• Mulai
  • Sebelumnya
  • 12 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 9503 / Download: 2950
Ukuran Ukuran Ukuran
tragedi karbala

tragedi karbala

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Perpisahan Terakhir

Detik-detik terakhir kehidupan Imam Husain as telah semakin berdetak keras. Maka, kepada kaum

wanita keluarga dan kerabatnya bintang ketiga dari untaian suci Imam Ahlul Bait as yang siap

menyongsong kematian sakral itu berkata:

"Kenakanlah gaun duka cita kalian. Bersiaplah menanggung bencana dan ujian. Namun, ketahuilah

bahwa Allah adalah Penjaga dan Pelindung kalian. Dia akan menyelamatkan kalian dari keburukan musuh, mendatangkan kebaikan dari persoalan yang kalian hadapi, mengazab musuh dengan berbagai

macam siksaan, dan akan mengganti bencana kalian dengan berbagai macam kenikmatan dan

kemuliaan. Maka janganlah kalian mengeluh dengan rintihan dan kata-kata yang dapat mengurangi

keagungan kalian."81

Imam menatap wajah puteri-puterinya satu persatu sambil berkata: "Sakinah, Fatimah, Zanab, Ummu

Kaltsum, salamku atas kalian. Inilah akhir pertemuan kita, dan akan serea tiba saatnya kalian dirundung

nestapa."82

Wajah Imam bersimbah air mata sehingga Hazrat Zainab memberanikan diri untuk bertanya:

"Mengapa engkau menangis?"

"Bagaimana aku akan dapat meredam tangis, sedangkan sebentar lagi kalian akan digiring oleh musuh

sebagai tawanan?!"83

Sakinah juga bertanya: "Ayahku, apakah engkau akan menyerah kepada kematian?"84

"Bagaimana tidak, sedangkan aku sudah tidak mendapati orang yang akan menolongku?!" Jawab

Imam.

Sakinah berkata lagi: "Kalau begitu, lebih baik pulangkan kami ke tanah suci kakek."85

Imam Husain menjawab: "Mana mungkin aku bisa memulangkan kalian? Andaikan mereka mau

melepaskan diriku, tidak mungkin aku akan menjerumuskan diriku kepada kebinasaan..."86

Sejurus kemudian Sang Imam bergerak untuk menjejakkan kakinya seorang diri menuju gerombolan

musuh yang sudah haus akan darah beliau itu. Namun, gerakannya tertahan lagi oleh sisa-sisa jerit tangis anak-anak yang menahan dahaga. "Tak usah kalian menangis, demi kalian jiwaku akan aku

korbankan."

Kepada adiknya, Hazrat Zainab as, beliau berpesan, "Aku titipkan anak-anak dan kaum wanita ini

kepadamu. Jadikanlah kamu sebagai ibu mereka sepeninggalku, dan tak perlu engkau menguraiuraikan

rambutmu (sebagai luapan dukacita) atas kepergianku. Apabila anak-anak yatimku merindukan

ayahnya, biarlah putera Ali yang akan tampil sebagai ayah mereka."

Dengan suara lirih, beliau akhirnya mengucapkan salam perpisahan: "Alwidaa', alwidaa', alfiraaq,

alfiraaq."87

Putera Ali bin Abi Thalib as itu kemudian mengendarai Dzul Janah, kuda yang sebelum ditunggangi

oleh Abul adhl Abbas as. Anak-anak kecil dan kaum wanita tetap tak kuasa menahan ratapan duka lara.

Gerakan Imam diiringi raung tangis mereka. Sebagian tersimpuh sambil memeluk kaki Dzul Janah.

"Ayah! Ayah!" Panggil puteri beliau yang masih berusia tiga tahun. "Aku haus, aku haus! Mau kemana

engkau ayah? Lihatlah aku, ayah. Aku sedang kehausan."

Hati Sang Imam kembali menjerit. Imam sempat tersedu menahan tangis, tetapi kemudian tetap

menarik kendali kudanya menuju laskar iblis kerajaan Bani Umayyah itu. Di situ beliau mencoba untuk

mengajukan permohonan.

"Hai putera Sa'ad!" Seru beliau. "Aku menginginkan darimu satu diantara tiga pilihan. Pertama, kamu

bebaskan aku untuk kembali kembali ke tanah suci kakekku dan menetap di sana."

"Itu tidak mungkin!" Sergah Ibnu Sa'ad dengan raut muka yang angkuh.

"Kedua," Lanjut Imam. "Berilah kami air, karena keluargaku sedang tercekik dahaga."

"Ini juga tidak bisa!" Teriak panglima pasukan Yazid dari Kufah itu.

Imam berkata lagi: "Kalau begitu, kalian tahu aku disini hanya seorang diri. Karenanya, sekarang aku

minta satu diantara kalian maju berduel denganku."

Umar bin Sa'ad menjawab: "Ini pekerjaan gampang. Saya terima permintaanmu untuk memulai duel."

Perjuangan Ksatria Karbala Seorang Diri

Sebagaimana yang sudah disepakati, terjadilah duel satu lawan satu. Singkat cerita, Imam Husain as

adalah pendekar yang tak tertandingi oleh musuh-musuhnya dalam pertarungan secara jantan satu

lawan satu. Akibatnya, satu persatu lawan-lawan beliau dalam duel bergelimpangan menjadi korban

hantaman pedang beliau. Umar bin Sa'ad pun was-was dan cemas saat melihat sudah banyak

pasukannya yang tak bernyawa setelah berani menjawab tantangan duel Imam Husain as.

Dengan kesalnya, Umar bin Sa'ad menggerutu: "Keparat, tak ada seorangpun yang mampu bertanding

dengan Husain. Jika begini terus, tak akan ada satupun diantara pasukanku yang tersisa nanti."

Dia lantas berteriak kepada pasukannya: "Tahukah kalian dengan siapakah kalian hendak bertarung?!"

Umar bin Sa'ad rupanya baru menyadari bahwa dia sedang berhadapan dengan bukan sembarang

orang, termasuk untuk urusan. Dia adalah putera pendekar Islam legendaris, Imam Ali bin Abi Thalib

as. Dia adalah putera ksatria yang dijuluki dengan Haidar Al-Karrar, Singa Yang Pantang Mundur. Dia

adalah putera si pemilik pedang Dzulfikar yang telah banyak menghabisi benggolan-benggolan

pendekar kaum kafir dan musyrik. Dia adalah putera yang mewarisi semua kehebatan ayahnya.

Karenanya, tak mengherankan jika Imam Husain as tak tertandingi oleh siapapun dalam pertarungan

secara ksatria. Oleh sebab itu, begitu beliau tidak bisa dirobohkan dengan cara-cara jantan, pasukan

musuh akhirnya mengepung beliau yang sendirian dari segenap penjuru. Mereka sudah siap merenggut

nyawa beliau dengan cara mengeroyok habis-habisan. Di saat yang lebih menegangkan itu, beliau tibatiba

didatangi oleh sehelai surat bertinta emas yang melayang jatuh dari angkasa dan hinggap di atas

pelana kuda beliau, Dzul Janah. Surat diraihnya dan tertera sebuah pernyataan:

"Salam atasmu wahai hamba-Ku yang salih, Husain. Rahmat dan berkat Allah atasmu, wahai Husain.

(Ketahuilah bahwa) Kami tidak mewajibkan keterbunuhanmu."88

"Jika engkau menghendaki kehidupan di dunia, maka kembalilah ke sarangmu, dan urusilah dunia

hingga kaum itu binasa."89

Surat itu dicium oleh Imam Husain as, dan melayangkan kembali ke angkasa bak burung merpati.

Beliau kemudian berucap kepada Allah: "Ya Allah, aku sudah berjanji kepada-Mu untuk memberi syafaat umat kakekku. Lantas bagaimana mungkin aku akan mencabut kembali janji itu, dan

Engkaupun juga sudah memberitahuku bahwa sesungguhnya untuk memberikan syafaat itu terdapat

suatu derajat mulia yang tak dapat dicapai kecuali dengan syahadah..."90

Perjanjian untuk menggelar pertarungan secara ksatria akhirnya benar-benar diabaikan oleh musuh.

Umar bin Sa'ad memerintahkan seluruh pasukannya untuk ramai-ramai mengerungi dan membantai

Imam Husain as sedapat mungkin. Maka, sang Imam pun mulai menjadi bulan-bulan menghadapi

sekian banyak manusia-manusia buas itu. Tubuh Imam semakin lemas dalam melakukan perlawanan

sehingga saat demi saat tubuh beliau mulai menuai luka dan kucuran darah. Jasad beliau mulai

terkoyak-koyak oleh berbagai jenis senjata pedang, tombak, dan panah yang sudah tak sabar untuk

menghabisi riwayat Imam Husain as.

Di saat-saat Imam dalam posisi yang nyaris tak berdaya itu, beliau melihat seseorang bernama Syimir

bin Dzil Jausyan bersama anak buahnya mengendap-mengendap diantara tempat Imam Husain

bertahan dan lokasi perkemahan beliau. Di situ beliau berteriak lantang:

"Celakalah kalian, hai pengikut keluarga Abu Sufyan! Jika kalian memang sudah tak beragama, tidak

takut kepada hari kebangkitan, maka berpesta poralah kalian dengan urusan duniawi kalian!"

"Kamu bicara apa, hai putera Fatimah!" Sergah Syimir.

Imam menjawab: "Yang berperang adalah aku dan kalian. Jangan kalian ganggu kaum wanita.

Janganlah kalian berbuat sesuatu yang sangat melanggar kehormatanku!"

Syimir menjawab: "Kami tidak akan melanggar kehormatan."

Manusia kejam ini lalu berteriak kepada pasukannya: "Celakalah kalian! Apa yang kalian pelototi?!

Cepat habisi dia!" Teriakan ini segera disusul dengan keroyokan yang lebih sengit terhadap Imam

Husain yang nampak sudah kewalahan itu. Dari sekian pedang yang berebut untuk menghabisi nyawa

cucu Rasul dan putera Fatimah itu, satu pedang yang digenggam Soleh bin Wahab berhasil

menghunjam keras paha beliau. Hantaman ini menjatuhkan beliau dari atas kuda. Pelipis kanan beliau

menghempas pasir Karbala yang panas itu.

Beliau tetap bangkit berdiri dan melanjutkan perlawanan sekuat tenaga. Dalam keadaan seperti itu beliau masih sempat menjatuhkan beberapa pasukan. Saat spirit beliau bertambah beliau selalu

mengucap kalimat:

لا حول ولاقوة الا بالله العلي العظیم

Beliau juga sempat bersumbar kepada musuh bahwa mati terbunuh lebih baik daripada harus hidup

terpedaya oleh kehinaan dan ketercelaan. Terbunuhnya para pengikut beliau seiring dengan jerit tangis

anak-anak kecil yang meratap kehausan sama sekali tak menciutkan nyali beliau untuk terus melawan

dan pantang mundur. Ketabahan dan tawakkal di depan Allah adalah prinsip yang tak tergoyahkan.

Saat itu kepada Tuhannya beliau berucap:

"Aku sabar atas garis yang telah Engkau tentukan, tiada Tuhan Yang Patut Disembah kecuali Engkau,

wahai Pelindung orang-orang yang memohon perlindungan."91

Dalam doa ziarah untuk beliau disebutkan, "Dan para malaikatpun terkesima menyaksikan

kesabaranmu."92

Hati musuh sama sekali sudah buta dan mengenal belas kasih. Dalam perlawanan sekuat tenaga itu,

tubuh Imam Husain as terpaksa semakin bermandi darah saat tombak-tombak dan panah musuh ikut

menggerogoti daya pertahanan beliau.

Dari arah sana Hazrat Zainab tak kuasa menahan diri menyaksikan kakaknya menjadi sasaran

pembantaian seganas itu. Wanita agung menjerit-jerit mengadukan penderitaan kepada kakek, ayah,

dan pamannya yang sudah bersemayam di alam keabadian.

"Oh Muhammad! Oh Ayah! Oh Ali! Oh Ja'far!" Ratap Zainab tersedu-sedu. "Alangkah baiknya

seandainya langit ini runtuh menimpa bumi! Alangkah baiknya seandainya gunung-gunung ini

berhamburan menimpa sahara."93

Puteri Fatimah Azzahra as mencoba mendekati ajang pembantaian kakaknya. Di saat yang sama,

manusia biadab Umar bin Sa'ad dan gerombolannya bergerak menuju perkemahan keluarga dan rombongan Imam Husain as. Di saat tubuh Imam roboh dan nafasnya sudah tersengal-sengal menanti

ajal, gerombolan manusia liar itu mengobrak-abrik perkemahan anak keturunan Rasul tersebut. Mereka

melakukan aksi pembakaran, merampasi harta benda, dan menangkapi dan menggiring kaum wanita

dan anak-anak kecil sebagai tawanan.

Hazrat Zainab yang masih terbayang nasib kakak sekaligus pemimpin sucinya itu berteriak kepada

Umar bin Sa'ad: "Hai Umar, apakah Abu Abdillah terbunuh dan kamu menyaksikannya sendiri?!"

Entah mengapa, kata-kata wanita pemberani ini tiba-tiba menggedor perasaan putera Sa'ad itu sehingga

tak berani menjawabnya dengan bentakan. Bagai binatang pandir, dia tak berani menjawab atau

menatap wajah Zainab. Dia memaling muka.94

Zainab berteriak lagi: "Adakah seorang Muslim diantara kalian?!" Tak seorangpun menjawabnya. Saat

gerombolan itu dibungkamkan oleh kata-kata Hazrat Zainab, tubuh Imam Husain as yang masih

bernafas tiba-tiba bangkit lalu menerjang beberapa pasukan yang ada di dekatnya sehingga mereka

mundur. Dengan tubuh yang sudah tercabik-cabik dan sengalan nafas yang masih tersisa itu, beliau

berteriak:

"Hai umat yang paling bejat, kalian telah memberikan perlakuan yang terburuk kepada Muhammad

dengan menganiaya anak keturanannya. Ketahuilah bahwa setelahku nanti kalian tidak akan mungkin

takut (berdosa) lagi dalam membunuh seseorang. Sesudah membunuhku kalian pasti akan gampang

sekali berbuat itu. Demi Allah, aku sangat mendambakan kemuliaan dari Allah dengan syahadah, lalu

Dia akan menuntut balas darahku dari kalian tanpa kalian sadari."95

Setelah berusaha melakukan perlawanan sekian lama di depan pesta pembantaian itu, Imam Husain as

mencoba menjauh dari pasukan lawan untuk mengatur nafas. Namun, tiba-tiba sebuah batu melayang

dari arah musuh dan mengena kepala beliau. Darahpun mengucur deras lagi. Belum selesai beliau

mengusap darahnya yang suci itu, dada beliau diterjang sebuah anak panah bermata tiga. Tertembus

panah beracun itu, beliau berucap: "Bismillahi wa billahi wa 'ala millati rasulillah."Beliau menatap

langit dan berdesah lagi:" Ilahi, sesungguhnya Engkau mengetahui mereka telah membunuh seseorang di muka bumi yang tak lain adalah putera Nabi."96

Di saat beliau semakin kehabisan tenaga itu, beliau mencabut anak panah itu dari dadanya. Darah

kembali menggenang. Sebagian beliau hamburkan ke atas dan sebagian yang lain beliau usapkan ke

wajahnya sambil berucap: "Beginilah aku jadinya hingga aku bertemu dengan kakekku Rasulllah

dalam keadaan berlumuran darah lalu aku adukan kepada beliau: fulan, fulan telah membunuhku."97

Puas menatap pemandangan seperti ini, balatentara musuh sejenak menghentikan kebrutalannya.

Mereka terkekeh-kekeh menyaksikan Imam Husain as berdoa:

"Ya Rabbi, aku bersabar atas ketetapan-Mu, tiada Tuhan selain-Mu, wahai Penolong orang-orang yang

memohon pertolongan. Tiada Tuhan Pemelihara kami selain-Mu, tiada Tuhan Yang Patut disembah

kecuali Engkau. Aku bersabar atas ketentuan (humum)-Mu, wahai Pelindung orang-orang yang tak

memiliki perlindungan, wahai Zat Yang Maha Kekal dan Tak Berpenghabisan, wahai Yang

Menghidupkan orang yang sudah mati, wahai Zat Yang Menghakimi setiap jiwa sesuai perbuatannya,

hakimilah antara aku dan mereka, sesungguhnya Engkau adalah yang terbaik diantara para hakim."98

Setelah itu sempat terjadi keheningan beberapa saat. Untuk sementara waktu masih belum ada

seorangpun yang berani tampil sebagai pembunuh utama cucu Rasul itu di depan Allah SWT kelak.

Diriwayatkan bahwa saat itu pula tiba-tiba Imam Husain as didatangi bayangan ajab wajah kakek dan

ayahnya. Wajah-wajah suci itu bertutur kepada beliau: "Cepatlah kemari, sesungguhnya kami sangat

merindukanmu di surga."99

Keheningan itu ternyata tak berlangsung lama. Umar bin Sa'ad kembali buas dan memerintahkan anak

buahnya untuk segera menghabisi Imam Husain. Maka tampillah Shabats sebagai orang pertama yang

berani mendaratkan mata pedangnya ke kepala Imam Husain as. Namun, saat mata Imam menatap

tajam wajah Shabats, tubuh pria kurang ajar ini tiba-tiba gemetaran lalu menggigil keras sehingga

pedang yang ditangannya terhempas ke tanah. Dengan wajah pucat pria itu berkata kepada Umar bin Sa'ad: "Hai Putera Sa'ad, kamu tidak mau membunuh sendiri Husain agar nanti akulah yang akan

dibalas. Tidak. Aku tidak mau bertanggujawab atas darah Husain."

Syabats segera ditegur oleh seseorang bernama Sannan bin Anas. "Kenapa kamu tidak jadi

membunuhnya?!" Tanya Sannan ketus.

Syabats menjawab: "Dia menatap wajahku, Sannan! Kedua matanya menyerupai mata Rasulullah.

Sungguh, aku segan membunuh seseorang yang mirip dengan Rasul."

Sannan dengan congkaknya berkata: "Berikan kepadaku pedangmu itu, karena akulah yang lebih patut

untuk membunuhnya." Begitu pedang itu pindah ke tangannya, Sannan segera menenggerkannya di

atas kepala beliau. Imam yang sudah tak berdaya itu kembali menatap wajah orang yang berniat

menghabisinya itu. Seperti yang dialami, Syabats, tubuh Sannan yang kotor itu tiba-tiba juga menggigil

ketakutan setelah ditatap Imam dengan tajam. Sannan mengambil langkah mundur sambil berucap:

"Aku berlindung kepada Tuhannya Husain dari pertemuan dengan-Nya dalam keadaan berlumuran

darah Husain."

Kini tibalah giliran Syimir bin Dziljausan. Pria yang menutupi wajah dan hanya menyisakan celah

untuk matanya ini menghampiri Sannan sambil mengumpat. "Semoga ibumu meratapi kematianmu,

kenapa urung membunuhnya!?" Maki Syimir.

Sannan menjawab: "Tatapan matanya mengingatkanku pada keberanian ayahnya. Aku takut. Aku tak

berani membunuhnya."

Sambil menyeringai Syimir berseru: "Berikan pedang itu kepadaku. Demi Allah, tak ada seorangpun

yang lebih layak dariku untuk membunuh Husain. Akulah yang akan menghabisinya, walaupun dia

mirip Al-Mustafa ataupun Al-Murtadha."

Syimir berpaling ke arah pasukannya lalu membentak: "Hai, tunggu apa lagi?! Cepat bunuh dia!!"

Tanpa basa-basi lagi, satu anak panah melesat ke arah Imam Husain dari Hissin bin Numair. Sejurus

kemudian yang lain ikut ramai-ramai menghajar Imam Husain sehingga tak ada anggota tubuh suci

cucu Rasul itu yang luput dari hantaman benda tajam, dan benda tumpul. Batu-batupun bahkan ikut

meremukkan tubuh beliau.

Syimir bersumbar lagi: "Ha, ha, ha, tak ada orang yang lebih patut dariku untuk membunuh Husain".

Dia bergerak mendekati Imam Husain yang terbaring di tanah lalu menduduki dada Imam Husain as

yang masih bergerak turun turun naik. Imam mencoba membuka kedua kelompak matanya dan

menatap wajah Syimir yang menyeringai di depan wajah beliau, namun tatapan beliau kali ini tak

meluluhkan hati Syimir yang sudah sangat membatu. Bukannya ketakutan, dari mulut Syimir yang

tertutup kain itu malah keluar kata-kata:

"Aku bukanlah seperti mereka yang mengurungkan niat untuk membunuhmu itu. Demi Allah, akulah

yang akan menceraikan kepalamu dari jasadmu, walaupun aku tahu kamu adalah orang yang paling

mulia karena kakek, ayah, dan ibumu itu."

"Hai siapa kamu sehingga berani menduduki tubuh yang sering diciumi oleh Rasul ini?"

"Aku Syimir bin Dzil Jausyan!"

"Apakah kamu tahu siapa aku?"

"Aku tahu persis. Ayahmu adalah Ali Al-Murtadha, ibumu Fatimah Azzahra, kakekmu Muhammad al-

Mustafa, dan nenekmu Khadijah Al-Kubra."

"Alangkah celakanya kamu. Kamu tahu siapa aku, tetapi mengapa akan membunuhku dengan cara

seperti ini?"

"Supaya aku bisa mendapat imbalan besar dari Yazid bin Muawiah."

"Kamu lebih menyukai imbalan dari Yazid daripada syafaat kakekku?"

"Yah, aku lebih menyukai imbalan Yazid."

"Karena tidak ada pilihan lain bagimu kecuali membunuhku, maka berilah aku seteguk air."

"Oh tidak! Itu tidak mungkin, kamu tidak mungkin bisa meneguknya sebelum kamu meneguk

kematian."

Syimir kemudian menyingkap dan melepas kain penutup muka yang hanya menyisakan celah untuk

kedua matanya yang juling itu. Maka, nampaklah seluruh wajah Syimir yang buruk, kasar, belang, dan

ditumbuhi bulu-bulu keras itu. Mulutnya ditutup oleh penutup seperti penutup mulut anjing supaya tak

menggigit. Melihat wajah Syimir, Imam Husain as segera berucap:

"Benar apa yang dikatakan oleh Rasulullah."

"Apa yang dikatakan kakekmu itu?!" Tanya Syimir angkuh. "Kakekku pernah berkata kepada ayahku,

Ali: 'Sesungguhnya puteramu ini akan dibunuh oleh seseorang yang berkulit belang, bermata juling,

bertutup mulut seperti anjing, dan berambut keras seperti bulu babi.'"

"Kakekmu telah menyamakanku dengan anjing?! Demi Allah, aku memisahkan kepalamu dari

lehermu."

Syimir mencabut pedang dari sarungnya dan tanpa membuang-buang waktu lagi, lelaki bengis

mengayunkan pedangnya kuat-kuat ke leher cucu Rasul dan putera Fatimah Azzahra itu. Sekali tebas,

kepala manusia mulia terlepas dari badannya. Terpisahnya kepala manusia suci itu disusul dengan

suara takbir tiga kali dari liang mulut balatentara Umar bin Sa'ad yang busuk itu. Kepala yang dulu

sering diciumi oleh Rasulullah SAWW itu ditancapkan ke ujung tombak. Dia antara mereka terdengar

teriakan keras:

"Bergembiralah hai Amir! Inilah Syimir yang telah membunuh Husain!" Langitpun kelabu. Bumi

meratap pilu.

Kesakralan Syahadah Imam Husain as

Dalam banyak riwayat disebutkan bahwa tragedi pembantaian keluarga Rasul pimpinan Imam Husain

ini segera disusul dengan berbagai tanda alam dan lain yang menunjukkan kesakaralan syahadah

beliau. Diantaranya disebutkan bahwa kematian suci cucu Rasul di tangan manusia-manusia sadis itu

segera disusul dengan bertiupnya angin kencang, angkasa tiba-tiba gelap gulita, sehingga orang-orang

tak dapat melihat apa yang ada di depannya.100

Selain itu Zari' Al-Asadi, seorang petani yang bercocok tanam di tepian sungai 'Alqamah dalam

kisahnya tentang Imam Husain mengatakan: Pukulan tongkat Nabi Musa as ke batu dapat

memancarkan mata airm tetapi musibah Imam Husain telah memancarkan darah dari bebatuan,

sebagaimana darah pernah mengucur dari runtuhan batu-batu di Baitul Maqdis.101

Dikisahkan pula bahwa dari awal malam ke 11 Muharram hingga terbitnya fajar semua bebatuan dan

bongkahan-bongkahan tanah mengucurkan darah dibawahnya.102

Periwayat menceritakan: "Hazrat Musa adalah pemilik Yad AlBaidha' dan sering memancarkan cahaya

ketika dia memperlihatkan suatu mukjizat. Namun, dari Imam Husain yang memancarkan cahaya

cemerlang adalah dahi dan leher beliau.103

Untuk Nabi Musa as Allah telah membelahkan laut agar Bani Israel dapat menyeberanginya. Namun,

untuk Imam Husain as seluruh samudera bergemuruh hebat dan penghunipun meratap, sementara para

bidadari juga turun dari alam Firdaus dan mendatangi samudera sambil berucap: "Hai para penghuni

lautan, berdukalah atas terbunuhnya putera Rasulullah."104

Nabi Musa as telah menggali liang lahadnya dengan tangannya sendiri. Namun liang lahad Imam

Husain as digali oleh Rasulullah. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa pada hari 10 Muharram

(Asyura), Ummu Salamah bermimpi menyaksikan Rasulullah bermandi debu dan berucap: "Orangorang

telah membantai dan mengugurkan puteraku. Aku melihatnya jasadnya dan aku sedang sibuk

menggalikan lubang kubur untuk Husain dan para sahabatnya."105

Diriwayatkan pula bahwa tujuh hari sepeninggal Imam Husain as langit berwarna merah dari ujung ke

ujung. Bahkan kendati tragedi Karbala sudah berlalu 14 abad, hingga kini masih terdapat keajaibabankeajaiban

yang berkaitan dengannya, khususnya pada hari Asyura. Satu diantara keajaiban itu ialah

mengalirnya cairan seperti darah dari sebuah pohon di Zarabad, sebuah daerah di Qazwin. Pohon yang

tumbuh di dekat benteng Alamut itu setiap tahun pada hari Asyura dikunjungi oleh ribuan orang untuk

menyaksikan mengalirnya cairan seperti darah tersebut dari batang pohon yang disebut dengan pohon

canar (plane tree) tersebut.106

Dalam doa ziarah Imam AlMahdi as untuk Imam Husain as disebutkan:

"Bagaimana aku dapat membayangkan adegan nyata dimana kudamu kembali ke tendamu sambil

merundukkan kepala seperti menangis, dan kaum wanita (mu mendapatinya dalam keadaan mengenaskan dan pelananya terbalik sehingga mereka keluar tenda, rambut mereka terurai, wajah

mereka dibanjiri air mata, dan tampak jelas, dan ratap tangis mereka terdengar keras, setelah mereka

kehilangan orang yang sangat mereka cintai. Mereka lantas bergegas menuju tempat pembantaianmu di

saat Syimir menduduki dadamu sambil menghunus pedangnya di atas lehermu."107

"(Wahai kakekku), maka aku akan sungguh-sungguh meratapi dirimu setiap dan sore. Bukannya

dengan air mata, tetapi dengan darahlah aku menangisinya dan meratapi bencana besar yang telah

menimpamu hingga aku meninggal dunia nanti dalam keadaan menanggung beban duka cita."108

Imam AlMahdi as juga bertutur kata untuk Imam Husain as:

"Syimir telah duduk diatas dadamu sambil menghunus pedang pedang diatas lehermu dan menarik

janggutmu, lalu menyembelihmu dengan pedangnya. Sejak itu, panca inderamu redup, nafasmu reda,

dan kepalamu ditancapkan di atas tombak."109

Dalam ziarahnya untuk kakeknya, Imam Husain as, Imam Al-Mahdi as juga berkata: "Seandainya pun

masa ini diakhirkan dan takdirkan telah menghalangiku untuk menolongmu, maka aku akan tetap

sungguh-sungguh meratapimu dan menangisimu dengan darah, bukan bukan dengan air mata.

Adapun salam beliau untuk Imam Husain as ialah sebagai berikut:

"Salam atas putera Nabi Putera Terakhir, salam atas putera pemuka para washi, salam atas putera

Fatimah Azzahra, salam atas putera Khatijah Al-Kubra, salam atas putera Sidaratul Muntaha, salam

atas putera surga Al-Ma'wa, salam atas putera Zamzam dan Safa, salam atas dia yang telah

bermlumuran darah bercampur debu, salam atas dia yang kemahnya telah dihujani anak panah, salam

atas orang kelima penghuni Al-Kisa', salam atas dia, orang yang paling terasing, salam atas pemuka

para syuhada, salam atas manusia yang ditangisi oleh para malaikat di langit, salam atas manusia yang

selalu didatangi oleh orang-orang yang menderita. Salam atas bibir-bibir yang kekeringan, salam atas

jasad-jasad yang terlucuti, salam atas kepala-kepala yang terpenggal, salam atas wanita-wanita yang

tertawan, salam atas hujjah Allah."

"Salam atas jasad yang bermandikan darah luka-luka."

"Salam atas jasad yang urat-urat jantungnya diputuskan oleh anak panah."

"Salam atas jasad yang tersalib."

"Salam atas deretan gigi yang ditumbuk oleh tongkat."

"Salam atas bibir yang kering kehausan."

"Salam atas kepala-kepala yang tertancap di ujung tombak dan pertontonkan di semua tempat.

Diriwayatkan bahwa setelah Imam Husain as terbunuh, Umar Bin Sa'ad di tengah pasukannya berberu:

"Siapa yang siap melumat jasad Husain dengan injakan kaki kuda?!"110 Dari sekian ribu pasukan yang

ikut serta dalam pembantaian Imam Husain itu tak ada yang bersedia berbuat sesuatu sebiadab itu

terhadap cucu rasul tersebut kecuali sepuluh orang. Mereka yang konon anak zina itu bergantian

menghentak-hentakkan kudanya diatas tubuh Imam hingga tulang belulang jasad beliau yang suci dan

mulia remuk.111

Mereka melakukannya sambil terkekeh-kekeh dan penuh kebanggaan seakan dengan perbuatan seperti

itu mereka dapat menjatuhkan keagungan Imam Husain. Padahal, perlawanan pantang mundur beliau

dan para pengikutnya di depan kezaliman dan pendurjana telah menjadi teladan bagi umat manusia

dan karena itu jutaan manusia di muka bumi telah menjadi pengikut dan atau setidaknya pengagum

beliau. Sebaliknya, Muawiah dan Yazid tidak menyisakan bekas apapun kecuali ketercelaan,

keterkutukan, dan laknat yang abadi.

Dengan demikian, selamat untuk Imam Husain as atas perjuangan dan jihadnya di Karbala yang beliau

mulai dengan seruan "Adakah sang penolong yang akan menolongku?!" Kini, hamba-hamba beriman

sedang menantikan kedatangan Imam AlMahdi as untuk kita penuhi seruan firman allah:

يَا اَيّهَا الّذِينَ امَنُوا اِن تَنصُرُوا اللّهَ يَنصُرْكُمْ وَيُثَبّتْ اَقْدَامَكُمْ

"Hai orang-orang yang beriman, jika kalian menolong Allah niscaya Allah akan menolong kalian, dan Dia akan mengokohkan langkah-langkah kalian." (QS. Muhammad: 7)

Sayidah Fatimah Azzahra as pernah berkata, "Jika kalian hendak membantu puteraku, AlMahdi, maka

jadikanlah jiwa kalian seperti jiwa seorang ibu yang telah melepaskan anak salihnya pergi jauh dan

tidak apakah hari ini, besok, atau tahun depan akan pulang."

Imam AlMahdi as sendiri berkata, "Aku pasti akan kembali kepada orang yang paling lemah diantara

kalian, agar rahmat Allah yang abadi tercurah kepada kalian."

"Aku akan datang agar hati yang luka dapat terobati."

"Aku pasti datang untuk membebaskan orang-orang yang terbelenggu."

"Aku pasti akan datang untuk menegakkan agama Muhammad di dunia."

Pada masa Imam Al-Mahdi as nanti, sedemikian damainya muka bumi ini sehingga kambingpun dapat

hidup tentram berdamping dengan srigala. Anak-anak kecil dapat bermain dengan ular dan

kalajengking. Dunia saat itu tidak lagi menyisakan keburukan. Yang tinggal hanyalah kebaikan. Bumi

mempersembahkan segala kekayaannya, dan langitpun mencurahkan segala berkahnya. Harta dari

perut bumi melimpah, permusuhan reda di hati setiap orang, pintu-pintu kebahagiaan dan keamanan

terbuka lebar, seorang wanita dapat bepergian ke mana saja di malam hari seorang diri tanpa ada rasa

takut. Wajah bumi serba hijau dan rindang, dan siapaun tidak akan takut lagi kepada binatang-binatang

liar.

Pada hari itu, Sang Penyelamat manusia-manusia yang teraniaya itu akan menyeret 'dua berhala Bani

Quraish; ke tiang gantungan, dan lalu beliau akan membawakan kisah lagi tentang syahadah kakeknya,

Imam Husain as, tentang penyembelihan anak-anak kecil keturunan Rasul saww, dan tentang semua

penderitaan dan keteraniayaan Ahlul Bait suci Rasul dan para pengikutnya.112

Imam AlMahdi as akan tampil dan membalas darah datuknya setelah berada di alam kegaiban selama

sekian lama. Saat itu dia akan tampil di Mekah diantara Rukn dan Maqam lalu mengumandangkan

suara:

"Wahai para penghuni dunia, akulah Imam AlQaim, akulah pedang yang akan melakukan pembalasan."

"Wahai para penghuni dunia, sesungguhnya kakekku Husain telah dibunuh dalam keadaan tercekik kehausan."

"Wahai para penghuni dunia, sesungguhnya (jasad) kakekku Husain telah mereka gerus dengan injakan

kaki-kaki kuda."

Baginda Nabi Besar Muhammad saww tentang Imam AlMahdi as bersabda: "AlMahdi adalah satusatunya

penyelamat umat manusia kelak dimana kedatangannya akan membawa kedamaian universal."

Rasulullah saww juga bersabda: "Selamat atas kalian dengan kedatangan puteraku, AlMahdi, kelak,

karena janji Allah pasti akan terpenuhi. Ketahuilah bahwa AlMahdi dari keluarga Muhammad masih

dalam perjalanan."

Diriwayatkan bahwa ketika Imam Husain as menggapai puncak derajat syahadah, kuda beliau,

Dzuljanah, melepoti kepala dan lehernya lalu menghentak-hentakkan kakinya ke tanah sambil

meringkik keras hingga memantul ke segenap penjuru Karbala. Saat kuda perkasa itu dilihat oleh Umar

bin Sa'ad, manusia ambisius berseru kepada komplotannya: "Kuda milik AlMustafa itu serahkan

kepadaku." Sesuai perintah ini, beberapa pasukan penunggang kuda segera memacu kudanya untuk

mendekati Dzul janah. Namun, kuda yang sebelumnya ditunggangi oleh Abu Fadhl Abbas itu tinggal

diam oleh manusia-manusia kejam yang telah membantai habis tuannya. Dzuljanah tiba-tiba

mengamuk dan menerjang siapapun yang mencoba mendekatinya. Beberapa orang tewas diamuk oleh

kuda perkasa itu, sampai akhirnya Umar bin Sa'ad meminta anak buahnya membiarkan kuda itu.

Dzuljanah Menjadi Tempat Ratapan

Dalam riwayat disebutkan bahwa ketika Dzuljanah sudah bebas dari gangguan, secara ajaib kuda

tunggangan manusia-manusia mulia itu berucap: "Betapa zalimnya umat yang telah membunuh putera

nabisnya sendiri."113

Dzuljanah kemudian kembali ke perkemahan sambil meringkik-ringkik nyaring sehingga kaum wanita

Imam Husain as yang mengenal suara itu keluar dari dalam tenda dengan penuh rasa cemas dan

tercekam ketakutan. Di tengah mereka Hazrat Zainab AlKubra as berteriak histeris:

"Oh saudaraku! Oh junjunganku! Oh Ahlul Bait! Semoga langit ini runtuh menimpa bumi! Semoga

gunung-gunung ini dihamburkan dan menimpa pedang sahara."114

Diantara mereka juga terdapat Ummu Kaltsum. Saat menyaksikan di atas punggung Dzuljanah sudah

tidak ada ayahnya lagi, Ummu Kaltsum juga mendadak histeris.

"Demi Allah, AlHusain telah terbunuh!" Jerit Ummu Kaltsum sambil menepuk-nepuk kepala dan

merobek kain cadarnya. Sakinah yang tak kalah histerisnya.

"Oh kakekku! Oh Muhammad! Betapa terasingnya AlHusain!"115 Ratap Sakinah. Sambil beratap dan

tersedu-sedu, satu diantara mereka ada yang berucap kepada dzuljanah: "Mengapa engkau lepaskan

AlHusain ke tengah-tengah kerumunan musuh."

Sakinah juga meratap: "Apa yang terjadi dengan ayahku? Dimana sang pemberi syafaat di hari kiamat

itu?"

"Ayahku tadi pergi dalam keadaan tercekik dahaga."116

"Apakah mereka telah memberi ayahku air, ataukah dia telah gugur dengan bibir yang kering

kehausan?"117

Namun demikian, Dzuljanah tetaplah seekor kuda yang tak mampu berbuat apa-apa di depan ratapan

puteri-puteri Rasul ini. Disebutkan dalam riwayat bahwa hewan yang ikut membela para keturunan suci

Rasul di depan manusia-manusia srigala itu ikut tertimpa stres hingga akhirnya roboh dan mati. Dalam

riwayat lain disebutkan bahwa Dzuljanah telah menceburkan diri ke sungai ElFrat lalu hilang entah

kemana.

Hijrahnya Hazrat Sahr Banu as

Pada hari kelabu tanggal 10 Muharram yang disebut hari Asyura itu, sesuai rencana Imam Husain as

dan istrinya, Hazrat Sahr Banu, Dzuljanah sempat menunaikan tugasnya melarikan Shar Banu ke suatu

tempat. Dalam sejarah dikisahkan sebagai berikut:

Tatkala Dzuljanah kembali ke perkemahan tanpa tuan yang telah menungganginya, seorang wanita yang mengenakan hijab tertentu turut mendekati Dzuljanah lalu menciuminya sambil meratap dan

memeras air mata kesedihan. Wanita itu adalah Sahr Banu as, satu-satunya wanita non-Arab diantara

wanita keluarga Imam Husain as yang mengerumuni Dzuljanah yang sudah penuh luka itu. Dia adalah

puteri raja Persia yang telah mendapat anugerah Allah untuk menikah dengan cucu Rasul, Imam

Husain as, dan setia kepadanya hingga akhir hayatnya sehingga dia tergolong wanita paling mulia.

Tentang jatidirinya, ibu para imam suci sesudah Imam Husain ini berkisah sendiri sebagai berikut:

"Di suatu malam aku pernah bermimpi berjumpa dengan Khatamul Anbiya Muhammad AlMustafa

saww. Beliau singgah di beranda istanaku yang megah. Beliau bersabda kepadaku: 'Hai puteri raja

Persia, aku telah menjodohkan kamu dengan puteraku, Husain.' Rasul kemudian pergi meninggalkan

istana. Setelah itu aku didatangi oleh seorang wanita mulia, Fatimah Azzahra as yang diiringi oleh para

bidadari. Beliau memelukku sambil berkata: 'Kamu adalah calon isteri puteraku. Kamu adalah

menantuku. Ketahuilah bahwa tak lama lagi umat Islam akan menaklukkan (kerajaan)-mu sehingga

kamu akan menjadi tawanan. Tetapi janganlah kamu risau, karena di Madinah kamu akan berjumpa

dengan (calon) suamimu.'"

Benar, tak lama setelah itu terjadilah perang besar antara pasukan Islam dan pasukan imperium Persia.

Prajurit Islam berhasil menaklukkan kerajaan besar ini. Sang raja118 melarikan diri, sementara sebagian

dari keluarga istana, termasuk puteri-puteri raja, tertangkap dan menjadi tawanan. Mereka diboyong ke

Madinah. Kedatangan puteri sang raja mengundang perhatian warga Madinah sehingga mereka datang

berbondong-bondong untuk menyaksikannya. Saat itu, di dalam masjid khalifah Umar menyakan

dimana puteri-puteri raja itu. Orang-orang lantas menunjukkan mereka. Rupanya, satu diantara mereka

nampak sangat anggun dan seperti bercahaya. Umar meminta puteri anggun supaya memperlihatkan

wajahnya yang tersembunyi di balik cadar. Namun, puteri ketakutan dan menolak.

Diperlakukan seperti itu, Umar sebagai khalifah tersinggung berat sehingga dia memerintahkan supaya tawanan yang satu ini dihukum mati. Untungnya, diantara hadirin terdapat Imam Ali bin Abi Thalib as.

Sepupu Rasul ini bangkit menentang perintah eksekusi itu. "Dosa apa puteri sehingga kamu akan

mengeksekusinya?" Kilah Imam Ali as.

"Orang 'Ajam (non Arab) ini telah menghinaku." Jawab Umar.

Imam Ali as berkata: "Dia membenci kakeknya, Khusru, dan dia tidaklah seperti para pengeran

sehingga kamu pantas memperlakukannya demikian. Bebaskanlah puteri-puteri ini agar mereka bisa

mendapatkan jodohnya diantara para pemuda kita."

Ide Imam Ali ini kemudian dipenuhi sehingga didatangkanlah para pemuda Muslim Madinah di aula

masjid. Imam Ali as meminta kepada puteri-puteri bangsawan itu untuk bangkit dan memilih jodoh

yang dikehendakinya diantara para pemuda itu.

Dalam kitab AlKharaij Arrawandi dikisahkan bahwa saat itu puteri raja Persia yang paling anggun itu

bangkit dan menatap satu persatu barisan pemuda yang menyatakan siap untuk menikah dengan puteriputeri

raja itu. Sampai pada giliran pemuda Husain bin Ali as, tatapan mata gadis bernama Jahan Syah

itu terhenti dan tak berpijak ke arah lain. Setelah merasa yakin dengan pemuda putera Azzahra as itu,

dia berkata: "Jika aku memang diberi pilihan, maka aku akan memilih pemuda ini."

Setelah dipilih gadis itu, Imam Husain as yang saat itu berusia 18 tahun memintanya supaya nama

Jahan Syah diganti dengan nama Syahrbanu.119 Imam Ali as kemudian meminta Imam Husain supaya

segera membawa menantunya itu pulang. Beliau juga memberitahu Imam Husain bahwa perkawinan

ini akan segera dianugerahi dengan kelahiran seorang putera yang sangat agung dan mulia. Putera itu

tak lain adalah Ali Zainal Abidin Assajjad as. Putera yang berusia 23 tahun saat ayahandanya dibantai

di padang Karbala pada hari Asyura, dan dia sendiri dalam keadaan sakit parah dan ditangisi oleh

ibundanya.

Menjelang detik-detik perpisahan dengan suaminya, Imam Husain as, Sahr Banu bersimpuh dengan

beliau. "Wahai putera Rasul." Ucap Shar Banu. "Demi ibundamu Fatimah Azzahra, pikirkanlah

nasibku nanti, karena di sini aku akulah orang yang paling asing. Selama ini aku bernaung di bawahmu

dan dengan ini aku menjadi mulia. Namun, katakanlah apa yang aku lakukan nanti setelah

kepergianmu? Aku bukanlah orang Arab ('Ajam), dan engkau sendiri tahu besarnya permusuhan antara Arab dan 'Ajam."

Sambil berlinang air mata, Imam Husain as menjawab: "Janganlah cemas, sebab Allah yang telah

mengantarkanmu dari negeri ajam ke negeri Arab mampu mengembalikanmu ke negerimu lagi.

Nantikanlah nanti sepeninggalku; Dzuljanah akan datang ke perkemahan. Naikilah Dzuljanah dan

pergilah dari sini, dan ketahuilah pasukan musuh tidak akan bisa berbuat apa-apa terhadapmu."

Diriwayatkan bahwa ketika Dzuljanah kembali dalam keadaan tak bertuan, Shar Banu ikut

menyambutnya dengan ratap tangis hingga kemudian mengendarainya untuk pergi ke negeri asalknya.

Sebelum pergi, beliau sempat ditegur oleh Hazrat Zainab.

"Hai menantu Fatimah Azzahra, gerangan yang sedang engkau pikirkan? Adakah engkau akan

menambah berat beban kesedihan kami dengan kepergianmu?" Ujar Hazrat Zainab.

"Aku harus pergi sesuai perintah suamiku, Husain." Jawab Sahr Banu kepada adik iparnya itu

Kepergian Hazrat Sahr Banu menuju negeri Persia itu dilepas dengan derai tangis orang-orang yang

ditinggalkannya. Saat Dzuljanah sudah siap mengantarkan perjalanan jauh itu, Assajjad berkata lirih

kepada ibundanya:

"Ibunda, bersabarlah hingga aku ucapkan salam perpisahan denganmu."120

Assajad berusaha bangkit, namun tenaganya yang tersisa tak mendukungnya untuk berbuat itu sehingga

sang ibu mendekati sendiri anaknya. Sambil memeluknya erat-erat beliau berucap: "Aku harus pergi

dari sini sesuai perintah ayahmu. Aku telah menitipkanmu kepada bibimu, Zainab, karena aku tahu dia

lebih penyayang daripada aku."

Ibunda Assajjad akhirnya pergi dibawa oleh Dzuljanah. Bebetapa orang pasukan musuh sempat melihat

bayangannya dari kejauhan saat beliau bergerak pergi seorang diri. Mereka berusaha mengejarnya,

namun mereka terpaksa kembali lagi setelah kecepatan kuda Dzuljanah tak terkejar oleh kuda-kuda

pasukan musuh.

Dalam perjalanan, Hazrat Sahr Banu sempat berpapasan dengan kafilag yang sedang bergerak menuju

Kufah. Orang-orang kafilah berhenti saat menyaksikan seorang wanita bercadar sendirian mengendarai

kuda yang penuh luka. Seorang lelaki yang mengetuai kafilah mencegat beliau dan bertanya: "Hai siapa kamu? Mengapa kamu menempuh perjalanan seorang diri di tengah sahara?"

Suara lelaki itu dikenal oleh Sahr Banu. Pria itu ternyata adik beliau dan setelah saling menyadari,

beliau balik bertanya: "Adikku, hendak kemanakah kamu?"

Pria itu menjawab: "Aku hendak menemui suamimu. Karena dia telah menuliskan surat kepadaku dan

menyatakan bahwa beliau akan berperang dengan sekelompok musuh, dan sekarang aku datang

bersama teman-temanku untuk membantunya."

Sahr Banu menjawab: "Tak usah kamu pergi. Kembalilah karena Husain sudah terbunuh dalam

keadaan kehausan, dan inilah kudanya sekarang aku kendarai."

Berita ini mengejutkan sang adik yang segera jatuh tersimpuh ke pasir. Sahr Banu kemudian

melanjutkan perjalanan ke arah tujuan sebagaimana mereka juga melanjutkan perjalanan ke arah tujuan

mereka, setidaknya untuk menyaksikan bagaimana nasib keluarga Imam Husain as.

Dengan bantuan dan perlindungan dari Allah, janda Imam Husain as berdarah bangsawan Persia itu

akhirnya tiba di bumi leluhurnya. Beliau menetap di kota Rey dan meninggal di sana. Jasad suci beliau

dikebumikan di sebuah gunung di pinggiran kota Teheran. Lokasi makamnya selalu disesaki para

peziarah hingga kini.