Ia keluar dari kota Madinah menuju Mekkah di tengah-tengah pengepungan Usman bin Affan. sebelum terjadi pembunuhan Usman. pengharapannya sangat besar agar Usman cepat terbunuh, ia ingin sekali Thalhah, yang masih keluarga dekatnya menjadi khalifah.

Sekonyong-konyong harapan Aisyah buyar karena pemerintahan berada di tangan Ali bin Abi Thalib setelah umat Islam membaiatnya. Aisyah membatalkan rencananya menuju Madinah dan kembali ke Mekkah. Di Mekkah ia menampakkan kesedihan dan keteraniayaannya atas kematian Usman bin Affan. Ada yang bertanya kepadanya, 'Bukankah engkau yang mengajak orang untuk membunuhnya dan sekarang engkau berubah pikiran dengan alasan yang terlalu sederhana'. Ia menjawab, 'mereka telah memintanya agar bertaubat namun kemudian tetap membunuhnya. Ucapannya memberikan kesan seakan-akan ia hadir di tempat kejadian dan menyaksikan pembunuhan Usman bin Affan.

Aisyah mengumumkan perang terhadap Imam Ali bin Abi Thalib dalam pidato yang diucapkannya di Mekkah dengan memberi semangat pendukungnya untuk perang.

Ketamakan Aisyah tidak cukup sampai di sini saja, ia mengajak istri-istri Nabi untuk ikut bersamanya memerangi Imam Ali bin Abi Thalib. Aisyah

kecewa karena ajakannya tidak bersambut. Para istri Nabi tidak ada yang mau ikut dengannya memerangi Ali bin Abi Thalib. Selain tidak ikut, Ummu

Salamah malah menasihatinya untuk tidak melanjutkan niatnya. Alasannya sederhana agar tidak terjadi pertumpahan darah antar sesama muslimin. Aisyah
menjawab, 'Engkau sebelumnya termasuk orang yang mengajak untuk membunuh Usman. Setiap kali engkau berbicara mengenai Usman niscaya dengan bahasa yang buruk. Engkau tidak pernah memanggilnya selain dengan kata Na'tsal. Engkau juga tahu bagaimana posisi Ali bin Abi Thalib di sisi Rasulullah saw. Apakah aku perlu mengingatkanmu tentang hal ini? Ummu Salamah menjawab, 'Apakah engkau ingat ketika Nabi datang dan kita bersamanya. Bagaimana Nabi bersama Ali bin Abi Thalib berduaan dengan menghamparkan sebuah alas di sebelah kiri kemudian keduanya berbicara agak lama. Melihat percakapan mereka sedemikian lamanya, engkau ingin menuju ke arah mereka dengan kesal namun aku menahanmu tapi engkau tetap bersikeras menuju ke arah mereka. Yang membuatku heran pada waktu itu adalah mengapa engkau kembali sambil berderaian air mata. Aku kemudian ingin mengetahui apa yang terjadi padamu sehingga kutanya, 'Apa yang terjadi denganmu? Pada waktu itu engkau menjawab, 'Aku menerobos ke arah keduanya ternyata mereka lagi berdialog. Aku lalu menatap Ali dan berkata kepadanya, 'Aku tidak punya waktu bersama Rasulullah saw kecuali satu hari dari sembilan hari yang dimilikinya. Apakah engkau mau meninggalkan aku bersama hariku? Nabi kemudian mengarahkan wajahnya membelakangi Ali bin Abi Thalib dan menatapku. Ia tampak marah wajahnya kemerah-merahan saking marahnya dan kemudian berkata, 'Kembali ke tempatmu! Demi Allah, orang yang membenci Ali bin Abi Thalib, siapa pun dia, berarti telah keluar dari imannya'. Mendengar itu aku kembali ke tempatku menyesali apa yang telah kulakukan namun aku marah besar terhadap Ali bin Abi Thalib'. Aisyah mengangguk dan berkata, 'Aku ingat apa yang kau ucapkan'. Ummu Salamah kemudian menambahkan, 'Apa yang membuat harus keluar memerangi Ali bin Abi Thalib setelah kejadian ini? Aisyah menjawab, ' Aku keluar melakukan ini untuk memperbaiki kondisi masyarakat dan mendamaikan mereka. Aku hanya ingin mendapat balasan dari Allah swt'. Ummu Salamah menyela,'Itu engkau dan pikiranmu'. Mendengar itu Aisyah langsung pergi dari situ.

Diriwayatkan bahwa istri-istri Nabi keluar bersama Aisyah sampai pada sebuah tempat bernama Dzatu 'Araq. Tampaknya penyertaan mereka adalah usaha untuk menggagalkan keinginan Aisyah ke Madinah agar tidak terjadi fitnah. Ketika dirasa bahwa usaha mereka sia-sia mereka kemudian menangis bersama-sama karena membayangkan apa yang akan terjadi dengan Islam. Orang-orang yang ikut bersama mereka ikut pula menangis. Pada hari itu disebut dengan hari An-Nahib (hari ratapan).



Perbuatan makar Muawiyah dan pelanggaran janji baiat dari Zubeir dan Thalhah
Muawiyah bin Abu Sufyan menikmati kekuasaannya di Syam. Ia memiliki alat-alat dan pendukung yang dapat digerakkan sesuai dengan keinginannya. Di samping itu, ia tidak memiliki masalah dengan masyarakat Syam karena kota Syam semenjak mengenal Islam itu dibarengi dengan pengenalan mereka kepada keluarga Abu Sufyan dan Muawiyah adalah gubernur yang ditunjuk oleh khalifah. Sebelum Muawiyah, saudaranya Yazid menjadi gubernur di sana yang kemudian digantikannya. Dan Muawiyah diuntungkan karena letak geografis Syam jauh dari ibu kota Islam yang memberinya kekuatan yang cukup untuk menyusun kekuatan. Dengan memperhatikan semua ini, Muawiyah bin Abu Sufyan mulai melaksanakan ide-idenya untuk membesarkan api fitnah yang sudah mulai menyala dengan pembunuhan Usman bin Affan. Ia memanfaatkan kondisi ini untuk meraih tujuan-tujuannya. Ia berbicara kepada Zubeir dan Thalhah dan mengompori keduanya agar ketamakan akan kekuasaan yang ada dalam dirinya semakin kuat muncul ke permukaan dan dengan itu secara serius memasuki medan pertempuran dengan Ali bin Abi Thalib yang pada gilirannya menambah besar cakupan fitnah di ibu kota. Ia mengirimkan surat kepada Zubeir yang isinya:

'Kepada Amir Mukminin Zubeir dari Muawiyah bin Abu Sufyan. Salam untukmu. Aku membaiatmu atas nama rakyat Syam. Mereka mendengar perintah dan akan menaatimu. Kuasailah kota Kufah dan Basrah karena Ali bin Abi Thalib tidak dapat mendahuluimu bila engkau telah lebih dahulu berkuasa di sana. Kedua kota ini adalah segala-galanya. Bila engkau telah menguasai keduanya sama artinya engkau telah menguasai yang lain. Aku telah membaiat Thalhah bin Ubaidillah sebagai khalifah sepeninggalmu. Tunjukkan tuntutanmu akan darah Usman bin Affan dan ajak manusia mengikuti langkahmu. Tentunya ini semua akan berhasil bila dilakukan dengan sungguh-sungguh. Semoga Allah memenangkan kalian berdua dan mengalahkan musuh kalian'.

Ketika surat Muawiyah bin Abu Sufyan sampai di tangannya ia betul-betul gembira dan merasa yakin dan percaya akan kebenaran niat Muawiyah. Ia bersama Thalhah kemudian sepakat untuk melanggar baiat terhadap Ali bin Abi Thalib. Langkah pertama yang diambil adalah menunjukkan penyesalan mengapa melakukan baiat kepada Ali bin Abi Thalib. Dan kedua, mengajak Aisyah ikut dalam gerakannya untuk memberi dukungan. Untuk dapat menarik Aisyah, oleh keduanya kemudian menyusun rencana untuk ikut bersama mereka. Diriwayatkan bahwa keduanya datang dan menuntut haknya untuk ikut dalam pemerintah Imam Ali bin Abi Thalib setidak-tidaknya sebagai pejabat dalam pemerintahannya namun keduanya gagal karena Ali bin Abi Thalib tidak menerima. Kemudian mereka berdua ingin bergabung dengan Aisyah dan untuk itu meminta izin kepada Ali bin Abi Thalib untuk pergi ke Mekkah mengerjakan umrah. Imam Ali bin Abi Thalib memberikan izin sambil berkata, 'Baiklah. Demi Allah! Kalian tidak benar-benar hendak melakukan umrah. Yang akan kalian lakukan adalah ingin melakukan sesuatu untuk posisi kalian'. Diriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib berkata kepada keduanya, 'Bahkan kalian ingin melakukan pengkhianatan'.

Mereka yang melanggar janji dan baiatnya kepada Ali bin Abi Thalib berkumpul di rumah Aisyah di Mekkah setelah sebelumnya orang-orang ini adalah penentang keras Usman bin Affan. Zubeir, Thalhah dan Marwan bin Hakam bergabung dengan mereka dan sepakat menjadikan darah Usman bin Affan sebagai simbol perlawanan mereka kepada Ali bin Abi Thalib. Mereka mengangkat baju Usman sebagai bentuk penentangan dan Ali bin Abi Thalib adalah orang yang paling bertanggung jawab terjadinya pembunuhan Usman bin Affan. Hal itu disimpulkan dari sikap Ali bin Abi Thalib yang melindungi dan keengganan Ali bin Abi Thalib untuk membalas dendam kepada mereka. Mereka sepakat untuk pergi ke Basrah mendudukinya dan menjadikannya sebagai pusat gerakan dan peperangan mereka menghadapi Ali bin Abi Thalib dan pasukannya sementara Muawiyah menguasai daerah Syam sedangkan Madinah senantiasa dalam kondisi tidak aman.



Pergerakan Aisyah menuju kota Basrah
Aisyah tetap bersikeras untuk tetap melanjutkan apa yang telah direncanakan untuk mengobarkan fitnah dan langsung terjun secara langsung berperang dengan Imam Ali bin Abi Thalib AS. selaku khalifah yang sah. Aisyah mengumpulkan sejumlah orang yang punya kedengkian terhadap Islam dan Ali bin Abi Thalib serta ditambah dengan para spekulan kekuasaan. Ya'la bin Muniyyah mempersiapkan persenjataan untuk mereka mulai dari pedang dan unta yang dicurinya dari Yaman ketika Imam Ali bin Abi Thalib mengusirnya ke sana. Datang juga Abdullah bin 'Amir membantu sejumlah besar uang dari Basrah yang juga dicurinya dari sana. Mereka menyiapkan sebuah unta khusus untuk Aisyah yang diberi nama Askar. Posisi Aisyah berada di tengah pasukan dan dilindungi dengan mengitarinya Bani Umayyah. Aisyah dengan posisi seperti ini berada paling depan dan pasukan besar mengiringnya dari belakang menuju kota Basrah. Sebelum sampai ke Basrah, surat yang ditulis untuk beberapa tokoh Basrah telah sampai terlebih dahulu. Isi surat itu mengajak mereka untuk sama-sama dengannya merobek perjanjian dan meninggalkan baiat yang telah dilakukan dengan alasan menuntut darah Usman.

Dimulailah usaha makar dan tipuan yang memang menjadi kebiasaan siapa saja yang ingin menentang Imam Ali bin Abi Thalib. Ketika pasukan Aisyah hendak keluar dari kota Mekkah, Marwan bin Hakam mengucapkan azan untuk melakukan salat. Ia mendatangi Thalhah dan Zubeir untuk mengadu domba antara keduanya dan pada suatu saat menguasai keduanya. Ia berkata, 'kepada salah satu dari kalian kuserahkan kekuasaan padanya, dengan menjadi imam salat, dan aku meminta izin darinya untuk mengucapkan azan salat. Pengikut keduanya saling berlomba-lomba untuk mendudukan pemimpinnya sebagai yang paling utama untuk menjadi imam salat sebagai lambang kekhalifahan. Aisyah yang paling dahulu memahami apa yang akan terjadi karena kelihatannya pertikaian sudah di depan hidung. Ia kemudian mengutus Zubeir anak saudaranya untuk menjadi imam salat.

Saat pasukan Aisyah memasuki sebuah tempat bernama Authas mereka bertemu denga Said bin Al-'Ash dan Mughirah bin Syu'bah. Ketika Said mengetahui bahwa Aisyah mengklaim 'menuntut darah Usman', ia menertawakannya dan berkata, 'Yang membunuh Usman adalah orang-orang yang bersamamu, wahai ummul mukminin!

Diriwayatkan, Said berkata, 'Kalian hendak ke mana? Apakah kalian ingin meninggalkan dendam kalian di balik unta-unta yang lemah? Yang dimaksud dengan ucapannya adalah Thalhah, Zubeir dan Aisyah. Pasukan melanjutkan perjalanan hingga sampai ke tempat yang bernama Hauab. Di pertengahan jalan mereka menemui sekelompok anjing yang menggonggong. Gonggongan itu menakutkan hati Aisyah yang membuatnya akhirnya bertanya kepada Muhammad bin Thalhah tempat yang sedang mereka lalui ini, 'Air yang ada di sini disebut apa? Muhammad menjawab, 'Air Hauab, wahai ummul mukminin'. Serentak badannya menggigil dan berteriak dengan lantang, 'Kita harus kembali! Di tanya kepadanya, 'Mengapa? Aisyah berkata, 'Aku pernah mendengar Rasulullah saw berkata, 'Seakan-akan ada salah satu dari kalian (istri-istri Nabi), yang akan digonggong oleh anjing-anjing Hauab. Pada saat itu engkau, wahai Humaira (panggilan kesayangan Nabi untuk Aisyah), harus berhati-hati dan meninggalkan tempat itu. Aisyah kemudian menghentakkan kakinya agar untanya bergerak dan berkata, 'Pulangkan aku! Demi Allah, akulah yang disebut oleh Rasulullah sebagai air Hauab dan aku harus kembali. Pasukan yang ada kemudian untanya di tahan sambil mengitarinya sehari semalam. Kemudian Abdullah bin Zubeir mendatanginya dan bersumpah di hadapannya, 'Demi Allah di sini bukan tempat yang bernama Hauab'. Ia kemudian mendatangkan dua orang Arab badui dan dipaksanya keduanya untuk mengucapkan sumpah bahwa tempat ini bukan Hauab. Ini adalah sebuah sumpah yang diucapkan dengan paksaan yang pertama kali dicatat dalam Islam.



Pertempuran-pertempuran kecil Basrah
Ketika pasukan Aisyah sampai di kota Basrah, Usman bin Hanif menjelaskan kepada masyarakat Basrah apa tujuan kelompok ini. Ia mewanti-wanti mereka untuk berhati-hati dengan mereka karena fitnah yang akan ditimbulkan pemimpin-pemimpinnya. Ia mengajak mereka yang ikhlas dan masih setia kepada Imam Ali bin Abi Thalib untuk menyiapkan dirinya mempertahankan kebenaran dan syariat Islam yang suci sekaligus menahan pasukan Nakitsin untuk menguasai kota Basrah.

Usaha yang dapat dilakukan oleh Usman bin Hanif adalah memperlakukan Aisyah dengan segala penuh penghormatan sebagaimana layaknya akhlak Islam. Ia berusaha sebisa mungkin agar perang tidak terjadi. Ia mengutus kepada mereka Imran bin Hashin dan Abu Aswad Ad-Duali untuk berdiplomasi dengan Aisyah dan pengikutnya serta meyakinkan mereka bahwa sikap yang diambil ini adalah satu kesalahan besar. Akan tetap usaha ini menemui jalan buntu dan gagal. Aisyah dan Thalhah serta Zubeir yang senantiasa bersamanya bersikeras untuk tetap ingin mengobarkan api fitnah dan mengumumkan perang.

Aisyah dan pasukannya merangsek maju hingga mencapai daerah Al-Marbad. Para petinggi pasukan memasuki kota. Usman bin Hanif bersama penduduk kota Basrah keluar menemui mereka. Aisyah, Thalhah dan Zubeir mengajak orang-orang untuk meninggalkan janji baiat yang telah mereka ucapkan kepada Ali bin Abi Thalib dengan alasan menuntut darah Usman bin Affan. Orang-orang yang mendengar pidato ketiga orang itu langsung terbagi antara yang pro dan kontra.

Budak wanita dari Ibn Qudamah As-Sa'di maju menemui Aisyah dan menasihatinya siapa tahu ia mau mengurungkan niatnya untuk mengobarkan api fitnah dan perpecahan. Ia berkata, 'Wahai ummul mukminin! Demi Allah, orang-orang yang membunuh Usman bin Affan lebih rendah dari usahamu keluar dari rumah sambil menunggang unta terlaknat ini. Urungkanlah senjatamu! Sesungguhnya engkau memiliki kemuliaan tersendiri di sisi Allah namun sekarang engkau yang membuka penutup dirimu dan merusak kehormatanmu sendiri. Sesungguhnya siapa saja yang melihat engkau berperang pasti mengetahui bahwa suatu saat ia akan memerangimu. Bila engkau datang kepada kami dengan ketaatan maka lebih baik engkau pulang ke rumahmu. Dan bila engkau cengkal maka masyarakat akan membantuku'.



Peperangan, gencatan senjata dan pengkhianatan
Kedatangan Aisyah ke kota Basrah membuat penduduk kota terbagi menjadi dua kelompok. Sebagian setuju dengan cara pandang Aisyah dan sebagian lain tidak setuju. Mulailah perang mulut di antara mereka. Yang memisahkan mereka adalah malam ketika mereka harus istirahat dan tidur. Usman bin Hanif tetap bersikeras agar jangan sampai terjadi pertumpahan darah. Ia berusaha untuk menjaga agar kota tetap dalam kedamaian sambil menunggu kedatangan Imam Ali bin Abi Thalib ke Basrah. Ketika akhirnya peperangan dimulai dari kedua belah pihak mereka sama-sama menginginkan perdamaian. Untuk itu dilakukanlah gencatan senjata. Perjanjian gencatan senjata berisikan permintaan untuk mengirim seorang utusan ke Madinah dan bertanya kepada penduduk kota Madinah. Bila Thalhah dan Zubeir memang melakukan baiat dengan dipaksa maka Usman bin Hanif harus keluar dari Basrah dan bila ternyata memang mereka ini melakukan baiat maka Thalhah dan Zubeir yang harus keluar dari kota Basrah.

Ka'ab bin Musawwir utusan yang dikirim oleh kedua belah pihak yang mengadakan gencatan senjata kembali dari Madinah dengan klaim Usamah bin Ziyad yang mengatakan bahwa memang benar ketika Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah keduanya dipaksa untuk melakukan baiat sementara pandangan penduduk kota Madinah berbeda seratus delapan puluh derajat dengan pendapat Usamah. Namun para komandan pasukan Aisyah mengambil pendapat Usamah dan pada malam harinya ketika hujan turun mereka langsung menyerang bangunan pemerintah dan membunuh setiap yang ada di sana kecuali Usman bin Hanif karena saudaranya, Sahl bin Hanif adalah gubernur Ali bin Abi Thalib di Madinah. Tidak membunuhnya tidak berarti Usman bin Hanif aman dari penyiksaan. Mereka mencabut bulu-bulunya mulai dari kepala, jenggot dan alisnya.



Usaha Imam Ali bin Abi Thalib menumpas pemberontak
Saat Imam Ali bin Abi Thalib menerima tampuk kepemimpinan menjadi khalifah kaum muslimin ada ganjalan yang mengganggu kestabilan pusat pemerintahan kewibawaannya. Ganjalan itu adalah Muawiyah bin Abu Sufyan yang tidak mau berbaiat kepadanya. Imam Ali bin Abi Thalib AS. telah menyiapkan angkatan bersenjatanya untuk siap setiap saat menjaga kestabilan negara dari para perusuh. Hal itu agar ada jaminan keamanan dan tidak terjadi pertumpahan darah dari umat Islam.

Pasukan yang disiapkan oleh Imam Ali bin Abi Thalib sebenarnya disiapkan untuk menyerang Muawiyah bin Abu Sufyan. Dan karena mengetahui pergerakan pasukan yang dikomandoi oleh Aisyah, Thalhah dan Zubeir, beliau kemudian membawa pasukannya menuju Basrah. Pasukan ini diikuti oleh tokoh-tokoh dari kaum Anshar dan Muhajirin.

Imam Ali bin Abi Thalib sampai di sebuah tempat yang bernama Rabadzah, beliau menulis surat kepada pemerintah-pemerintah daerah untuk menambah personil dan menjelaskan apa sebenarnya yang sedang terjadi. Hal ini agar setiap pemerintah yang ada ikut membantu memadamkan api fitnah yang ada dan memblokirnya agar tidak menyebar. Untuk itu, Imam Ali bin Abi Thalib mengirim utusan ke Kufah. Ketika Muhammad bin Abu Bakar dan Muhammad bin Ja'far mendatanginya dan menerangkan apa maksud kedatangan mereka, Abu Musa Al-Asy'ari gubernur Kufah tidak ingin terlibat membantu Imam Ali bin Abi Thalib bahkan untuk memainkan peran positif memblokir penyebaran fitnah ia pun enggan. Untuk kedua kalinya Imam Ali bin Abi Thalib mengirim utusan. Kali ini sebagai utusan adalah Abdullah bin Abbas. Ia pun tidak mampu meyakinkan Abu Musa untuk meminta pertolongan darinya agar membantunya dan menguatkan semangat masyarakat untuk tetap memihaknya. Akhirnya, untuk kali yang ketiga Imam Ali bin Abi Thalib mengirim anaknya Hasan dan Ammar bin Yasir yang kemudian Malik bin Asytar ikut bergabung. Tugas mereka adalah menurunkan Abu Musa dari kedudukannya. Dengan demikian Kufah dengan segala kekuatannya memihak Imam Ali bin Abi Thalib dan bergabung dengan kekuatan Imam Ali di tempat bernama Dzi Qar.

Dalam hal ini, Imam Ali bin Abi Thalib juga tidak luput mengirim surat dan utusan kepada Thalhah, Zubeir dan Aisyah. Imam Ali bin Abi Thalib tetap masih berharap dapat mengembalikan mereka ke jalan yang benar dan agar mereka faham langkah yang sedang diambil sangat berbahaya bagi keselamatan umat Islam secara keseluruhan. Hendaknya mereka juga berpikir untuk menghindarkan umat dari kesulitan-kesulitan, cobaan-cobaan dan pertumpahan darah. Imam Ali bin Abi Thalib mengirim utusan kepada Aisyah dan kelompoknya. Zaid bin Shuhan, Abdullah bin Abbas dan beberapa orang lain ditugaskan untuk berdialog dengan mereka. Setelah berargumentasi dengan teks-teks wahyu dan akal sehingga pada akhirnya Aisyah berkata kepada Ibnu Abbas, 'Aku tidak mampu berargumentasi di hadapanmu'. Ibnu Abbas berkata, 'Bila engkau tidak mampu berargumentasi di hadapan makhluk bagaimana engkau mampu berargumentasi di hadapan khaliq kelak?!



Nasihat terakhir
Semakin mendekati pintu gerbang kota Basrah, Imam Ali bin Abi Thalib semakin banyak menyurati Thalhah dan Zubeir. Aisyah merasa khawatir dengan surat-surat yang dikirimkan oleh Ali bin Abi Thalib. Kekhawatiran bisa dimaklumi karena jangan-jangan mereka berdua terpengaruh oleh ucapan dan argumentasi Ali bin Abi Thalib. Akhirnya Aisyah mengajak pasukannya untuk keluar menahan pasukan Ali bin Abi Thalib. Ketika kedua pasukan telah saling berhadap-hadapan, Imam Ali bin Abi Thalib memerintahkan seseorang untuk berteriak mengumumkan kepada sahabatnya, 'Jangan ada yang melepaskan busur dari anak panahnya, tidak juga melemparkan batu dan tombak sehingga jelas terlebih dahulu bagi mereka bahwa mereka telah mendengar argumentasi terakhir dan tidak lagi punya alasan untuk mengingkarinya dikemudikan hari'.

Ketika Ali bin Abi Thalib melihat bahwa mereka bersikeras untuk berperang, ia keluar dari barisan pasukan menuju Zubeir dan Thalhah yang berada di antara dua barisan pasukannya. Imam Ali bin Abi Thalib berkata kepada keduanya:

'Demi Allah! Kalian berdua telah menyiapkan pasukan lengkap dengan senjata, kuda dan orang-orang yang siap berperang. Bila kalian berdua menyiapkan semua ini karena memiliki alasan di sisi Allah maka takutlah kepada Allah. Jangan sampai kalian berdua seperti seorang wanita yang menguraikan benang yang sudah dipintalnya dengan kuat menjadi bercerai berai kembali. Apakah aku bukan saudara kalian dalam agama Allah? Kalian mengharamkan darahku dan aku mengharamkan darah kalian. Lalu, ada kejadian apakah yang tiba-tiba membuat darahku halal bagi kalian?

Imam Ali bin Abi Thalib kemudian berbicara khusus kepada Thalhah, 'Engkau membawa istri Rasulullah saw untuk berperang bersamanya sementara engkau meninggalkan istrimu sendirian di rumah?! Apakah alasannya hanya karena tidak berbaiat kepadaku? Kemudian beliau berpaling kepada Zubeir dan berkata, 'Kami telah menganggapmu sebagai bagian dari Bani Abdul Mutthalib sampai anakmu menjadi seorang yang bejat yang berusaha memisahkan kita. Kemudian beliau melanjutkan, 'Apakah engkau masih ingat wahai Zubeir, ketika aku bersama Rasulullah saw melewati Bani Ghanam. Kemudian Nabi melihatku dan kemudian tertawa dan aku juga akhirnya ikut tertawa. Kemudian engkau berkata kepada Rasulullah saw, 'Jangan biarkan ia menjadi sombong dan takabur'. Kemudian Rasulullah saw menjawab omonganmu, 'Ia, Ali bin Abi Thalib, bukan orang yang sombong dan takabur. Pada suatu hari nanti engkau akan memeranginya dan engkau dalam posisi sebagai orang yang zalim! Zubeir menjawab, 'Betul apa yang engkau katakan'.

Diriwayatkan juga bahwa Zubeir kemudian meninggalkan medan pertempuran namun di tempatnya yang jauh dari medan pertempuran ia dibunuh. Sayangnya itu terjadi setelah api fitnah telah menyala. Sebagaimana juga akhir nasib Thalhah yang kemudian dibunuh oleh Marwan bin Hakam jauh dari medan pertempuran.



Perang dimulai
Imam Ali bin Abi Thalib AS. sangat berharap pada akhirnya sebelum perang dimulai kelompok Nakitsin berbalik dari niat mereka semula. Ia tidak memperbolehkan satu orang pun dari pasukannya untuk memulai peperangan sekalipun ia melihat bagaimana para komandan pasukan Nakitsin sudah tidak sabar lagi untuk memulia peperangan. Imam Ali bin Abi Thalib berkata kepada para pengikutnya, 'Tidak kuperkenankan satu orang pun dari kalian memanah musuh dan tidak kuperbolehkan untuk melempar tombak ke barisan musuh sehingga mereka yang terlebih dahulu memulai peperangan dan terjadi sesuatu pada kalian. Tunggu sampai mereka memulai peperangan'.

Akhirnya, pasukan Jamal (unta) tidak lagi dapat menahan kesabarannya dan memulai peperangan. Mereka memulai memanah pasukan Ali bin Abi Thalib dan membunuh satu orang dari pasukannya. Imam Ali bin Abi Thalib masih belum memperkenankan pasukannya untuk bergerak. Orang kedua pun gugur terkena panah. Ali bin Abi Thalib masih tetap dengan sikapnya semula menahan pasukannya. Ketika orang ketiga pun akhirnya gugur, Imam Ali bin Abi Thalib tidak lagi dapat menahan dirinya. Ia memberikan izin dan memerintahkan pasukannya untuk mulai bergerak mempertahankan kebenaran dan keadilan.

Kedua pasukan kemudian maju dan saling memerangi satu dengan yang lainnya. Peperangan yang sangat hebat dan betul-betul menakutkan. Kepala-kepala menggelinding terpisah dari badannya, tangan-tangan yang putus berserakan dan luka-luka yang diderita oleh kedua belah pihak sudah sangat banyak. Imam Ali bin Abi Thalib AS. berdiri mengevaluasi apa yang terjadi di medan pertempuran. Ia melihat bagaimana pasukan Jamal berusaha mati-matian mempertahankan unta mereka. Imam Ali bin Abi Thalib kemudian berteriak dengan suara lantang, 'Celakalah kalian! Sembelih unta itu. Unta itu adalah setan'.

Imam Ali bin Abi Thalib AS. bersama para sahabatnya kemudian menerjang merangsek ke depan sehingga berhasil mendekati unta yang dipertahankan mati-matian dan kemudian menyembelihnya. Melihat sepak terjang bin Abi Thalib dan pasukannya, sebagian dari pasukan Jamal melarikan diri dari medan pertempuran. Imam Ali bin Abi Thalib kemudian memerintahkan pasukannya untuk membakar unta yang berhasil mereka bunuh dan kemudian menebarkan abunya ke udara agar tidak ada orang yang mempergunakannya untuk menipu orang-orang awam. Setelah melakukan semuanya Imam Ali bin Abi Thalib kemudian berkata, 'Semoga Allah melaknat unta tadi. Ia sama persis dengan anak sapi Bani Israel'.

Imam Ali bin Abi Thalib memandang abu yang terbang di angkasa sambil membaca ayat 'Dan lihatlah tuhanmu itu yang kamu tetap menyembahnya. Kami akan membakarnya, kemudian kami sungguh-sungguh akan menghamburkannya ke dalam laut (berupa abu yang berserakan)'.



Sikap Imam Ali bin Abi Thalib setelah perang Jamal
Perang Jamal dimenangkan oleh pasukan Imam Ali bin Abi Thalib. Perang telah selesai. Debu-debu yang beterbangan telah hilang. Imam Ali bin Abi Thalib memerintahkan salah seorang untuk mengumumkan pemberian amnesti umum untuk kategori-kategori berikut ini: Ketahuilah! Siapa saja yang tidak membunuh orang yang terluka, siapa saja yang tidak ikut pemimpin perang Jamal, siapa saja yang tidak menghina gubernur, siapa saja yang meletakkan senjata maka dia aman. Siapa saja yang menutup pintunya maka ia aman tidak akan diganggu. Dilarang kepada pasukan untuk mengambil harta pasukan Jamal kecuali yang ditemukan di medan pertempuran seperti senjata dan lain-lainnya yang dipakai untuk bertempur. Sementara harta mereka selain yang disebutkan menjadi milik pewarisnya.

Imam Ali bin Abi Thalib memerintahkan kepada Muhammad bin Abu Bakar dan Ammar bin Yasir untuk membawa sekedup Aisyah yang tergeletak di antara orang-orang yang terbunuh di tengah-tengah medan pertempuran diletakkan kembali di atas unta. Muhammad bin Abu Bakar yang mengurusi semua urusan saudarinya Aisyah. Pada malam hari menjelang pagi hari Muhammad membawanya memasuki kota Basrah dan menginapkannya di rumah Abdullah bin Khalaf Al-Khuza'i.

Setelah semuanya beres, Imam Ali bin Abi Thalib kemudian berputar mengelilingi mayat-mayat dari pasukan Jamal dan berbicara kepada mereka dengan mengulang-ulangi perkataan, 'Aku telah menemukan apa yang telah dijanjikan kepadaku oleh Tuhanku sebagai sebuah kebenaran. Apakah kalian juga mendapatkan janji dari Tuhan kalian sebagai kebenaran?

Imam Ali bin Abi Thalib berkata lagi, 'Sungguh hari yang paling hina dan tercela bagi orang yang menginginkan kematian kami dan selain kami. Namun yang lebih celaka lagi adalah mereka yang hendak memerangi dan membunuh kami.

Imam Ali bin Abi Thalib tinggal sebentar di luar kota Basrah dan tidak langsung memasukinya. Ia memberikan izin kepada siapa saja yang memiliki kerabat yang terbunuh di peperangan Jamal untuk menguburkan mayatnya. Setelah itu, Imam Ali bin Abi Thalib memasuki kota Basrah pusat kelompok Nakitsin. Setelah sampai di Masjid Basrah Imam Ali bin Abi Thalib kemudian melakukan salat dan setelah itu berpidato di hadapan orang-orang Basrah dan pasukannya. Imam Ali bin Abi Thalib mengingatkan mereka akan baiat yang telah mereka ucapkan sebelumnya dan posisi serta sikap kelompok Nakitsin terhadap baiat. Masyarakat Basrah yang merasa bersalah meminta kebesaran hatinya untuk mengampuni mereka. Imam Ali bin Abi Thalib berkata, 'Aku telah memberikan ampunan kepada kalian. Tapi kalian harus waspada untuk tidak lagi melakukan dan mengobarkan fitnah. Kalian adalah kelompok yang paling pertama merobek perjanjian yang telah kalian lakukan dengan membaiatku. Kalian orang pertama yang memorak-porandakan persatuan umat Islam. Kemudian masyarakat yang hadir termasuk tokoh-tokoh masyarakat Basrah kembali mengulangi dan memperbaiki baiat mereka kepada Imam Ali bin Abi Thalib.

Setelah menerima pembaiatan kedua kali dari masyarakat Basrah, Imam Ali bin Abi Thalib kemudian masuk ke Baitul Mal kota Basrah. Ketika ia melihat jumlah harta yang dimiliki sangat banyak ia berkata, 'Berikan harapan kepada selainku'. Beliau mengucapkannya berkali-kali. Imam Ali bin Abi Thalib kemudian memerintahkan untuk membagi uang yang ada di Baitul Mal kepada semua penduduk dengan sama rata. Setiap orang pada saat itu menerima lima ratus dirham. Imam Ali sendiri juga mendapat bagian yang sama dengan yang lain. Ketika harta Baitul Mal telah terbagi habis, datang seorang menghadap Imam Ali bin Abi Thalib. Ia tidak hadir pada peperangan Jamal namun meminta bagiannya. Imam Ali bin Abi Thalib lalu memberikan kepada orang tersebut bagiannya yang didapat. Semua sudah mendapat bagian kecuali Imam Ali bin Abi Thalib yang telah memberikan bagiannya kepada orang tadi.

Kemudian Imam Ali bin Abi Thalib memerintahkan untuk mempersiapkan segala sesuatu untuk perjalanan Aisyah menuju Madinah. Imam Ali bin Abi Thalib mengutus Muhammad saudaranya dan beberapa orang wanita yang dipersenjatai dengan memakai sorban untuk mendampingi Aisyah hingga tiba di Madinah dengan selamat. Akan tetapi Aisyah masih berburuk sangka dengan Imam Ali bin Abi Thalib karena menyangka dirinya tidak diperlakukan semestinya dengan diiringi oleh segerombolan laki-laki asing. Namun setelah ia tahu bahwa Imam Ali bin Abi Thalib tidak demikian karena yang mendampinginya adalah wanita-wanita yang dipakaikan sorban dan saudaranya Muhammad ia kemudian menyesal. Ia akhirnya menyesali atas perbuatannya keluar dan ikut dengan pasukan Jamal menentang khalifah terpilih yang kemudian menjadi fitnah yang tidak mungkin ditarik lagi. Nasi telah menjadi bubur. Aisyah kemudian menangis tersedu-sedu.



Dampak negatif perang Jamal
Perang Jamal meninggalkan akibat-akibat negatif terhadap masyarakat Islam, antara lain:

1. Masalah pembunuhan Usman makin berkembang luas sehingga menjadi masalah politik besar yang kemudian menjadi lokomotif bagi munculnya arus yang secara langsung menyerang risalah Islam baik dengan ucapan maupun dengan amal. Di sisi lain Muawiyah bin Abu Sufyan juga memanfaatkan kondisi ini untuk mengambil keuntungan pribadi menyempurnakannya dengan adanya peperangan Jamal dan darah yang tumpah di sana.

2. Kebencian dan kecurigaan mengancam integritas kaum muslimin yang terkadang menjadi sebab bagi peperangan di antara mereka. Seperti yang terjadi antara kelompok penduduk Basrah dengan kaum muslimin dari daerah-daerah yang lain. Kebencian dan permusuhan diakibatkan karena tuntutan akan kerabat mereka yang meninggal dan terbunuh di perang Jamal.

3. Penyimpangan yang terjadi di dalam kubu kaum muslimin sendiri semakin merekah. Kondisi ini mengakibatkan tugas Imam Ali bin Abi Thalib menjadi semakin berat. Hal itu ditambah dengan pembangkangan Muawiyah bin Abu Sufyan di Syam. Pembangkangan ini sendiri telah membuka medan baru yang berakibat pada ekspansi dan perluasan wilayah Islam menjadi bermasalah. Demikian juga gerakan Muawiyah telah membuat sulit proses pembaharuan dan perbaikan peradaban yang mungkin dapat dilakukan di dalam masyarakat Islam.

4. Kebencian dan penyimpangan telah membuka jalan kepada mereka yang menentang pemerintahan yang sah untuk dengan mudah menyelesaikan masalah mereka dengan kekuatan senjata dan perang.



Kufah menjadi ibu kota pemerintahan Islam
Setelah kondisi perlahan-lahan tenang, Imam Ali bin Abi Thalib dan pasukannya bergerak menuju kota Kufah untuk dijadikan ibu kota. Sebelum itu, Imam Ali bin Abi Thalib telah mengirikan utusan ke sana untuk menjelaskan detil masalah apa yang sebenarnya telah terjadi. Sebagaimana juga Imam Ali bin Abi Thalib telah mengutus dan menjadikan Abdullah bin Abbas sebagai gubernur di sana serta menjelaskan secara lengkap bagaimana bersikap dan menghadapi mereka setelah kejadian perang Jamal.

Alasan Imam Ali bin Abi Thalib memilih Kufah sebagai ibu kota baru bagi negara Islam dengan memperhatikan alasan-alasan yang di antaranya:

1. Perluasan area dan teritori dunia Islam. Hal ini harus diimbangi dengan adanya sebuah ibu kota yang terpusat baik secara administrasi dan politik. Dan untuk itu, ibu kota harus berada di tempat yang strategis untuk dapat bergerak cepat mencapai semua titik di negara Islam.

2. Pertimbangan terbesar lainnya adalah orang-orang yang turut membantu Imam Ali bin Abi Thalib dalam menumpas pasukan Jamal adalah tokoh-tokoh dan masyarakat Irak dan yang paling banyak memberikan bantuan adalah dari Kufah.

3. Kondisi politik dan ketegangan yang disebabkan oleh pembunuhan Usman bin Affan dan perang Jamal membuat Imam Ali bin Abi Thalib memutuskan memilih Kufah sebagai ibu kota baru untuk memastikan dan memberikan keamanan pada daerah sekitar itu.



18
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib AS.

Imam Ali bin Abi Thalib bersama Qasithin (pasukan Shiffin)

Persiapan Muawiyah untuk memerangi Imam Ali bin Abi Thalib
Pemindahan ibu kota pemerintahan Islam oleh Imam Ali bin Abi Thalib ke Kufah sangat menggusarkan Muawiyah bin Abu Sufyan. Hal itu dikarenakan ia melihat bahwa pemindahan itu dengan maksud menyatukan negara Islam dan membangun kebudayaan Islam berdasarkan Al-Quran dan Sunah Nabi saw. Reaksi pertama yang dilakukannya adalah meminta bantuan Amr bin Ash sebagai konsultannya karena ia terkenal dengan tipu muslihatnya dan yang paling penting adalah adanya kesamaan dalam membenci Islam dan Imam Ali bin Abi Thalib. Amr bin Ash tidak menunggu lama setelah menerima surat Muawiyah. Selama ini yang menjadi tujuannya adalah ketamakannya kepada dunia. Ia tidak menganggap penting agama sekalipun dapat menjaminnya masuk surga sekalipun.

Sesaat ketika Amr bin Ash tiba di Syam ia langsung mempraktekkan rencana awalnya membohongi masyarakat dengan menangis tersedu-sedu seperti biasanya seorang wanita menangisi keluarga terdekatnya yang meninggal. Setelah menyusun rencana tipu muslihat, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Amr bin Ash kemudian tawar menawar harga apa yang bakal didapat. Amr bin Ash memberikan syarat bahwa bila rencananya berhasil dalam menghadapi Imam Ali bin Abi Thalib ia meminta menjadi gubernur di kota Mesir. Muawiyah bin Abu Sufyan menerima syarat tersebut dan langsung surat perjanjian ditulis olehnya.

Setelah sepakat keduanya mulai menyiapkan rencana bagaimana caranya menghadapi Imam Ali bin Abi Thalib dan menjatuhkannya. Dan rencana yang akan dijalankan tidak jauh dari tipu muslihat. Karena tanpa tipu muslihat mereka tidak akan mencapai tujuannya menghadapi Imam Ali bin Abi Thalib selaku pewaris sahih kekhalifahan sekaligus pembawa bendera kebenaran dan keadilan. Mereka sepakat menjadikan pakaian Usman bin Affan yang sebelumnya sengaja meninggalkannya sehingga terbunuh. Baju Usman dipakai untuk menggerakkan emosi dan akal masyarakat yang tidak sadar. Mereka berdua mengangkat baju Usman bin Affan di atas mimbar setelah dibawa ke Syam oleh Nu'man bin Basyir. Ketika orang-orang melihat baju Usman bin Affan yang dipakainya ketika ia dibunuh, serentak mereka menangis tersedu-sedu. Tanpa mereka sadari, rasa kebencian menguat menghunjam di dalam hati mereka. Mereka seakan-akan buta dengan petunjuk dan kebenaran.

Muawiyah bin Abu Sufyan membutuhkan dukungan yang lebih kuat dan solid dari masyarakat. Untuk itu, Amr bin Ash mempergunakan cara lain lagi selain baju Usman bin Affan. Ia memanfaatkan Syarahbil bin Samth Al-Kindi sebagai penggerak awal. Syarahbil dikenal sebagai orang yang banyak ibadah dan ditokohkan oleh kabilah-kabilah Syam. Syarahbil membenci Jarir selaku utusan Imam Ali bin Abi Thalib yang datang ke Syam menemui Muawiyah bin Abu Sufyan. Satu sisi dari sifat Syarahbil yang membuatnya mudah dimanfaatkan oleh Amr bin Ash karena ia tidak mengambil informasi dari sumber-sumber aslinya. Tipu muslihat ini sempurna karena Syarahbil ternyata menuntut Muawiyah bin Abu Sufyan untuk membalas dendam terbunuhnya Usman bin Affan. Tanpa sadar ia telah menjadi alat propaganda gratis dari pihak Muawiyah untuk mempengaruhi masyarakat untuk memerangi Ali bin Abi Thalib.



Menguasai sungai Furat
Setelah mobilisasi masyarakat Syam untuk berperang, Muawiyah meminta baiat dari masyarakat dan menulis surat kepada Imam Ali bin Abi Thalib menantangnya berperang yang dibawa oleh Jarir yang tunduk dan taat kepada Imam Ali bin Abi Thalib. Kemudian dengan cepat Muawiyah membawa pasukannya bergerak ke daerah yang lebih tinggi dari sungai Furat di lembah yang bernama Shiffin. Ia sengaja menduduki tempat itu untuk mencegah Imam Ali bin Abi Thalib dan pasukannya memanfaatkan air sungai Furat. Dalam siasat perangnya, Muawiyah menganggap menguasai daerah sungai Furat adalah kemenangan pertamanya. Benar saja, keterlambatan Imam Ali bin Abi Thalib menuju daerah tersebut memaksanya meminta kepada Muawiyah bin Abu Sufyan untuk memberikan kesempatan kepada pasukannya meminum air sungai Furat. Permintaan Imam Ali bin Abi Thalib itu ditolak mentah-mentah oleh Muawiyah. Rasa haus yang melanda pasukan Imam Ali bin Abi Thalib yang sebagian besar terdiri dari orang Irak semakin mempersulit dirinya karena mereka menuntut untuk tidak perlu lagi memblokade pasukan Muawiyah. Akhirnya Imam Ali bin Abi Thalib memberi izin kepada pasukannya untuk menyerang pasukan Muawiyah yang bertahan di pinggiran sungai. Serangan itu membuahkan hasil dan kekuatan Muawiyah berhasil diusir dari daerah itu.

Setelah menguasai tepi sungai Furat ternyata Imam Ali bin Abi Thalib tidak melakukan pembalasan dendam dengan melakukan hal yang sama dilakukan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan. Imam Ali bin Abi Thalib memberikan izin kepada pasukan Muawiyah untuk ikut memanfaatkan air sungai Furat.



Usaha damai
Sekalipun Imam Ali bin Abi Thalib berusaha untuk tetap mengirim surat untuk melakukan komunikasi agar mencari jalan keluar dari masalah yang dihadapi, bahkan Imam Ali bin Abi Thalib telah membuka beberapa kanal yang dapat menampung pandangan Muawiyah bin Abu Sufyan agar ia dapat tetap pada baiatnya, namun Muawiyah tetap bersikeras untuk memeranginya. Ia sudah mantap dengan niatnya untuk menghancurkan Imam Ali bin Abi Thalib dan pasukannya dengan segala cara. Melihat itu Imam Ali bin Abi Thalib belum merasa putus asa untuk tercapainya perdamaian antar kedua pasukan. Imam Ali AS. setelah menguasai daerah tepian sungai Furat mengusulkan untuk diadakan gencatan senjata sementara yang dipergunakannya dengan mengirim utusan kepada Muawiyah bin Sufyan. Mereka yang diutus adalah Basyir bin Muhsin Al-Anshari, Said bin Qais Al-Hamadani dan Syibts bin Rub'i At-Tamimi. Imam Ali bin Abi Thalib menasihati mereka, 'Temui orang itu (muawiyah) dan ajaklah ia kepada Allah, ketaatan dan jama'ah (persatuan)'.

Jawaban yang diberikan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan adalah tetap dan sama yaitu pedang dan perang. Ia berkata kepada utusan Imam Ali bin Abi Thalib, 'Enyahlah kalian dari sisiku. Antara kita tidak ada yang lain kecuali pedang (perang)'.



Perang setelah gencatan senjata
Terjadi peperangan kecil-kecilan antara kedua pasukan namun belum meletup menjadi peperangan besar. Namun, setelah itu kedua pasukan keluar dengan kekuatan penuh saling berhadap-hadapan dan perang pun dimulai. Peperangan terhenti ketika memasuki bulan Muharam tahun 37 H dan terjadi gencatan senjata untuk kedua kalinya. Dalam masa gencatan senjata ini Imam Ali bin Abi Thalib memanfaatkannya untuk mencapai perdamaian dengan Muawiyah bin Abu Sufyan. Ide Imam Ali bin Abi Thalib adalah mengajak untuk berdamai, menyatukan kalimat dan tidak menumpahkan darah sesama muslim. Sementara Muawiyah bin Abu Sufyan mengajak pengikut Imam Ali bin Abi Thalib untuk meninggalkan baiat kepadanya sekaligus menuntut darah Usman bin Affan. Gencatan senjata berjalan hingga satu bulan penuh. Perang kecil-kecilan yang terjadi cukup lama mengakibatkan kedua pasukan sama-sama mengalami kelelahan. Imam Ali bin Abi Thalib kemudian menyiapkan pasukannya untuk peperangan besar, hal yang sama dilakukan juga oleh Muawiyah. Kedua pasukan kemudian bertemu dan memulai peperangan yang sangat hebat dan mencekam. Imam Ali bin Abi Thalib senantiasa mewasiatkan pasukannya dengan ucapannya, 'Jangan kalian membunuh musuh sebelum mereka melakukannya terlebih dahulu. Alhamdulillah kalian berada dalam kebenaran'. Kemudian beliau melanjutkan, 'Bila mereka memerangi kalian pasti kalian akan dapat mengalahkan mereka. Jangan membunuh pemimpin, orang yang terluka, jangan membuka aurat dan jangan berpura-pura mati'.

Peperangan terus berlanjut. Ada yang melarikan diri dari medan pertempuran sebagaimana masih banyak yang tinggal dan bertempur. Jumlah yang mati dan terluka dari kedua belah pihak sangat banyak mencapai angka puluhan ibu.



Kematian Ammar bin Yasir
Diriwayatkan bahwa Ammar bin Yasir keluar dari barisan pasukan dan berkata, 'Sesungguhnya aku melihat wajah-wajah orang yang senantiasa saling membunuh sehingga mereka penopang kebatilan mulai ragu. Demi Allah! Seandainya kami berhasil mengalahkan musuh sehingga mereka bagaikan orang-orang yang berpenyakit kurap yang ditelantarkan. Kami melakukan perang atas dasar kebenaran sementara mereka dengan landasan kebatilan'. Setelah itu ia kemudian maju menyerang ke depan menghadapi pasukan Muawiyah sambil mengucapkan syair:

Sebelumnya kami memerangi mereka karena tanzil (turunnya wahyu)

Sekarang kami memerangi mereka karena ta'wil (tafsiran wahyu)

Perang yang melenyapkan angan-angan dari orangnya

Yang menghilangkan kecintaan dari sang pecinta

Atau kebenaran kembali pada jalannya

Ammar bin Yasir yang terkenal dengan kebenaran dan keikhlasan serta keberaniannya maju terus ke depan menerobos pertahanan musuh. Anak-anak panah telah menghunjam di badannya bahkan Abu Adiyah dan Ibnu Jun As-Siksiki menikamnya sehingga menemui ajalnya. Mereka berdua berselisih paham dalam masalah kepala Ammar bin Yasir, siapa yang akan memenggalnya dan mengirimkannya kepada Muawiyah bin Abu Sufyan sementara Abdullah bin Amr bin Ash sedang duduk di situ. Ia berkata, 'Hendaknya kalian berdua memiliki perangai yang baik kepada tuannya. Aku pernah mendengar Rasulullah saw berkata kepada Ammar bin Yasir, 'Wahai Ammar sekelompok orang yang zalim akan membunuhmu'.

Imam Ali bin Abi Thalib hatinya sangat galau ketika Ammar bin Yasir muncul untuk berperang. Ia tidak berhenti menanyakan tentang Ammar bin Yasir sehingga pada akhirnya diberitahukan kepadanya akan kesahidannya. Mendengar itu Imam Ali bin Abi Thalib langsung menyampaikan dirinya di tempat terbunuhnya Ammar bin Sufyan. Imam Ali bin Abi Thalib benar-benar sedih menitikkan air matanya. Telah berpisah darinya seorang penolong, pemberi nasihat dan saudara yang tepercaya. Imam Ali bin Abi Thalib kemudian menyalati dan kemudian mengebumikannya.

Berita kematian Ammar bin Yasir tersebar di kedua belah pihak. Mendengar kabar itu, pasukan Muawiyah mulai gentar karena tahu siapa Ammar bin Yasir dan hadis Rasulullah saw tentangnya. Akan tetapi itu tidak berlangsung lama karena lagi-lagi tipu muslihat yang dilancarkan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan mampu meredam gejolak yang sempat terjadi. Itu dipermudah dengan kesederhanaan pasukannya. Muawiyah menyebarkan berita bahwa yang membunuh Ammar bin Yasir adalah mereka yang membawanya ke medan perang. Lucunya adalah orang-orang Syam yang sederhana kemudian mempercayainya.

Diriwayatkan bahwa kabar tipu muslihat yang diberitakan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan akhirnya sampai ke telinga Imam Ali bin Abi Thalib dan akhirnya beliau berkata, 'Kami juga yang membunuh Hamzah karena mengajaknya ikut perang di Uhud?



Muslihat pengangkatan Mushaf
Peperangan berlanjut berhari-hari. Kesabaran pasukan Imam Ali bin Abi Thalib masih terlihat dan itu dikarenakan tujuan mereka adalah memenangkan kebenaran. Imam Ali bin Abi Thalib kemudian berdiri dan berpidato memeberi semangat kepada pasukannya untuk tetap bersemangat berjihad di jalan Allah. Ia berkata, 'Wahai para sahabatku! Kalian telah sampai pada apa yang menjadi tujuan kalian dan musuh kalian seperti yang kalian lihat. Yang tersisa dari mereka adalah nafas terakhir. Urusan perang ini bila berbalik maka yang akhir akan berubah menjadi awal. Mereka telah bersabar melakukan peperangan menghadapi kita padahal tidak berlandaskan agama. Sementara kita telah sampai dari mereka apa yang telah kita lakukan. Sementara keesokan hari, pagi-pagi sekali, aku akan menghakimi mereka kepada Allah swt'.

Kabar tentang pidato Imam Ali bin Abi Thalib sampai ke Muawiyah bin Abu Sufyan. Ia melihat kekalahan sudah di depan mata pasukannya. Cepat-cepat ia memanggil Amr bin Ash sebagai konsultannya agar memberikan jalan keluar untuk peperangan keesokan hari. Ia berkata kepada Amr, 'Sekarang adalah malam bila menjelang esok kita belum memiliki rencana apa-apa maka Ali akan mengalahkan kita. Apa pendapat dan rencanamu?

Amr bin Ash berkata, 'Menurut evaluasiku anak buahmu sudah tidak tampak seperti anak buah Ali bin Abi Thalib dan engkau juga bukan dia. Ali bin Abi Thalib akan memerangimu karena kebenaran sementara engkau memeranginya karena hal lain. Engkau berperang untuk tetap hidup tetapi dia berperang agar cepat mati. Orang-orang Irak takut padamu bila engkau memenangkan peperangan ini. Sementara penduduk Syam tidak takut bila Ali bin Abi Thalib yang memenangkan peperangan ini. Sekarang, lontarkan sebuah ide yang bila pasukan Ali bin Abi Thalib menerimanya niscaya mereka akan saling berselisih satu dengan lainnya dan bila mereka menolaknya hasilnya juga sama, mereka akan berselisih. Ajak mereka untuk menjadikan Al-Quran sebagai penentu dan hakim antara engkau dan mereka'.

Muawiyah bin Abu Sufyan kemudian memerintahkan pasukannya untuk mengangkat mushaf Al-Quran ke atas dengan ditancapkan di ujung tombak. Orang-orang Syam kemudian berteriak memanggil seterunya dari Irak, 'Wahai orang-orang Irak! Ini adalah Kitab Allah berada di antara kami dan kalian, lengkap dari awal hingga akhirnya. Siapa yang berada di dalam lobang orang-orang Syam setelah mereka dan siapa yang berada di lobang orang-orang Irak setelah mereka?

Seruan yang penuh dengan tipu muslihat ini bagaikan petir yang menyambar kepala pasukan Imam Ali bin Abi Thalib. Keadaan mulai tidak tenang, timbul bisik-bisik di sana sini. Akhirnya mereka terpengaruh juga dengan seruan tersebut dan berkata, 'Kami akan menjawab seruan itu dan mengikutinya. Kami akan kembali kepada Al-Quran'. Dari anggota pasukan Imam Ali bin Abi Thalib yang paling getol mengampanyekan seruan tesebut salah satu dari komandan pasukan Imam Ali bin Abi Thalib yang bernama Al-Asy'ats bin Qais.

Melihat keadaan yang semakin kacau dan tidak terkendali Imam Ali bin Abi Thalib kemudian berkata kepada mereka, 'Wahai hamba-hamba Allah! Lanjutkan rencana kalian yang telah menjadi hak kalian yang berada di atas kebenaran dan perangi musuh-musuh kalian. Muawiyah bin Abu Sufyan, Amr bin Ash, Ibnu Abi Mu'ith, Habib bin Abi Maslamah dan Ibnu Abi Sarh serta Ad-Dhahhak bukanlah orang berpegangan teguh dengan agama dan Al-Quran. Aku lebih mengenal mereka dibandingkan kalian. Aku telah mengenal mereka semenjak kecil hingga besar dan tua. Mereka sejak dari kecilnya adalah orang orang-orang yang tidak baik. Aku perlu mengingatkan kalian, demi Allah, tujuan mereka mengangkat Al-Quran hanya untuk menipu dan melemahkan kalian. Kalimat yang mereka ucapkan memang benar namun tujuan yang diinginkan adalah kebatilan'.

Mayoritas mereka berkata kepadanya dengan memanggil namanya, 'Wahai Ali! Kabulkan yang mereka inginkan sesuai dengan Kitab Allah swt bila engkau diajak untuk berpegangan dengannya. Seandainya engkau menolak untuk menerima seruan tersebut niscaya kami akan meninggalkanmu seorang diri berperang dengan mereka atau kami akan melakukan sebagaimana yang dilakukan terhadap Usman bin Affan!

Imam Ali bin Abi Thalib AS. tidak dapat berbuat apa-apa di depan pasukannya yang telah termakan tipu muslihat pasukan musuh. Akhirnya ia berkata, 'Bila kalian masih menaati aku maka mari kita pergi berperang, namun bila kalian ingin membangkang dari perintahku maka lakukanlah apa yang kalian suka'.

Di medan pertempuran Malik Al-Asytar maju dengan gagah berani dan dengan penuh keyakinan. Ia berhasil merangsek ke depan memukul mundur barisan musuh sehingga hampir sampai di tempat Muawiyah berada. Orang-orang, pasukan Imam Ali, yang melihat kejadian tersebut berkata kepada Imam Ali bin Abi Thalib, 'Perintahkan orang untuk menemui Malik agar kembali! Akan tetapi Malik Al-Asytar tidak menggubris semua itu dan tetap melanjutkan peperangan. Ia tahu benar bahwa pengangkatan mushaf Al-Quran hanya tipu daya Muawiyah bin Abu Sufyan. Namun mereka kemudian tidak diam karena langsung mengancam untuk membunuh Imam Ali bin Abi Thalib. Melihat kenyataan itu Malik Al-Asytar kembali dan langsung menuding mereka dan berkata, 'Demi Allah! Kalian telah termakan tipu muslihat mereka. Kalian diharap untuk tidak melanjutkan peperangan dan itu kalian terima. Wahai orang-orang yang dahinya hitam! Bukankah kita menganggap salat kalian adalah tameng dari godaan dunia dan menambah kecintaan untuk menemui Allah? Apa yang aku lihat hanyalah pelarian kalian dari kematian menuju dunia'.

Mereka ke depan dan menjawab bahwa Imam Ali bin Abi Thalib AS. setuju dengan seruan Muawiyah padahal Imam Ali hanya terdiam tidak berkata satu kata apapun sambil mengetuk-ngetuk kepalanya dengan sedih. Pasukannya benar-benar telah termakan oleh tipu daya dan perang urat syaraf yang dilancarkan oleh pasukan musuh dan pada gilirannya mereka kemudian menjadi pembangkang. Imam Ali bin Abi Thalib tidak mampu berbuat apa-apa. Beliau kemudian mengucapkan apa yang mengganjal di hatinya, 'Bila kemarin aku adalah pemimpin kalian sementara sekarang aku menjadi rakyat yang dipimpin. Dan bila kemarin aku melarang kalian untuk berbuat sesuatu sekarang aku yang kalian larang'.



Penghakiman (tahkim) dan rekonsiliasi
Ternyata ujian yang menimpa Imam Ali bin Abi Thalib tidak berhenti pada pasukannya yang terperdaya. Karena sangat mungkin sekali setelah itu pasukan musuh bakal mendapatkan raihan politis lewat perundingan yang akan diadakan sebagai konsekuensi menerima seruan sebelumnya. Peluang tersebut akan semakin terbuka bila mereka yang membangkang dari perintahnya mau mengikuti permainan yang sedang dijalankan musuh dengan memilih seorang juru bicara dalam proses rekonsiliasi tersebut. Bila itu sampai terjadi Imam Ali bin Abi Thalib sudah mempersiapkan kandidatnya untuk dikirim berunding dengan pihak Muawiyah. Orang tersebut adalah Abdullah bin Abbas atau Malik Al-Asytar karena Imam Ali bin Abi Thalib mengetahui keikhlasan dan mawas diri keduanya. Namun pada saat yang sama mereka yang telah terbius dengan provokasi Muawiyah bersikeras agar Abu Musa Al-Asy'ari yang menjadi utusan dari mereka. Imam Ali bin Abi Thalib langsung angkat bicara, 'Kalian telah membangkang dari perintahku pada awalnya, maka sekarang jangan kalian membangkang lagi. Mengapa aku tidak memilih Abu Musa karena ia orang yang tidak bisa dipercaya. Ia telah memisahkan dirinya dari aku dan menjauhkan orang-orang dariku, di Kufah ketika hendak berperang dengan pasukan Aisyah, kemudian ia lari dari ku kemudian aku memberikan jaminan keamanan kepadanya setelah beberapa bulan setelah kejadian tersebut'.

Muawiyah bin Abu Sufyan dan Amr bin Ash mampu memorak-porandakan barisan Imam Ali bin Abi Thalib karena dibantu dari dalam oleh Al-Asy'ats bin Qais yang memainkan peran musuh dalam selimut.

Amr bin Ash secara aklamasi dipilih menjadi perwakilan dari kubu Muawiyah untuk merumuskan poin-poin kesepakatan bersama Abu Musa Al-Asy'ari. Amr bin Ash tidak menyetujui penulisan kata 'Amir mukminin' di kertas perjanjian. Imam langsung teringat dan berkata, 'Ini adalah hari yang sama pada perjanjian damai Hudaibiyah ketika Suhail bin Umar berkata kepada Nabi, 'Engkau bukan utusan Allah'. Kemudian Rasulullah saw berkata kepadaku, 'Apa yang terjadi padaku akan menimpamu juga. Engkau terpaksa menerimanya karena waktu itu kondisimu tertekan'.

Poin penting dalam perjanjian rekonsiliasi itu adalah gencatan senjata dan penghentian perang, kedua pihak harus kembali kepada Kitab Allah dan Sunah Nabi-Nya dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi. Pelaksanaan kesepakatan yang telah ditandatangani oleh kedua belah pihak diundur hingga bulan Ramadhan tahun 37 H. Perjanjian itu sendiri ditulis pada bulan Safar pada tahun yang sama. Yang aneh adalah masalah menuntut balas atas pembunuhan Usman bin Affan sama sekali tidak dimasukkan walaupun hanya sekedar sinyal saja padahal masalah ini yang sebelumnya menjadi sebab orang-orang seperti Muawiyah bin Abi Sufyan dan kroniknya, orang-orang yang diberi amnesti setelah pembebasan kota Mekkah. Dan kesepakatan tempat pertemuan dua utusan untuk penghakiman akan diadakan di Daumatul Jandal.



Sikap cerdas Malik Al-Asytar
Diriwayatkan bahwa Malik Al-Asytar diminta untuk menjadi saksi perjanjian rekonsiliasi tersebut dan hendaknya membubuhkan tanda tangannya di situ. Malik Al-Asytar berkata, 'Tangan kanan dan kiriku tidak dapat membantuku untuk menuliskan nama di atas kertas perjanjian ini. Bukankah ini akan menjadi bukti di hadapan Tuhanku terhadap sikapku dalam menghadapi musuh? Dan bukankah kalian telah melihat kemenangan di hadapan mata?

Mereka mencoba mengadukan sikap Malik Al-Asytar kepada Imam Ali bin Abi Thalib bahwa ia tetap tidak setuju dengan apa yang telah disepakati dalam perjanjian. Yang diinginkan adalah terus berperang mengalahkan musuh.

Imam Ali bin Abi Thalib menjawab, 'Demi Allah! Aku sendiri tidak rela dan belum memberikan jawaban atas apa yang telah kalian lakukan'. Kemudian oleh beliau ditambahkan, 'Aku sangat berharap bila saja aku memiliki dua orang seperti Malik Al-Asytar di antara kalian. Andai saja ada seorang saja dari kalian yang sepertinya bagaimana ia memandang musuh sebagaimana aku memandang. Ia pasti meringankan bebanku akan kalian. Aku sangat berharap ada sebagian yang tetap bertahan untuk tetap berperang dan itu akan membuatku menyenangi kalian. Aku telah melarang namun kalian tetap saja membangkang dari laranganku. Demi Allah! Kalian telah melakukan perbuatan yang menghancurkan kekuatan kita, meruntuhkan kenikmatan serta mewariskan kelemahan dan kehinaan.



Kembalinya Imam Ali bin Abi Thalib dan pemisahan diri Khawarij
Imam Ali bin Abi Thalib AS. kembali ke Kufah dengan berat hati, perasan yang berkecamuk dan dengan kesedihan yang mendalam. Ia melihat kebatilan yang diusung oleh Muawiyah bin Sbu Sufyan mulai menguat dan hampir sempurna sementara ia melihat pasukannya yang telah menjadi pembangkang tidak lagi taat dengan perintahnya.

Imam Ali bin Abi Thalib memasuki kota Kufah dan melihat penduduk kota sedih meratapi mereka yang terbunuh di medan perang. Sementara itu, ada sekelompok orang dari pasukannya yang berjumlah dua belas ribu memisahkan diri dari induk pasukan Imam Ali bin Abi Thalib. Mereka tidak ikut dengan pasukan Imam Ali bin Abi Thalib memasuki kota Kufah mereka melintasi daerah Bahrwara'. Kelompok ini kemudian mengangkat komandan perang dari mereka sendiri yang bernama Syabts bin Rub'i. Sementara untuk imam salat mereka mengangkat Abdullah bin Kawai Al-Yasykari. Setelah itu bersama-sama meninggalkan baiat mereka kepada Imam Ali bin Abi Thalib yang kemudian, oleh mereka, diserahkan dalam pemilihan oleh kaum muslimin sendiri. Sikap mereka ini dimulai setelah penulisan perjanjian damai antara Imam Ali bin Abi Thalib dan pasukannya dengan Muawiyah bin Abu Sufyan dan pasukannya. Hal yang sungguh aneh karena mereka tidak setuju dengan semboyan 'tidak ada hukum selain Allah' padahal merekalah yang mendesak Imam Ali bin Abi Thalib untuk menerima penghakiman (tahkim).

Imam Ali bin Abi Thalib berusaha untuk memperbaiki cara pandang mereka dengan mencoba menasihati. Imam Ali bin Abi Thalib mengirim Abdullah bin Abbas sebagai utusannya dan mewanti-wantinya agar tidak terburu-buru berpolemik dengan mereka karena itu bisa membangkitkan kebencian dan rasa permusuhan mereka. Kemudian Imam Ali bin Abi Thalib menyusul Abdullah bin Abbas dan berbicara, berargumentasi dan meruntuhkan klaim mereka. Kelompok sempalan ini kemudian menerima apa yang diucapkan oleh Imam Ali bin Abi Thalib dan ikut dengan bersama-sama memasuki kota Kufah.



Pertemuan dua wakil
Tiba waktunya kedua wakil dari Imam Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abu Sufyan untuk bertemu. Imam Ali bin Abi Thalib mengutus empat ratus orang dan sebagai pemimpinnya adalah Syuraih bin Hani. Abdullah bin Abbas diperintahkan oleh Imam Ali bin Abi Thalib untuk menyertai mereka dan menjadi imam salat berjamaah dan mengatur urusan mereka. Abu Musa Al-Asy'ari juga bersama-sama rombongan. Muawiyah bin Abu Sufyan mengutus empat ratus orang yang dikepalai oleh Amr bin Ash. Kedua kelompok ini kemudian bertemu di Daumatul Jandal.

Cepat-cepat beberapa orang dari sahabat tepercaya Imam Ali bin Abi Thalib memberikan pengarahan dan nasihat kepada Abu Musa Al-Asy'ari. Mereka berusaha sekuat tenaga menunjukinya agar memahami dengan tepat bagaimana mengambil keputusan. Mereka sangat khawatir dengan tipu muslihat Amr bin Ash.



Keputusan penghakiman (tahkim)
Bertemu kedua wakil dari kedua belah pihak; Abu Musa Al-Asy'ari dan Amr bin Ash. Abu Musa adalah seorang yang buta masalah-masalah politik, lemah secara akidah dan kurang dalam meyakini dan mengikuti Imam Ali bin Abi Thalib. Sementara Amr bin Ash terkenal sebagai ahli diplomasi, cerdik, ahli dalam masalah tipu muslihat dan senang melihat Ahli Bayt AS. enyah dari medan politik. Semua itu ditambah dengan ketamakannya akan kekuasaan dan didukung oleh partnernya Muawiyah bin Abu Sufyan.

Tidak berapa lama bertemu, Amr bin Ash sudah dapat mengetahui titik-titik lemah Abu Musa Al-Asy'ari dan bagaimana caranya menguasainya sehingga melakukan sesuai dengan apa yang diinginkannya. Mereka berdua sepakat untuk bertemu di ruang tertutup guna melepaskan kekhalifahan Imam Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abu Sufyan. Kemudian keduanya mengusulkan memilih Abdullah bin Umar bin Khatthab untuk menjadi khalifah.

Ibnu Abbas memperingatkan Abu Musa Al-Asy'ari agar berhati-hati agar tidak terjerumus ke dalam permaian Amr bin Ash. Ibnu Abbas berkata, 'Berhati-hatilah! Demi Allah, Aku punya firasat bahwa Amr bin Ash telah menipumu dan kalian berdua telah bersepakat untuk satu hal yang tidak engkau katakan. Ingat! Aku mengusulkan kepadamu agar memberikan Amr bin Ash kesempatan lebih dahulu untuk berbicara setelah itu bagianmu untuk berbicara. Amr bin Ash adalah seorang yang cerdik dan penuh tipu muslihat. Aku tidak merasa tenang bahwa ia akan memberikan engkau kesempatan yang membuatmu dan ia rela dan setuju bersama-sama. Bila engkau berdiri di hadapan manusia, ia akan membelakangimu dan tidak akan menyetujui sikapmu'.

Abu Musa Al-Asy'ari kemudian berdiri dan berbicara di hadapan manusia. Ia kemudian melepaskan dan menurunkan Imam Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Setelah itu Amr bin Ash berdiri dan berpidato serta menegaskan kembali tentang penurunan Ali bin Abi Thalib dari kekhalifahan. Setelah itu ia menetapkan Muawiyah bin Abu Sufyan sebagai khalifah.

Dengan tipu muslihat itulah Muawiyah bin Abu Sufyan memenangkan pertarungannya dengan Imam Ali bin Abi Thalib. Orang-orang Syam kemudian mengucapkan selamat kepadanya sebagai pemimpin kaum muslimin. Sementara itu di sisi lain, orang-orang Irak tenggelam dalam fitnah dan yakin akan kesalahan apa yang telah mereka lakukan selam ini. Abu Musa Al-Asy'ari setelah peristiwa itu langsung lari menuju kota Mekkah. Ibnu Abbas dan Syuraih kembali ke Kufah menemui Imam Ali bin Abi Thalib.



19
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib AS.

Imam Ali bin Abi Thalib dan Khawarij (Mariqin)
Dapat dikatakan bahwa, secara alami, munculnya Khawarij karena peperangan yang terjadi di Jamal dan Shiffin. Sebagaimana tidak dapat di pisahkan penyimpangan yang terjadi pada mereka dalam masalah kekhalifahan dikarenakan penyimpangan mereka dari garis Ahli Bayt AS. Salah satu sifat penting orang-orang Khawarij adalah kebekuan, kejumudan, kontekstual dalam memahami agama,, fanatisme, kekerasan dan ketidakmampuan membedakan antara kebenaran dan kebatilan. Mereka sangat cepat dipengaruhi oleh isu dan dengan sedikit keraguan mereka akan kembali kepada sikap awalnya.

Nabi sendiri sebelumnya telah menjelaskan sifat-sifat mereka. Diriwayatkan dari Rasulullah saw, 'Akan keluar dari umat ini -tanpa disebutkan nama- kelompok yang memandang rendah salat kalian bila dibandingkan dengan salat mereka. Mereka membaca Al-Quran tapi tidak lebih dari lewatnya suara dari tenggorokkan. Mereka keluar dari agama bagaikan lepasnya anak panah dari busurnya'.

Imam Ali bin Abi Thalib tidak mampu mengobati sakit dan penyimpangan orang-orang Khawarij. Peperangan dan pembangkangan di perang Jamal dan Shiffin dalam waktu singkat lebih dahulu dari usaha yang dilakukan oleh Imam Ali bin Abi Thalib. Mungkin dapat dicari hubungan tentang munculnya golongan Khawarij pada:

1. Frustrasi dan ketidakmampuan mewujudkan kemenangan. Khususnya peperangan Imam Ali bin Abi Thalib menghadapi pembangkangan orang-orang yang mengaku muslim secara lahiriah. Kelompok Khawarij tidak mampu memahami bagaimana Imam Ali bin Abi Thalib berusaha untuk menyelesaikan masalah dengan para pembangkang. Kelompok Khawarij tidak mampu menerima hasil dari penghakiman (tahkim). Pada waktu yang sama mereka sendiri yang memaksa Imam Ali bin Abi Thalib untuk menerima tahkim. Mereka tidak berani menghadapi diri sendiri setelah tahu penyimpangan yang dilakukan. Akhirnya mereka berusaha untuk membiarkan dan menggantungkan kesalahan-kesalahan kepada orang lain dan orang itu tidak lai adalah Imam Ali bin Abi Thalib.

2. Pengekangan mereka akan kebebasan berpikir yang telah dibuka lebar-lebar oleh Imam Ali bin Abi Thalib agar umat dapat berusaha untuk menyadari risalah Islam. Diriwayatkan bahwa golongan Khawarij bahkan mengkritik Imam Ali bin Abi Thalib di tengah pidatonya dengan klaim 'tidak ada hukum kecuali hukum Allah'. Jawaban Imam Ali bin Abi Thalib kepada mereka tidak lain kecuali, 'Ungkapan kebenaran dengan niat kebatilan'. Imam Ali menambahkan, 'Kalian memiliki tiga kekhususan di sisi kami; Kami tidak melarang kalian untuk melakukan salat di masjid-masjid kami, Kami tidak mencegah kalian untuk mendapatkan ganimah selama kalian ikut berperang dengan kami dan kami tidak akan memerangi kalian sampai kalian yang mendahului'. Dari sini, pergerakan mereka yang awalnya bersifat individual menjadi terorganisir dalam sebuah kelompok.



Imam Ali bin Abi Thalib menolak keputusan penghakiman (tahkim)
Begitu Imam Ali bin Abi Thalib mendengar kabar hasil dari pertemuan Abu Musa Al-Asy'ari dan Amr bin Ash, beliau sangat terpukul dan tersiksa. Imam Ali bin Abi Thalib kemudian berpidato di hadapan manusia dan mendorong mereka serta menunjukkan bagaimana cara memperbaiki kesalahan fatal yang telah mereka lakukan. Imam Ali bin Abi Thalib berkata, 'Sesungguhnya mencoba berpaling dari nasihat orang yang betul-betul prihatin dengan masalah dan berpengalaman hanya akan menghasilkan penyesalan dikemudikan hari. Aku telah memerintahkan kepada kalian selaku pemimpin untuk tetap berperang. Aku telah memilih dan memilah buat kalian dari khazanah pemikiranku yang bila ditaati akan mencapai tujuan lebih cepat. Namun kalian enggan mengikutinya bahkan berpaling bak oposan yang bermaksiat sehingga yang menasihati pun menjadi ragu dengan nasihatnya dan tangan yang kikir pun ragu dengan keburukannya. Aku telah memperingatkan kalian seperti ucapan saudara Hawazin:

Sungguh aku telah memerintahkan kalian dengan menurunkan bendera

Kalian tidak dapat kejelasan dari nasihat kecuali pada pagi di keesokan hari

Ketahuilah kedua orang ini, Abu Musa Al-Asy'ari dan Amr bin Ash, yang kalian pilih untuk menjadi wakil kalian telah mencampakkan hukum Al-Quran dari belakang. Mereka menghidupkan apa yang telah dihancurkan oleh Al-Quran. Mereka hanya mengikuti hawa nafsunya tanpa tuntutan dari Allah swt. Hukum dan keputusan yang diambil oleh keduanya tidak dapat diterima karena bukan argumentasi yang jelas dan sunah yang paten. Keduanya berselisih dalam hukum dan keputusan, sementara keduanya tidak mendapat hidayah. Allah berlepas tangan dari keduanya begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin yang saleh. Persiapkan diri kalian untuk menuju Syam. Berkumpullah kalian dalam pasukan kalian. Insya Allah'.

Imam Ali bin Abi Thalib kemudian menulis surat kepada Abdullah bin Abbas agar mempersiapkan orang-orang Basrah untuk bergabung dengan pasukannya untuk memerangi Muawiyah bin Abu Sufyan. Abdullah bin Abbas mengumpulkan orang-orang Basrah dan kemudian bergabung di kota Kufah dengan pasukan Imam Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi kelompok Khawarij kemudian melakukan perbuatan-perbuatan merusak di mana pada awalnya mereka berkumpul di Basrah dan Kufah kemudian menuju Nahrawan. Kepergian kelompok Khawarij secara sembunyi-sembunyi sangat menggusarkan Imam Ali bin Abi Thalib karena jangan sampai mereka pergi ke Syam lalu bergabung dengan Muawiyah. Oleh karenanya pasukan meminta dari Imam Ali bin Abi Thalib untuk lebih dahulu menghabisi golongan Khawarij.

Perbuatan onar yang dilakukan oleh golongan Khawarij adalah menangkap Abdullah bin Khabbab dan istrinya lalu kemudian dibunuh. Mereka membelah perut istrinya kemudian memasukkan apa saja yang bisa dimasukkan. Demikian juga mereka membunuh Al-Harits bin Murrah Al-Abdi utusan Imam Ali bin Abi Thalib AS.



Perang dengan Khawarij
Kelompok Khawarij berkumpul dan bergabung di dekat Nahrawan. Imam Ali bin Abi Thalib berkali-kali berusaha untuk meyakinkan mereka agar meninggalkan sikap, pemikiran dan pembangkangan serta usaha mereka untuk tetap berperang. Yang ada pada mereka hanya kebodohan, kesesatan dan pemaksaan. Imam Ali bin Abi Thalib kemudian menyiapkan pasukannya dan memberi petunjuk lewat akhlak Islam bagaimana caranya bersikap dengan golongan Khawarij, terlebih-lebih lagi dalam kondisi seperti ini. Hal yang sama pernah dilakukannya pada peperangan sebelumnya. Ketika Imam Ali bin Abi Thalib sampai di tempat mereka, beliau mengutus seseorang untuk meminta siapa pembunuh Abdullah bin Khabbab, istrinya dan utusan sebelumnya Al-Harits bin Murrah. Mereka menjawab dengan kesepakatan, 'Kami semua yang membunuhnya maka kami semua juga yang harus kalian qisas'.

Imam Ali bin Abi Thalib mengutus Qais bin Saad dan Abu Ayub Al-Anshari kepada kelompok Khawarij untuk menasihati mereka. Imam Ali bin Abi Thalib masih berusaha agar mereka masih dapat memahami kejadian apa sebenarnya yang terjadi serta berusaha agar tidak lagi terjadi pertumpahan darah yang lebih antara sesama muslim. Setelah itu Imam Ali bin Abi Thalib sendiri yang menemui mereka dan berkata:

'Wahai kelompok yang muncul dikarenakan permusuhan yang pada akhirnya tidak mau lagi melihat kenyataan dan kebenaran. Kelompok yang mengikuti ketamakan yang pada akhirnya akan menemui hasil yang tidak diinginkan. Aku adalah seorang pemberi peringatan kepada kalian. Jangan berbuat sesuatu yang kelak umat akan melaknat kalian dan terpelanting di dalam lembah ini, menuai bau busuk tanpa alasan dan argumentasi yang jelas dari Tuhan kalian'. Imam Ali bin Abi Thalib kemudian menjelaskan kepada mereka kalau ia sejak awal tidak suka dengan proses penghakiman (tahkim). Imam Ali bin Abi Thalib juga tidak lupa menerangkan sebab-sebab ketidaksetujuannya dengan jelas bahkan beliau menyalahkan mereka yang telah memaksanya untuk menerima penghakiman. Imam Ali bin Abi Thalib juga menambahkan bahwa kedua orang yang menjadi wakil dari kedua belah pihak tidak bersandarkan Al-Quran dan Sunah Nabi. Saat ini Imam Ali bin Abi Thalib ingin menghadapi Muawiyah bin Abu Sufyan untuk yang kedua kalinya. Oleh karenanya, beliau menyayangkan mengapa mereka harus keluar dari barisannya. Semua yang diucapkan tidak didengar oleh kelompok Khawarij bahkan menuntutnya agar segera bertaubat dengan cara mengkafirkan dirinya sendiri kemudian mengumumkan taubatnya. Mendengar itu Imam Ali bin Abi Thalib lantas menjawab:

'Kalian telah diterpa angin yang disertai debu, tidak ada seorang pun dari kalian yang keimanannya dapat melebihiku terhadap Rasulullah saw. Aku melakukan hijrah bersamanya dan bagaimana aku berjihad di jalan Allah. Dengan semua ini aku harus mengatakan kekafiranku? Bila memang demikian berarti kalian telah betul-betul sesat sedangkan aku adalah orang yang termasuk dari orang-orang yang mendapat hidayah. Imam Ali bin Abi Thalib kemudian meninggalkan mereka. Kelompok Khawarij maju ke depan dan memilih untuk berperang. Imam Ali bin Abi Thalib tidak punya pilihan lain. Ia kemudian menyiapkan pasukannya untuk menghadapi kelompok Khawarij. Pada saat-saat terakhir Imam Ali bin Abi Thalib masih sempat mengirim Abu Ayub Al-Anshari untuk mengangkat bendera pengamanan kepada kelompok Khawarij sambil berteriak lantang, 'Barang siapa yang kemudian menuju bendera ini maka ia akan aman. Barang siapa yang kemudian tidak ingin melanjutkan peperangan dan kembali ke Kufah dan daerah Madain maka ia aman. Kami tidak akan menyulitkan orang-orang seperti yang telah kami sebutkan. Kami hanya berurusan dengan orang-orang yang telah membunuh saudara-saudara kami'.

Sejumlah besar orang-orang dari kelompok Khawarij yang kemudian meninggalkan induk pasukannya. Imam Ali bin Abi Thalib kemudian berkata kepada sahabatnya, 'Biarkan dan jangan berperang sampai mereka yang mendahului!

Kelompok Khawarij kemudian mulai menyerang dengan meneriakkan 'tidak ada hukum kecuali Allah. Mari dengan tenang kita menuju surga. Peperangan terjadi. Tidak lebih dari satu jam peperangan terjadi, banyak dari kelompok Khawarij yang terbunuh. Yang selamat dari mereka tidak lebih dari sepuluh orang. Sementara dari pihak Imam Ali bin Abi Thalib yang terbunuh tidak lebih dari sepuluh orang.

Ketika medan perang menjadi tenang dan perang telah berakhir, Imam Ali bin Abi Thalib memerintahkan untuk dihadapkan seseorang yang bernama Dzu As-Tsudyah, salah satu komandan pasukan kelompok Khawarij. Imam Ali bin Abi Thalib bersikeras agar orang tersebut didatangkan karena Rasulullah saw pernah berkata kepadanya bahwa dalam peperangan dengan kelompok Khawarij ada salah satu komandannya yang bernama Dzu As-Tsudyah. Ketika mereka mencari dan menemukan orang yang bernama Dzu As-Tsudyah segera mereka menghadapkannya ke depan Imam Ali bin Abi Thalib. Imam Ali bin Abi Thalib kemudian berkata, 'Allahu Akbar! Engkau tidak berbohong dan engkau, Rasulullah saw, tidak pernah membohongi siapa pun. Seandainya aku tidak khawatir kalian akan melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mengundang fitnah niscaya aku ceritakan kepada kalian tentang apa yang diceritakan Allah lewat lisan Nabi-Nya siapa saja yang akan membunuh kalian. Rasulullah saw tahu dengan pasti apa yang sedang kita lakukan sekarang'. Setelah itu beliau kemudian melakukan sujud syukur kepada Allah swt.



Pendudukan Mesir
Setelah terjadi pembunuhan Usman bin Affan, Imam Ali bin Abi Thalib mengangkat Qais bin Saad bin Ubadah Al-Anshari sebagai gubernur Mesir. Setelah itu beliau melihat bahwa Muhammad bin Abu Bakar lebih tepat menduduki jabatan itu dan kemudian menggantikan Qais bin Saad dengan Muhammad bin Abu Bakar. Muawiyah bin Abu Sufyan masih merasa gelisah karena Mesir belum dikuasainya. Dan itu setelah kekacauan yang terjadi dalam masyarakat Islam setelah perang. Untuk itu, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Amr bin Ash bergerak menuju Mesir untuk mendudukinya sekaligus sebagai upah dari jerih payah Amr bin Ash yang dengan ide dan tipu muslihat berhasil merusak pemerintahan Imam Ali bin Abi Thalib dan menghancurkan agama. Imam Ali bin Abi Thalib berusaha mensuplai Muhammad bin Abu Bakar dengan pasukan dan bahan-bahan lain yang dibutuhkan setelah mendengar Muawiyah bin Abu Sufyan ingin menguasai Mesir. Namun tidak lama ketika terdengar kabar bahwa Mesir telah dikuasai oleh Muawiyah bin Abu Sufyan dan pasukannya sementara Muhammad bin Abu Bakar mati dibunuh oleh mereka. Mendengar kematian Muhammad bin Abu Bakar, Imam Ali bin Abi Thalib sangat bersedih. Setelah itu, Imam Ali bin Abi Thalib kemudian menetapkan Malik Al-Asytar sebagai wali kota Mesir akan tetapi Muawiyah yang melakukan apa saja dengan menghalalkan segala cara berhasil membunuh Malik Al-Asytar dengan racun.



Kehancuran dan perpecahan umat Islam
Penyimpangan yang terjadi semenjak peristiwa Saqifah mulai tampak secara jelas di akhir-akhir hari kepemimpinan Imam Ali bin Abi Thalib. Muawiyah bin Abu Sufyan dan mereka yang mengikuti caranya mulai melakukan peperangan terhadap Islam dari dalam dengan menguraikan dan memisahkan relasi dan hubungan yang masih tersisa dalam masyarakat Islam dan akhirnya merusaknya. Setelah melakukan perusakan mereka kemudian membangun sebuah masyarakat yang serasi dan harmoni dengan keinginan dan kepentingan mereka. Dengan memperhatikan secara seksama keadaan umat setelah pertempuran yang dilakukan sebanyak tiga kali oleh Imam Ali bin Abi Thalib ada beberapa hal penting yang bisa dirasakan:

1. Imam Ali bin Abi Thalib dan umat Islam tertimpa musibah dengan ketiadaannya para sahabat yang sadar dan berpengaruh dalam masyarakat dan pergerakan risalah Islam. Dengan keberadaan mereka pembangunan umat yang saleh sesuai dengan cara dan metode Al-Quran dan Sunah dengan dipimpin oleh Imam Ali bin Abi Thalib menjadi mungkin dan mudah. Ketiadaan mereka membuat Imam Ali bin Abi Thalib sangat bersedih. Hal itu dapat dilihat dari penggambaran tentang kebaikan mereka selama hidup:

'Sahabat-sahabat kita yang telah mengucurkan darahnya di Shiffin tidak lagi merasakan kesulitan bila hidup saat ini pasti mereka akan merasakan kesedihan dan kepahitan. Demi Allah! Sungguh mereka telah menemui Allah dan Allah telah memberikan pahala mereka dan menempatkan mereka di tempat yang aman setelah masa ketakutan. Sekarang, mana sahabat-sahabatku yang menjalani jalan ini memperjuangkan kebenaran? Di mana Ammar? Kemanakah Abu At-Tihan? Di mana dzu Syahadatain? Di mana juga orang-orang yang telah sepakat untuk melakukan perbuatan jahat?

Imam Ali bin Abi Thalib kemudian meletakkan tangannya di atas anak wanitanya dan melanjutkan tangisannya. Setelah itu beliau berkata, 'Aaah... Terasa berat bagiku terhadap sahabat-sahabatku yang membaca Al-Quran dan kemudian menguatkan pemahamannya. Kewajiban dimengerti dan kemudian dilaksanakan. Mereka menghidupkan Sunah Nabi dan melenyapkan bid'ah. Ketika diajak untuk melakukan jihad pasti mereka mengiakannya. Mereka percaya kepada pemimpin kemudian menaatinya'.

2. Pembangkangan pasukan, perpecahan dan munculnya kelemahan yang diakibatkan oleh keletihan dalam berperang karena banyaknya orang yang terbunuh dari penduduk Irak. Sementara penduduk Irak adalah tulang punggung unit pasukan Imam Ali bin Abi Thalib. Semua ini membuat Imam Ali bin Abi Thalib tidak mampu, dengan kemampuan retorika yang luar biasa, mendorong mereka untuk bertahan dan tetap menjadikan basis masyarakat untuk melanjutkan peperangan. Dan pada sisi yang lain, untuk menceraiberaikan pasukan Imam Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abu Sufyan tidak pernah berhenti mengajak para pemimpin kabilah dan orang-orang yang tampaknya memiliki kecenderungan untuk mencintai dunia. Ia senantiasa mengiming-imingi mereka dengan harta dan posisi bila mereka mau bekerja sama untuk melemahkan kekuatan pasukan Imam Ali bin Abi Thalib dan pasukannya. Usaha ini berhasil hingga Imam Ali bin Abi Thalib tidak mampu menyiapkan pasukan An-Nakhilah (nama tempat perkumpulan pasukan terkahir Imam Ali untuk menyerang Muawiyah) untuk menyerang pasukan Muawiyah bin Abu Sufyan setelah peperangan Nahrawan. Hal itu dikarenakan secara sembunyi-sembunyi mayoritas pasukan Imam Ali bin Abi Thalib memasuki kota Kufah yang pada gilirannya pasukan yang disiapkan untuk menyerang Muawiyah ditiadakan dan perang diundur sampai ada kesiapan.

3. Kondisi yang ada lebih memihak dimenangkan oleh kubu Muawiyah bin Abu Sufyan ketimbang Imam Ali bin Abi Thalib dan umat Islam. Hal itu dikarenakan banyaknya kejadian perampokan dan pembunuhan di sekeliling negara Islam. Sering terjadi pembunuhan, penistaan dan teror. Kondisi ini dimulai dengan penyerangan di sekitar Irak. Muawiyah mengutus Nu'man bin Basyir Al-Anshari untuk melakukan perampokan di daerah Ain At-Tamr. Sufyan bin Auf diperintahkan untuk melakukan perampokan dan pembunuhan di daerah Hit kemudian menyebar ke Al-Anbar wa Al-Madain yang dilanjutkan ke daerah Waqishah. Sementara itu Muawiyah bin Abu Sufyan juga mengutus orang-orang seperti Dhahhak bin Qais Al-Fihri ke tempat-tempat lain. Setiap kali ada usaha melakukan pengonaran, Imam Ali bin Abi Thalib senantiasa mengajak masyarakat untuk mempertahankan diri menghadapi tindakan kejahatan terorganisir yang dikomandoi oleh Muawiyah, namun masyarakat tidak tanggap untuk memenuhi seruan Imam Ali bin Abi Thalib. Di sini, kekuatan Imam Ali semakin melemah sementara kekuatan Muawiyah semakin baik.

Muawiyah bin Abu Sufyan tidak puas hanya melakukan keonaran di sekitar Irak tapi juga mengutus Basar bin Urthah untuk melanjutkan tindakan kriminalnya di daerah Jijaz dan Yaman. Pada masa-masa itu perilaku melanggar hukum dan membuat onar menjadi pemandangan yang biasa yang diikuti dengan pembunuhan dan teror orang-orang baik. Melihat kondisi yang semakin buruk, Imam Ali bin Abi Thalib merasa sangat sedih dan tertekan dengan perbuatan para pembuat onar yang menghina dan merendahkan manusia. Ia menjelaskan perasannya, 'Ya Allah, Aku sudah berusaha menasihati, mengingatkan dan mengubah mereka sehingga aku benar-benar capai karenanya sementara perilaku mereka membuat aku letih. Gantikan mereka dengan orang-orang yang lebih baik atau sebagai gantiku jadikan orang buruk menjadi pemimpin mereka'.

Imam Ali bin Abi Thalib sebenarnya telah memperingatkan umat Islam tentang gelapnya masa depan yang akan mereka alami sebagai akibat dari tidak adanya usaha untuk menolong kebenaran bahkan sebaliknya berusaha untuk menghinakan kebenaran. Beliau berkata, 'Ketahuilah! Sepeninggalku nanti kalian akan mengalami kehinaan karena pedang tajam yang menguasai kalian. Kalian akan terzalimi dan perbuatan zalim ini akan menjadi aturan dan contoh bagi penguasa setelahnya. Kesatuan dan masyarakat kalian akan dicabik-cabik. Air mata kalian akan mengucur menangisi nasib kalian sementara kalian hidup dalam kemiskinan. Sebagian kecil saja dari kalian yang melihat kondisiku dan mau menolongku. Akan kalian lihat nanti bahwa apa yang kukatakan kepada kalian ini adalah kebenaran'.



Akhir usaha Imam Ali bin Abi Thalib
Setelah terjadi keonaran di berbagai tempat dan Muawiyah bin Abu Sufyan berhasil menebarkan kekhawatiran dan ketakutan di sekitar negara Islam. Melihat kondisi yang semakin sulit, Imam Ali bin Abi Thalib kemudian bersiap-siap untuk melakukan penyerangan habis-habisan dan berusaha untuk membangkitkan kembali umat Islam. Untuk itu beliau berpidato sekaligus mengancam mereka:

'Ketahuilah bahwa aku telah letih untuk menasihati dan berbicara kepada kalian. Sekarang sampaikan kepada saya apa yang telah kalian lakukan? Bila kalian siap untuk ikut bersamaku memerangi musuhku niscaya itu yang aku inginkan dan suka. Bila kalian tidak ingin melakukan apa-apa maka biarkan aku yang menyingkap dan menetapkan apa yang harus kalian lakukan. Demi Allah! Bila kalian seluruhnya tidak keluar bersamaku memerangi musuh kalian sehingga Allah memberikan hukumnya kepada kita dan mereka -Allah sebaik baik yang menghakimi- niscaya aku akan berdoa kepada Allah agar kalian mendapat celaka kemudian kalian akan ditawan oleh musuh kalian. Aku akan tetap keluar menyerang musuh walaupun dengan sepuluh orang'.

Dengan ancaman ini Imam Ali bin Abi Thalib berharap dapat membangun jiwa-jiwa manusia. Dan agar mereka merasa yakin bahwa Imam Ali bin Abi Thalib akan keluar sendiri dengan keluarga dan beberapa sahabat khususnya menuju Muawiyah sekalipun tidak ada yang menolongnya. Keyakinan mereka bila tidak mengikuti Imam Ali bin Abi Thalib niscaya akan celaka di hari kiamat. Oleh karenanya, para tokoh masyarakat untuk mengikuti seruan Imam Ali bin Abi Thalib untuk memerangi Muawiyah dan menghancurkan para perusuh. Orang-orang akhirnya keluar dan berkumpul dengan segala perlengkapan meliternya di daerah An-Nakhilah di luar kota Kufah. Sebagian peleton dari induk pasukan bergerak lebih dahulu dari yang lain bersama Imam Ali bin Abi Thalib namun tetap menunggu hingga akhir bulan Ramadhan untuk memulai penyerangan.



20