Sejarah Hidup Imam Ali ra

Sejarah Hidup Imam Ali ra0%

Sejarah Hidup Imam Ali ra pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Imam Ali as

Sejarah Hidup Imam Ali ra

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

pengarang: H.M.H. ALHAMID ALHUSAINI
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Pengunjung: 17532
Download: 3990

Komentar:

Sejarah Hidup Imam Ali ra
Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 22 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 17532 / Download: 3990
Ukuran Ukuran Ukuran
Sejarah Hidup Imam Ali ra

Sejarah Hidup Imam Ali ra

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Bab XV : PINTU ILMU

Dalam riwayat yang ditulisnya, Ibnu Abbas mengatakan: "Demi Allah, Rasul Allah s.a.w. telah

memberi kepada Imam Ali sembilan-persepuluh dari semua ilmu yang ada, dan demi Allah,

Imam Ali masih juga mengetahui sebagian dari sepersepuluh ilmu sisanya yang ada pada kalian

atau pada mereka."

Mengenai hal itu cukuplah dikemukakan saja ucapan Rasul Allah s.a.w. yang menegaskan: "Aku

ini adalah kotanya ilmu atau kotanya hikmah, sedangkan Ali adalah pintu gerbangnya. Barang

siapa ingin memperoleh ilmu hendaknya ia mengambil lewat pintunya."

Allah s.w.t. telah melimpahkan nikmat tiada terhingga kepada Imam Ali bin Abi Thalib r.a.

berupa ilmu dan hikmah, sehingga ia menjadi orang yang paling banyak mengetahui dan

menguasai isi A1 Qur'an serta ajaran-ajaran Rasul Allah s.a.w. Dengan sendirinya ia pun

merupakan orang yang paling mampu menetapkan fatwa hukum Islam. Sebenarnya hal itu

bukan merupakKan satu kejutan, karena dia adalah satu-satunya orang muslim yang terdini

memeluk Islam dan hidup langsung di bawah naungan wahyu sejak masa kanak-kanak sampai

dewasa.

Sebuah riwayat hadits yang berasal dari Mu'adz bin Jabal mengatakan bahwa Rasul Allah s.a.w.

berkata kepada Imam Ali r.a.: "Engkau mengungguli orang lain dalam tujuh perkara. Tak ada

seorang Qureisy pun yang dapat menyangkalnya. Yaitu:

-Engkau adalah orang pertama yang beriman kepada Allah,

-Engkau orang yang terdekat dengan janji Allah,

-Engkau orang yang termampu menegakkan perintah Allah,

-Engkau orang yang paling adil mengatur pembagian (ghanimah),

-Engkau orang yang paling berlaku adil terhadap rakyat,

-Engkau paling banyak mengetahui semua persoalan,

-dan Engkau orang yang paling tinggi nilai kebaikan sifatnya di sisi Allah."

Jadi, kalau Rasul Allah s.a.w. sendiri sudah menilai Imam Ali r.a. sedemikian lengkapnya,

tidaklah keliru kalau dikatakan, bahwa Imam Ali r.a. merupakan kualitas pilihan di kalangan

ummat Islam.

Fashahah dan Balaghah

Al Mas'udiy meriwayatkan, bahwa lebih dari 480 khutbah yang diucapkan oleh Imam Ali r.a.

tanpa dipersiapkan lebih dahulu, dihafal oleh banyak orang. Syarif Ar-Ridha mengatakan dalam

kitab Khutbah Nahjil Balaghah, bahwa Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib adalah pencipta dan

pengajar ilmu Fashahah dan juga merupakan orang yang melahirkan ilmu Balaghah.

Dari dialah munculnya aturan-aturan ilmu tersebut dan dari dia juga orang mengambil kaidahkaidah

dan hukum-hukumnya. Tiap orang yang berbicara sebagai khatib, pasti mengambil

pepatah atau kata-kata rnutiara dari dia, dan tiap orang yang pandai mengingatkan orang lain

pasti mencari bantuan dengan jalan mengutip kata-kata Imam Ali. Demikian kata Syarif Ar

Ridha.

Tentang hal itu Muawiyah sendiri juga terpaksa harus mengakui keunggulan lawannya, ketika ia

berkata terus terang kepada Abu Mihfan: "Seandainya semua mulut dijadikan satu, belum juga

dapat menyamai kepandaian Ali bin Abi Thalib. Demi Allah, tidak ada orang Qureiys yang cakap

berbicara seperti dia!"

Banyak sekali ungkapan dan kata-kata mutiara Imam Ali r.a. tercantum dalam kitab Nahjul

Balaghah, yang dibelakang hari diuraikan oleh Ibnu Abil Hadid dalam bukunya Syarah Nahjil

Balaghah, yang terdiri dari 20 jilid. Buku Nahjul Balaghah kiranya cukuplah menjadi bukti,

bahwa dalam hal menyusun kalimat dan memilih kata-kata bermutu, memang tidak ada orang

lain yang dapat menyamai atau melebihi Imam Ali r.a. selain Rasul Allah s.a.w. sendiri. Salah

satu contoh ialah kata-katanya: "Tiap wadah bila diisi menyempit kecuali wadah ilmu, ia

bahkan makin bertambah luas."

Dalam kitab Al Bayan wat Tabyin, Al Jahidz mengetengahkan ucapan Imam Ali r.a. yang

mengatakan: "Nilai seseorang ialah perbuatan baiknya." Dalam memberikan tanggapan terhadap

ucapan Imam Ali r.a. tersebut, Ibnu Aisyah mengatakan: "Selain kalam Allah dan Rasul-Nya, aku

tidak pernah menemukan sebuah kalimat yang lebih padat maknanya dan lebih umum

kemanfaatannya dibanding dengan ucapan-ucapan Imam Ali."

Pernah ada orang bertanya kepada Imam Ali r.a. tentang berapa jauhnya jarak antara langit

dan bumi. Imam Ali dengan mudah saja menjawab: "Jauhnya secepat doa yang terkabul!" Orang

itu masih bertanya lagi tentang jauhnya jarak antara timur dan barat. Dijawab oleh Imam Ali

r.a.: "Sejauh perjalanan matahari sehari!"

Nahwu

Ilmu Nahwu yang merupakan salah satu cabang pokok ilmu bahasa Arab pun sejarah

pertumbuhannya tak dapat dipisahkan dari pemikiran Imam Ali r.a. Dialah yang meletakkan

dasar-dasar fundamental ilmu tersebut. Tokoh pertama yang terkenal sebagai penyusun ilmu

Tata Bahasa Arab, Abul Aswad Ad Dualiy, di imla (didikte) oleh Imam Ali r.a. dalam meletakkan

dasar-dasar ilmu Nahwu dan kaidah-kaidahnya. Antara lain Imam Ali r.a.-lah yang membagi

jenis kata-kata dalam tiga kategori secara sistematik. Yaitu kata benda (ism), kata kerja (fi'il)

dan kata penghubung (harf). Ia jugalah yang membagi kata benda ke dalam dua sifat. Ma'rifah,

yaitu kata benda yang jelas maksudnya dalam hubungan kalimat, dan Nakirah, yaitu lawan kata

benda Ma'rifah. Demikian juga yang berkaitan dengan jenis-jenis I'rab, seperti rafa', nasb, jarr dan jazm.

Keistimewaannya ialah dalam meletakkan kaidah-kaidah tata-bahasa Arab itu, Imam Ali r.a.

seolah-olah seperti berbuat mu'jizat. Sebab sebelum itu, belum pernah ada orang Arab yang

mengenal sistematisasi penyusunan tata-bahasa. Rumus-rumus tata-bahasa belum pernah

dikenal orang sama sekali. Padahal bahasa Arab adalah bahasa yang sangat tua, kaya dan

rumit. Bangsa-bangsa Eropa yang dalam abad modern sekarang ini menguasai peradaban dunia,

waktu itu masih tenggelam dalam vandalisme dan pengembaraan liar. Jadi tidaklah keliru kalau

dikatakan Imam Ali r.a. itu adalah bapak bahasa Arab modern. Sebab rumus-rumus dan kaidahkaidah

yang diletakkan olehnya, membuat bahasa Arab mudah dipelajari oleh orang asing.

Khutbah

Kecakapannya berkhutbah bukan asing lagi bagi para penulis sejarah Islam. Imam Ali r.a. bukan

hanya dikenal sebagai Bapak bahasa Arab, tetapi dalam hal penggunaan dan penerapan bahasa

pun ia dikenal sebagai seorang ahli terkemuka. Keunggulannya dalam kecakapan berbahasa dan

bersastra membuat orang menarik kesimpulan, bahwa nilai perkataan Imam Ali r.a. berada di

bawah firman Allah Al Khaliq dan tutur-kata Rasul-Nya. Pada masa hidupnya tidak sedikit orang

datang kepadanya untuk menimba ilmu berkhutbah dan ilmu menulis.

Abdul Hamid bin Yahya, seorang ilmuwan dan penulis Islam yang masyhur itu, sampai berkata

sambil membanggakan diri, bahwa ia mempunyai kumpulan khutbah-khutbah Imam Ali

sebanyak 70 perangkat. "Dan itu masih bertambah terus," katanya. Akan tetapi Abdul Hamid itu

masih kalah unggul dibanding dengan Ibnu Nubatah, yang nama sebenarnya ialah Abdurrahman

bin Muhammad bin Ismail Al-Fariqiy Al-dudzamiy. Ia mengatakan: "Aku menyimpan setumpuk

khutbah-khutbahnya. Sampai sekarang masih bertambah terus jumlahnya. Aku menyimpan 100

bab dari wejangan-wejangan Imam Ali bin Abi Thalib."

Kecakapan Imam Ali r.a. menyusun pidato sangat membantu para peneliti sejarah Islam,

khususnya sejarah perjuangan Imam Ali r.a. sendiri, dalam menghimpun data-data dan faktafakta.

Dibanding dengan khutbah-khutbahnya, khutbah-khutbah yang pernah diucapkan oleh

para sahabat Nabi Muhammad s.a.w. lainnya, belum ada sepersepuluhnya, seandainya semua

itu hendak dikumpulkan. Seorang penulis dan sejarawan klasik Islam, Abu Utsman Al-Jahidz

menegaskan hal tersebut dalam bukunya yang berjudul Al-Bayan wat Tabyin.

Tauhid

Ilmu Tauhid atau ilmu Kalam adalah ilmu yang paling banyak dikejar dan diselami oleh kaum

muslimin yang berminat mendalami hakikat Islam. Ilmu Tauhid merupakan induk ilmu-ilmu

agama Islam, karena ilmu tersebut menyangkut masalah ke-Tuhan-an. Kecuali itu, karena luhur

dan tingginya nilai suatu ilmu pengetahuan terletak pada sasaran ilmu itu sendiri.

Ilmu ke-Tuhan-an yang sasarannya adalah Dzat Yang Maha Agung, tidak bisa tidak pasti

merupakan ilmu yang paling tinggi mutu dan nilainya. Kaum awam dan para ahli yang menekuni

ilmu yang mulia itu, hampir tak ada yang meragukan bahwa ilmu tersebut dikuasai dengan baik

sekali oleh Imam Ali r.a. Bahkan pribadinya sendiri di belakang hari dijadikan sumber

penggalian dan pembahasan ilmu tersebut, yakni ilmu Tauhid.

Kaum Mu'tazilah yang juga dikenal dengan sebutan Ahlut Tauhid Wal 'Adl, para ahli ilmu qalam,

dan para ahli fikir lainnya, jika diusut sumber ilmu pengetahuannya masing-masing, akhirnya

pasti akan bertemu pada pribadi dan pemikiran Imam Ali r.a. Sebagai ilustrasi dan sekaligus

pembuktian dapat dikemukakan, bahwa tokoh utama kaum Mu'tazilah yang bernama Washil bin

'Atha, dasar-dasar ilmu pengetahuannya berasal dari Imam Ali r.a. Sebab tokoh Mu'tazilah itu

menimba ilmu dari Abu Hasyim Abdullah bin Muhammad Ibnul Hanafiyah. Hasyim memperoleh

ilmu dari ayahnya sendiri, yaitu Muhammad Ibnul Hanafiyah. Sedang Muhammad Ibnul

Hanafiyah bukan saja murid, melainkan ia adalah putera Imam Ali r.a. sendiri, yakni saudara Al

Hasan dan Al Husein r.a. dari lain ibu.

Kaum Asy'ariy yang asalnya adalah para siswa Abul Hasan Ali bin Ismail bin Abi Bisyr Al Asy'ariy,

ilmu pengetahuan mereka didapat dari Abul Aliy Al-Juba-iy. Bagi orang yang mendalami ilmu

Tauhid dan meneliti asal-usul sejarahnya, pasti mengetahui bahwa Abul Aliy Al-Juba-iy itu ialah

seorang tokoh sangat terkenal di kalangan kaum Mu'tazilah. Sedang kaum Mu'tazilah itu

memperoleh ilmu mereka dari Imam Ali r.a., seperti yang kami sebutkan di atas tadi. Mengenai

kaum Syi'ah, baik golongan Zaidiyyah maupun golongan Imamiyyah, sumber ilmu pengetahuan

mereka tak usah dipersoalkan lagi. Sudah pasti dari tokoh pujaan mereka yang paling utama,

yaitu Imam Ali bin Abi Thalib r.a

Fiqh

Orang yang paling lembut hatinya dan paling ramah di kalangan ummatku ialah Abu Bakar.

Demikian diungkapkan oleh Rasul Allah s.a.w. Sedang yang paling keras membela agama ialah

Umar Ibnul Khattab. Yang paling pemalu adalah Utsman bin Affan. Adapun Ali, ajar Rasul Allah

s.a.w. seterusnya, ialah yang paling tahu tentang hukum.

Pernyataan Rasul Allah s.a.w. tersebut merupakan masnad bagi uraian Abu Ya'la, sebagaimana

tercantum dalam kitab karya seorang penulis kenamaan As-Sayuthiy, yang berjudul Al Jami'us

Shaghir (jilid I halaman 58). Yang dimaksud dengan hukum bukan lain ialah hukum Islam, yaitu

Fiqh. llmu Fiqh merupakan salah satu cabang penting dari ilmu agama Islam.

Ilmu yang bersangkut-paut dengan semua ketentuan hukum Islam itu jelas sekali berpangkal

antara lain dari Imam Ali r.a. Boleh dibilang semua ahli Fiqh di kalangan kaum muslimin

menimba dan mengambil dasar-dasar ilmu pengetahuannya masingmasing dari Fiqh Imam Ali.

Rekan-rekan dan para pengikut Imam Abu Hanifah, seperti Abu Yusuf, Muhammad dan

sebagainya, semua berguru kepada Abu Hanifah.

Seorang ahli Fiqh terkemuka yang madzhabnya dianut oleh ummat Islam Indonesia, Imam

Syafi'iy, adalah murid Muhammad bin Al Hasan yang ilmunya berasal dari Abu Hanifah.

Tokoh pertama madzhab Hanbaliy, yaitu Imam Ahmad bin Hanbal, adalah murid kinasih dan

terkemuka dari Imam Syafi'iy. llmu pengetahuan yang ditimbanya sudah tentu sama seperti

ilmu yang didapat oleh Imam Syafi'iy sendiri, yaitu berasal dari Imam Abu Hanifah.

Tokoh besar ilmu Fiqh, Abu Hanifah, menimba ilmu pengetahuan dari Ja'far bin Muhammad

Ibnul Hanafiyah. Ja'far adalah murid ayahnya sendiri, sedangkan ayahnya itu ialah murid dan

putera Imam Ali.

Tokoh pertama madzhab Malikiy, yaitu Imam Malik bin Anas, pun demikian juga. Ia menimba

ilmu pengetahuan tentang Fiqh dari Abdullah Ibnu Abbas. Sedangkan Abdullah Ibnu Abbas

sendiri diketahui dengan pasti bukan lain adalah murid Imam Ali bin Abi Thalib r.a. Kalau ada

yang mengatakan bahwa ilmu Fiqh Imam Syafi'iy berasal dari Imam Malik, pangkal dan sumber

pokoknya berasal juga dari Imam Ali.

Fakta-fakta tersebut mengungkapkan kenyataan, bahwa 4 orang Imam Fiqh atau tokoh-tokoh

pertama empat madzhab Fiqh di seluruh dunia Islam sekarang ini, ilmu pengetahuan Fiqhnya

masing-masing berasal dari Imam Ali r.a. Tentu saja tak perlu diragukan lagi, bahwa ilmu Fiqh

yang ada di kalangan kaum Syi'ah pasti berasal dari Imam Ali. Seorang tokoh besar Islam

lainnya, Umar Ibnul Khattab r.a., dikenal dan diakui sebagai seorang yang banyak memecahkan

masalah-masalah yang berkaitan dengan hukum Islam. Namun ia tidak lepas dari pemikiran

Imam Ali bin Abi Thalib r.a. Hal ini diakui sendiri olehnya ketika mengatakan: "Tanpa Ali

celakalah Umar!" Bahkan Khalifah yang terkenal keras, tegas, tetapi bijaksana dan arif itu

pernah juga mengucap-kan "Tidak ada kesukaran (hukum) yang tak dapat dipecahkan oleh Abul

Hasan (Imam Ali)."

Waktu melukiskan bagaimana wibawa dan wewenang Imam Ali dalam menetapkan fatwa

hukum, Khalifah Umar r.a. juga menegaskan: "Tidak ada seorang pun di dalam masjid yang

dapat memberikan fatwa hukum, bila Ali hadir."

Penguasaan, penafsiran dan penerapan hukum Islam oleh Imaln Ali r.a. dilakukan secara tepat

dan diakui kebenarannya oleh Rasul Allah s.a.w. Hal itu dibuktikan dengan diangkatnya Imam

Ali --pada masa itu-- sebagai qadhi (hakim) di Yaman. Ketika melepas saudara misan

kesayangannya itu Rasul Allah s.a.w. sempat berdoa: "Ya Allah, bimbinglah hatinya dan

mantapkanlah ucapannya." Sebagai tanggapan terhadap harapan Rasul Allah s.a.w. itu Imam Ali

r.a. berkata: "Mulai saat ini aku tidak akan ragu-ragu lagi mengambil keputusan hukum yang

menyangkut dua belah fihak."

Di antara banyak yurisprudensi, keputusan-keputusan hukum, yang dilahirkan oleh pemikiran

Imam Ali r.a. ialah yang menyangkut kasus perkara sebagai berikut: Kasus seorang isteri yang

melahirkan anak, padahal ia baru enam bulan menikah dengan suaminya. Yaitu suatu

penetapan hukum yang dilakukan oleh Imam Ali r.a. berdasarkan Surah Al-Ahqaf ayat 15. Juga

Imam Ali-lah yang menetapkan fatwa hukum Islam tentang wanita hamil karena perbuatan

zina. Memecahkan masalah hukum Faraidh yang pelik dan rumit, yaitu hukum tentang

pembagian harta waris, Imam Ali r.a. sanggup melakukannya dengan cepat dan tepat.

Yurisprudensi ini lahir dari satu kasus yang terkenal dalam sejarah Fiqh dengan nama "Kasus

Minbariyyah". Kasus ini menarik para ahli hukum Islam maupun non Islam. Peristiwa ini terjadi

ketika Imam Ali r.a. sedang berkhutbah di atas mimbar, tiba-tiba ada seorang bertanya tentang

hukum yang berkaitan dengan pembagian waris antara dua orang anak perempuan, dua orang

ayah dan seorang perempuan. Seketika itu juga dan hanya dalam waktu beberapa detik saja,

tanpa ragu-ragu Imam Ali r.a. menjawab: "Seperdelapan yang menjadi hak perempuan itu

berubah menjadi sepersembilan!"

Dihitung secara matematik dan ditinjau dari sudut keadilan dan kebijaksanaan berdasarkan Al-

Qur'an, fatwa hukum Imam Ali r.a. tersebut mencapai record dalam memecahkan kasus

pembagian harta waris yang amat pelik dan rumit. Seorang ahli hukum Faraidh sendiri, walau

dengan bantuan alat kalkulator, baru dapat menemukan angka yang disebutkan oleh Imam Ali

r.a. kalau sudah menghitung-hitung dahulu selama beberapa saat. Masalah itu memang

merupakan masalah matematika yang cukup ruwet. Tetapi menurut kenyataan, fatwa Imam Ali

r.a. yang diambil dalam waktu beberapa detik itu setelah diuji dan diteliti secermat-cermatnya

berdasarkan hukum Al-Qur'an dan sunnah Rasul Allah s.a.w., terbukti benar dan tepat. Jelaslah

hanya orang yang betul-betul menguasai dasar-dasar hukum Fiqh sampai sedalam-dalamnya

sajalah yang dapat memberikan jawaban secepat itu!

Tafsir

Bagi orang awam, bahkan kaum ahli sekalipun, selalu menjumpai kenyataan bahwa tafsir Al-

Qur'an banyak sekali kaitannya dengan nama seorang ulama besar, Abdullah Ibnu Abbas. Ulama

ini memang terkenal sekali sebagai seorang ahli tafsir Al Qur'an. Abdullah Ibnu Abbas juga

seorang ulama yang dipercaya oleh Khalifah Abu Bakar r.a. dan Khalifah Umar r.a. untuk

memberikan penafsiran tentang sesuatu ayat Al-Qur'an.

Sungguhpun demikian, ketika Abdullah Ibnu Abbas ditanya orang, bagaimana perbandingan ilmu

pengetahuan yang dimilikinya dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh "putera paman anda"

(Imam Ali r.a.), jawabnya sederhana saja: "Perbandingannya seperti setetes air hujan dengan

air samudera!" Jawaban itu tidak mengherankan. Bukan hanya karena ia rendah hati, melainkan

juga karena ia adalah murid Imam Ali r.a. sendiri. Dalam ilmu tafsir, nama dua orang itu

hampir tak pernah pisah sama sekali.

Benar sekali penyaksian Abu Fudhail yang mendengar sendiri Imam Ali r.a. berkata dari atas

mimbar: "Tanyakanlah kepadaku selama aku ada. Apa saja yang kalian tanyakan, aku sanggup

menjawab. Tanyakanlah tentang Kitab Allah. Demi Allah, tak ada satu ayat pun yang aku tidak mengetahui, apakah ayat itu turun di waktu siang ataukah di waktu malam, di datarankah atau

di pegunungan."

Kata-kata Imam Ali r.a. itu bukan menunjukkan kesombongan, tetapi karena ia tampak jengkel

melihat ada orang yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an dengan semena-mena. Dan apa yang

diucapkannya itu bukan kata-kata hampa yang tidak berbukti.

Menurut Ibnu Abil Hadid, Al-Madainiy meriwayatkan, bahwa dalam salah satu khutbahnya Imam

Ali r.a. pernah berkata: "Seandainya ada yang mengadu kepadaku karena bantalnya dirobek

orang, aku akan mengambil keputusan hukum. Bagi ahli Taurat berdasarkan Tauratnya, bagi

ahli Injil berdasarkan Injilnya, dan bagi ahli Al-Qur'an berdasarkan Qur'an-nya!"

Sungguh besarlah nikmat Allah yang dilimpahkan kepada putera Abu Thalib yang telah

menerima asuhan dan pendidikan manusia terbesar sepanjang sejarah, Nabi besar Muhammad

s.a.w.! Tidak keliru kalau tiga orang Khalifah sebelumnya memandang Imam Ali r.a. sebagai

penasehat ahli yang sama sekali tak dapat ditinggalkan fatwa-fatwanya.

Tilawatil Qur'an

Bagi Imam Ali r.a. ilmu Tilawatil Al-Qur'an merupakan ilmu yang paling pertama kali diteguk

dan diperolehnya langsung dari Rasul Allah s.a.w. sejak berusia muda belia. Ialah orang yang

paling tahu bagaimana Rasul Allah s.a.w. membaca ayat-ayat Al-Qur'an. Sejak Rasul Allah

s.a.w. masih hidup, Imam Ali r.a. sudah dikenal sebagai orang pertama dan yang paling dini

menghafal Al-Qur'an. Kedudukannya yang sangat dekat dengan Rasul Allah s.a.w. dan

kecerdasannya membuat Imam Ali r.a. dapat menguasai dengan sempurna ilmu Tilawatil

Qur'an.

Ada kesepakatan di kalangan para penyusun riwayat, bahwa di samping menguasai pengertian

dan tafsir Al-Qur'an secara baik, Imam Ali r.a. juga diakui sebagai seorang ahli ilmu Tilawah.

Keahlian dan kecakapannya di bidang ini sangat membantu usaha menghimpun ayat-ayat suci

Al-Qur'an di kemudian hari. Dalam pekerjaan yang maha besar itu sumbangan dan peranan

Imam Ali r.a. sangat menentukan keberhasilannya.

Sebagaimana diketahui, setelah Rasul Allah s.a.w. wafat, Abu Bakar Ash Shiddiq meneruskan

kepemimpinan beliau atas ummat Islam. Di kala itu terjadi peperangan-peperangan untuk

menumpas kaum pembangkang zakat dan gerakan kaum murtad, serta oknum-oknum petualang

yang mengaku diri sebagai "nabi". Dengan terjadinya konflik-konflik tersebut para sahabat yang

hafal ayat-ayat suci Al-Qur'an makin berkurang jumlahnya karena banyak yang gugur di medan

tempur. Terdorong oleh kekhawatiran habisnya para sahabat yang hafal ayat-ayat Al-Qur'an,

atas usul Umar Ibnul Khattab r.a., Khalifah Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Tsabit supaya

segera mengkodifikasi wahyu suci. Tugas raksasa ini memerlukan ketekunan, kesabaran,

ketelitian, kecermatan dan kejujuran. Dalam pekerjaan mulia ini, Zaid bin Tsabit dimudahkan

antara lain oleh sumbangan Imam Ali r.a. yang tak ternilai besarnya.

Jika ditelusuri sejarah ilmu Tilawatil Qur'an, maka akan ditemukan kenyataan bahwa para

Imam dan para ahli Tilawah semuanya menimba ilmu dari sumbernya yang pertama, yaitu Imam

Ali r.a. Ambil saja sebagai misal, Abu Umar bin Al-A'laa, 'Ashim bin Najd dan sebagainya.

Mereka semua berasal dari perguruan Abu Abdurrahman As-Sulamiy Al-Qari. Sedangkan Abu

Abdurrahman ini tak lain adalah murid Imam Ali r.a. sendiri, yang belajar langsung dari gurunya

itu.

Sebagai orang yang hidup taqwa dan menguasai Al-Qur'an baik lafadz maupun maknanya, Imam

Ali r.a. memandang Al-Qur'an sebagai satu-satunya juru selamat bagi manusia dalam kehidupan

dunia dan akhirat. Ketika menjelaskan pandangannya terhadap Al-Qur'an, Imam Ali r.a. antara

lain berkata:

"Kalian wajib mengetahui, bahwa Al-Qur'an itu adalah nasehat yang tak pernah palsu,

pembimbing yang tak pernah sesat, dan pembicara yang tak kenal dusta. Tiap orang yang

duduk membaca Al-Qur'an, ia pasti memperoleh tambahan atau pengurangan, yaitu tambahan

hidayat atau pengurangan ketidak-tahuan. Ketahuilah bahwa tidak ada yang lebih unggul dan

lebih tinggi bagi seseorang daripada Al-Qur'an."

"Oleh karena itu sembuhkanlah penyakit kalian dengan Al-Qur'an, dan dengan Al-Qur'an

mohonlah pertolongan kepada Allah untuk mengatasi kesukaran kalian. Dalam Al-Qur'an

terdapat obat penyembuh bagi penyakit yang paling parah, yaitu penyakit

kufur, kemunafikan dan kesesatan. Mohonlah kepada Allah dengan Al-Qur'an dan dengan

mencintai Al-Qur'an hadapkanlah diri kalian ke hadirat-Nya. Janganlah dengan Al-Qur'an kalian

meminta sesuatu kepada makhluk Allah. Semua hamba Allah tidak dapat menghadapkan diri

kepada-Nya melalui sesama makhluk.

"Dan ketahuilah, bahwa Al-Qur'an adalah pemberi syafa'at yang benar-benar dapat diharapkan.

Juga merupakan pembicara terpercaya. Barang siapa memperoleh syafa'at dari Al-Qur'an pada

hari kiyamat, berarti ia memperoleh syafa'at yang sejati. Dan Barang siapa yang dinilai buruk

oleh Al-Qur'an, pada hari kiyamat ia tidak akan dipercaya. Pada hari kiyamat akan terdengar

suara berseru: 'Bukankah orang yang berbuat akan diuji dengan perbuatannya sendiri dan akan

diuji pula oleh akibat dari perbuatannya itu, kecuali orang yang berbuat menurut ajaran Al-

Qur'an?'…"

"Oleh sebab itu jadilah kalian orang-orang yang berbuat sesuai dengan Al-Qur'an dan mengikuti

ajaran-ajarannya. Jadikanlah Al-Qur'an sebagai penasehat bagi diri kalian. Jadikanlah Al-Qur'an

sebagai pembimbing fikiran dan pendapat kalian, dan jadikanlah Al-Qur'an sebagai pencegah

hawa nafsu!"

Demikianlah pandangan hidup seorang bapak ilmu Tilawatil Qur'an, Imam Ali bin Abi Thalib r.a.

Ilmunya menghayati pandangan hidupnya dan pandangan hidupnya mengarahkan penerapan

ilmunya. Dan itulah yang menjadi hakekat dasar ilmu Tilawatil Qur'an.

Tarikat

Ilmu Tarikat pun tidak lepas kaitannya dengan Imam Ali r.a. sebagai sumber sejarahnya. Di

kalangan para ahli Tarikat, Imam Ali r.a. diakui sebagai tokoh puncaknya. Semua ilmu Tarikat,

Hakikat dan Tashawuf bersumber pada pemikiran-pemikiran Imam Ali r.a.

Sebagai putera asuhan, sejak berusia 6 tahun, Imam Ali r.a. selalu berada di dekat Rasul Allah

s.a.w., hampir tak pernah pisah. Sedangkan Rasul Allah s.a.w. sendiri pada saat menerima Ali

bin Abi Thalib dalam tanggung jawabnya, tengah mengalami satu proses yang luar biasa. Dari

segi kemanusiaannya, terutama kerohaniannya, beliau sedang diproses oleh Al-Khaliq untuk

diangkat menjadi Nabi dan Rasul. Pada saat itulah Muhammad s.a.w. melakukan kontemplasi

(tafakur), perenungan dan dialog dalam fikiran batin.

Beliau melakukan penyepian (khalwat) di bukit-bukit dan gua-gua sekitar kota Makkah. Suatu

proses yang berlangsung hebat sekali dalam hati nurani beliau. Dengan prihatin dan jiwa yang

bersih disertai pula dengan pandangan batin yang tajam beliau menyaksikan ketidak-benaran

dan ketimpangan-ketimpangan tata kehidupan masyarakat dan keagamaan yang dihayati oleh

masyarakat jahiliyah masa itu. Hatinya terketuk melihat kerusakan-kerusakan dan dekadensi

yang menimpa kehidupan masyarakat. Tetapi kalau hanya menyalah-nyalahkan atau mencela

saja tidak akan mendatangkan kebaikan bagi masyarakat yang sedang sesat dan bobrok itu.

Alternatif lain, penggantinya, harus ada. Semuanya itu berkecamuk dalam hati beliau s.a.w.

Sejak usia dini beliau sudah kritis dalam memandang kehidupan lingkungannya. Sejak kecil

beliau belum pernah hanyut terbawa oleh arus adat, kebiasaan dan kepercayaan jahiliyah.

Imam Ali r.a. menyaksikan sendiri saudara pengasuhnya itu menempuh cara hidup keduniawian dan kerohanian yang sangat jauh berbeda dari kebiasaan umum yang lazim berlaku pada masa

itu.

Dengan kepatuhan seorang anak yang ditanggapi secara tepat oleh seorang dewasa, terjadilah

suatu jalinan perpaduan antara Ali bin Abi Thalib dengan Muhammad s.a.w. dalam periode

beliau sedang menghadapi proses pengangkatannya sebagai Nabi dan Rasul pembawa kebenaran

Allah s.w.t. Tak ada bagian-bagian proses itu yang lewat dari penyaksian Imam Ali bin Abi

Thalib. Ia selalu mengikuti ke mana saja saudara pengasuhnya itu pergi dan memperhatikan

benar-benar apa saja yang dilakukan oleh beliau s.a.w. Ia mencontoh gaya hidup jasmani dan

rohani, termasuk cara-cara beribadah sebelum kenabian beliau.

Suara yang berupa ajaran dan wejangan Rasul Allah s.a.w. dan cahaya kebenaran Allah s.w.t.

yang menerangi jiwa beliau diserap oleh Imam Ali bin Abi Thalib. Hakekat kebenaran Allah

'Azza wa Jalla yang ditemukan dan difahami oleh saudara pengasuhnya selama prosesnya yang

bertahun-tahun itu, diikuti, diterima dan dihayati oleh Ali bin Abi Thalib r.a. Itulah antara lain

yang memperkuat dasar mengapa Imam Ali r.a. berhak menyandang gelar sebagai Bapak ilmu

Tarikat, Hakekat, atau Tashawuf.

Mengenai ilmu di bidang ini, tokoh-tokoh terkemuka kaum Tarikat seperti Asy Syibliy, Al-

Junaid, Al-Asyariy, Abu Yazid Al-Bistamiy, Abu Mahfudz yang terkenal dengan nama Al-Khurqiy,

dan lain sebagainya, semua mengakui Imam Ali r.a. sebagai tokoh puncak mereka.

Cara dan gaya hidup Rasul Allah s.a.w., mulai dari yang sekecil-kecilnya sampai yang sebesarbesarnya,

hampir seluruhnya dijadikan tauladan oleh Imam Ali r.a. Oleh karena itulah ia bukan

saja hidup sebagai seorang ilmuwan yang mencakup banyak bidang, melainkan juga seorang

yang hidup penuh taqwa dan menempuh cara hidup zuhud. Ia tidak risau atau terpengaruh oleh

kesenangan-kesenangan duniawi. Bahkan sampai menjadi Khalifah pun cara hidup yang seperti

itu dipertahankan sebagai sesuatu yang sudah manunggal dengan keimanan dan ketaqwaannya

kepada Allah Rabbul'alamin.

Al-Kahfi

Penulis kitab Fadha'ilul Khamsah Minas Shihahis Sittah (jilid II, halaman 291-300),

mengetengahkan suatu riwayat yang dikutip dari kitab Qishashul Anbiya. Riwayat tersebut

berkaitan dengan tafsir ayat 10 Surah Al-Kahfi, yang terjemahannya sebagai berikut: "Ingatlah

ketika pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung di dalam gua, kemudian mereka berdoa:

"Wahai Allah, Tuhan kami, berilah rahmat kepada kami dari sisi-Mu…" Dengan panjang lebar

kitab Qishashul Anbiya mulai dari halaman 566 meriwayatkan sebagai berikut:

Di kala Umar Ibnul Khattab memangku jabatan sebagai Amirul Mukminin, pernah datang

kepadanya beberapa orang pendeta Yahudi. Mereka berkata kepada Khalifah: "Hai Khalifah

Umar, anda adalah pemegang kekuasaan sesudah Muhammad dan sahabatnya, Abu Bakar. Kami

hendak menanyakan beberapa masalah penting kepada anda. Jika anda dapat memberi

jawaban kepada kami, barulah kami mau mengerti bahwa Islam merupakan agama yang benar

dan Muhammad benar-benar seorang Nabi. Sebaliknya, jika anda tidak dapat memberi

jawaban, berarti bahwa agama Islam itu bathil dan Muhammad bukan seorang Nabi."

"Silahkan bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan," sahut Khalifah Umar.

"Jelaskan kepada kami tentang induk kunci (gembok) mengancing langit, apakah itu?" Tanya

pendeta-pendeta itu, memulai pertanyaan-pertanyaannya. "Terangkan kepada kami tentang

adanya sebuah kuburan yang berjalan bersama penghuninya, apakah itu? Tunjukkan kepada

kami tentang suatu makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi ia

bukan manusia dan bukan jin! Terangkan kepada kami tentang lima jenis makhluk yang dapat

berjalan di permukaan bumi, tetapi makhluk-makhluk itu tidak dilahirkan dari kandungan ibu

atau atau induknya! Beritahukan kepada kami apa yang dikatakan oleh burung puyuh (gemak) di saat ia sedang berkicau! Apakah yang dikatakan oleh ayam jantan di kala ia sedang

berkokok! Apakah yang dikatakan oleh kuda di saat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan

oleh katak di waktu ia sedang bersuara? Apakah yang dikatakan oleh keledai di saat ia sedang

meringkik? Apakah yang dikatakan oleh burung pipit pada waktu ia sedang berkicau?"

Khalifah Umar menundukkan kepala untuk berfikir sejenak, kemudian berkata: "Bagi Umar, jika

ia menjawab 'tidak tahu' atas pertanyaan-pertanyaan yang memang tidak diketahui

jawabannya, itu bukan suatu hal yang memalukan!''

Mendengar jawaban Khalifah Umar seperti itu, pendeta-pendeta Yahudi yang bertanya berdiri

melonjak-lonjak kegirangan, sambil berkata: "Sekarang kami bersaksi bahwa Muhammad

memang bukan seorang Nabi, dan agama Islam itu adalah bathil!"

Salman Al-Farisi yang saat itu hadir, segera bangkit dan berkata kepada pendeta-pendeta

Yahudi itu: "Kalian tunggu sebentar!"

Ia cepat-cepat pergi ke rumah Ali bin Abi Thalib. Setelah bertemu, Salman berkata: "Ya Abal

Hasan, selamatkanlah agama Islam!"

Imam Ali r.a. bingung, lalu bertanya: "Mengapa?"

Salman kemudian menceritakan apa yang sedang dihadapi oleh Khalifah Umar Ibnul Khattab.

Imam Ali segera saja berangkat menuju ke rumah Khalifah Umar, berjalan lenggang memakai

burdah (selembar kain penutup punggung atau leher) peninggalan Rasul Allah s.a.w. Ketika

Umar melihat Ali bin Abi Thalib datang, ia bangun dari tempat duduk lalu buru-buru

memeluknya, sambil berkata: "Ya Abal Hasan, tiap ada kesulitan besar, engkau selalu

kupanggil!"

Setelah berhadap-hadapan dengan para pendeta yang sedang menunggu-nunggu jawaban itu,

Ali bin Abi Thalib herkata: "Silakan kalian bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan. Rasul

Allah s.a.w. sudah mengajarku seribu macam ilmu, dan tiap jenis dari ilmu-ilmu itu mempunyai

seribu macam cabang ilmu!"

Pendeta-pendeta Yahudi itu lalu mengulangi pertanyaan-pertanyaan mereka. Sebelum

menjawab, Ali bin Abi Thalib berkata: "Aku ingin mengajukan suatu syarat kepada kalian, yaitu

jika ternyata aku nanti sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan kalian sesuai dengan yang ada

di dalam Taurat, kalian supaya bersedia memeluk agama kami dan beriman!"

"Ya baik!" jawab mereka.

"Sekarang tanyakanlah satu demi satu," kata Ali bin Abi Thalib.

Mereka mulai bertanya: "Apakah induk kunci (gembok) yang mengancing pintu-pintu langit?"

"Induk kunci itu," jawab Ali bin Abi Thalib, "ialah syirik kepada Allah. Sebab semua hamba

Allah, baik pria maupun wanita, jika ia bersyirik kepada Allah, amalnya tidak akan dapat naik

sampai ke hadhirat Allah!"

Para pendeta Yahudi bertanya lagi: "Anak kunci apakah yang dapat membuka pintu-pintu

langit?"

Ali bin Abi Thalib menjawab: "Anak kunci itu ialah kesaksian (syahadat) bahwa tiada tuhan

selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah!"

Para pendeta Yahudi itu saling pandang di antara mereka, sambil berkata: "Orang itu benar juga!" Mereka bertanya lebih lanjut: "Terangkanlah kepada kami tentang adanya sebuah

kuburan yang dapat berjalan bersama penghuninya!"

"Kuburan itu ialah ikan hiu (hut) yang menelan Nabi Yunus putera Matta," jawab Ali bin Abi

Thalib. "Nabi Yunus as. dibawa keliling ketujuh samudera!"

Pendeta-pendeta itu meneruskan pertanyaannya lagi: "Jelaskan kepada kami tentang makhluk

yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi makhluk itu bukan manusia dan

bukan jin!"

Ali bin Abi Thalib menjawab: "Makhluk itu ialah semut Nabi Sulaiman putera Nabi Dawud

alaihimas salam. Semut itu berkata kepada kaumnya: "Hai para semut, masuklah ke dalam

tempat kediaman kalian, agar tidak diinjak-injak oleh Sulaiman dan pasukan-nya dalam

keadaan mereka tidak sadar!"

Para pendeta Yahudi itu meneruskan pertanyaannya: "Beritahukan kepada kami tentang lima

jenis makhluk yang berjalan di atas permukaan bumi, tetapi tidak satu pun di antara makhlukmakhluk

itu yang dilahirkan dari kandungan ibunya atau induknya!"

Ali bin Abi Thalib menjawab: "Lima makhluk itu ialah, pertama, Adam. Kedua, Hawa. Ketiga,

Unta Nabi Shaleh. Keempat, Domba Nabi Ibrahim. Kelima, Tongkat Nabi Musa (yang menjelma

menjadi seekor ular)."

Dua di antara tiga orang pendeta Yahudi itu setelah mendengar jawaban-jawaban serta

penjelasan yang diberikan oleh Imam Ali r.a. lalu mengatakan: "Kami bersaksi bahwa tiada

tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah!"

Tetapi seorang pendeta lainnya, bangun berdiri sambil berkata kepada Ali bin Abi Thalib: "Hai

Ali, hati teman-temanku sudah dihinggapi oleh sesuatu yang sama seperti iman dan keyakinan

mengenai benarnya agama Islam. Sekarang masih ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan

kepada anda."

"Tanyakanlah apa saja yang kau inginkan," sahut Imam Ali.

"Coba terangkan kepadaku tentang sejumlah orang yang pada zaman dahulu sudah mati selama

309 tahun, kemudian dihidupkan kembali oleh Allah. Bagaimana hikayat tentang mereka itu?"

Tanya pendeta tadi.

Ali bin Ali Thalib menjawab: "Hai pendeta Yahudi, mereka itu ialah para penghuni gua. Hikayat

tentang mereka itu sudah dikisahkan oleh Allah s.w.t. kepada Rasul-Nya. Jika engkau mau,

akan kubacakan kisah mereka itu."

Pendeta Yahudi itu menyahut: "Aku sudah banyak mendengar tentang Qur'an kalian itu! Jika

engkau memang benar-benar tahu, coba sebutkan nama-nama mereka, nama ayah-ayah

mereka, nama kota mereka, nama raja mereka, nama anjing mereka, nama gunung serta gua

mereka, dan semua kisah mereka dari awal sampai akhir!"

Ali bin Abi Thalib kemudian membetulkan duduknya, menekuk lutut ke depan perut, lalu

ditopangnya dengan burdah yang diikatkan ke pinggang. Lalu ia berkata: "Hai saudara Yahudi,

Muhammad Rasul Allah s.a.w. kekasihku telah menceritakan kepadaku, bahwa kisah itu terjadi

di negeri Romawi, di sebuah kota bernama Aphesus, atau disebut juga dengan nama Tharsus.

Tetapi nama kota itu pada zaman dahulu ialah Aphesus (Ephese). Baru setelah Islam datang,

kota itu berubah nama menjadi Tharsus (Tarse, sekarang terletak di dalam wilayah Turki).

Penduduk negeri itu dahulunya mempunyai seorang raja yang baik. Setelah raja itu meninggal

dunia, berita kematiannya didengar oleh seorang raja Persia bernama Diqyanius. Ia seorang raja kafir yang amat congkak dan dzalim. Ia datang menyerbu negeri itu dengan kekuatan

pasukannya, dan akhirnya berhasil menguasai kota Aphesus. Olehnya kota itu dijadikan ibukota

kerajaan, lalu dibangunlah sebuah Istana."

Baru sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya itu berdiri, terus bertanya: "Jika engkau

benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku bentuk Istana itu, bagaimana serambi dan

ruangan-ruangannya!"

Ali bin Abi Thalib menerangkan: "Hai saudara Yahudi, raja itu membangun istana yang sangat

megah, terbuat dari batu marmar. Panjangnya satu farsakh (= kl 8 km) dan lebarnya pun satu

farsakh. Pilar-pilarnya yang berjumlah seribu buah, semuanya terbuat dari emas, dan lampulampu

yang berjumlah seribu buah, juga semuanya terbuat dari emas. Lampu-lampu itu

bergelantungan pada rantai-rantai yang terbuat dari perak. Tiap malam apinya dinyalakan

dengan sejenis minyak yang harum baunya. Di sebelah timur serambi dibuat lubang-lubang

cahaya sebanyak seratus buah, demikian pula di sebelah baratnya. Sehingga matahari sejak

mulai terbit sampai terbenam selalu dapat menerangi serambi. Raja itu pun membuat sebuah

singgasana dari emas. Panjangnya 80 hasta dan lebarnya 40 hasta. Di sebelah kanannya tersedia

80 buah kursi, semuanya terbuat dari emas. Di situlah para hulubalang kerajaan duduk. Di

sebelah kirinya juga disediakan 80 buah kursi terbuat dari emas, untuk duduk para pepatih dan

penguasa-penguasa tinggi lainnya. Raja duduk di atas singgasana dengan mengenakan mahkota

di atas kepala."

Sampai di situ pendeta yang bersangkutan berdiri lagi sambil berkata: "Jika engkau benar-benar

tahu, coba terangkan kepadaku dari apakah mahkota itu dibuat?"

"Hai saudara Yahudi," kata Imam Ali menerangkan, "mahkota raja itu terbuat dari kepingankepingan

emas, berkaki 9 buah, dan tiap kakinya bertaburan mutiara yang memantulkan cahaya

laksana bintang-bintang menerangi kegelapan malam. Raja itu juga mempunyai 50 orang

pelayan, terdiri dari anak-anak para hulubalang. Semuanya memakai selempang dan baju

sutera berwarna merah. Celana mereka juga terbuat dari sutera berwarna hijau. Semuanya

dihias dengan gelang-gelang kaki yang sangat indah. Masing-masing diberi tongkat terbuat dari

emas. Mereka harus berdiri di belakang raja. Selain mereka, raja juga mengangkat 6 orang,

terdiri dari anak-anak para cendekiawan, untuk dijadikan menteri-menteri atau pembantupembantunya.

Raja tidak mengambil suatu keputusan apa pun tanpa berunding lehih dulu

dengan mereka. Enam orang pembantu itu selalu berada di kanan kiri raja, tiga orang berdiri di

sebelah kanan dan yang tiga orang lainnya berdiri di sebelah kiri."

Pendeta yang bertanya itu berdiri lagi. Lalu berkata: "Hai Ali, jika yang kau katakan itu benar,

coba sebutkan nama enam orang yang menjadi pembantu-pembantu raja itu!"

Menanggapi hal itu, Imam Ali r.a. menjawab: "Kekasihku Muhammad Rasul Allah s.a.w.

menceritakan kepadaku, bahwa tiga orang yang berdiri di sebelah kanan raja, masing-masing

bernama Tamlikha, Miksalmina, dan Mikhaslimina. Adapun tiga orang pembantu yang berdiri di

sebelah kiri, masing-masing bernama Martelius, Casitius dan Sidemius. Raja selalu berunding

dengan mereka mengenai segala urusan.

Tiap hari setelah raja duduk dalam serambi istana dikerumuni oleh semua hulubalang dan para

punggawa, masuklah tiga orang pelayan menghadap raja. Seorang diantaranya membawa piala

emas penuh berisi wewangian murni. Seorang lagi membawa piala perak penuh berisi air sari

bunga. Sedang yang seorangnya lagi membawa seekor burung. Orang yang membawa burung ini

kemudian mengeluarkan suara isyarat, lalu burung itu terbang di atas piala yang berisi air sari

bunga. Burung itu berkecimpung di dalamnya dan setelah itu ia mengibas-ngibaskan sayap serta

bulunya, sampai sari-bunga itu habis dipercikkan ke semua tempat sekitarnya.

Kemudian si pembawa burung tadi mengeluarkan suara isyarat lagi. Burung itu terbang pula.

Lalu hinggap di atas piala yang berisi wewangian murni. Sambil berkecimpung di dalamnya,

burung itu mengibas-ngibaskan sayap dan bulunya, sampai wewangian murni yang ada dalam

piala itu habis dipercikkan ke tempat sekitarnya. Pembawa burung itu memberi isyarat suara

lagi. Burung itu lalu terbang dan hinggap di atas mahkota raja, sambil membentangkan kedua

sayap yang harum semerbak di atas kepala raja.

Demikianlah raja itu berada di atas singgasana kekuasaan selama tiga puluh tahun. Selama itu

ia tidak pernah diserang penyakit apa pun, tidak pernah merasa pusing kepala, sakit perut,

demam, berliur, berludah atau pun beringus. Setelah sang raja merasa diri sedemikian kuat dan

sehat, ia mulai congkak, durhaka dan dzalim. Ia mengaku-aku diri sebagai "tuhan" dan tidak

mau lagi mengakui adanya Allah s.w.t.

Raja itu kemudian memanggil orang-orang terkemuka dari rakyatnya. Barang siapa yang taat

dan patuh kepadanya, diberi pakaian dan berbagai macam hadiah lainnya. Tetapi barang siapa

yang tidak mau taat atau tidak bersedia mengikuti kemauannya, ia akan segera dibunuh. Oleh

sebab itu semua orang terpaksa mengiakan kemauannya. Dalam masa yang cukup lama, semua

orang patuh kepada raja itu, sampai ia disembah dan dipuja. Mereka tidak lagi memuja dan

menyembah Allah s.w.t.

Pada suatu hari perayaan ulang-tahunnya, raja sedang duduk di atas singgasana mengenakan

mahkota di atas kepala, tiba-tiba masuklah seorang hulubalang memberi tahu, bahwa ada

balatentara asing masuk menyerbu ke dalam wilayah kerajaannya, dengan maksud hendak

melancarkan peperangan terhadap raja. Demikian sedih dan bingungnya raja itu, sampai tanpa

disadari mahkota yang sedang dipakainya jatuh dari kepala. Kemudian raja itu sendiri jatuh

terpelanting dari atas singgasana. Salah seorang pembantu yang berdiri di sebelah kanan --

seorang cerdas yang bernama Tamlikha-- memperhatikan keadaan sang raja dengan sepenuh

fikiran. Ia berfikir, lalu berkata di dalam hati: "Kalau Diqyanius itu benar-benar tuhan

sebagaimana menurut pengakuannya, tentu ia tidak akan sedih, tidak tidur, tidak buang air

kecil atau pun air besar. Itu semua bukanlah sifat-sifat Tuhan."

Enam orang pembantu raja itu tiap hari selalu mengadakan pertemuan di tempat salah seorang

dari mereka secara bergiliran. Pada satu hari tibalah giliran Tamlikha menerima kunjungan lima

orang temannya. Mereka berkumpul di rumah Tamlikha untuk makan dan minum, tetapi

Tamlikha sendiri tidak ikut makan dan minum. Teman-temannya bertanya: "Hai Tamlikha,

mengapa engkau tidak mau makan dan tidak mau minum?"

"Teman-teman," sahut Tamlikha, "hatiku sedang dirisaukan oleh sesuatu yang membuatku tidak

ingin makan dan tidak ingin minum, juga tidak ingin tidur."

Teman-temannya mengejar: "Apakah yang merisaukan hatimu, hai Tamlikha?"

"Sudah lama aku memikirkan soal langit," ujar Tamlikha menjelaskan. "Aku lalu bertanya pada

diriku sendiri: 'siapakah yang mengangkatnya ke atas sebagai atap yang senantiasa aman dan

terpelihara, tanpa gantungan dari atas dan tanpa tiang yang menopangnya dari bawah?

Siapakah yang menjalankan matahari dan bulan di langit itu? Siapakah yang menghias langit itu

dengan bintang-bintang bertaburan?' Kemudian kupikirkan juga bumi ini: 'Siapakah yang

membentang dan menghamparkan-nya di cakrawala? Siapakah yang menahannya dengan

gunung-gunung raksasa agar tidak goyah, tidak goncang dan tidak miring?' Aku juga lama sekali

memikirkan diriku sendiri: 'Siapakah yang mengeluarkan aku sebagai bayi dari perut ibuku?

Siapakah yang memelihara hidupku dan memberi makan kepadaku? Semuanya itu pasti ada

yang membuat, dan sudah tentu bukan Diqyanius'…"

Teman-teman Tamlikha lalu bertekuk lutut di hadapannya. Dua kaki Tamlikha diciumi sambil

berkata: "Hai Tamlikha dalam hati kami sekarang terasa sesuatu seperti yang ada di dalam

hatimu. Oleh karena itu, baiklah engkau tunjukkan jalan keluar bagi kita semua!"

"Saudara-saudara," jawab Tamlikha, "baik aku maupun kalian tidak menemukan akal selain

harus lari meninggalkan raja yang dzalim itu, pergi kepada Raja pencipta langit dan bumi!"

"Kami setuju dengan pendapatmu," sahut teman-temannya.

Tamlikha lalu berdiri, terus beranjak pergi untuk menjual buah kurma, dan akhirnya berhasil

mendapat uang sebanyak 3 dirham. Uang itu kemudian diselipkan dalam kantong baju. Lalu

berangkat berkendaraan kuda bersama-sama dengan lima orang temannya.

Setelah berjalan 3 mil jauhnya dari kota, Tamlikha berkata kepada teman-temannya: "Saudarasaudara,

kita sekarang sudah terlepas dari raja dunia dan dari kekuasaannya. Sekarang turunlah

kalian dari kuda dan marilah kita berjalan kaki. Mudah-mudahan Allah akan memudahkan

urusan kita serta memberikan jalan keluar."

Mereka turun dari kudanya masing-masing. Lalu berjalan kaki sejauh 7 farsakh, sampai kaki

mereka bengkak berdarah karena tidak biasa berjalan kaki sejauh itu.

Tiba-tiba datanglah seorang penggembala menyambut mereka. Kepada penggembala itu

mereka bertanya: "Hai penggembala, apakah engkau mempunyai air minum atau susu?"

"Aku mempunyai semua yang kalian inginkan," sahut penggembala itu. "Tetapi kulihat wajah

kalian semuanya seperti kaum bangsawan. Aku menduga kalian itu pasti melarikan diri. Coba

beritahukan kepadaku bagaimana cerita perjalanan kalian itu!"

"Ah…, susahnya orang ini," jawab mereka. "Kami sudah memeluk suatu agama, kami tidak boleh

berdusta. Apakah kami akan selamat jika kami mengatakan yang sebenarnya?"

"Ya," jawab penggembala itu.

Tamlikha dan teman-temannya lalu menceritakan semua yang terjadi pada diri mereka.

Mendengar cerita mereka, penggembala itu segera bertekuk lutut di depan mereka, dan sambil

menciumi kaki mereka, ia berkata: "Dalam hatiku sekarang terasa sesuatu seperti yang ada

dalam hati kalian. Kalian berhenti sajalah dahulu di sini. Aku hendak mengembalikan kambingkambing

itu kepada pemiliknya. Nanti aku akan segera kembali lagi kepada kalian."

Tamlikha bersama teman-temannya berhenti. Penggembala itu segera pergi untuk

mengembalikan kambing-kambing gembalaannya. Tak lama kemudian ia datang lagi berjalan

kaki, diikuti oleh seekor anjing miliknya."

Waktu cerita Imam Ali sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya melonjak berdiri lagi

sambil berkata: "Hai Ali, jika engkau benar-benar tahu, coba sebutkan apakah warna anjing itu

dan siapakah namanya?"

"Hai saudara Yahudi," kata Ali bin Abi Thalib memberitahukan, "kekasihku Muhammad Rasul

Allah s.a.w. menceritakan kepadaku, bahwa anjing itu berwarna kehitam-hitaman dan bernama

Qithmir. Ketika enam orang pelarian itu melihat seekor anjing, masing-masing saling berkata

kepada temannya: kita khawatir kalau-kalau anjing itu nantinya akan membongkar rahasia kita!

Mereka minta kepada penggembala supaya anjing itu dihalau saja dengan batu.

Anjing itu melihat kepada Tamlikha dan teman-temannya, lalu duduk di atas dua kaki

belakang, menggeliat, dan mengucapkan kata-kata dengan lancar dan jelas sekali: "Hai orangorang,

mengapa kalian hendak mengusirku, padahal aku ini bersaksi tiada tuhan selain Allah,

tak ada sekutu apa pun bagi-Nya. Biarlah aku menjaga kalian dari musuh, dan dengan berbuat

demikian aku mendekatkan diriku kepada Allah s.w.t."

Anjing itu akhirnya dibiarkan saja. Mereka lalu pergi. Penggembala tadi mengajak mereka naik

ke sebuah bukit. Lalu bersama mereka mendekati sebuah gua."

Pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu, bangun lagi dari tempat duduknya sambil berkata:

"Apakah nama gunung itu dan apakah nama gua itu?!"

Imam Ali menjelaskan: "Gunung itu bernama Naglus dan nama gua itu ialah Washid, atau di

sebut juga dengan nama Kheram!"

Ali bin Abi Thalib meneruskan ceritanya: secara tiba-tiba di depan gua itu tumbuh pepohonan

berbuah dan memancur mata-air deras sekali. Mereka makan buah-buahan dan minum air yang

tersedia di tempat itu. Setelah tiba waktu malam, mereka masuk berlindung di dalam gua.

Sedang anjing yang sejak tadi mengikuti mereka, berjaga-jaga ndeprok sambil menjulurkan dua

kaki depan untuk menghalang-halangi pintu gua. Kemudian Allah s.w.t. memerintahkan

Malaikat maut supaya mencabut nyawa mereka. Kepada masing-masing orang dari mereka Allah

s.w.t. mewakilkan dua Malaikat untuk membalik-balik tubuh mereka dari kanan ke kiri. Allah

lalu memerintahkan matahari supaya pada saat terbit condong memancarkan sinarnya ke dalam

gua dari arah kanan, dan pada saat hampir terbenam supaya sinarnya mulai meninggalkan

mereka dari arah kiri.

Suatu ketika waktu raja Diqyanius baru saja selesai berpesta ia bertanya tentang enam orang

pembantunya. Ia mendapat jawaban, bahwa mereka itu melarikan diri. Raja Diqyanius sangat

gusar. Bersama 80.000 pasukan berkuda ia cepat-cepat berangkat menyelusuri jejak enam

orang pembantu yang melarikan diri. Ia naik ke atas bukit, kemudian mendekati gua. Ia melihat

enam orang pembantunya yang melarikan diri itu sedang tidur berbaring di dalam gua. Ia tidak

ragu-ragu dan memastikan bahwa enam orang itu benar-benar sedang tidur.

Kepada para pengikutnya ia berkata: "Kalau aku hendak menghukum mereka, tidak akan

kujatuhkan hukuman yang lebih berat dari perbuatan mereka yang telah menyiksa diri mereka

sendiri di dalam gua. Panggillah tukang-tukang batu supaya mereka segera datang ke mari!"

Setelah tukang-tukang batu itu tiba, mereka diperintahkan menutup rapat pintu gua dengan

batu-batu dan jish (bahan semacam semen). Selesai dikerjakan, raja berkata kepada para

pengikutnya: "Katakanlah kepada mereka yang ada di dalam gua, kalau benar-benar mereka itu

tidak berdusta supaya minta tolong kepada Tuhan mereka yang ada di langit, agar mereka

dikeluarkan dari tempat itu."

Dalam guha tertutup rapat itu, mereka tinggal selama 309 tahun.

Setelah masa yang amat panjang itu lampau, Allah s.w.t. mengembalikan lagi nyawa mereka.

Pada saat matahari sudah mulai memancarkan sinar, mereka merasa seakan-akan baru bangun

dari tidurnya masing-masing. Yang seorang berkata kepada yang lainnya: "Malam tadi kami lupa

beribadah kepada Allah, mari kita pergi ke mataair!"

Setelah mereka berada di luar gua, tiba-tiba mereka lihat mataair itu sudah mengering kembali

dan pepohonan yang ada pun sudah menjadi kering semuanya. Allah s.w.t. membuat mereka

mulai merasa lapar. Mereka saling bertanya: "Siapakah di antara kita ini yang sanggup dan

bersedia berangkat ke kota membawa uang untuk bisa niendapatkan makanan? Tetapi yang

akan pergi ke kota nanti supaya hati-hati benar, jangan sampai membeli makanan yang dimasak

dengan lemak-babi."

Tamlikha kemudian berkata: "Hai saudara-saudara, aku sajalah yang berangkat untuk

mendapatkan makanan. Tetapi, hai penggembala, berikanlah bajumu kepadaku dan ambillah

bajuku ini!"

Setelah Tamlikha memakai baju penggembala, ia berangkat menuju ke kota. Sepanjang jalan ia

melewati tempat-tempat yang sama sekali belum pernah dikenalnya, melalui jalan-jalan yang

belum pernah diketahui. Setibanya dekat pintu gerbang kota, ia

melihat bendera hijau berkibar di angkasa bertuliskan: "Tiada Tuhan selain Allah dan Isa adalah

Roh Allah."

Tamlikha berhenti sejenak memandang bendera itu sambil mengusap-usap mata, lalu berkata

seorang diri: "Kusangka aku ini masih tidur!" Setelah agak lama memandang dan mengamatamati

bendera, ia meneruskan perjalanan memasuki kota. Dilihatnya banyak orang sedang

membaca Injil. Ia berpapasan dengan orang-orang yang belum pernah dikenal. Setibanya di

sebuah pasar ia bertanya kepada seorang penjaja roti: "Hai tukang roti, apakah nama kota

kalian ini?"

"Aphesus," sahut penjual roti itu.

"Siapakah nama raja kalian?" tanya Tamlikha lagi. "Abdurrahman," jawab penjual roti.

"Kalau yang kaukatakan itu benar," kata Tamlikha, "urusanku ini sungguh aneh sekali! Ambillah

uang ini dan berilah makanan kepadaku!"

Melihat uang itu, penjual roti keheran-heranan. Karena uang yang dibawa Tamlikha itu uang

zaman lampau, yang ukurannya lebih besar dan lebih berat.

Pendeta Yahudi yang bertanya itu kemudian berdiri lagi, lalu berkata kepada Ali bin Abi Thalib:

"Hai Ali, kalau benar-benar engkau mengetahui, coba terangkan kepadaku berapa nilai uang

lama itu dibanding dengan uang baru!"

Imam Ali menerangkan: "Kekasihku Muhammad Rasul Allah s.a.w. menceritakan kepadaku,

bahwa uang yang dibawa oleh Tamlikha dibanding dengan uang baru, ialah tiap dirham lama

sama dengan sepuluh dan dua pertiga dirham baru!"

Imam Ali kemudian melanjutkan ceritanya: Penjual Roti lalu berkata kepada Tamlikha: "Aduhai,

alangkah beruntungnya aku! Rupanya engkau baru menemukan harta karun! Berikan sisa uang

itu kepadaku! Kalau tidak, engkau akan kuhadapkan kepada raja!"

"Aku tidak menemukan harta karun," sangkal Tamlikha. "Uang ini kudapat tiga hari yang lalu

dari hasil penjualan buah kurma seharga tiga dirham! Aku kemudian meninggalkan kota karena

orang-orang semuanya menyembah Diqyanius!"

Penjual roti itu marah. Lalu berkata: "Apakah setelah engkau menemukan harta karun masih

juga tidak rela menyerahkan sisa uangmu itu kepadaku? Lagi pula engkau telah menyebutnyebut

seorang raja durhaka yang mengaku diri sebagai tuhan, padahal raja itu sudah mati

lebih dari 300 tahun yang silam! Apakah dengan begitu engkau hendak memperolok-olok aku?"

Tamlikha lalu ditangkap. Kemudian dibawa pergi menghadap raja. Raja yang baru ini seorang

yang dapat berfikir dan bersikap adil. Raja bertanya kepada orang-orang yang membawa

Tamlikha: "Bagaimana cerita tentang orang ini?"

"Dia menemukan harta karun," jawab orang-orang yang membawanya.

Kepada Tamlikha, raja berkata: "Engkau tak perlu takut! Nabi Isa a.s. memerintahkan supaya

kami hanya memungut seperlima saja dari harta karun itu. Serahkanlah yang seperlima itu

kepadaku, dan selanjutnya engkau akan selamat."

Tamlikha menjawab: "Baginda, aku sama sekali tidak menemukan harta karun! Aku adalah

penduduk kota ini!"

Raja bertanya sambil keheran-heranan: "Engkau penduduk kota ini?"

"Ya. Benar," sahut Tamlikha.

"Adakah orang yang kau kenal?" tanya raja lagi.

"Ya, ada," jawab Tamlikha.

"Coba sebutkan siapa namanya," perintah raja.

Tamlikha menyebut nama-nama kurang lebih 1000 orang, tetapi tak ada satu nama pun yang

dikenal oleh raja atau oleh orang lain yang hadir mendengarkan. Mereka berkata: "Ah…, semua

itu bukan nama orang-orang yang hidup di zaman kita sekarang. Tetapi, apakah engkau

mempunyai rumah di kota ini?"

"Ya, tuanku," jawab Tamlikha. "Utuslah seorang menyertai aku!"

Raja kemudian memerintahkan beberapa orang menyertai Tamlikha pergi. Oleh Tamlikha

mereka diajak menuju ke sebuah rumah yang paling tinggi di kota itu. Setibanya di sana,

Tamlikha berkata kepada orang yang mengantarkan: "Inilah rumahku!"

Pintu rumah itu lalu diketuk. Keluarlah seorang lelaki yang sudah sangat lanjut usia. Sepasang

alis di bawah keningnya sudah sedemikian putih dan mengkerut hampir menutupi mata karena

sudah terlampau tua. Ia terperanjat ketakutan, lalu bertanya kepada orang-orang yang datang:

"Kalian ada perlu apa?"

Utusan raja yang menyertai Tamlikha menyahut: "Orang muda ini mengaku rumah ini adalah

rumahnya!"

Orang tua itu marah, memandang kepada Tamlikha. Sambil mengamat-amati ia bertanya:

"Siapa namamu?"

"Aku Tamlikha anak Filistin!"

Orang tua itu lalu berkata: "Coba ulangi lagi!"

Tamlikha menyebut lagi namanya. Tiba-tiba orang tua itu bertekuk lutut di depan kaki

Tamlikha sambil berucap: "Ini adalah datukku! Demi Allah, ia salah seorang di antara orangorang

yang melarikan diri dari Diqyanius, raja durhaka." Kemudian diteruskannya dengan suara

haru: "Ia lari berlindung kepada Yang Maha Perkasa, Pencipta langit dan bumi. Nabi kita, Isa

as., dahulu telah memberitahukan kisah mereka kepada kita dan mengatakan bahwa mereka

itu akan hidup kembali!"

Peristiwa yang terjadi di rumah orang tua itu kemudian di laporkan kepada raja. Dengan

menunggang kuda, raja segera datang menuju ke tempat Tamlikha yang sedang berada di

rumah orang tua tadi. Setelah melihat Tamlikha, raja segera turun dari kuda. Oleh raja

Tamlikha diangkat ke atas pundak, sedangkan orang banyak beramai-ramai menciumi tangan

dan kaki Tamlikha sambil bertanya-tanya: "Hai Tamlikha, bagaimana keadaan temantemanmu?"

Kepada mereka Tamlikha memberi tahu, bahwa semua temannya masih berada di dalam gua.

"Pada masa itu kota Aphesus diurus oleh dua orang bangsawan istana. Seorang beragama Islam

dan seorang lainnya lagi beragama Nasrani. Dua orang bangsawan itu bersama pengikutnya

masing-masing pergi membawa Tamlikha menuju ke gua," demikian Imam Ali melanjutkan

ceritanya.

Teman-teman Tamlikha semuanya masih berada di dalam gua itu. Setibanya dekat gua,

Tamlikha berkata kepada dua orang bangsawan dan para pengikut mereka: "Aku khawatir kalau

sampai teman-temanku mendengar suara tapak kuda, atau gemerincingnya senjata. Mereka

pasti menduga Diqyanius datang dan mereka bakal mati semua. Oleh karena itu kalian berhenti

saja di sini. Biarlah aku sendiri yang akan menemui dan memberitahu mereka!"

Semua berhenti menunggu dan Tamlikha masuk seorang diri ke dalam gua. Melihat Tamlikha

datang, teman-temannya berdiri kegirangan, dan Tamlikha dipeluknya kuat-kuat. Kepada

Tamlikha mereka berkata: "Puji dan syukur bagi Allah yang telah menyelamatkan dirimu dari

Diqyanius!"

Tamlikha menukas: "Ada urusan apa dengan Diqyanius? Tahukah kalian, sudah berapa lamakah

kalian tinggal di sini?"

"Kami tinggal sehari atau beberapa hari saja," jawab mereka.

"Tidak!" sangkal Tamlikha. "Kalian sudah tinggal di sini selama 309 tahun! Diqyanius sudah lama

meninggal dunia! Generasi demi generasi sudah lewat silih berganti, dan penduduk kota itu

sudah beriman kepada Allah yang Maha Agung! Mereka sekarang datang untuk bertemu dengan

kalian!"

Teman-teman Tamlikha menyahut: "Hai Tamlikha, apakah engkau hendak menjadikan kami ini

orang-orang yang menggemparkan seluruh jagad?"

"Lantas apa yang kalian inginkan?" Tamlikha balik bertanya.

"Angkatlah tanganmu ke atas dan kami pun akan berbuat seperti itu juga," jawab mereka.

Mereka bertujuh semua mengangkat tangan ke atas, kemudian berdoa: "Ya Allah, dengan

kebenaran yang telah Kau perlihatkan kepada kami tentang keanehan-keanehan yang kami

alami sekarang ini, cabutlah kembali nyawa kami tanpa sepengetahuan orang lain!"

Allah s.w.t. mengabulkan permohonan mereka. Lalu memerintahkan Malaikat maut mencabut

kembali nyawa mereka. Kemudian Allah s.w.t. melenyapkan pintu gua tanpa bekas. Dua orang

bangsawan yang menunggu-nunggu segera maju mendekati gua, berputar-putar selama tujuh

hari untuk mencari-cari pintunya, tetapi tanpa hasil. Tak dapat ditemukan lubang atau jalan

masuk lainnya ke dalam gua. Pada saat itu dua orang bangsawan tadi menjadi yakin tentang

betapa hebatnya kekuasaan Allah s.w.t. Dua orang bangsawan itu memandang semua peristiwa

yang dialami oleh para penghuni gua, sebagai peringatan yang diperlihatkan Allah kepada

mereka.

Bangsawan yang beragama Islam lalu berkata: "Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku!

Akan kudirikan sebuah tempat ibadah di pintu guha itu."

Sedang bangsawan yang beragama Nasrani berkata pula: "Mereka mati dalam keadaan memeluk

agamaku! Akan kudirikan sebuah biara di pintu gua itu."

Dua orang bangsawan itu bertengkar, dan setelah melalui pertikaian senjata, akhirnya

bangsawan Nasrani terkalahkan oleh bangsawan yang beragama Islam. Dengan terjadinya

peristiwa tersebut, maka Allah berfirman, yang artinya: "Orang-orang yang telah memenangkan urusan mereka berkata: 'Kami hendak mendirikan sebuah rumah peribadatan di atas mereka'…"

(S. Al Kahfi: 21).

Sampai di situ Imam Ali bin Abi Thalib berhenti menceritakan kisah para penghuni gua.

Kemudian berkata kepada pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu: "Itulah, hai Yahudi, apa

yang telah terjadi dalam kisah mereka. Demi Allah, sekarang aku hendak bertanya kepadamu,

apakah semua yang kuceritakan itu sesuai dengan apa yang tercantum dalam Taurat kalian?"

Pendeta Yahudi itu menjawab: "Ya Abal Hasan, engkau tidak menambah dan tidak mengurangi,

walau satu huruf pun! Sekarang engkau jangan menyebut diriku sebagai orang Yahudi, sebab

aku telah bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba Allah

serta Rasul-Nya. Aku pun bersaksi juga, bahwa engkau orang yang paling berilmu di kalangan

ummat ini!"

Demikianlah hikayat tentang para penghuni gua (Ashhabul Kahfi), kutipan dari kitab Qishasul

Anbiya yang tercantum dalam kitab Fadha 'ilul Khamsah Minas Shihahis Sittah, tulisan As Sayyid

Murtadha Al Huseiniy Al Faruz Aabaad, dalam menunjukkan banyaknya ilmu pengetahuan yang

diperoleh Imam Ali bin Abi Thalib dari Rasul Allah s.a.w.

Penanggalan Hijriyah

Selain ilmu pengetahuan yang mencakup berbagai bidang, Imam Ali r.a. juga banyak

melahirkan prakarsa-prakarsa yang dipersembahkan kepada kepentingan kaum muslimin dan

kejayaan Islam. Ada satu prakarsanya yang tak mungkin dapat dilupakan sepanjang sejarah oleh

seluruh generasi ummat Islam sampai hari akhir kelak. Meskipun hampir tiap hari hasil prakarsa

itu dimanfaatkan oleh kaum muslimin, tetapi banyak di antara mereka sendiri yang belum

mengetahui, bahwa yang dimanfaatkannya itu berasal dari Imam Ali r.a. Yaitu penanggalan

Hijriyah.

Dalam kitab Tarikh yang ditulis oleh At-Thabariy disajikan sebuah riwayat yang berasal dari

Sa'id bin Al-Mushib, yang menyatakan, bahwa pada satu hari Khalifah Umar Ibnul Khattab

mengumpulkan sejumlah pemuka kaum muslimin untuk merundingkan masalah penanggalan

Islam. Kaum muslimin dan Khalifah Umar r.a. berpendapat tentang perlunya diadakan

penanggalan tersendiri, agar kaum muslimin tidak lagi mengikuti penanggalan kaum Nasrani

dan Yahudi. Betapa tragisnya kalau kaum muslimin yang sudah dewasa itu masih juga

mempergunakan penanggalan Ahlul Kitab. Tetapi keinginan yang baik itu terbentur pada jalan

buntu karena tidak berhasil menemukan kapan penanggalan Islam itu harus dimulai.

Di saat mereka sedang menghadapi kesukaran itu datanglah Imam Ali r.a. Bukan main

gembiranya Khalifah Umar r.a. melihat Imam Ali r.a. datang. Segera saja disambut, kemudian

kepadanya diajukan pertanyaan tentang bagaimana sebaiknya penanggalan Islam itu dimulai.

Tanpa banyak fikir lagi Imam Ali r.a. menjawab: "Tetapkan saja mulai hari hijrahnya Rasul

Allah s.a.w., yaitu hari beliau meninggalkan tanah syirik!"

Mendengar jawaban Imam Ali r.a. yang cepat dan tepat itu Khalifah Umar r.a. dengan serta

merta memeluk Imam Ali r.a. diiringi oleh gegap gempitanya sambutan gembira kaum muslimin

yang hadir. Khalifah Umar r.a. menerima sepenuhnya pendapat Imam Ali r.a. tersebut, dan

mulai hari itu jugalah ditetapkan berlakunya penanggalan Hijriyah bagi kaum muslimin.