• Mulai
  • Sebelumnya
  • 12 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 10803 / Download: 3764
Ukuran Ukuran Ukuran
tragedi karbala

tragedi karbala

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Dimulainya Perang Tak Seimbang

Pasukan dari pihak yang hak dan pihak yang batil akhirnya bergerak maju dalam posisi frontal. Dari pihak Imam Husain as, nampak wajah-wajah cemerlang dan berbinar seakan tak sabar lagi untuk

berjumpa dengan Yang Maha Kuasa. Mereka siap terbang bahu membahu dan berlomba menuju alam

keabadian di sisi Al-Khalik dengan kepakan sayap-sayap imannya yang lebar. Dengan jiwa yang

membaja mereka siap mengarungi lautan darah membela kehormatan dan cita-cita mulia Al-Husain as,

bintang kejora dari keluarga suci Rasul. Jiwa mereka yang sudah terpatri dalam semangat altruisme

telah siap menyongsong kematian yang suci dan sakral sebelum Imam Husain as sendiri meneguk

puncak kemuliaan derajat syahadah.

Saat bayangan kecamuk perang sudah nampak di depan mata itu, Hur datang mendekati Imam Husain

sambil berkata:

"Hai Putera Rasul, saat Ubaidillah menggiringku untuk memerangimu, dan lalu aku keluar dari Darul

Imarah aku mendengar suara lapat-lapat dari belakang mengatakan: 'Berita gembira tentang kebaikan

untukmu, Hai Hur.' Saat aku berpaling ke belakang, aku tak melihat satu orangpun sehingga aku lantas

berkata dalam hati bahwa demi Allah ini bukanlah berita gembira karena aku akan pergi untuk

memerangi putera Rasul, dan aku tadinya tak pernah berpikir bahwa suatu saat nanti aku akan

bertaubat. Baru sekarang aku menyadari bahwa itu memang berita gembira.

"Hai Husain, aku adalah orang pertama yang berani menghadangmu. Karena itu sekarang perkenankan

aku untuk menjadi orang pertama yang akan berkorban untukmu agar di hari kiamat kelak aku bisa

menjadi orang pertama yang dapat berjabat tangan dengan Rasulullah saww."39

Imam Husain as mengizinkan permohonan Hur untuk maju sebagai orang pertama untuk berjihad. Hur

pun maju dengan gagah berani. Saat berhadapan dengan barisan pasukan musuh yang berjumlah besar

itu, dia berteriak lantang:

"Hai orang-orang Kufah, laknat untuk kalian dan ibu yang melahirkan kalian. Kalianlah yang

mengundang hamba salih Allah ini untuk mendatangi kalian tetapi kemudian melupakan begitu saja

janji yang pernah kalian nyatakan. Kalian sekarang malah mengepungnya. Kalian telah menjadikan

bumi Allah yang luas ini sempit baginya sehingga tak ada lagi tempat yang aman bagi dia dan

keluarganya. Kini mereka menderita bagai orang-orang tawanan. Kalian mencegah mereka untuk meneguk air sungai ElFrat sementara kalian membiarkan binatang-binatang liar meminumnya. Betapa

celakanya perangai kalian terhadap anak keturanan Rasul. Di hari kiamat Allah pasti akan membiarkan

kalian tercekik kehausan..."40

Kata-kata Hur kembali menyengat telinga pasukan dari Kufah tersebut. Tak tak tahan digedor emosi,

mereka menyerang Hur. Sambil melawan dan mengayun-ayunkan pedangnya Hur berteriak-teriak lagi:

"Rumahku selalu menjadi tempat singgahnya para tamu dan aku tahu adat menghormarti tamu. Namun,

untuk membela para tamu yang lebih mulia daripada para tamu Allah di Makkah dan Mina ini

pedangku tak akan segan-segan membabat siapa saja. Akulah orang yang tumbuh besar di tengah

keluarga pemberani dan aku mewarisi mereka."

Selama melakukan perlawanan dan serangan di tengah pasukan musuh yang mengerubunginya, Hur

sempat melihat anaknya yang juga termasuk satu diantara ribuan pasukan musuh. Hur meminta

puteranya yang bernama Ali itu supaya bertobat, dan usaha Hur itu berhasil sebelum manusia yang

terbebas dari angkara murka ini gugur sebagai syahid.

Dalam riwayat disebutkan bahwa saat melihat anaknya, Hur berkata: "Puteraku, kini sudah tiba saatnya

bagimu untuk mempertontonkan keberanianmu di jalan putera Rasulullah hingga kamu gugur." Katakata

sang ayah segera membuat anaknya sadar. Putera bernama Ali dari keluarga pemberani itu segera

menari-narikan pedangnya untuk membabat siapa saja dari pasukan musuh yang ada di dekatnya. Tak

kurang dari 24 pasukan musuh mati terkapar akibat sabetan pedangnya sebelum dia sendiri kehabisan

tenaga dan gugur dibantai musuh.

Saat menyaksikan anaknya tersungkur ke tanah tanpa nyawa, Hur memanjatkan puji syukur untuk

anaknya: "Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahi-Mu dengan syahadah di sisi putera dari

puteri Rasulullah."41

Hur kemudian bergegas lagi menghadapi pasukan musuh. Saat itu dia melihat saudaranya yang

bernama Mash'ab yang bergerak mendekatinya. Pasukan Umar bin Sa'ad segera menduga akan terjadi

duel antara kakak dan adik. Mereka menyoraki keduanya. Namun, ketika berhadapan dengan Hur,

Mash'ab tiba-tiba berkata:

"Aku ucapkan selamat kepadamu yang telah berhasil membebaskan diri dari kesesatan dan

mendapatkan hidayah. Sekarang bawalah aku ke hadapan Imam Husain agar taubatku diterima."

Hur lantas membawanya menghadap Imam Husain dan memperkenalkannya kepada beliau. Mash'ab

pun bertaubat dan masuk ke dalam barisan pengikut Imam Husain as. Umar bin Sa'ad semakin naik

pitam melihat ulah dua orang kakak beradik itu. Dia segera memerintahkan Sofwan bin Handalah,

orang yang dikenal jagoan di Kufah, untuk menghabisi Hur jika Hur menantang duel.

Maka, begitu Hur memacu kudanya ke arena pertempuran, Sofwan segera menghadangnya sambil

berteriak, "Hai Hur, betapa keparatnya perbuatanmu. Kamu berpaling dari khalifah Yazid dan

menyebrang ke kelompok Husain!"

Hur menjawab: "Setahuku kamu adalah lelaki yang pintar, tetapi sekarang aku heran mengapa kamu

sampai mengeluarkan kata-kata seperti ini. Kamu memintaku supaya meninggalkan Husain lalu

memilih bergabung dengan Yazid, si tukang mabuk dan penzina itu?!"

Mendapati jawaban seperti ini, tanpa basa-basi lagi Sofwan menghunus pedang dan mengayunkannya

ke arah tubuh Hur. Namun dengan tangkasnya Hur menangkis ayunan pedang jagoan Kufah itu. Belum

sempat melancarkan serangan lagi, Sofwan tiba-tiba mengerang kesakitan begitu mendapat serangan

balas dari Hur. Ketangkasannya ternyata tak sehebat Hur. Dada Sofwan tertembus tombak yang

dihujamkan Hur. Sofwan sang jagoan itu roboh bersimbah darah.

Tiga saudara Sofwan geram menyaksikan pemandangan itu. Hur segera dikeroyok oleh mereka. Tapi

ketiga orang itu ternyata tak ada artinya di depan kehebatan Hur yang baru saja menjadi komandan

pasukan musuh itu. Tiga-tiganya roboh menyusul Sofwan ke alam baka. Hur kemudian menantang

orang-orang lain untuk duel. Tapi begitu tak seorang pun berani menjawab tantangannya, Hur segera

mendobrak barisan musuh. Barisan itupun cerai-berai dan Hur segera kembali lagi menghadap Imam

Husain dengan wajah ceria setelah berhasil menambah jumlah korban tewas di pihak musuh. Begitulah

seterusnya apa yang dilakukan Hur hingga banyak korban yang berjatuhan akibat sabetan pedang Hur.

Di lain pihak, menyaksikan pasukannya kacau balau diterjang pendekar bernama Hur itu, Umar bin

Sa'ad segera memekikkan suara: "Hujani dia dengan panah. Jangan biarkan dia lolos!"

Hujan panah pun menyerbu tubuh sang pendekar bernama Hur itu. Dia tak kuasa menghalau serangan

selicik itu. Tubuhnya menjadi sarang beberapa anak panah beracun itu. Sebelum tubuhnya roboh, para sahabat Imam Husain as maju menerjang musuh dan sebagian lain membopong Hur yang dalam

keadaan sekarat dan membawa ke hadapan Imam Husain as. Imam kemudian mengusap wajah Hur

sambil berucap:

"Kini telah hur (bebas) sebagaimana nama yang diberikan ibumu untukmu. Kamu hur di dunia dan di

akhirat."42

Hur sang manusia bijak dan pemberani itu kemudian menghembuskan nafas terakhir. Dan kini giliran

Mash'ab, saudara Hur, yang meminta izin kepada Imam Husain as untuk berbuat seperti Hur. Imam

mengizinkan dan Mash'ab pun menantang musuh untuk berduel. Setelah tak seorangpun dari pihak

musuh yang berani berduel, Mash'ab memulai serangannya dengan mengobrak-abrik barisan musuh.

Seperti Hur, Mash'ab juga ahli perang. Pedang Mash'ab berkelebat ke sana kemari dan mengimbas

siapapun yang ada di dekatnya. Korbannya berjatuhan. Namun, apalah artinya seorang Hur dan

Mash'ab di depan lautan pasukan kuffar itu. Tubuh Mash'ab akhirnya menerima tikaman-tikaman

senjata musuh setelah tubuhnya lemas kehabisan tenaga. Mash'ab pun roboh menyusul saudara dan

kemenakannya setelah berusaha menggunakan sisa-sisa tenaganya untuk mendekati junjungannya,

Imam Husain as. Dia mengakhiri kehidupannya di alam fana ini setelah mengucapkan kata-kata:

"Salam atasmu wahai putera Rasul." Imam pun menjawab: "Salam pula atasmu, dan kami akan

menyusulmu."43 Setelah itu beliau membacakan ayat suci AlQuran:

مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللّهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُم مّن قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُم مّن

يَنتَظِرُ وَمَا بَدّلُوا تَبْدِيلاً

"Diantara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan

kepada Allah; maka diantara mereka ada yang gugur. Dan diantara mereka ada (pula) yang

menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak mengubah (janjinya)." (QS. Al Ahzab: 23)

Gugurnya beberapa orang bekas pasukan musuh itu kemudian disusul dengan terjunnya para sahabat Imam Husain as ke medan pertempuran. Mereka berguguran satu persatu setelah masing-masing

berhasil merenggut ajal beberapa orang dari serdadu musuh. Diantara para sahabat setia itu adalah

Muslim bin Ausajah, pemuda gagah berani yang berhasil membinasakan sejumlah besar pasukan

musuh. Sebelum menemui ajalnya, pemuda ini sempat mengucapkan kata-kata indah kepada

junjungannya, Imam Husain as.

"Wahai Putera Rasul!" Ucap Muslim. "Aku akan pergi untuk memberikan berita gembira kepada kakek

dan ayahmu tentang ketibaanmu." Arwah Muslim bin Ausajah terbang meninggalkan jasadnya yang

fana setelah ucapan itu tuntas. Kematian Muslim itu kebetulan juga disaksikan anaknya. Darah sang

anak mendidih menyaksikan kematian ayahnya dalam keadaan bersimbah darah. Dia segera

menungangi kuda untuk memacunya ke arah pasukan musuh dan melancarkan serangan. Namun,

gerakan itu dicegah oleh Imam Husain as. "Hai pemuda!" Panggil beliau. "Ayahmu telah gugur. Jika

kamu juga gugur, siapakah nanti yang akan melindungi ibumu?"

Putera Muslim lantas bergerak mundur. Namun, tiba-tiba ibu putera Muslim itu mencegahnya sendiri.

"Apakah kamu lebih mementingkan kehidupan di dunia ini daripada kebersamaan dengan Putera

Rasul? Kalau begitu, aku tidak pernah rela kepadamu."

Mendengar kata-kata itu, putera Muslim bin Ausajah segera menarik tali kendali dan memacu kudanya

ke medan pertempuran. Gerakan itu diiringi suara ibunya dari belakang: "Bergembiralah anakku, tak

lama lagi kamu akan meneguk air telaga Al-Kautsar!" Suara ini rupanya menambah semangat putera

Muslim sehingga tarian-tarian pedangnya berhasil memanen nyawa tak kurang dari 30 tentara musuh.

Pemuda itu kemudian tersungkur dalam keadaan penuh luka. Kepalanya kemudian dipenggal dan

dilempar ke dekat ibunya. Sang ibu segera mendekap dan menciuminya di depan beberapa pasang mata

pengikut Imam Husain yang berlinang menyaksikan adegan tragis dan mengharukan itu.

Diriwayatkan pula bahwa saat kecamuk perang berlanjut hingga pertengahan hari Asyura, sahabat

Imam yang bernama Abu Tsamamah Asshaidawi datang mendekati beliau sambil berkata: "Walaupun

aku tahu musuh tidak akan memberi kesempatan, tetapi demi Allah, jangan sampai engkau terbunuh

sebelum aku, wahai Putera Rasul. Walau demikian, aku ingin menghadap Allah dan kini aku ingin

mendirikan solat di belakangmu karena waktu dhuhur telah tiba."

Wajah Imam Husain as menatap ke langit dan berucap: "Kamu telah mengingatkanku kepada solat.

Semoga Allah memasukkanmu ke dalam golongan orang-orang yang solat dan ingat kepada-Nya.

Mintalah kesempatan kepada musuh untuk kita tunaikan solat."

Adalah Habib bin Madhahir yang menyampaikan permintaan Imam Husain itu kepada pihak musuh.

Habib sendiri adalah orang yang pernah hidup menyaksikan Rasul serta termasuk sahabat dekat Imam

Ali as, dan kini dia memendam kesetian yang luar biasa kepada Imam Husain as. Karenanya, dia

termasuk orang yang gigih menyerukan kepada masyarakat kufah agar membaiat Muslim Bin Aqil

yang datang mewakili Imam Husain as.

Dikisahkan bahwa setelah Habib menyampaikan permohonan tersebut, Hisshin bin Tamim, salah

seorang komandan pasukan musuh berteriak: "Hai Husain, solatlah sesuka hatimu, tapi ketahuilah

solatmu itu tidak akan diterima."

Habib menjawab: "Hai si tukang mabok, apa mungkin Allah menerimamu tetapi menolak putera

Rasul?!" Hisshin merasa dihina sehingga naik pitam. Tanpa basa-basi lagi dia segera menyerang Habib.

Habib berusaha menangkis, menghindari serangan, dan membalas serangan sehingga terjadilah duel

satu lawan satu. Setelah duel bertahan beberapa lama, Habib berhasil mengungguli Hisshin. Pentolan

pasukan bejat ini terlempar dari kudanya, tetapi kemudian ditolong dan dilindungi oleh anak buahnya.

Habib lantas menghantamkan pedangnya ke arah beberapa pasukan musuh mengakibatkan sejumlah

orang dari mereka tewas. Namun, saat Habib kecapaian dalam bertahan dan menyerang, hantaman

pedang musuh lolos dari tangkisannya dan langsung mendarat di bagian kepalanya. Habib terjerembab

dari atas kuda. Dalam keadaan lunglai, Habib mencoba bangkit bertahan. Namun, berdirinya Habib

segera disusul dengan ayunan pedang Hisshin yang menghantam kepala Habib lagi. Sahabat setia

Imam Husain as ini roboh dalam kondisi mengenaskan. Tak puas dengan itu, Hisshin datang lagi dan

memenggal kepada Habib hingga terpisah dari jasadnya.

Kejadian ini menimbulkan sedikit percekcokan antara beberapa orang yang mengeroyok Hisshin.

Mereka satu dengan yang lain saling berbangga sebagai orang yang paling berjasa membunuh Habib.

Tetapi mereka kemudian sepakat menyerahkan kepala Habib kepada Hisshin dan menggantungnya ke

leher kuda Hisshin. Kepala manusia mulia dipertontonkan ke sana kemari oleh Hisshin, dan Hisshin

pun mendapat imbalan dari atasannya.

Periwayat juga menceritakan, di medan pertempuran Habib bin Madhahir sempat menyerukan kata-kata lantang kepada musuh :

"Hai manusia-manusia yang paling bejat! Demi Allah, seandainya jumlah balatentara kami setara

dengan jumlah kalian atau setidaknya separoh dari jumlah kalian, niscaya kalian akan lari tungganglanggang."

Kematian Habib bin Madhahir membuat Imam Husain as tak kuasa menahan haru. Wajah beliau

tampak sangat berduka menyaksikan gugurnya pemegang tiang bendera sayap kiri pasukan beliau.

Kepergian Habib ke alam baka diiring kata-kata beliau: "Pahala Allah untukmu, hai Habib! Engkau

adalah manusia penuh keutamaan dimana dalam satu malam engkau menghatamkan AlQuran."

Imam Husain as kemudian memerintahkan Zuhair bin Al-Qain, Said bin Abdullah untuk berbaris di

depan Imam Husain bersama separuh pasukan beliau yang masih tersisa untuk mengawal solat beliau

bersama separuh pasukan dan pengikut Imam Husain as lainnya, karena pasukan musuh nampak tidak

mengizinkan beliau solat.

Kekejaman musuh keluarga Nabi SAWW itu ternyata tak kenal waktu. Said bin Abdullah yang berdiri

tepat di depan Imam Husain as menjadi sasaran beberapa anak panah. Tak urung, pria pemberani ini

gugur setelah menjadi perisai hidup Imam Husain as. Dia roboh tepat di depan mata junjungannya yang

suci itu. "Ya Allah, laknatlah golongan (musuh) itu seperti (laknat-Mu terhadap) kaum 'Aad dan

Tsamud." Ucap Imam Husain as.

Pembantaian terhadap Said hingga gugur itu tidak dilanjutkan musuh sehingga Imam Husain as

melanjutkan solat hingga tuntas. Seusai solat, Imam kembali menyiramkan semangat jihad kepada para

pengikutnya. Beliau antara lain berkata:

"Pintu-pintu surga telah terbuka, angkasanya cerah, buah-buahannya telah matang, istana-istananya

sudah berhias, anak-anak dan para bidadarinya sudah berkumpul. Rasulullah dan para syuhada yang

gugur bersamanya serta ayah dan ibuku sedang menantikan kedatangan kalian. Mereka mengucapkan

selamat kepada kalian. Mereka merindukan kalian.

"Belalah agama kalian! Belalah kehormatan Rasulullah, imam kalian, dan putera dari puteri Nabi

kalian sebab kalian sebenarnya sedang diuji dengan keberadaan kami. Kalian ada di sisi kakek kami

dan kalian akan menjadi manusia mulia di sisi kami. Maka berjihadlah kalian, niscaya Allah akan

membalas kalian dengan kebaikan."

Para sahabat Imam Husain as tak kuasa menahan gejolak dan kobaran semangat sekaligus rasa haru

mendengar kata-kata beliau. Mereka menangis tersedu-sedu, dan sebagian menjerit histeris. Diantara

mereka ada berseru mewakili yang lain.

"Demi Allah." Seru seseorang dari mereka. "Selagi hayat masih di kandung badan, jasad kami siap

menantang hujaman pedang dan serbuan anak panah agar tak seorangpun dapat menyakitimu

sedikitpun, agar kami dapat menjauhkanmu dari barisan musuh yang datang menyerang hingga kami

akhirnya meneguk kematian. Kebaikan yang dicari oleh seseorang hari ini akanlah kekal pada esok

hari..."44

Para pahlawan Karbala itu akhirnya terjun ke medan laga dan bahu membahu membela junjungannya

dari kebejatan kaum zalim. Selagi tenaga masih tersisa mereka tak membiarkan siapapun untuk

menjamah kehormatan cucu Rasul itu. Bahkan para pengikut Imam Husain as dari kalangan non- Bani

Hasyim tidak membiarkan seorangpun dari Bani Hasyim yang terjun ke medan laga melawan musuh

sebelum mereka sendiri yang maju. Kehidupan mereka di alam fana ini satu persatu redup. Arwah

mereka terbang susul menyusul.

Zuhair bin AlQain adalah salah satu dari mereka. Selain pemberani, dia juga termasuk salah satu

pemuka kabilahnya. Tak sedikit peperangan yang pernah dialaminya. Karena itu, kepadanyalah Imam

Husain as menyerahkan tongkat komando sayap kanan. Banyak korban dari pihak musuh yang jatuh

bergelimpangan akibat kehebatannya dalam bertempur. Siapapun yang berhadapan dengannya pasti

akan tersungkur. Karena itu tak sembarang orang yang berani berhadapan dengannya kalau tidak ingin

segera dikirimnya ke neraka. Semua pasukan musuh baru berani menghadapinya saat dia sudah tampak

letih menerjang musuh yang terus mengerubunginya. Saat itulah, seseorang dari pihak musuh yang

bernama Katsir bin Abdullah berani menyerangnya. Itupun dengan bantuan temannya, Muhajir bin Us.

Serangan kedua orang inilah yang akhirnya merobohkan Zuhair. Robohnya pendekar beriman ini

diiringi ucapan Imam Husain:

"Allah merahmatimu, hai Zuhair. Pembunuhmu akan mendapat laknat sebagaimana laknat atas orangorang

yang dikutuk menjadi kera dan babi."

Satu lagi diantara pasukan Imam Husain as yang gugur di sahara Karbala yang tandus itu adalah Jaun, lelaki berkulit hitam. Dia adalah budak Abu Dzar yang sudah dibebaskan. Dia adalah termasuk orang

yang meminta sendiri kepada Imam untuk turut serta dalam rombongan beliau dengan resiko apapun,

termasuk berjihad melawan musuh. Menjawab permintaan ini Imam Husain as berkata: "Dulu selagi

sehat kamu selalu bersama kami, dan sekarang terserah kamu kemanapun kamu hendak pergi."

Jaun berkata: "Hai Putera Rasul, dulu aku bersamamu di saat keadaan sedang baik dan

menggembirakan. Kini, apakah adil jika aku membiarkanmu sendirian dalam kesulitan?! Demi Allah,

bau tubuhku tidak sedap, aku lahir dari keturunan yang hina, dan warna kulitku hitam. Namun, apakah

engkau tidak rela jika aku menjadi penghuni surga sehingga aroma tubuhku harum semerbak,

jasmaniku tampak mulia, dan wajahnya putih?! Tidak, demi Allah aku tidak ingin berpisah denganmu

sampai darahku yang kelam ini melebur dengan darahmu."

Dengan restu Imam Husain as di Karbala, bekas budak itu ikut berjuang melawan musuh. Seperti

rekan-rekannya yang lain, dia juga berhasil merenggut nyawa beberapa orang dari balatentara musuh

sebelum tubuhnya yang hitam itu akhirnya menjadi onggokan tanpa nyawa di tanah Karbala. Dia

berhasil menggapai impiannya membela keluarga Rasul untuk kemudian bergabung dengan mereka

sebagai para 'bangsawan' di alam surga.

Demikianlah, para pahlawan pembela Islam dan Ahlul Bait suci itu berguguran satu persatu. Darahnya

telah menyiramkan cahaya spiritual yang terang benderang di bumi Karbala, bumi duka nestapa. Jasadjasad

mereka yang fana memang sudah tergolek tanpa nyawa seperti yang diharapkan musuh. Namun,

jejak-jejak spiritual mereka akan tetap abadi dan tidak akan pernah sirna untuk selamanya.

Peristiwa Malam Asyura

Syeikh Mufid meriwayatkan kisah peristiwa malam Asyura dari Imam Ali Zainal Abidin Assajjad as

yang menceritakannya antara lain sebagai berikut:

"Pada malam sebelum hari dimana ayahku syahid aku sedang sakit dan dirawat oleh bibiku, Zainab.

Tanpa kuduga, tiba-tiba ayahku memasuki kemahku. Saat itu terdapat Jun, seorang budak yang sudah

dibebaskan oleh Abu Dzar, sedang membenahi pedang milik ayahku. Saat itu, ayahku sempat

melantunkan syair yang mengatakan:

'Hai zaman, persahabatan bukanlah sesuatu yang abadi, kecintaan tanpa permusuhan bukan sesuatu yang berarti. Cukuplah siang dan malam sebagian dari sahabat menghendaki pembunuhan sambil

menyembunyikan permusuhan. Namun, setiap kehidupan pastilah bergerak menuju kematian

sebagaimana aku, kecuali Tuhan Yang Maha Agung.'26

"Begitu mendengar syair ini aku yakin bahwa bencana akan segera tiba dan akan membuat manusia

mulia itu pasrah kepada kematian. Karena itu, aku tak kuasa menahan tangis meski aku dapat menahan

rasa takut. Namun, bibiku tak kuasa menahannya sehingga dia menangis keras dan membuka

kerudungnya sambil beranjak mendekati ayahku dan berkata:

'Hai kakakku dan cendera mataku! Hai khalifah para pemimpin terdahulu! Hai keindahan orang-orang

yang akan datang, alangkah bahagianya seandainya kematian dapat mengakhiri kehidupanku sekarang

juga.'27

"Ayahku berkata: 'Alangkah beratnya musibah ini. Alangkah indahnya seandainya kematian

mengakhiri kehidupanku. Kini aku bagai menyaksikan lagi kematian ibundaku, ayahandaku, dan

kakandaku Hasan. Hai generasi orang-orang terdahulu! Hai penolong generasi yang menyusul, hanya

kamulah yang aku miliki..' "28

Diriwayatkan pula bahwa saat itu Imam Husain as memandangi adik perempuannya, Zainab, dan

berkata:

"Hai adikku, syaitan tidak akan menghilangkan kesabaranmu. Sebagaimana penghuni langit juga akan

mati, penghuni bumi tidak akan ada yang tersisa. Segala sesuatu akan binasa kecuali Allah. Ketentuan

ada ditangan-Nya dan kepada-Nya-lah segala sesuatu akan kembali."29

Kata-kata terucap dari bibir Imam Husain as sementara kedua matanya menitikkan air mata. Beliau

berkata lagi:

"Burung belibis pun akan tentram dalam sarangnya bila ditinggalkan."30

Hazrat Zainab as terus menangis sambil merintihkan kata-kata:

"Betapa malangnya nasibku. Engkau terpaksa pasrah kepada kematian. Orang-orang telah meremukkan

batinku. Segala sesuatu kini sangat menyakitkan jiwaku." Sedemikian pedihnya perasaannya Hazrat

Zainab sehingga dia akhirnya terjatuh ke tanah.

Imam Husain as menghampirinya dan mengusapkan sisa air ke wajah adiknya sambil berkata:

"Tenanglah adikku. Bersabarlah karena kesabaran adalah suatu kebaikan yang diciptakan Allah.

Ketahuilah sesungguhnya penghuni langit dan bumi pasti akan mati. Tak ada sesuatu yang abadi

kecuali Allah. Kakekku, ayahku, dan saudaraku yang lebih baik dariku telah pergi meninggalkan

dunia. Bagiku dan bagi setiap muslim ketataan kepada Rasulullah."

"Demi hakku atasmu aku bersumpah semoga engkau sepeninggalku tidaklah mencakari wajahmu dan

mengharapkan kebinasaan."

"Sesungguhnya aku akan telah menyaksikan tak lama lagi engkau akan diperlakukan seperti budak.

Orang-orang menggiringmu di depan iring-iringan kuda dan menyiksamu dengan siksaan yang amat

buruk."31

Imam Ali Assajjad as berkisah: "Ayahku membawa bibiku ke hadapanku kemudian beliau kembali

mendatangi para sahabatnya untuk berunding tentang hari Asyura nanti."

Perundingan Pertengahan Malam Asyura

Hazrat Zainab as mengisahkan: "Pertengahan malam Asyura aku mendatangi tenda adikku, Abu Fadhl

Abbas. Aku menyaksikan para pemuda Bani Hasyim berkumpul mengelilinginya. Abu Fadhl berkata kepada

mereka:

'Saudara-saudaraku sekalian, jika besok perang sudah dimulai, orang-orang yang pertama kali bergegas

ke medan pertempuran adalah kalian sendiri agar masyarakat tidak mengatakan bahwa Bani Hasyim

telah meminta pertolongan orang lain tetapi mereka (Bani Hasyim) ternyata lebih mementingkan kehidupan mereka sendiri ketimbang kematian orang-orang lain...'

"Para pemuda Bani Hasyim itu menjawab: 'Kami taat kepada perintahmu.'"

Hazrat Zainab juga berkisah: "Dari kemah itu kemudian aku mendatangi tenda Habib bin Madhahir.32

Aku mendapatinya sedang berunding dengan beberapa orang non-Bani Hasyim. Habib bin Madhahir

berkata kepada mereka:

'Besok, tatkala perang sudah dimulai, kalianlah yang harus terjun terlebih dahulu ke medan laga, dan

jangan sampai kalian didahului oleh satupun orang dari Bani Hasyim, karena mereka adalah para

pemuka dan junjungan kita semua...' "

"Para sahabat Habib bin Madhahir berkata: 'Kata-katamu benar, dan kami akan setia mentaatinya.' "

Malam Asyura itu seakan diharapkan segela berlalu untuk menyongsong pagi dan siang yang akan

mementaskan adegan keberanian pahlawan-pahlawan Karbala yang bersenjatakan keperkasaan iman

dan semangat pengorbanan yang besar, semangat altruisme yang kelak terpahat dalam prasasti

keabadian sejarah.

Namun demikian, kegagah beranian para pejuang Islam tentu saja mempersembahkan adegan haru

biru yang merenyuhkan simpati, empati, dan hati nurani setiap insan sejati. Karenanya, dalam kitab

Maqtal Al-Husain tercatat untaian syair yang menyatakan:

"Seandainya hari Asyura itu mengerti apa yang akan terjadi di dalamnya,

niscaya fajarnya tidak akan menyemburat dan bersinar

sebagaimana mentarinya juga tak akan mengguyur cahaya untuk menyajikan siang."

Imam Husain as dan para pengikutnya kemudian menghabiskan saat-saat malam Asyura itu dengan

ibadah dan munajat. Rintihan dan doa mereka terdengar bagai dengung lebah. Masing-masing

melarutkan diri dalam suasana khusuk sujud, dan tengadah tangan doa di depan Allah SWT.

Malam Asyura adalah malam perpisahan keluarga suci Rasulullah saaw di alam fana. Saat itu adalah

malam pembaharuan janji dan sumpah setia yang pernah dinyatakan di alam zarrah untuk kemudian

dibuktikan pada hari Asyura.

Imam Husain as sendiri sangatlah mendambakan terlaksananya janji itu. Malam itu Allah mengutus

malaikat Jibril as untuk membawakan catatan ikrar yang pernah dinyatakan Imam Husain as agar cucu

Rasul ini memperbaharui janjinya itu. Saat tiba di depan Imam Husain as, Jibril as berkata:

"Hai Husain, Allah SWT telah berfirman: 'Jika kamu menyesali janjimu itu, maka boleh

menggagalkannya, dan Aku akan memaafkanmu.'"

Imam Husain as menjawab: "Tidak, aku tidak menyesalinya."

Malaikat Jibril as kemudian kembali ke langit, dan tatkala fajar menerangi cakrawala untuk

menyongsong pagi, Imam Husain as dan rombongannya yang sudah kehabisan bekal air terpaksa

bertayammum untuk menunaikan solat Subuh jamaah. Seusai tahiyat dan salam Imam Husain as

berdoa kepada Al-Khalik:

"Wahai Engkau Sang Maha Penolong orang-orang suci, Wahai Sang Maha Pengampun di hari

pembalasan, sesungguhnya ini adalah hari yang telah Engkau janjikan, dan hari dimana kakekku,

ayahku, ibuku, dan kakakku ikut menyaksikan."

Imam Husain as kemudian membaca awal surat Al-waaqi'ah:

اِذَا وَقَعَتِ الْوَاقِعَةُ لَيْسَ لِوَقْعَتِهَا كَاذِبَةٌ

"Tatkala peristiwa besar (hari kiamat) terjadi, tidak ada seorangpun yang dapat mendustakan

kejadiannya." (QS. Al Waaqi'ah: 1-2)

Malaikat Jibril as berkata: "Hai Husain, hari ini engkau harus terjun ke medan laga dengan jiwa yang penuh kerinduan sebagaimana kerinduan setiap orang kepada kekasihnya."

Imam Husain as menjawab: "Hai Jibril, sekarang lihatlah mereka yang terdiri dari orang-orang tua dan

muda, kaya dan miskin, serta para wanita yang rambutnya sudah lusuh, para hamba sahaya, dan para

anggota rumah tangga ini telah aku bina sedemikian rupa sehingga untuk menjadi tawananpun mereka

siap. Mereka inilah Ali Akbar, Abbas, Qasim, 'Aun, Fadhl, Jakfar, serta para pemuda yang sudah

dewasa, dan inilah mereka sekumpulan kaum wanita dan anak-anak, mereka semua telah aku bawa aku

korbankan sebelum kemudian akupun akan menyerahkan nyawaku."

Jibril as menjawab: "Hujjahmu sudah sempurna, maka sekarang bersiaplah untuk menyambut cobaan

besar.."

Jibril as kemudian terbang ke langit sambil berseru: "Hai pasukan Allah, segeralah mengendarai kuda!"

Mendengar suara ini, segenap pasukan Imam Husain as bergegas mengendarai kuda kemudian

membentuk barisan kecil di depan barisan raksasa pasukan musuh.

Saat pasukan Umar bin Sa'ad juga sudah mengendarai kuda dan siap membantai Imam Husain as dan

rombongannya, Imam Husain as memerintahkan Barir bin Khudair untuk mencoba memberikan nasihat

lagi kepada musuh. Namun, apalah artinya kata-kata Barir untuk musuh yang sudah menutup pintu hati

nurani mereka itu. Apapun yang dikatakan Barir sama sekali tidak menyentuh jiwa dan perasaan

mereka.

Dalam keadaan sedemikian rupa, Imam Husain as bertahan untuk tidak memulai pertempuran antara

pasukan hak dan pasukan batil itu. Sebaliknya, beliau masih membiarkan dirinya tenang manakala

pasukan Umar bin Sa'ad sudah mulai berulah di sekeliling perkemahan Imam Husain as dengan

menggali parit dan menyulut kobaran-kobaran api.

Saat suasana bertambah panas, Syimir bin Dzil Jausyan berteriak keras memanggil Imam Husain as.

"Hai Husain!" Pekik Shimir, "Adakah kamu tergesa-gesa untuk masuk ke dalam neraka sebelum hari

kiamat nanti?!"

Begitu mengetahui suara itu berasal dari mulut Syimir, Imam Husain as membalas: "Hai anak

pengembala sapi, kamulah yang pantas menghuni neraka."

Melihat kebejatan Syimir kepada cucu Rasul itu, Muslim bin Ausajah mencoba melepaskan anak

panahnya ke tubuh Syimir. Namun Imam Husain as mencegahnya.

"Jangan!" Seru Imam Husain as. "Sesungguhnya aku tidak ingin memulai peperangan."33

Penuntasan Hujjah

Demi menuntaskan hujjahnya, Imam Husain as kemudian berseru kepada manusia-manusia durhaka

itu:

"Hai orang-orang, coba kalian perhatikan kata-kataku. Kalian semua tahu siapa aku dan dengan

siapakah nasabku bersambung. Kembalilah kalian hati nurani kalian, niscaya kalian akan mencela diri

kalian. Cobalah kalian sadari, apakah maslahat untuk kalian jika kalian membunuhku?! Bukankah aku

adalah petera dari puteri Nabi kalian? Bukankah aku adalah putera washi dan sepupu nabi kalian?

Bukankah aku adalah putera washi Nabi yang telah beriman sebelum orang lain beriman serta

mengakui kebenaran apa yang dibawa Nabi dari Allah? Bukankah Hamzah, pemuka kaum syuhada,

adalah paman ayahku? Bukankah Jakfar yang terbang di dalam surga dengan kedua sayapnya itu

adalah pamanku? Bukankah tentang aku dan kakakku, Hasan, kalian telah mendengar sabda Rasulullah

SAWW: 'Sesungguhnya keduanya adalah pemuka kaum pemuda penghuni surga'?

"Hai orang-orang, jika kalian mengakui kebenaran kata-kataku, kalian akan pasti mengetahui mana

yang hak. Demi Allah, Allah memusuhi para pendusta, dan karenanya aku tidak akan berdusta. Hai

orang-orang, seandainya kalian meragukan kebenaran kata-kataku, apakah mungkin kalian meragukan

bahwa aku adalah putera dari puteri Nabi kalian? Demi Allah, baik di tengah kalian maupun di tengah

orang-orang lain, tidak ada putera dari puteri Nabi selain aku.

"Alangkah celakanya kalian. Adakah kalian hendak menuntut darahku sedangkan aku tidak pernah

membunuh siapapun diantara kalian? Adakah kalian akan meng-qisasku sedangkan aku tidak pernah

mengusik harta benda kalian atau melukai seseorang dari kalian?"

Semua orang terdiam mendengar kata-kata Imam Husain as. Tak seorang pun berani menjawab. Beliau

berseru lagi:

"Hai Syaits bin Rab'ii, Hai Hajjar bin Ajbar, hai Qais bin Asy'ats, hai Zaid bin Harits, bukan kalian telah menulis surat kepadaku dan menyatakan: 'Buah di pohon-pohon kami telah matang, kebun-kebun

kami telah hijau, dan jika engkau datang kepada kami niscaya kami akan mempersiapkan pasukan

untukmu'?"

Qais bin Asy'ats tiba-tiba menjawab: "Kata-katamu ini sudah tidak ada gunanya lagi. Kamu tak usah

berperang dan lebih baik menyerah kepada anak-anak pamanmu itu karena mereka tidak akan berbuat

buruk kepadamu."

Imam Husain as berkata: "Demi Allah, aku tidak akan menyerah kepada kalian. Aku tidak bersedia

menjadi orang hina di depan orang-orang durhaka. Aku tidak akan membebani diriku dengan ketaatan

kepada aturan manusia-manusia yang terbelenggu."

Puteri Fatimah Azzahra ini kemudian membacakan dua ayat suci dalam AlQuran dengan suara lantang:

وَاِنّي عُذْتُ بِرَبّي وَرَبّكُمْ اَن تَرْجُمُونِ

"Sesungguhnya aku hanya berlindung kepada Tuhanku dan Tuhan kalian dari kehendak kalian untuk

merajamku." (QS. Ad Dukhaan: 20)

وَنَعْمَةٍ كَانُوا فِيهَا فَاكِهِينَ

"Sesungguhnya aku berlindung kepada Tuhanku dan Tuhan kalian dari setiap manusia takabur yang

tak beriman kepada hari pembalasan." (QS. Ad Dukhaan: 27)

Imam Husain as kemudian meminta Umar bin Sa'ad datang mendekati beliau. Meski dengan berat hati

dan gengsi, Ibnu Sa'ad itu memenuhi permintaan Imam Husain as.

"Hai Ibnu Sa'ad!" Cecar Imam Husain as. "Apakah kamu akan membunuhku supaya Abdullah bin

Siyad si anak zina dan putera zina itu menyerahkan kekuasaan di Rey dan Jurjan kepadamu? Demi

Allah, apa yang kamu harapkan itu tidak dapat kamu capai. Kamu tidak menyaksikan hari yang kamu

harapkan akan menuai ucapan selamat atas kekuasaanmu di dua wilayah itu. Aku seakan sudah melihat

bagaimana kepala tertancap diujung tombak kemudian dilempari oleh anak-anak kecil di Kufah."

Kata-kata Imam Husain as ini memancing emosi Umar bin Sa'ad. Dia segera berpaling ke arah

pasukannya sambil berteriak: "Menunggu apa kalian? Cepat bereskan si pemalas ini. Seranglah Husain

dan para pengikutnya yang jumlahnya hanya segelintir itu."

Imam Husain as segera bergegas menunggangi kudanya. Orang-orang yang ada masih tetap dimintanya

untuk tenang lagi. Ketika mereka masih bersedia diam, beliau menyampaikan sebuah khutbah yangn

diawali dengan puja puji kepada Allah dan salam serta salawat kepada para nabi dan rasul serta para

malaikat Allah. Dalam khutbahnya beliau antara lain berkata kepada pasukan musuh sebagai berikut:

"Celakalah kalian semua! Kemiskinan dan kesengsaraan adalah nasib kalian tadinya dengan penuh

antusias telah menganggapku sebagai penyambung lidah kalian sehingga kamipun datang dengan

maksud menolong kalian. Namun, pedang-pedang yang tadinya adalah milik kami lalu kami serahkan

kepada kalian kini telah kalian hunus untuk menghabisi kami. Kobaran api yang tadinya kami kobarkan

untuk melawan musuh kami dan kalian kini kalian kobarkan terhadap kami. Kalian berkomplot dengan

musuh untuk menumpas teman-teman kalian sendiri. Padahal musuh-musuh itu tidaklah menerapkan

keadilan di tengah kalian sehingga kalian pun tidak memiliki harapan yang baik di tengah mereka.

"Karena itu celakalah kalian semua! Di saat pedang-pedang masih tersimpan di dalam sarangnya,

ketika jiwa semua orang masih tenang dan tak ada yang berpikir untuk berperang, mengapa sejak itu

pula kalian enggan membiarkan kami tenang?! Sebaliknya kalian malah seperti gerombolan hama

yang mengalir menuju bencana, dan ibarat kumpulan kupu-kupu yang terbang centang perenang di

tengah bencana.

"Celakalah kalian, hai para budak dan orang-orang pinggiran! Hai orang-orang yang berpaling dari

Kitab Allah! Hai para pendurjana! Hai air ludah yang mengalir dari mulut syaitan! Hai para pemadam

sunnah Ilahiah! Adakah kalian masih akan membantu kelompok musuh dan membiarkan kami tertindas

sendirian?"

Imam Husain as kemudian membacakan ayat-ayat suci AlQuran sebagai berikut:

وَلاَ يَحْسَبَنّ الّذِينَ كَفَرُواْ اَنّمَا نُمْلِي لَهُمْ خَيْرٌ لّاَنفُسِهِمْ اِنّمَا نُمْلِي لَهُمْ لِيَزْدَادُواْ اِثْماً وَلَهْمُ عَذَابٌ مّهِينٌ

مّا كَانَ اللّهُ لِيَذَرَ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى مَا اَنتُمْ عَلَيْهِ حَتّىَ يَمِيزَ الْخَبِيثَ مِنَ الطّيّبِ وَمَا كَانَ

اللّهُ لِيُطْلِعَكُمْ عَلَى الْغَيْبِ وَلَكِنّ اللّهَ يَجْتَبِي مِن رّسُلِهِ مَن يَشَاءُ فَامِنُواْ بِاللّهِ وَرُسُلِهِ وَاِن

تُؤْمِنُواْ وَتَتّقُواْ فَلَكُمْ اَجْرٌ عَظِيمٌ

"Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka bahwa pemberian tangguh Kami kepada

mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya kami memberi tangguh kepada mereka

hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka, dan bagi mereka azab yang menghinakan. Allah

sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini,

sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mukmin)." (QS. Al Imran: 178-179)

"Demi Allah, perbuatan makar kalian ini bukanlah yang pertama kalinya. Perbuatan ini sudah

mengakar dan mendarah daging dalam diri kalian. Darinyalah dahan-dahan kalian tumbuh dan terawat.

Kalian adalah buah paling najis dari pohon ini dan kini sedang dikulum oleh pemilik yang

mengawasinya, tetapi di saat kalian nanti sudah menjadi duri dan tulang yang mengganjal tenggorokan

niscaya kalian akan ditelan begitu saja."

"Ketahuilah, Ubaidillah bin Siyad, anak zina putera si anak zina itu telah menghadapkanku pada dua

pilihan; berperang mengangkat pedang dan meneguk syahadah, atau pasrah kepada kehinaan, tetapi

alangkah jauhnya kehinaan itu dari kami.

"Allah tidak menerima kehinaan menimpa kami. Rasulullah dan orang-orang yang beriman juga tidak

menerimanya. Kesucian yang telah membina kami sama sekali tidak memperkenankan kami berada di

bawah kezaliman dan penganiayaan. Mereka semua tidak akan merestui keputusan kami untuk lebih

mengutamakan ketaatan kepada manusia-manusia durjana dan hina daripada kematian sebagai manusia

agung dan mulia.

"Ketahuilah bahwa aku bersama segelintir jamaahku ini telah siap berperang walaupun jumlah kami

kecil dan tak akan ada lagi orang yang membantu kami.

"Keengganan berkorban demi suatu kecintaan adalah pantangan bagi kami. Keengganan seperti ini agar

kami dapat tidur nyenyak adalah pantangan bagi kami. Kamilah orang-orang yang tak kenal lelah.

Dalam ajaran kami tidak akan ada pengenduran tali pinggang."

Imam Husain as kemudian mengaitkan kata-katanya dengan bait-bait syair Farwah bin Musaik

AlMuradi. Dari beberapa bait syair itu beliau mengungkapkan tamsil sebagai berikut:

"Seandainya kami menang dan berhasil mengalahkan musuh maka ini bukan sesuatu yang baru bagi

kami karena sejak dulu kehendak dan kejadian seperti ini sudah pernah kami alami. Namun, seandainya

kamipun tak berdaya maka itu bukan berarti kami telah kalah karena niat dan kehendak kami adalah

demi kebaikan dan takwa, dan makna sedemikian ini tidak akan pernah mengenal kata kalah.

"Seandainya kematian menarik diri dari suatu kaum, maka kematian akan mereggut suatu kaum yang

lain, dan sesungguhnya tak ada satupun manusia yang bisa lolos dari kematian. Kematian inilah yang

telah meniadakan para pemuka kaum kami, sebagaimana ia telah meniadakan kaum-kaum terdahulu.

"Seandainya para raja dan penguasa bumi di alam dunia dapat hidup abadi, niscaya kamipun akan

dapat hidup abadi. Seandainya orang-orang besar dapat bertahan hidup, maka kami pun juga akan

bertahan hidup. Akan tetapi keabadian (di alam dunia) tidak akan pernah ada.

"Maka dari itu, katakanlah kepada mereka yang menghujat kami: 'Sadarlah kalian, dan ketahuilah

bahwa kalian juga akan menyongsong kematian sebagaimana kami.'

"Demi Allah, setelah syahadahku nanti, kalian tidak akan bisa menggapai apa yang kalian dambakan.

Kalian tidak akan bisa lama-lama di dunia ini. Seperti saat kalian berkelana dengan mengendarai,

kalian akan merasakan waktu ini hanya seperti putaran batu penggilingan yang mengelilingi kalian.

Dan karena porosnya berkutat pada kalian maka kalian tertambat pada keraguan. Ini adalah suatu

perjanjian yang dijalin ayahku dengan restu kakekku.

"Sekarang coba kalian pertemukan pandangan kalian dengan pikran para komplotan kalian. Cobalah

kalian pikirkan lalu ambillah keputusan karena kalian tahu pasti urusan kalian sendiri. Pikirkan matang-matang agar kalian tidak menyesal dan tertimpa beban pikiran. Jika ini sudah kalian pikirkan, maka

kalian tak usah ragu-ragu dalam menyerangku. Habisilah aku sesegera mungkin!

"Aku bertawakkal kepada Allah, Tuhanku dan Tuhan kalian semua. Tak sesuatu yang bergerak di

muka bumi ini kecuali sudah ditentukan dalam kodrat-Nya. Saya yakin bahwa Tuhanku ada di pihak

yang benar."34

Imam Husain as kemudian menghadapkan wajahnya ke arah para sahabatnya. Setelah mengucapkan

pujian kepada Allah beliau berkata:

"Sesungguhnya Allah Yang Maha Suci dan Maha Mulia telah meridhai terbunuhnya kalian dan aku

pada hari ini, maka sabarlah kalian dan bersiaplah untuk berperang."35

Demi menuntaskan hujjahnya lagi, beliau berkata kepada para sahabat dan pengikutnya:

"Hai putera-putera yang mulia, bertabah kalian, karena sesungguhnya kematian ini tak lain adalah

jembatan yang akan kalian titi dari penderitaan menuju surga yang sangat luas, menuju kenikmatan

yang abadi. Maka janganlah kalian khawatir untuk berpindah dari penjara menuju istana, sedangkan

musuh-musuh kalian tak lain ibarat orang yang dipindahkan dari istana menuju penjara dan siksaan.

Mengutipkan sabda Rasulullah, ayahku pernah berkata kepadaku: 'Sesungguhnya dunia adalah penjara

bagi orang yang beriman dan surga bagi orang yang kafir. Kematian adalah jembatan menuju surga

bagi mereka yang beriman serta merupakan jembatan menuju neraka bagi mereka yang kafir. Aku

tidaklah berdusta dan tidak pula didustai."36

Istighotsah Imam Husain as dan Taubat Hur

Imam Husain as kemudian berdoa:

"Ya Allah, janganlah Engkau turunkan air hujan dari langit untuk kaum ini. Azablah mereka dengan

kekeringan dan kelaparan seperti pada zaman nabi Yusuf. Kuasakan atas mereka nanti Astsaqafi agar

mereka merasakan kegetiran karena mereka telah mendustakan kami, menisbatkan kebohongan kepada kami, dan menyia-nyiakan kami.

"Ilahi, kami bertawakkal kepada-Mu. Kepada-Mulah kami dan segala sesuatu pasti akan kembali."37

Imam Husain as kemudian mendekati para pengikutnya dan berkata: "Bersabarlah, sesungguhnya Allah

telah mengizinkan kalian untuk berperang hingga titik penghabisan. Sesungguhnya kalian semua akan

terbunuh kecuali Ali bin Husain."38

Imam Husain as yang sudah siap bertempur berkata lagi:

"Adakah lagi seseorang yang akan menolongku demi mendapatkan keridhaan Allah? Adakah lagi

seseorang yang siap membela kehormatan Rasulullah?"

Syaikh Mufid ra dalam kitabnya mengisahkan: saat mendengar istighotsah Imam Husain as, perasaan

Hur bin Yazid tersentuh sehingga dia datang mendekati Umar bin Sa'ad.

"Hai Umar, apakah kamu akan tetap memerangi orang ini?" Tanya Hur.

"Ya, demi Allah" Jawab Umar Bin Sa'ad. "Kita akan kobarkan perang yang paling dahsyat dimana

paling tidak kepala-kepala mereka harus terpenggal sebagaimana tangan-tangan mereka harus

terpotong dari jasad-jasad mereka.", tambah Umar.

"Apakah tidak mungkin perbuatan ini dipertimbangkan lagi?"

"Itu mungkin saja seandainya kekuasaan ada di tanganku, namun pemimpinmu, Ubaidillah, tidak

menghendaki perdamaian dan pembenahan kebijakan seperti itu."

Dengan hati kecewa Hur beranjak dari tempat Umar bin Sa'ad lalu terpaku di sebuah tempat di dekat

Qurrah bin Qais, salah satu orang dekatnya. Hur bertanya kepada Qurrah: "Hai Qurrah, sudahkah kamu

memberi minum kudamu hari ini?". "Belum" Jawab Qurrah.

"Maukah kamu memberinya minum sekarang?" Tanya Hur lagi.

Dari pertanyaan ini, Qurrah curiga bahwa Hur berniat keluar dari rombongan pasukan, pergi, dan

seterusnya. Namun, di luar dugaan itu, Hur ternyata perlahan-lahan bergerak mendekati Imam Husain

as. Begitu sampai di hadapan beliau, Hur meletakkan telapak tangan di kepalanya sambil berseru:

"Ya Allah, aku kembali kepada-Mu. Ya allah, ampunilah aku yang telah membuat para pecinta dan

putera-puteri rasul-Mu menderita dan ketakutan."

Saat melihat Hur mendekati Imam Husain itu, sebagian orang menduganya akan memulai peperangan.

Namun, mereka baru sadar dugaan itu salah setelah melihat Hur membalikkan perisainya. Saat itu Hur

datang menyapa Imam Husain as dimulai dengan ucapan salam takzim dan hormat lalu menyusulnya

dengan kata-kata:

"Hai putera Rasul, aku siap berkorban untukmu. Aku adalah orang yang beberapa waktu lalu telah

mencegat perjalananmu, mencegahmu pulang, lalu menggiringmu ke tanah yang penuh dengan petaka

ini tanpa aku tahu sebelumnya bahwa orang-orang ini akan menolak kata-katamu dan memperlakukan

dirimu sedemikian rupa. Demi Allah, seandainya aku tahu inilah yang akan terjadi, tidak mungkin akan

berbuat seperti itu kepadamu. Sekarang aku menyesal, tetapi apakah mungkin Allah akan menerima

taubatku?"

Imam Husain as menjawab: "Allah pasti akan menerima taubatmu." Beliau meminta Hur supaya

beristirahat, namun Hur malah meminta restu beliau untuk segera memulai perjuangan di depan musuh.

Imam pun berkata: "Semoga Allah merahmatimu. Aku mengizinkanmu berjuang."

Hur kemudian meminta diri dari Imam Husain as dan pergi mendekati pasukan Umar bin Sa'ad yang

kini sudah menjadi musuhnya. Di depan mereka Hur memberondongkan kata-kata pedas dan kutukan.

Begitu kata-kata Hur tuntang, beberapa orang pasukan Ibnu Sa'ad membidikkan anak panah ke arah

Hur. Hur bergegas pergi menghadap Imam Husain as untuk memohon instruksi penyerangan.

Serentak dengan ini, Umar bin Sa'ad berteriak kepada budaknya: "Hai Darid, cepat maju!" Umar

mengambil sepucuk anak panah dan memasangnya ke tali busur sambil berteriak lagi: "Hai orangorang,

saksikanlah bahwa akulah orang pertama yang membidikkan anak panah ke arah pasukan

Husain." Anak panah itupun melesat.

Sayid Ibnu Thawus meriwayatkan, melesatnya anak panah Umar bin Sa'ad segera disusul dengan hujan

panah dari anak buahnya ke arah pasukan Imam Husain as. Imam Husain pun menurunkan instruksi

untuk melakukan perlawanan.


3

4

5

6