Hawa Nafsu

Hawa Nafsu0%

Hawa Nafsu pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Shohib Aziz Zuhri
Kategori: Akhlak

Hawa Nafsu

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

pengarang: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Shohib Aziz Zuhri
Kategori: Pengunjung: 15089
Download: 10051

Komentar:

Hawa Nafsu
Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 11 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 15089 / Download: 10051
Ukuran Ukuran Ukuran
Hawa Nafsu

Hawa Nafsu

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

BAGIAN KEENAM

Telaah Analitik tentang Dunia dan Akhirat

Nash-nash di atas tidak bisa cliragukan lagi kesahihannya, baik dari sisi sanad ataupun matan. Jumlah mereka banyak sekali dan semuanyu dapat dipercaya. Mereka tidak hanya berkenaan dengan hal-hal yang haram saja, tapi juga rnencakup yang halal. Allah berfirman: "Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rizki yung baik". Katakanlah: "Semua itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalain kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat”. Q.S. Al-A'râf:32.

Kalau demikian, bagaimanakah cara kita memahami berbagai nash tersebut? Dan bagaimana kita mendamaikan riwayat-riwayat itu dari satu sisi, dan ayat-ayat yang baru saja kita baca yang mengajak menikmati rizki yang telah dianugrahkan Allah untuk hamba-hamba-Nya dan mengingkari orang-orang yang mengharamkannya, dari sisi yang lain?

Selanjutnya, saya berusaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini melalui beberapa butir penting yang, Insya-Allah, akan menyampaikan kita pada inti jawaban:

1. Hadis-hadis itu tidak berarti bahwa Islam melarang para pemeluknya untuk memanfaatkan dan menikmati rizki Allah. Karena, hukum perhiasan dan keindahannya itu ibâhah (mubah), kecuali jika Allah melarangnya. Allah berfirman: "Katakanlah: "Siapakak yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengarahkan) rizki yang baik?" Katakanlah: "Semua itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalarn kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui." Q.S. Al-A'râf:32.

Sejumlah nash itu juga tidak menganjurkan manusia bermalas-malas dalam berusaha di atas bumi ini. Karena, bukum Allah dalam masalah ini tertera dalam firman Allab: "Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah”. Q.S. Al-Jumu'ah:10.

Akan tetapi, agar usaha manusia di dunia tidak menyita seluruh hidupnya, maka ia mesti ditujukan untuk Allah. Allah berfirman: "Dan carilah pada apa yang telah dianugrahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi..." Q.S. Al-Qashash:77.

Pada prinsipnya, gerak-gerik manusia itu untuk akhirat, tapi dia tidak boleh sampai melalaikan bagiannya di dunia.

2. Meskipun penjelasan di atas tidak perlu diragukan keabsahannya, namun oposisi antara dunia dan akhirat bukan saja dalam ruang lingkup yang haram, tapi mencakup juga yang halal.

Imam Ali as berkata: "Dunia dan aklnrat adalah dua musuh yang berseteru dan dua jalan yang berbeda. Barangsiapa rnencintai dunia dan patuh padanya, pasti membenci akhirat dan memusuhinya. Dunia dan akhirat bagaikan arah tirnur dan barat, dan pejalan yang semakin mendekat pada yang satu berarti menjauh dari yang Lain. Keduanya sejauh dua istri yang dimadu."1

Segala kemewahan yang baik dan halal yang dinikmati manusia tidak akan membawa siksa baginya. Karena Allah tidak mengharamkannya. Akan tetapi, perolehannya dari kenikmatan duniawi berbanding terbalik dengan perolehannya dari kenikmatan ukhrawi. Hal itu, karena kenikmatan duniawi biasanya mengurangi kesempatan seorang untuk memperoleh yang di akhirat. Inilah arti implisit clari benturan dunia dan akhirat pada lingkup yang halal.

Di bawah ini akan saya berikan beberapa contoh yang dapat memperjelas permasalahan:

a. Selagi ada umur, dan memungkinkan kita melakukan puasa - yang wajib di bulan Ramadhan dan sangat disunahkan di hari-hari lainnya - kita harus melakukannya.

Abu Ja'far Al-Bâqir as meriwayatkan dari Rasulullah SAWW, beliau bersabda: Allah SWT berfirman: "Puasa hanyalah untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalas pahalanya."2

Setiap kali manusia tidak berpuasa, clia akan kehilangan pahala yang besar yang tidak diketahui pahalanya kecuali oleh Allah SWT.

Dengan kata lain, setiap hari yang dilalui manusia tanpa puasa; merasakan lezatnya makanan dunia akan mengurangi bebempa kelezatan yang akan didapatkannya di surga yang lidak diketahui kecuali oleh Allah.

Saya tidak sedang mengatakan tentang tidak berpuasa dengan memakan-makanan haram. Saya hanya ingin mengatakan bahwa orang yang tidak berpuasa (dan memakan rizki yang halal sekalipun) akan kehilangan peluang emas merraih kelezatan-kelezatan uhkrawi. Ini adalah cnntoh "benturan" antara dunia dan akhirat dalam lingkup yang halal.

b. Setiap malam yang digunakan seorang untuk tidur, tak diragukan lagi, adalah kenikmatan dunia yang sangat besar sekaligus halal. Tetapi, tidur itu ''rugi", karena dia bisa melewatkannya dengan salat nafilah atau mendapat pahala salat tahajjud di tengah malam.

Apabila Allah telah mentakdirkan seseorang hidup selama 70 tahun, maka Allah juga telah memberikan kesempatan baginya untuk mendapat pahala sepenuhnya selarna 70 tahun itu. Dan setiap malam yang dia lewatkan tanpa salat akan mengurangi sesuatu yang telah "ditakdirkan"-Nya. Sehingga menjelang 70 tahun, dia berada dalam kelalaian dan ketersia-siaan. Dan dia habiskan kenikmatan yang Allab SWT anugrahkan padanya ini. "Sekiranya dia tekun melakukan ibadah kepada Allah SWT".

e. Jika Allah telah menganugrahkan sejumlah harta benda pada seorang hamba, berarti Allah juga telah memberinya kesempatan yang luas guna memperoleh kesenangan-kesenangan akhirat dengan menginfakkannya. Maka, setiap kali manusia mengeluarkan barlanya guna menuruti kesenangan-kesenangannya saja, dia akan kehilangan kesenangan ukhrawi yang telah dijanjikan Allah bagi orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah.

Begitulah manusia dilahirkan dengan dibekali modal kesempatan yang hesar untuk memperoleh kesenangan-kesenangan akhirat. Harta, umur. masa muda, kesehatan, kecerdasan, kedudukan sosial, pengetahuan dan lain sebagiannya merupakan modal yang memungkinkan manusia memperoleh lebih banyak pahala di akhirat.

Allah SWT berfirman: "Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian..." Q.S. Al-A'shr 1-2.

Kerugian pertama yang dijelaskan ayat ini ialah kerugian beberapa "modal"-nya. Kedua, kesempatan dan peluang yang diberikan Allah kepada hamba-hamba-Nya untuk mendapat kenikmatan-kenikmatan akhirat yang lebih banyak.

Setiap kali manusia teledor dalam menjalankan modalnya dan mengeluarkannya untuk pemuasan syahwat, maka pada hakikatnya dia telah melewatkan peluang mendapat keindahan-keindahan akhirat yang telah dijanjikan Allah SWT.

Amirul Mukminin as mempunyai untaian kata yang sangat indah dan mengena dalam menggambarkan pengertian ini:

"Ketahuilah bahwa dunia adalah tempat bencana, tidak terluang sesaat pun darinya, kecuali ia akan (berubah) menjadi penyesalan bagi penghuninya di hari kiamat."3

Maksud kata al-farâgh (waktu luang atau kosong) di sini, adalah kekosongan dari mengingat Allah dan amal untuk-Nya; menonaktifkan anggota tubuhnya untuk berbuat di jalan Allah dan berdzikir kepada-Nya. Meskipun kekosongan sesaat ini tidak untuk bermaksiat kepada Allah, namun, pada hakikatnya, ia tetap penyesalan di hari kiamat. Sebab dia telah menyia-nyiakan sebagian dari kenikmatan usia, kesadaran dan kalbu yang telah dianugrahkan Allah untuk berdzikir dan taat kepada Allah. Di samping itu, dia telah membiarkan keridhaan Allah SWT dan rizki ukhrawi-Nya lepas begitu saja tanpa bisa didapat kembali setelah itu. Lebih lagi, semua kenikmatan yang diperolehnya setelah itu tidak bakal mungkin mengganti yang telah ia lewatkan.

3. Termasuk dari sunnatullah ialah membuat gerak pertumbuhan, integrasi dan taqarrub manusia kepada Allah SWT melalui jalan yang berduri, penuh derita kemiskinan, ganasnya cobaan dan kesengsaraan.

Allah berfirman: "Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: " Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?". Q.S. Al-‘Ankabût:2. Allah berfirman: "Dan sungguh Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan...". Q.S. Al-Baqarah:155. Allah berfirman: "...kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaran dan kernelaratan, supaya rnereka bermohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan din". Q.S. Al-Mâ'idah:42.

Ayat yang akhir ini menjelaskan pada kita ciri hubungan antara bergeraknya manusia menuju Allah dan cobaan, rasa takut, kelaparan dan kemiskinan manusia. Karena, tersimpuh di haribaan Allah adalah sarana terbaik untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Bersimpuh (tadharru') tidak menjadi nyata dalam kehidupan manusia kecuali melalui kekurangan dalam jiwa dan harta benda, ketakutan, kelaparan dan kesulitan.

Kalau demikian, setiap kali manusia menikmati kelezatan- kelezatan dunia, ia akan kehilangan kesempatan "bersimpuh" kepada Allah dan dengan sendirinya akan kehilangan kesempatan bergerak dan tagarrub kepada-Nya dan menikmati kelezatan-kelezatan akhirat.

Derita kemiskinan ini kadang diberikan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang saleh agar mereka terus-menerus bersimpuh di hadapan-Nya. Dan kadang juga hamba-hamba Allah itu sendirilah yang memilih kehidupan yang demikian itu.

4. Salah-satu penyebab tercegahnya hasrat menikmati kesenangan-kesenangan dunia ialah rasa takut terseret kepada cinta dunia yang menjauhkannya dari Allah SWT dan keindahan-keindahan akhirat. Karena hubungan antara hasrat menikmati kesenangan-kesenangan dunia dan cinta padanya adalah hubungan timbal balik. Dengan kata lain, menikmati keindahan dunia menimbulkan hubbud-dunyâ (cinta dunia) pada diri manusia yang, pada gilirannya, akan mendorong seorang untuk tergesa-gesa mendapat keindahan ukhrawi di dunia dan terbuai olehnya. Maka, agar seorang tidak menjadi mangsa hubbud-dunyâ secara tak disadari, hendaknya dia "berhati-hati" oleh kesenangan-kesenangan dunia.

5. Seringkali kita temukan nash-nash keislaman sesuatu yang tidak seirama dengan konsep yang telah kami jelaskan, seperti nash dari Amirul Mukminin Ali as dalam surat perjanjian yang beliau berikan pada Muhammad bin Abu Bakar, ketika beliau mengangkatnya sebagai gubernur Mesir.

Imam Ali as berkata: "Ketahuilah - wahai hamba Allah - bahwa orang-orang yang bertakwa membawa "cepatnya dunia" dan "lambatnya akhirat". Mereka bergabung dengan ahli dunia saat berada di dunia, dan tidak bergabung dengan mereka saat niereka berada di akhirat. Di dunia mereka tinggal di tempat yang sebaik-baiknya. Mereka memakan sebaik-baik makanan. Bagian dunia rnereka seperti yang diperoleh arang kaya. Mereka mengambil dari dunia sebagaimana yang diambil penguasa kejarn, kemudian meninggalkannya dengan menbawa bekal yang banyak sebagai pedagang yang sukses. Mereka telali memperoleh lezatnya zuhud di dunia saat berada di dalamnya. Mereka berrkeyakinan bahwa kelak bakal menjadi tetangga Allah di akhirat. Doa mereka tidak pernah ditolak dan kelezatan yang mereka peroleh tidak pernah dikurangi."4

Inti nash tersebut ialah perbandingan antara orang yang takwa dan yang tidak. Konteks nash ini tidak sama dengan konteks nahs-nash yang telah lewat. Karena, nash-nash yang lewat menjelaskan perbandingan antara derajat orang-orang bertakwa dan yang tidak bertakwa. Jelas bahwa keduanya adalah masalah yang berbeda begitu pula dengan hukumnya.

Penglihatan yang Menerawang Dunia

Jika kita lewati cara pandang yang dangkal terhadap dunia, maka kita akan menemukan cara pandang lain yang berbeda dari dimensi kedalaman, kesungguhan dan ketajamannya. Penglihatan ini mampu menembus fenomena kehidupan dunia ke kedalaman batinnya.

Jika penglihatan yang dangkal terhadap dunia akan membangkitkan cinta dunia dan ketertipuan pada diri manusia, maka penglihatan yang menembus dan mendalam terhadap dunia akan memberikan kezuhudan dan apatisme pada dunia. Hal yang demikian ini akibat ketajaman penglihatan yang mampu menembus sesuatu yang ada di balik lahiriah kehidupan dunia, dan menyingkap sirnanya kesenangan dunia dan perubahannya serta kesudahan manusia di dalamnya, sehingga membuatnya zuhud pada dunia.

Nash-nash keislaman lazimnya menitik-beratkan cara pandang yang demikian itu terhadap dunia dengan memperingatkan kematian, mengingatkannya, larangan memperpanjang lamunan pada dunia atau dengan menganjurkan agar tidak lalai akan mati.

Kematian merupakan bentuk batin dunia yang mana manusia berusaha lari dan melupalupakannya.

Dalam sehuah riwayat disebutkan demikian: "Tiada keyakinan yang paling serupa dengan keraguan daripada kematian." Kematian adalah kepastian yang tak ada jalan untuk diragukan. Walaupun demikian, banyak manusia yang berupaya lari dan berpura-pura lupa terhadapnya. Dalam nanh-nash keislaman berikut ini terdapat pengertian yang berlawanan dengan apa yang telah saya utarakan. Imam Al-Baqir as berkata:

"Perbanyaklah mengingat kematian. Tak seorang pun yang sering mengingat kematian kecuali dia akan berzuhud pada dunia."5

Amirul Mukminin as berkata: "Barangsiapa membayangkan kematian di antara kedua matanya, maka urusan dunianya menjadi remeh di hadapannya."6

Imam Ali as berkata juga: "Manusia yang paling pantas bersikap zuhud ialah yang mengetahui kekurangan (kecacatan) dunia."7

Imam Al-Kâzhim as: "Orang yang berakal ialah yang zuhud terhadap dunia dan cinta akhirat. Karena, mereka mengetahui bahwa dunia ada 'yang mencari' dan ada 'yang dicari'. Begitu pula akhirat; ada yang mencari dan ada yang dicari. Maka barangsiapa yang mencari akhirat, dunia akan mencarinya sehingga ia mengambil dengan sempurna rizkinya. Dan barangsiapa yang mencari dunia, maka akhirat mencarinya, maut mendatanginya dan merusak urusan dunia dan akhiratnya”.8

Imam Al-Kâzhim as pernah menghadiri jenazah, lalu beliau berkata: "Sesungguhnya sesuatu yang pertamanya begini (mati) pantas sekali untuk ditakuti akhirnya."[9] Riwayat-riwayat ini menerangkan hubungan antara zuhud dan mengingat mati atau dalam ibarat yang lain antara cara pandang dan prilaku. Karena, mengingat kematian adalah cara pandang, - seperti yang telah dijelaskan - dan zuhud adalah bentuk prilaku. Dalam rangka mengarahkan dan membudayakan cara pandang yang benar ini, Amirul Mukminin as berkata:

"Jadilah kalian orang-orang yang pergi meninggalkan dunia dan rindu akhirat... Jangan terperdaya oleh gemerlapnya, jangan dengarkan perkataan orang yang ada di dalamnya, jangan pedulikan orang yang mengajak padanya, jangan terangi diri kalian dengan sinarnya dan jangan terkecoh oleh pelbagai pemikatnya. Sesungguhnya kilatannya menyilaukan, ucapannya kebohongan, harta bendanva tersita dan perhiasannya hilang."10

Imam Ali as pernah pula berseru: "Keluarkanlah hati kalian dari dunia sebelum badan kalian dikeluarkan darinya."11

Mengeluarkan hati dari dunia artinya memutus hubungan dengannya atau "mati dengan kehendak sendiri" (al-maut al-irâdî) sebagai lawan dari "keluarnya jasad dari dunia" atau "mati terpaksa" (al-maut al-qahrî) atau mati yang tidak dihendaki (al-maut allâ-irâdî).

Imam menyuruh kita mendahulukan mati yang terpaksa dengan mati yang dikehendaki. Memutus hubungan dengan dunia adalah zuhud. Sebaiknya, kita membahas masalah zuhud ini sampai kita bisa memiliki pandangan yang menembus ke batin kehidupan dunia dan apa hubungannya dengan zuhud.

Zuhud

Zuhud adalah lawan dari hubbud-dunyâ (cinta dunia). Keduanya merupakan dua prilaku yang bersumber dari dua pola pandang terhadap kehidupan dunia. Dan zuhud merupakan prilaku yang bersumber dari pandangan yang menembus batin dunia itu. Hubbud-dunyâ ialah keadaan bergantung pada dunia. Berbeda dengannya, zuhud adalah keadaan bebas dari dunia. Pengertian ini perlu lebih dijelaskan.

Saya katakan bahwa hubbud-dunyâ terkristal dalam dua keadaan berikut: gembira dan susah.

Gembira, dengan apa yang didapat dari kesenangan-kesenangan dunia yang merupakan sisi positif hubbud-dunyâ.

Susah, atas apa yang hilang darinya berupa kelezatan-kelezatan dan kesenangan-kesenangannya - yang merupakan sisi negatif darinya -.

Maka karena zuhud adalah lawan dari hubbud-dunyâ, maka zuhud pada hakikatnya adalah bebas dari kegembiraan dan kesusahan duniawi itu.

Allah SWT berfinman: "... supaya kamu jangan bersedih hati terhadap apa yang hilang darimu dan terhadap apa yang meinmpamu...". Q.S. Âli ‘Imrân:153.

Allah berfirman: "(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap yang hilang darimu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira tarhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu." Q.S. Al-Hadîd:23.

Imam Ali as berkata: "Sebenamya pengertian zuhud terdapat di antara dua kata yang ada dalani Alquran, yaitu: "supaya kamu jangan berduka cita terhadap yang hilang darimu dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.." Barangsiapa yang tidak rnenyesal atas yang hilang/tidak diperoleh dan tidak gembiru dangan harta yang datang, maku dialah orang zuhud."12

Imam Ali as berkata: "Zuhud ialah makna yang terdapat di antara dua klause yang ada dalam Alquran ini, "supaya kamu jangan berduka cita terhadap yang hilang darimu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yatig diberikan-Nya kepadamu". Barangsiapa tidak rnenyesali benda yang telah hilang dan tidak gembira dengan benda yang datang, maka dia benar-benar telah menjalankan kedua sisi zuhud."13

Imam Ali as berkata pula: "Siapa yang sedih terhadap dunia, maka dia telah marah pada keputusan Allah. Dan siapa yang hatinya bergelora dengan kecintaan padanya, maka hatinya diserang oleh tiga penyakit; kesumpekan yang tidak ahan pernah hilang, ketamakan yang tidak pernah meninggalkannya, angan-angan yang tidak pernah dijangkaunya."14

Ini adalah arahan untuk pembebasan manusia dari kesedihan dan kegembiraan duniawi. Jadi, sedih terhadap dunia berarti murka atas keputusan Allah, karena tidak ada suatu apa pun yang hilang dari manusia melainkan sudah diputuskan dan ditakdirkan-Nya.

Hubbud-dunyâ membebani manusia dengan tiga keadaan: kesumpekan, ketamakan, dan angan-angan yang membinasakan, menyiksa dan mengalutkan manusia.

Amirul Mukminm as berkata: "Wahai manusia! Ada tiga (golongan yang menyikapi) dunia. Orang zâhid, rakus dan sabar. Orang zâhid tidak akan gembira dengan dunia yang diperolehnya dan tidak susah atas sesuatu yang hilang darinya. Orang yang sabar, hatinya berharap mendapat dunia, tapi jika dia menemukannya, dia berpaling darinya karena dia tahu akibat jeleknya. Dan orang yang rakus ialah yang tidak perduli apakah dia mendapatkannya dengan jalan yang halal atau haram."15

Ucapan Imam ini merupakan nash yang sangat indah dalam mendefinisikan pengertian zuhud, mengklasifikasi manusia dan kedudukan orang zuhud. Menurutnya, ada tiga macam manusia: orang yang zuhud yaitu yang bebas dari dunia, kegernbiraan dan kesusahannya. Orang yang sabar, yaitu yang belum bisa bebas total, tapi berusaha membebaskan diri dari kesenangan dan kesusahannya. Dan ketiga ialah orang tamak yang sembah sujud pada dunia, perintahnya, kegembiraan dan kesusahannya.

Imam Ali as mengajak manusia agar mengalihkan rasa gembira dan susah dari dunia ke akhirat. Hal itu adalah sebaik-baik orientasi rasa gembira dan susah. Kita lebih pantas gembira saat mendapat pahala taat kepada Allah, dan susah saat lepas dari ketaatan dan zikir kepada Allah SWT

Dalam suratnya kepada Abdullah bin Abbas, Amirul Mukminin as menulis:

"Amma ba'du, seorang hamba mestinya bergernbira atas sesuatu yang tidak meninggalkannya dan bersusah atas sesuatu yang belum tentu baik untuknya. Jangan kau jadikan raihan kelezatan dan pelipur kesusahan duniamu, lebih kau utamakan ketimbang memadamkan kebatilan dan menghidupkan kebenaran. Hendaknya kegembiraanmu tertuju pada pencapaianmu, penyesalanrnu tertuju pada ketinggalanmu dan kesumpekanmu tertuju pada (yang akan kau hadapi) setelah kematianmu."16

Zuhud lalah Sumber Segala Kebajikan

Sebagaimana hubbud-dunyâ sumber segala kejahatan manusia, zuhud ialah sumber segala kebaikan manusia. Hubbud-dunyâ atau cinta dunia menjadikan manusia dalam tawanan dunia dan hawa nafsu, sedang dunia ialah sumber segala kejahatan dan keterjerumusan manusia. Sementara zuhud adalah kebebasan dan keterlepasan manusia dari penjara hawa nafsu dan dunia, yang merupakan sumber segala kebaikan manusia.

Dalam berbagai nash keislaman terdapat artikulasi yang berbeda-beda yang menegaskan pengertian ini. Berikut ini saya nukilkan beberapa di antaranya.

Imam Ash-Shâdiq as berkata: "Seluruh kebaikan dijadikan dalarn sebuah rumah dan kunci pernbukanya adalah zuhud di dunia."17

Imam Ali as berkata: "Zuhud adalah induk agama."18

Imam Ash-Shadiq as berkata: "Zuhud adalah asas agama."19

Imam Ash-Shâdiq as berkata: "Zuhud adalah kunci pembuka pintu akhirat dan penyelamat dari neraka. Zuhud berarti meninggalkan segala sesuatu yang menyibukkanmu dari Allah tanpa sesal atas kehilangannya, ujub dalam meninggalkannya, rnenunggu kelonggarannya, mencari pujian dengannya dan rnencari ganti darinya. Bahkan kamu melihat kehilangan dunia adalah kesenangan dan kehadirannya adalah petaka. Sementara karnu selalu lari dan petaka dan berpegangan dengan kesenangan."20

Imam Ali as berkata: "Zuhud kunci pembuka kesejahteraan."21

Pengaruh-Pengaruh Psikologis dan Behavioral (Prilaku) Pada Zuhud

Zuhud mempunyai banyak pengaruh dan dampak pada kehidupan manusia. Antara lain:

I. Pendek Angan-angan

Zuhud menghasilkan "angan-angan yang pendek" kebalikan dari hubbud-dunyâ.

Bila manusia sedikit bergantung pada dunia dan bebas dari tawanannya, maka angan-angannya tidak akan panjang. Lebih-lebih, dia akan tetap menikmati kesenangan dunia, tapi tanpa harus melupakan kematian dan memutusnya secara spontan.

Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa yang mencintai dunia, dan angan-angannya panjang, maka Allah akan membutakan hatinya menurut kadar kecintaannya pada dunia. Dan barangsiapa zuhud terhadapnya dan angan-angannya pendek, maka Allah akan memberinya pengetahuan tanpa belajar, petunjuk tanpa bimbingan (orang lain) dan menghilangkan kebutaannya dengan menjadikannya jeli."22 Dari kandungan riwayat itu dapat kita simpulkan bahwa zuhud membawa pada sedikitnya angan-angan. Dan sedikitnya angan-angan membawa pada bashîrah dan hidayah. Sementara mencintai dunia menyebabkan panjangnya angan-angan yang menyebabkan kebutaan.

Gerangan apakah rahasia hubungan antara pendeknya angan-angan dan bashîrah (melihat) ini?

Panjangnya angan-angan akan menguatkan kebergantungan manusia pada dunia dan kecintaan dunia pada diri sendiri. Dan hubbud-dunyâ akan menutupi (menghalangi) manusia dari Allah SWT. Maka jika angan-angannya pada dunia pendek (sedikit), maka akan tesingkap tabir yang menutupi hati dan bashîrahnya.

Rasulullah SAWW bersabda: "Zuhud pada dunia adalah pendeknya angan-angan, syukur atas kenikmatan dan bersikap wara' (hati-hati) terhadap segala sesuatu yang diharamkan Allah."23

Imam Ali as herkatu: "Zuhud akan memperpendek angan-angan dan mengikhlaskan amal."24

Imam Ali as juga berkata: "Wahai manusia, zuhud adalah pendeknya angan-angan, syukur terhadap nikmat dan jauh dari yang haram. Bila ini tidak mungkin kalian lakukan, rnaka (paling tidak) janganlah sampai yang haram mengalahkan kesabaranmu dan lupa mensyukuri nikmatmu. Allah telah memberikan alasan (‘uzur) kepadamu dengan hujjah-hujjah yang jelas dan terang dan Kitab-kitab yang tampak dan jelas."25

2. Merdeka dari Aksi-reaksi Duniawi

Artinya, dia terbebas dari rasa gembira terhadap apa yang didapatkan dan dari rasa sedih atas apa yang hilang dari dunia.

Imam Ali as berkata: "Barangsiapa yang tidak menyeaal atas harta benda yang telah lalu (hilang) dan tidak gembira pada harta benda yang akan datang, maka ia benar-benar telah memegang 'dua ujung zuhud'."26

Imam Ali mempunyai untaian kata indah berkenaan dengan permasalahan ini dalam menyifati hasil-hasil zuhud terhadap kehidupan manusia yang saya nukil dari kitab "Nahjul Balâghah" sebagaimana berikut ini: "Perdengarkanlah panggilan maut pada telinga-telinga kalian, sebelum ia memanggil kalian. Orang-orang yang zuhud pada dunia, menangis hati mereka rneski tersenyum wajah mereka. Gundah-gulana, meski tampak gernbira-ria. Mereka sering mencaci jiwa, meski bersimbahkan rizki yang mereka miliki. Sungguh telah sirna pengingatan terhadap kematian dari hati kalian dan selalu hadir lamunan-lamunan palsu di sisi kalian sehingga dunia rnenjadi lebih kalian rniliki daripada akhirat. Al-'Âjilah (pakai 'ain [duina]) lebih mengesankan kalian daripada 'Âjilah (pakai harnzah [akhirat]). Dan sebenarnya kalian satu saudara dalam agama Allah, hanya saja kalian telah dicerai-beraikan oleh perasaan-perasaan jahat dan lintasan-lintasan jelek sehingga kalian tidak saling kunjung, tidak saling menasihati dan tidak saling memberi hadiah serta tidak saling rnencintai!

"Apa gerangan yang kalian sukai dari dunia yang sedikit yang kalian dapatkan dengan susah ? Dan Apa gerangan yang tidak menyusahkan kalian dari berbagai kemewahan akhirat yang tidak kalian peroleh. Dunia yang sedikit dan bakal meninggalkan kalian, selalu menggelisahkan kalian sehingga tampak di raut wajah kalian rasa sedikit kesabaran dari dunia yang hilang. Dunia (menurut kalian) seakan-akan tempat abadi kalian dan harta benda (kemewahan)nya selalu abadi pada kalian. Tidaklah ada orang yang takut menemui saudaranya akibat celanya, kecuali, karena dia takut menemui hal yang serupa dengan celanya. Kalian sudah bertekat untuk meninggalkan akhirat demi mencintai dunia. Agama kalian bak buah bibir, aksi yang ditakuti dan untuk menjaga kerelaan tuannya.”27

3. Menghilangkan Kecondongan terhadap Dunia

Termasuk pengaruh psikologis zuhud ialah tiadanya kecondongan terhadap kehidupan duniawi karena hilangnya anggapan bahwa dunia adalah tempat tinggal yangabadi. Dan jika manusia telah mengeluarkan hubbud-dunyâ dari hatinya serta mencabut jiwanya dari ketergantungan pada dunia, maka dia tidak akan pernah lagi condong kepadanya. Baginya, dunia ialah jalan dan jembatan menuju akhirat.

Manusia memandang dunia dengan dua bentuk. Sebagiannya ada yang melihat dunia sebagai tempat tinggal (yang abadi) lalu condong padanya. Dan ada yang memandangnya sebagai sarana dan jembatan yang mengantarkannya melintas ke akhirat, maka dia tidak akan condong padanya.

Kedua golongan ini sama-sama hidup di dunia dan memakmurkannya serta menikmati anugrah dari Allah. Namun, kelompok pertama, jiwanya cenderung pada dunia dan menjadikannya sebagai tempat abadi kemudian kematian sungguh akan mencabutnya dari dunia. Sementara kelompok kedua menjadikannya sebagai jembatan dan lintasan, maka jiwanya tidak akan cenderung terhadapnya dan tidak menderita karena berpisah darinya ketika kematian mencabutnya secara paksa.

Dalam nash-nash keislaman ada beberapa permisalan yang indah yang menggambarkan keadaan manusia di dunia.

Manusia di dunia, misalnya, laksana musafir yang bernaung sesaat di bawah kerindangan pohon di pinggir jalan, supaya panas terik matahari tidak menyengatnya dan ia bisa istirahat barang sejenak. Kemudian dia meninggalkan pohon tersebut dan meneruskan perjalanannya. Begitulah keberadaan (bertempat tinggalnya) manusia di dunia.

Lalu apakah pantas manusia mejadikan dunia sebagai tempat tinggal yang sangat diharapkannya?

Rasulullah SAW bersabda: "Apa urusanku dengan dunia? Aku seolah pengendara yang beristirahat di waktu siang di bawah naungan sebuah pohon di suatu hari yang sangat panas untuk sesaat, kemudian berangkat dan rneninggalkan pohon tersebut."28

Dalam wasiat kepada putranya Al-Hasan, Imam Ali berkata: "Wahai anakku! Telah kujelaskan kepadamu tentang dunia dan keadaannya, kesirnaannya dan keberpindahannya. Telah kujelaskan juga kepadamu tentang akhirat dan apa yang disediakan buat para penghuninya. Tentang keduanya, telah kuajukan kepadarnu berbagai perurnpamaan yciiig bisa kau ambil pelajarannya dan kau ikuti arahnya. Orang yang mengenal dunia akan tahu bahwa ia seumpama tempat yang menawan yang telah rusak diinjak-injak sekelompok musafir dan ladang yang subur yang sudah dipakai. la adalah jalan yang terjal, tempat perpisahan teman dan kepayahan perjalanan..."29

Suatu ketika Umar bin Khatab menemui Rasulullah SAW yang yang tergores punggungnya oleh tikar. Lalu umar berkata: "Wahai Nabi (SAW), alangkah baiknya seandainya Anda membuat kasur yang lebih baik dari itu?” Rasulullali SAWW bersabda: "Apakah urusanku dengan dunia kecuali bagaikan orang yong berjalan di musim kemarau lalu ia berteduh di bawah pepohonan sesaat pada waktu siaug, kemudian berangkat lagi dan meninggalkan tempat tersebut.”30

Imam Ali as berkata: "Sungguh dunia bukanlah tempat tinggal yang langgeng dan kekal. Sungguh kalian yang ada di dalamnya bak para rnusafir yang bersantai sejenak dan melepaskan lelah kemudian bergegas berangkat lagi. Mereka memasuki dunia dengan ringan dan meninggalkannya dengan berat. Mereka tidak mendapatkan apa yang diharapkan dari dunia dan apa yang mereka tinggalkan tidak bakalan kembali lagi".31

Nabi SAW pernah ditanya: ''Bagaimanakah keadaan manusia di dunia? Beliau menjawab: "Bagaikan kafilah yang berjalan." Beliau ditanya lagi: "Berapa lama mereka bertempat di sana (dunia)?” Beliau menjawab: "Seperti orang yang ditinggal kafilah (lalu menyusulnya)”. Ditanya lagi: "Berapa lama antara dunia dau akhiral?” Beliau menjawab: "Sekejap rnata. Allah SWT berfirman: (maka) seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat pada siang hari.” Q.S. Al-Ahqâf:35.32

Ali as berkata: "Dunia bagaikan bayangan awan dan mimpi orang yang tidur."33

Imam Al-Bâqir as berkata: "Sesungguhnya dunia menurut pandangan ulama bagaikan bayangan."34

Imam Ali as berkata: "Ingatlah! Sesungguhnya tidak selamat, kecuali orang yang berada di rumah. Dan tidak akan diselamatkan orang yang beramal untuk dunia (semata). Di dalamnya, manusia dicoba dengan fitnah. Apa yang diambilnya dari dunia untuk dunia semata akan dilepaskan darinya (oleh maut) dan diperhitungkan. Dan apa yang diambil darinya untuk di luarnya (akhirat), maka ia akan memberinya nikmat di dunia dan akan menjadi temannya menuju akhirat. Bagi yang berakal, dunia itu laksana bayangan; sesekali meluas dan di lain waktu rnengingsut dan sesekali bertambah dan di waktu lain berkurang."35

Dunia sebagai Jembatan akhirat

Dengan pandangan ini, Islam mempersenjatai umatnya. Maka, bagi muslim, dunia adalah jembatan yang akan ia buat melintas bukan untuk ia huni selamanya.

Pandangan yang istimewa terhadap dunia ini akan melahirkan keadaan yang istimewa, yaitu keadaan yang tidak berunsur kecondongan pada dunia dan tidak pula memunculkan prilaku tertentu (jelek) di dalam dunia.

Isa Al-Masih as pernah berkata: "Dunia hanya jembatan (akhirat)".36

Imam Ali as berkata: "Hai manusia, sesungguhnya dunia hanyalah tempat berlalu, sedangkan akhirat adalah tempat tinggal yang abadi, maka ambillah (berbekallah) dari tempat melintasmu untuk tempat menetapmu. Janganlah kamu robek (pudarkan) tabir-tabirmu di hadapan Dzat yang Mengetahui rahasia-rahasiamu".37

Imam Ali as berkata: "Dunia ternpat melintas yang sementara bukan tempat menetap yang abadi. Ada dua macam manusia di dalamnya yang menjual diri lalu menyengsarakannya dan yang membeli jiwanya lalu memerdekakannya".38

Interaksi Sebab dan Akibat

Salah satu keunikan cakrawala pemikiran Islam ialah penemuan hubungan interaktif antara sebab dan akibat (hasil) dalam berbagai masalah kemanusiaan. Kadang hubungan kausal antara dua hal yang bersifat interaktif. Masing-masing mempengaruhi yang lainnya secara positif. Contoh-contohnya banyak sekali dalam masalah-masalah kemanusiaan seperti hubungan antara zuhud dan bashîrah. Bashîrah mengajak manusia pada zuhud dan zuhud mengajak manusia pada bashîrah.

Di bawah ini akan kami sebutkan dua kelompok nash yang masing-masing membahas satu persatu dari keduanya.

Hubungan Zuhud dengan Bashîrah

Kami nukilkan hadis dari Rasulullah SAW yang menafsirkan firman Allah: "Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerirna) agama Islam lalu la mendapat cahaya dan Tuhannya ..." Q.S. Az-Zumar:22.

Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya bila nur (cahaya) menetap di hati, maka ia (hati) akan, melebar dan meluas." Rasulullah ditanya oleh para sahabatnya: "Apakah yang demikian itu ada tandanya?” Rasulullah SAWWmenjawab: "Menghindar dari tempat tipuan (dunia) dan kembali ke tempat yang abadi serta mempersiapkan diri untuk menghadapi maut sebelum datangnya ajal."39

Imam Ali as berkata: "Manusia yang paling berhak menyandang kezuhudan adalah orang yang mengetahui kekurangan (keaiban) dunia."40

Imam Ali as berkata: "Barangsiapa yang membayangkan kematian di antara kedua rnatanya, rnaka urusan dunianya akan menjadi hina dihadapannya."41

Imam Ali as berkata: "Kezuhudan seseorang pada sesaatu yang akan sirna sebanding dengan keyakinannya terhadap sesuatu yang akan kekal."42 Hubungan Bashîrah dengan Zuhud

Rasulullah SAW bersahda: "Wahai Abu Dzar, tidaklah seorang hamba zuhud di dunia kecuali Allah tumbuhkan hikmah dalam hati dan lidahnya, Allah memperlihatkan kehinaan, penyakit dan obat baginya, dan Allah mengeluarkannya dari dunia dengan selamat menuju ke surga."43

Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa mencintai dunia, lalu memanjang angan-angannya, maka Allah akan membutakan hatinya menurut kadar kecintaannya pada dunia. Barang siapa zuhud terhadapnya, lalu pendek angan-angannya, maka Allah akan memberikan pengetahuan tanpa belajar dan petunjuk tanpa bimbingan (orang lain) dan Allah juga akan menghilangkan darinya kebutaan serta menjadikannya melihat."44

Suatu hari Rasulullah SAW keluar (rumah) lalu beliau hersabda: "Adakah di antara kalian orang yang menginginkan agar Allah memberinya ilmu tanpa belajar dan petunjuk tanpa bimbingan? Adakah di antara kalian orang yang menginginkan agar Allah menghilangkan (kebutaan) dan menjadikannya melihat? Ingatlah bahwa orang yang zuhud pada dunia dan pendek angan-angannya, maka Allah akan memberinyo ilmu tanpa belajar dan hidayah tanpa ada orang yang menunjukinya."45

Rasulullah SAW as bersabda: "Wahai Abu Dzar! Jika kamu melihat saudaramu sudah benar-benar berzuhud pada dunia, maka dengarkanlah ucapannya, karena dia telah diberi hikmah".46

Beginilah sinergi yang ada antara bashîrah clan zuhud. Zuhud menyebabkan bashîrah dan bashîrah menyebabkan zuhud. Begitu pula sinergi yang ada antara zuhud dan pendeknya angan-angan pada dunia.

Dalam hubungan antara pendeknya angan-angan dan zuhud telah diriwayatkan dari Amirul Mukminin Ali as sebagai berikut: "Zuhud akan melapukkan tubuh, membatasi angan-angan, mendekatkan tujuan (mati) dan menjauhkan hasrat. Siapa yang memegangnya akan capek dan yang melepaskannya akan menderita."47

Dalam hubungan antara zuhud dan pendeknya angan-angan. Imam Al-Bâqir as berkata: "Raihlah manisnya kezuhudan dengan memperpendek angan-angan".48

Menyingkap hubungan interaktif antara beberapa unsur yang saling berhubungan ini termasuk dari pesona cakrawala pikiran Islam.

Sinergisme ini mendorong adanya gerakan yang terus menaik dalam kutub-kutub tersebut. Misalnya, bashîrah akan mewujudkan tingkat tertentu dari zuhud dan zuhud akan menyebabkan tingkat yang lebih tinggi dari bashîrah dan demikian seterusnya. Kemudian, begitulah proses itu terus berlangsung sampai manusia naik ke tingkat-tingkat yang tinggi di antara dua kutub itu.

Dunia Tercela dan Dunia Terpuji

1. Dunia Tercela

Telah kami sebutkan bahwa dunia mempunyai bentuk lahir dan batin. Bentuk lahir merupakan sumber "ketertipuan" dan menanamkan hubbud-dunyâ dalam jiwa manusia. Dan bentuk batin merupakan sumber pelajaran dan zuhud dalam jiwa manusia.

Sementara bentuk lahir dunia adalah "dunia tercela", yang menurut nash Islam, sebagaimana bentuk batin dunia adalah "dunia yang terpuji".

Pada hakikatnya, kedua bentuk tersebut merupakan dua pola pandang terhadap dunia seperti halnya yang telah kami sebutkan sebelumnya.

Dunia itu sendiri, pada dasarnya tidak memiliki bentuk-bentuk. Dengan kata lain, jika manusia memandang dunia dengan pandangan tertipu maka dunia baginya tercela. Namun, jika manusia memandang dunia dengan padangan mengambil pelajaran, maka dunia baginya terpuji. Anehnya, bentuk dunia yang tercela adalah diambil dari bentuk dhahir (fenomenal) yang menggiurkan, menipu dan penuhi dengan pelbagai kelezatan dan syahwat.

Berikut ini akan kami sebutkan kumpulan nash keislaman yang menjelaskan bentuk dunia yang tercela.

Imam Ali as berkata: "Dunia pasar kerugian".49

Imam Ali as berkata: "Dunia tempat terpelantingnya akal”.50

Dari Imam Ali as juga: "Dunia adalah bahan tertawaan orang yang mengambil pelajaran darinya."51

Imam Ali as juga pernah berkata: "Dunia adalah janda yang telah diceraikan oleh orang-orang berakal."52

Imam Ali as juga berkata: "Dunia adalah tarnbang segala kejahatan dan tempat segala ketertipuan."53

Imam Ali as berkata: "Dunia tidak akan menjadi jernih bagi orang yang meminumnya (mengambilnya), dan tidak akan jujur terhadap temannya sendiri."54

Imam Ali as menyatakan: "Dunia ialah ladang kejahatan."55

Imam Ali as berkata: "Dunia adalah cita-cita orang-orang celaka (sengsara)."56

Imam Ali as juga pernah berkata: "Dunia itu menyerahkan(mu)."57

Dari Imam Ali as: "Dunia menghinakan(mu)."58 Kewaspadaan Terhadap Dunia

Tentang bentuk dunia yang ini, Imam Ali memperingatkan demikian: "Aku peringatkan kalian terhadap dunia! la bukanlah tempat yang patut didamba. la menghias diri dengan tipuan-tipuannya dan menipu dengan hiasan-hiasannya hagi orang yang memandangnya."59

Imam Ali as berkata: "Aku peringatkan kalian akan dunia yang manis menggiurkan yang diliputi dengan berbagai syahwat”.60

Imam Ali as juga herkata: "Berhati-hatilah terhadap dunia yang menipu dan meninggalkan. la berhias dengan keelokannya dan memfitnah dengan tipuan-tipuannya. la seakan penganten yang dirias untuk ditonton semua mata."61

2. Dunia yang Terpuji

Bentuk lain dunia atau pola pandang yang lain terhadapnya ialah "yang terpuji". Dan yang mengherankan ialah bahwa pola pandang yang terpuji terhadap dunia ini diambil dari batin dunia yang akan lenyap dan selalu berubah-rubah. Sedang dunia yang tercela diambil dari bentuk lahirnya yang memperdayai, menggiurkan dan penuh kelezatan.

Walhasil, dunia mempunyai dua sisi, yang terpuji dan yang tercela. Dunia pada sisinya yang terpuji adalah yang menguntungkan dan tidak merugikan, berguna dan tidak membahayakan. Dunia menurut pengertian ini ialah bekal yang akan menyampaikan seorang ke akhirat, kendaraan orang mukmin, tempat kejujuran dan pasar pahala para wali Allah. Karena itulah, ia tidak pantas dicela.

Mari kita kaji riwayat-riwayat yang memaparkan sisi dunia yang terpuji ini.

1. Dunia yang Menyampaikan (manusia) ke Akhirat

Imam Ali bin Husein Zainal Abidin as berkata: "Dunia ada dua macam; dunia yang menyampaikan (ke akhirat), dan dunia yang terlaknat."62

Maksud dari dunia yang menyampaikan ialah dunia yang akan menyampaikan manusia ke akhirat dan menghubungkannya ke Allah. Sedang dunia yang kedua ialah dunia yang terlaknat, yaitu dunia yang akan menjauhkan manusia dari Allah SWT Karena laknat berarti "pengusiran" dan "penjauhan". Jadi, ada dua dunia. Pertama, yang menyampaikan manusia ke Allah dan kedua, yang menjauhkannya dari Allah.

Perkara lain yang berkaitan dengan hakikat ini ialah bahwa manusia tidak mungkin meninggalkan dunia tanpa ada salah satu dari dua keadaan ini; dekat ke Allah atau jauh dari-Nya.

Amirul Mukminin Ali as berkata: "Janganlah kalian meminta di dunia lebih dari yang cukup dan janganlah menuntut dari dunia yang lebih dari apa yang bisa menyampaikanmu (ke akhirat)."63

Kalau demikian, "sampai" (ke akhirat) adalah tujuan di dunia ini. Dan apa saja yang dicari oleh manusia baik yang berupa harta atau kesenangan haruslah berupa wahana yang akan menyampaikannya ke tujuan tersebut. Maka cukuplah bagi manusia untuk memburu dunia yang bisa membekalinya sampai pada tujuan. Jangan sekali-kali menuntut lebih daripada yang "dibutuhkannya" atau menjadikannya sebagai tujuan yang dikejar-kejar. Karena dunia dan segala isinya termasuk harta benda adalah sarana bukan tujuan. Tujuan satu-satunya manusia ialah mendapatkan sesuatu yang bisa menyampaikannya ke akhirat.

Amirul Mukminin Ali as berkata: "Dunia diciptakan untuk "selainnya", bukan diciptakan untuk dirinya sendiri."64

Sungguh suatu kesalahan, bila perantara ini diubah menjadi tujuan, sebagimana pula - kesalahan besar - jika perantara ini dijadikan sebagai perantara sekaligus tujuan secara bersamaan. Oleh karena itu, Imam Ali as berkata: "Janganlah kalian menantut sesuatu dari dunia yang lebih besar dari pada apa yang bisa menyampaikanmu ke akhirat."

Adapun tentang usaha dan upaya demi mendapatkan dunia, Imam Ali as berkata: "Janganlah mencari sesuatu (di dunia) yang melebihi kecukupan."

Perkataan ini menjelaskan teori Islam dalam "mencari rizki". Tanpa diragukan lagi bahwa harta benda dunia hanya merupakan perantara kita untuk sampai ke akhirat. Makanya, ia mesti berusaha untuk memperoleh dan mendapatkan sarana yang akan menyampaikannya ke sana. Jadi, yang tidak boleh bagi manusia ialah yang melebihi batas kecukupan (al-kafâf atau sufficiency). Kecukupan artinya sesuatu yang mencukupi seseorang dan "menyampaikan" (al-balâgh) artinya sesuatu yang memenuhi kebutuhan hidup manusia di dunia.

Manusia mempunyai kebutuhan yang hakiki dan khayali atau palsu. Adapun kebutuhan hakikinya, ialah hal-hal yang sudah kita ketahui bersama yang lazimnya dibutuhkan untuk menyambung hidup dan merealisasikan misi "penyampaian". Sedangkan kebutuhan yang khayali dan palsu adalah yang muncul dihadapan manusia dalam bentuk "kebutuhan", yang pada hakikatnya, adalah ketamakan. Jika manusia menyerah kan dirinya pada kebutuhan ini, maka dia tidak akan pernah berakhir pada batas tertentu dan akan menguras seluruh gerak manusia dan usahanya, dan tidak akan menambah apa-apa baginya selain ketersiksaan dan kerakusan.

Diriwayatkan dari Imam Ash-Shâdiq bahwa Amirul Mukminin Ali as pernah berkata: "Wahai anak cucu Adarn, jika kamu rnenginginkan sesuatu yang mencukupimu dari dunia, maka yang sedikit saja darinya akan mencukupimu. Dan jika karnu menginginkan sesuatu yang tidak mencukupimu, maka semua yang ada di dalamnya tidak akan mencukupimu".65

Pengertian-pengertian yang mendetail ini juga banyak terdapat dalam nash-nash lain, antara lain berikut ini: "Ingatlah! Sesungguhnya dunia ini adalah rumah (orang yang) diselamatkan bukanlah (yang keluar) darinya, tetapi (yang berada) di dalamnya. Dan tidak akan diselamatkan orang yang beramal untuk dunia (semata). Manusia dicoba di dalamnya dengan fitnah. Apa yang diambilnya dari dunia untuk dunia semata akan dilepaskan darinya (oleh maut), dan diperhitungkan. Dan apa yang diambilnya dari dunia untuk di luar dunia (akhirat), akan memberi kenikmatan di dunia dan akan menjadi teman menuju akhirat. Bagi yang berakal, dunia ini laksana bayangan; sewaktu-waktu ia melebar dan lain waktu ia mengingsut dan mengkerut."66

Untaian kata ini walaupun ringkas memuat pengertian-pengertian yang dalam.

Dunia adalah: "... rumah, (orang yang) diselamatkan bukanlah (yang keluar) dari rumah, tetapi (yang berada) di dalamnya".

Dunia adalah kendaraan mukmin untuk lari dari setan menuju ke Allah SWT Tanpanya, dia tidak akan bisa selamat. Anehnya, orang yang menghindar dari dunia dan masyarakat tidak akan sampai pada tujuan yang dikehendaki Allah SWT, yaitu kedekatan dengan-Nya. Sungguh Allah telah menghendaki manusia agar menggapai tujuan ini ketika mereka berada di dunia dan dengan sarana dunia.

Kalau demikian, dunia merupakan perantara dan sarana yang tidak mungkin dilepas untuk merealisasikan tujuan ini. Inilah hakikat pertama dalam nash tersebut.

Dunia menjadi perantara manusia menuju Allah ini, jangan sampai dijadikan tujuan. Apabila dunia dijadikan tujuan, maka manusia tidak akan selamat dari dunia tersebut; " dan tidak akan diselamatkan orang yang beramal untuk dunia (semata)."

Apabila manusia mengeluarkan dunia dari posisi yang sebenarnya, maka dunia akan kehilangan kemampuannya untuk menyelamatkan manusia dari jerat setan atau untuk menyampaikannya ke Allah SWT Dan ini merupakan hakikat kedua dalam nash di atas.

Kemudian dunia yang diraih oleh manusia demi tujuan duniawi, bukan demi Allah atau untuk mendekatkan diri kepada-Nya, atau untuk menyampaikan kepada keridhaan Allah, maka dunia tersebut akan melalaikannya (melupakan) dari Allah SWT.

Sungguh unik dan mengherankan permasalahan dunia ini. Bila ia dijadikan sebagai perantara, maka ia akan memapahnya menuju Allah. Di lain pihak, Allah akan menyimpan dunia tersebut untuknya, mengabadikannya dan menempatkannya di akhirat kelak. Sebaliknya, bila manusia menjadikannya sebagai tujuan, maka ia akan melalaikan manusia terhadap Allah. Di lain pihak, kematian akan mencabutnya dan Allah akan menghisabnya dengan hisab yang berat (sulit).

Penting untuk kita ketahui bahwa masalah kita bukan pada kuantitas, tapi pada kualitas. Karenanya, bisa saja ada manusia yang memperoleh kekayaan duniawi yang melimpah ruah tapi dia gunakan semua itu di jalan Allah SWT dan keridhaan-Nya. Maka perbuatan itu menjadi amal saleh yang akan dihadirkan kelak di akhirat. Di samping itu, ada manusia yang hanya mendapat sedikit hartayang dicarinya semata-mata demi tujuan dunia, maka dunia yang demikian ini akan hilang (lepas) dari genggamannya dan akan diperhitungkan dengan cermat oleh Allah. Hal ini merupakan hakikat ketiga yang ada dalam nash tersebut.

Kemudian jika dunia dimiliki demi tujuan dunia itu sendiri, maka dunia itu yang disebut 'Âjilah -dengan 'ain- (sesuatu yang berjangka pendek). la tidak akan melaju sampai akhirat, karena akan segera lenyap dan sirna. Tetapi, jika dunia diraih untuk selainnya (akhirat), maka ia menjadi Âjilah -dengan hamzah- (sesuatu yang berjangka panjang) yang akan memboyongnya menuju Allah. Dan di saat menjumpai Allah kelak, dia akan mendapatinya hadir di sisi Allah. Dunia model ini akan menjadi kekal dan tidak ada yang bisa melenyapkannya.

"Apa yang ada di sisi Allah pasti baik dan kekal...". Dan "Apa yang diambil dari dunia untuk di luar dunia (akhirat), akan rnemberi kenikmatan di dunia dan akan menjadi ternan menuju akhirat." Inilah hakikat keempat yang ada dalam nash Islam yang mulia ini.

Dalam doa ziarah Imam Husein as tertera: "Ya Allah! Janganlah Engkau perbanyak duniaku yang pesona keindahannya akan melalaikanku, dan gemerlap perhiasannya akan menggodaku. Jangan pula Engkau sedikitkan duniaku sampai rnengganggu amalku dan menggelisahkan dadaku."67

Yang kami sebutkan tadi tentang masalah dunia dan hubungannya dengan manusia, dan apa yang akan diabadikannya untuknya, dan yang akan hilang, dan yang bermanfaat atau membahayakan itu semuanya berhubungan dengan kualitas bukan kuantitas. Namun, kuantitas juga mempunyai peran dalam membentuk sikap terhadap dunia. Karena banyaknya dunia yang dimiliki seorang akan menyibukkannya dan melalaikannya dari Allah. Jarang sekali ada kekayaan duniawi yang tidak menyibukkan dan memalingkan seorang dari Allah, kecuali dengan kesungguhan dan usaha keras. Sebagaimana sebaliknya, yaitu kalau dunia menahan curahan rizkinya pada seseorang, dia akan terhalang untuk berkonsentrasi penuh kepada Allah.

Oleh karena itu, Islam mencari jalan tengah antara keduanya. Betapa banyak dunia yang melalaikan manusia dari Allah dan betapa banyak pula dunia membahayakan amal dan menyibukkannya dari mengingat Allah.

2. Dunia yang menjadi kendaraan orang Mukmin

Rasulullah SAW bersabda: "Janganlah kalian mencaci dunia karena ia adalah sebaik-baik kendaraan orang mukmin. Dengannya, seorang dapat sampai kepada kebaikan dan selamat dari kejahatan."68

Dunia merupakan kendaraaan yang dinaiki manusia untuk menuju Allah SWT dan untuk menyelamatkannya dari jahannam. Inilah sisi dunia yang terpuji. Sekiranya tidak ada dunia niscaya manusia tidak akan bisa merealisasikan keridhaan Allah dan mencapai-Nya. Dengan dunialah para wali Allah sampai pada magam yang tertinggi di sisi-Nya.

3. Dunia yang Menjadi Tempat Kejujuran dan l'tibâr

4. Dunia yang Menjadi Tempat Kesejahteraan

5. Dunia yang Mejadi Tempat Mencari Kekayaan dan Mencari Bekal

6. Dunia Sebagai Tempat Ibadah Para Kekasih Allah

7. Dunia Adalah Tempat Mencari Pahala Para Wali Allah

Imam Ali as pernah membentak orang yang menghina dunia dengan ucapannya sebagai berikut: "Wahai penghina dunia yang terperdaya oleh tipuanya dan terkecoh oleh kebatilannya! Kau hanya tertipu olehnya atau menghinanya? Kau yang jahat padanya atau ia yang jahat padamu? Kapan ia pernah merayumu atau mengelabuimu? Apakah di medan tempur bapak-bapakmu yang terpencil atau di pembaringan nenek-moyangmu yang terkucil?” (Rujuk, pada Nahjul Balâghah, 126.)

8. Dunia lalah Pasar

Imam Ali Al-Hadi as berkata: "Dunia ialah pasar. Ada sekelompok yang beruntung dan ada juga yang rugi."69

9. Dunia ialah Penolong di Akhirat.

Imam Al-Bâqir as berkata: “Sebaik-baiknya penolong atas akhirat adalah dunia."

10. Dunia Adalah Simpanan

Imam Ali as berkata: "Dunia adalah simpanan. Sedang ilmu adalah petunjuk (dalil)."70

11. Dunia adalah Rumah Orang-orang yang Bertakwa.

Imam Al-Baqir as dalam menafsirkan firman Allah SWT "...Sebaik-baik tempat orang-orang yang bertakwa" beliau berkata: itu adalah dunia."71

12. Dunia Menjaga (kelangsungan) Akhirat.

Imam Ali as bertutur: "Dengan dunia, akhirat akan terjaga."72

Kalau begitu, menurut Islam dunia itu terpuji. Karena ia merupakan tempat mencari pahala bagi para wali Allah; tempat sujud para kekasih Allah; yang akan menyampaikan ke akhirat; dan tempat mencari bekal bagi orang-orang mukmin. Tetapi, kesemuanya ini kalau manusia memandang dengan dunia (ibshâr bi). Karena, kalau dia memandang pada dunia (ibshâr ila), maka dunia akan membutakannya. Sebagaimana yang diutarakan Imam Ali as

Imam Ali as berkata: "Wahai orang yang mencaci dunia, apakah engkau yang zalim kepada dunia atau dunia yang zalim kepadamu?" Kemudian ada yang menjawab: "Sayalah yang zalim kepadanya wahai Amirul Mukminin! Beliau berkata: "Lalu mengapa kamu mencacinya? Bukankah ia adalah tempat yang benar bagi orang yang membenarkannya?".73

3. Aku Sibukkan Hatinya dengan Urusan Dunia

Timbal-balik Tindak Kriminal dan Siksa

Ini adalah siksa (balasan) ketiga bagi orang-orang yang berpaling dari Allah dan menuruti ajakan hawa nafsu. Siksa ini dari jenis kriminal yang bersifat takwînî, bukan gadhâ'î (yudikatif). Sedang siksa takwînî selalu paling "adil" dan tidak ada jalan untuk lari darinya. Tindak kriminal yang saya maksud ialah kemasygulan dengan hawa nafsu daripada dengan Allah dan balasannya ialah tersibukannya manusia dengan dunia daripada dengan Allah. Dalam hadis tersebut disebutkan "... dan aku sibukkan hatinya dengan dunia". Kalau demikian, hubungan antara tindak kriminal dan balasan merupakan hubungan timbal balik yang dialektis. Tindak kriminal "masygul dengan hawa nafsu dan lupa pada Allah", akan memastikan adanya balasan "masygul dengan dunia daripada dengan Allah". Maka secara otomatis, hal itu akan menambah, mengintensifkan dan meningkatkan kriminalitasnya. Sampai dia pantas menerima balasan yang lebih berat daripada balasan sebelumnya, dan demikian seterusnya. Kalau begitu balasan itu sendiri sejenis dengan tindak kriminal yang telah kami sebutkan. Namun, balasan itu berbeda dengan tindak kriminalnya karena ia meningkatkan dan memperluasnya. Dengan begini, tindak kriminal itu akan terus bergerak dan membesar dalam kurva yang menaik. Pada awalnya, manusia yang melakukan tindak kriminal sepenuhnya mempunyai pilihan (ikhtiar) yang, sebenarnya, mampu memeliharanya dari kehancuran dan keruntuhan. Jika dia terus menerus melakukannya dan tidak mau meninggalkannya, maka Allah akan menyiksanya dengan menancapkan kekejian itu pada dirinya. Yaitu, Allah akan mencabut sebagian rizki-Nya berupa penjagaan, penguasaan pada jiwa dan kemampuan berikhtiar. Setiap kali derajat balasan bertambah, maka dia semakin lekat dengan kekejian itu, semakin lemah penguasaan dirinya, dan semakin hilang penjagaan pada dirinya. Sampai akhirnya Allah akan mencabut semua penjagaan dan kemampuan menguasai diri yang telah Dia berikan kepadanya. Balasan berupa hilangnya penjagaan dan penguasaan diri ini tidak berarti mereka tidak "berhak menerima balasan". Karena, tahap pertama mereka berbuat tindakannya itu disertai dengan penjagaan penuh dari kekejian dan penguasaan diri serta kemampuan berikhtiar. Hal tersebut bagaikan orangyang bunuh diri dengan menjatuhkan diri dari bangunan yang tinggi dengan ikhtiarnya, maka ketika jatuh, hilanglah penguasaan pada dirinya. Maka manusia semacam ini tidak dianggap kehilangan ikhtiarnya.

Muatan Positif dan Negatif pada "Masygul dengan Dunia"

Menyibukkan diri dengan dunia mempunyai dua sisi; positif dan negatif. Adapun sisi positifnya adalah kemauan keras manusia yang mengarah pada dunia dan bergantung padanya. Keadaan ini sebenarnya adalah keadaan sakit yang membahayakan karena dunia akan menjerat dan menguasai hati manusia. Dalam sebuah doanya, Rasulullah SAW bermunajat: "Ya Allah, berikan kami rasa takut kepada-Mu yang bisa menghalangi antara kami dan kemaksiatan kepada-Mu. Jangan Kau jadikan dunia paling besarnya harapan kami dan puncak pengetahuan kami".74

Tidaklah mengapa bila manusia mengurusi dunianya. Namun, jangan sampai ia menjadi puncak harapannya. Jika demikian, maka berarti dia telah memberi kuasa dunia atas hatinya dan menjadikannya sebagai penguasa tunggal dan pembimbing dirinya. Inilah keadaan sakit pada hati.

Dalam wasiat Imam Amirul Mukminin as kepada putranya, Al- Hasan Al-Mujtaba as, beliau berkata: "Janganlah duniamu menjadi puncak harapanmu."75

Adapun bentuk negatif bagi kesibukan (manusia) pada dunia ialah terputusnya hubungan dengan Allah. Karena secara alami menyibukkan diri pada dunia berarti terputusnya hubungan dengan Allah. Dengan kata lain, jika dunia menjadi puncak harapan seorang, maka ia juga akan menjadi tujuan utamanya, bukan mencari keridhaan Allah SWT Ketika itu hati manusia tertutup untuk Allah.

Sejauh mana kecenderungan hati seorang pada dunia menjadi barometer ketertutupan hatinya untuk mencari ridha Allah. Dan jika dia sudah menjadikan dunia sebagai satu-satunya harapan, maka hatinya akan betul-betul tertutup untuk-Nya. Keadaan ini merupakan ekses dari keadaan sebelumnya yang jauh lebih berbahaya pada diri manusia.

Alquran telah menyingkap penyakit ini di beberapa tempat dan dengan tanda-tanda yang berbeda-beda yang sebagiannya akan kami paparkan di sini. Alquran juga menyebutkan berbagai sebab dan perkembangannya.

Tanda-tanda Tertutupnya Hati Terhadap Allah

1. Ar-Rayn (Karat)

Ar-Rayn adalah karat yang menutupi hati. Allah SWT berfirman: "Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka ..." Q.S. Al-Muthaffifîn:14.

Dalam Al-Mufradât-nya, Ar-Râghib mengatakan tentang tafsir ayat sebagai berikut: "Hal tersebut menjadi bagaikan karat yang menutupi kejernihan hati mereka. Sehingga kabur bagi mereka perbedaan antara kebaikan dan kejelekan".

2. Ash-Sharf (Memalingkan)

Hal ini adalah sebagai siksaan di mana Allah memalingkan hati yang lalai dari mengingat Allah. Allah SWT berfirman: "Allah telah memalingkan hati mereka disebabkan mereka adalah kaum yang tidak mengerti ..." Q.S. At-Taubah:127.

3. Ath-Thab' (Watak/Terkunci)

Allah SWT berfirman: "....dan Kami kunci mati hati mereka sehingga mereka tidak dapat mendengar ..." Q.S. Al-A'râf:100. Maksudnya ialah bahwa Allah membentuk (watak) hati bukan dari shibghah (bentukan) Allah; bentukan hawa nafsu dan dunia.

4. Al-Khatm (Tertutup)

Allah SWT berfirman: "Allah telah menutup hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutupi..." Q.S. Al-Baqarah:7. Al-Khatm (tertutup) lebih dahsyat daripada Ath-Thab' (terkunci).

5. Al-Aqfâl (Terkunci)

Allah berfirman: "Maka apakah mereka tidak memperhatikan Alguran ataukah hati mereka terkunci? ..." Q.S. Muhammad:24.

6. Al-Taghlîf (Penyelimutan)

Allah SWT berfirman: "Dan mereka berkata, "Hati kami tertutup". Tetapi sebenarnya Allah telah mengutuk mereka karena keingkaran mereka". Q.S. Al-Baqarah:88.

Dan firman Allah: "..perkataan mereka: " Hati kami tertutup", bahkan, sebenarnya Allah telah mengunci mati hati mereka karena kekafirannya". Q.S. An-Nisâ':155.

7. At-Taknîn (Penyumbatan)

Allah SWT berfirman: "Mereka berkata: "Hati kami bera-da dalam tutupan (yang menutupi) apa yang kamu seru kami kepadanya dan ditelinga kami ada sumbatan". Q.S. Fushshilat:5.

Dan firman Allah: "...padahal Kami telah meletakkan tutupan di atas hati mereka (sehingga mereka tidak) memahaminya dan (Kami letakkan) sumbatan di telinganya". Q.S. Al-An'âm 25.

8. At-Tasydîd (Pengerasan)

Allah SWT berflrman: "Ya Tuhan kami, binasakanlah harta-benda mereka, dan kunci mati hati mereka..." Q.S. Yunus:88.

9. Al-Qaswah (Menjadi batu)

Allah berfirman: "Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya". Q.S. Az-Zumar:22.

Dan firman Allah: "Kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras..." Q.S. Al-Hadîd:16.

Inilah gambaran-gambaran tentang tertutupnya hati serta berbagai keadaannya dan perkembangannya sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Alquran yang mulia di atas.

Bagaimana Dunia Bisa Berubah Menjadi Penjara?

Apabila hati manusia telah tertutup untuk Allah, maka dunia akan menjadi penjara manusia dan akan menguasainya sampai dia tak akan bisa keluar darinya. Karena penjara, pada dasarnya, berarti mengurung dan mengikat ruang gerak seorang agar tidak bisa keluar (lepas). Begitu pula dunia akan memenjarakan, mengikat ruang gerak dan mencegah bepergian atau kebebasan manusia. la juga akan mempengaruhi semua kehendak dan ambisi manusia dan akan memutuskan hubungannya dengan Allah SWT

Pengertian ini telah terdapat dalam nash-nash keislaman termasuk dalam doa Imam Abu Ja'far Al-Bâqir as sebagai berikut: "Jangan Engkau jadikan dunia sebagai penjara bagiku”.76

Dan dalam do'a Imam Ja'far Ashl-Shâdiq as dikatakan: "Jangan Engkau jadikan dunia sebagai penjara dan perpisahan dengannya sebagai kesedihan bagiku."77

Sungguh mengherankan! Bagaimana bisa seorang yang dipenjara ketika keluar darinya merasa sedih dan susah. Penjara ini berbeda dengan penjara-penjara lainya. Manusia sangat senangdan suka padanya. la mengurungjiwa dan membuatnya terpatri padanya sehingga tidak bisa berpisah dengannya. Jika dipaksa keluar darinya, dia akan kalut dan sedih. Ketika manusia mulai mematrikan dunia pada dirinya, maka ia akan menjaringnya sebagaimana ubur-ubur (uhthubuth atau octopus) menjaring. Kemudian dunia akan membelenggu kaki dan tangannya, membatasi ruang geraknya dan menundukkannya.

Imam Amirul Mukmin Ali as berkata: "Dunia bagaikan jaring (perangkap) yang akan menjerat orang yang menyenanginya (yang mencintainya)."78

Sekali lagi marilah kita menengok pada keterkaitan antara "penjara" dan "orang yang terpenjara" dalam nash-nash keislaman yaitu pada "... ia akan menjerat orangyang mencintainya."

Imam Ali as berkata: "Barangsiapa yang mencintai dinar dan dirham, maka dia adalah budak dunia."79

"Penghuni" atau Ahli Dunia

Sesungguhnya dunia mempunyai penghuni (ahl). Begitu juga akhirat. Penghuni atau penggemar dunia adalah orang-orang yang ingin langgeng dan condong kepada dunia sampai-sampai dia berat untuk meninggalkannya. Sama sebagaimana manusia yang berat berpisah dengan keluarganya.

Ahli akhirat adalah orang-orang hidup di dunia sebagaimana selainnya hidup; menikmati kesenangan dan kelezatan dunia sebagaimana orang lain, tapi mereka tidak pernah ingin kekal di dunia atau condongpadanya. Mereka ini disebut Ahlullah (orang Tuhan).

Ahli akhirat mempunyai ciri-ciri sebagaimana ahli dunia juga memiliki ciri-ciri. Kami menemukan ciri-ciri ahli dunia dalam hadis Mi'raj.

Rasulullah SAW bersabda: "Ahli dunia adalah orang yang banyak makan, tertawa, tidur dan marah, tapi sedikit keridhaannya (kerelaan), tidak memafkan orang yang berbuat jelek (salah) padanya, dan tidak menerima alasan (ampunan) orang yang minta ampun. Dia malas berbuat ketaatan dan berani melakukan kemaksiatan. Keselamatannyajauh dan ajalnya dekat, tapi tidak pernah mawas diri. Sedikit manfaatnya, banyak bicaranya dan kurang rasa takutnya (kepada Allah).

"Para penggemar dunia tidak bersyukur saat ada rizki dan tidak sabar saat ada petaka. Mereka memuji diri sendiri dengan apa-apa yang mereka tidak kerjakan dan menuntut yang bukan hak mereka. Berbicara dengan khayalan, menyebut-nyebut kejelekan orang dan menyembunyikan kebaikan mereka".80

Penggemar atau ahli dunia merasa tentram dengan dunia dan mendapatkan kesenangan dan ketenangan di dalamnya. Jiwa mereka hendak bersemayam padanya, padahal dunia bukanlah tempat yang abadi. Jika manusia sudah merasa senang terhadap dunia, maka dia benar-benar berada dalam pengkaburan dunia. Dia menganggap dunia sebagai tempat abadi padahal ia bukan begitu.

Amirul Mukminin Ali as berseru: "... Ketahuilah bahwa kamu diciptakan untuk akhirat bukan untuk dunia, untuk fana bukan untuk kekal (di dunia), untuk mati bukan untuk hidup. Dan karnu berada di tempat yang oleng tidak kukuh, tempat sementara tidak langgeng dan tempat untuk berbekal serta jalan menuju akhirat..."

"Berhati-hatilah! Jangan tertipu dengan apa yang kamu lihat dari kebaikan ahli dunia dan ketamakan mereka padanya. Sungguh Allah SWT telah memberitahumu tentangnya, mencirikan jati dirinya, dan menyingkapkan kejelekan-kejelekannya kepadamu...”81

Pengkaburan Dunia

Termasuk pengkaburan dunia ialah anggapan bahwa dunia itu tempat abadi yang akan dihuni dan ditempati manusia untuk selama-lamanya. Padahal dunia adalah tempat berlalu bukan tempat yang langgeng. Manusia yang ada di dunia itu seperti orang asing. Dia bertempat di situ hanya beberapa hari saja lalu berpindah ke akhirat. Walaupun demikian, manusia selalu ingin abadi dan menetap untuk selama-lamanya di dalamnya.

Rasulullah SAW bersabda: "Jadikanlah dirimu di dunia seakan-akan kamu orang yang asing atau perantau."82

Imam Ali as berkata: "Wahai manusia! Sungguh dunia merupakan tempat untuk berlalu, sedangkan akhirat tempat untuk menetap. Maka ambillah dari tempat berlalumu untuk tempat menetapmu."83

Masalah ini bersifat mental. Artinya, manusia yang melintasi jalan, tidak akan mampu bertempat di dalamnya. Sebaliknya, orang yang menempati suatu rumah akan akrab dengannya.

Isa Al-Masih as, putra Maryam mempunyai untaian kata yang menarik dalam pengertian ini. Telah diriwayatkan dari beliau as yang demikian bunyinya: "Siapakah yang bisa membangun rumah di atas ombak laut?. Begitulah dunia. Maka janganlah kalian jadikan dunia sebagai tempat tinggal."

Dunia bukan tempat tinggal yang langgeng (tetap) sebagaimana ombak tidak ada yang tetap, maka mana mungkin jiwa akan tentram padanya? Mungkinkah manusia membuat rumah untuk dirinya di atas ombak laut?

Diriwayatkan bahwa Jibril as berkata pada Nuh as begini: "Wahai Nabi yang umurnya paling panjang, bagaimana Anda mendapatkan dunia ini? Nuh as menjawab: "Bagaikan rumah yang mempunyai dua pintu. Aku masuk yang satu dan aku keluar dari pintu yang lainnya."84

Inilah perasaan suci yang dirasakannya oleh sesepuh para Nabi pada detik-detik akhir hidupnya. Inilah perasaan (pengakuan) yang jujur yang jauh dari pengkaburan dunia.

Bila (manusia) menyayangi dunia dan merasa tentram padanya, maka perasaan suci itu tadi akan berubah menjadi kecintaan dan kegandrungan pada dunia yang berakibat pada terjerumusnya dia ke dalam perangkapnya, lalu ke dalam pengkaburannya. Keadaan inilah yang dialami ahli (penggemar) dunia; orang-orang yang membayangkan bahwa di dunia ada tempat tinggal yang tenang dan langgeng bagi manusia.

CATATAN KAKI :

[1] Nahjul Balâghah, Hikmah ke-100.

[2] Buhârul Anwâr, 96:249 dan 254-255.

[3] Nahjul Balâghah, Khutbah ke-57.

[4] Nahjul Balâghah, Khutbah ke-27.

[5] Bihârul Anwâr, 73:64.

[6] Ghurarul Hikam, karya Al-Âmudî, 2:201.

[7] Ghurarul Hikam, karya Al-Âmudî, 1:199.

[8] Bihârul Anwâr, 78:302.

[9] Bihârul Anwâr, 70:320.

[10] Nahjul Balâghah, 191.

[11] Nahjul Balâghah, 194.

[12] Bihârul Anwâr, 78:70.

[13] Bihârul Anwâr, 70:73.

[14] Nahjul Balâghah, Hikmah 228.

[15] Bihârul Anwâr, 1:121.

[16] Nahjul Balâghah, Surat ke-66.

[17] Bihârul Anwâr, 73:49.

[18] Ghurarul Hikam, karya Al-Âmudî, 1:29.

[19] Ghurarul Hikam, karya Al-Âmudî, 1:30.

[20] Bihârul Anwâr, 70:315.

[21] Al-Ghurar wa Ad-Durar, karya Al-Amudi.

[22] Bihârul Anwâr, 77:263.

[23] Bihârul Anwâr, 77:166.

[24] Ghurarul Hikam, karya Al-Âmudî, 1:93.

[25] Nahjul Balâghah, Khutbah ke-80.

[26] Bihârul Anwâr, 70:320.

[27] Nahjul Balâghah, 112.

[28] Bihârul Anwâr, 73:119.

[29] Nahjul Balâghah, 31.

[30] Bihârul Anwâr, 73:123.

[31] Bihârul Anwâr, 79:18.

[32] Bihârul Anwâr, 79:122.

[33] Ghurarul Hikam, karya Al-Âmudî, 1:102.

[34] Bihârul Anwâr, 73:126.

[35] Nahjul Balâghah, Khutbah ke-63.

[36] Bihârul Anwâr, 14:319.

[37] Nahjul Balâghah, 194.

[38] Syarah Nahjul Balâghah, Khutbah ke-63.

[39] Bihârul Anwâr, 72:122.

[40] Ghurarul Hikam, karya Al-Âmudî.

[41] Ghurarul Hikam, karya Al-Âmudî.

[42] Bihârul Anwâr, 70:319.

[43] Bihârul Anwâr, 70:319.

[44] Bihârul Anwâr, 77:8; Makârimul Akhlâq, 81.

[45] Ad-Durrul Mantsûr, 1: 67.

[46] Bihârul Anwâr, 77:80.

[47] Bihârul Anwâr, 70:317.

[48] Bihârul Anwâr, 78:164.

[49] Ghurarul Hikam, karya Al-Âmudî, 1:26.

[50] Ghurarul Hikam, karya Al-Âmudî, 1:45.

[51] Ghurarul Hikam, karya Al-Âmudî, 1:26.

[52] Ghurarul Hikam, karya Al-Âmudî, 1:28.

[53] Ghurarul Hikam, karya Al-Âmudî, 1:73.

[54] Ghurarul Hikam, karya Al-Âmudî, 1:85.

[55] Ghurarul Hikam, karya Al-Âmudî, 1:26.

[56] Ghurarul Hikam, karya Al-Âmudî, 1:37.

[57] Ghurarul Hikam, karya Al-Âmudî, 1:11.

[58] Ghurarul Hikam, karya Al-Âmudî, 1:11.

[59] Bihârul Anwâr, 78:21.

[60] Bihârul Anwâr, 73:96.

[61] Bihârul Anwâr, 73:108.

[62] Bihârul Anwâr, 73:20.

[63] Bihârul Anwâr, 73:81.

[64] Nahjul Balâghah, Hikmah ke-455.

[65] Ushûlul Kâfî, 2:138.

[66] Nahjul Balâghah, 62.

[67] Bihârul Anwâr, 101:208.

[68] Bihârul Anwâr, 77:178.

[69] Bihârul Anwâr, 78:366.

[70] Ghurarul Hikam, karya Al-Âmudî.

[71] Bihârul Anwâr, 73:107.

[72] Bihârul Anwâr, 67:67.

[73] Bihârul Anwâr, 78:17.

[74] Bihârul Anwâr, 95:361.

[75] Bihârul Anwâr, 42:202.

[76] Bihârul Anwâr, 97:379.

[77] Bihârul Anwâr, 97:338.

[78] Ghurarul Hikam, karya Al-Âmudî.

[79] Bihârul Anwâr, 103:225.

[80] Bihârul Anwâr, 77:24.

[81] Nahjul Balâghah, 31.

[82] Bihârul Anwâr, 73:99.

[83] Nahjul Balâghah, Khutbah ke-203.

[84] Mîzânul Hikmah, 3:339.