Sejarah Hidup Imam Ali ra

Sejarah Hidup Imam Ali ra0%

Sejarah Hidup Imam Ali ra pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Imam Ali as

Sejarah Hidup Imam Ali ra

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

pengarang: H.M.H. ALHAMID ALHUSAINI
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Pengunjung: 17445
Download: 3984

Komentar:

Sejarah Hidup Imam Ali ra
Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 22 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 17445 / Download: 3984
Ukuran Ukuran Ukuran
Sejarah Hidup Imam Ali ra

Sejarah Hidup Imam Ali ra

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a.

Oleh

H.M.H. Al Hamid Al Husaini

M U Q A D D I M A H

Usaha menyingkat sejarah kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib r.a. dalam

lembaran-lembaran buku, bukanlah pekerjaan yang mudah. Sejak semula telah

terbayang kesukaran-kesukaran yang bakal dihadapi. Betapa tidak!

Kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib r.a., terutama pada tahap-tahap terakhir,

sejak terbai'atnya sebagai Khalifah sampai wafatnya sebagai pahlawan syahid,

bukankah satu kehidupan biasa. Ia merupakan satu proses kehidupan yang lain

daripada yang lain. Ia menuntut penalaran luar biasa, menuntut kekuatan

syaraf istimewa pula.

Kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib r.a. penuh dengan ledakan-ledakan luar

biasa, keagungan dan hal-hal mempesonakan. Tetapi bersamaan dengan itu

juga penuh dengan gelombang kekecewaan dan kengerian.

Oleh karena itu penulisan tentang semua segi kehidupannya menjadi benar-benar tidak mudah.

Ditambah pula dengan adanya pihak-pihak yang menilai beliau secara berlebih-lebihan. Baik

dalam memujinya maupun dalam mencacinya.

Imam Ali bin Abi Thalib r.a. sendiri tidak senang pada orang-orang yang menilai diri beliau

secara berlebih-lebihan. Hal itu tercermin dengan jelas dari kata-kata beliau: "Ada dua fihak

yang celaka karena berlebih-lebihan menilai sesuatu yang sebenarnya tidak kumiliki. Sedangkan

pihak yang lain ialah yang demikian bencinya kepadaku sehingga mereka melontarkan segala

kebohongan tentang diriku."

Dari sini pulalah maka Imam Ali r.a. mengatakan: "Ada segolongan orang yang demi cintanya

kepadaku mereka bersedia masuk neraka. Tetapi ada segolongan lain yang demi kebenciannya

kepadaku sampai-sampai mereka itu bersedia masuk neraka."

Ada dua faktor yang menyebabkan timbulnya pertentangan penilaian mengenai menantu dan

sekaligus saudara misan Rasul Allah s.a.w. itu. Dua faktor itu ialah sifat atau watak pribadi

Imam Ali r.a. sendiri dan situasi serta kondisi kehidupan Islam pada zaman hidupnya tokoh

penting Islam itu.

Faktor mana yang lebih dominan, sehigga pribadi Imam Ali r.a. mempunyai kedudukan yang

unik dalam sejarah Islam sulit dikatakan. Yang jelas kedua faktor itu memegang peran penting

dan memberi arti khusus yang pengaruhnya hingga kini masih terasa. Bahkan sejak

meninggalnya pada tahun 40 Hijriyah pendapat yang kontroversial mengenai dirinya itu tidak mereda, malahan makin berkembang sehingga sangat mewarnai sejarah Islam sampai abad ke-

15 Hijriyah sekarang ini.

Periode kehidupan Imam Ali r.a. ditandai dengan tantangan-tantangan yang dihadapi oleh

ummat Islam, terutama setelah wafatnya Rasul Allah s.a.w. Belum lagi jenazah Rasul Allah

s.a.w. dimakamkan telah muncul krisis. Dan krisis itu disusul pula oleh krisis-krisis lain.

Ancaman dari dalam dan dari luar sangat membahayakan kedudukan Islam yang masih muda

itu.

Pertentangan pribadi, qabilah, suku, golongan, bangsa dan antar-negara bermunculan hampir

secara simultan. Keseimbangan kehidupan rohani dan jasmani, masalah keagamaan dan

kenegaraan yang serasi dan seimbang di bawah satu pimpinan, yaitu di tangan Rasul Allah

s.a.w. semasa hidupnya, tiba-tiba saja mengalami kegoncangan, ketidak-seimbangan dan

ketidak-serasian.

Proses kristalisasi dan disintegrasi yang menyusul wafatnya Rasul Allah s.a.w. dihadapkan pada

tokoh-tokoh terkemuka ummat Islam, yang selama itu merupakan pembantu-pembantu

terdekat Rasul Allah s.a.w. Diantaranya Imam Ali r.a. sebagai salah satu tokoh yang menonjol

dan dekat sekali dengan Rasul Allah s.a.w. Dan dialah salah seorang yang paling merasa

berkepentingan terhadap kemaslahatan Islam dan ummatnya. Sebab dialah yang paling dini

melibatkan diri sebagai pengikut setia Nabi Muhammad s.a.w.

Awal tahun Hijriyah ditandai oleh peranan Imam Ali r.a. Malam sebelum Rasul Allah s.a.w.

melakukan hijrah ke Madinah, yang sangat bersejarah itu, rumah kediaman beliau dikepung

rapat oleh para pemuda Qureiys: Mereka bertekad hendak membunuh nabi Muhammad s.a.w.

Pada saat itulah Rasul Allah s.a.w. memerintahkan Imam Ali r.a. supaya mengenakan mantel

hijau buatan Hadramaut dan agar saudara misannya itu berbaring di tempat tidur beliau. Imam

Ali r.a. dengan kebanggaan dan keberaniannya melaksanakan tugas tersebut.

Ketika para pemuda Qureisy yang berniat jahat itu mengintip, mereka mengira Rasul Allah

s.a.w. berada di dalam. Padahal sebenarnya saat itu Rasul Allah s.a.w. telah berhasil

menyelinap keluar menuju ke rumah Abu Bakar r.a.

Ketaatannya kepada Rasul Allah s.a.w. dan keberaniannya pada malam hijrah itu bukan

merupakan kasus tersendiri. Pada masa-masa hidupnya lebih lanjut, faktor keberanian ini

sangat mewarnai kehidupan Imam Ali r.a. Dasar-dasar keberanian ini tambah diperkuat oleh

keyakinannya yang makin teguh pada kebenaran ajaran Rasul Allah s.a.w. dan ketaqwaannya

pada Allah s.w.t.

Ketaatannya pada Rasul Allah s.a.w. dan keberaniannya dalam membela serta menegakkan

kebenaran-kebenaran agama Allah merupakan pendorong utama, sehingga kemudian ia

diagungkan oleh pengikut-pengikutnya sebagai pahlawan besar ummat Islam.

Hal itulah yang antara lain telah menimbulkan perbedaan penilaian yang hasilnya melahirkan

perselisihan pendapat. Yang menilai positif melambangkan Imam Ali r.a. sebagai contoh tokoh

yang paling ideal, pelanjut cita-cita dan perjuangan Rasul Allah. Kemudian eksesnya menjadi

berlebih-lebihan, sehingga sama sekali tidak disukai oleh yang bersangkutan sendiri.

Sebaliknya mereka yang menilai negatif, Imam Ali r.a. mereka anggap sebagai tokoh yang amat

berambisi untuk mendapat kedudukan memimpin ummat Islam. Penilaian terakhir ini

mengundang sifat-sifat kebencian dan menjurus ke permusuhan, dan akhirnya memuncak dalam

bentuk peperangan melawan Imam Ali r.a.

Kepribadian dan watak Imam Ali r.a. yang unik itulah yang mengembangkan pendapat ekstrim

tentang dirinya. Yang mengaguminya, kemudian memitoskan dan mendewakannya. Tidak jarang, karena ekses penyanjungan kepada Imam Ali r.a. akhirnya secara sadar atau tidak sadar

golongan ini mengaburkan peran agung Rasul Allah s.a.w. Sebaliknya yang membenci Imam Ali

r.a. melahirkan ekses mengkafirkannya.

Dua fihak yang sangat bertentangan penilaian terhadap Imam Ali r.a. tercermin pada dua

kelompok yang terkenal dalam sejarah Islam.

Kaum Rawafidh bukan saja pengagum Imam Ali r.a., malahan boleh dibilang sebagai "kaum

penyembah Imam Ali r.a." Semasa hidupnya, Imam Ali r.a. sendiri sudah berulang kali melarang

tindak dan sikap mereka yang sangat keliru itu, tetapi sikap Imam Ali r.a. yang tidak mau

disanjung dan disembah itu bahkan mereka nilai sebagai sikap yang agung. Imam Ali r.a.

sampai-sampai mengingatkan mereka bahwa apa yang mereka lakukan itu syirik. Peringatan itu

sama sekali tidak menyurutkan pendirian mereka.

Begitu fanatiknya mereka kepada Imam Ali r.a. sehingga mereka bersedia mengorbankan

segala-galanya demi tegaknya pendirian itu. Bahkan ketika mereka dijatuhi hukuman dengan

dibakar hidup-hidup, hukuman itu mereka terima dengan penuh ketaatan. Di tengah kobaran

api unggun yang membakar diri mereka di depan umum, dengan penuh gairah mereka berseru:

"Dia (Imam Ali) adalah tuhan. (Sebab) dialah yang menetapkan adzab neraka ini". Mereka rela

mati dibakar dengan penuh keikhlasan. Mereka memandang layak hukuman demikian

dijatuhkan oleh "tuhan" mereka sendiri.

Sangat berlawanan dengan kaum Rawafidh ini, adalah pendirian golongan Nawasib dan

Khawarij yang sangat benci kepada Imam Ali r.a. Ironisnya, kaum Khawarij ini sebelumnya

justru merupakan pengikut Imam Ali r.a. yang paling setia dan taat. Mulamula mereka sangat

cinta, kagum, taat dan setia. Lalu berbalik 180 derajat menjadi muak, benci, mengutuk,

bahkan mengkafirkan Imam Ali r.a. Itu terjadi ketika tokoh yang mereka kagumi itu bersedia

menerima "perdamaian" dengan Muawiyah. Peristiwa yang dalam sejarah terkenal sebagai

"Tahkim bi Kitabillah".

Kaum Khawarij itu menuntut kepada Imam Ali r.a. agar ia bertaubat kepada Allah atas

perbuatan salah yang dilakukannya (mengadakan perdamaian dengan Muawiyah). Begitu

mendalamnya kebencian mereka sehingga pada kesempatan apa, kapan dan di mana saja

mereka melancarkan kecaman pedas dan memaki habis. Bahkan sejarah mencatat, Imam Ali

r.a. wafat akibat pembunuhan yang dilakukan golongan Khawarij.

Sulit untuk dicari bahan bandingan bagi seorang tokoh yang begitu hebat menimbulkan

pertentangan pendapat seperti yang ada pada diri Imam Ali r.a. Lebih sulit lagi untuk menarik

kesimpulan dari kenyataan ini. Apakah karena ia orang besar, maka timbul pertentangan

pendapat yang begitu hebat? Ataukah karena adanya pertentangan pendapat itu hingga ia

menjadi mitos. Kenyataan adanya pertentangan pendapat itu sendiri sudah mengungkapkan,

bahwa Imam Ali r.a. adalah tokoh potensial sekali, khususnya bagi ummat Islam.

Juga merupakan ironi sejarah, salah seorang yang pertama-tama berperan vital dalam membela

Islam, akhirnya dijatuhkan oleh seorang yang ayahnya justru paling memusuhi Islam ketika

Rasul Allah s.a.w. mulai dengan da'wahnya. Orang yang sejak masa anak-anak sudah

mempertaruhkan segala-galanya demi tegak dan berkembangnya Islam, kepemimpinannya

direbut oleh orang-orang yang pada awal Islam paling gigih menentang.

Lebih menyedihkan lagi karena orang yang melawan Imam Ali r.a. menempuh segala usaha dan

tipu-daya "dengan mengatas-namakan Islam". Lebih parah lagi karena dengan "mengatasnamakan

Islam" selama 136 tahun, kekuasaan Bani Umayyah, nama Imam Ali ditabukan,

direndahkan dan dihina. Pada setiap khutbah, pada setiap doa sehabis shalat tidak pernah

ditinggalkan cacian dan kutukan terhadap Imam Ali agar ia disiksa Allah.

Bahkan nama Imam Ali digunakan oleh dinasti Bani Umayyah untuk menegakkan kekuasaan

otoriter. Tiap orang atau kelompok yang berani menentang, atau tidak sependapat dengan

kebijaksanaan penguasa Bani Umayyah dapat ditindak dengan menggunakan dalih "pengikut

Imam Ali" (Pecinta Ahlulbait).

Siapa yang mempelajari sejarah Imam Ali r.a. dengan jujur, pasti akan menemukan pada

dirinya salah satu segi yang khas ada pada kehidupan tokoh legendaris itu. Nama Imam Ali r.a.

identik dengan sifat-sifat manusiawi yang mendalam. Baik sejarah sendiri, maupun sejarawan

tidak cukup mampu mengungkapkannya. Kaitan yang seperti itu biasanya oleh seorang penulis

terpaksa dikesampingkan saja dengan penuh kesadaran dan kebijaksanaan.

Makin berkurangnya faktor-faktor kejiwaan yang menyulitkan pembahasan dan makin

dibatasinya segi-segi sejarah yang hendak ditulis, bisa jadi lebih mendekati objektivitas. Tetapi

apakah begitu jadinya?

Para sejarawan mengungkapkan bahwa pada ghalibnya makin lama seorang telah meninggal

akan lebih mudah ditemukan objektivitas untuk pengungkapan riwayat orang yang

bersangkutan. Akan tetapi kalau menyangkut Imam Ali r.a. hal itu masih dipertanyakan.

Dalam batas-batas pengungkapan yang demikianlah, buku "Imam Ali bin Abi Thalib r.a." ini

mengetengahkan riwayat kehidupan Imam Ali pada masa asuhan, keluarganya, rumahtangganya,

peranan kepahlawanannya semasa Rasul Allah masih hidup, wafatnya Rasul Allah

s.a.w., masa-masa kekhalifahan Abu Bakar r.a., Umar r.a., Utsman r.a., delapan hari tanpa

khalifah, Perang Unta, Perang Shiffin, Gerakan Khawarij, keutamaan, pintu ilmu dan sebuah

kenangan.

Bab I : Masa Asuhan

Dengan membaca buku-buku riwayat atau sejarah, kita akan mengenal tokok-tokoh pembela

kebenaran dan keadilan: yang lebih mementingkan kepentingan umum daripada kepentingan

pribadi, tanpa pamrih dan bersedia mengorbankan diri untuk membela keyakinan yang dirasa

benar dan adil.

Juga dengan membaca buku-buku riwayat atau sejarah, kita akan mengenal orang-orang yang

senantiasa memusuhi kebenaran dan keadilan, yang lebih mementingkan kepentingan pribadi

daripada kepentingan umum dan hanya memikirkan keuntungan saja tanpa memperdulikan

halal atau haramnya sesuatu.

Dua macam sifat atau watak seperti di atas, tidak mungkin mendadak lahir setelah dewasa

saja. Sifat tersebut lahir melalui proses. Hal ini juga berlaku bagi Imam Ali r.a.

Untuk mengetahui bagaimana proses Imam Ali bin Abi Thalib r.a. menjadi seorang pahlawan

Islam yang tangguh, hingga dijadikan suri-tauladan oleh para pejuang Islam, marilah kita ikuti

sejak kelahirannya, masa kanak-kanaknya, masa remajanya dan kemudian setelah dewasa.

Putera Ka'bah

Telah menjadi keyakinan orang yang beragama, bahwa manusia dapat merencanakan sesuatu

dan berusaha mewujudkan rencananya. Akan tetapi apakah rencana tersebut akan tercapai

atau gagal, manusia yang merencanakan tadi tak dapat menentukannya. Penentuan terakhir di

tangan Allah s.w.t.

Banyak orang yang ingin agar isterinya dapat melahirkan putera atau puteri di tempat tertentu

dan disaksikan oleh keluarga yang lengkap. Apakah keinginan atau rencana orangtua itu akan

tercapai, Allah s.w.t. yang menentukan.

Bagaimana halnya dengan kelahiran Imam Ali r.a.? Di mana beliau dilahirkan? Di rumah Abu

Thalib atau di tempat lain?

Tentang tempat kelahiran Imam Ali r.a., A1 Hakim dalam buku "Al Mustadrak", jilid III, halaman

483, antara lain mengemukakan: Ketika itu hari Jum'at, 13 bulan Rajab, 12 tahun sebelum Nabi

Muhammad s.a.w. mendapat risalah. Seorang wanita, meskipun perutnya nampak besar sekali,

bersama suaminya melakukan tawaf mengelilingi Ka'bah. Wanita yang bernama Fatimah itu

tiba-tiba merasakan perutnya sakit. Ketika rasa sakitnya bertambah, segera diberitahukan

kepada suaminya, Abu Thalib. Mendengar keluhan itu, Abu Thalib segera menggandeng

isterinya masuk ke dalam Ka'bah. Menurut perkiraan, isterinya kelelahan. Diharapkan dengan

beristirahat sebentar rasa sakitnya akan berkurang.

Kenyataannya tidak seperti yang diperkirakan Abu Thalib. Perut Fatimah bertambah sakit.

Fatimah yang sudah berkali-kali melahirkan, telah mengerti isyarat apa yang sedang

dialaminya. Sebagai seorang wanita yang shaleh, ia tidak mengungkapkan isyarat itu kepada

suaminya. Dia khawatir jika suaminya tahu, tentu maksud suaminya menyelesaikan tawaf akan

terganggu. Ia tidak ingin berbuat demikian. Suaminya tetap dianjurkan menyelesaikan

tawafnya.

Dalam keheningan dan keredupan Baitullah, rumah Allah, Fatimah merasa perutnya bertambah

mulas. Disaat itu yang teringat di hati Fatimah ialah bahwa rasa sakitnya akan berkurang

dengan datangnya pertolongan Allah. Fatimah segera mengangkat tangan, yang sebelumnya

memegang perut untuk menahan rasa sakit dan dengan suara sayu tersengal-sengal berucap:

"Ya Allah, Ya Tuhanku. Aku bernaung kepada-Mu, kepada utusan-utusan-Mu dan Kitab-kitab

yang datang dari-Mu. Aku percaya kepada ucapan datukku Ibrahim, pendiri rumah ini. Maka

demi pendiri rumah ini dan demi jabang bayi yang ada di dalam perutku, aku mohon kepada-Mu

untuk dimudahkan kelahirannya".

Beberapa saat seusai mengucapkan doa, lahirlah bayi dengan selamat. Bayi ini adalah putra keempat

dari Fatimah. Sepanjang ingatan orang, inilah untuk pertama kali seorang wanita

melahirkan puteranya dalam Ka'bah. Kelahiran bayi ini hanya disaksikan oleh ayah bundanya

saja.

Kejadian yang luar biasa ini, beritanya segera tersiar ke berbagai penjuru. Berbondongbondonglah

mereka, terutama keluarga Bani Hasyim, datang ke Ka'bah, guna menyaksikan bayi

yang baru lahir. Di antara yang datang ialah Nabi Muhammad s.a.w. Bayi ini saudara misan

beliau sendiri. Beliau menggendong bayi tersebut, kemudian bersama ayah-ibunya pulang ke

rumah Abu Thalib.

Meskipun bayi ini merupakan putera keempat, namun oleh ayahnya dipandang sebagai kurnia

besar yang dilimpahkan Allah s.w.t. kepada keluarganya. Kegembiraan Abu Thalib ini tercermin

dari perintah yang segera dikeluarkan untuk menyelenggarakan pesta walimah. Guna

memeriahkan pesta itu, beberapa ekor ternak dipotong. Pemuka-pemuka Qureiys diundang

mengunjungi pesta itu, sebagai penghormatan atas kelahiran puteranya. Pada kesempatan

itulah Abu Thalib mengumumkan pemberian nama "Ali" kepada puteranya yang baru lahir. "Ali"

berarti "luhur".

Nama dan Gelarnya

Sesungguhnya, sebelum berlangsung pesta walimah, di mana Abu Thalib mengumumkan nama

"Ali" bagi puteranya yang keempat itu, Fatimah telah memberi nama "Haidarah", yang berarti

"Singa". Satu nama yang diambil persamaannya dari nama Asad, nama datuknya dari pihak ibu,

yang juga berarti "Singa".

Sementara orang mengatakan, bahwa yang memberi nama "Haidarah" ialah orang-orang

Qureiys. Tetapi sejarah membuktikan, bahwa nama "Haidarah" itu sesungguhnya pemberian

ibunya sendiri.

Bukti sejarah ini dapat diketahui dari peristiwa perang-tanding, seorang lawan seorang, antara

Imam Ali r.a. melawan Marhaban. Dalam perang-tanding itu Marhaban mengagul-agulkan diri

dengan bait syairnya: "Aku inilah yang diberi nama Marhaban oleh ibuku!" Imam Ali r.a. segera

menukas dan melanjutkan bait syair itu dengan kata-katanya: "Aku inilah yang diberi nama

Haidarah oleh ibuku!"

Hanya saja nama yang diberikan ibunya menjadi tenggelam sesudah pengumuman ayahnya

dalam pesta walimah, yaitu "Ali". Ia lebih terkenal dengan nama Ali bin Abi Thalib.

Ketika di bawah asuhan Rasul Allah s.a.w., Imam Ali r.a. pernah diberi julukan "Abu Turab",

yang artinya "Si Tanah". Pemberian julukan itu erat kaitannya dengan peristiwa ditemuinya

Imam Ali r.a. di satu hari sedang tidur berbaring di atas tanah. Yang menemuinya Nabi

Muhammad s.a.w. sendiri. Beliau menghampirinya dan duduk dekat kepalanya sambil

mengusap-usap punggungnya guna membuang debu-tanah. Kemudian Nabi Muhammad s.a.w.

membangunkannya seraya berkata: "Duduklah, engkau hai Abu Turab!"

Nama Abu Turab ini paling disukai oleh Imam Ali r.a. Ia sangat bangga bila dipanggil dengan

nama itu. Menurut Al Bashri, nama Abu Turab ini di kemudian hari oleh orang-orang Bani

Umayyah dijadikan bahan ejekan guna merendahkan martabat Khalifah Imam Ali r.a. Mereka

mengatakan, bahwa pemberian nama Abu Turab" oleh Rasul Allah s.a.w. merupakan bukti

tentang kekurangan dan kelemahan fitrahnya.

Disamping nama-nama tersebut di atas, Imam Ali r.a. juga terkenal dengan panggilan Abul

Hasan. Ini terjadi, setelah kelahiran putera beliau, Al Hasan. Selain dari nama-nama tersebut di

atas; Imam Ali r.a. banyak sekali mendapat gelar dan yang paling populer hingga sekarang ialah

"Imam".

Di bawah Naungan Wahyu

Ketika Imam Ali r.a. menginjak usia 6 tahun, Makkah dan sekitarnya dilanda paceklik hebat.

Sebagai akibatnya, kebutuhan pangan sehari-hari sulit diperoleh. Bagi mereka yang berkeluarga

besar dan ekonomi lemah, seperti keluarga Abu Thalib, pukulan paceklik terasa parah sekali.

Pada masa paceklik ini, Nabi Muhammad s.a.w. telah berumah tangga dengan Sitti Khadijah

binti Khuwalid r.a. Beliau tak dapat melupakan budi pamannya yang telah memelihara dan

mengasuh beliau sejak kecil hingga dewasa. Bertahun-tahun beliau hidup di tengah-tengah

keluarga Abu Thalib, mengikuti suka-dukanya dan mengetahui sendiri bagaimana keadaan

penghidupannya.

Dalam suasana paceklik ini, Nabi Muhammad s.a.w. menyadari betapa beratnya beban yang

dipikul pamannya, Abu Thalib, yang sudah lanjut usia. Hati beliau terketuk dan segera

mengambil langkah untuk meringankan beban pamannya.

Nabi Muhammad s.a.w. mengetahui, bahwa Abbas bin Abdul Mutthalib, juga paman beliau,

adalah seorang terkaya di kalangan Bani Hasyim. Dibanding dengan saudara-saudaranya, Abbas

mempunyai kemampuan ekonomis yang lebih baik. Dengan tujuan untuk meringankan beban

Abu Thalib, beliau temui Abbas bin Abdul Mutthalib. Kepada pamannya itu beliau kemukakan

betapa berat derita yang ditanggung Abu Thalib sebagai akibat paceklik. Kemudian, dalam

bentuk pertanyaan, Nabi Muhammad s.a.w berkata: "Bagaimana paman, kalau kita sekarang ini

meringankan bebannya? Kusarankan agar paman mengambil salah seorang anaknya. Aku pun

akan mengambil seorang."

Abbas bin Abdul Mutthalib menyambut baik saran Nabi Muhammad s.a.w. Setetah melalui

perundingan dengan Abu Thalib, akhirnya terdapat kesepakatan: Ja'far bin Abi Thalib

diserahkan kepada Abbas, sedang Ali bin Abi Thalib r.a. diasuh oleh Nabi Muhammad s.a.w.

Sejak itu Imam Ali r.a. diasuh oleh Nabi Muhammad s.a.w. dan isteri beliau, Sitti Khadijah binti

Khuwailid r.a. Bagi Imam Ali r.a. sendiri lingkungan keluarga yang baru ini, bukan merupakan

lingkungan asing. Sebab Nabi Muhammad sendiri dalam masa yang panjang pernah hidup di

tengah-tengah keluarga Abu Thalib. Malahan yang menikahkan Nabi Muhammad s.a.w. dengan

Sitti Khadijah binti Khuwalid r.a., juga Abu Thalib.

Bagi Nabi Muhammad s.a.w., Imam Ali r.a. bukan hanya sekedar saudara misan, malahan dalam

pergaulan sudah merupakan saudara kandung. Lebih-lebih setelah dua orang putera lelaki

beliau, Al Qasim dan Abdullah, meninggal. Betapa besar kasih sayang yang beliau curahkan

kepada putera pamannya itu dapat diukur dari berapa besarnya kasih-sayang yang ditumpahkan

Abu Thalib kepada beliau. Bahkan pada waktu dekat menjelang bi'tsah, Nabi Muhammad s.a.w.

sering mengajak Imam Ali r.a. menyepi di gua Hira, yang terletak dekat kota Mekkah. Ada

kalanya Imam Ali r.a. diajak mendaki bukit-bukit sekeliling Makkah guna menikmati keindahan

dan kebesaran ciptaan Allah s.w.t.

Sejak usia muda Imam Ali r.a. sudah menghayati indahnya kehidupan di bawah naungan wahyu

Illahi, sampai tiba saat kematangannya untuk menghadapi kehidupan sebagai orang dewasa.

Selama masa itu beliau mengikuti perkembangan yang dialami Rasul Allah s.a.w. dalam

kehidupannya.

Sungguh merupakan saat yang sangat menguntungkan bagi pertumbuhan jiwa Imam Ali r.a.

dengan berada di dalam lingkungan keluarga termulia itu. Periode yang paling berkesan dalam

kehidupan Imam Ali r.a. adalah dimulai dari usia 6 tahun sampai Nabi Muhammad s.a.w.

menerima wahyu pertama dari Allah s.w.t. Imam Ali r.a. mendapat kesempatan yang paling

baik, yang tidak pernah dialami oleh siapa pun juga, ketika Nabi Muhammad s.a.w. sedang

dipersiapkan Allah s.w.t. untuk mendapat tugas sejarah yang maha penting itu.

Imam Ali r.a. menyaksikan dari dekat saudara misannya melaksanakan ibadah kepada Allah

s.w.t dengan cara yang berbeda sama sekali dari tradisi dan kepercayaan orang-orang Makkah

ketika itu. Imam Ali r.a. menyaksikan juga betapa saudara misannya menjauhi kehidupan

jahiliyah, menjauhi kebiasaan minum khamar, menjauhi perzinahan. Selain itu, dengan mata

kepala sendiri Imam Ali r.a. menyaksikan dan mengikuti perkembangan jiwa dan fikiran Nabi

Muhammad s.a.w.

Semua warisan yang telah diterima Imam Ali r.a. dari para orangtuanya, kini berkembang

mekar di hadapan seorang maha guru yang cakap dan bijaksana, yaitu putera pamannya

sendiri. Manusia terbesar di dunia itulah yang menghubungkan diri Imam Ali r.a. dengan Allah

s.w.t.

Masa Kanak-kanak

Tentang usia Imam Ali r.a. ketika Rasul Allah s.a.w. mulai melakukan da'wah risalah, terdapat

riwayat yang berlainan. Sebagian riwayat mengatakan, bahwa Imam Ali r.a. pada waktu itu

masih berusia 10 tahun. Sementara ahli sejarah lain mengatakan, Imam Ali r.a. ketika itu telah

berusia 13 tahun. Yang terakhir ini antara lain ditegaskan oleh Syeikh Abul Qasyim Al Balakhiy.

Masalah usia Imam Ali r.a. ini banyak dipersoalkan oleh penulis sejarah, karena ada kaitannya

dengan penilaian: apakah Imam Ali memeluk agama Islam di masa kanak-kanak ataukah setelah

akil baligh. Tampaknya riwayat yang lebih kuat mengatakan bahwa Imam Ali r.a. telah berusia

13 tahun pada waktu Rasul Allah s.a.w. memulai da'wahnya.

Pada waktu Nabi Muhammad s.a.w. menerima tugas da'wah Ilahiyah, Imam Ali r.a.

menyambutnya tanpa bimbang dan ragu. Hal itu dimungkinkan karena lama sebelumnya ia

telah langsung hidup di bawah naungan Rasul Allah s.a.w. Bila ada hal yang ketika itu tidak

mudah difahami Imam Ali r.a. hanyalah mengenai cara-cara pelaksanaan risalah dan beban

tanggung jawab yang harus dipikulnya sebagai orang beriman.

Pada waktu Rasul Allah s.a.w. menerima perintah Allah s.w.t. supaya melakukan da'wah secara

terbuka dan terang-terangan, Imam Ali r.a. ikut ambil bagian sebagai pembantu. Imam Ali r.a.

antara lain menyampaikan seruan-seruan Rasul Allah s.a.w. kepada sejumlah orang tertentu di

kalangan anggota-anggota keluarganya.

Tentang hal yang terakhir ini, ibnu Hisyam dalam riwayatnya mengemukakan, bahwa Imam Ali

r.a. pernah mengatakan dengan jelas, bahwa Rasul Allah s.a.w. secara rahasia memberi tahu

kepada siapa saja yang mau menerima dari kalangan anggota-anggota keluarga dan familinya,

mengenai nikmat kenabian yang dilimpahkan Allah kepada beliau dan kepada umat manusia

melalui beliau.

Untuk itu Rasul Allah s.a.w. menyampaikan da'wahnya lebih dahulu kepada anggota-anggota

keluarga yang paling dekat, yaitu isterinya sendiri Sitti Khadijah r.a. dan saudara misan

asuhannya, Imam Ali r.a. Setelah kepada dua orang itu, barulah kepada Zaid bin Haritsah,

putera angkatnya.

Imam Ali r.a. sendiri sebagai orang yang paling dini melakukan tugas da'wah membantu Rasul

Allah s.a.w. pernah menerangkan, bahwa pada masa itu tidak ada satu rumah pun yang

menghimpun anggota-anggota keluarga dalam agama Islam, selain rumah-tangga Rasul Allah

s.a.w. dan Khadijah r.a. "Dan akulah orang ketiga dalam rumah itu. Aku menyaksikan langsung

cahaya wahyu dan risalah serta mencium semerbaknya bau kenabian" demikian kata Imam Ali

r.a.

Ali bin Al Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Imam Ali r.a., melalui sebuah riwayat

memberitahukan kapan datuknya mulai memeluk agama Islam. Ia mengatakan: "Ia beriman

kepada Allah dan Rasul-Nya tiga tahun lebih dulu sebelum orang lain."

Masa Remaja

Dari sejarah hidupnya, sejak usia kanak-kanak langsung menerima asuhan Rasul Allah s.a.w.,

tidak ada keraguan lagi, bahwa Imam Ali r.a. merupakan orang yang paling dini menerima

hidayah Ilahi, paling dulu beriman dan bersujud kepada-Nya. Para peneliti buku-buku riwayat

akan menemukan kenyataan tersebut dan dapat mengetahuinya dengan jelas.

Dalam masa remaja, Imam Ali r.a. sudah aktif membantu da'wah Rasul Allah s.a.w. Menurut

Abdullah bin Abbas, Imam Ali r.a. sendiri pernah menceritakan tentang hal itu sebagai berikut:

"Setelah turun ayat 214 Surah Asy Syura (perintah Allah kepada Rasul-Nya supaya

memperingatkan kaum kerabat yang terdekat), beliau memanggil aku. Kemudian berkata: "Hai

Ali, Allah telah memerintahkan supaya aku memberi peringatan kepada kaum kerabatku yang

terdekat. Aku merasa agak sedih, sebab aku tahu, jika aku berseru kepada mereka

melaksanakan perintah itu, aku akan mengalami sesuatu yang tidak kusukai. Oleh karena itu

aku diam saja sampai datanglah Jibril yang berkata kepadaku, "Hai Muhammad, jika engkau

tidak berbuat seperti yang diperintahkan kepadamu, Tuhan akan menjatuhkan adzab

kepadamu." Oleh karena itu, hai Ali, buatlah makanan. Masaklah paha kambing dan sediakan

untuk kita susu sewadah besar. Setelah itu kumpulkan keluarga Bani Abdul Mutthalib. Mereka

hendak kuajak bicara dan akan kusampaikan apa yang diperintahkan Allah kepadaku."

"Semua yang diperintahkan beliau kepadaku, kukerjakan segera. Kemudian anggota-anggota

keluarga Bani Abdul Muttalib kuundang supaya hadir. Jumlah mereka yang hadir kurang lebih 40

orang. Di antara mereka itu terdapat para paman Rasul Allah s.a.w., seperti Abu Thalib,

Hamzah, Abbas dan Abu Lahab. Setelah semuanya berkumpul, Rasul Allah s.a.w. memanggilku

dan memerintahkan supaya makanan segera dihidangkan. Hidangan itu kusajikan. Rasul Allah

s.a.w. mengambil sepotong daging, lalu diletakkan kembali pada tepi baki. Beliau

mempersilakan mereka mulai menikmati hidangan: 'Silakan kalian makan, Bismillah!' Mereka semua makan dan minum sekenyang-kenyangnya. Demi Allah, mereka masing-masing makan

dan minum sebanyak yang kuhidangkan."

"Ketika Rasul Allah s.a.w. hendak mulai berbicara beliau didahului oleh Abu Lahab. Abu Lahab

berkata kepada hadirin dengan sinis: "Kalian benar-benar sudah disihir oleh saudara kalian!"

"Karena ucapan Abu Lahab semua yang hadir pergi meninggalkan tempat. Keesokan harinya aku

diperintahkan lagi oleh Rasul Allah s.a.w. supaya mempersiapkan segala sesuatunya seperti

kemarin. Setelah semua makan minum secukupnya, Nabi Muhammad s.a.w. berkata kepada

mereka: "Hai Bani Abdul Mutthalib. Demi Allah, aku tidak pernah mengetahui ada seorang

pemuda dari kalangan orang Arab, yang datang kepada kaumnya membawa sesuatu yang lebih

mulia daripada yang kubawa kepada kalian. Untuk kalian aku membawa kebajikan dunia dan

akhirat. Allah memerintahkan aku supaya mengajak kalian ke arah itu. Sekarang, siapakah di

antara kalian yang mau membantuku dalam persoalan itu dan bersedia menjadi saudaraku,

penerima wasiatku dan khalifahku?"

"Semua yang hadir bungkam. Hanya aku sendiri yang menjawab: "Aku !" Waktu itu aku seorang

yang paling muda usianya dan masih hijau. Kukatakan lagi: "Ya, Rasul Allah, akulah yang

menjadi pembantumu!" Beliau mengulangi ucapannya dan aku pun mengulangi kembali

pernyataanku. Rasul Allah s.a.w. kemudian memegang tengkukku, seraya berseru kepada

semua yang hadir: "Inilah saudaraku, penerima wasiatku dan khalifahku atas kalian!" Semua

yang hadir berdiri sambil tertawa terbahak-bahak. Mereka berkata hampir serentak kepada Abu

Thalib: "Hai Abu Thalib! Dia (yakni Muhammad) menyuruhmu supaya taat kepada anakmu!"

Hadits yang senada dengan apa yang dikemukakan Abdullah bin Abbas, juga diriwayatkan oleh

Abu Ja'far At Thabary dalam bukunya "At Tarikh".

Itulah sekelumit riwayat tentang seorang muda remaja yang kemudian hari bakal menjadi

pemimpin ummat Islam. Seorang pemimpin yang dihormati tidak saja oleh kaum muslimin,

tetapi juga oleh para ahludz dzimmah, yaitu kaum Nasrani dan kaum Yahudi yang bersedia

hidup damai di bawah pemerintahan Islam.

Di depan Abu Lahab, orang yang selama ini selalu mengancam-ancam dan menuntut supaya

Rasul Allah s.a.w. menghentikan da'wahnya, Imam Ali r.a. yang masih remaja itu berani

menyatakan dukungan dan bantuannya kepada Nabi Muhammad s.a.w.