Qur'an dan Tekanan Jiwa

Qur'an dan Tekanan Jiwa0%

Qur'an dan Tekanan Jiwa pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Al Qur'an Al Karim

Qur'an dan Tekanan Jiwa

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

pengarang: Sayid Ishaq Husaini Khushari
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Pengunjung: 10037
Download: 3718

Komentar:

Qur'an dan Tekanan Jiwa
Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 12 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 10037 / Download: 3718
Ukuran Ukuran Ukuran
Qur'an dan Tekanan Jiwa

Qur'an dan Tekanan Jiwa

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Bab 2 : Antara Kebutuhan dan Tekanan Jiwa

Pentingnya membahas kebutuhan manusia

Menurut para ahli psikologi, salah satu kebutuhan yang paling penting bagi manusia adalah merasakan keamanan. Rasa butuh akan keamanan memiliki ikatan yang sangat erat dengan tekanan jiwa; tidak diraihnya rasa aman akan berakibat pada tekanan jiwa dan depresi. Terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar manusia secara memuaskan juga berkaitan erat dengan kesehatan mental; tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar, terutama jika derajat kebutuhan tersebut begitu tinggi, akan menimbulkan tekanan jiwa dan sikap-sikap abnormal pada seseorang, misalnya dalam kegiatan belajar, berinteraksi, memahami dan lain sebagainya. Atas dasar ini, untuk memahami faktor-faktor tekanan jiwa, para pakar psikologi terlebih dahulu mengkaji motif-motifnya dan mereka begitu mementingkannya hingga berjilid-jilid buku khusus mereka tulis untuk membahas masalah ini.

Tingkatan kebutuhan manusia

Kebanyakan motivasi dapat dikategorikan secara meluas berdasarkan keterkaitannya antara satu dengan sama lain. Di antara metode-metode pengkatageorian yang ada, ada dua metode yang paling populer. Metode pertama mengkategorikan kebutuhan-kebutuhan dan motivasi berdasarkan tingkat prioritas. Kebutuhan-kebutuhan tingkat pertama seperti rasa haus dan lapar, yang mana mereka berkaitan dengan kebutuhan biologis manusia. Adapun kebutuhan-kebutuhan tingkat kedua adalah kebutuhan-kebutuhan yang tidak berkaitan langsung dengan biologis manusia. Henry Murray, seorang psikolok masyhur, adalah peneliti pertama yang berbicara tentang kebutuhan manusia untuk berkembang dan mendefinisikan kebutuhan sebagai kemampuan diri untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang dihadapi, menembus rintangan-rintangan yang menghadang serta meningkatkan potensi dan kemampuan diri. Murray mengkategorikan kebutuhan-kebutuhan manusia menjadi dua kategori, yang pertama dua belas macam kebutuhan biologis, dan yang kedua adalah dua puluh enam kebutuhan psikis manusia.

Dalam metode kedua, kebutuhan-kebutuhan juga dikategorikan menjadi dua macam: kebutuhan untuk mendapatkan dan kebutuhan untuk menghindari. Kebutuhan macam pertama adalah kebutuhan yang sifatnya positif, seperti rasa lapar; adapau kebutuhan macam kedua bersifat negatif, seperti rasa sakit. Abraham Maslow mengutarakan satu gagasan yang menarik dalam mengkategorikan kebutuhan-kebutuhan manusia. Menurutnya, kebutuhan-kebutuhan manusia dapat dikategorikan atas dasar tingkatannya (teorinya yang dikenal dengan piramida kebutuhan Maslow—pent.) Ketika kebutuhan-kebutuhan tingkat pertama manusia terpenuhi (kebutuhan biologis), maka kebutuhan-kebutuhan lainnya yang berada di tingkata lebih tinggi akan bermunculan. Urutannya adalah dari bawah ke atas. Tingkatan-tingkatan kebutuhan tersebut adalah:

1. Kebutuhan-kebutuhan fisiologis

2. Kebutuhan akan rasa aman

3. Kebutuhan akan hubungan, cinta dan kasih saying

4. Kebutuhan akan kemuliaan

5. Kebutuhan akan aktualisasi diri

Sering kalinya kita tidak mencapai tingkatan tertinggi kebutuhan, yakni masih ada kebutuhan-kebutuhan yang belum terpenuhi.[64]

Definisi kebutuhan dan motivasi

Kita tidak bisa membahas secara terperinci mengenai perbedaan antara kebutuhan dan motivasi, tapi untuk mendapatkan gambaran secara global perlu disebutkan bahwa kebutuhan adalah sekumpulan variabel (yang berubah-ubah) internal dan eksternal yang keberadaannya menimbulkan reaksi tertentu dalam prilaku. Adapun motivasi merupakan kecenderungan khusus, tidak berubah-ubah dan tidak bergantung pada sikon tertentu.

Bagi para psikolog, ada perbedaan mendasar antara motivasi dan pendorong. Menurut mereka motivasi sifatnya dapat diperoleh, namun pendorong tidak. Namun dalam buku ini, keduanya berarti sama dan untuk mendapatkan keterangan mengenai perbedaan antara keduanya dan juga efek-efeknya, silahkan merujuk sumber-sumber yang lebih kompleks.

Berbagai macam kebutuhan

1. Kebutuhan dan dorongan keseimbangan hidup (fisiologis)

Makhluk hidup memiliki dorongan untuk selalu menjaga keseimbangan hidupnya. Dorongan inilah yang menjadi alasan keberlangsungan hidup setiap organisme.

Menyebutkan daftar panjang kebutuhan-kebutuhan biologis makhluk dalam buku ini sangatlah tidak memungkinkan dan tidak ada gunanya. Di bawah ini akan disebutkan beberapa kebutuhan mendasar organisme yang mana semua pakar psikologi bersependapat tentangnya[65] :

A. Kebutuhan terhadap makanan

Lapar merupakan alasan terpenting mengapa makhluk hidup terdorong mencari makanan. Agar dapat terus hidup, makhluk hidup perlu makan dan dari makanan itulah energi untuk tubuh diproduksi. Oleh karena itu, rasa lapar dapat kita sebut sebagai dorongan mendasar yang dirasakan makhluk hidup dalam keberlangsungan hidupnya. Rasa lapar merupakan hal penting dalam keseimbangan hidup organisme. Saat keadaan fisioloigis organisme melenceng dari titik seimbang kebutuhan pangan, ia akan terdorong untuk mencari manan agar titik keseimbangan tersebut tercapai kembali.[66]

B. Kebutuhan terhadap minuman

Apa yang dijelaskan mengenai rasa lapar juga berlaku bagi rasa haus. Rasa haus biasanya muncul dikarenakan dua sebab: berkurangnya zat cair dalam sel tubuh dan juga berkurangnya volume darah. Dengan sendirinya, untuk menjaga keseimbangan hidup, tubuh kita akan memperingatkan kita kapan kita memerlukan air dan kapan tidak.[67]

Kebutuhan-kebutuhan fisiologis atau tingkat awal ini juga pernah disinggung dalam salah satu ucapan nabi Ibrahim as.:

“Ialah Tuhan yang ketika aku lapar Ia memberiku makanan, ketika aku haus Ia memberiku minuman dan ketika aku sakit Ia memberiku kesembuhan.”[68]

Dalam ayat di atas semua kebutuhan fisiologis manusia telah disebutkan.

Lapar dan haus (melepaskan diri dari lapar dan haus—pent.) adalah dua kebutuhan mendasar manusia. Saat Allah swt. Menempatkan nabi Adam as. dan Hawa as. di sorga, Ia berfirman kepada keduanya mengenai makanan dan minuman (yang merupakan nikmat pertama dari nikmat-nikmat lainnya) yang ada di dalamnya:

“Kalian tidak akan kelaparan di dalamnya, tidak akan kekurangan pakaian. Kalian juga tidak akan kehausan dan tidak akan tersiksa karena sengatan terik matahari.”[69]

Al Qur’an menyebut nikmat makanan dan minuman sejajar dengan nikmat keamanan:

“Ia yang telah mengenyangkan kalian dari rasa lapar dan mengamankan kalian dari rasa takut.”[70]

Dalam pandangan Islam, saat Allah swt. Ingin menguji hamba-hambanya, Ia menuji mereka dengan kurangnya keamanan, makanan dan minuman[71] dan orang-orang yang beriman seharusnya memanfaatkan dan bersyukur jika nikmat-nikmat itu diberikan:

“Katakan, siapakah yang telah mengharamkan perhiasan-perhiasan yang dikaruniakan oleh Allah untuk hamba-hambanya dan juga riziki-rizki yang nikmat?”[72]

Pengkategorian kebutuhan berdasarkan tingkatannya juga dapat ditemukan dalam riwayat:

“Ya Allah, berkahilah roti (makanan) yang telah kau berikan kepada kami ini, karena jika tidak ada itu maka kami tidak bisa shalat dan berpuasa, dan tidak juga mampu menunaikan kewajiban-kewajiban kami.”[73]

Dalam riwayat di atas digambarkan bahwa kebutuhan terhadap makanan, jika tidak terpenuhi terlebih dahulu, maka kita tidak bisa memenuhi kebutuhan lain di atas itu, yaitu kebutuhan beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah swt. Riwayat tersebut begitu jelas maksudnya dan kita tidak membutuhkan penafsiran tertentu untuk memahaminya. Dalam riwayat yang lainnya, Rasulullah saw. menyebut kefakiran sebagai perangsang kekufuran.[74]

Islam selain memperhatikan kebutuhan manusia terhadap makanan, juga tak lupa memberikan aturan dalam pemenuhan kebutuhan tersebut, seperti:

1. makanan yang haram akan membawakan dampak buruk bagi fikiran dan akidah seseorang.[75]

2. Kedua, Islam menekankan kita untuk makan dan minum sesuai kebutuhan. Bahkan dalam riwayat disarankan agar kita beranjak dari makanan sebelum kita kehilangan selera karena kekenyangan.[76]

3. Kita tidak boleh berlebihan dan membuang-buang makanan.[77]

4. Islam mengharamkan segala makanan yang membahayakan bagi tubuh kita.[78]

5. Kita musti memperhatikan kebersihan dan cara yang sehat dalam menyantap makanan.[79]

6. Ditekankannya beberapa makanan yang sehat dan menyehatkan, seperti halnya madu.[80]

C. Kebutuhan seksual

Hasrat seksual juga merupakan kebutuhan mendasar makhluk hidup dan menciptakan berbagai prilaku-prilaku tertentu pada setiap orang. Sebagian pakar psikologi menganggap dorongan seksual sebagai satu dari dua faktor insting hidup dan mati bagi manusia, dan menganggap sejarah yang tercipta selama ini adalah hasil dari dorongan seksual. Teori Freud adalah bukti keberlebihannya dalam menilai kebutuhan seksual. Namun kebutuhan seksual jika kita pandang sebagai hasrat ketertarikan makhluk hidup kepada keindahan, maka penilaian kita akan berbeda.

Para maksumin menyebut hasrat seksual sebagai penjaga keberlangsungan hidup. Imam Shadiq as. berkata kepada Mufadhal:

“Berkobarnya api gairah seksual mendorong manusia untuk melakukan hubungan seks, yang mana dengan demikian spesis manusia akan terus terjaga. Jika seandainya tidak ada gairah seksual yang seperti ini pada manusia, dan manusia hanya melakukan seks hanya saat menginginkan anak saja, maka tidak akan ada lagi yang namanya gairah seks dan spesis manusia akan berada di ambang kepunahan; karena tidak semua orang ingin memiliki keturunan.”

Al Qur’an mengibaratkan perempuan sebagai ladang menjelaskan bahwa keterjagaan spesis manusia bertumpu pada pernikahan. Al Qur’an memberikan dua macam pengaturan mengenai gairah seksual:

Pertama, Islam menjadikan pernikahan sebagai penyaluran gairah seksual dan menyebutnya sebagai penyempurna agama. Imam Shadiq as. menukil ucapan Rasulullah saw.:

“Barang siapa telah menikah, maka separuh agamanya telah terjaga. Maka sehendaknya ia berusaha menjaga separuh lainnya.”

Beliau juga bersabda:

“Pernikahan adalah sunahku, maka barang siapa menghindar dari sunahku ia bukanlah termasuk dariku.”

Al Qur’an menjelaskan tentang keberadaan istri sebagai penenang jiwa:

“Dan Allah menciptakan istri-istri dari jenis kalian agar kalian merasakan ketentraman di samping mereka.”[81]

Ketenangan yang dihasilkan oleh pasangan suami istri karena mereka berdua saling menyempurnakan dan berdasarkan ketertarikan alamiah mereka berdua, seseorang tidak akan sempurna tanpa pasangannya. Ketenangan yang dihasilkan pernikahan lebih dari sekedar ketenangan individu saja, tapi juga lebih dari itu. Jika kita lihat, kebanyakan para penjahat dalam suatu masyarakat adalah orang-orang yang tidak memiliki banyak tanggung jawab; mereka mudah berbuat onar dan kejahatan. Tingkat bunuh diri di antara mereka juga lebih tinggi. Namun orang-orang yang telah menikah, mereka memiliki tanggung jawab, mereka tidak hidup untuk diri mereka sendiri namun ada yang mendampingi, susah dan senang bersama pasangannya, mereka lebih cenderung kepada kebaikan. Yang menakjubkan adalah, Tuhan tidak hanya menciptakan dorongan untuk berpasangan pada manusia saja, bahkan juga pada hewan-hewan.[82] Pada hakikatnya, cinta dan kasih sayang adalah tali pengikat umat manusia. Tanpa adanya cinta dan kasih sayang semua orang akan beralih pada dirinya masing-masing dan tidak akan terwujud komunitas sosial yang saling bekerjasama. Al Qur’an juga memberikan penjelasan lain tentang lelaki dan perempuan; Al Qur’an mengibaratkan mereka berdua sebagai pakaian satu sama lain:

“Mereka (para istri) adalah pakaian bagi kalian (para suami) dan kalian juga pakaian bagi mereka.”[83]

Pakaian tidak hanya sebagai hiasan dan menjaga tubuh dari panas dan dingin, namun pakaian juga menutupi aib-aib tubuh. Istri-istri bagaikan pakaian karena mereka dapat memadamkan gairah suami mereka dan juga menutupi aib-aibnya. Betapa banyak orang yang melakukan berbagai tindak kejahatan karena gairah seksualnya tidak tersalurkan. Pernikahan memberikan keamanan pada manusia dari keburukan syahwat yang tak terkendali[84] dan segala kelaziman dari keburukan itu.

Kedua, Islam melarang penyaluran gairah seksual secara berlebihan. Selain Al Qur’an menekankan pernikahan, Al Qur’an juga menambahkan bahwa segala penyaluran gairah seksual di luar jalan pernikahan diharamkan. Berbeda dengan psikologi meterialisme, Islam melarang pergaulan bebas, bercanda dan bercampurnya lelaki dan perempuan secara berlebihan, dan pada beberapa keadaan Islam menyebutnya makruh atau bahkan haram. Islam bertentangan dengan rangsangan-rangsangan syahwat di luar lingkaran pernikahan dan menyebut pergaulan dengan wanita yang bukan muhrim sebagai sebab kematian dan kerasnya hati.[85] Al Qur’an menyebut para lelaki yang terlena mendengarkan suara perempuan yang bukan muhrimnya sebagai orang-orang yang berpenyakit jiwa. Oleh karena itu Al Qur’an memerintahkan para wanita untuk tidak melembutkan suaranya saat berbicara agar tidak mendapatkan reaksi-reaksi buruk dari orang-orang yang sakit jiwanya itu:

“Maka janganlah kalian melembutkan suara kalian di saat berbicara, (jika tidak) maka orang-orang yang berpenyakit di hatinya akan menjadi tamak. Berbicarah (dengan nada bicara) yang baik.”[86]

Penyaluran gairah seksual, ketika telah melampaui batasnya dan tetap diteruskan, adalah satu bentuk kegilaan yang disebut kegilaan seksual.[87]

Islam dalam menjinakkan gairah seksual memerintahkan para lelaki dan perempuan untuk saling menutupi diri masing-masing. Pada suatu hari Rasulullah saw. memerintahkan istrinya, Ummu Salamah dan Maimunah untuk menutupi dirinya di hadapan anak lelaki buta putra Ummu Maktum seraya berkata:

“Meskipun anak itu tidak melihat kalian, tapi kalian dapat melihatnya.”[88]

Perintah bagi lelaki dan perempuan untuk saling menjaga dirinya dan tidak berduaan di kesepian serta makruhnya berjalan kaki bersama perempuan yang tidak muhrim merupakan upaya agama ini untuk menjinakkan gairah seksual manusia. Sayidah Fathimah Az Zahra berkata:

“Sebaik-baiknya perempuan adalah mereka yang tidak melihat para lelaki dan juga tidak dilihat oleh mereka.”[89]

Fantasi seksual

Fantasi seksual menurut para psikolog adalah salah satu bentuk penyakit jiwa. Seseorang yang berfantasi seksual berusaha menyalurkan gairah seksualnya dengan cara berkhayal. Islam melarang kita untuk berfikir berbuat dosa; dan bahkan saat bersenggama dengan istri sendiri pun Islam melarang kita untuk berkhayal seakan sedang bersenggama dengan orang lain. Mengenai hal ini para Imam maksum as. Berkata:

“Orang-orang yang seperti itu bagaikan orang yang memenuhi rumahnya yang penuh hiasan dengan asap. Meskipun asap mengepul itu tidak akan membakar rumah, namun merusak keindahannya.”[90]

D. Kebutuhan untuk menjadi ayah dan ibu

Dalam kebanyakan hewan, pengaruh insting untuk menjadi ayah dan ibu (memelihara anak-anak) dalam prilakunya, terkadang lebih kuat daripada insting mencari makan, minum dan seks. Sebagai contoh telah terbukti dalam beberapa penelitian bahwa saat seekor tikus berusaha menjaga anak-anaknya, ia lebih tegar menghadapi kesusahan daripada saat ia ingin mencari makanan.[91]

Insting keayahan dan keibuan pada awal mula kelahiran anak bersifat searah, namun setelah anak tumbuh besasr, insting tersebut menjadi bersifat dua arah.

Rasa cinta ini merupakan rahmat Allah swt. yang luar biasa. Dengan melihat lemahnya manusia setelah terlahir di dunia, rasa cinta tersebut yang membuatnya selalu terjaga dan dilindungi oleh orang tua. Meski tidak diragukan para orang tua akan merasakan kasih sayang anak-anaknya saat mereka berada di hari tua sebagai balas jasa mereka.

Mengenai alasan adanya insting ini, beberapa diantaranya dijelaskan oleh Al Qur’an:

Pertama, manusia merasa kesepian saat tidak memiliki buah hati.

Kedua, manusia cenderung ingin memiliki pewaris dan penerus hidup mereka.

Dalam Al Qur’an disebutkan kisah nabi Zakariya as. dan Yahya as. seperti ini:

“Dan Zakariya berdoa kepada Tuhannya: “Ya Tuhanku, janganlah Kau biarkan aku sendiri, sungguh Engkau sebaik-baiknya pewaris.”[92]

Di ayat-ayat yang lainnya kita membaca bahwa saat nabi Zakariya as. menyendiri di tempat ibadahnya, ia berdoa kepada Tuhannya: “Tuhanku, tulang-tulangku telah rapuh dan lemah, rambut putih telah memenuhi kepalaku. Tuhanku, doaku tak pernah tak Kau kabulkan. Sepeninggalku aku takut akan keluargaku, sedangkan istriku mandul. Karuniakanlah pewaris kepadaku sehingga ia akan mewarisiku dan mewarisi keluarga Ya’qub.”[93]

Ucapan nabi Zakariya as. “Jangan biarkan aku sendiri” menunjukkan bahwa ia merasa kesepian di akhir hidupnya dan ia menyebut Tuhannya sebagai sebaik pewaris, yakni zat yang maha hidup dan menghidupkan. Dalam ayat-ayat berikutnya perasaan nabi Zakariya as. semakin jelas tergambar dan disebutkan: “Aku takut akan keluargaku, aku tidak yakin mereka dapat meneruskan jalanku. Dari sisi lain istriku tidak dapat mengandung. Maka berikanlah jalan bagiku untuk memiliki pewaris.”[94]

Ketiga, mencari buah tutur. Al Qur’an menjelaskan bahwa salah satu dorongan manusia untuk memiliki anak adalah karena mereka ingin memiliki buah tutur bagi diri mereka. Al Qur’an menceritakan kisah nabi Ibrahim as. saat sang nabi berdoa: “Dan berilah buah tutur bagiku untuk (orang-orang) yang datang sesudahku.”[95]

Pada ayat lainnya, setelah kelahiran nabi Ya’qub as. dan Ishaq as. disebutkan: “Kami telah menjadikan buah tutur yang baik serta mulia.”[96]

Nabi Ibrahim as. begitu sugguh-sungguh memohon anugerah dari Tuhan untuk mendapatkan keturunan agar umat setelahnya tidak mampu menghapus namanya, yang mana ia adalah suri tauladan bagi seluruh umat manusia.

Masih seputar masalah ini juga, karena Rasulullah saw. dihina dan disebut oleh ‘Ash bin Wail sebagai orang yang tidak berketurunan, lalu setelah itu diturunkan surah Al Kautsar kepada beliau. Karena Rasulullah saw. tidak memiliki anak lelaki, saat itu mereka mengira begitu Rasulullah saw. wafat nanti, namanya akan sirna begitu saja.[97]

Keempat, untuk mendapatkan pelita hati. Di manapun Al Qur’an berbicara tentang buah hati, selalu digunakan kata-kata semacam “pemberian”, “kabar gembira”, dan lain sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa anak merupakan hadiah dari Tuhan. Al Qur’an menceritakan bahwa para hamba-hamba istimewa-Nya (Ibadurrahman) saat menginginkan buah hati mereka menyebutnya sebagai pelita hati:

“Dan mereka yang berkata, “Tuhan kami, berikanlah kepada kami keturunan dari istri-istri kami sebagai pelita hati dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang beriman.”[98]

Qurrata A’yun, yang secara leksikal berarti “caha mata” atau “terangnya mata”, yang kami maksud dengan pelita hati. Ayat di atas menggambarkan kepada kita betapa orang-orang yang tidak memiliki anak soleh tidak dapat merasakan nikmat kehidupan yang sebenarnya.

Banyak sekali contoh-contoh lain yang disebutkan Al Qur’an mengenai insting keayahan dan keibuan ini. Beberapa contoh yang paling jelas di antaranya adalah kisah nabi Nuh as. dan anaknya, nabi Musa as. dan ibunya, nabi Ibrahim as., Isma’il as., Ya’qub as dan nabi Yusuf as. yang mana kisah-kisah mereka tercantum pada surah-surah seperti Hud, Qashash, Shaffat, dan surah Yusuf. Namun meski demikian, di samping itu semua Allah swt. juga menjelaskan satu perkara yang lebih penting dalam ayat ke-24 surah At Taubah:

“Katakanlah, jika seandainya ayah-ayah, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kerabat-kerabat kalian… lebih kalian cintai daripada Allah swt., Rasulnya saw., dan berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah hari dimana Allah swt. datang dengan hukumannya. Allah tidak akan memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.”

Ayat ini bukan berarti manusia harus mengabaikan emosi dan perasaannya. Maksud ayat ini adalah, di saat kita berada di persimpangan jalan antara perasaan terhadap sesama dan kecintaan terhadap Tuhan swt., kita tidak boleh memprioritaskan perasaan terhadap sesama (jika seandainya perasaan itu akan menghalangi cinta kita kepada Tuhan).[99]

2. Kebutuhan akan keamanan

Makna kebutuhan manusia akan kemanan adalah, karena manusia mencintai dirinya, ingin hidupnya berkelanjutan, secara alamiah ia begitu peka terhadap segala hal yang bertentangan dengan kenyamanan dan keberlangsungan hidupnya. Beberapa contoh prilaku manusia yang bersumber dari dorongan ini adalah:

A. Membenci rasa sakit dan selalu menghindar dari bahaya

Salah satu hal yang begitu menonjol dalam kehidupan adalah derita dan rasa sakit. Keberadaan insting inilah yang membuat tubuh manusia selalu terjaga. Rasa sakit merupakan suatu peringatan yang menunjukkan bahwa badan sedang berada dalam kondisi yang buruk. Banyak penyakit yang merupakan pertanda bahaya, dan jika penyakit-penyakit tertentu itu muncul, maka secepatnya harus merujuk ke dokter. Namun sebagian kalangan menyangkal pengertian ini dengan dalih banyaknya orang yang dengan mudah melakukan aksi bunuh diri. Namun sangkalan mereka tidak benar, karena pada dasarnya aksi bunuh diri terkadang disebabkan rasa putus asa akan pemenuhan kebutuhan dan bunuh diri menjadi salah satu bentuk rasa butuh terhadap kehidupan. Masalah ini juga berlaku pada aksi-aksi serangan bunuh diri yang dilakukan oleh pejuang-pejuang. Aksi tersebut tidak bertentangan dengan naluri manusia yang cenderung memilih kehidupan, namun dikarenakan alasan lain di balik kesyahidan, yaitu digapainya kebahagiaan abadi.[100]

Dalam buku-buku terpercaya di bidang psikologi sering ditemukan istilah-istilah seperti “obat iman” atau “psikoterapi keagamaan”. Hal ini membuktikan diterimanya konsep relasi antara iman dan kesehatan jiwa. Islam menuntun kita untuk menyikapi penyakit dengan sikap-sikap yang mulia. Di antara ajaran-ajaran itu adalah:

1. Berfikiran positif

Islam sangat mementingkan terjaganya kesehatan dan keselamatan serta menyebutnya sebagai kewajiban. Dalam riwayat disebutkan bahwa pada suatu hari Imam Ali as. yang disaksikan oleh kedua anak maksumnya, Imam Hasan as. dan Imam Husain as., pergi berobat ke tabib non-Muslim. Fakta ini membuktikan betapa pentingnya kesehatan. Islam juga menekankan kita untuk selalu berfikiran positif dan tidak terlalu merisaukan penyakit agar beban derita yang dirasakan tidak terlalu berat. Islam memberikan berbagai ajaran mulianya agar kita dapat berfikiran positif saat tertimpa penyakit:

Islam menekankan kita untuk memperkuat keyakinan bahwa kekuatan Allah swt. sama sekali tidak terbatas dan berada di atas hukum kausalitas alam semesta.

Penyakit yang dirita adalah peruntuh dosa-dosa, sebab diberikannya pahala oleh Allah swt dan bentuk perhatian khusus terhadap seorang hamba.[101] Disebutkan bahwa pahala seorang mukmin yang sakit dan tidak bisa tidur semalaman lebih dari pahala ibadah selama setahun.[102] Disebutkan pula bahwa doa orang-orang beriman yang sakit bagaikan doa-doa para malaikat yang mudah dijiabahi.[103]

Islam menganggap Allah swt. sebagai sang tabib yang sebenarnya, adapun tabib dan dokter adalah perantara-Nya. Ajaran ini terbukti dapat menciptakan ketenangan jiwa dalam diri seorang pasien. Seorang pasien yang berfikiran sedemikian rupa akan kehilangan rasa khawatir yang berlebihan. Inilah yang pernah diucapkan oleh nabi Ibrahim as.: “Jikalau aku sakit, Ia-lah yang menyembuhkanku.”[104]

2. Meningkatkan spiritualitas

Sholat dan berdoa merupakan jalan terbaik dalam meningkatkan spiritualitas. Dalam keadaan shalat dan berdoa, seorang yang beriman akan menikmati kekuatan nirbatas Allah swt. dan lupa akan sakit yang didertianya. Oleh karena itulah saat Imam Ali as. melakukan shalat dan anak panah dicabut dari tubuhnya ia tidak merasakan sakit. Satu lagi jalan yang terbaik adalah melakukan upacara peribadatan secara bersama-sama.

3. Menghindari obat-obatan

Salah satu metode menarik yang juga diajarkan Islam adalah membiarkan penyakit dan menghindar dari obat-obatan. Pada metode ini kita diajarkan untuk bersahabat dengan penyakit yang kita derita. Karena mengkonsumsi obat-obatan bagaikan menyayat diri sendiri dengan pisau bermata dua; karena obat selain menghilangkan penyakit, ia juga memberikan efek-efek tertentu pada sel-sel tubuh. Para Imam Maksum as. berkata:

“Tidak ada satupun obat yang tidak akan menimbulkan penyakit lainnya.”[105]

4. Perhatian sosial

Pada penyakit-penyakit kronis, perlindungan sosial terhadap penderita dankeluarganya sangatlah penting. Oleh karena itu Islam sangat menekankan kita untuk menengok orang yang sakit dan menyebutnya sebagai hak-hak Muslimin.[106] Rasulullah saw. selalu bergegas untuk menjenguk sahabat-sahabatnya yang sakit meskipun jarak yang harus ditempuh begitu jauh.[107] Banyak adab-adab menjenguk yang diajarkan, seperti berniat ikhlas, memberikan harapan-harapan positif kepada penderita, dan juga membawakan sesuatu sebagai pemberian. Dengan jengukan sesama, penderita akan:

Merasa mulia dan tidak diabaikan oleh masyarakat sekitarnya.

Haus kasih sayang yang ia rasa akan terpenuhi yang mana hal itu akan memberikan ketenangan jiwa padanya.

Saat dapat melihat sanak saudara dan kerabat ia akan merasakan kenyamanan.

B. Mencari keamanan dan kestabilan

Abraham Maslow berkata:

“Saat kebutuhan-kebutuhan fisiologis manusia terpenuhi, maka di sana akan terdapat kebutuhan-kebutuhan yang berkisar pada masalah keamanan jiwa manusia. Ciri-ciri terpenuhinya kebutuhan akan keamanan ini seperti: merasa aman, stabil, bebas dari rasa takut dan kekhawatiran, keteraturan, keterbasan, merasa memiliki posisi yang menyenangkan, dan…”[108]

Jadi, berdasarkan yang ia katakan, ciri-ciri ketidakamanan adalah:

1. Merasa terusir

2. Merasa kesepian

3. Merasa ketakutan

4. Kegoncangan dan perasaan berada dalam bahaya

5. Berpandangan negatif kepada banyak orang

6. Tidak percaya diri

7. Pesimis terhadap diri sendiri

8. Cenderung tidak puas akan diri dan lingkungannya

9. Merasa tertekan, tidak semangat dan kelelahan

10. Cenderung mencari-cari aib dan kesalahan

11. Merasa malu dan putus asa

12. Gangguan dalam sistim perasa, suka mencari kedudukan

13. Dorongan yang berlebihan untuk mendapat keamanan

14. Hanya memikirkan diri sendiri (egois)

Ciri-ciri yang pertama sampai ketiga adalah ciri-ciri utama. Sedangkan yang lainnya adalah ciri-ciri sampingan.

Dalam doa Makarimul Akhlak, Imam Sajjad as. memberikan isyarah-isyarahnya mengenai kesehatan jiwa:

“Ya Allah, haturkanlah shalawat kepada Muhammad dan keluarganya. Rubahlah kebencian musuh-musuhku terhadapku menjadi kecintaan. Rubahlah hasud para penyeleweng menjadi persahabatan. Rubahlah prasangka buruk orang-orang yang soleh menjadi prasangka baik dan kepercayaan. Rubahlah permusuhan kerabat-kerabat menjadi kecintaan. Rubahlah maksiat dan keburukan mereka menjadi kebaikan dan amal saleh. Rubahlah sifat suka menghina mereka menjadi sifat suka menolong. Jadikanlah kecintaan berpura-pura orang yang munafik menjadi kecintaan yang sebenarnya. Rubahlah sifat-sifat buruk para penebar syubhat menjadi sifat baik. Dan rubahlah rasa takut menjadi rasa aman.[109]

Tidak hanya dalam doa di atas saja beliau mengisyarahkan rasa butuh manusia terhadap keamanan. Pada kelanjutan doa di atas disebutkan:

“Ya Allah, sampaikanlah shalawat kepada Rasulullah. Berikanlah kekuatan kepadaku untuk menghadapi orang-orang yang menzalimiku. Berilah kelancaran berbicara padaku untuk menghadapi orang-orang yang suka mendebatku. Berilah kemenangan padaku saat ada yang memusuhiku. Berilah pertolongan padaku dalam menghadapi tipu daya dan musliha musuh-musuhku. Berilah kekuatan untuk melawan orang-orang yang zalim. Berilah kekuatan untuk menghadapi orang-orang yang iri padaku. Berikanlah keamanan kepadaku saat musuh-musuhku menakutiku. Juga berilah daku taufik untuk mengikuti orang-orang yang memberikan petunjuk kepadaku dan mengarahkanku pada jalan yang benar.”[110]

Jika kita lihat, kebanyakan apa yang diucapkan beliau dalam doanya di atas berhubungan dengan butuhnya seorang manusia akan keamanan.

Namun perlu diingatkan di sini bahwa pandangan Islam mengenai kebutuhan akan keamanan berbeda dengan pandangan kaum materialisme. Menurut mereka tercapainya keamanan adalah tujuan, tetapi menurut Islam tercapainya keamanan adalah perantara yang dapat mengantarkan manusia kepada tujuan yang lebih tinggi, yaitu menjadi khalifah Allah swt. di muka bumi; karena tanpa mendapatkan keamanan, manusia tidak akan mampu menjalankan tugas-tugas penghambaannya. Garis kesimpulan dari perbedaan keduanya juga dapat dijelaskan seperti ini: Ketika seorang materialis tidak dapat meraih keamanan, baginya itu berarti sama dengan kehilangan keseimbangan mental dan punahnya makna hidup, karena baginya hidup hanya terbatas pada dunia ini saja. Namun bagi orang yang beriman tidaklah seperti itu. Segala kesusahan dan tekanan-tekanan yang dialami di dunia ini akan digantikan dengan balasan dan pahala-pahala ukhrawi, dan kehidupan di dunia hanya sekedar jembatan untuk sampai pada kehidupan kekal abadi di akherat. Oleh karena itu kita dapat melihat bahwa orang-orang yang hanya bertujuan untuk hidup di dunia ini saja, mereka akan menghalalkan segala cara untuk meraih cita-citanya. Para Imam Maksum as. berkata mengenai hal ini:

“Kecintaan terhadap dunia adalah pangkal setiap kesalahan.”[111]

C. Aturan dan keteraturan

Setiap saat keteraturan sosial dalam sebuah masyarakat terancam, mungkin pada waktu itu juga kebutuhan akan keamanan menjadi sangat urgent. Pada saat itulah rasa takut akan kehancuran membuat manusia benar-benar haus akan keamanan. Menurut para peneliti, pada kondisi aturan dan keteraturan, masyarakat akan mudah menerima diktatorisme atau pemerintahan militer; dan itu adalah biasa. Pernyataan ini berlaku bagi semua manusia, bahkan manusia-manusia yang sehat.[112]

Pada dasarnya, faktor kebutuhan manusia akan anturan dan keteraturan yang sebenarnya adalah kebermasyarakatan manusia. Ketidakberaturan dalam masyarakat akan menimbulkan keributan dan berbagai gangguan yang mana itu semua akan merusak ketentraman dan keamanan. Aturan memang membatasi kebebasan manusia, dan Tuhan serta naluri manusia itu sendiri yang menuntut keberadaannya. Sesungguhnya penyalahan aturan sampai kapanpun tidak memberikan keuntungan pada masyarakat.[113]

Menurut ajaran Islam, keteraturan adalah salah satu dari prinsip-prinsip kesehatan jiwa. Imam Ali as. dalam sebuah wasiatnya berkata:

“Aku mewasiatkan kepada kalian akan ketaqwaan dan keteraturan dalam urusan-urusan kalian.”[114]

Al Qur’an begitu banyak berbicara mengenai keberaturan dan peraturan:

“Kami telah mengutus utusan-utusan Kami dengan dalil yang jelas. Kami menurunkan kitab-kitab langit bersama mereka dan timbangan (pengukur kebenaran dan kebatilan) agar umat manusia mendirikan keadilan. Dan Kami telah menurunkan besi yang mana padanya terdapat kekuatan yang sangat dan bermanfaat bagi manusia.”[115]

Maksud timbangan dalam ayat di atas adalah aturan-aturan Tuhan yang merupakan tolak ukur nilai-nilai kebaikan dan keburukan. Adapun “besi” merupakan tanda jaminan dijalankannya aturan. Allah swt. juga berfirman:

“Dan Ia menurunkan kitab langit bersama mereka agar mereka (para utusan) menghukumi (memberikan solusi) dalam apa-apa yang mereka berikhtilaf mengenainya.”[116]

Mengenai masalah keteraturan dan aturan, Islam memberikan ajaran-ajarannya yang diantaranya adalah:

1. Memperhatikan kebutuhan-kebutuhan manusia secara keseluruhan.

2. Menganjurkan kita menghindar dari perkara-perkara yang tak penting. Imam Ali as. di sini berkata: “Orang yang menyibukkan dirinya dengan perkara-perkara yang tidak penting akan tercegah untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang penting.”[117]

3. Memperhatikan segi hubungan antara manusia dengan Tuhan.

4. Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan penting dalam kehidupan.

5. Menyalurkan kesenangan dan kegembiraan di jalan-jalan yang legal.[118]

6. Sedang-sedang saja dan tidak berlebihan.[119]

7. Terselesaikannya semua urusan-urusan yang perlu (yang mudah tidak gugur karena yang susah).[120]

3. Kebutuhan akan cinta dan ikatan (bergabung dan diterima)

Abraham Maslow berkata:

“Setelah kebutuhan fisiologi dan keamanan telah terpenuhi, muncullah rasa butuh akan cinta dan kasih sayang. Pada kondisi ini, manusia akan merasakan haus hubungan emosional dengan sesamanya dan lupa bahwa dahulu kala saat ia belum memenuhi kebutuhan fisiologinya, misalnya saat lapar, pernah menertawakan dan meremehkan rasa butuh akan cinta. Namun kini ia tertekan karena merasa kesepian, asing, tidak punya teman. Cinta dan kasih sayang di sini bukan bermakna gairah seksual, meskipun ada pengaruhnya pada kebutuhan seksual. Dari sisi lain, kebutuhan akan cinta juga meliputi “mencintai” dan “dicintai”.[121]

Banyak sekali bukti yang menunjukkan adanya hubungan antara depresi dengan relasi sosial. Karena saat berada di tengah-tengah sesama seorang manusia akan mendapatkan kesempatan untuk memperhatikan masalah-masalah orang lain. Dalam kondisi kebersamaan seorang manusia akan membandingkan dirinya dengan orang lain sehingga ia dapat mengambil kesimpulan seberapa harus merasakan ketakutan.[122]

Dalam ajaran Islam, dikenal bahwa dasar agama adalah kecintaan. Imam Muhammad Baqir as. berkata:

“Apakah agama adalah sesuatu selain cinta?”[123]

“Agama adalah kecintaan, dan kecintaan adalah agama.”[124]

Poin penting yang juga ditekankan dalam ayat-ayat dan riwayat adalah, pentingnya ikatan antara bergabung dan diterima. Cinta tidak bersifat searah, karena orang yang mencintai adalah orang yang melakukan apa yang diinginkan orang yang dicinta; lalu karena itulah orang yang dicintai tersebut mencintainya. Pada dasarnya cinta akan membuat seorang manusia bergerak menuju yang dicintai dan melakukan apapun yang diinginkan kecintaannya. Semakin tinggi cinta seseorang, maka semakin tinggi pula kadar jerih payah dan usaha yang dilakukannya untuk orang yang dicintai; khususnya jika motifasinya adalah kesempurnaan mahbub (yang dicintai).

Imam Baqir as. berkata:

“Manusia (cenderung) bersama orang yang ia cintai.”[125]

Dalam Al Qur’an disebutkan firman Allah kepada orang-orang yang mengaku mencintai Tuhan seperti ini:

“Jika kalian memang mencintai Allah, maka bergegaslah untuk menaati-Nya. Jika demikian maka Tuhan juga akan mencintai kalian.”[126]

Imam Shadiq as. berkata:

“Ujilah hatimu, jika ia mencintaimu, kamu pasti akan mencintainya juga.”[127]

Ayat-ayat seperti “Ia mencintai mereka dan mereka mencintai-Nya”[128] dan “Allah ridha akan mereka dan mereka juga ridha akan Allah.”[129] membukitkan adanya sifat dua arah dalam cinta kepada Allah swt. Al Qur’an juga memerintahkan orang-orang yang beriman untuk mencintai Ahlul Bait as.:

“Katakanlah bahwa aku tidak meminta upah apapun dari kalian selain kecintaan terhadap keluargaku.”[130]

Sebaik-baiknya contoh tentang tekanan jiwa karena keterasingan dalam Al Qur’an, adalah kisah saudara-saudara nabi Yusuf as. Ketika mereka merasa ayahnya lebih menyukai nabi Yusuf as. dan saudaranya Benyamin,[131] mereka berencana untuk membunuh Yusuf as. saudara mereka sendiri. Dengan demikian mereka menjadi perusak ketentraman keluarga Ya’qub as. Cinta dapat diibaratkan sebagai perekat yang kuat yang membuat umat manusia saling terikat antara satu sama lain. Tanpa adanya cinta masyarakat akan berpecah belah dan hanya mementingkan dirinya masing-masing. Namun dengan cinta semuanya saling berpegangan tangan dan bekerja sama.[132]

Dalam Al Qur’an Allah swt memberikan berita gembira-Nya kepada orang-orang yang beriman seperti ini: “Mereka yang memiliki iman dan melakukan amal saleh, Allah akan menciptakan kecintaan di hati setiap orang kepada mereka.”[133] Disebutkan juga nabi Ibrahim as. memohon kepada Allah swt. agar setiap orang mencintai anak-anaknya:

“Ya Tuhan, jadikanlah hati-hati setiap orang cinta dan cenderung pada mereka (anak-anakku).”[134]

Ketika nabi Musa as. mendengar putri-putri Syu’aib as. berkata bahwa ayah mereka telah tua dan tidak memiliki siapa-siapa, hatinya luluh dan terarik untuk berbuat baik pada mereka, ia memberi minuma kepada kambing-kambing mereka.[135] Al Qur’an memberikan contoh yang paling mulia akan cinta: “Saat Ahlul Bait sedang dalam keadaan puasa dan merasakan lapar, mereka memberikan makanan buka puasanya kepada anak yatim, orang miskin dan hamba yang tertawan.”[136] Meskipun diri mereka juga dalam keadaan butuh, seperti Anshar, mereka mendahulukan Muhajirin atas dirinya.[137] Sunah para utusan Allah swt. dan wali-wali-Nya adalah saling mencintai dan berbagi hati kepada sesama.

“Dan aku menginginkan kebaikan untuk kalian.”[138]

Alferd Adore menyebut perasaan pada sesama sebagai “cara pandang saudara besar” dan berkata:

“Umat manusia, selain memiliki amarah dan kebencian, mereka juga memiliki perasaan saling berdukacita yang dalam dan berbagi kepada sesamanya. Oleh karena itu mereka memiliki kecenerungan khas terhadap sesama seakan setiap orang dari meraka adalah satu anggota badan bagi satu tubuh yang disebut masyarakat.”[139]

Islam bertujuan untuk memberikan kebaikan dalam kehidupan bermasyarakat manusia dengan prinsip kecintaan dan pemenuhan kebutuhan; yang mana itu sendiri merupakan tanda legalitas hubungan sosial. Prinsip kecintaan dan pemenuhan kebutuhan ini benar-benar bertentangan dengan permusuhan dan iri dengki. Islam menganggap persahabatan dan kebersamaan dengan cara menunjukkan kecintaan sebagai jalan pemenuhan kebutuhan tersebut. Menyatakan kesukaan adalah deklarasi cinta. Seseorang berkata pada Imam Shadiq as. bahwa ia mencintai sahabatnya. Lalu beliau berkata kepadanya:

“Maka nyatakanlah rasa cintamu itu, karena itu akan membuat cintamu lebih dalam dan tertanam kuat.”[140]

Dalam riwayat lain disebutkan:

“Tidak ada kebaikan pada orang yang tidak mencintai seseorang dan tidak dicintai.”[141]

Imam Ali as. juga berkata:

“Hati setiap lelaki begitu liar, barang siapa dapat menjinakkannya, maka ia akan menjadi sahabatnya.”[142]

Riwayat di atas menunjukkan kepada kita bagaimana cara menarik kecintaan seseorang. Islam mengajarkan kita untuk berlomba-lomba mengucapkan salam dan menunjukkan kecintaan sebagai bukti bahwa Islam sangat mementingkan kecintaan terhadap sesama. Al Qur’an menyebutkan bahwa salah satu sifat Rasulullah saw. yang dikenal adalah pecinta umat dan penyeru kebaikan bagi mereka.[143] Mengenai beliau Al Qur’an bercerita:

“Kerepotan-kerepotan yang kalian berikan kepadanya begitu berat tapi ia bersikeras untuk memberi petunjuk kepada kalian.”[144]

Dalam ayat lainnya juga disebutkan:

“Seakan-akan engkau (wahai Rasulullah) seperti orang yang dicabut nyawanya saat mereka tidak mau beriman.”[145]

Salah satu perkara yang penting dalam suatu masyarakat adalah keseimbangan emosional. Setiap orang membutuhkan kasih sayang dan perasaan sesamanya. Karena itulah Islam juga sangat menekankan silaturrahmi. Dalam kumpulan kalimat-kalimat pendeknya Imam Ali as. berkata: “Kehilangan kawan-kawan yang dicintai adalah keterasingan.”[146] Namun perlu diingatkan juga bahwa motivasi di balik cinta dan persahabatan orang yang beriman adalah keridhaan Ilahi. Mereka membenci dan mencintai karen kecintaan terhadap Tuhan mereka.

4. Kebutuhan akan kehormatan dan kemuliaan

Abraham Maslow berkata bahwa semua manusia, kecuali orang-orang yang sakit jiwa, memiliki kecenderungan untuk menghormati diri sendiri dan juga sesamanya. Kita dapat mengkaji masalah ini dalam dua kategori terpisah:

1. Kecenderungan untuk memiliki kekuatan, keberhasilan dan kecukupan

2. Kepemimpinan dan kecenderungan untuk mendapatkan pengakuan (penghormatan orang lain terhadap individu)

Tergapainya kehormatan dan kemuliaan akan menciptakan rasa percaya diri dan sebaliknya, orang yang tidak merasa memiliki kemuliaan akan mewujudkan perasaan hina dan lemah.[147] Berdasarkan fakta ini, kebanyakan dari prilaku-prilaku buruk besumber dari tidak dimilikinya kemuliaan dan kehormatan.

Freud berkata:

“Gangguan-gengguan kejiwaan harus dianalisa pada rasa percaya diri.”[148]

Penghormatan dan kemuliaan yang paling mendalam dan sehat adalah penghormatan hak oleh orang lain terhadap seseorang, bukan kemasyhuran lahiriah dan pujian-pujian bohong.

Dalam pembahasan ini, poin terpenting yang harus kita perjelas adalah perbedaan pandangan Islam dan pandangan materialisme terhadapnya; karena seorang materialis berusaha mendapatkan kecintaan dan kekuatan juga penghormatan dari orang lain karena dorongannya untuk menjadi lebih dari yang lainnya (bersaing dengan sesamanya), namun seorang mukmin mencari kepribadian yang sesuai dengan risalah Ilahi, karena dalam pandangan Islam kemuliaan adalah miliki Tuhan, utusan-Nya, dan orang-orang yang beriman. Dalam salah satu doa Imam Zainal Abidin as. disebutkan: “Tuhanku, berikanlah kemuliaan padaku dan jauhkan rasa sombong dariku.”[149]

Islam melarang kita untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan kemuliaan dan kehormatan diri sendiri. Para Imam kita, meskipun mereka sesungguhnya mengenakan pakaian-pakaian yang kasar, (saat bertemu banyak orang) mereka melapisinya dengan pakaian yang bagus.[150]

Imam Ali as., dalam rangka membungkam mulut orang-orang kafir, secara terang-terangan membantu orang-orang miskin.[151]

Imam Ridha as. selalu menghias dirinya saat bertemu banyak orang dan mengenakan pakaian yang indah. Namun saat berada di rumah sendiri ia mengenakan pakaian yang kasar.[152]

Para Imam maksum memerintahkan umatnya untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan kemuliaan dirinya di tengah-tengah masyarakat, karena: “Orang yang beriman adalah orang yang mulia.”

Dengan penjelasan lain, seorang Muslim harus menjaga image ke-Musliman nya, dan ini juga termasuk risalah beragama. Imam Ali Zainal Abidin as. berkata dalam Sahifah-nya:

“Ya Tuhan, saat dalam keadaan yang darurat, jadikanlah aku senantiasa berpegang teguh pada-Mu, dan saat aku membutuhkan aku senantiasa meminta kepada-Mu, dan saat aku lemah aku senantiasa bersandar pada-Mu, dan di saat yang membahayakan aku senantiasa meminta pertolongan dari-Mu, dan jangan Kau biarkan aku memohon kepada selain-Mu.”[153]

Dalam Al Qur’an kehormatan dan kemuliaan sangat ditekankan sekali, karena manusia adalah makhluk terbaik di alam semesta. Allah swt. berfirman:

“Dan Kami telah memuliakan keturunan Adam.”[154]

Karl memberikan penjelasan bahwa manusia lebih berumur lama dan lebih giat berusaha daripada hewan-hewan lainnya, yang mana dengan kekuatan berfikirnya lah manusia membangun peradaban seperti yang dilihat sekarang ini.[155]

Imam Ali as. berwasiat kepada Imam Hasan as.:

“Kamu harus bijaksana dan tidak menjatuhkan dirimu dalam kehinaan, meskipun kaupikir dengan kehinaan itu engkau akan mendapatkan apa yang kau inginkan. Karena aku yakin tidak ada yang bisa kau dapat sesuatu jika kau membayarnya dengan kemuliaan diri. Janganlah menjadi budak dan pengabdi orang lain, karena Allah swt. telah menciptakanmu sebagai orang yang merdeka.”[156]

Karena kemuliaan dan kehormatan diri inilah Al Qur’an menyebut penciptaan manusia sebagai sebaik-baiknya penciptaan: “Maka maha suci Allah, pencipta yang paling baik.”[157] Oleh karena itu sikap kita perlu diperhatikan agar kemuliaan senantiasa terjaga:

“Saat ada pekerjaan-pekerjaan yang tidak penting, mereka melaluinya (tidak mengerjakannya).”[158]

“Saat orang-orang bodoh berbicara buruk kepada mereka, mereka tidak mempedulikannya.”[159]

Tentang pentingnya kemulian, cukup kita saksikan bahwa Islam melarang kita untuk menjadi hamba selain Tuhan. Hanya Allah swt. yang layak disembah dan sujud di hadapan-Nya. Tidak ada yang memiliki hak disembah kecuali Allah swt, karena syiar Islam adalah “Tiada Tuhan selain Allah swt.” Orang yang menginginkan kehormatan dan kemuliaan harus tahu bahwa itu semua adalah milik-Nya.

“Jika (kalian) mengnginkan kemuliaan, sesungguhnya kemuliaan semuanya adalah milik Allah.”[160]

5. Kebutuhan akan pengetahuan (ilmu, pemahaman dan pembuktian)

Abraham Maslow memaparkan masalah kebutuhan manusia terhadap pengetahuan dalam pembahasan aktualisasi diri dengan sudut pandang yang lebih luas. Ia berkata:

“Pada tingkatan yang paling tinggi, manusia membutuhkan ilmu pengetahuan dan makrifat untuk memenuhi rasa keingintahuannya. Sejarah umat manusia telah memberikan contoh terbaik untuk kita. Umat manusia di hadapan bahaya-bahaya besar kehidupan, seperti halnya kematian, selalu mencari dan bertanya-tanya akan hakikat sebenarnya, mereka tertarik pada fenomena-fenomena misterius yang tak diketahui, namun di hadapan hal-hal yang sudah diketahui, mereka menunjukkan reaksi kebosanan. Kebosanan dan rasa benci pada diri sendiri semacam ini sering didapati pada golongan orang-orang cerdas namun tidak memiliki aktifitas-aktifitas yang menantang mereka untuk maju. Kita sering menemukan perempuan-perempuan berpotensi dan cerdas yang tidak memiliki pekerjaan, lalu lambat laun tanda-tanda kebosanan dan kebencian terhadap diri ini muncul pada mereka. Dengan penjelasan lain, kita selalu bosan dengan sesuatu yang sudah kuno. Hal-hal yang sebelumnya dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan kita, dengan cepat sifat pemenuhan kebutuhan yang ada padanya sirna. Hal penting yang perlu diingat di sini adalah memisahkan kebutuhan-kebutuhan pengetahuan dan kebutuhan-kebutuhan aksi, karena kecenderungan pada pengetahuan pada dasarnya mencakup kecenderungan aksi.”[161]

Dalam agama Islam diyakini bahwa pahala orang yang mati dalam keadaan menuntut ilmu adalah pahala orang yang mati syahid:

“Jika kematian datang pada seorang penuntut ilmu, dan ia berada dalam keadaan ini, maka ia mati seperti matinya orang yang syahid.”[162]

“Seorang yang alim berada pada satu tingkatan lebih tinggi dari seorang syahid. Seorang syahid berada satu tingkatan lebih tinggi daripada seorang abid (penyembah). Tingkatan seorang alim jika dibandingkan dengan tingkatan semua makhluk di alam semesta seperti tingkatanku jika dibanding dengan yang paling rendah di antara mereka.”[163]

“Di hari kiamat kelak ada tiga kelompok yang dapat memberikan syafaat: para nabi, para ulama dan para syuhada.”[164]

Ayat pertama yang diturunkan kepada Rasulullah saw. adalah ayat yang berkenaan dengan ilmu dan pena.[165] Setelah berbicara tentang nikmat penciptaan, Allah swt. berbicara tentang ilmu.[166] Dalam Al Qur’an juga disebutkan bahwa para malaikat bersujud di hadapan nabi Adam as. setelah Allah swt. mengajarkan asma (nama-nama) kepadanya.[167] Kedudukan ilmu dalam Islam begitu tingginya sehingga Allah swt. memerintahkan nabi-Nya untuk berkata:

“Tuhanku, tambahkan ilmu padaku.”[168]

Nabi Musa as. Meskipun beliau adalah seorang nabi, tidak enggan memohon kepada nabi Khidir as. Untuk menjadi muridnya. Perbincangan kedua nabi dalam Al Qur’an disebutkan seperti ini:

“Apakah aku boleh mengikutimu agar engkau memberiku pengetahuan dari ilmu landunni-mu?”[169]

Kata rusyda dalam ucapan nabi Musa as. menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan merupakan perantara untuk berkembang dan sempurnanya manusia, bukan tujuan. Nabi Ibrahim as. dengan derajat kemuliaan yang ia miliki, untuk mendapatkan keyakinan yang lebih kuat, ia memohon kepada Allah swt. untuk menyaksikan bagaiamana Ia menghidupkan mahkluk yang telah mati.[170] Ini menunjukkan bahwa seorang nabi pun, setelah mencapai derajat kemuliaan tertinggi, ia tetap berusaha mencapai derajat yang lebih tinggi lagi, yaitu pengetahuan dan ketenangan jiwa yang dihasilkan olehnya; yakni keyakinan memiliki berbagai tingkatan, dan dalam ayat di atas nabi Ibrahim as. berusaha untuk mencapai tingkatan tertingginya.

Ketika para nabi mencapai derajat tinggi ilmu ladunni, mereka melihat ketenangan jiwa mereka ada pada kelanjutan pemahaman yang lebih tinggi. Pada saat itulah kewajiban manusia, sebagai makhluk yang tidak mengetahui apa-apa selain sedikit saja, menjadi jelas.[171] Contoh yang ditunjukkan dalam Al Qur’an berkenaan dengan rasa keingintahuan, adalah kisah Dzulqarnain. Setelah semua hal yang dibutuhkan telah tersedia—“dan Kami telah memberinya segala sesuatu sebagai wasilah dan perantara”—ia memulai perjalanannya menuju timur dan barat. Kisah bendungan Ya’juj dan Ma’juj menunjukkan jiwa Dzulqarnain yang pantang meneyerah dan selalu ingin tahu. Jika seandainya wasilah dan segala hal yang dibutuhkan oleh Dzulqarnain waktu itu deberikan kepada orang lain, belum tentu orang tersebut akan bangkit dan melakukan perjalanan ke barat dan timur seperti yang telah dilakukan oleh Dzulqarnain.[172]

6. Kebutuhan akan keindahan

Pada sebagian orang dapat ditemukan rasa butuh terhadap keindahan. Orang-orang seperti ini akan merasakan ketidaknyamanan saat berada di lingkungan yang penuh keburukan, dan sebaliknya akan merasa bahagia bila berada di lingkungan yang indah. Mereka orang-orang yang penuh rasa haus dan rindu, dan itu hanya dapat dipenuhi dengan keindahan. Keadaan seperti ini kira-kira ada pada setiap anak kecil yang sehat di setiap bangsa dan sejak zaman batu hingga nanti.[173]

Menurut pakar psikologi, emosi keindahan adalah salah satu dari empat aspek jiwa manusia yang mewujudkan berbagai seni. Islam juga mementingkan hal ini. Dalam Al Qur’an disebutkan: “Katakanlah, siapa yang telah mengharamkan hiasan-hiasan (yang diberikan oleh) Tuhan?”[174] Keindahan dan hiasan yang diberikan oleh Tuhan yang dijelaskan dalam ayat tersebut memberikan nilai kesucian pada keindahan. Lebih dari itu, ada anjuran dalam Islam jika seseorang mukmin memasuki masjid, hendaknya ia bersama dengan hiasan-hiasannya:

“Wahai anak Adam, ambillah hiasan kalian dari setiap masjid.”[175]

Sebagaimana yang dapat kita fahami, dalam ayat di atas lawan bicara Allah swt. adalah anak cucu Adam, yakni seua manusia. Jadi dianjurkan bagi setiap orang untuk membawa hiasannya bersamanya saat melangkahkan kaki di masjid. Imam Mujtaba as. selalu mengenakan pakaian terbaiknya saat melakukan ibadah shalat. Ketika ia ditanya, ia menjawab:

“Allah swt. adalah dzat yang maha indah dan Ia mencintai keindahan. Aku mengenakan pakaian yang indah untuk beribadah kepada Tuhanku dan Ia yang telah memerintahkan kita untuk membawa perhiasan kita saat pergi ke masjid.”[176]

Di riwayat lainnya disebutkan:

“Sesungguhnya Allah swt. indah dan Ia mencintai keindahan. Ia suka melihat tanda-tanda nikmat yang telah Ia berikan pada hambanya.”[177]

Tuhan yang telah memberikan rasa cinta kepada keindahan ini. Di saat kita melihat segala sesuatu pada unsur keindahannya, itu saja sudah termasuk ibadah. Seorang yang beriman saat menyaksikan keindahan, selain ia menikmatinya, ia juga merasa dekat dengan Tuhannya. Akan tetapi, menikmati keindahan dan mengambil perhiasan bagi diri sendiri, ada aturan-aturannya. Beberapa aturan dalam Islam terkait dengan masalah ini adalah:

A. Tidak menarik perhatian secara berlebihan

Dalam sebuah riwayat kita membaca:

“Sesungguhnya Allah swt. tidak menyukai pakaian kesombongan.”[178]

“Kehinaan seseorang cukup dengan saat ia mengenakan pakaian yang membuatnya sombong (dan menjadi perhatian banyak orang).”[179]

“Sebaik-baiknya pakaian di setiap zaman adalah pakaian zaman itu.”[180]

B. Tidak berlebihan

Kita harus memperhatikan haramnya sikap berlebihan dalam memanfaatkan nikmat-nikmat Tuhan dan menggunakan perhiasan-perhiasan. Oleh karena itu kita diharamkan untuk memakai perhiasan dengan berlebihan apa lagi bertujuan untuk kesombongan dan bangga diri. Al Qur’an mensifati orang-orang penyembah dunia seperti ini:

“Apakah kalian membangun simbol-simbol syahwat dan nafsu di tempat-tempat yang tinggi dan istana-istana yang kokoh; seakan-akan kalian akan hidup di dalamnya selamanya?!”[181]

7. Aktualisasi diri

Abraham Maslow berkata:

“Seorang musisi akan mendapatkan ketenangan dalam jiwanya saat ia memainkan alat musiknya. Begitu juga seorang pelukis akan mendapatkan ketenangan saat ia menggambar. Penyair juga seperti itu saat ia melantunkan syairnya. Setiap orang harus berupaya menjadi apa yang ia memang seharusnya. Dorongan dan kebutuhan inilah yang kita sebut aktualisasi diri. Istilah ini pada awal kalinya digunakan oleh Kurt Goldstein sebagai sebutan untuk dorongan manusia dalam mewujudkan potensi-potensinya; yang mana pewujudan potensi tersebut, ada pada diri setiap manusia, meskipun bersifat potensial. Dorongan seperti ini yang menciptakan dorongan-dorongan sepert berusaha untuk lebih dari ideal, menjadi pahlawan, menjadi inovator, pelukis ulung, dan seterusnya. Namun perlu diingat bahwa pemenuhan kebutuhan ini bergantung pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan di tingkatan sebelumnya: kebutuhan fisiologis, keamanan, cinta dan kasih sayang, serta kemuliaan.”[182]

Dorongan dan kebutuhan terhadap aktualisasi dapat disaksikan pada orang-orang yang kecenderungannya pada kesempurnaan dan maksimalisasi prilaku begitu kuat. Ciri-ciri orang yang haus kesempurnaan adalah:

1. Tidak mencari pekerjaan yang mudah.

2. Mencari pekerjaan yang dapat dibandingkan dengan pekerjaan orang lain.

3. Gigih dalam bekerja.

4. Tingkatan harapan-harapannya tinggi.

5. Mengkontrol pekerjaan dan selalu waspada.

Mengenai aktualisasi dalam pandangan Islam, dapat dijelaskan seperti ini: umat manusia merupakan tambang emas dan perak, lalu para nabi datang untuk mengeluarkan emas dan perak itu. Dalam sebuah riwayat disebutkan:

“Manusia adalah tambang, seperti tambang emas dan perak.”[183]

Dalam Al Qur’an diterangkan bahwa tidak ada makhluk selain manusia yang derajat tertinggi dan terendahnya begitu menakjubkan. Derajat tertinggi manusia adalah sebagai makhluk yang mana para malaikat bersujud di hadapannya,[184] menjadi khalifah Allah swt. di muka bumi,[185] para pengemban amanat Ilahi,[186] dan makhluk yang telah diciptakan dengan bentuk yang terbaik.[187] Ketika manusia selalu melakukan amal yang saleh, ia akan mencapai derajat makhluk yang tertinggi.[188] Manusia dapat mencapai suatu tingkatan yang mana ia hanya akan melihat Tuhan karena begitu dekat dengan-Nya: “Maka jadilah ia dekat sejarak dua ujung busur panah atau lebih dekat lagi.”[189] Pada peristiwa mi’raj Rasulullah saw. begitu dekat dengan Allah swt. sampai malaikat Jibril berkata padanya:

“Jika aku naik lebih tinggi lagi, sayap-sayapku akan terbakar.”[190]

Dalam perjalanan maknawi ini, diri manusia tidak dapat ditukar dengan selain surga. Imam Ali as. berkata:

“Harga diri kalian tidak kurang dari surga. Maka janganlah kalian jual diri kalian kecuali untuk mendapatkan surga.”[191]

Dalam pandangan ini, diri manusia merupakan ringkasan alam semesta, sebuah wujud di hadapan alam semesta yang luas. Dalam sebuah kitab syair yang dinisbatkan kepada Imam Ali as. terdapat sebuah syair yang isinya:

“Apakah engkau mengira dirimu sesuatu yang kecil? Padahal dalam dirimu terdapat alam yang luas.”[192]

Adapun derajat terrendah manusia adalah derajat yang lebih hina dari hewan.[193] Manusia hatinya bisa lebih keras dari kerasnya batu.[194] Paling rendahnya derajat manusia ini disebut dalam Al Qur’an sebagai Asfalus Safilin,[195] tingkatan dimana manusia-manusia hina jatuh kedalamnya.[196]

Dalam perjalanan ini, baik perjalan menuju tingkata tertinggi ataupun tingkatan terhina, manusia bebas berkehendak. Apapun yang ditanam manusia itulah yang kelak akan ia dapatkan hasilnya. Namun sejujurnya tidak ada yang dapat didapat oleh manusia selain apa yang telah diusahakannya. Allah swt. berfirman: “Dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.”[197] Kata sa’y dalam bahasa Arab berarti berjalan dengan cepat dan berusaha. Al Qur’an menitik beratkan usaha, bukan amal; yakni yang terpenting adalah usaha, bukan sampai atau tidaknya kepada tujuan; yang menjadi asas adalah taklif, bukan hasil amal perbuatan. Apa yang dipahami dari ayat adalah akherat, namun tolak ukur sebenarnya adalah keduanya. Dalam ayat lainnya disebutkan:

“Katakanlah bahwa tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya (prilaku dan kepribadiannya).”[198]

Kata syakilah pada ayat di atas berakar pada kata syakl yang berarti menjinakkan hewan. Hubungan antara prilaku dan malakah (keadaan telah menjadi tetap dan mendarahdaging) seperti hubungan antara tubuh dan jiwa. Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa di antara keduanya terdapat suatu keterikatan khusus. Syakilah (keadaan) manusia ada dua macam:

A. Terwarisi dan sudah ada sejak manusia dilahirkan.

B. Tergapai dan didapatkan karena usaha, lalu menetap dan mendarahdaging pada manusia.

Yang menjadi penentu amal perbuatan manusia adalah malakah-malakah macam kedua, oleh karena itu pahala dan siksa yang didapat manusia bertumpu pada ikhtiar dan kehendak diri manusia sendiri, bukan paksaan.[199]

Berdasarkan apa yang telah lalu, aktualisasi diri dalam tingkatan tertinggi manusia merupakan hal yang terpuji dan itulah tujuan diutusnya para nabi, karena agama memerintahkan kita untuk memandang diri kita dengan pandangan positif, kita harus merasakan kemerdekaan dan kemandirian, tidak boleh memandang diri dengan pandangan kehinaan, kelemahan dan keraguan.

Namun pembahasan aktualisasi diri harus disertai dengan prinsip penerimaan keadaan dan penilaian hakiki akan diri sendiri dan manusia harus selalu berada pada keadaan khauf wa raja (keadaan takut dan harapan). Karena mungkin saja manusia tidak dapat mengemban amanat ini lalu dikenal dengan dzalum (amat zalim) dan jahul (amat bodoh). Dalam doa Makarimul Akhlak, Imam Zainal Abidin as. berkata:

“Tuhanku, janganlah Engkau tinggikan derajatku diantara manusia kecuali pada saat yang sama Engkau ciptaan rasa hina bagi diriku sendiri di dalam hati ini.”[200]

Berdasarkan prinsip penerimaan keadaan, manusia merasa lemah di hadapan kehendak dan keputusan Tuhan. Prinsip ini tidak bertentangan dengan aktualisasi diri dan pada dasarnya merupakan penilaian hakiki terhadap diri sendiri; penilaian yang bertumpu pada tawakal dan harapan pada kekuatan Allah swt. yang tak akan sirna dan juga usaha, rasa cukup serta kemerdekaan dan akan mengantarkannya kepada tujuan yang hakiki.

8. Kebutuhan spiritual (penyembahan)

Abraham Maslow berkata:

“Kecenderungan pada agama dan falsafah mendunia yang membuat seseorang yakin bahwa alam semesta dan umat manusia yang tinggal di dalamnya adalah sebuah keutuhan yang teratur dan memuaskan, pada kadar tertentu memiliki hubungan dengan kebutuhan manusia akan keamanan. Di sini kita menganggap agama dan falsafah sebagai kebutuhan akan keamanan.”[201]

William James dalam buku Din va Ravan (Agama dan Jiwa) berkata:

“Dalam kebanyakan kitab-kitab suci agama-agama, ada tiga hal yang begitu dipentingkan: qurban atau mempersembahkan tumbal, pengakuan dosa atau taubat, dan yang terakhir doa.”[202]

Pemberian tumbal untuk tuhan-tuhan dapat kita saksikan pada agama-agama primitif manusia.

Salah satu sisi kejiwaan manusia yang paling penting dan dapat dilihat sejak dahulu kala hingga sekarang adalah penyembahan. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa di manapun dan kapanpun ditemukan manusia, di situ juga ada yang namanya ibadah dan penyembahan, meskipun obyek yang disembah berbeda-beda satu sama lain. Para nabi datang tidak untuk mengajarkan penyembahan kepada umat manusia, namun mereka mengajarkan bagaimana cara menyembah serta menghindarkan manusia dari kesyirikan. Menurut kebanyakan ulama, umat manusia pada mulanya adalah umat yang bertauhid, lalu lambat laun menyimpang dan menjadi musyrik. Naluri untuk menyembah, atau disebut juga naluri beragama, terdapat pada diri setiap manusia.[203]

Enstein setelah mengkategorikan jalan-jalan religius dan agama menjadi tiga kelompok, menerangkan bahwa kelompok ketiga adalah “ajaran eksistensi”. Ia berkata:

“Di jalan ini, dalam diri seseorang akan muncul sedikit percikan spiritualitas di balik perkara-perkara materi yang dihadapinya. Ia akan menganggap dirinya bagaikan sebuah sangkar yang memenjarakannya. Ia ingin terbang dari sangkar itu dan menggapai hakikat alam semesta sebagai satu eksistensi.”[204]

Penelitian seorang psikolog Inggris, Hendri Lang, yang dilakukan terhadap puluhan ribu orang stres dan pelaku kejahatan membuktikan bahwa orang-orang yang memiliki keyakinan pada suatu agama, atau orang-orang yang terikat pada suatu jenis ibadah, memiliki kepribadian manusiawi yang lebih tinggi dan jika dibandingkan dengan orang-orang yang tidak beriman dan tak pernah beribadah, mereka lebih memiliki kemulian.[205]

Para peneliti Pusat Penelitian Psikologi Universitas Saint Louis dalam buku Faktor-Faktor yang Terlupakan dalam Kesehatan Jiwa menulis:

“Orang-orang yang paling tidak seminggu sekali pergi ke gereja, lebih sedikit mengalami gangguan kejiwaan.”[206]

Dalam hal ini Syahid Muthahari juga berkata:

“Berdoa dan beribadah adalah tabib untuk jiwa kita; yakni jika olahraga penting untuk kesehatan kita, jika air bersih penting untuk disediakan di rumah, begitu juga dengan doa dan ibadah. Jika seseorang menyisakan beberapa saat dalam sehari untuk berdoa dan menengadahkan kepalanya kepada Allah swt., betapa hatinya akan menjadi bersih.”[207]

Manusia secara alaminya ketika menghadapi kesusahan ia akan bersandar pada kekuatan supranatural. Dalam Al Qur’an disebutkan bahwa ketika orang-orang telah putus asa pada pertolongan-pertolongan yang bersifat materi, barulah mereka mengingat Tuhan dan meminta pertolongan dari-Nya:

“Dan ketika manusia berada dalam tekanan mara bahaya, saat itu mereka mau berdoa kepada-Ku baik dalam keadaan duduk atau berdiri.”[208]

Dalam pandangan Al Qur’an, tujuan dari penciptaan manusia dan jin adalah ibadah:

“Dan tidaklah Kami menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah pada-Ku.”[209]

Karena ibadah adalah puncak kesempurnaan manusia dan kedekatannya dengan sang Pencipta serta bentuk kepasrahan di hadapan-Nya. Ibadah adalah seorang hamba menyesuaikan dirinya dengan sifat-sifat jamal dan sifat kamal lalu terbang bermi’raj dengan perantara shalat.[210] Imam Ali as. berdoa kepada Allah swt. seperti ini:

“Ya Allah, cukup menjadi kebanggaan bagiku karena aku adalah hamba-Mu dan cukup bagiku merasa mulia karena Engkau-lah Tuhanku.”[211]

Al Qur’an menceritakan kisah pertama kalinya terjadi pembunuhan di muka bumi:

“Saat mereka berdua mempersembahkan korban (berqurban) lalu diterima salah satu dari mereka dan yang lain tidak detirima, lalu (orang yang tidak diterima korbannya) berkata “Aku sungguh akan membunuhmu.”[212]

Dalam ayat di atas diterangkan bahwa penyebab rasa hasud pada diri Qabil adalah tidak diterimanya persembahan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa motivasi pertama kali pembunuhan yang pernah terjadi di dunia ini adalah tidak terpenuhinya kebutuhan beribadah. Kesalahan utama Qabil saat itu adalah, ia lupa bahwa syarat diterimanya peribadatan adalah ketaqwaan, bukan ancaman dan tekanan.[213]

Maslow, dalam buku Ofoqhaye Valatar Az Fetrat e Ensan (Ufuk-Ufuk yang Lebih Tinggi dalam Fitrah Manusia), menjelaskan sekumpulan kebutuhan-kebutuhan naluriah (fitri) manusia yang tinggi. Kebutuhan-kebutuhan fitri tersebut akan muncul setelah terpenuhinya silsilah kebutuhan fisiologis, keamanan, cinta dan kasih sayang, dan aktualisasi diri. Kebutuhan-kebutuhan yang dimaksud adalah:

1. Kebenaran (kejujuran, hakikat, tiadanya keraguan, keanggunan, keikhlasan)

2. Kebaikan (berbuat baik, ideal, bertindak sepatutnya, selalu menuntut kebaikan)

3. Keindahan (benar, elok, sederhana, kaya, sempurna)

4. Keumuman (persatuan, kesatuan, hubungan timbal balik, tiadanya perpecahan)

5. Hidup (motifasi diri, aksi sempurna, perubahan dalam ketetapan)

6. Kesatuan (kriteria pribadi, kekhususan, tak dapat diperbandingkan)

7. Kesempurnaan (meletakkan segalanya pada tempat yang seharusnya, menjadi sebagaimana yang seharusnya)

8. Sempurna (meyakinkan, tanpa kekurangan)

9. Keadilan (adil, layak, tidak memihak, keteraturan)

10. Kesederhanaan (apa adanya dan tidak membuat-buat)

11. Kekayaan (nilai lebih, pentingnya segala hal)

12. Kemudahan (tak perlu usaha, beriwibawa dan berkualitas)

13. Kesuburan (rekreasi, keceriaan, disibukkan)

14. Rasa Cukup (tidak butuh orang lain, menguasai lingkungan, identitas)[214] .