Sejarah Hidup Imam Ali ra

Sejarah Hidup Imam Ali ra0%

Sejarah Hidup Imam Ali ra pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Imam Ali as

Sejarah Hidup Imam Ali ra

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

pengarang: H.M.H. ALHAMID ALHUSAINI
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Pengunjung: 17219
Download: 3957

Komentar:

Sejarah Hidup Imam Ali ra
Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 22 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 17219 / Download: 3957
Ukuran Ukuran Ukuran
Sejarah Hidup Imam Ali ra

Sejarah Hidup Imam Ali ra

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Bab XIV : KEUTAMAAN IMAM ALI R.A.

Zaman kelahiran Islam dan pertumbuhannya ditandai oleh ciri khusus dalam suatu kurun waktu

tertentu. Yaitu sepeninggal Rasul Allah s.a.w. ummat Islam dipimpin oleh 4 orang Khalifah yang

sangat terkenal dan diakui serta dihormati oleh segenap kaum muslimin di dunia. Di antara

empat orang Khalifah itu, terdapat seorang yang mempunyai kedudukan istimewa dalam

sejarah, yaitu Imam Ali r.a.

Banyak sekali hal-hal yang memberikan keistimewaan kepadanya. Antara lain sebagian ummat

Islam di dunia sampai sekarang ini mengidentifikasikan diri sebagai pengikut Imam Ali bin Abi

Thalib r.a., yaitu yang terkenal dengan sebutan kaum Syi'ah.

Selain itu, Imam Ali r.a.memang lebih masyhur disebut "Imam", daripada disebut Khalifah.

Sedangkan Khalifah-khalifah lainnya, tak seorang pun yang disebut sebagai Imam. Sudah pasti

hal itu disebabkan oleh adanya keistimewaan-keistimewaan yang melatar-belakangi kehidupan

Imam Ali r.a., sehingga ia mempunyai identitas tersendiri dalam sejarah kehidupan ummat

Islam.

Gelar Imam

Gelar "Imam" adalah khusus bagi Khalifah Ali bin Abi Thalib di samping gelar "Amirul Mukminin"

yang lazim dipergunakan orang pada masa itu, untuk menyebut seorang pemangku jabatan

sebagai pemimpin tertinggi dan Kepala Negara Islam.

Tentang ta'rif (definisi) dari perkataan "imamah" (keimaman) oleh para ahli ilmu kalam,

dirumuskan: "Imamah ialah kepemimpinan umum dalam segala urusan agama dan keduniaan

yang ada pada seseorang…"

Jadi menurut ta'arif tersebut, maka yang dimaksud dengan "Imam" ialah seorang pemimpin atau

seorang ketua yang ditaati dan memiliki kekuasaan yang menyeluruh atas semua orang

muslimin dalam segala urusan mereka, baik di bidang keagamaan maupun di bidang keduniaan.

Menurut mazhab "Imamiyah", imamah merupakan keharusan objektif dalam kehidupan

masyarakat muslimin, yang dalam keadaan bagaimana pun tak dapat diabaikan. Dengan adanya

imamah, semua yang tidak lurus dalam tata pelaksanaan agama dan tata kehidupan dunia,

dapat diluruskan. Dengan imamah pula, keadilan yang dikehendaki Allah harus berlaku di muka

bumi, dapat diusahakan realisasinya. Sebab terpenting perlunya diadakan imamah, ialah untuk

mendorong masyarakat supaya dengan benar menjalankan ibadah kepada Allah s.w.t., untuk

menyebar luaskan ajaran agama-Nya, untuk menanamkan jiwa keimanan serta ketakwaan di

kalangan anggota-anggota masyarakat.

Dengan demikian manusia akan mampu menghindarkan diri dari hal-hal yang buruk dan

menghayati hal-hal yang baik, sebagaimana yang dikehendaki Allah s.w.t. Untuk itu, ummat

Islam wajib mentaati seseorang Imam dan melaksanakan perintah-perintahnya selama imam itu

taat dan tidak menyimpang dari perintah-perintah Allah s.w.t. Sebab hanya dengan ketaatan

kaum muslimin, seorang Imam dapat membereskan keadaan yang tidak beres, mempererat

persatuan dan kerukunan ummat, dan memberikan bimbingan ke jalan yang lurus dan benar.

Banyak sekali tugas dan kewajiban yang terpikul di pundak seorang Imam. Antara lain ialah

menjaga dan memelihara pelaksanaan perintah serta larangan agama; menjaga keselamatan

Islam dan kemurniannya dari perbuatan orang-orang yang mengabaikan nilai-nilai susila dan

moral; melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum agama; menjamin pengayoman dan

kesentosaan wilayah Islam; menjamin terlaksananya keadilan bagi orang-orang yang teraniaya

(madzlum); memimpin ummat dalam perjuangan menegakkan kebenaran Allah dan lain

sebagainya.

Untuk dapat menjadi Imam, orang harus memiliki syaratsyarat. Antara lain ia harus mempunyai

pengetahuan yang luas; mempunyai rasa keadilan yang tinggi; berani karena benar, mampu

memberikan pertolongan dan menanggulangi kesukaran, serta yang terpenting di atas segalagalanya

ialah kebersihan pribadi.

Semua kaum muslimin menyadari, bahwa kebersihan pribadi ini merupakan karunia Allah yang

dilimpahkan kepada hamba-Nya yang sempurna. Dengan kebersihan dan kesucian pribadi itu

orang sanggup menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan dosa dan maksiyat, baik yang

mungkin dilakukan dengan sengaja atau tidak. Sifat luhur seperti itu sudah tentu lebih terjamin

adanya pada para Imam yang berasal dari Ahlu-Bait Rasul Allah s.aw., yaitu orang-orang yang

sanggup menjadi benteng dan pengawal agama Islam, atau orang-orang yang hidup sepenuhnya

mendambakan keridhoan Allah semata-mata.

Dalam kaitannya dengan masalah tersebut, Imam Ali r.a. menegaskan: "Barang siapa yang

hendak menjadikan diri sebagai Imam di kalangan masayarakat, maka ia harus mengajar dirinya

sendiri lebih dulu sebelum mengajar orang lain. Ia harus mendidik dirinya dengan perilaku yang

baik lebih dulu sebelum mendidik orang lain dengan ucapan. Orang yang sanggup mengajar dan

mendidik diri sendiri lebih berhak dihormati daripada orang yang hanya pandai mengajar dan

mendidik orang lain."

Diantara empat orang Khalifah Rasyidun, hanya Khalifah Imam Ali bin Abi Thalib r.a. sajalah

yang disandangi gelar "Imam" oleh kaum muslimin. Gelar ini tidak dikenakan kepada orang lain

yang menjadi pemimpin kaum muslimin. Mengapa? Bukankah Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. juga

seorang Imam seperti Khalifah Ali? Bukankah Umar Ibnul Khattab r.a. juga seorang Imam seperti

Ali? Bukankah Utsman bin Affan r.a. juga seorang Imam seperti Khalifah Ali? Bukankah Khalifah-

Khalifah itu juga Khalifah Rasyidun seperti Imam Ali? Bukankah juga Khalifah-Khalifah itu

penerus kepemimpinan Rasul Allah s.a.w. sepeninggal beliau?

Bila pengertian "imamah" hanya terbatas pada kekhalifahan saja, tentu tiga orang Khalifah itu

semuanya adalah Imam-Imam juga seperti Imam Ali r.a. Bahkan mereka memegang "imamah"

lebih dulu daripada Imam Ali r.a.

Mengenai hal itu, seorang penulis modern berkebangsaan Mesir, Abbas Al Aqqad, berpendapat,

bahwa kalau yang disebut "imamah" pada masa itu hanya terbatas pengertiannya di bidang

hukum, tentu persamaan antara empat orang Khalifah itu tidak perlu disangkal lagi. Tetapi,

demikian kata Aqqad seterusnya, tiga orang Khalifah Rasyidun di luar Imam Ali r.a., tak ada

seorang pun diantara mereka itu mengibarkan bendera imamah untuk menghadapi tantangan

kekuasaan duniawi yang muncul di kalangan ummat. Tak ada yang menghadapi adanya dua

pasukan bersenjata yang saling berlawanan di dalam satu ummat. Dan tidak ada yang menjadi

lambang imamah dalam menghadapi masalah-masalah rumit, yang penuh dengan berbagai

problema yang menimbulkan syak dan keraguan di kalangan ummat.

Al Aqqad menambahkan, bahwa dalam keadaan tidak adanya problema-problema seperti itu,

tiga orang Khalifah sebelum Imam Ali r.a., boleh saja disebut Imam. Tentu saja pengertian

"Imam" itu sangat berlainan dengan gelar "Imam" yang ada puda Imam Ali bin Abi Thalib r.a. Ia

adalah seorang Imam yang menghadapi berbagai kejadian dan peristiwa yang banyak

menimbulkan keragu-raguan berfikir di kalangan ummat. Oleh karena itulah gelar Imam

diberikan kaum muslimin secara khusus kepada khalifah Ali bin Abi Thalib r.a. Begitu luasnya

gelar itu dikenal orang sampai menjadi buah bibir. Hingga anak-anak pun mengenal Imam Ali

lewat sanjungan-sanjungan yang dikumandangkan orang di jalan-jalan, tanpa perlu disebut

nama orang yang menyandang gelar itu sendiri.

Seterusnya Al Aqqad menjelaskan, bahwa "kekhususan imamah yang ada pada Ali bin Abi Thalib

r.a. ialah bahwa ia seorang Imam yang tidak ada persamaannya dengan Imam-Imam lainnya.

Sebab Imam Ali mempunyai kaitan langsung dengan mazhab-mazhab yang ada di kalangan kaum muslimin, bahkan dimulai semenjak kelahiran mazhab-mazhab itu sendiri pada masa

pertumbuhan Islam. Jadi sebenarnya Imam Ali adalah pendiri mazhab-mazhab, atau dapat juga

disebut sebagai poros di sekitar mana golongan mazhab itu berputar. Hampir tak ada satu

golongan madzhab pun yang tidak berguru kepada Imam Ali bin Abi Thalib. Hampir tidak ada

satu golongan madzhab pun yang tidak memandang Imam Ali sebagai pusat pembahasan ilmu

agama."

Menurut kenyataannya, Imam Ali r.a. adalah Imam yang benar-benar memiliki semua syarat

yang diperlukan. Satu keistimewaan yang paling menonjol dan tidak dipunyai oleh Khalifahkhalifah

lainnya, ialah penguasaannya di bidang-bidang ilmu agama. Tentang hal ini akan kita

bicarakan di bagian lain buku ini.

Di sini kami hanya ingin mengemukakan, bahwa Abdullah bin Abbas, seorang ulama yang

terkenal luas ilmu pengetahuannya sampai diberi sebutan "habrul ummah" (pendekar ummat)

dan "juru tafsir Al Qur'an," mengatakan dengan jujur, bahwa dibanding dengan ilmu Imam Ali,

ilmunya sendiri ibarat setetes air di tengah samudera. Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a. juga

mengatakan: "Hai Abal Hasan (nama panggilan Imam Ali r.a.) mudah-mudahan Allah s.w.t. tidak

membiarkan aku terus hidup di bumi tanpa engkau!"

Zahid

Sebagai seorang Zahid yang berpegang teguh pada perintah Allah s.w.t. dan tauladan serta

ajaran ajaran Rasul-Nya, Imam Ali r.a. dengan konsekuen berani menghadapi gangguan besar

yang dialami dalam kariernya sebagai pemimpin masyarakat dari kepala pemerintahan. Berkalikali

ia ditinggalkan oleh para pendukung dan pengikutnya, tetapi tidak pernah patah hati.

Seperti dikatakan oleh Ali bin Muhammad bin Abi Saif Al Madainiy bahwa tidak sedikit orang

Arab yang meninggalkan Imam Ali karena sikap mereka yang terlalu mengharapkan keuntungankeuntungan

material. Demikian juga tokoh-tokoh yang berpamrih ingin mendapat kedudukan,

jangan harap mereka itu bisa bersahabat baik dan lama dengan Imam Ali. Seorang pemimpin

besar seperti Imam Ali yang taqwanya kepada Allah sedemikian tinggi, dan sedemikian

patuhnya bertauladan serta melaksanakan ajaran Rasul Allah s.a.w., tidak mencari teman

dengan mengobral harta dan kedudukan. Ia sendiri memandang manusia bukan dari kekayaan

dan kedudukan sosialnya, bukan pula dari asal-usul keturunannya, melainkan dari keimanannya

kepada Allah s.w.t. dan kesetiaannya kepada ajaran Rasul-Nya.

Imam Ali tidak pernah memberikan perlakuan istimewa kepada seorang karena keturunan,

kedudukan atau kekayaannya. Ia selalu memberikan perlakuan yang sama kepada semua orang,

kaya atau miskin, orang yang berpangkat ataupun rakyat jelata. Itulah antara lain yang menjadi

sebab mengapa setelah ia menjadi Khalifah, dijauhi oleh kepala-kepala qabilah dan tokohtokoh

masyarakat yang berambisi dan hendak mendahulukan kepentingan pribadi atau

golongan.

Tentang mengapa Imam Ali r.a. sampai ditinggal oleh para pengikut dan pendukungnya, Al-

Madainiy dalam riwayat yang ditulisnya, antara lain mengemukakan, bahwa Al-Asytar pernah

berkata kepada Innam Ali r.a.: "…Anda bertindak adil, baik terhadap mereka yang mempunyai

kedudukan terhormat maupun mereka yang tidak mempunyai kedudukan. Di hadapan anda

orang-orang yang terhormat itu tidak memperoleh perlakuan istimewa atau lebih dari

perlakuan yang anda berikan kepada orang biasa. Akhirnya ada kelompok pengikut yang ribut

dan heboh kalau keadilan dan kebenaran diterapkan atas diri mereka. Mereka sakit hati kalau

pemerataan keadilan diterapkan atas diri mereka. Mereka lalu membanding-bandingkan betapa

enaknya perlakuan Muawiyah terhadap orang-orang kaya dan terkemuka… Mereka lebih senang

membeli kebatilan dengan kebenaran dan tergiur oleh kesenangan duniawi."

Setelah mendengar baik-baik ucapan Al Asytar, dengan tenang rmam Ali r.a. berkata: "Apa yang

kau katakan mengenai perilaku dan keadilanku, bukankah Allah Azza wa Jalla telah berfirman (yang artinya): "Barang siapa berbuat baik, maka pahala bagi dirinya sendiri, dan barang siapa

yang berbuat buruk, maka dosanya pun akan menimpa dirinya sendiri. Dan Tuhanmu tidak

berlaku dzalim terhadap para hamba-Nya" (S. Fushshilat: 46).

Kemudian Imam Ali r.a. berkata pula: "Sebenarnya Allah mengetahui, bahwa mereka itu

menjauhi kami bukan karena kami berlaku dzalim. Mereka menjauhi kami bukan karena hendak

mencari perlindungan keadilan. Yang mereka kejar hanyalah dunia, yang akhirnya akan lenyap

juga dari mereka. Pada hari kiyamat mereka itu akan ditanya: 'apakah mereka hanya

menginginkan dunia? Apakah yang telah mereka perbuat untuk Allah?'…"

Tentang pengobralan harta milik ummat untuk mendapatkan pengikut seperti yang dilakukan

Muawiyah di Syam, Imam Ali r.a. berkata: "Kami tidak dapat memberikan pembagian harta

ghanimah kepada seseorang melampaui ketentuan yang sudah menjadi haknya…"

Tentang banyak atau sedikitnya pengikut, Imam Ali r.a. mengemukakan contoh kehidupan Rasul

Allah s.a.w.: "Allah mengutus Muhammad s.a.w. seorang diri. Kemudian Allah membuat

pengikut beliau menjadi banyak, padahal mulanya sangat sedikit. Ummatnya yang pada

mulanya hina kemudian diangkat menjadi ummat yang mulia. Jadi jika Allah hendak

melimpahkan hal seperti itu kepadaku, semua kesulitan pasti akan dipermudah oleh-Nya,

sedang segala yang berat akan diringankannya."

Menurut Hasan Al Bashriy: "Imam Ali r.a. adalah orang rahbaniy (orang suci) dari ummat ini."

Orang suci dari ummat ini menghayati kehidupan yang amat sederhana. Ia bersembah sujud

kepada Allah seperti para wali atau orang suci lainnya. Ia memikul tanggung jawab atas negara

dan ummatnya dengan tekad seperti Nabi.

Di Kufah, Imam Ali r.a. melarang keras orang memaki-maki Muawiyah. Kepada sahabatsahabatnya

ia berkata: "Ucapkanlah: Ya Allah, hindarkanlah kami dari pertumpahan darah

dengan mereka, dan perbaikilah hubungan persaudaraan kami dengan mereka!"

Padahal di Syam, Muawiyah mendorong-dorong penduduk supaya mencerca dan mencaci-maki

Imam Ali r.a.

Di Kufah Imam Ali r.a. memakai baju seharga tiga dirham, menelan makanan serba kasar dan

kering. Kekayaan kaum muslimin dibagi di antara mereka semua berdasarkan keadilan tanpa

pilih kasih. Ia hidup taqwa dan zuhud tidak mengenal kesenangan hidup sama sekali!

Padahal di Syam Muawiyah tinggal di istana megah dan menikmati hidup serba mewah.

Kekayaan datang dari mana-mana dalam jumlah yang sukar dihitung. Tetapi kekayaan itu

dihamburkan untuk tujuan mencapai kepentingan ambisinya.

Di Kufah kepada para utusan muslimin yang datang, baik yang mencari kebenaran untuk

dijadikan pegangan hidup, maupun yang mencari kekayaan atau kesempatan memperoleh

kedudukan, oleh Imam Ali r.a. diingatkan kepada ayat Al-Qur'an (S. Yunus: 108), yang artinya:

"Barang siapa memperoleh hidayat, maka hidayat itu sesungguhnya untuk kebaikan dirinya

sendiri. Dan barang siapa yang sesat, maka kesesatan itu pun akan mencelakakan dirinya

sendiri."

Selain kalimat tersebut tidak ada harapan atau janji-janji muluk, tidak ada suap, dan tidak ada

penghamburan uang milik ummat, betapa pun besarnya akibat yang akan dihadapi oleh Imam

Ali r.a.

Sedang di Syam, Muawiyah memberi harapan dan janji-janji muluk serta mengobral harta dan

hadiah-hadiah.

Di Kufah Imam Ali r.a. diminta oleh kaum muslimin supaya tinggal di sebuah istana besar dan

megah. Waktu melihat istana itu Imam Ali ra. membuang muka sambil berkata: "Itu istana

celaka! Sampai kapan pun aku tak sudi tinggal di sana!"

Penduduk Kufah tetap menghimbau dan mendesak supaya Imam Ali r.a. bersedia menempati

istana itu, sebab dianggap patut dan sesuai, tetapi Imam Ali r.a. tetap menolak keras: "Aku

tidak membutuhkan itu! Umar Ibnul Khattab sendiri dulu tidak menyukainya!"

Di Kufah, Imam Ali r.a. sering berjalan kaki ke pasar-pasar, padahal ia seorang Amirul

Mukminin. Di sana ia menunjukan orang yang sesat jalan dan membantu orang yang lemah. Ia

berjumpa dengan seorang yang sudah sangat lanjut usia. Segera ia membantu membawakan

barang jinjingannya.

Melihat perbuatan Imam Ali r.a. seperti itu ada sahabatnya yang tidak rela, lalu mendekati,

kemudian berkata kepadanya: "Ya Amirul Mukminin ....!"

Imam Ali r.a. tidak membiarkan sahabat itu berkata sampai selesai. Segera ia menukas dengan

mengucapkan firman Allah, yang artinya: "Kampung akhirat itu kami sediakan bagi orang-orang

yang tidak menyombongkan diri di bumi dan tidak berbuat kerusakan. Kesudahan yang baik bagi

orang-orang yang bertaqwa." (S. Al-Qishash:83).

Ia membeli kebutuhan-kebutuhan keluarganya dan membawanya sendiri. Jika ada salah seorang

dari pengantarnya yang hendak membawakan jinjingannya, ia menjawab sambil tersenyum:

"Kepala keluarga lebih berhak membawanya sendiri!"

Walaupun ia seorang Khalifah, ia menunggang keledai dengan dua kaki tergelantung seolah-olah

tak ada bedanya lagi dengan seorang badui miskin. Para sahabatnya berusaha mengganti hewan

kendaraan itu dengan seekor kuda yang pantas bagi seorang Amirul Mukminin. Tetapi Imam Ali

r.a. malah menjawab: "Biarkan aku meremehkan dunia ini!"

Imam Ali r.a. sanggup menaklukkan rayuan kesenangan duniawi dan menundukkan megahnya

kekuasaan. Di dunia ini ia hidup untuk menunggu akhirat, dan bukannya takluk kepada dunia.

Nyata benar bedanya antara Imam Ali r.a. di Kufah dengan Muawiyah di Syam. Imam Ali r.a.

hidup zuhud dan suci, sedang Muawiyah hidup serba mewah meniru raja-raja Persia dan

Romawi. Salah seorang dinasti Bani Umayyah sendiri yang terkenal jujur, Umar bin Abdul Azis,

mengakui terus terang: "Ali bin Abi Thalib r.a. adalah orang yang paling zuhud di dunia."

Imam Ali r.a. seperti diketahui pernah berselisih pendapat dengan Abu Bakar Ash Shiddiq r.a.

tentang kekhalifahan. Tetapi sebagai seorang zahid tidak mau mengingkari keutamaan Abu

Bakar r.a. Sewaktu menyatakan belasungkawa atas wafatnya Abu Bakar r.a sambil menyeka air

mata, Imam Ali r.a. berkata:

"Hai Abu Bakar, Allah telah melimpahkan rahmat kepadamu. Demi Allah, engkau adalah orang

Islam pertama dari ummat ini. Orang yang paling ikhlas imannya dan orang yang paling lurus

keyakinannya. Engkau adalah orang yang membenarkan dan mempercayai Rasul Allah s.a.w. di

saat orang-orang lain mendustakannya. Engkaulah yang membantunya di saat orang-orang lain

menggenggamkan tangan (kikir). Engkaulah yang tegak berdiri di sampingnya di saat orangorang

lain duduk berpangku tangan."

"Demi Allah, engkaulah yang menjadi pelindung Islam di saat orang-orang kafir hendak

menghancurkannya. Hujahmu (dalam membela Islam) tak pernah lemah, pandanganmu

senantiasa tajam, dan engkau tidak pernah berjiwa penakut."

"Demi Allah, engkau adalah seperti yang dikatakan Rasul Allah s.a.w.: badanmu lemah, tetapi agamamu kuat dan selalu bersikap rendah hati. Semoga Allah melimpahkan ganjaran

kepadamu, dan semoga pula Allah tidak akan membiarkan aku tersesat sepeninggalmu."

Banyak sekali riwayat yang mengisahkan kezuhudan Imam Ali r.a. Sikapnya yang selalu menolak

kekayaan dan harta benda sangat menonjol. Salah seorang tokoh pada zamannya, Asy Syi'biy

misalnya, sangat terkesan oleh suatu peristiwa yang disaksikannya sendiri di masa kanak-kanak.

Katanya: "Bersama anak-anak lain aku pernah masuk ke sebuah tempat yang sangat luas di

Kufah. Di sana aku melihat Imam Ali sedang berdiri di depan dua onggok emas dan perak. Ia

memegang sebilah pedang untuk membubarkan orang banyak yang berkerumun di tempat itu.

Setelah itu ia kembali menghampiri onggokan emas dan perak untuk menghitungnya. Kemudian

memanggil orang-orang supaya mendekat dan kulihat semua emas dan perak habis dibagibagikan

sampai tak ada lagi sisanya."

"Waktu aku pulang," kata Asy Syi'biy seterusnya, "bertanya kepada ayah: 'Yang kusaksikan hari

ini orang yang paling baik ataukah orang yang paling bodoh?' Sambil keheran-heranan ayah balik

bertanya: 'Siapa dia, anakku?' Kujawab: 'Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib.' Kemudian

kuceritakan kepada ayah apa yang kusaksikan tadi. Mendengar ceritaku itu ayah terharu dan

sambil melinangkan air mata menjawab: 'Yang kaulihat tadi itu orang yang paling baik,

anakku'…"

Riwayat yang membuktikan tentang tidak senangnya Imam Ali r.a. kepada harta kekayaan

diceritakan juga oleh Muhammad bin Fudhail, Harun bin Antarah dan Zadan. Ketika itu

Muhammad bin Fudhail bepergian bersama pelayan Imam Ali r.a. yang bernama Qanbar. Di

tengah jalan mereka bertemu dengan Imam Ali r.a. Kepada tuannya Qanbar memberitahu

bahwa ia mempunyai barang simpanan yang khusus disembunyikan untuknya. Pemberitahuan

Qanbar itu menimbulkan tanda-tanya di hatinya. Kemudian ia minta penjelasan. Tanpa

memberi jawaban apapun Qanbar terus mengajak Imam Ali r.a. pergi ke tempat tinggalnya.

Setibanya di rumah, Qanbar menghampiri sebuah tempat dan mengambil sebuah kantong.

Waktu kantong dibuka dan dikeluarkan ternyata berisi beberapa piala penuh dengan kepingankepingan

emas dan perak.

Dengan wajah berseri-seri Qanbar berkata: "Kulihat tuan tak pernah membiarkan barang apa

pun yang tidak tuan bagikan kepada orang-orang lain sampai habis. Oleh karena itu semuanya

ini kusembunyikan dari Baitul Mal, khusus untuk tuan."

Dengan mata membelalak, Imam Ali membentak: "Celaka engkau, hai Qanbar! Apakah engkau

ingin memasukkan kobaran api ke dalam rumahku?" Tanpa banyak bicara lagi Imam Ali segera

menghunus pedang lalu dihantamkan kuat-kuat ke kantong yang berisi piala-piala penuh emas

dan perak. Piala-piala itu hancur berkeping-keping dan emas serta perak tertebar

berhamburan.

Habis itu Imam Ali r.a. mengumpulkan orang banyak. Kepada mereka ia berkata: "Bagilah

semuanya itu dengan adil!"

Belum puas dengan sikap yang memukaukan orang banyak itu, Imam Ali r.a. cepat-cepat

menuju Baitul Mal. Semua yang tersimpan dalam balai harta kaum muslimin itu dibagi-bagikan

begitu saja kepada orang-orang. Setelah terbagi rata, ia masih melihat ada beberapa kerat

jarum dan benda-benda kecil lain yang kurang berharga. Kepada orang-orang yang masih

tinggal ia menganjurkan supaya benda-benda kecil itu.dibagi juga. Apa jawab mereka: "… Kami

tidak membutuhkan itu…!"

Imam Ali r.a. tersenyum meninggalkan Baitul Mal seraya bergumam: "Yang jelek sebenarnya

harus diambil juga bersama-sama yang baik!" Ia pergi tanpa sekeping pun melekat di

tangannya.

Sikap Hidup

Sikap dan cara hidup Imam Ali r.a. benar-benar telah manunggal dengan kezuhudan dan

ketinggian tingkat taqwanya kepada Allah s.w.t. Pernah terjadi, ada seorang telah melakukan

suatu kesalahan. Untuk menutupi kesalahannya, ia menyanjung-nyanjung Imam Ali r.a. Sebagai

orang yang sudah tahu duduk persoalannya, Imam Ali r.a. menjawab: "Aku ini sebenarnya tidak

setinggi seperti yang kaukatakan itu, tetapi aku ini sebenarnya memang lebih tinggi daripada

apa yang ada pada dirimu."

Perkataan itu diucapkannya dengan wajar, di samping menunjukkan bahwa ia tidak mabok

sanjung-puji, sekaligus pula mengeritik orang yang bersangkutan, bahwa perbuatan buruk

berakibat memerosotkan martabat.

Lain contoh lagi tentang kesederhanaan sikapnya. Dalam satu peperangan, lawan-lawan yang

dihadapinya semua berseragam tempur, lengkap dengan baju dan topi besi. Tidak dimilikinya

seragam tempur seperti itu, tidak membuat Imam Ali r.a. malu dan gentar. Ia terjun ke kancah

pertempuran tanpa mengenakan baju besi atau topi pelindung. Sikap Imam Ali r.a. yang seperti

itu mencerminkan kewajaran dan kesederhanaannya, walau dalam keadaan menghadapi bahaya

menantang. Prinsip kesederhanaan yang tidak dibuat-buat itulah yang melahirkan sikap polos,

jujur dan terus terang, baik dalam ucapan maupun perbuatan, dalam keadaan sulit atau pun

tidak.

Kepolosan dan kewajaran dalam menghadapi lawan seperti di atas tadi, sering disalah-artikan

atau disalah-gunakan orang untuk mengecap Imam Ali r.a. sebagai orang yang sombong dan

sok. Benarlah apa yang pernah dikatakan salah seorang sahabatnya: "Ali bin Abi Thalib r.a.

adalah orang yang mengenal perang hanya dengan modal keberanian. Ia tidak kenal bagaimana

dalam peperangan orang harus mendaya-gunakan tipu-muslihat."

Benarnya ucapan itu tampak jelas pada kata-kata Imam Ali r.a. sendiri, yang dengan gamblang

menegaskan: "Bukti keberanian ialah engkau harus mengutamakan kejujuran dan bukannya

kebohongan, walau kejujuran itu akan mengakibatkan kerugian, dan kebohongan akan

mengakibatkan keberuntungan. Dalam berbicara dengan orang lain hendaknya engkau tetap

selalu taqwa dan patuh kepada Allah s.w.t."

Dibanding dengan Khalifah-khalifah sebelumnya, memang tak ada seorang pun yang sedemikian

zuhudnya dalam menghindari nikmatnya kekuasaan dan kekayaan atau kesenangan-kesenangan

duniawi lainnya. Ia makan roti yang terigunya berasal dari cucuran keringat isterinya sendiri,

Sitti Fatimah r.a.

Tiap kali isterinya selesai menumbuk gandum, ia sendirilah yang turun tangan menggaruki

ujung antan (alu) dengan jari jemarinya guna mengumpulkan sisa-sisa tepung yang melekat.

Sambil mengerjakan hal itu Imam Ali r.a. berkata kepada isterinya: "Aku tak ingin perutku ini

dimasuki sesuatu yang aku tak tahu dari mana asalnya…"

Bagaimana lugu dan cara hidupnya yang berada di bawah tingkat sederhana itu diungkapkan

oleh Uqbah bin Alqamah, yang mengisahkan pengalaman sendiri, sebagai berikut: "Pada satu

hari aku berkunjung ke rumah Ali bin Abi Thalib r.a. Kulihat ia sedang memegang sebuah

mangkuk berisi susu yang sudah berbau asam. Bau sengak susu itu sangat menusuk hidungku.

Kutanyakan kepadanya: "Ya Amiral Mukminin, mengapa anda sampai makan seperti itu?"

"Hai Abal Janub," jawabnya, "Rasul Allah s.a.w. dulu minum susu yang jauh lebih basi dibanding

dengan susu ini. Beliau juga mengenakan pakaian yang jauh lebih kasar daripada bajuku ini

(sambil menunjuk kepada baju yang sedang dipakainya). Kalau aku sampai tidak dapat

melakukan apa yang sudah dilakukan oleh beliau, aku khawatir tak akan dapat berjumpa

dengan beliau di hari kiyamat nanti."

Imam Ali r.a. sebagai seorang shaleh, zuhud, tahan menderita dan sanggup membebaskan diri

dari kesenangan duniawi, belum pernah makan sampai merasa kenyang. Makanannya bermutu

sangat rendah dan pakaiannya pun hampir tak ada harganya. Abdullah bin Rafi' menceritakan

penyaksiannya sendiri sebagai berikut: "Pada suatu hari raya aku datang ke rumah Imam Ali r.a.

Ia sedang memegang sebuah kantong tertutup rapat berisi roti yang sudah kering dari remuk.

Kulihat roti itu dimakannya. Aku bertanya keheran-heranan: "Ya Amiral Mukminin, bagaimana

roti seperti itu sampai anda simpan rapat-rapat?"

"Aku khawatir," sahut Imam Ali r.a., "kalau sampai dua orang anakku itu mengolesinya dengan

samin atau minyak makan."

Tidak jarang pula Imam Ali r.a. memakai baju robek yang ditambalnya sendiri. Kadang-kadang

ia memakai baju katun berwarna putih, tebal dan kasar. Jika ada bagian baju yang ukuran

panjangnya lebih dari semestinya, ia potong sendiri dengan pisau dan tidak perlu dijahit lagi.

Bila makan bersama orang lain, ia tetap menahan tangan, sampai daging yang ada di

hadapannya habis dimakan orang. Bila makan seorang diri dengan lauk, maka lauknya tidak lain

hanyalah cuka dan garam. Selebihnya dari itu ia hanya makan sejenis tumbuh-tumbuhan.

Makan yang lebih baik dari itu ialah dengan sedikit susu unta. Ia tidak makan daging kecuali

sedikit saja. Kepada orang lain ia sering berkata: "Janganlah perut kalian dijadikan kuburan

hewan!"

Sungguh pun tingkat penghidupannya serendah itu, Imam Ali r.a. mempunyai kekuatan jasmani

yang luar biasa. Lapar seolah-olah tidak mengurangi kekuatan tenaganya. Ia benar-benar

bercerai dengan kenikmatan duniawi. Padahal jika ia mau, kekayaan bisa mengalir kepadanya

dari berbagai pelosok wilayah Islam, kecuali Syam. Semuanya itu dihindarinya dan sama sekali

tidak menggiurkan seleranya.

Ibadah

Imam Ali r.a. merupakan orang yang paling tekun dan banyak beribadah. Ia pun paling sering

berpuasa. Kepadanya banyak orang yang minta petunjuk tentang cara-cara yang terbaik dalam

menunaikan sembahyang malam, berwirid, berzikir dan beribadah lainnya. Bila sedang

menghadap ke hadhirat Allah 'Azaa wa Jalla, Imam Ali r.a. sedemikian khusyu' dan khidmatnya,

tak ada sesuatu yang dapat menggoyahkan kebulatan fikiran dan perasaannya.

Dalam situasi sedang berkobarnya pertempuran di Shiffin, habis menunaikan shalat, Imam Ali

r.a. tekun berwirid, tidak terpengaruh oleh hiruk-pikuk orang yang sedang mengadu tenaga dan

senjata. Di malam yang sangat mengerikan itu, Imam Ali r.a. bersembah sujud di hadapan Allah

s.w.t., padahal tidak sedikit anak panah yang beterbangan di kanan-kirinya dan ada pula yang

berjatuhan di depannya. Ia tidak gentar sedikit pun dan tidak.bangun meninggalkan tempat

ibadah sebelum menyelesaikannya dengan tuntas. Demikian banyaknya ia bersembah sujud

setiap hari, siang dan malam, sampai kulit keningnya menebal dan keras kehitam-hitaman.

Ia selalu bermunajat kepada Allah dan mengagungkan-Nya, menyatakan ketundukan dan

penyerahan hidup-matinya kepada Allah. Dengan patuh ia melaksanakan semua perintah dan

menghindari larangan-Nya. Semuanya itu dilakukan dengan sepenuh hati, jujur dan ikhlas.

Hatinya, perbuatannya dan ucapannya sedemikian utuhnya menjadi satu perpaduan yang tak

kenal garis pemisah.

Konon Ali bin Al Husein r.a. --cucu Imam Ali r.a.-- pernah ditanya orang tentang "bagaimana

perbandingan antara ibadah yang anda lakukan dengan ibadah yang dilakukan datuk anda?"

Ali bin Al Husein r.a. yang terkenal sebagai orang shaleh dan tekun beribadah itu menjawab:

"Perbandingan antara ibadahku dengan ibadah datukku, sama seperti perbandingan antara

ibadah datukku dengan ibadah Rasul Allah s.a.w."

Tentang ibadah Imam Ali r.a. ini, 'Urwah bin Zubair mengemukakan sebuah riwayat yang

berasal dari Abu Darda sebagai berikut:

Pada suatu hari aku menyaksikan Ali bin Abi Thalib r.a. berada di halaman rumah seorang yang

penuh dengan pepohonan. Ia mengasingkan diri dari orang lain dan bersembunyi di sela-sela

batang kurma yang sangat lebat: "Aku mencari-cari dia sampai agak jauh. Kukira pasti ia sudah

berada di rumahnya lagi. Tibatiba aku mendengar

suara ratap sedih: 'Ya Allah, Tuhanku, betapa banyaknya dosa yang karena kebijaksanaan-Mu

tidak Engkau balas dengan murka-Mu. Betapa pula banyaknya dosa yang karena kemurahan-Mu

tidak Engkau gugat. Ya Allah, Tuhanku, bila sepanjang umur aku berbuat dosa kepada-Mu dan

sangat banyak dosaku tercatat dalam shuhuf, maka aku tidak mengharap sesuatu selain

pengampunan-Mu dan aku tidak mendambakan sesuatu kecuali keridhnan-Mu'…"

"Suara ratap sedih itu sangat menarik perhatianku. Jejaknya kutelusuri. Ternyata suara itu

adalah suara Ali bin Abi Thalib r.a. Aku lalu bersembunyi dan menunduk agar jangan sampai

diketahui olehnya. Kulihat ia sedang berruku' beberapa kali di tengah kegelapan malam.

Kemudian ia berdoa sambil menangis dan mengeluh sedih ke hadhirat Allah s.w.t. Di antara

munajat yang diucapkannya ialah: "Ya Allah, Tuhanku, tiap kurenungkan keampunan-Mu, terasa

ringanlah kesalahanku. Dan tiap kuingat murka-Mu yang dahsyat, terasa sangat besarlah dosa

kesalahanku."

Kata Abu Darda lebih lanjut: "Ia lalu tenggelam di dalam tangis. Makin lama suaranya tidak

kudengar lagi. Kufikir mungkin ia tertidur nyenyak karena terlalu banyak bergadang. Dini hari ia

hendak kubangunkan untuk shalat subuh. Ia kudekati, ternyata ia tergeletak seperti sebatang

kayu. Ia kugerak-gerakkan dan kubalik-balik, tetapi sama sekali tidak berkutik. Kuduga ia

wafat. Lalu aku mengucap: Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji'uun. Aku cepat-cepat lari ke

rumahnya untuk memberi tahu keluarganya."

Setelah mendengar keteranganku, Sitti Fatimah r.a. hanya bertanya: "Hai Abu Darda, dia

kenapa dan bagaimana keadaannya?"

Sesudah kujelaskan keadaan Imam Ali r.a., Sitti Fatiinah r.a. memberitahu kepadaku, bahwa

"…dia sedang pingsan, karena sangat takut kepada Allah!"

Keluarganya lantas mendatangi Imam Ali r.a. dengan membawa air, kemudian mengusapusapkan

pada wajahnya. Tak lama setelah itu ia siuman dan sadarkan diri kembali. Ia

memandang kepadaku dan aku menangis. Ia bertanya: "Hai Abu Darda, mengapa engkau

menangis?"

"Karena melihat sesuatu yang menimpa dirimu," jawabku.

"Hai Abu Darda," ujar Imam Ali r.a. lebih lanjut, "bagaimanakah kiranya kalau engkau melihat

aku dipanggil untuk menghadapi perhitungan (hisab), melihat sendiri orang-orang yang berbuat

dosa sedang menderita siksa adzab, melihat aku dikelilingi sejumlah Malaikat yang bengis dan

keras di hadapan Allah Maha Perkasa, sedang para pencintaku sudah tiada lagi dan para ahli

dunia pun sudah meninggalkan diriku. Seandainya engkau melihat itu semua, engkau pasti akan

lebih mengasihi diriku di hadapan Allah Yang Maha Mengetahui segala sesuatu betapa pun

kecilnya."

"Aku tidak pernah melihat hal itu terjadi pada sahabat Rasul Allah s.a.w. yang lain…," sahut

Abu Darda.

Itulah keistimewaan Imam Ali r.a. dalam menghadapkan diri kepada Allah s.w.t. dengan

kekhusyu'an seluruh jiwa-raganya. Suatu hal yang sudah biasa disaksikan sendiri oleh semua Ahlul Bait. Mereka tidak terkejut ketika diberitahu oleh Abu Darda tentang keadaan Imam Ali

r.a. Bahkan Sitti Fatimah r.a. menceritakan, bahwa apa yang disaksikan oleh Abu Darda itu

sudah biasa dialami oleh Imam Ali r.a. tiap saat menghadapkan diri kepada Allah s.w.t. di

tengah malam.

Mengenai banyaknya ibadah yang dilakukan Imam Ali r.a. di waktu malam, Nauf Al Bikally

menceritakan penyaksiannya sebagai berikut:

"Pada satu hari aku menginap di rumah Imam Ali r.a. Sepanjang malam ia bersembahyang.

Sebentar-sebentar ia keluar, mengarahkan pandangan ke langit, dan membaca Al-Qur'an. Di

malam yang sunyi senyap itu ia bertanya kepadaku: 'Hai Nauf, engkau tidur ataukah melek?'…"

"Aku melek dan melihatmu dengan mataku, ya Amiral Mukminin," jawabku.

"Hai Nauf," ujar Imam Ali r.a. meneruskan, "bahagialah orang yang hidup zuhud di dunia, orangorang

yang merindukan akhirat. Mereka itulah orang-orang yang menjadikan bumi ini sebagai

hamparan, menjadikan pasirnya sebagai kasur, menjadikan airnya sebagai nikmat, menjadikan

doa sebagai syi'ar, menjadikan Al-Qur'an sebagai selimut, dan meninggalkan dunia ini dengan

cara seperti Isa bin Maryam as.!"

Selama hidupnya Imam Ali r.a. tidak pernah putus sembahyang malam. Tentang hal ini, Abu

Ya'laa meriwayatkan, bahwa Imam Ali r.a. pernah menegaskan: "Aku tidak pernah

meninggalkan shalat malam semenjak kudengar Rasul Allah s.a.w. mengatakan, bahwa shalat

malam itu adalah cahaya."

Berdasarkan keterangan yang diterima dari ibunya, Sulaiman bin Al-Mughirah mengatakan:

"Bulan Ramadhan atau pun Syawal, bagi Imam Ali r.a. adalah sama saja. Tiap malam ia

bergadang untuk beribadah."

Begitu agungnya kedudukkan Allah 'Azza wa Jalla dalam jiwa Imam Ali r.a. Ia beribadah karena

dorongan rasa cinta dan rindu kepada-Nya. Ia menyadari sepenuhnya bahwa Allah sajalah yang

berhak disembah. Ia bersembah sujud semata-mata hanya karena merasa keterikatan hidupnya

dengan Allah. Ia hidup bertauladan kepada Mahagurunya, yaitu Rasul Allah s.a.w.

Suatu ibadah yang lebih besar artinya daripada hanya sekedar berdasar keyakinan, dan lebih

mulia daripada hanya sekedar dorongan iman! Dengan ucapannya yang abadi, ia pernah

menegaskan: "Orang-orang yang beribadah kepada Allah karena pamrih, sama seperti

ibadahnya kaum pedagang. Orang-orang yang beribadah karna takut, sama seperti ibadahnya

seorang budak. Orang yang beribadah karena syukur, itulah ibadahnya manusia merdeka!"

Di samping Imam Ali r.a. sendiri selalu menjaga baik-baik kewajiban shalat, ia pun terusmenerus

mengingatkan para pengikutnya supaya selalu menunaikan shalat tepat pada

waktunya. Shalat itu ibarat sebuah pisau yang dapat mengupas daki dan kotoran manusia.

Hanya shalatlah yang dapat membersihkannya sama sekali. Oleh Rasul Allah s.a.w. shalat

diibaratkan sebagai mata air panas yang tersedia di depan pintu rumah tiap muslim. Bila tiap

sehari semalam seorang muslim mandi dengan air panas itu lima kali, kotoran apakah yang

tidak terbuang dari badannya?!

Sekalipun Rasul Allah s.a.w. telah menjanjikan nikmat kepada Imam Ali r.a., namun kewajiban

shalat tetap dijaga kuat-kuat olehnya, sesuai dengan perintah Allah s.w.t. dalam firman-Nya

yang berarti: "Perintahkanlah keluargamu bersembahyang dan hendaknya bersabar dalam

menunaikannya…" (S. Thaha: 132).

Tidaklah aneh kalau orang Zahid seperti Imam Ali r.a. itu pantang diperlakukan lebih daripada

orang lain. Walau ia seorang anggota Ahlu Bait Rasul Allah s.a.w. dan seorang ilmuwan, namun tidak menyukai perlakuan istimewa.

Diriwayatkan, bahwa pada suatu hari ada orang mengadukan Imam Ali r.a. kepada Khalifah

Umar Ibnul Khattab r.a. tentang suatu perkara. Waktu itu Imam Ali r.a. sudah siap dan duduk.

Tak lama kemudian Khalifah Umar r.a. menoleh kepadanya sambil berkata: "Bangunlah, ya Abal

Hasan, duduklah bersama lawan perkara anda!"

Imam Ali r.a. bangun, lalu duduk berhadapan dengan orang yang mengadukannya. Setelah

perkaranya selesai, orang yang mengadu pergi meninggalkan tempat, Imam Ali r.a. pindah

duduk di tempat semula. Ketika itu Khalifah Umar r.a. melihat wajah Imam Ali r.a. berubah,

lalu bertanya: "Ya Abal Hasan, mengapa kulihat wajah anda berubah? Apakah anda tidak senang

terhadap apa yang baru terjadi?"

"Ya, benar!" jawab Imam Ali r.a. "Sebab anda memanggilku dengan nama kehormatan di depan

lawan perkara!"

Mendengar jawaban Imam Ali r.a. yang seperti itu, Khalifah Umar r.a. dengan rasa terharu

merangkulnya seraya berkata: "Ya Allah, kalian itu…! Dengan kalian (Ahlul Bait) Allah memberi

hidayat kepada kami, dan dengan kalian pula Allah mengeluarkan kami dari kegelapan ke

cahaya terang…!"

Kezuhudannya, kesederhanaannya, keshalihannya serta ketaqwaannya kepada Allah s.w.t.

tidak membuat Imam Ali r.a. menjadi orang yang berwajah angker. Ia seorang yang anggun,

bermuka cerah dan ramah. Bahkan tidak jarang ia bergurau untuk menyenangkan hati orang

lain. Ia tidak pernah tampak angkuh, memberengut dan suram.

Sifat Imam Ali r.a. yang ramah, terbuka dan jika perlu dapat bergurau, sering dilebih-lebihkan

oleh lawan-lawannya untuk menjatuhkan nama baik dan mengurangi martabatnya. Terutama

oleh Amr bin Al-Ash secara berlebih-lebihan disebar-luaskan. Lawan Imam Ali r.a. itu

mengatakan kepada penduduk Syam, bahwa Ali bin Abi Thalib seorang yang "gemar bercanda".

Jujur dan Adil

Bukanlah suatu hal yang mengherankan bila seseorang jujur dan adil terhadap sesama kawan.

Tetapi bila ada orang yang jujur dan adil terhadap lawan, ini sungguh suatu keluar-biasaan.

Justru inilah yang menjadi salah satu sifat istimewa Imam Ali r.a.

Dalam kedudukkannya sebagai Khalifah, pada satu hari Imam Ali r.a. melihat baju besi yang

pernah dimilikinya berada di tangan seorang penduduk beragama Nasrani. Karena merasa

yakin, bahwa barang itu memang miliknya, untuk mendapatkan kembali secara baik ia mengadu

kepada hakim setempat. Dalam sidang khusus untuk menyelesaikan tuntutannya itu, di depan

peradilan Imam Ali r.a. mengatakan bahwa baju besi itu benarbenar miliknya. Ia menegaskan:

"Belum pernah aku menjual baju besi itu. Sepanjang ingatanku, belum pernah barang itu

kuhadiahkan kepada orang lain."

Sungguhpun demikian, orang Nasrani yang menjadi tergugat itu tetap bertahan, bahwa baju

besi itu miliknya yang sah. Tanpa ragu-ragu ia menjawab: "Baju besi ini milikku sendiri. Aku

yakin Amirul Mukminin tidak akan berbuat bohong."

Mendengar keterangan yang berlawanan itu, hakim menoleh kepada Imam Ali r.a. dan bertanya

sekali lagi: "Apakah anda mempunyai keterangan tambahan?"

Beberapa saat lamanya Imam Ali r.a. diam, tidak tahu apa yang harus dikatakan. Namun ia

yakin bahwa barang itu memang miliknya. Akhirnya pertanyaan hakim itu dijawab sambil

tersenyum: "Apa yang anda tanyakan itu memang perlu, tetapi aku tidak mempunyai

keterangan tambahan."

Setelah mengadakan pertimbangan secukupnya, hakim memutuskan bahwa barang yang

dipersengketakan itu menjadi milik sah orang Nasrani yang menjadi tergugat dalam perkara itu.

Oleh hakim, orang Nasrani yang bersangkutan diperkenankan pulang membawa barang

tersebut. Dengan wajah berseri-seri mencerminkan keikhlasan hatinya Imam Ali r.a. melihat

orang Nasrani itu beranjak dari tempatnya sambil mengangkat baju besi.

Baru beberapa langkah berjalan, tiba-tiba orang Nasrani itu balik kembali menghampiri Imam

Ali r.a. dan hakim yang masih duduk di tempat masing-masing. Kepada Imam Ali r.a. orang

Nasrani itu berkata: "Apa yang kusaksikan mengenai diri anda, benar-benar sama seperi hukum

yang berlaku bagi para Nabi!" Kemudian dengan khidmat ia berkata lebih lanjut: "Sekarang aku

bersaksi, bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad Rasul Allah. Ya Amiral Mukminin,

memang benarlah baju besi ini kepunyaan anda. Waktu anda berangkat ke Shiffin dulu, aku

mengikuti kafilah anda. Baju besi ini jatuh kemudian diambil oleh salah seorang anggota

pasukan yang sedang kekurangan bekal."

Dengan tenang Imam Ali r.a. menjawab pernyataan orang Nasrani yang sudah mengikrarkan

syahadat itu: "Karena anda sekarang sudah memeluk agama Islam, barang itu sekarang sudah

menjadi kepunyaan anda!"

Percakapan antara dua orang itu disaksikan oleh hakim dan hadirin lainnya. Mereka ramai

membicarakan kejadian yang sangat mengesankan itu. Benarlah bahwa hanya orang muslim

yang menghayati Islam sepenuhnya sajalah, yang dapat bersikap seperti Imam Ali r.a. Tetapi

tak ada orang lain yang lebih terkesan dalam hatinya selain orang Nasrani yang sekarang sudah

jadi muslim itu. Kenyataan ini dibuktikan pada hari-hari selanjutnya. Sejarah kemudian

mencatat, bahwa bekas Nasrani itu ternyata seorang muslim yang sangat gigih membela Imam

Ali r.a. dalam perjuangan menegakkan kebenaran Islam dan menumpas pemberontakan

Khawarij di Nehrawan.

Peristiwa tersebut merupakan petunjuk nyata tentang betapa tingginya tingkat ketaqwaan,

kejujuran dan keadilan Imam Ali r.a. Semua ibadah jasmaniah dan rohaniyahnya bukan lagi

dirasa sebagai kewajiban yang harus dilaksanakan, melainkan sudah menjadi kenikmatan dan

kebahagiaan hidupnya sehari-hari. Semua yang dilakukan semata-mata berdasarkan dorongan

cinta kepada Allah 'Azza wa Jalla dan kegairahan melaksanakan tauladan hidup yang diberikan

oleh putera pamannya, Nabi Muhammad s.a.w.

Dalam hal melaksanakan keadilan, Imam Ali r.a. benar-benar tidak pandang bulu. Yang benar

dinyatakan benar, yang salah dinyatakan salah, tak peduli siapa saja yang dihadapinya. Apakah

yang dihadapinya itu orang lain, keluarga sendiri, orang kaya atau miskin, orang yang

berkedudukan atau pun tidak. Dalam pandangan Imam Ali r.a. sebagai penegak hukum Allah,

semua manusia adalah hamba Allah yang sama derajat.

Dalam suatu kesempatan, Aqil bin Abi Thalib --kakak Imam Ali r.a.-- menceritakan

penyaksiannya sendiri tentang keadilan saudara kandungnya itu, sebagai berikut: "Waktu

berkunjung ke rumah Imam Ali r.a., Aqil melihat Al Husein r.a. sedang kedatangan seorang

tamu. Ia meminjam uang satu dirham untuk membeli beberapa potong roti. Uang itu belum

cukup untuk keperluan lauk. Kepada pelayan rumahnya, Qanbar, Al Husein r.a. minta supaya

dibukakan kantong kulit berisi madu yang dibawa orang dari Yaman. Qanbar mengambil madu

setakar."

"Waktu Imam Ali r.a. datang dan minta supaya Qanbar mengambilkan kantong madu untuk

dibagi-bagikan kepada orang-orang yang berhak, ia melihat madu sudah berkurang. Imam Ali

r.a. bertanya: 'Hai Qanbar, kukira sudah terjadi sesuatu dengan wadah madu ini!' Sebagai

jawaban Qanbar menjelaskan bahwa ia disuruh Al Husein mengambilkan madu setakar dari

wadah itu. Mendengar itu bukan main marahnya Imam Ali r.a.: 'Panggil Husein!'…"

Waktu Husein tiba di depannya, Imam Ali r.a. segera mengambil cambuk, tetapi Al Husein

cepat-cepat berkata: "Demi hak pamanku, Ja'far!"

Biasanya bila nama Ja'far disebut-sebut, marah Imam Ali r.a. segera menjadi reda. Kepada

Husein, Imam Ali r.a. bertanya: "Apa sebab engkau berani mengambil lebih dulu sebelum

dibagi?" Puteranya menjawab: "Kami semua mempunyai hak atas madu. Kalau nanti kami

menerima bagian, akan kami kembalikan."

Dengan suara melunak Imam Ali r.a. menasehati puteranya: "Ayahmu yang akan mengganti!

Tetapi walaupun engkau mempunyai hak, engkau tidak boleh mengambil hakmu lebih dulu

sebelum orang-orang muslim lain mengambil hak mereka. Seandainya aku tidak pernah melihat

sendiri Rasul Allah s.a.w. mencium mulutmu, engkau sudah kusakiti dengan cambuk ini!"

Imam Ali r.a. menyerahkan uang satu dirham dan diselipkan dalam baju Qanbar sambil berkata:

"Belikan dengan uang ini madu yang baik dan yang sama banyaknya dengan yang telah diambil!"

"Demi Allah…, demikian kata Aqil, "…seolah-olah sekarang ini aku sedang melihat tangan Ali

memegang mulut kantong madu itu dan Qanbar sedang menuangkan madu ke dalamnya!"

Aqil sendiri pernah mengalami suatu peristiwa pahit dengan saudaranya itu. Menurut

penuturannya: "Waktu itu aku sedang mengalami kesulitan penghidupan yang amat berat. Aku

minta bantuan kepadanya (Imam Ali r.a.). Semua anakku kukumpulkan dan kuajak ke

rumahnya. Anak-anakku itu benar-benar sedang menderita kekurangan makan. Waktu tiba di

sana Ali berkata: 'Datanglah nanti malam, engkau akan kuberi sesuatu'…"

Malam hari itu aku datang lagi bersama anak-anakku. Mereka menuntunku bergantian.

Setibanya di sana anak-anakku disuruh menyingkir. Kepadaku Ali berkata: "Hanya ini saja

untukmu!"

Aku cepat-cepat mengulurkan tangan karena ingin segera menerima pemberiannya, dan kuduga

itu sebuah kantong. Ternyata yang kupegang ialah sebatang besi panas yang baru saja dibakar.

Besi itu kulemparkan sambil berteriak meraung seperti lembu dibantai. Ali tenang-tenang saja

berkata kepadaku: "Itu baru besi yang dibakar dengan api dunia. Bagaimana kalau kelak aku

dan engkau dibelenggu dengan rantai neraka jahanam?!"

Setelah ia membaca ayat 71-72 S. Al Mukmin, Imam Ali r.a. berkata meneruskan: "Dariku

engkau tidak akan memperoleh lebih dari hakmu yang sudah ditetapkan Allah bagimu… selain

yang sudah kau rasakan sendiri itu! Pulanglah kepada keluargamu."

Memang luar biasa. Muawiyah sendiri ketika mendengar cerita tentang peristiwa itu

berkomentar: "Terlalu! Terlalu! Kaum wanita akan mandul dan tidak akan melahirkan anak

seperti dia!"

Aqil bin Abi Thalib ternyata berusia lebih panjang daripada saudara-saudaranya. Di kalangan

orang-orang Qureiys ia terkenal sebagai salah satu di antara empat orang ahli yang dapat

dimintai keterangan tentang ilmu silsilah dan sejarah Qureiys. Empat orang itu ialah Aqil bin

Abi Thalib, Makramah bin Naufal Azzuhriy, Abul Jaham bin Hudzaifah Al Adwiy, dan Huwairits

bin Abdul Uzza Al Amiriy Aqil sanggup memberi keterangan terperinci mengenai soal-soal

silsilah dan sejarah Qureiys. Selain itu ia pun seorang periang dan mudah tertawa keras.

Ibnul Atsir meriwayatkan pengalaman Aqil yang lain dengan Imam Ali r.a. Pada suatu hari Aqil

datang kepada Imam Ali r.a. untuk meminta sesuatu. Kepada Imam Ali r.a. ia berkata: "Aku ini

orang butuh, orang miskin… berilah pertolongan kepadaku."

"Sabarlah dan tunggu sampai tiba waktunya pembagian bersama kaum muslimin lainnya," jawab

Imam Ali r.a.: "Engkau pasti kuberi."

Aqil tidak puas dengan jawaban itu. Ia mendesak terus dan merajuk. Akhirnya Imam Ali r.a.

memerintahkan seorang: "Bawalah dia pergi ke toko-toko di pasar. Katakan kepadanya supaya

mendobrak pintu toko-toko itu dan mengambil barang-barang yang ada di dalamnya!"

Mendengar perintah Imam Ali r.a. yang seperti itu, Aqil menyahut: "Apakah engkau ingin aku

menjadi pencuri?"

"Dan engkau, apakah ingin supaya aku mencuri milik kaum muslimin dan memberikannya

kepadamu?" jawab Imam Ali r.a.

"Kalau begitu aku mau datang kepada Muawiyah," kata Aqil dengan nada mengancam.

"Terserah," jawab Imam Ali r.a. dengan kontan.

Aqil lalu pergi ke Syam untuk meminta bantuan kepada Muawiyah. Oleh Muawiyah ia diberi

uang sebesar 100.000 dirham, dengan syarat Aqil harus bersedia naik ke atas mimbar dan

berbicara dengan orang banyak tentang apa yang telah diberikan oleh Imam Ali kepadanya dan

tentang apa yang telah diberikan Muawiyah. Dari atas mimbar Aqil berkata dengan lantang:

"Hai kaum muslimin, kuberitahukan kepada kalian, bahwa aku telah meminta kepada Ali supaya

memilih: 'aku atau agamanya'. Ternyata ia lebih suka memilih agamanya. Kepada Muawiyah aku

pun minta seperti itu. Ternyata ia lebih suka memilih aku daripada agamanya!"

Tentang kejujuran dan keadilan Imam Ali r.a. orang tidak segan-segan mengatakan terus

terang, sekalipun di depan Muawiyah. Beberapa waktu setelah Imam Ali r.a. wafat, Muawiyah

bertanya kepada Khalid bin Muhammad: "Apakah sebab anda lebih menyukai Ali daripada kami?"

"Disebabkan oleh tiga hal," jawab Khalid bin Muhammad dengan terus terang. "Ia sanggup

menahan sabar bila sedang marah. Jika berbicara ia selalu berkata benar. Dan jika menetapkan

hukum ia selalu adil." Demikian diriwayatkan oleh Ibnu Hajar dalam bukunya Ash Shawa'iqul

Muhriqah."

Al Haitsamiy dalam bukunya Majma, jilid IX, halaman 158 menyajikan sebuah riwayat yang

berasal dari Rab'iy bin Hurasy sebagai berikut: Pada suatu hari Muawiyah dikerumuni oleh

pemuka-pemuka Qureiys, termasuk Sa'id bin Al Ash, yang waktu

itu duduk di sebelah kanannya. Tak lama kemudian datanglah ibnu Abbas. Ketika melihat Ibnu

Abbas masuk, Muawiyah berkata kepada Sa'id: "demi Allah, aku akan mengajukan pertanyaanpertanyaan

kepada Ibnu Abbas yang kira-kira ia tidak akan mampu menjawabnya."

Menanggapi keinginan Muawiyah itu, Sa'id mengingatkan: "Hai Muawiyah, orang seperti Ibnu

Abbas tak mungkin tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaanmu."

Setelah Ibnu Abbas duduk, Muawiyah bertanya: "Apakah kiranya yang dapat kaukatakan tentang

Ali bin Abi Thalib?"

Dengan serta merta Ibnu Abbas menjawab: "Abul Hasan rahimahullah adalah panji hidayat;

sumber taqwa; tempat kecerdasan berfikir; puncak ketinggian akal; cahaya keutamaan

manusiawi di tengah kegelapan; orang yang mengajak manusia ke jalan lurus; mengetahui isi

Kitab-kitab suci terdahulu; sanggup menafsirkan dan mentakwilkan dengan berpegang teguh

pada hidayat; menjauhkan diri dari perbuatan dzalim yang menyakiti hati orang; menghindari

jalan yang sesat; seorang mukmin dan bertakwa yang terbaik; orang yang paling sempurna

menunaikan ibadah haji dan ibadah-ibadah lainnya; orang yang paling mempunyai tenggangrasa

serta memperlakukan semua orang secara adil dan sama, orang yang paling pandai berkhutbah di dunia ini…" dan seterusnya sampai kepada kata-kata: "…seorang suami dari

wanita yang paling mulia, dan seorang ayah dari dua cucu Rasul Allah s.a.w."

Seterusnya Ibnu Abbas mengatakan: "Mataku belum pernah melihat ada orang seperti dia dan

tidak akan pernah melihatnya sampai hari kiyamat. Barang siapa mengutuk dia, orang itu akan

dikutuk selama-lamanya oleh Allah dan oleh seluruh ummat manusia sampai hari kiyamat."

Mendengar keterangan itu, tentu saja Muawiyah menjadi beringas, tetapi ia dapat menguasai

diri di depan seorang ilmuwan seperti Ibnu Abbas. Harun bin Antarah menceritakan penyaksian

ayahnya dengan mengatakan: "Pada suatu hari aku datang ke rumah Imam Ali. Ia sedang duduk

di balai-balai berselimut kain kumal. Waktu itu musim dingin. Kukatakan kepadanya: "Ya Amiral

Mukminin, Allah telah memberi hak kepada anda dan kepada keluarga anda untuk menerima

sebagian dari harta Baitul Mal. Mengapa anda berbuat seperti itu terhadap diri anda sendiri?"

"Demi Allah," sahut Imam Ali r.a., "Aku tidak mau mengurangi hak kalian walau sedikit. Ini

adalah selimut yang kubawa sewaktu keluar meninggalkan Madinah."

'Ashim bin Ziyad pernah bertanya kepada Imam Ali r.a.: "Ya Amiral Mukminin, pakaian anda itu

terlalu kasar dan makanan anda pun terlampau buruk! Mengapa anda berbuat seperti itu?"

"Celaka benar engkau itu," jawab Imam Ali r.a. "Allah s.w.t. mewajibkan para pemimpin supaya

menempatkan dirinya masing-masing di bawah ukuran orang lain, agar tidak sampai

memperkosa penderitaan si miskin."

Suwaid bin Ghaflah juga menyaksikan cara hidup Imam Ali r.a. Ia menceritakan penyaksiannya

sendiri: "Pada suatu hari aku datang ke rumah Imam Ali. Di dalamnya tidak terdapat perkakas

apapun selain selembar tikar yang sudah koyak. Ia sedang duduk di tempat itu. Aku segera

bertanya setengah mengingatkan: 'Ya Amiral Mukminin, mengapa rumah anda seperti ini? Anda

adalah seorang penguasa kaum muslimin, yang memerintah mereka dan yang menguasai Baitul

Mal. Banyak utusan datang menghadap anda, sedang di rumah anda ini tidak ada perkakas

selain tikar'…"

"Ya Suwaid," jawab Imam Ali r.a., "dalam rumah yang bersifat sementara ini tidak perlu ada

perkakas, sebab di depan kita ada rumah yang kekal. Semua perkakas sudah kami pindahkan ke

sana, dan tak lama lagi kami akan kembali ke sana."

Harun bin Sa'id juga menceritakan penyaksiannya, bahwa pada suatu hari Abdullah bin Ja'far

bin Abi Thalib datang kepada Imam Ali untuk meminta pertolongan. Abdullah berkata: "Ya

Amiral Mukminin, suruhlah orang mengambilkan uang dari Baitul Mal bekal belanja untukku.

Demi Allah, aku tidak mempunyai uang sama sekali selain harus menjual ternakku."

"Tidak," jawab Imam Ali r.a., "demi Allah, aku tidak dapat memberi apa-apa kepadamu, kecuali

jika engkau menyuruh pamanmu mencuri agar bisa memberi apa yang kau minta."

Imam Ali r.a. memperlakukan semua sanak keluarganya dengan perlakuan sama seperti

terhadap orang lain. Ia tidak mengistimewakan mereka dengan pemberian apa pun juga, dan

tidak pula memberikan fasilitas khusus betapa pun kecilnya. Olehnya, semua sanak keluarga

dilatih dan dipersiapkan mentalnya supaya membiasakan diri berakhlaq seperti dirinya. Bahkan

kadang-kadang ia mengambil sikap keras dalam membiasakan mereka hidup menurut cara-cara

yang diajarkan.

Muslim bin Shahib Al Hanna meriwayatkan, bahwa seusai perang "Jamal" Imam Ali r.a. pergi ke

Kufah. Di sana ia masuk ke dalam Baitul Mal sambil berkata: "Hai dunia, rayulah orang selain

aku!" Ia lalu membagi-bagikan semua yang ada di dalamnya kepada orang banyak. Waktu itu

datang anak perempuan Al Hasan atau Al Husein r.a. lalu turut mengambil sesuatu dari Baitul Mal. Melihat itu Imam Ali mengikuti cucunya dari belakang, kemudian genggaman anak

perempuan itu dibuka dan diambillah barang yang sedang dipegang. Kami katakan kepadanya:

"Ya Amiral Mukminin, biarlah! Dia mempunyai hak atas barang itu!" Ternyata Imam Ali

menjawab: "Jika ayahnya sendiri yang mengambil hak itu, barulah ia boleh memberikan kepada

anak ini sesuka hatinya!"

Sejak sebelum memangku jabatan Khalifah, Imam Ali pada prinsipnya memang tidak suka

melihat banyak kekayaan kaum muslimin tertimbun dalam Baitul Mal. Salah sebuah catatan

sejarah yang ditulis oleh Abu Ja'far At Thabariy mengatakan, bahwa dalam suatu musyawarah

Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a. meminta pertimbangan tentang bagaimana sebaiknya yang

perlu dilakukan terhadap harta benda yang ada di dalam Baitul Mal. Dalam musyawarah itu

Imam Ali r.a. mengemukakan pendapatnya: "Sebaiknya harta yang sudah terkumpul itu

dibagikan saja tiap tahun dan tidak usah disisakan sedikitpun."

Kejujuran dan keadilan seorang yang hidup zuhud, taqwa dan tekun beribadah seperti Imam Ali

r.a. itu memang sukar sekali dijajagi. Keistimewaan hukum yang berlaku pada masa

pemerintahannya ialah persamaan hak dan kewajiban bagi semua orang. Kebijaksanaannya

tidak berat sebelah kepada fihak yang kuat dan tidak merugikan fihak yang lemah.

Tanah-tanah garapan yang pada masa pemerintahan sebelumnya dibagi-bagikan kepada sanak

famili dan orang-orang terkemuka yang dekat dengan para penguasa Bani Umayyah, dicabut

dan dikembalikan kepada status semula sebagai milik umum kaum muslimin. Setelah itu

barulah dibagi-bagikan lagi kepada orang-orang yang berhak berdasarkan prinsip persamaan.

Mengenai kekayaan milik umum kaum muslimin, Imam Ali r.a. sendiri dengan tegas menyatakan

kebijaksanaannya: "Demi Allah, seandainya ada sebagian dari kekayaan itu yang sudah

dipergunakan orang untuk beaya pernikahan atau untuk membeli hamba sahaya perempuan,

pasti aku tuntut pengembaliannya!" Dijelaskan pula olehnya: "Sesungguhnya keadilan itu sudah

merupakan kesejahteraan. Maka barang siapa masih merasakan kesempitan di dalam suasana

adil, ia pasti akan merasa lebih sempit lagi dalam suasana dzalim."

Di antara beberapa pesan yang diamanatkannya kepada para penguasa daerah ialah:

"Berlakulah adil terhadap semua orang. Sabarlah dalam menghadapi orang-orang yang hidup

kekurangan, sebab mereka itu sesungguhnya adalah juru bicara rakyat. Janganlah kalian

menahan-nahan kebutuhan seseorang dan jangan pula sampai menunda-nunda permintaannya.

Untuk keperluan melunasi pajak janganlah sampai ada orang yang terpaksa menjual ternak

atau hamba sahaya yang diperlukan sebagai pembantu dalam pekerjaan. Janganlah sekali-kali

kalian mencambuk seseorang hanya karena dirham!"

Salah satu dari pesan-pesan khusus yang ditujukan kepada para petugas pemungut pajak, zakat

dan lain-lainnya, ialah : "Datangilah mereka dengan tenang dan sopan. Jika engkau sudah

berhadapan dengan mereka, ucapkanlah salam. Hormatilah mereka itu dan katakanlah: 'Hai

para hamba Allah, penguasa Allah dan Khalifah-Nya mengutus aku datang kepada kalian untuk

mengambil hak Allah yang ada pada kekayaan kalian. Apakah ada bagian yang menjadi hak

Allah itu dalam harta kekayaan kalian? Jika ada, hendaknya hak Allah itu kalian tunaikan

kepada Khalifah-Nya'…"

"Jika orang yang bersangkutan menjawab 'tidak', janganlah kalian ulangi lagi. Tetapi jika orang

itu menjawab 'ya', pergilah engkau bersama-sama untuk memungut hak Allah itu. Janganlah

kalian menakut-nakuti dia, janganlah mengancam-ancam dia, dan jangan pula membentak atau

bersikap kasar. Ambillah apa yang diserahkan olehnya kepada kalian, emas atau pun perak.

Jika orang yang bersangkutan mempunyai ternak berupa unta atau lainnya, janganlah kalian

masuk untuk memeriksa tanpa seizin dia, walaupun orang itu benar-benar mempunyai banyak

ternak. Jika orang itu memberi izin kepada kalian untuk memeriksanya, janganlah kalian masuk

dengan lagak seperti orang yang berkuasa. Jangan berlaku kasar, jangan menakut-nakuti dan jangan sekali-kali menghardik binatang-binatang itu. Jangan kalian berbuat sesuatu yang akan

menyusahkan pemiliknya."

"Kemudian apabila harta kekayaan diperlihatkan kepada kalian, persilakan pemiliknya memilih

dan menentukan sendiri mana yang menjadi hak Allah. Jika ia sudah menentukan pilihannya,

janganlah kalian menghalang-halangi dia mengambil bagian yang menjadi haknya. Hendaknya

kalian tetap bersikap seperti itu, sampai orang yang bersangkutan menetapkan mana yang

menjadi hak Allah yang akan ditunaikan. Tetapi ingat, jika kalian diminta supaya meninggalkan

orang itu, tinggalkanlah dia!"

Begitu jelasnya Imam Ali r.a. mengemukakan pesan dan amanatnya secara terperinci agar

jangan sampai terjadi penyalahgunaan dan perkosaan terhadap kaum muslimin dan rakyatnya.

Sedemikian tingginya rasa keadilan yang menghiasi kehidupan Imam Ali r.a., sampai pernah

terjadi, bahwa pada waktu ia menerima setoran pajak dari penduduk Isfahan, ditemukan

sepotong roti kering terselip dalam wadah. Roti itu oleh Imam Ali r.a. dipotong-potong menjadi

tujuh keping, sama seperti uang setoran itu juga yang dibagi menjadi tujuh bagian. Pada tiap

bagian dari uang itu ditaruh sekeping roti kering.

Ksatria

Kesatriaan dan keperwiraan Imam Ali r.a. bukan dibuat-buat, melainkan sudah menjadi sifat

dan tabiatnya sendiri. Hal itu ditumbuhkan dan diperkuat oleh lingkungan hidupnya sejak kecil

dan oleh ajaran serta tauladan yang diterimanya langsung dari Rasul Allah s.a.w. Ia bukan

orang yang suka mabok kemenangan dan bukan pula seorang pedendam. Ketangguhan dan

ketangkasannya sebagai pelaku perang-tanding yang banyak disegani orang, sama sekali tidak

membuatnya besar kepala. Ia tidak pernah mulai mengajak berkelahi atau berduel, apalagi

menantang-nantang. Bahkan dalam menghadapi saat-saat gawat, masih tetap berusaha agar

pertumpahan darah dapat dihindarkan.

Ada orang yang menilai sikapnya itu sebagai tanda kelemahan. Ada pula yang menafsirkannya

sebagai tanda kegentaran. Penilaian dan penafsiran itu tidak tepat sama sekali. Sikap Imam Ali

r.a. semacam itu benar-benar keluar dari hati yang tulus ikhlas. Kemanusiaannya sangat tinggi.

Lawan yang ditundukkannya diperlakukan dengan sikap manusiawi dan dihormati sesusi dengan

harkat martabatnya sebagai manusia.

Kepada puteranya sendiri, Al Hasan r.a., tidak jemu jemunya ia berpesan agar jangan sekalikali

menantang orang berkelahi atau berperang-tanding. "Tetapi jika orang itu menantang,

jawab tantangan itu dan hadapilah. Seba orang yang berbuat seperti

itu ialah orang dzalim, dan tiap orang dzalim wajib dilawan," demikian ujar Imam Ali r.a.

dengan tandas.

Sering juga orang tidak dapat memahami sifat keksatriaannya. Bagi para ahli perang modern,

pendirian Imam Ali r.a. itu dianggap tidak tepat. Sebab, menurut faham mereka, pertahanan

yang terbaik ialah melancarkan serangan mengejutkan terhadap lawan. Tetapi watak

keksatriaan Imam Ali r.a. tidak seperti itu. Ia hanya akan menyerang bila benar-benar sudah

diserang. Jadi serangan hanya dipandang sebagai langkah mempertahankan diri.

Ketika salah seorang sahabatnya menyaksikan persiapan kaum Khawarij dan kemudian

dilaporkannya kepada Imam Ali r.a. dan disertai usul supaya mendahului gerakan musuh dengan

suatu serangan kilat; Imam Ali r.a. dengan tegas mengatakan: "Aku tidak mau menyerang

mereka sebelum mereka melancarkan serangan lebih dahulu terhadap kita. Biarlah mereka

berbuat lebih dulu." Padahal secara normal usul sahabatnya itu tepat dan benar.

Peristiwa yang sama juga terjadi sebelum itu. Ialah dalam "Perang Unta". Demikian juga dalam

perang Shiffin. Mengawali pecahnya peperangan antar sesama kaum muslimin itu, Imam Ali r.a. selalu berusaha lebih dulu agar dapat diciptakan perdamaian, selagi masih ada peluang untuk

itu, betapa pun kecilnya. Jalan inilah yang menurut Imam Ali r.a. sebaiknya harus ditempuh.

Prinsip ini olehnya dipegang teguh. Tidak pandang apakah yang sedang dihadapinya itu perang

terbuka atau terselubung, besar atau kecil. Ia selalu mengajak lawan untuk memecahkan

persengketaan dan pertikaian melalui jalan damai. Kepada pasukannya ia pun memerintahkan

supaya tidak mengambil tindakan lebih dulu yang akan mengakibatkan bencana jatuhnya

banyak korban.

Pada dasarnya ia tidak menghunus pedang sebelum menyerukan perdamaian kepada lawan

lebih dulu. Tetapi sikapnya yang seperti itu bukannya tidak dilandasi dengan kesiap-siagaan di

kalangan pasukannya. Inilah rupanya yang menjadi rahasia keunggulannya dalam menghadapi

peperangan demi peperangan.

Satu contoh tentang keksatriaannya yang sangat menarik ialah pada waktu menghadapi kaum

Khawarij. Orang-orang Khawarij yang terkenal sangat benci kepada Imam Ali r.a., pada satu

ketika berteriak mengkafirkan dan memaki-maki dirinya. Imam Ali r.a. tetap tenang dan

dengan lapang dada menghadapi semuanya itu. Sedangkan pasukannya sudah tak tahan lagi

mendengar pimpinannya dihina orang. Mereka bangkit hendak melancarkan serangan serentak.

Tetapi dengan cepat Imam Ali r.a. berteriak untuk menghentikan niat mereka: "Jangan! Itu

hanya sekedar makian! Kita harus menjawab mereka dengan memberi maaf!" Demikian

perintahnya.

Kebijaksanaan seperti itu ada kalanya menimbulkan salah faham dan gerutu dalam pasukannya

sendiri. Ya, itulah Imam Ali r.a., seorang pemimpin yang berjiwa besar lagi arif bijaksana.

Imam Ali r.a. tersohor sebagai pendekar perang dan tangkas dalam perang-tanding. Namun ia

benar-benar baru mau mengangkat senjata bila telah terpaksa harus mempertahankan diri. Bila

sudah sampai ke tingkat itu, maka tinggal dua pilihan saja bagi dirinya, ia mati di tangan

lawan, atau lawan yang harus mati di tangannya. Berlandaskan ketenangan dan kemantapan.