Qur'an dan Tekanan Jiwa

Qur'an dan Tekanan Jiwa0%

Qur'an dan Tekanan Jiwa pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Al Qur'an Al Karim

Qur'an dan Tekanan Jiwa

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

pengarang: Sayid Ishaq Husaini Khushari
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Pengunjung: 10041
Download: 3721

Komentar:

Qur'an dan Tekanan Jiwa
Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 12 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 10041 / Download: 3721
Ukuran Ukuran Ukuran
Qur'an dan Tekanan Jiwa

Qur'an dan Tekanan Jiwa

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Bab 4: Cara-cara menghadapi Tekanan Jiwa

Pendahuluan

Cara-cara menghadapi tekanan jiwa dapt dipraktekkan untuk mencapai dua tujuan utama:

1. Mengurangi kemungkinan seseorang terkena tekanan jiwa saat menghadapi masalah-masalah yang berat dan berpotensi memicu stres.

2. Mengatasi dan menangani tekanan jawa saat seseorang sedang mengalaminya.

Untuk menghadapi masalah hidup tidaklah mudah, kita perlu melakukan banyak pembenahan dalam diri kita, baik membenahi cara berfikir, membenahi cara berprilaku dan juga membenahi bagaimana kita berperasaan (menata hati).

Membenahi cara berfikir

Di sini segalanya berhubungan dengan pemahaman pemikiran seseorang terhadap peristiwa atau hubungan antara individu tersebut dengan perisiwa-peristiwa, bagaimana seseorang memaknai hidupnya. Cara-cara menghadapi tekanan jiwa melalui pembenahan pemahaman di antaranya adalah:

1. Kembali kepada fitrah

Ketenangan jiwa pada prinsipnya kembali kepada fitrah manusia. Fitrah adalah sesuatu yang alamiah pada diri manusia yang keberadaannya tidak terbatas pada obyek dan masa tertentu saja. Sebagaimana yang dijelaskan dalam Al Qur’an bahwa penyakit-penyakit jiwa yang dialami oleh hamba-hamba pendosa berakar pada fitrah mereka. Oleh karena itu kembali kepada fitrah adalah cara terbaik menangani dan bahkan mengatasi tekanan jiwa. Dalam pembahasan fitrah penting sekali kita membahas beberapa masalah di bawah ini:

A. Peranan fitrah dan syahwat

B. Mengalirnya fitrah

C. Kriteria-kriteria fitrah

D. Fitrah, satu-satunya obat ketenangan jiwa

E. Dampak-dampak melenceng dari fitrah

A. Peranan fitrah dan syahwat

Dalam ajaran Islam, manusia dapat menempuh salah satu di antara dua perjalanan: perjalanan naik ke atas yang disebut dengan as sair al ufuqi, yakni perjalanan yang dipimpin oleh akal dan fitrah (jiwa yang tenang); yang kedua perjalanan menurun kebawah yang disebut as sair an nuzuli, yang dipimpin oleh nafsu dan syahwat (jiwa yang sakit). Dalam diri manusia selalu berkecamuk dua dorongan antara mengikuti fitrah atau mengikuti syahwat. Saat seseorang memilih salah satu di antara keduanya, yang kedua itu tidaklah sirna, namun hanya melemah dan tersembunyi; pada saat-saat tertentu bisa jadi sisi yang terlupakan itu muncul kembali. Keduanya selalu bersifat seperti itu selamanya hingga akhir umur manusia. Tidak diragukan bahwa berat atau ringannya salah satu dari kedua itu dalam timbangan jiwa manusia memberikan dampak-dampak tertentu.

Imam Ali as. berkata:

“Allah swt. menciptakan para malaikat dan hanya memberi mereka akal. Lalu Allah swt. menciptakan binatang dan hanya memberi mereka syahwat tanpa memberi akal. Namun Allah swt. menciptakan manusia dengan memberi mereka akal sekaligus syahwat. Maka orang yang akalnya mengalahkan syahwatnya, ia lebih tinggi dari para malaikat dan orang yang syahwatnya mengalahkan akal, ia lebih rendah dari binatang.”[420]

Imam Ali as. membandingkan antara akal dan syahwat. Lalu tentang syahwat beliau berkata:

“Kesalahan-kesalahan yang mana merupakan syahwat, bagaikan kuda yang liar yang membawa penunggangnya kemana-mana dan melemparkannya ke dalam api neraka; dan ketakwaan adalah akal, bagaikan tunggangan yang jinak dan tenang yang membawa penunggangnya masuk ke dalam sorga abadi.”[421]

B. Mengalirnya fitrah

Kata fitrah pada awal mulanya disebutkan dalam Al Qur’an dan orang-orang Arab sebelumnya tidak mengetahui maknanya.[422] Fitrah sama seperti insting dan naluri, namun berada lebih tinggi darinya. Lebih dari itu, insting identik dengan perkara-perkara materi, namun fitrah identik dengan perkara-perkara maknawi dan manusiawi. Al Qur’an menjelaskan bahwa fitrah mengalir pada diri setiap manusia dan tetap padanya. Disebutkan: “Allah Tuhan kami yang telah memberikan nikmat keberadaan (telah menciptakan) kepada semuanya dan memberinya petunjuk menuju kesempurnaan.”[423] “Dan Dia yang telah memberikan kadar pada segalanya dan mengarahkannnya.”[424] “Ia yang telah mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya.”[425] “Dan mengilhamkan padanya keburukan dan kebaikannya.”[426] “Ia telah menjelaskan jalan menuju sorga dan neraka dan juga jalan kebenaran serta kebatilan.”[427] “Ia telah memudahkan jalan petunjuk kepadanya.”[428] Perlu kita yakini bahwa Allah swt. tidak memaksakan surga dan neraka bagi manusia, manusia sendiri yang memilih jalan apa yang harus ditempuh.[429] Lalu Al Qur’an memerintahkan manusia untuk mengikuti fitrahnya:

“Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama yang suci, yang mana fitrah telah diciptakan berdasarkan itu.”[430]

Islam disebut dengan hanif yang artinya adalah suci dan simbang (saat tubuh bertumpu pada titik di antara dua kaki).[431] Karena agama ini adalah agama keseimbangan, maka ketika seseorang bertentangan dengan fitrahnya dan ajaran agamanya berarti ia telah kehilangan keseimbangan batinnya dan tidak normal.[432] Menurut Al Qur’an, keluar dari jalur fitrah dan agama suci Ibrahimi ini adalah suatu bentuk penyakit jiwa yang disebut dengan kebodohan:

“Dan barang siapa enggan akan agama Ibrahim, maka tak lain ia telah membiarkan dirinya sendiri bodoh.”[433]

Dalam Tafsir Al Mizan disebutkan bahwa menolak agama Ibrahim as. sama seperti kebodohan dan tidak faham akan keuntungan dan kerugian bagi diri sendiri. Dalam sebuah hadis disebutkan:

“Akal adalah sesuatu yang dengannya Allah swt. disembah dan dengannya pula surga itu digapai.”[434]

C. Kriteria-kriteria fitrah

Fitrah memiliki banyak sekali kriteria yang di antaranya adalah:

1. Bersifat umum

Fitrat bagi seluruh umat manusia sama. Oleh karena itu kita dapat menciptakan satu hukum global yang berlaku bagi semuanya. Sebagai contoh, kita harus memperlakukan orang lain dengan sebagaimana kita suka diperlakukan sedemikian rupa dan tidak boleh sebaliknya.[435] Rasulullah saw. juga bersabda:

“Bersikaplah kepada sesamamu sebagaimana kamu ingin disikapi seperti itu oleh mereka.”[436]

2. Murni dan jauh dari polesan

Seorang anak kecil, selama ia tidak mempelajari sifat-sifat buruk seperti berbohong dari lingkungan sekitar dan keluarganya, mereka akan selalu berkata jujur. Rasulullah saw. mengibaratkan hati anak-anak kecil seperti ladang yang masih kosong dan benih apa saja yang ditebar di atasnya pasti akan tumbuh besar.[437] Dalam riwayat lainnya beliau bersabda:

“Setiap manusia dilahirkan pada fitrah yang suci, lalu orang tuam mereka lah yang menjadikannya pengikut Yahudi atau Masehi.”[438]

3. Neraca kebaikan dan keburukan

Berdasarkan Al Qur’an, seseungguhnya manusia menyadari keadaan dirinya, meskipun ia mengemukakan alasan-alasannya.[439] Allah swt. telah menjelaskan jalan-jalan menuju surga dan neraka kepadanya.[440] Ia yang telah mengilhamkan kepadanya kebaikan dan keburukannya.[441] Ustad Muhammad Taqi Ja’fari menyebut fitrah sebagai neraca kebaikan dan keburukan, sebuah neraca yang menunjukkan jalan kepada manusia melalui empat tahapan:

A. Pemahaman akan kebaikan dan keburukan

B. Mewujudkan dorongan untuk berkembang

C. Menyingkap dan memberikan aturan dalam rangka memenuhi dorongan-dorongan untuk berkembang menuju kesempurnaan

D. Menunjukkan jalur menuju perkembangan dan jalur ketergelinciran

Fitrah yang ada di diri manusia dalam menimbang masalah bekerja dengan dua bentuk: menimbang realita-realita berdasarkan fitrah yang jelas dan rasional serta mewujudkan reaksi emosional terhadap prilaku diri sendiri. Jadi fitrah memiliki dua dimensi emosional dan rasional yang mana keduanya digunakan untuk menimbang kebaikan dan keburukan.[442]

4. Mencela diri sendiri saat berbuat salah

Karena fitrah bersifat condong kepada kesempurnaan, maka saat seseorang melenceng dari jalur menuju kesempurnaan dirinya secara alamiah akan merasakan penyesalan dan cacian terhadap diri sendiri. Al Qur’an menyebut keadaan fitrah ini dengan sebutan nafsul lawwamah (jiwa yang mencaci).[443] Dengan mekanisme pencacian terhadap diri sendiri, fitrah mendorong manusia untuk kembali kepada jalan yang benar. Dalam keadaan ini muncul kegelisahan dan tekanan jiwa dan terkadang tingkat keparahannya tinggi serta mendorong seseorang untuk bunuh diri.[444]

Penyesalan dan taubat nabi Adam as.,[445] keadaan Qabil setelah membunuh saudaranya,[446] penyesalan manusia di hari kiamat atas kawan-kawannya yang sesat,[447] adalah contoh-contoh yang diisyarahkan Al Qur’an dalam menggambarkan nafsul lawwamah.

D. Fitrah, satu-satunya obat ketenangan jiwa

Poin penting yang perlu disinggung dalam masalah kesehatan jiwa adalah tidak cukupnya dijalankannya satu atau dua ajaran agama saja dalam mencapai kebahagiaan. Manusia harus menjalankan semua ajaran Tuhan[448] agar ia dapat mencapai kebahagiaan abadi. Al Qur’an menyebut seluruh ajaran-ajaran suci Islam sebagai jembatan yang lurus (shiratul mustaqim).[449] Seorang manusia harus memiliki keimanan dan pandangan yang benar agar tidak melenceng dari jalan yang lurus,[450] karena jalan-jalan yang lain hanyalah jalan kesesatan. Sekumpulan ajaran-ajaran Al Qur’an adalah dzikrullah (dzikir dan mengingat Allah swt.). Menjalankan dan memperhatikan semua ajaran itu membuat manusia berada dalam ketentraman, ketenangan jiwa, pertumbuhan dan kedekatan kepada Allah swt.[451] Sebaliknya melenceng dari fitrah adalah kesesakan jiwa.[452] Al Qur’an menyebutkan bahwa shiratul mustaqim itu adalah jalan Allah yang lurus dan selain orang-orang yang beriman, beramal saleh, orang yang saling menasehati akan kebaikan dan kesabaran, adalah orang-orang yang merugi.[453]

E. Dampak-dampak melenceng dari fitrah

Orang yang melenceng dari fitrah bagaikan seekor laba-laba yang melilit diri dengan sarangnya sendiri, semakin banyak hal yang dilakukannya, kebingungan dan kesesatannya semakin jauh pula.[454] Berjalan di luar jalur fitrah adalah pelencengan yang besar dan membuat hati menjadi terhijabi, cacat, akal menjadi kalah nafsu memenangi.[455] Dalam keadaan ini akan timbul berbagai macam penyakit hati yang di antaranya adalah:

1. Hati bagai besi yang berkarat

Imam Shadiq as. berkata:

“Dengan berbuat dosa, muncul satu titik hitam dalam hatinya yang mulanya putih bersih. Jika ia terus menerus berbuat dosa, maka titik hitam itu akan semakin banyak hingga seluruh hatinya menjadi hitam. Dalam keadaan ini hati seperti besi yang berkarat. Oleh karena itu Allah swt. berfirman: “Sekali-kali tidak, sesungguhnya apa yang telah mereka lakukan telah menutupi hati mereka.”[456]

2. Hijab yang menutupi hati

Hijab yang menutupi hati membuat manusia tidak dapat melihat hakikat-hakikat.[457] Mereka adalah orang-orang yang mata kepalanya terbuka namun mata hatinya buta.[458]

3. Rasa takut yang sangat

Rasa takut yang sangat membuat seseorang lari dari peperangan yang diwajibkan Allah. Meskipun mereka nampaknya adalah orang yang bersatu dan bicaranya menarik, namun nyatanya mereka bercerai-berai dan tidak berguna. Al Qur’an berkata tentang orang-orang yang berpenyakit ini:

“Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang berada dalam kegelapan gulita lalu kilatan petir menyambar dan membuat mereka begitu takut akan kematian (mereka khawatir petir itu akan menyambar mereka).”[459]

“Rasa takut telah menguasai hati mereka… Kalian menyangka mereka bersatu, namun nyatanya hati-hati mereka bercerai-berai.”[460]

“Dhahir mereka terhiasi dan indah, perkataan-perkataan mereka juga menarik, namun kenyataannya mereka bagaikan kayu kering dan rapuh yang menyangga sebuah dinding.”[461]

2. Memahami permasalahan

Merujuk kepada orang yang ahli dalam memecahkan suatu permasalahan, adalah upaya yang rasional baik dalam urusan-urusan materi maupun spiritual. Al Qur’an menyarankan kita untuk merujuk kepada orang-orang yang pakar dalam segala urusan. Disebutkan bahwa:

“Dan bertanyalah kepada ahlul dzikr (orang yang mempunyai pengetahuan) jika kalian tidak mengetahui.”[462]

Ayat ini mengarahkan semua manusia pada sebuah prinsip yang rasional. Atas dasar ini, orang yang memiliki masalah kejiwaan, hendaknya merujuk kepada para ahli jiwa.[463]

Ahlul Bait as. menjelaskan bahwa ahlul dzikr (orang-orang yang memiliki pengetahuan) adalah Rasulullah saw. dan para imam. Imam Ja’far Shadiq as. berkata:

“Kami adalah ahlul dzikr dan hendaknya siapa saja bertanya kepada kami.”[464]

Namun yang pasti riwayat tersebut berusaha menunjukkan obyek yang paling sempurna dari ahlul dzikr dan menerima riwayat tesebut tidak bertentangan dengan ke-umuman ayat. Oleh karena itu para faqih dan ahli ilmu ushul untuk menetapkan kewajiban taqlid menjadikan ayat di atas sebagai dalil dan alasannya. Perlu diingat juga di sini bahwa yang dimaksud “memahami permasalahan” tidak hanya terbatas dalam merujuk kepada para ahli, kita juga harus memahami dengan sendirinya akan lingkungan sekitar yang menjadi lahan munculnya faktor-faktor stres dan tekanan jiwa. Imam Ali as. begitu mementingkan pemahaman akan situasi dan kondisi:

“Merubah sistim pemerintahan, adalah merubah (nilai-nilai sosial dan) kondisi.”[465]

“Orang yang berfikiran luas dan tajam adalah orang yang memahami kondisi dan masanya.”[466]

“Orang yang memiliki pemahaman lebih banyak akan zaman, ia tidak akan terheran-heran akan peristiwa yang terjadi di zaman itu.”[467]

Jadi, di antara cara menangani tekanan jiwa adalah merujuk kepada para ahli, mengenal waktu dengan baik dan dalam, dan bersikap baik terhadap masyarakat. Karena dalam pandangan psikologi untuk mencegah terjadinya gangguan-gangguan kejiwaan kita perlu memperhatikan sistim-sistim prinsip dan cabang-cabangnya.[468]

Yang jelas mengutarakan pertanyaan harus dengan tujuan agar kita bebas dari kebodohan dan mendapatkan pengetahuan dengan tulus. Karena pertanyaan-pertanyaan bodoh[469] seperti yang pernah ditanyakan oleh Bani Israil[470] hanya akan menciptakan rasa was-was dalam diri manusia dan justru mempersulit urusan. Oleh karena itu kita dilarang untuk bertanya dengan pertanyaan-pertanyaan yang bodoh.[471]

3. Nalar keseimbangan (mencari makna)

Nalar keseimbangan, adalah sebuah teori yang dituarakan oleh Antonovsky pada tahun 1987. Teori itu adalah hasil penelitiaannya yang dilakukan terhadap para mantan pekerja paksa. Ia mendapati beberapa orang di antara mereka, meskipun telah mengalami tekanan dan beban yang berat dalam kesehariannya, namun mereka tetap sehat secara fisik dan psikis.[472]

Victor Francle juga mengadakan penelitian yang sama dan ia berkata:

“Mengapa sebagian orang dari mereka dapat bertahan sedangkan kebanyakan yang lainnya tidak? Mereka yang bertahan hidup adalah orang-orang yang tetap menjaga harapannya untuk tetap hidup di dalam hati meskipun sesusah apapun hari yang harus mereka jalani. Mereka semua sama-sama pernah merasakan kelaparan, kegelisahan, siksaan gaik fisik maupun psikis; namun mereka yang berhasil untuk tetap hidup dapat keluar dari lingkaran siksa itu dan hidup dengan normal selayaknya orang biasa. Menurut mereka, apa yang telah membuat mereka bisa bertahan di hadapan fenomena pembunuhan, pembantaian dan seluruh kejahatan kekejaman rezim Nazi?”

Kemudian Francle mendapatkan jawabannya yang berdasarkan ucapan Neitzche dan ia menyimpulkan:

“Orang yang memiliki alasan dan harapan, akan kuat menjalani segala keadaan.”[473]

Agama Islam memberikan ajaran-ajaran sucinya kepada manusia agar memiliki pandangan dunia yang benar. Orang-orang yang beriman mempercayai akan adanya campur tangan Tuhan dan para malaikat-Nya dalam pengaturan alam semesta. Mereka menerima keadaan apa saja yang menimpa diri mereka dengan tulus. Oleh karena itu para nabi dan orang-orang yang dekat dengan Allah swt. memiliki watak yang tegar dan tangguh. Al Qur’an menyebutkan tentang mereka:

“Mereka adalah orang-orang yang ketika mendengar ada yang memberi kabar: “sekelompok musuh sedang berkumpul untuk menyerang dan memerangi kalian, maka takutlah akan mereka!” Justru iman mereka semakin bertambah dan berkata: “Cukup bagi kami Allah swt. sebagai Tuhan kami dan Ia adalah sebaik-baiknya penolong.”

Dan juga mereka yang berkata “Tuhan kami adalah Allah.”, lalu mereka bertahan dan bersabar, para malaikat Allah akan membantu mereka. Mereka bukan orang yang takut, dan juga tidak bersedih akan kesusahan.”[474]

Manusia yang memiliki iman, tidak merasa takut akan kekurangan dan kezaliman.[475]

Para wali Allah swt. sama sekali tidak merasakan takut dan kesedihan dalam hati mereka.[476] Saat mereka tertimpa musibah, mereka mengucapkan “inna lillahi wa inna ilaihi rajiun” (sesungguhnya kami dari Allah swt. dan kepada-Nya lah kami kembali).[477] Dalam pandangan Islam, Allah swt. akan meberikan ganti dan balasan di dunia dan akherat. Namun bagi orang-orang materealis, mereka tidak mempercayai adalnya balasan. Oleh karena itu para pemburu dunia lebih sering mengalami tekanan jiwa dan keputus asaan dan betapa banyak di antara mereka yang sampai berani bunuh diri.[478]

Jadi, dalam masalah menentukan tujuan dan mencari makna, dapat dikatakan bahwa orang yang beriman tidak akan berhadapan dengan jalan buntu dalam hidupnya, mereka lebih fleksibel dalam setiap keadaan, karena mereka menganggap kehidupan di alam ini hanya sebatas pembuka untuk kehidupan di surga yang penuh keridhaan Ilahi.

4. Mencari sandaran jiwa (harapan dan iman)

Bergson pernah menulis: “Untuk menghadapi hantaman-hantaman penuh bahaya dalam kehidupan ini, kita memerlukan sandaran ruhani.”[479] Maueice Toesca mengungkapkan penyesalannya akan kurangnya penyandaran jiwa dan penghinaan terhadap etika dan moral, warisan-warisan besar dunia sepert nabi Muhammad saw., nabi Isa as., dan pemikir-pemikir besar seperti Plato, Konfusius, dan Budha, serta para filsuf besar setelah mereka. Ia berkata:

“Aturan-aturan moral dan spiritual yang selama ini dianggap remeh dan hina, serta dianggap sebagai pola pikir terbelakang, tabu, tradisi kuno, dan lain sebagainya, padahal pada hakikatnya merupakan lentera petunjuk yang dapat menerangi jalan utama kehidupan manusia. Meskipun secara sekilas aturan-aturan itu tampak mengekang dan berat, namun tujuan-tujuan di balik itu adalah terjaminya kenyamanan dan keamanan bagi kita sendiri…”[480]

Ketika rasa takut yang dahsyat telah meliputi jiwa seorang manusia, satu-satunya upaya terbaik yang dapat dilakukan untuk menghadapinya adalah percaya diri dan iman. Dengan bersandar pada iman kita dapat melewati detik-detik seberat dan seperti apapun menakutkannya.

Pada perang dunia kedua, seorang prajurit terpisah dari kelompoknya. Ia tesesat dalam hutan lebat yang gelap dalam keadaan sendirian. Setiap ia melangkahkan kakinya, saat itu juga ia merasa ada musuh yang bersembunyi di balik pepohonan yang siap menghujaninya dengan tembakan kapan saja. Ia gugup bergetar dan ketakutan sampai ia tidak mampu berjalan. Namun tak lama kemudian, ia merenungi ketakutannya hingga ia menyadari untuk apa ia harus takut. Lalu dengan keras ia berteriak: “Tuhan bersamaku! Aku tidak perlu takut.” Lalu tiba-tiba ia kehilangan rasa takut tersebut karena berhasil mengalahkannya.”[481]

Ketika kita yakin bahwa ada kekuatan yang maha besar ada dalam hidup kita (yaitu Tuhan), maka pikiran-pikiran batil akan lenyap dari benak kita dan begitu juga rasa takut tak lagi menghantui diri kita. Dalam Al Qur’an disebutkan:

“Orang-orang yang beriman dan tidak menodai iman mereka dengan kezaliman, mereka adalah orang-orang yang bagi merekalah keamanan dan mereka termasuk orang-orang yang mendapatkan petunjuk.”[482]

Ayat ini adalah ayat yang paling jelas maknanya berkenaan dengan ketenangan jiwa. Untuk memahami lebih dalam akan makna ayat tersebut, kita perlu memperhatikan beberapa poin penting di bawh ini:

A. Dari segi sastra Arab, dalam ayat di atas terdapat berbagai penekanan. Jumlah ismiyah yang berbunyi lahumul amnu (bagi merekalah keamanan) adalah khabar bagi ulaika (mereka) dan keseluruhan jumlah ismiyah tersebut adalah khabar bagi alladzina amanu; lalu kata wa hum muhtadun (dan mereka termasuk orang-orang yang mendapatkan petunjuk) sebagai ‘atf bagi kata lahumul amnu (bagi merekalah keamanan) menunjukkan kepada kita bahwa keamanan dan petunjuk tidak akan diberikan kecuali kepada orang-orang yang beriman.

B. Ketenangan dan petunjuk adalah buah hasil dari keimanan, dengan syarat keimanan itu tidak dinodai dengan kezaliman. Kata labs memiliki arti “menutupi” dan “menyelubungi”. Ayat di atas mengisyarahkan kepada kita bahwa kezaliman tidak membinasakan dan minadakan fitrah, tapi hanya menutupi dan menjadi tabir yang menghalangi baginya, dan dengan demikian suara-suara fitrah tidak lagi dapat terdengar.

C. Kata dzulm dalam ayat tersebut berupa nakirah fi siyaqi nafsi, dan menunjukkan keumuman, namun dengan adanya qarinah siyaq, maksudnya adalah kezaliman yang memberikan dampak buruk pada iman. Kezaliman juga memiliki tingkatan-tingkatan sebagaimana iman. Setiap tingkatan kezaliman adalah lawan dari tingkatan iman. Oleh karena itu keamanan dan petunjuk juga memiliki tingkatan-tingkatan. Ketika iman seseorang semakin tinggi, derajat keamanan dan petunjuk baginya juga semakin tinggi.[483]

Dalam analisa psikologis, tentang iman kita harus mengingat beberapa hal: orang yang memiliki iman terhadap Tuhan merasa bahwa segala urusannya berada di bawah pengaturan tangan Tuhan; ia meyakini Tuhan sebagai pemberi rizki dan dzat yang maha kuat yang sebenarnya; ia menganggap kesedihan dan kegembiraan adalah ujian yang diturunkan oleh Tuhan; kesehatan, keselamatan dan taufik untuk mengikuti petunjuk yang benar bagi orang yang beriman adalah bentuk kasih sayang Tuhan; dan yang paling menakjubkan di antara semua itu, ia menganggap Tuhan sebagai pelindung terbesar baginya. Dalam Al Qur’an disebutkan:

“Sesungguhnya shalatku, ketaatanku, hidup dan matiku adalah untuk Allah Tuhan semesta alam.”[484]

“Sesungguhnya Allah lah sang pemberi rizki dan pemilik kekuatan yang dahsyat.”[485]

“Tidak ada satu pun makhluk hidup yang berjalan di muka bumi kecuali Allah-lah yang memberi rizki kepadanya.”[486]

Orang yang beriman meyakini bahwa kematian adalah hal yang pasti bagi semua orang: “Setiap yang hidup pasti akan merasakan mati.”[487] Tak satupun ada yang bisa lari dari kematian[488] dan panjang atau pendeknya umur seseorang sudah ada dalam catatan Tuhan.[489] Oleh karena itu tak selayaknya orang yang beriman berputus asa akan rahmat Allah swt. dalam setiap keadaan[490] dan merasa saat memohon kepada Tuhannya maka doa dan permohonannya akan dikabulkan.[491] Kesedihan dan kebahagiaan adalah cobaan dari Tuhan:

“Allah adalah dzat yang membuat (hambanya) tertawa dan menangis.”[492]

“Dialah yang memberiku makan dan minu, dan saat aku sakit Ia lah yang menyembuhkan.”[493]

“Sesungguhnya Allah akan membela dan melindungi orang yang beriman.”[494]

Keyakinan-keyakinan seperti ini membuat orang yang beriman menjadi yakin dan tak kehilangan harapan. Oleh karena itu mereka selalu bertawakal kepada Allah swt. Karena mereka tahu bahwa:

“Dan barang siapa bertawakal dan berserah kepada Allah, maka cukuplah Allah baginya.”[495]

“Tidakkah Allah itu cukup untuk hamba-Nya?”[496]

Jika orang yang seperti ini dan memiliki iman yang begini tidak mendapatkan ketenangan, maka tak diragukan lagi bahwa keimanannya telah ternodai dengan kezaliman. Semakin iman tertutupi debu kezaliman, dengan kadar itu jugalah ia kehilangan ketenangan dan petunjuk.

5. Perubahan dalam batin

Salah satu cara menghadapi tekanan jiwa adalah menciptakan sebuah perubahan besar dalam batin dan jiwa kita dalam naungan iman dan kembali kepada Allah swt. Perubahan ini membuat seorang manusia mendapatkan sebuah kekuatan yang tak terbayang dalam dirinya sehingga dengan kekuatan itu ia mampu melewati segala rintangan dan kesusahan yang dihadapinya.

Berkenaan dengan pembahasan ini, dalam Al Qur’an telah disebutkan kisah nabi Musa as. dan para penyihir Fir’aun. Ketika nabi Musa as. melemparkan tongkatnya ke tanah, tongkat itu berubah menjadi ular besar yang menelan semua peralatan-peralatan para sihir Fir’aun, kemudian mereka takjub dan bersujud sambil bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah:

“Kami beriman kepada Tuhan semesta alam, Tuhan (nya) Musa dan Harun.”

Kemudian Fir’aun marah melihat itu dan berkata:

“Apakah kalian mengimani Musa tanpa seizinku? Sesungguhnya Musa adalah guru kalian. Aku akan menghukum kalian, memotong tangan dan kaki kalian serta menggantung kalian bersama-sama.”

Mereka berkata:

“Kami tidak takut akan kematian, karena setelah mati kami akan kembali kepada Tuhan dan kami berharap Ia mengampuni dosa-dosa kami.”[497]

Perubahan dalam hati para penyihir itu membuat mereka begitu berani bahkan di hadpan ancaman mati Fir’aun. Mereka juga menjawab ancaman Fir’aun dengan berkata:

“Lakukan apapun yang ingin kau lakukan. Engkau hanya mampu menghukum (seenakmu) di dunia saja.”[498]

Istri Fir’aun dengan melihat mukjizat nabi Musa as. dan keimanan para penyihir hatinya mulai berubah. Ia mengimani nabi Musa as. dan bertahan di hadapan ancaman-ancaman Fir’aun. Lalu Fir’aun memerintahkan anak buahnya untuk memaku tangan dan kaki istrinya sendiri dan lalu ditindihkan batu besar di atas dadanya di bawah terik sinar matahari hingga mati.[499] Istrinya menganggap istana Fir’aun adalah sesuatu yang hina dan memohon kepada Allah swt. sebuah istana yang benar-benar megah di surga.

6. Prinsip qadha dan qadar serta tidak adanya hal-hal kebetulan

Salah satu cara terbaik yang diajarkan Islam untuk menghadapi tekanan jiwa adalah keyakinan akan Qadha dan Qadar. Dalam pandangan ini, segala sesuatu di dunia ini tidak ada yang bersifat kebetulan, dan segalanya berada dalam pengaturan Allah swt. Seorang yang beriman, meskipun ia meyakini bahwa tidak ada jabr (yakni segala perbuatan yang kita lakukan kita lah yang bertanggung jawab) dalam hidup ini, tetap berkeyakinan bahwa Allah swt. adalah suber segala gerak dan efek serta Ia lah pencipta semua maujud.[500] Dengan pola pikir seperti ini, seorang manusia tidak akan berhadapan dengan jalan buntu dalam hidupnya, segala musibah yang menimpa adalah atas kehendak-Nya dan segala perkara telah ditakdirkan-Nya.

Imam Ali as. berkata:

“Segala perkara mengikuti qadha dan qadar. Mati dan hidup manusia ada dalam pengaturan-Nya. Oleh karena itu, manusia tidak boleh hanya bersandar pada pemikirannya saja (tanpa mengingat adalanya qadha dan qadar).”[501]

Oleh karena itu, orang-orang yang beriman selalu mengembalikan segala urusannya kepada kehendak Allah;[502] ketika mereka mengambil keputusan, mereka bertawakal[503] lalu berusaha, dan mereka tidak pernah takut akan kegagalan:

“Katakanlah: apakah kalian mengharap dari kami selain dari dua kebaikan (kemenangan atau kesyahidan)?”[504]

Dalam pandangan orang-orang yang beriman, kegagalan secara materi memiliki banyak hikmah, yang salah satunya mungkin agar menjadi wasilah dan perantara kesuksesan-kesuksesan lainnya. Rasulullah saw. bersabda:

“Sungguh menakjubkan, Allah swt. tidak mentakdirkan kebahagiaan dan kesusahan bagi seorang yang beriman melainkan ada kebaikan di dalamnya untuknya. Saat Ia menguji hambanya dengan kesusahan, itu adalah untuk menghapus dosa-dosanya; adapun jika mencurahkan karunia dan kesenangan, maka itu adalah rahmat dari-Nya.”[505]

7. Prinsip tawakal

Salah satu cara lainnya untuk menghadapi tekanan jiwa adalah tawakal dan berserah diri kepada Allah swt. Tawakal adalah sifat yang bersumber dari keyakinan seseorang akan qadha dan qadar Ilahi serta tauhid af’ali.

Manusia harus memahami bahwa segala daya dan usaha, serta pengaturan yang ia lakukan dalam hidupnya, berada di bawah kuasa pengaturan dan sunnah Tuhan, sunnah yang tidak akan pernah berubah.[506]

Tawakal adalah, manusia tidak boleh sombong dengan pengaturan dan perencanaannya dalam hidup, takdir Allah juga harus harus diingat keberadaannya, dan ketika usahanya tidak berhasil, janganlah bergundah hati dan kesal.

“Aku menyerahkan urusanku kepada Allah, sesungguhnya Allah maha melihat hamba-hamba-Nya.”[507]

Namun tawakal tidak boleh disalah artikan menjadi pasrah tanpa usaha dan membiarkan perkara kita terbengkalai begitu saja. Karena manusia tidak akan mendapatkan sesuatu tanpa ia berusaha untuk mendapatkannya.[508] Dan Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum selama kaum itu sendiri tidak bergegas untuk merubah pola dan prilakunya.[509]

8. Berpandangan positif terhadap kematian

Jika kita tidak ingin terjerumus dalam jeratan stres dan tekanan jiwa, salah satu caranya adalah memiliki pandangan positif terhadap kematian. Berdasarkan pandangan Al Qur’an, kematian adalah perpindahan dari satu alam ke alam yang lain. Oleh karena itu berpandangan sedemikian rupa akan menciptakan ketentraman di hati saat mengingat kematian, bukannya rasa takut dan stres. Karena dengan kematian itulah seseorang akan masuk ke suatu alam yang di dalamnya dapat merasakan keridhaan Allah, liqa’ (bertemu) dengann-Nya,[510] merasakan kenikmatan surga dan segala kebahagiaan yang ada.

9. Antara menjalankan tugas dan hasilnya

Dalam agama ini kita diajarkan untuk hanya berkonsentrasi pada penjalanan tugas, bukan merenung dan memikirkan hasil-hasil yang bakal didapati. Manusia memiliki tugas dan kewajiban,[511] dan itu pun seseuai dengan kadar kemampuannya.[512] Dalam keadaan ini, mungkin salah satu faktor yang memicu stres pada seseorang adalah tidak tergapainya tujuan dijalankannya tugas. Kebanyakan orang pun selalu gelisah saat menjalankan tugasnya, apakah ia akan meraih tujuannya ataukah tidak.

Namun Al Qur’an mengajarkan kita suatu cara agar kita tidak terjerat dalam masalah ini. Yaitu kita hanya perlu berkonsentrasi dalam penjalanan tugas, dan saat kita tidak berhasil meraih tujuan kita, kita tidak boleh kehilangan semangat atau bersedih, karena kita telah menjalankan tugas kita, berhasil atau tidak, kita serahkan kepada Tuhan. Oleh karena itu oran yang beriman selalu merasakan ketenangan di manapun mereka berada dan kapanpun juga, karena ia telah menajalankan kewajiban dan tugasnya tanpa perlu risau ia akan berhasil atau tidak.

10. Kembali pada renungan (bertafakur)

Untuk menghadapi dan mengatasi tekanan jiwa, perlu sesekali kita kembali pada renungan dan bertafakur. Pikirkanlah tiga hal di bawah ini:

A. Jalan untuk berubah selalu terbuka lebar

B. Kita memegang kendali amal perbuatan dan perilaku diri sendiri

C. Seharusnya kita mengontrol dan memprioritaskan hal-hal yang terpenting, tingkatan demi tingkatan

Para psikolong mengurutkan tahapan-tahapan di atas sebagai berikut:

Tahapan pertama, anda harus bertekat untuk terus hidup dengan baik. Dengan tekat ini, anda harus menghindar dari segala hal yang merugikan bagi anda. Karena sepanjang sejarah umat manusia pernah terjerumus dalam kesusahan-kesusahan yang dihasilkan oleh peperangan, minuman keras, obat-obatan terlarang dan lain sebagainya.[513]

Tahapan kedua, anda harus mempunyai alasan-alasan positif untuk hidup dan anda harus menerapkannya pada setiap aktifitas anda.

Francle berkata:

“Alasan kita untuk hidup, adalah tujuan yang mendorong kita untuk melakukan usaha; dan itulah sumber motivasi kita.”

Ketika kita punya alasan, maka kita akan tegar menghadapi apa saja.

Tahapan ketiga, anda harus bertekat seperti apakah anda harus hidup. Tanyalah pada diri sendiri: apakah aku ingin hidup dengan baik atau tidak? Lalu catatlah langkah-langkah apa saja yang harus anda perbuat untuk menjalani hidup dengan baik.

Tahapan keempat, berfikirlah positif dan pertahankan. Seorang yang optimis dalam berfikir, senantiasa menanti peristiwa positif pula; namun orang yang pesimis selalu murung menanti datangnya peristiwa negative juga. Orang yang optimis akan berkata bahwa “gelas itu berisi air setengahnya” namun orang yang pesimis akan berkata “gelas itu kosong setengahnya”.

Dokter Beck berkata:

“Depresi dan stres adalah hasil dari pola fikir yang salah. Ketika seseorang berpikiran negatif pada diri sendiri dan melupakan potensi-potensi serta titik positif lain yang ia miliki, ia selalu menganggap dirinya sebagai orang yang sengsara dan memandang masa depan dengan keputus asaan.”

Dalam catatan penelitian Dr. Donald Meichenbaum disebutkan:

“Setiap orang dari kita pasti memiliki satu bentuk percakapan dengan dirinya sendiri. Orang-orang yang suka berfikiran negatif saat tertimpa sedikit saja kesusahan adalah orang-orang yang selalu bercakap dengan diri sendiri secara negatif. Obatnya adalah, mereka harus belajar bagaimana berpikiran positif dalam menerima kenyataan-kenyataan hidup.”

Tahapan kelima, kita genggam erat kendali hidup kita. Kebanyakan orang yang mengalami tekanan jiwa berkata: “Aku tidak berhasil sampai di garis finish.” Kata-kata ini menunjukkan kelemahannya dalam menilai kenyataan. Adapun orang-orang yang teguh dan tegar justru akan berkata: “Aku pasti bisa menyelesaikan semua permasalahanku.” Perasaan memiliki kontrol dan pengendalian diri di hadapan kesusahan-kesusahan, adalah sebuah senjata yang sangat ampuh bagi siapa saja.

Tahapan keenam, berfikiran terbuka untuk belajar. Orang yang selalu bertahan di hadapan permasalahan, saat berhadapan dengan tekanan dan kesusahan ia akan berusaha berfikir lebih jernih dan luas. Mereka tidak terlalu risau dengan bagaimana harus hidup dan tidak pernah menganggap dirinya selalu benar. Kesalahan-kesalahan bagi mereka adalah pelajaran yang harus difahami agar tidak terulang kembali dan pada kesempatan berikutnya harus berusaha lebih keras dari sebelumnya. Namun ungkapan-ungkapan seperti “manusia tak luput dari kesalahan” tidak boleh dijadikan alasan untuk menghindar dari tanggung jawab. Kata-kata seperti itu tujuannya adalah agar kita tidak berhenti begitu saja saat sekali tergelincir karena kesalahan, bukannya untuk menghindar dari tanggung jawab.

Tahapan ketujuh, anggaplah perubahan dan permasalahan sebagai medan pertempuran yang menantang. Orang-orang yang menganggap perubahan dan permasalahan sebagai tantangan akan mendapatkan keberanian dalam dirinya, beraksi dengan baik melawan masalah-masalah, lalu berusaha menyelesaikan semuanya. Saat kita berhadapan dengan peristiwa yang bagi kita menyakitkan dan mengesalkan, kita harus kembali ke fikiran kita, jika ternyata yang ada di pikiran kita adalah sesuatu yang negatif, maka fenomena itu akan benar-benar menjadi penghalang bagi kita. Namun jika kita berfikiran positif dan menganggapnya sebagai sebuah kesempatan, lalu kita bertanya pada diri kita sendiri, “bagaimana aku bisa mengambil manfaat dari kesempatan ini?”, maka yang akan terjadi adalah sebaliknya. Dengan demikian seseorang yang biasanya jatuh terpukul dalam menghadapi masalah akan berubah menjadi seorang jawara yang siap menghadapi dan menyelesaikannya.[514]

Tahapan kedeleapan, membiasakan diri untuk menciptakan percakapan yang positif dan baik. Dalam mengontrol tekanan jwia, ada pentingnya kita memahami perbedaan antara percakapan yang baik yang dapat menyelesaikan masalah dengan percakapan yang buruk yang hanya akan memperunyam masalah. Percakapan yang tidak baik akan terus menambah beban derita tekanan jiwa. Namun percakapan yang baik dan positif akan berujung pada sebuah jalan penyelesaian masalah. Sebagian orang banyak yag terus menerus menyiksa diri sendiri dengan tidak pernah berhenti berfikiran negatif. Dalam percakapan yang baik dan positif, seseorang akan bertanya pada dirinya tentang krisis apakah yang sedang terjadi, lalu apa jalan keluarnya?[515]

Tahapan kesembilan, terus maju. Hendaknya kita memahami nilai-nilai dan jati diri kita sendiri. Berusaha mengambil pelajaran dari segala peristiwa dan pengalaman apapun serta terus berusaha untuk menjadi yang terbaik.

Tahapan kesepuluh, bertanggung jawab. Terimalah konsekwensi pemikiran diri anda sendiri dan saat anda mengalami kegagalan, janganlah menyalahkan orang lain.

Berdasarkan apa yang dijelaskan Al Qur’an, ada beberapa prinsip yang harus digenggam erat dalam rangka bertafakur:

Prinsip pertama, percaya bahwa berjalannya segala urusan ada di tangan-Nya dan dalam pengaturan alam semesta selalu ada campur tangan kekuatan ghaib.

Dalam agama Islam, sumber energi dan gerak adalah Allah swt.[516] Ia adalah pencipta alam semesta dan seluruh penghuninya.[517] Tidak ada satupun peristiwa yang bersifat kebetulan. Dalam ajaran agama ini, kebaikan dan keburukan,[518] harta dan anak keturunan,[519] hidup dan mati,[520] dan segalanya merupakan bahan ujian Tuhan. Oleh karena itu orang yang beriman saat tertimpa musibah berkata “inna lillahi wa inna ilaihi rajiun” (sesungguhnya kami dari Allah dan kepada-Nya kami kembali),[521] karena di manapun mereka berada, Allah swt. ada bersama mereka,[522] dan bahkan pada manusia Ia lebih dekat dari urat nadi.[523]

Meskipun manusia tidak dapat melihat Tuhan, namun Tuhan melihat dan menyaksikan manusia:

“Sembahlah Allah seakan engkau melihat-Nya, karena meski kamu tidak bisa melihatnya Ia selalu melihatmu.”[524]

Memang benar manusia memiliki ikhtiar dan kehendak. Namun kekuasaan Tuhan meliputi segala keberadaan.

“Katakanlah bahwa tidak ada yang menimpa kami kecuali Allah telah mencatatnya untuk kami. Ia adalah Tuhan kami dan pada Allah orang-orang yang beriman berserah diri.”[525]

Prinsip kedua, yakin bahwa Allah swt. sedang mengawasinya.

Berdasarkan prinsip ini, manusia selalu yakin bahwa ia sedang berada di hadapan dan di bawah pengawasan Tuhan; oleh karenanya harus berhati-hati dalam berbuat.

Prinsip ketiga, sabar dalam kesusaan. Saat tertimpa musibah dan bencana, tidak ada usaha yang lebih baik dilakukan ketimbang bersabar.

Prinsip keempat, meyakini bahwa usaha yang dilakukan manusia tidak terjamin keberhasilannya. Prinsip ini membuat seseorang tidak akan merasakan kesedihan yang mendalam saat tidak berhasil mencapai tujuan pekerjaannya; karena yang terpenting baginya adalah mengerjakan tugas, adapun tujuannya tercapai atau tidak, itu terserah Tuhan.

Prinsip kelima, berserah diri pada Allah swt.

Orang yang bertawakal dan berserah kepada Allah swt. akan benar-benar merasakan perhatian Tuhan dalam hidupnya; meskipun ia mengalami kegagalan, ia akan mengambil hikmahnya dan menganggapnya sebagai kemenangan.[526]

11. Berpandangan positif

Salah satu cara agar kita selalu terhindar dari gangguan dan tekanan jiwa, kita harus selalu menyikapi segala hal dengan bijak dan berpandangan positif. Tidak hanya para psikolog saja yang menekankan masalah ini, Al Qur’an pun juga demikian. Agar kita dapat berpandangan positif, kita harus menjalankan dua langkah penting berikut: berpandangan luas terhadap kondisi yang ada, dan berbaik sangka kepada Allah.

A. Berpandangan luas terhadap kondisi yang ada

Kebanyakan dari tekanan-tekanan jiwa diakibatkan oleh faktor-faktor seperti penyesalan akan masa lalu, kehilangan kesempatan, mengalami kekalahan, ketertinggalan, takut akan masa depan, dan lain sebagainya. Para Imam maksum mengajarkan kita untuk merenung dan berfikir secara positif terhadap keadaan yang ada. Namun renungan dan fikiran ini haruslah bersifat melebar dan luas tanpa melupakan hakikat-hakikat maknawiyah. Dalam dua ayat, Al Qur’an melarang manusia untuk berpandangan sempit dalam menilai permasalahan serta mengingatkan akan adanya hal-hal ghaib di balik panggung materi ini. Dalam ayat 22 dan 23 surah Al Hadid kita membaca:

“Tidak ada satupun bencana yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada diri kalian sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahduz) sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yang sedemikian itu mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kalian jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kalian dan supaya kalian, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak suka orang yang sombong lagi berbangga diri.”[527]

Al Qur’an menekankan kita agar tidak berpandangan sempit dalam menilai permasalahan. Disebutkan dalam kitab suci tersebut:

“Dan mungkin saja kalian membenci sesuatu yang padahal itu baik bagi kalian dan mungkin saja kalian menyukai sesuatu yang padahal itu buruk bagi kalian.”[528]

Dalam fiqih Islam terdapat sebuah kaidah yang dikenal dengan kaidah maisur yang artinya adalah “memandang keadaan yang ada”. Berdasarkan kaidah ini, manusia seharusnya memahami dan menjalankan tugas-tugasnya dan menjauh dari kegelisahan dan ketidak tenangan. Rasulullah saw bersabda:

“Jika aku memerintahkan sesuatu kepada kalian, maka lakukanlah; dan jika aku melarang kalian, maka tinggalkanlah.”

Imam Ali as. juga berkata:

“Suatu kewajiban tidak akan gugur hanya karena susah dikerjakan (meski susah, kita harus berusaha mengerjakannya, karena itu adalah kewajiban kita; tak masalah apapun hasilnya).”[529]

Riwayat-riwayat di atas menunjukkan bahwa ketika manusia menghadapi permasalahan dalam hidupnya, ia harus berusaha sekuat tenaga untuk menyelesaikannya, dan hendaknya ia mengurangi kegelisahannya dengan cara penyesuaian diri dengan kondisi yang ada. Pada hakikatnya pesan asli riwayat-riwayat di atas adalah fleksibilitas manusia dalam menjalani kehidupannya; karena jika demikian, manusia akan terhindar dari tekanan-tekanan psikis dan stres.[530]

B. Berbaik sangka kepada Tuhan

Menurut pandangan riwayat Islami, orang yang suka berburuk sangka kepada sesamanya menunjukkan buruknya diri sendiri. Orang yang buruk, selalu berburuk sangka kepada siapa saja. Imam Ali as. berkata:

“Orang yang buruk, tidak akan pernah berprasangka baik kepada siapapun, karena segala yang ia lihat tak lain adalah cerminan keburukan dirinya sendiri.”[531]

Suka berburuk sangka adalah sebuah penyakit jiwa yang menjadi sebab berbagai macam penyelewengan dan ketergelinciran dalam perjalanan spiritual. Dalam sebuah suratnya yang ditulis kepada Malik Al Asytar, Imam Ali as. berkata:

“Sesungguhnya sifat pelit, pengecut, penakut, adalah sifat-sifat buruk yang berkumpul pada satu sifat: berburuk sangka kepada Allah.”[532]

Berbaik sangka, adalah kunci yang sangat penting untuk kesehatan ruhani. Imam Shadiq as.berkata:

“Sesungguhnya Allah akan berbuat sesuai dengan prasangka hamba-Nya, baik ketika hamba berprasangka baik atau buruk.”[533]

Imam Ali as. juga berkata:

“Prasangka baik adalah (sumber) ketenangan hati dan selamatnya agama.”[534]

“Orang yang tidak mau berbaik sangka, ia akan merasa takut kepada semua orang.”[535]

Prasangka baik kepada Allah swt. bergantung pada kadar iman dan harapan seorang hamba terhadap Tuhannya.[536] Jika kita memperhatikan lebih lanjut, kita akan mendapati bahwa sifat berprasangka baik kepada Tuhan ini tidak akan ditemukan kecuali dalam diri orang yang benar-benar tidak menaruh harapan kepada selain Allah swt.[537] Saat kegembiraan dan kesenangan dianugerahkan oleh Allah swt. kepadanya, ia akan bersyukur, dan jika Allah swt. Menimpakan musibah dan cobaan, ia bersabar.[538]

Dalam doa ‘Arafah Imam Husain as. disebutkan:

“Apa yang dimiliki oleh orang-orang yang kehilangan-Mu? Dan apa yang tidak dimiliki oleh orang-orang yang memiliki-Mu?”[539]

Jadi orang yang selalu berprasangka baik kepada Allah swt. tidak akan pernah berhadapan dengan jalan buntu apa lagi terjerumus dalam stres dan tekanan mental; semakin berat musibah dan cobaan yang ia hadapi, semakin besar pula kesabaran dan ketegarannya.

Membenahi prilaku

Apa yang kita bahas di sini adalah seputar pembenahan-pembenahan prilaku yang bersifat jasmaniah, yaitu aktifitas-aktifitas dan latihan yang berhubungan dengan badan yang mana semua itu berguna bagi ketahanan seseorang dalam menghadapi dan mengatasi tekanan jiwa atau stres.

1. Olah raga dan latihan fisik

Sebagaimana tidur dan istirahat sangat dibutuhkan badan untuk menjaga kinerja otak, olah raga pun juga demikian. Olah raga dan latihan-latihan fisik berguna untuk menurunkan ketegangan urat syaraf dan juga dapat melenturkan anggota badan. Olah raga dipercaya berguna untuk menghindarkan pelakunya dari stres, karena kebanyakan orang yang giat berolah raga cenderung lebih sedikit menyisihkan waktunya untuk melamun dan mengkhawatirkan sesuatu (yang ujung-ujungnya membuat stress). Olah raga juga dapat menguatkan urat-urat syaraf saat berhadapan dengan ketegangan. Orang yang pekerjaan dan aktifitasnya melibatkan gerak fisik, seperti berjalan kaki dan lain sebagainya, detak jantung mereka lebih teratur, volume paru-paru mereka lebih besar, dan mereka lebih sedikit beresiko terserang penyakit.[540]

Imam-imam maksum menyarankan para pengikutnya untuk sering berjalan kaki karena itu berguna bagi kebugaran tubuh mereka.[541] Rasulullah saw. juga mendukung diadakannya perlombaan-perlombaan berkuda, tunggang onta, dan juga memanah. Pada peristiwa perang Tabuk, beliau pernah ikut dalam sebuah perlombaan dengan Usamah bin Zaid. Orang-orang berkata, “Rasulullah saw. menang!” Lalu beliau sendiri berkata, “Tidak, Usamah lah yang menang.”[542] Pada suatu hari beliau pernah berlomba dengan soeorang Arab Baduwi, namun orang Arab Baduwi itu yang memenangkan perlombaan.[543] Beliau sering kali menyarankan sahabat-sahabatnya untuk sering memanah dan berenang. Beliau bersabda:

“Ajarilah anak-anak kalian memanah dan berenang.”[544]

Berenang dapat meringankan berat badan; dan aktifitas-aktifitas fisik secara keseluruhan berguna untuk kebugaran dan keceriaan seseorang.

Mendaki gunung juga baik sekali untuk kesehatan, meningkatkan rasa percaya diri dan mengembangkan jiwa pemberani pada seseorang. Cerita kebiasaan Rasulullah saw. menyendiri di Jabal An Nur (gunung An Nur) begitu dikenal dan juga peristiwa turunnya Al Qur’an di goa Hira, menunjukkan betapa baiknya kebiasaan ini. Pada dasarnya kehidupan para nabi seringkali berkaitan dengan gunung-gunung; nabi Adam as. di gunung Sarandib, nabi Nuh as. di gunung Ararat, nabi Isa as. di gunung Sa’iyr, nabi Ibrahim as. dan Musa as. di gunung Thur, Sa’iyr dan Faran, lalu nabi Muhammad saw. di gunung An Nur.[545]

Olah raga memang bukan obat (yang secara langsung menyembuhkan) orang yang stres, namun kegiatan ini sangat bermanfaat sekali untuk menciptakan kesiapan pada diri seseorang dalam menghadapi masalah-masalah pemicu stress.

2. Tidur

Otak adalah alat vital yang berfungsi untuk mengatur keberlangsungan dan keseimbangan hidup. Agar otak memiliki kinerja yang baik, kita butuh cukup istirahat. Bagian besar dari istirahat adalah tidur. Jika seseorang tidak tidur dengan cukup, ia akan bangun dari tempat tidurnya dengan perasaan marah dan kelelahan; jika demikian ia akan lebih sulit menyelesaikan permasalahan-permasalahan dengan baik dan benar. Alasannya adalah karena otak tidak dapat menjaga keseimbangan kimiawi dalam tubuhnya dengan benar.[546]

Lebih dari sepertiga umur manusia dihabiskan untuk tidur; namun meskipun demikian sampai saat ini banyak sekali rahasia dan misteri dalam hal tidur, khususnya mimpi, yang belum bias diungkap. Al Qur’an menggunakan kata subat untuk menjelaskan bagaimana keadaan tubuh dan jiwa seseorang saat tidur: yaitu sebagian besar dari tubuh dan jiwa berhenti beraktifitas. Imam Ali as. berkata:

“Tidur adalah kenyamanan untuk tubuh dan berbicara adalah kenyamanan untuk jiwa.”[547]

Tidur berperan sebagai pemulih kekuatan dan energi serta melenyapkan lelah pada tubuh. Tidak tidur dalam kurun waktu yang cukup lama sangat berbahaya bagi kesehatan manusia.

Berdasarkan berbagai penelitian ilmiah, tidur di malam hari sangat lebih efektif dibanding tidur lainnya; namun jika kita ingin mendapatkan manfaat dari tidur yang optimal, kita tidak boleh merasa puas dengan tidur malam saja. Al Qur’an pun juga menyinggung pentingnya tidur di malam dan siang hari:

“Dan yang termasuk dari tanda-tanda kebesarannya adalah tidurnya kalian di malam dan siang hari.”[548]

Tidur di malam hari, apa lagi jika di awal permulaan malam, diakui lebih banyak manfaatnya; karena tidur malam lebih lelap dibanding tidur selain di malam hari. Imam Ali as berkata:

“Para pengikut kami tidur di awal permulaan malam.”[549]

Para Imam umumnya juga menyarankan pengikut-pengikutnya untuk tidur beberapa saat di siang hari, yang dikenal dengan qailulah.[550] Al Qur’an juga menyebut malam hari sebagai saat yang penuh ketenangan dan tidur sebagai istirahat dan pemulih kekuatan, kemudian menyebut siang hari sebagai waktu beraktifitas:

“Dia lah yang menjadikan malam bagi kalian agar kalian mendapatkan ketenangan di dalamnya dan menjadikan siang untuk mencari penghidupan.”[551]

“Dan kami jadikan tidur kalian sebagai ketenangan dan istirahat, Kami juga jadikan malam kalian sebagai pakaian (selimut untuk beristirahat).”[552]

Tidur sesaat di siang hari atau qailulah sering sekali dikemukakan dalam teks-teks riwayat. Pada suatu hari ada seorang Arab Baduwi yang mendatangi Rasulullah saw. dan mengadu padanya karena ia pelupa. Rasulullah saw. berkata kepadanya, “Apakah kamu pernah terbiasa tidur sesaat di siang hari?” Ia berkata, “Iya.” Kemudian beliau bertanya kembali, “Apakah kamu telah meninggalkan kebiasaan tersebut?” Ia menjawab, “Iya.” Lalu beliau menasehatinya, “Kalau begitu ulangi kebiasaan yang telah engkau tinggalkan itu.” Orang Arab Baduwi itu kembali membiasakan diri untuk tidur qailulah di siang hari, lalu ingatannya pun pulih kembali.[553] Tidur dapat menghilangkan kegelisahan, rasa takut dan tekanan jiwa. Dalam Al Qur’an disebutkan tentang rasa takut yang dirasakan oleh sahabat-sahabat nabi di perang Badar:

“(Ingatlah) saat Allah menjadikan kalian mengantuk sebagai sesuatu penentraman daripada-Nya, dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk menyucikan kamu dari hujan itu dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan syaitan dan untuk menguatkan hatimu dan memperteguh dengannya telapak kakimu.”[554]

Dalam ayat yang lain disebutkan:

“Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku jika Allah menjadikan untukmu siang itu terus menerus sampai hari kiamat, siapakah Tuhan selain Allah yang akan mendatangkan malam kepadamu yang kamu beristirahat padanya? Maka apakah kamu tidak memperhatikan?”[555]

Namun perlu diingat juga bahwa terlalu banyak tidur juga tidak baik; salah satunya membuat orang menjadi bingung tanpa alasan yang jelas.[556] Lebih dari itu, para imam maksum menasehati pengikut-pengikutnya untuk menghindari tidur di antara terbitnya fajar dan terbitnya matahari dan juga tidur di waktu sore hari. Mereka menyebut tidur di pagi hari akan menyebabkan kesialan dan kemalangan, mencegah diturunkannya rizki dan menimbulkan penyakit kuning.[557] Adapun tidur di sore hari dapat menyebabkan kebodohan.[558] Mereka menyarankan para pengikutnya untuk terjaga di sepertiga akhir malam, karena itu bermanfaat untuk kesehatan; dan mereka juga menyarankan untuk beribadah di waktu itu. Imam Shadiq as. berkata:

“Shalat malam dapat mengindahkan wajah dan perangai, membuat jiwa bersih dan menghilangkan kesedihan.”[559]

3. Istirahat dan relaksasi[560]

Memang salah satu di antara cara-cara mengatasi stres adalah beristirahat dengan cukup. Berdasarkan penelitian, orang-orang yang setiap harinya beristirahat dengan cukup lebih kecil kemungkinannya tertimpa penyakit. Dengan demikian istirahat adalah jalan terbaik menghindar dari stres. Mungkin bagi kebanyakan orang ada hal-hal yang dapat menjadi penenang, seperti menghisap rokok, mengkonsumsi obat-obatan, kokain, minuman-minuman beralkohol, teh, kopi, dan lain sebagainya; padahal sifat penenang yang ada padanya hanya bersifat sementara dan bahkan dalam jangka waktu yang panjang akan menimbulkan efek samping yang buruk.[561]

Hal-hal penting yang perlu diperhatikan

1. Memposisikan tubuh dalam keadaan yang nyaman, seperti duduk di atas kursi yang empuk, berbaring di atas tempat tidur sambil meletakkan bantal di bawah kedua lutut, dan lain sebagainya.

2. Hindari pakaian-pakaian yang ketat. Tanggalkan perhiasan-perhiasan (bagi wanita) dan benda-benda supaya tubuh anda merasa leluasa dan nyaman.

3. Pilih tempat yang tenang untuk beristirahat, tidak bergerak, tidak bising dan tidak berbau yang mengganggu.

4. Tentukan berapa lama anda beristirahat. Istirahat dan olah raga ringan sebagai pelengkapnya membutuhkan waktu sekitar 20 hingga 30 menit.

5. Jalani program istirahat anda dengan teratur.

6. Sedikit latihan fisik juga dapat memulihkan tenaga dan kejernihan pikiran anda.

7. Lakukan hal ini: tarik nafas dalam-dalam kemudian pejamkan mata anda. Tarik nafas melalui hidung, lalu keluarkan lewat mulut. Setelah diulang-ulang dan berlangsung selama tiga menit, mulailah menggerakkan tangan anda dan otot-ototnya, lalu setelah itu lakukan hal yang sama pada kaki anda dan oto-ototnya. Kemudian putar-putar kepala anda, lalu buka kedua mata anda setelah itu dan duduklah dengan punggung yang tegak.

8. Jangan lupa untuk melemaskan otot-otot anda secara total.

Pada tahun 1938, Dokter J. Jackson dalam buku yang berjudul Relaksasi Moderen munulis:[562]

“Untuk melemaskan otot-otot, kita dapat meremas dan memijitnya, lalu meregangkannya.”

4. Memperbaiki suasana kerja

Istirahat dan pola makan yang sehat dapat meningkatkan daya tahan diri terhadap stress dan tekanan jiwa. Namun kita juga perlu memperhatikan pola kita bekerja dan juga lingkungannya. Oleh karena itu kita perlu memperhatikan beberapa poin di bawah ini:

1. Prediksi menyangkut waktu: berapa banyak waktu yang dibutuhkan untuk bekerja? Apakah waktu yang cukup untuk mengerjakan pekerjaan anda?

2. Memperhatikan prioritas-prioritas tugas: ketika banyak tugas menumpuk, manakah yang harus didahulukan?

3. Memiliki style bekerja yang khas: bagaimana anda menjalankan pekerjaan anda? Apakah anda termasuk orang yang bersedia bekerja secara detil, seksama dengan penuh kesasbaran, ataukah orang yang suka marah-marah saat terpuruk dalam pekerjaan?

4. Perhatikan kualitas: pentingkah kualitas kerja? Pentingkah kepuasan konsumen bagi anda? Bagaimana anda menilainya?

5. Bergulat dengan stres: di saat terserang stres, seharusnya anda teliti satu per satu apa yang membuat anda sedemikian tertekan, lalu berusaha menyelesaikannya.

6. Menjaga dan meningkatkan kesehatan: bagi kebanyakan orang memiliki kesehatan dan cukupnya istirahat adalah bekal yang paling utama untuk menjalankan aktifitas sehari hari. Oleh karena itu ketahanan harus terjaga sehingga anda dapat menangani situasi-situasi pelik yang mungkin akan anda hadapi.

7. Mengenal keadaan-keadaan emosional: keadaan-keadaan tersebut memiliki pengaruh dalam hidup kita. Jika kita mengenal mereka dengan baik, kita dapat menghadapi dan menjinakkannya dengan tepat. Masalahnya kebanyakan orang tidak tahu menahu dan mengabaikannya.

8. Tak perlu memaki buruknya lingkungan: memaki buruknya lingkungan memang mudah, namun bagaimanapun juga memang seperti itulah kenyataannya. Yang terpenting bagi anda adalah memikirkan bagaimana menyelesaikan masalah-masalah anda dengan benar.

9. Memperhatikan orang-orang di sekitar kita: saat kita ingin mengejar suatu target dalam kurun waktu tertentu, kita perlu memperhatikan keadaan orang-orang di sekitar kita secara psikologis sebelum memutuskan apa yang harus kita lakukan.

Mewujudkan suasana positif di lingkungan kerja dengan cara memberikan pujian, ungkapan cinta, terimakasih, dan perlindungan sangat besar manfaatnya untuk berlangsungnya aktifitas dengan baik. Selain itu kita juga harus berusaha menghindarkan hal-hal negatif dari lingkungan kerja kita, seperti halnya kritikan-kritikan tidak sehat, rasa sombong, permusuhan, penghinaan, dan lain sebagainya. Suasana positif dan penuh cinta dalam lingkungan kerja akan menciptakan benteng pertahanan yang kokoh di hadapan serangan stress dan tekanan jiwa. Selain poin-poin yang telah disebutkan di atas, ada beberapa kaidah tambahan yang juga perlu diperhatikan:

Kaidah 1: tunjukkan reaksi yang menyenangkan dengan segera. Ketika seseorang telah menyelesaikan pekerjaannya dengan baik, tunjukkanlah kegembiraan anda karenanya. Yang jelas jika anda memberikan pujian kepadanya, pujian tersebut harus sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya; pujian yang tidak tepat malah menimbulkan kebingungan dan perasaan negatif.

Kaidah 2: anda harus detil dalam segala hal. Hindari pujian-pujian yang tidak jelas.

Kaidah 3: berikanlah saran-saran membangun yang sesuai dengan kenyataan. Pesan-pesan samar dan tak jelas tidak ada gunanya dan justru memberikan dampak negatif. Katakan poin utama dan jangan berbelit-belit. Saran-saran yang membangun lebih baik daripada pujian yang tidak sesuai.

Kaidah 4: berikan dorongan kepada orang lain untuk mengerjakan tugasnya dengan lebih baik; jika anda tidak menemukan poin positif dalam kinerja mereka, untuk sementara lebih baik anda diam dan tidak berkomentar. Jika kualitas kerja mereka menurun, anda harus berusaha mencari titik permasalahannya dan berikan dorongan kepada mereka dengan menunjukkan keuntungan-keuntungan.

Kaidah 5: Jika anda ingin mereka memahami anda, maka anda harus berusaha memahami mereka terlebih dahulu. Kita semua membutuhkan ikatan yang baik. Tentu kita akan merasa terpojok saat semua orang menyalahkan kita, dan justru sebaliknya jika mereka mendukung kita. Selama kita tidak menghargai orang lain, kita tidak boleh mengharap penghargaan dari mereka. Apapun yang kita sukai untuk diri sendiri, harus kita sukai untuk orang lain juga; begitu pula dengan sebaliknya.

Kaidah 6: kita harus mampu menciptakan perasaan positif dalam diri setiap orang. Kaidah ini begitu penting dan mendasar sekali; karena jika kita tidak dapat mewujudkan perasaan positif dalam hati mereka, kita akan berhadapan dengan banyak kesulitan nantinya.[563]

5. Mewujudkan sistim perlindungan[564]

Kehidupan dunia selalu diiringi dengan tekanan dan perubahan, oleh karena itu sangat dibenarkan jika kita saling mewujudkan sistim perlindungan yang bertumpu pada kemanusiaan. Jika kita menyadari bahwa ada orang-orang yang melindungi kita, kita akan lebih kuat bertahan di hadapan tekanan-tekanan. Leonardo Saim, dalam penelitiannya menekankan pentingnya perlindungan sosial bagi kesehatan jiwa dan menyimpulkan: orang-orang yang tidak memiliki komunikasi yang baik dengan orang lain, jika dibandingkan dengan orang-orang yang memiliiki pergaulan yang baik, dua sampai tiga kali lebih besar resikonya mengalami kematian dengan cepat. Tidak hanya manusia, hewan seperti monyet saat dikurung sendirian dan dihadapkan dengan kesulitan-kesulitan ia cenderung agresif daripada ia dikandangkan bersama kawan-kawannya. Dengan demikian ikatan yang kokoh dan perlindungan dalam kelompok adalah perkara yang sangat penting sekali.

Pernah dilakukan sebuah penelitian terhadap para mantan tawanan perang Vietnam. Dalam penelitian itu membuktikan betapa pentingnya komunikasi antar individu. Para tawanan bisa tetap hidup dalam penjara karena komunikasi yang mereka bangun antara satu sama lain meskipun hanya dengan bentuk isyarat-isyarat suara dan lirikan mata.

Untuk mewujudkan sistim perlindungan dalam keluarga, harus kita perhatikan beberapa poin penting di bawah ini:[565]

1. Mengenal kemampuan masing-masing anggota sehingga anda dapat mengembankan tugas kepada mereka sesuai dengan kemampuannya.

2. Mewujudkan kebiasaan bermusyawarah dalam menentukan tugas dan peranan masing-masing anggota keluarga.

3. Memikirkan bagaimana seharusnya bersikap secara berperasaan kepada mereka.

4. Beberapa hal penting yang perlu diingat:

A. Perdebatan yang sehat dapat menumbuhkan kedekatan dan penghormatan setelahnya.

B. Saat ada yang merasa tidak puas, kita jadikan itu sebagai kesempatan untuk mempelajari kelemahan-kelemahan kita di mata mereka.

C. Perubahan, percekcokan, dan krisis adalah kesempatan pemicu pertumbuhan pribadi individu. Misalnya saat anak ingin menikah, orang tua harus lebih bijak menanggapinya (menanggapi perubahan status seorang anak yang semulanya hanya sekedar anak, kini akan menjadi seorang suami).

D. Bertanggung jawab penuh atas apa yang kita lakukan, yakni jangan mencerca orang lain jika kesalahan itu bermula dari kita.

E. Kebijakan dalam mengabil keputusan, yang sekiranya kita tidak menjatuhkan martabat dan kehormatan anggota keluarga karenanya.

F. Memberikan semangat dan selalu memberikan perlindungan. Kita juga perlu lebih sering mendengarkan dan memahami orang lain serta menunjukkan sikap yang baik kepada mereka; dengan demikian perlindungan kekeluargaan akan terwujud.[566]

Sistim perlindungan kekeluargaan yang ditekankan Al Qur’an berdasrkan prinsip-prinsip di bawah ini:

Prinsip pertama: mengenal anggota keluarga dan mengontrol mereka; sebagai contoh, nabi Ya’qub as. pernah menasehati anakknya dengan berkata:

“Janganlah kau ceritakan mimpimu ini kepada saudara-saudaramu, (karena jika kau ceritakan kepada mereka) mereka akan bertipumuslihat terhadapmu…”[567]

Ayat ini menunjukkan bahwa nabi Ya’qub as. faham dengan baik karakter anak-anaknya sehingga ia menasehati nabi Yusuf as. seperti itu.

Prinsip kedua: memberikan penghormatan kepada orang tua sebagai poros tegaknya rumah tangga. Al Qur’an begitu menekankan penghormatan terhadap orang tua:

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada bapak ibu kamu dengan sebaik-baiknya. Jika salah satu di antara keduanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”[568]

Prinsip ketiga: berusaha konsisten dan menjaga keberlangsungan sistim perlindungan kekeluargaan selama memungkinkan. Sebagai contoh, pemaafan nabi Yusuf as. terhadap saudara-saudaranya,[569] perlindungan nabi Nuh as. untuk dan demi keselamatan anaknya,[570] doa nab Luth as. untuk keluarganya,[571] dan doa nabi Ibrahim as. untuk ayahnya kecuali terbukti ia memang benar-benar tidak mau beriman,[572] istighfar nabi Ya’qub as. untuk anak-anaknya dan nasehatnya kepada mereka agar tidak masuk ke dalam pintu gerbang kota secara bersamaan,[573] dan lain sebagainya.

6. Suasana yang nyaman

Di sebagian tempat-tempat tertentu, secara geografis terletak di kawasan yang berudara sejuk dan nyaman, bercuaca baik dan juga tentram. Keadaan seperti itu dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk terapi penyembuhan atau dijadikan tempat melepas lelah dan mencari ketenangan. Tempat-tempat yang nyaman seperti di daerah pegunungan, pantai, perkebunan dan hutan, kaya akan ion negatif. Dalam pelbagai macam penelitian telah terbukti bahwa ion negatif berguna bagi makhluk hidup untuk penyesuaian diri dengan lingkungan dan terhindarnya stres; adapun ion positif justru sebaliknya. Udara yang terkotori polusi penuh dengan ion negatif.[574] Oleh karena itu, wajar saja jika kehidupan di kota yang padat dan lingkungan yang tercemar penuh dengan tekanan jiwa.

Menata hati

Menata hati adalah usaha dalam mengatur perasaan serta emosi dengan cara mengendalikan diri dari dorongan-dorongannya. Ada beberapa cara yang dianjurkan agama Islam kepada kita untuk menata hati. Di antaranya adalah:

1. Melampiaskan emosi

Mkasud dari pelampiasan emosi di sini adalah dengan cara-cara yang benar, seperti bertaubat, berdoa, munajat, menangis, berziarah, dan seterusnya. Pelampiasasn emosi dengan benar akan menyelesaikan masalah, lebih menguatkan hati, dan masih banyak lagi keuntungannya. Cara-cara yang dapat digunakan dalam usaha ini di antaranya adalah:

A. Bertaubat

Langkah pertama untuk menggapai kesehatan jiwa adalah melepaskan beban-beban dosa dengan cara bertaubat. Rasulullah saw. bersabda: “Apakah kalian ingin aku jelaskan apa saja obat dan apa saja penyakit?” Mereka menjawab: “Ya, wahai Rasulullah.” Kemudian beliau menjelaskan: “Penyakit kalian adalah dosa-dosa dan obat untuk kalian adalah taubat.”[575]

Dalam agama Islam, taubat pada hakikatnya sesuatu yang rasional, yakni membenahi kesalahan-kesalahan yang telah lalu. Seringkali tekanan jiwa itu timbul karena rasa benci terhadap diri sendiri karena telah dilakukannya dosa-dosa. Selama beban dosa tertimbun di hati dan terus bertambah, kegelisahan juga semakin menjadi. Jalan keluar dari permasalahan itu adalah taubat; karena Allah swt. menerima taubat hamba-hamba-Nya[576] dan orang yang bertaubat bagaikan orang tanpa dosa yang dicintai oleh Tuhannya.

“Orang yang telah bertaubat dari dosa bagaikan orang yang tidak memiliki dosa.”[577]

“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat.”[578]

Ketika seseorang menyesali masa lalunya dan memutuskan untuk bertaubat, kegelisahan dan tekanan jiwa dengan sendirinya akan berkurang. Itulah rahasi mengapa Allah swt. memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk bertaubat: “Hendaknya semua orang yang beriman bertaubat dan kembali menuju Allah, agar mereka mencapai keselamatan.”[579]

Tolak ukur taubat adalah penyesalan dalam batin,[580] yakni manusia menyesali perbuatan buruk yang telah ia lakukan. Al Qur’an memerintahkan kita untuk bertaubat dengan taubat nashuhah.[581] Berdasarkan riwayat-riwayat, maksud dari taubat nashuhah adalah manusia hendaknya:

1. Tidak kembali lagi kepada dosa-dosanya.[582]

2. Penyesalan hatinya itu diungkapkan dengan lidah dan ditunjukkan dengan tekat.[583]

3. Perilakunya menggambarkan ia benar-benar telah meninggalkan dosa.[584]

B. Menangis dan pembukaan ikatan masalah

Saat tertimpa musibah atau sedang mengalami penderitaan, tidak jarang orang yang menjadikan momen-momen duka sebagai kesempatannya untuk meluapkan emosi dan perasaannya. Momen-momen tersebut seperti halnya peringatan tragedi Imam Husain as., menggiring jenazah menuju pemakaman dengan mengenakan pakaian-pakaian berwarna hitam, dan lain sebagainya. Belasungkawa, hadirnya kerabat-kerabat keluarga di saat seseorang sedang tertimpa musibah, tak diragukan memiliki peran penting dalam membesarkan hati orang yang tertimpa musibah tersebut, dan juga dengan demikian ikatan kekeluargaan dan persahabatan menjadi lebih erat.[585]

Islam tidak hanya menjadikan kesabaran sebagai solusi, agama ini juga mengajarkan sikap rela terhadap qadha dan qadar, berserah pada kehendak Ilahi, menangis dan meluapkan emosi, dan lain sebagainya; karena jika kesedihan yang terukurung dalam hati itu tidak ditangani, maka akan memberikan dampak yang buruk bagi keselamatan tubuh dan jiwa. Tangisan pada dasarnya adalah hal biasa namun berguna, dan Islam pun memberikan pengarahan-pengarahan terhadapnya:

“Ketika kalian bersedih saat tertimpa musibah, ingatlah juga musibah-musibah yang menimpa para Imam dan anak cucu mereka.”

Masalah ini memiliki banyak hikmah yang di antaranya adalah:

1. Menyebabkan terluapnya emosi yang terkurung dalam hati.

2. Membuat seseorang merasa kesedihannya itu tidak seberapa jika dibanding dengan kesedihan yang menimpa para imam mereka.

3. Menciptakan rasa keterikatan hati dan perasaan yang kuat antara seseorang dengan para imamnya.[586]

Al Qur’an menjelaskan bahwa tangisan tidak hanya dikarenakan tertimpa musibah saja, namun banyak lagi tangisan-tangisan lainnya, seperti:

1. Tangisan karena takut akan Allah swt; yaitu menangis dalam keadaan khusyu’ dan tunduk di hadapan-Nya. Dalam Al Qur’an disebutkan: “Orang-orang yang beriman di hadapan tanda-tanda kebesaran Ilahi akan khusyu’ hatinya lalu bersujud.”[587] Dan juga disebutkan: “Mereka bersujud di atas tanah dengan air mata yang berlinang karena takut kepada-Nya, dan rasas takutnya selalu bertambah.”[588]

2. Tangisan penyesalan atas diri sendiri karena dosa-dosa yang telah dilakukan.[589]

C. Berduka mengenang Imam Husain as.

Diadakannnya acara-acara peringatan duka mengenang tragedi-tragedi yang menimpa para imam kita, khususnya Imam Husain as., adalah tradisi para imam maksum yang ditekankan kepada kita. Imam Baqir as. berkata:

“Di hari ‘Asyura adakanlah acara-acara peringatan dukacita dan hendaknya kalian saling mengingatkan satu sama lain akan musibah yang menimpa kami di hari ini.”[590]

Tradisi ini turun menurun dijalankan dan kini telah mengalami perkembangannya, yang mana tradisi hari Asyura telah menjadi paramida keterjagaan Islam. Imam Khumaini berkata:

“Setiap ajaran yang di dalamnya tidak ada yang seperti ini, yakni memukul dada, ratapan, dan peringatan-peringatan seperti ini, tidak akan terjamin kelanggengannya.”[591]

Acara-acara peringatan tragedi yang menimpa Imam Husain as., yang biasanya diisi dengan pembacaan kronologi, puisi, dan lain sebagainya,[592] dengan mengenakan pakaian-pakaian berwarna hitam yang menghanyutkan hati dalam kesedihan, di satu sisi usaha tersebut dapat menciptakan suasana yang mendorong kita untuk saling menolong (terutama menolong orang yang lemah),[593] di sisi yang lain juga dapat menjadi wadah pelampiasan emosi kita, yakni seseorang dengan menangisi Imam Husain as., emosinya dapat terlampiaskan dan terkosongkan.

2. Mengatur keseimbangan hati

Salah satu cara menanggulangi atau menghadapi tekanan jiwa adalah mengatur keseimbangan emosi dan perasaan dengan cara mengambil garis tengah di dorongan-dorongan emosional. Kapasitas kejiwaan seseorang berkaitan langsung dengan bentuk pemikiran dan kepribadiannya, dan kapasitas pemikiran dan kepribadian akan berpengaruh pada pola hidupnya. Islam menyebut Muslimin sebagai ummatan wasatha[594] (umat yang berada di tengah) yang senantiasa mengajak mereka untuk bersikap adil dan seimbang.

Imam Ali as. berkata:

“Kanan dan kiri itu sesat, jalan yang ada di tengah adalah jalan yang benar.”[595]

Berjalan di jalan yang lurus, memperhatikan keseimbangan (menjauhi sikap berlebihan), dan memperhatikan kadar kemampuan tubuh dan jiwa dalam melakukan apa saja, adalah masalah yang penting untuk diperhatikan, sehingga Imam Ali as. menyebut orang yang tidak memperhatikan kadar dirinya sebagai orang yang bodoh.[596] Menurut beliau keseimbangan tidak hanya harus diperhatikan dalam hal-hal materi saja:

“Sesungguhnya hati ini terkadang bersemangat dan terkadang malas. Maka pekerjakanlah hatimu di saat ia bersemangat, dan jangan paksa ia bekerja saat ia malas, karena akan membuatnya menjadi keruh.”[597]

Jadi salah satu jalan terbaik untuk menghindarkan diri dari tekanan jiwa dan stres adalah mengatur hati ini, mensucikannya seraya berjalan di jalur ketakwaan.[598] William James berpendapat bahwa kebesaran hati kuncinya ada pada mengatur perasaan dan berperangai mulia berdasarkan aturan-aturan keagamaan. Ia berkata:

“Dalam diri orang-orang yang terikat dengan ajaran agama terdapat ketenangan, kewibawaan, kelembutan, cinta dan pengorbanan.”[599]

3. Ketegaran

Beberapa peneliti Barat berkata tentang ketegaran:

“Orang-orang yang tegar menghadapi cobaan, lebih kecil resikonya terserang penyakit-penyakit dan tidak mudah mengalami stres.”

Ketegaran memiliki tiga unsur: bertekat kuat dalam bekerja, usaha pencarian solusi permasalahan, dan menyambut perubahan serta menganggapnya sebagai kesempatan untuk berkembang dan lebih maju.[600]

Islam adalah agama yang menegaskan ketegaran dan kesabaran di hadapan masalah-masalah[601] dan segala hal yang tidak enak, menekankan manusia untuk bersabar dalam menyelesaikan problema-problema yang merupakan ujian Ilahi;[602] dengan demikianlah Islam membentuk pribadi-pribadi manusia yang kokoh bagai gunung batu. Imam Shadiq as. berkata:

“Sesunggunya orang yang beriman lebih kuat dari sepotong besi. Karena besi tetap akan meleleh jika ia dipanaskan, namun orang yang beriman, meskipun ia mati terbunuh, kemudian hidup lagi, kemudian mati lagi, imannya tidak akan berubah.”[603]

4. Bersabar dan bertahan

Jika manusia tidak bersabar saat berhadapan dengan faktor faktor pemicu stres, maka masalah-masalah yang akan dihadapinya akan menjadi lebih rumit dan betapa masalah kecil menjadi pemrasalahan yang besar. Berdasarkan prinsip clasical conditioning, jika seseorang bersabar dalam menghadapi suatu perkara, di kali berikutnya saat ia menghadapi perkara yang sama ia akan menjadi lebih kuat; dan begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, kesabaran sangat penting sekali bagi menurunnya tingkat tekanan jiwa seseorang.[604]

Banyak pakar psikologi yang melakukan penelitian bahwa Sebagian ahli tahkik psikologi pengotbatan dibawah tema pengumuman masalah presaaanaan ke keharusan tidak adanya kesendirian orang yang sakit dalam berhadapan dengan masalah-masalaha persaaananan dan sibuk menyuembuhkan para pasian secara kelompok atau individu.

Banyak sekali ayat-ayat yang berbicara tentang kesabaran:

“Kami telah menciptakan manusia dalam kesengsaraan.”[605]

“Wahai manusia, sesungguhnya engkau menuju Tuhanmu dan engkau akan bertemu dengan-Nya.”[606]

Umat manusia bagaikan kafilah yang berjalan berbondong-bondong menuju Tuhannya, dan dalam perjalanan itu mereka harus berhadapan dengan kesusahan dan kesulitan; inilah tabiat kehidupan.

Al Qur’an telah menjelaskan bahwa sudah tabiatnya kehidupan ini penuh dengan kesusahan dan jerih payah yang mana semua itu adalah ujian Ilahi. Maka tidak ada senjata yang lebih ampuh selain kesabaran untuk digunakan dalam hidup ini. Dalam pandangan Al Qur’an ada tiga poin penting tentang kesabaran:

1. Orang-orang yang bersabar atas ujian disebut sebagai orang yang berhasil. Kabar gembira akan disampaikan oleh malaikat-malaikat sorga kepada orang-orang yang bersabar dan mengucapkan “inna lillahi wa inna ilaihi raji’un”.[607]

2. Kesabaran adala ujian yang dilimpahkan kepada para nabi ulul ‘azmi;[608] kesabaran adalah syarat mantap dan kokohnya perkara-perkara[609] dan para nabi yang telah dijadikan sebagai suri tauladan kepada kita itu tak lain dan tak bukan adalah orang-orang yang selalu bersabar atas para penentang dan segala kejadian yang menimpa mereka. Mereka adalah nabi-nabi yang tangguh dengan kesabarannya, seperti nabi Dawud as.,[610] nabi Ya’qub as.,[611] nabi Ayub as.,[612] nabi Ismail as., nabi Idris as., nabi Dzulkifli as.,[613] nabi Nuh as., nabi Yunus as. dan nabi Zakariya.[614]

3. Al Qur’an menekankan kepada orang-orang yang beriman untuk meminta bantuan dari kesabaran dan shalat,[615] yang mana dengan kesabaran itulah sekelompok yang jumlahnya sedikit dapat mengalahkan kelompok banyak jumlahnya.[616] Bekal asli dalam perjalanan batini dan kearifan adalah kesabaran.[617]

Semua itu dapat disimpulkan dalam satu ayat:

“Maka sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Sungguh bersama kesulitan itu ada kemudahan.”[618]

5. Perlindungan sosial dan emosional (terhadap keluarga dan sesama)

Salah satu hal yang dapat mengamankan seseorang dari kerasnya pukulan yang disebabkan oleh peristiwa-peristiwa buruk dalam kehidupan, adalah adanya perlindungan dari sesamanya, baik kawan, kerabat dan keluarga. Perlindungan tersebut memiliki tiga bentuk berikut ini:

1. Perlindungan antar kerabat atau keluarga dalam bentuk materi, misalnya membantu memberikan pinjaman uang, membelikan apa yang tidak mampu dibeli sesamanya, mengerjakan apa yang tidak mampu mereka kerjakan, dan seterusnya.

2. Perlindungan dengan cara membagi membagi informasi dan bekerja sama agar mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan serta terhindar dari bahaya dan kerugian sebisa mungkin.

3. Perlindungan dengan memberikan kepercayaan kepada orang lain serta menunjukkan kelayakannya untuk menjalankan tugas yang sedang diemban.

Bentuk perlindungan semacam ini sangat penting sekali untuk mendidik dan mendewasakan seseorang. Jika kita memberikan perlindungan perasaan kepada saudara kita, ia akan terbantu untuk mencari dan memiliki pandangan hidup yang benar, menemukan jalan positif dan dapat menghadapi permasalahan dengan tegar.

Para peneliti membuktikan, berdasarkan hasil penelitiannya yang dilakukan terhadap para pemudi muda, bahwa perlindungan orang tua terhadap perasaan anak-anak perempuannya sangat penting sekali bagi kejiwaan mereka, khususnya bagi mereka yang tertekan karena tidak mendapatkan suami atau kehilangan suaminya.[619]

Ikatan sosial dengan masyarakat

Islam, menganggap Muslimin yang hidup bersama-sama sebagai satu keluarga besar. Orang-orang yang lebih banyak usianya dianggap sebagai orang tua dan yang lebih muda dianggap sebagai anak-anak.[620] Dalam kehidupan bermasyarakat, diperlukan bermacam-macam bentuk perlindungan; yang di antaranya adalah:

A. Perlindungan terhadap sesama Muslim

Islam menjadikan pementingan perkara sesama Muslim sebagai tolak ukur ke-Musliman. Nabi Muhammad saw. bersabda:

“Barang siapa bangun dari tidurnya di pagi hari dan ia tidak memikirkan perkara sesamanya, maka ia bukanlah termasuk dari orang-orang Muslim.”[621]

Jika setiap Muslim saling memperhatikan sesamanya, maka tidak ada satu orang pun yang akan merasa kesepian tanpa ada yang peduli padanya. Demikianlah ajaran suci agama ini.

B. Perlindungan terhadap orang-orang berusia lanjut dan yang tertimpa kesusahan

Di kalangan masyarakat, orang-orang yang sudah berusia lanjut dan yang mereka yang tertimpa musibah adalah orang-orang lemah yang perlu mendapatkan perhatian khusus. Islam sangat menekankan kepada kita untuk memberikan perlindungan materi dan ruhani kepada mereka.[622] Islam memerintahkan pemeluknya untuk membayar khumus,[623] zakat,[624] sedekah[625] dan infak[626] untuk tujuan ini. Islam menekankan kepada kita semua untuk membantu mereka baik secara terang-terangan ataupun sembunyi-sembunyi.[627]

Agama Islam menekankan kecintaan terhadap sesama saudara siman yang mana semakin tinggi kecintaan seseorang kepada saudaranya semakin tinggi pula lah imannya.[628] Mengunjungi saudara seiman bagaikan berziarah ke rumah Tuhan nilainya[629] dan hal itu akan membuahkan ketenangan yang tiada tara.

C. Perlindungan terhadap para tetangga

Imam Ali as. berkata:

“Rasulullah begitu menekankan dan memberikan nasehat tentang memuliakan tetangga sampai-sampai kami menyangka bahwa para tetangga juga bakal mendapatkan bagian dari warisan yang akan kami tinggalkan.”[630]

Dalam ajaran agama ini disebutkan bahwa berbuat baik kepada para tetangga akan menyebabkan melimpahnya rizki.[631] Adapun siapa saja tetangga kita? Islam menjelaskan bahwa 40 rumah yang berada di sekitar rumah kita adalah tetangga kita.[632] Dalam ajaran ini, jika seseorang dapat dengan nyenyak tidur dalam keadaan kenyang namun tetangganya kelaparan, maka ia bukanlah Muslim.[633]

D. Perlindungan kekeluargaan

Ayat-ayat Al Qur’an dan riwayat menekankan kita untuk bersilaturrahmi. Dalam pandangan para maksumin, silaturrahmai adalah sebab dipanjangkannya umur dan turunnya berah serta makmurnya kampung halaman kita. Adapun memotong hubungan kekeluargaan (lawan dari silaturrahmi) akan menyebabkan pendeknya umur dan siksaan neraka di akherat.[634]

Jika kita mampu dan memang memungkinkan, Islam mewajibkan kita untuk memberi nafkah kepada keluarga terdekat, seperti anak, cucu, kakek dan nenek.[635] Dari sisi lain, mereka tidak hanya harus diberi perlindungan finansial saja, namun juga perlindungan dengan segenap maknanya. Jika seandainya salah satu di antara mereka telah berbuat salah dengan membunuh seseorang, maka kita harus berusaha membayarkan diyah (denda) kepada hakim syar’iy.[636] Silsilah urutan warisan juga berdasarkan silsilah urutan kekeluargaan.[637] Berdasarkan ajaran islami jika seseorang memberikan sesuatu kepada ikatan kekeluargaan ini. Dalam ajaran Islam, seseorang yang telah memberikan sebuah hadiah kepada salah satu di antara mereka ia tidak berhak untuk mengambilnya kembali.[638] Hukum-hukum ini menunjukkan betapa ditekankannya perlindungan terhadap keluarga dan Islam adalah agama yang menjunjung tinggi hak-hak kekeluargaan.[639]

E. Perlindungan terhadap anak-anak yatim

Anak-anak yatim adalah bagian masyarakat yang perlu mendapatkan perhatian khusus. Al Qur’an sangat mementingkan perlindungan terhadap anak-anak yatim dan banyak sekali ayat-ayat yang menyinggung tentang masalah ini:

“Dan muliakanlah anak-anak yatim.”[640]

“Berprilakulah kepada mereka bagai kalian berprilaku kepada saudara-saudara kalian.”[641]

“Jadikanlah keadilan sebagai kebiasaan kalian dalam berhadapan dengan mereka.”[642]

“Jangan kalian sakiti mereka.”[643]

“Berikanlah sebagian harta kalian kepada mereka.”[644]

“kecuali dengan cara yng paling baik, janganlah kalian mendekat kepada harta mereka sampai mereka besar dan baligh”[645]

“Dan ketika mereka telah mencapai baligh, berikanlah harta mereka secara sempurna.”[646]

Orang-orang yang beriman dilarang memakan harta anak yatim. Allah swt. berfiman:

“Mereka yang memakan harta anak yatim dengan tidak benar, pada hakikatnya mereka memasukkan api ke dalam perut mereka dan dengan segera mereka akan dilemparkan ke dalam api jahanam.”[647]

F. Perlindungan kepada para tawanan dan orang-orang terlantar

Dalam Islam kita diperintahkan untuk memberikan perhatian dan bantuan kepada para tawanan (di zaman dahulu), orang-orang yang terlantar dan orang yang berhijrah dari tempat lain.[648]

“Maka berilah kepada kerabat yang terdekat akan haknya, denmikian (pula) kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridhaan Allah; dan mereka itulah orang-orang beruntung.”[649]

“Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kalian peroleh sebagai rampasan perang maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnusabil, jika kalian beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba kami (Muhammad) di hari Furqan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah maha kuasa atas segala sesuatu.”[650]

G. Perlindungan terhadap orang yang mengalami keterbelakangan mental

Al Qur’an juga memerintahkan orang-orang yang beriman untuk berbaik hati dan memberikan perlindungan keapada orang-orang yang mengalami keterbelakangan mental dan gangguan jiwa:

“Dan janganlah kalian serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaan kalian) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.”[651]

6. Menyatukan jiwa dengan sumber kekuatan

Salah satu cara yang harus selalu kita gunakan untuk menghadapi masalah-masalah dalam mengarungi samudera kehidupan ini menguatkan sisi spiritual kita, yakni menjalin hubungan yang baik secara spiritual dengan sumber kekuatan, yaitu Allah swt. Usaha tersebut dapat dicapai dengan pendekatan diri kepada-Nya dengan cara-cara berikut ini:

A. Doa dan zikir

Doa adalah meminta pertolongan dari Allah sang pemilik kekuatan nirbatas. Saat manusia berdoa kepada Tuhannya, ia akan merasakan ketenangan dan berkobarnya api harapan. Ia juga dapat merasakan ada kekuatan besar di atasnya karena ia telah menyatukan hatinya dengan sang pemilik kekuatan yang tak terbatas. Apa lagi jika seorang manusia berada dalam kondisi penuh bahaya yang sedikit sekali kemungkinan ia selamat, saat itu juga fitrahnya menyeru agar ia bersimpuh dan berdoa agar Allah swt. menyelamatkannya.[652] Adapun kebalikannya, orang yang enggan berdoa dan mengingat Allah swt. akan mendapatkan kehidupan yang penuh kesengsaraan,[653] karena orang yang beriman dan selalu ingat Tuhan tidak memandang materi sebagai segala-galanya sehingga jika seandainya ia mengalami kerugian materi ia harus terkapar kesusahan dan kehilangan kesabaran.

Dalam berdoa, terjadi semacam jalinan batin antara seorang hamba dengan Tuhan, dan sering kali jalinan ini berbeda-beda tergantung dengan pelakunya. Di saat seseorang tidak bisa mencurahkan isi hatinya untuk mengadu meskipun kepada orang yang terdekat sekalipun, namun di hadapan Tuhan ia bebas mengadukan apa saja. Dengan demikian derita yang ia rasakan menjadi lebih ringan. Imam Ali as. berkata:

“Wahai yang nama-Nya adalah obat dan dzikir-Nya adalah kesembuhan.”[654]

B. Shalat

Shalat adalah meminta pertolongan kepada Allah swt. dengan adab-adab tertentu yang ia miliki. Dalam Al Qur’an disebutkan bahwa orang yang beriman hendaknya mencari pertolongan dari kesabaran dan shalat.[655] Banyak sekali penelitian yang telah dilakukan terhadap ritual-ritual peribadatan dalam berbagai mazhab dan terbukti bahwa ibadah dan doa memiliki dampak positif dalam diri manusia: dirasakannya ketenangan, semangat lebih besar untuk hidup, berkurangnya stres, jernihnya fikiran, sehatnya jiwa, dan seterusnya. Bahkan ibadah-ibadah semacam ini dapat dikategorikan sebagai obat penenang jiwa yang ampuh.[656] Shalat dapat menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi seorang hamba karena:

1. Ketika seorang hamba berdiri untuk menjalankan ibadah shalat, pikiran dan ingatannya akan terpalingkan dari kesusahan dan tekanan yang sedang dialaminya, hatinya hanya terfokus kepada Tuhan. Ketika seseorang tidak hanyut dalam perasaan sedih dalam menghadapi permasalahan, saat itu itu juga beban permasalahan tersebut akan terasa lebih ringan baginya.

2. Dalam shalat terjadi jalinanan perasaan antara seorang hamba dengan Tuhannya dan ikatan inilah yang menciptakan kekuatan dalam hatinya sehingga ia dapat merasakan ketenagan.

3. Shalat memiliki adab-adab yang dapat mengantar jiwa manusia ke alam ketenangan.

4. Memahami dan menghayati setiap dzikir yang dibaca di dalamnya, khususnya ayat yang berbunyi “Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya pada-Mu kami minta pertolongan”, ayat yang mengilhamkan tekat pada diri kita untuk tidak pernah tunduk dan menyembah selain Allah swt.[657]

Tingginya ketenangan jiwa seseorang yang menghayati shalat dan hanyut dalam cinta Ilahi tidak dapat digambarkan dengan mudah. Pada suatu hari Abu Darda’ bercerita:

“Beberapa saat sebelum fajar menyingsing, aku melihat Imam Ali as. di tempat ibadahnya tergeletak di atas tanah. Aku mendekatinya dan menggerakkan tubuhnya, namun aku lihat ia tidak bergerak sedikitpun. Aku bergegas ke rumahnya dan memberikan kabar ini kepada istri beliau, Fathimah Az Zahra. Sesampai di rumah putri nabi itu bertanya, “Siapakah kamu?” Aku menjawab, “Aku adalah Abu Darda’, pembantumu.” Ia bertanya: “Ada apakah gerangan?” Aku menjawab, “Aku menemukan imam Ali as. tergeletak meninggal dunia dalam keadaan beribadah!” Namun mendengar itu Fathimah Az Zahra hanya menanggapi, “Biarkan saja, memang ia seperti itu saat beribadah karena begitu takut akan Allah swt.”[658]

Sebuah contoh menarik lainnya adalah dicabutnya sebatang anak panah dari tubuh Imam Ali as. saat ia berada dalam keadaan shalat tahajjud. Dalam keadaan itu karena shalatnya yang begitu dalam dan khusyu’ ia tidak merasakan sakitnya anak panah dicabut dari tubuhnya.[659]

Elexis Carl mengakui bahwa shalat adalah pembawa ketenangan dan ketentraman maknawi dan keadaan inilah yang sangat dibutuhkan oleh orang-orang yang sedang berhadapan dengan tekanan jiwa. Tak jarang orang-orang mendapatkan kesembuhannya di tempat mereka beribadah. Sertbut seorang psikolog Inggris sependapat dengan William James tentang shalat dan ia berkata:

“Dengan sholat kita bisa mencapai segunung kebahagiaan yang mana kita tidak akan bisa mencapainya lagi kecuali dengan cara itu”[660]

C. Bertawasul

Salah satu keyakinan yang dimiliki oleh umat Islam adalah tawasul. Tawasul adalah salah satu cara seseorang melampiaskan beban perasaan dalam hatinya. Keyakinan akan tawasul (bahwa para hamba-hamba yang terdekat dengan Tuhan dapat membantu kita—pent.) membuat kita merasa yakin bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini adalah kehendak Allah swt. (yakni tauhid af’ali) dan para wali-wali-Nya adalah perantara-Nya dalam mencurahkan rahmat dan karunia, di samping itu perkataan mereka juga didengar oleh Tuhan, dan mereka juga bisa memberikan syafaat dengan izin-Nya.[661] Oleh karena itu saat kita sedang berada dalam kesusahan, kita disarankan untuk bertawasul kepada mereka, menjadikan mereka sebagai perantara turunnya rahmat dari sisi Allah swt. Kenyataan ini telah terbukti, banyak sekali hamba-hamba Allah swt. yang bersimpuh mengadu kepada mereka dan mereka pun mendapatkan bantuan dan hajat-hajatnya terpenuhi. Bertawasul dapat menguatkan kadar tawakal (penyerahan diri kepada Allah swt.) seseorang. Dengan menjalin hubungan dengan wali-wali Alalh swt. yang memiliki kedudukan tinggi di sisi-Nya dan juga memiliki pengaruh dalam pengaturan alam semesta, dapat membuat kita merasa tentram dan tidak kesepian.[662]

D. Ziarah ke tempat-tempat suci

Ibadah yang dilakukan secara bersama-sama dapat dipastikan memiliki pengaruh tersendiri dalam mengurangi tekanan jiwa pada seseorang. Kegiatan seperti ini telah ada jauh sebelum Islam, bahkan jauh sebelum sejarah dicatat. Mereka bersama-sama berkumpul dan menciptakan satu rasa dan perasaan, saling dekat satu samalain, saling membagi kebahagiaan dan mencurahkan kesedihan, yang mana dengan demikian rasa sakit yang mereka rasakan dengan sendirinya akan berkurang. Salah satu kegitatan yang seperti itu adalah berziarah bersama-sama. Saat ini pun kita dapat melihat fenomena ini, orang-orang berkumpul dengan pakaian rapi, bersih, wangi, beribadah bersama dengan khusyu’ dan penghayatan. Dengan mengingat esensi yang dimiliki ajaran ini, kesucian dan keagungannya dapat terlihat dengan jelas.[663]

Dalam agama Islam, terdapat berbagai tempat suci seperti kota Makkah, Madinah, Atabat, Masyhad, Qom, Goa Hira, Sumur Zamzam, Mina, Arafah, Shafa, Marwa, dan masih banyak lagi, yang mana merupakan tempat berziarahnya hamba-hamba Allah; yang sebagian dari itu adalah wajib, dan sebagian lainnya disunahkan namun penuh penekanan dalam menjalankannya.

Ziarah adalah mengikat janji, bertumpu pada tauhid dan menyatukan jiwa dengan kebenaran wahyu. Ziarah adalah baiat dan sumpah setia kepada para imam, para wali Allah swt. yang terdekat dengan-Nya.

Dalam agama Islam, khususnya mazhab Syi’ah, ziarah begitu ditekankan kepada para pemeluknya. Berziarah ibaratnya seseorang sedang berada di rumah orang yang dicintainya, orang yang memahami sakit dan deritanya. Di situ ia mengadukan permasalahannya. Di rumah itu ia merasa tentram karena ia merasa tidak sendiri lagi dan sedang berada di bawah naungan rahmat dan kekuatan Allah swt. Al Marhum Naraqi menulis:

“Arwah-arwah kudus yang memiliki kekuatan tersendiri, khususnya arwah para nabi, para imam dan para wali Allah swt., setelah terbebas dari kurungan jasad ini, terbang menuju alam tajarrud. Di alam itu mereka berada di ujung ufuk tertinggi yang mana pengetahuan mereka dapat menjangkau segala hal yang ada di dunia. Apa yang terjadi di dunia dapat dengan jelas mereka saksikan. Mereka juga memiliki pengaruh dengan izin Allah atas urusan-urusan dunia. Mereka menyaksikan orang-orang yang berziarah kepada mereka. Mereka faham dengan jelas apa yang diinginkan peziarahnya. Kemudian dengan ziarah itu Allah menghantarkan angin rahmat kepada mereka, memenuhi kebutuhan, memaafkan dosa dan menjauhkan mereka dari kesusahan. Arwah-arwah suci itu dengan izin-Nya dapat memberikan syafaat untuk mereka. Inilah rahasia mengapa ziarah nabi dan para imam begitu ditekankan.”[664]

Selama ini dan sampai kapanpun ziarah terbukti memiliki efek dalam memberikan pemecahan permasalahan dan perubahan dalam kehidupan.