Sejarah Hidup Imam Ali ra

Sejarah Hidup Imam Ali ra0%

Sejarah Hidup Imam Ali ra pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Imam Ali as

Sejarah Hidup Imam Ali ra

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

pengarang: H.M.H. ALHAMID ALHUSAINI
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Pengunjung: 17221
Download: 3958

Komentar:

Sejarah Hidup Imam Ali ra
Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 22 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 17221 / Download: 3958
Ukuran Ukuran Ukuran
Sejarah Hidup Imam Ali ra

Sejarah Hidup Imam Ali ra

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Bab III : Rumah Tangga Serasi

Lahirnya Sitti Fatimah Azzahra r.a. merupakan rahmat yang dilimpahkan llahi kepada Nabi

Muhammad s.a.w. Ia telah menjadi wadah suatu keturunan yang suci. Ia laksana benih yang

akan menumbuhkan pohon besar pelanjut keturunan Rasul Allah s.a.w. Ia satu-satunya yang

menjadi sumber keturunan paling mulia yang dikenal umat Islam di seluruh dunia. Sitti Fatimah

Azzahra r.a. dilahirkan di Makkah, pada hari Jumaat, 20 Jumadil Akhir, kurang lebih lima tahun

sebelum bi'tsah.

Sitti Fatimah Azzahra r.a. tumbuh dan berkembang di bawah naungan wahyu Ilahi, di tengah

kancah pertarungan sengit antara Islam dan Jahiliyah, di kala sedang gencar-gencarnya

perjuangan para perintis iman melawan penyembah berhala.

Dalam keadaan masih kanak-kanak Sitti Fatimah Azzahra r.a. sudah harus mengalami

penderitaan, merasakan kehausan dan kelaparan. Ia berkenalan dengan pahit getirnya

perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan. Lebih dari tiga tahun ia bersama ayah

bundanya hidup menderita di dalam Syi'ib, akibat pemboikotan orang-orang kafir Qureiys

terhadap keluarga Bani Hasyim.

Setelah bebas dari penderitaan jasmaniah selama di Syi'ib, datang pula pukulan batin atas diri

Sitti Fatimah Azzahra r.a., berupa wafatnya bunda tercinta, Sitti Khadijah r.a. Kabut sedih

selalu menutupi kecerahan hidup sehari-hari dengan putusnya sumber kecintaan dan kasih

sayang ibu.

Puteri Kesayangan

Rasul Allah s.a.w. sangat mencintai puterinya ini. Sitti Fatimah Azzahra r.a. adalah puteri

bungsu yang paling disayang dan dikasihani junjungan kita Rasul Allah s.a.w. Nabi Muhammad

s.a.w. merasa tak ada seorang pun di dunia yang paling berkenan di hati beliau dan yang paling

dekat disisinya selain puteri bungsunya itu.

Demikian besar rasa cinta Rasul Allah s.a.w. kepada puteri bungsunya itu dibuktikan dengan

hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Menurut hadits tersebut Rasul Allah s.a.w. berkata

kepada Imam Ali r.a. demikian:

"Wahai Ali! Sesungguhnya Fatimah adalah bagian dari aku. Dia adalah cahaya mataku dan buah

hatiku. Barang siapa menyusahkan dia, ia menyusahkan aku dan siapa yang menyenangkan dia,

ia menyenangkan aku…"

Pernyataan beliau itu bukan sekedar cetusan emosi, melainkan suatu penegasan bagi umatnya,

bahwa puteri beliau itu merupakan lambang keagungan abadi yang ditinggalkan di tengah

ummatnya.

Di kala masih kanak-kanak Sitti Fatimah Azzahra r.a. menyaksikan sendiri cobaan yang dialami

oleh ayah-bundanya, baik berupa gangguan-gangguan, maupun penganiayaan-penganiayaan

yang dilakukan orang-orang kafir Qureiys. Ia hidup di udara Makkah yang penuh dengan debu

perlawanan orang-orang kafir terhadap keluarga Nubuwaah, keluarga yang menjadi pusat iman,

hidayah dan keutamaan. Ia menyaksikan ketangguhan dan ketegasan orang-orang mukminin

dalam perjuangan gagah berani menanggulangi komplotan-komplotan Qureiys. Suasana perjuangan itu membekas sedalam-dalamnya pada jiwa Sitti Fatimah Azzahra r.a. dan

memainkan peranan penting dalam pembentukan pribadinya, serta mempersiapkan kekuatan

mental guna menghadapi kesukaran-kesukaran di masa depan.

Setelah ibunya wafat, Sitti Fatimah Azzahra r.a. hidup bersama ayahandanya. Satu-satunya

orang yang paling dicintai. Ialah yang meringankan penderitaan Rasul Allah s.a.w. tatkala

ditinggal wafat isteri beliau, Sitti Khadijah. Pada satu hari Sitti Fatimah Azzahra r.a.

menyaksikan ayahnya pulang dengan kepala dan tubuh penuh pasir, yang baru saja dilemparkan

oleh orang-orang Qureys, di saat ayahandanya itu sedang sujud. Dengan hati remuk-redam

laksana disayat sembilu, Sitti Fatimah r.a. segera membersihkan kepala dan tubuh

ayahandanya. Kemudian diambilnya air guna mencucinya. Ia menangis tersedu-sedu

menyaksikan kekejaman orang-orang Qureisy terhadap ayahnya.

Kesedihan hati puterinya itu dirasakan benar oleh Nabi Muhammad s.a.w. Guna menguatkan

hati puterinya dan meringankan rasa sedihnya, maka Nabi Muhammad s.a.w., sambil membelaibelai

kepala puteri bungsunya itu, berkata: "Jangan menangis..., Allah melindungi ayahmu dan

akan memenangkannya dari musuh-musuh agama dan risalah-Nya"

Dengan tutur kata penuh semangat itu, Rasul Allah s.a.w. menanamkan daya-juang tinggi ke

dalam jiwa Sitti Fatimah r.a., dan sekaligus mengisinya dengan kesabaran, ketabahan serta

kepercayaan akan kemenangan akhir. Meskipun orang-orang sesat dan durhaka seperti kafir

Qureiys itu senantiasa mengganggu dan melakukan penganiayaan-penganiayaan, namun Nabi

Muhammad s:a.w. tetap melaksanakan tugas risalahnya.

Pada ketika lain lagi, Sitti Fatimah r.a. menyaksikan ayahandanya pulang dengan tubuh penuh

dengan kotoran kulit janin unta yang baru dilahirkan. Yang melemparkan kotoran atau najis ke

punggung Rasul Allah s.a.w. itu Uqbah bin Mu'aith, Ubaiy bin Khalaf dan Umayyah bin Khalaf.

Melihat ayahandanya berlumuran najis, Sitti Fatimah r.a. segera membersihkannya dengan air

sambil menangis.

Nabi Muhammad rupanya menganggap perbuatan ketiga kafir Qureiys ini sudah keterlaluan.

Karena itulah maka pada waktu itu beliau memanjatkan doa kehadirat Allah s.w.t.: "Ya Allah

celakakanlah orang-orang Qureiys itu. Ya Allah, binasakanlah 'Uqbah bin Mu'aith. Ya Allah

binasakanlah Ubay bin Khalaf dan Umayyah bin Khalaf"

Masih banyak lagi pelajaran yang diperoleh Sitti Fatimah dari penderitaan ayahandanya dalam

perjuangan menegakkan kebenaran Allah. Semuanya itu menjadi bekal hidup baginya untuk

menghadapi masa mendatang yang berat dan penuh cobaan. Kehidupan yang serba berat dan

keras di kemudian hari memang memerlukan mental gemblengan.

Hijrah ke Madinah

Tepat pada saat orang-orang kafir Qureiys selesai mempersiapkan komplotan terror untuk

membunuh Rasul Allah s.a.w., Madinah telah siap menerima kedatangan beliau. Nabi

Muhammad meninggalkan kota Makkah secara diam-diam di tengah kegelapan malam. Beliau

bersama Abu Bakar Ash Shiddiq meninggalkan kampung halaman, keluarga tercinta dan sanak

famili. Beliau berhijrah, seperti dahulu pernah juga dilakukan Nabi Ibrahim as. dan Musa a.s.

Di antara orang-orang yang ditinggalkan Nabi Muhammad s.a.w. termasuk puteri kesayangan

beliau, Sitti Fatimah r.a. dan putera paman beliau yang diasuh dengan kasih sayang sejak kecil,

yaitu Imam Ali r.a. yang selama ini menjadi pembantu terpercaya beliau.

Imam Ali r.a. sengaja ditinggalkan oleh Nabi Muhammad untuk melaksanakan tugas khusus:

berbaring di tempat tidur beliau, guna mengelabui mata komplotan Qureiys yang siap hendak

membunuh beliau. Sebelum Imam Ali r.a. melaksanakan tugas tersebut, ia dipesan oleh Nabi

Muhammad s.a.w. agar barang-barang amanat yang ada pada beliau dikembalikan kepada pemiliknya masing-masing. Setelah itu bersama semua anggota keluarga Rasul Allah s.a.w.,

segera menyusul berhijrah.

Imam Ali r.a. membeli seekor unta untuk kendaraan bagi wanita yang akan berangkat hijrah

bersama-sama. Rombongan hijrah yang menyusul perjalanan Rasul Allah s.a.w. terdiri dari

keluarga Bani Hasyim dan dipimpin sendiri oleh Imam Ali r.a. Di dalam rombongan Imam Ali r.a.

ini termasuk Sitti Fatimah r.a., Fatimah binti Asad bin Hasyim (ibu Imam Ali r.a.), Fatimah binti

Zubair bin Abdul Mutthalib dan Fatimah binti Hamzah bin Abdul Mutthalib. Aiman dan Abu

Waqid Al Laitsiy, ikut bergabung dalam rombongan.

Rombongan Imam Ali r.a. berangkat dalam keadaan terburu-buru. Perjalanan ini tidak

dilakukan secara diam-diam. Abu Waqid berjalan cepat-cepat menuntun unta yang dikendarai

para wanita, agar jangan terkejar oleh orang-orang kafir Qureiys. Mengetahui hal itu, Imam Ali

r.a. segera memperingatkan Abu Waqid, supaya berjalan perlahan-lahan, karena semua

penumpangnya wanita. Rombongan berjalan melewati padang pasir di bawah sengatan terik

matahari.

Imam Ali r.a., sebagai pemimpin rombongan, berangkat dengan semangat yang tinggi. Beliau

siap menghadapi segala kemungkinan yang bakal dilakukan orang-orang kafir Qureiys terhadap

rombongan. Ia bertekad hendak mematahkan moril dan kecongkakan mereka. Untuk itu ia siap

berlawan tiap saat.

Mendengar rombongan Imam Ali r.a. berangkat, orang-orang Qureiys sangat penasaran. Lebihlebih

karena rombongan Imam Ali r.a. berani meninggalkan Makkah secara terang-terangan di

siang hari. Orang-orang Qureiys menganggap bahwa keberanian Imam Ali r.a. yang semacam itu

sebagai tantangan terhadap mereka.

Orang-orang Qureiys cepat-cepat mengirim delapan orang anggota pasukan berkuda untuk

mengejar Imam Ali r.a. dan rombongan. Pasukan itu ditugaskan menangkapnya hidup-hidup

atau mati. Delapan orang Qureiys itu, di sebuah tempat bernama Dhajnan berhasil mendekati

rombongan Imam Ali r.a.

Setelah Imam Ali r.a. mengetahui datangnya pasukan berkuda Qureiys, ia segera

memerintahkan dua orang lelaki anggota rombongan agar menjauhkan unta dan menambatnya.

Ia sendiri kemudian menghampiri para wanita guna membantu menurunkan mereka dari

punggung unta. Seterusnya ia maju seorang diri menghadapi gerombolan Qureisy dengan

pedang terhunus. Rupanya Imam Ali r.a. hendak berbicara dengan bahasa yang dimengerti oleh

mereka. Ia tahu benar bagaimana cara menundukkan mereka.

Melihat Imam Ali r.a. mendekati mereka, gerombolan Qureiys itu berteriak-teriak menusuk

perasaan: "Hai penipu, apakah kaukira akan dapat menyelamatkan perempuan-perempuan itu?

Ayo, kembali! Engkau sudah tidak berayah lagi."

Imam Ali r.a. dengan tenang menanggapi teriakan-teriakan gerombolan Qureiys itu. Ia

bertanya: "Kalau aku tidak mau berbuat itu...?"

"Mau tidak mau engkau harus kembali," sahut gerombolan Qureiys dengan cepat.

Mereka lalu berusaha mendekati unta dan rombongan wanita. Imam Ali r.a. menghalangi usaha

mereka. Jenah, seorang hamba sahaya milik Harb bin Umayyah, mencoba hendak memukul

Imam Ali r.a. dari atas kuda. Akan tetapi belum sempat ayunan pedangnya sampai, hantaman

pedang Imam Ali r.a. telah mendahului tiba di atas bahunya. Tubuhnya terbelah menjadi dua,

sehingga pedang Imam Ali r.a. sampai menancap pada punggung kuda. Serangan-balas secepat

kilat itu sangat menggetarkan teman-teman Jenah. Sambil menggeretakkan gigi, Imam Ali r.a.

berkata: "Lepaskan orang-orang yang hendak berangkat berjuang! Aku tidak akan kembali dan aku tidak akan menyembah selain Allah Yang Maha Kuasa!"

Gerombolan Qureiys mundur. Mereka meminta kepada Imam Ali r.a. untuk menyarungkan

kembali pedangnya. Imam Ali r.a. dengan tegas menjawab: "Aku hendak berangkat menyusul

saudaraku, putera pamanku, Rasul Allah. Siapa yang ingin kurobek-robek dagingnya dan

kutumpahkan darahnya, cobalah maju mendekati aku!"

Tanpa memberi jawaban lagi gerombolan Qureiys itu segera meninggalkan tempat. Kejadian ini

mencerminkan watak konfrontasi bersenjata yang bakal datang antara kaum muslimin melawan

agresi kafir Qureiys.

Di Dhajnan, rombongan Imam Ali r.a. beristirahat semalam. Ketika itu tiba pula Ummu Aiman

(ibu Aiman). Ia menyusul anaknya yang telah berangkat lebih dahulu bersama Imam Ali r.a.

Bersama Ummu Aiman turut pula sejumlah orang muslimin yang berangkat hijrah. Keesokan

harinya rombongan Imam Ali r.a. beserta rombongan Ummu Aiman melanjutkan perjalanan.

Imam Ali r.a. sudah rindu sekali ingin segera bertemu dengan Rasul Allah s.a.w.

Waktu itu Rasul Allah s.a.w. bersama Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. sudah tiba dekat kota

Madinah. Untuk beberapa waktu, beliau tinggal di Quba. Beliau menantikan kedatangan

rombongan Imam Ali r.a. Kepada Abu Bakar Ash Shiddiq, Rasul Allah s.a.w. memberitahu,

bahwa beliau tidak akan memasuki kota Madinah, sebelum putera pamannya dan puterinya

sendiri datang.

Selama dalam perjalanan itu Imam Ali r.a. tidak berkendaraan sama sekali. Ia berjalan kakitelanjang

menempuh jarak kl 450 km sehingga kakinya pecah-pecah dan membengkak.

Akhirnya tibalah semua anggota rombongan dengan selamat di Quba. Betapa gembiranya Rasul

Allah s.a.w. menyambut kedatangan orang-orang yang disayanginya itu.

Ketika Nabi Muhammad s.a.w. melihat Imam Ali r.a. tidak sanggup berjalan lagi karena kakinya

membengkak, beliau merangkul dan memeluknya seraya menangis karena sangat terharu.

Beliau kemudian meludah di atas telapak tangan, lalu diusapkan pada kaki Imam Ali r.a. Konon

sejak saat itu sampai wafatnya, Imam Ali r.a. tidak pernah mengeluh karena sakit kaki.

Peristiwa yang sangat mengharukan itu berkesan sekali dalam hati Rasul Allah s.a.w. dan tak

terlupakan selama-lamanya. Berhubung dengan peristiwa itu, turunlah wahyu Ilahi yang

memberi penilaian tinggi kepada kaum Muhajirin, seperti terdapat dalam Surah Ali 'Imran:195.

Ijab-Kabul Pernikahan

Sitti Fatimah Azzahra r.a. mencapai puncak keremajaannya dan kecantikannya pada saat

risalah yang dibawakan Nabi Muhammad s.a.w. sudah maju dengan pesat di Madinah dan

sekitarnya. Ketika itu Sitti Fatimah Azzahra r.a. benar-benar telah menjadi remaja puteri.

Keelokan parasnya banyak menarik perhatian. Tidak sedikit pria terhormat yang

menggantungkan harapan ingin mempersunting puteri Rasul Allah s.a.w. itu. Beberapa orang

terkemuka dari kaum Muhajirin dan Anshar telah berusaha melamarnya. Menanggapi lamaran

itu, Nabi Muhammad s.a.w. mengemukakan, bahwa beliau sedang menantikan datangnya

petunjuk dari Allah s.w.t. mengenai puterinya itu.

Pada suatu hari Abu Bakar Ash Shiddiq r.a., Umar Ibnul Khatab r.a. dan Sa'ad bin Mu'adz

bersama-sama Rasul Allah s.a.w. duduk dalam mesjid beliau. Pada kesempatan itu

diperbincangkan antara lain persoalan puteri Rasul Allah s.a.w. Saat itu beliau bertanya kepada

Abu Bakar Ash Shiddiq r.a.: "Apakah engkau bersedia menyampaikan persoalan Fatimah itu

kepada Ali bin Abi Thalib?"

Abu Bakar Ash Shiddiq menyatakan kesediaanya. Ia beranjak untuk menghubungi Imam Ali r.a. Sewaktu Imam Ali r.a. melihat datangnya Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. dengan tergopoh-gopoh

dan terperanjat ia menyambutnya, kemudian bertanya: "Anda datang membawa berita apa?"

Setelah duduk beristirahat sejenak, Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. segera menjelaskan

persoalannya: "Hai Ali, engkau adalah orang pertama yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya

serta mempunyai keutamaan lebih dibanding dengan orang lain. Semua sifat utama ada pada

dirimu. Demikian pula engkau adalah kerabat Rasul Allah s.a.w. Beberapa orang sahabat

terkemuka telah menyampaikan lamaran kepada beliau untuk dapat mempersunting puteri

beliau. Lamaran itu oleh beliau semuanya ditolak. Beliau mengemukakan, bahwa persoalan

puterinya diserahkan kepada Allah s.w.t. Akan tetapi, hai Ali, apa sebab hingga sekarang

engkau belum pernah menyebut-nyebut puteri beliau itu dan mengapa engkau tidak melamar

untuk dirimu sendiri? Kuharap semoga Allah dan Rasul-Nya akan menahan puteri itu untukmu."

Mendengar perkataan Abu Bakar r.a. mata Imam Ali r.a. berlinang-linang. Menanggapi katakata

itu, Imam Ali r.a. berkata: "Hai Abu Bakar, anda telah membuat hatiku goncang yang

semulanya tenang. Anda telah mengingatkan sesuatu yang sudah kulupakan. Demi Allah, aku

memang menghendaki Fatimah, tetapi yang menjadi penghalang satu-satunya bagiku ialah

karena aku tidak mempunyai apa-apa."

Abu Bakar r.a. terharu mendengar jawaban Imam Ali yang memelas itu. Untuk membesarkan

dan menguatkan hati Imam Ali r.a., Abu Bakar r.a. berkata: "Hai Ali, janganlah engkau berkata

seperti itu. Bagi Allah dan Rasul-Nya dunia dan seisinya ini hanyalah ibarat debu bertaburan

belaka!"

Setelah berlangsung dialog seperlunya, Abu Bakar r.a. berhasil mendorong keberanian Imam Ali

r.a. untuk melamar puteri Rasul Allah s.a.w.

Beberapa waktu kemudian, Imam Ali r.a. datang menghadap Rasul Allah s.a.w. yang ketika itu

sedang berada di tempat kediaman Ummu Salmah. Mendengar pintu diketuk orang, Ummu

Salmah bertanya kepada Rasul Allah s.a.w.: "Siapakah yang mengetuk pintu?" Rasul Allah s.a.w.

menjawab: "Bangunlah dan bukakan pintu baginya. Dia orang yang dicintai Allah dan Rasul-Nya,

dan ia pun mencintai Allah dan Rasul-Nya!"

Jawaban Nabi Muhammad s.a.w. itu belum memuaskan Ummu Salmah r.a. Ia bertanya lagi: "Ya,

tetapi siapakah dia itu?"

"Dia saudaraku, orang kesayanganku!" jawab Nabi Muhammad s.a.w.

Tercantum dalam banyak riwayat, bahwa Ummu Salmah di kemudian hari mengisahkan

pengalamannya sendiri mengenai kunjungan Imam Ali r.a. kepada Nabi Muhammad s.a.w. itu:

"Aku berdiri cepat-cepat menuju ke pintu, sampai kakiku terantuk-antuk. Setelah pintu kubuka,

ternyata orang yang datang itu ialah Ali bin Abi Thalib. Aku lalu kembali ke tempat semula. Ia

masuk, kemudian mengucapkan salam dan dijawab oleh Rasul Allah s.a.w. Ia dipersilakan

duduk di depan beliau. Ali bin Abi Thalib menundukkan kepala, seolah-olah mempunyai

maksud, tetapi malu hendak mengutarakannya.

Rasul Allah mendahului berkata: "Hai Ali nampaknya engkau mempunyai suatu keperluan.

Katakanlah apa yang ada dalam fikiranmu. Apa saja yang engkau perlukan, akan kauperoleh

dariku!"

Mendengar kata-kata Rasul Allah s.a.w. yang demikian itu, lahirlah keberanian Ali bin Abi

Thalib untuk berkata: "Maafkanlah, ya Rasul Allah. Anda tentu ingat bahwa anda telah

mengambil aku dari paman anda, Abu Thalib dan bibi anda, Fatimah binti Asad, di kala aku

masih kanak-kanak dan belum mengerti apa-apa.

Sesungguhnya Allah telah memberi hidayat kepadaku melalui anda juga. Dan anda, ya Rasul

Allah, adalah tempat aku bernaung dan anda jugalah yang menjadi wasilahku di dunia dan

akhirat. Setelah Allah membesarkan diriku dan sekarang menjadi dewasa, aku ingin berumah

tangga; hidup bersama seorang isteri. Sekarang aku datang menghadap untuk melamar puteri

anda, Fatimah. Ya Rasul Allah, apakah anda berkenan menyetujui dan menikahkan diriku

dengan dia?"

Ummu Salmah melanjutkan kisahnya: "Saat itu kulihat wajah Rasul Allah nampak berseri-seri.

Sambil tersenyum beliau berkata kepada Ali bin Abi Thalib: "Hai Ali, apakah engkau mempunyai

suatu bekal maskawin?'' .

"Demi Allah", jawab Ali bin Abi Thalib dengan terus terang, "Anda sendiri mengetahui

bagaimana keadaanku, tak ada sesuatu tentang diriku yang tidak anda ketahui. Aku tidak

mempunyai apa-apa selain sebuah baju besi, sebilah pedang dan seekor unta."

"Tentang pedangmu itu," kata Rasul Allah s.a.w. menanggapi jawaban Ali bin Abi Thalib,

"engkau tetap membutuhkannya untuk melanjutkan perjuangan di jalan Allah. Dan untamu itu

engkau juga butuh untuk keperluan mengambil air bagi keluargamu dan juga engkau

memerlukannya dalam perjalanan jauh. Oleh karena itu aku hendak menikahkan engkau hanya

atas dasar maskawin sebuah baju besi saja. Aku puas menerima barang itu dari tanganmu. Hai

Ali engkau wajib bergembira, sebab Allah 'Azza wajalla sebenarnya sudah lebih dahulu

menikahkan engkau di langit sebelum aku menikahkan engkau di bumi!" Demikian versi riwayat

yang diceritakan Ummu Salmah r.a.

Setelah segala-galanya siap, dengan perasaan puas dan hati gembira, dengan disaksikan oleh

para sahabat, Rasul Allah s.a.w. mengucapkan kata-kata ijab kabul pernikahan puterinya:

"Bahwasanya Allah s.w.t. memerintahkan aku supaya menikahkan engkau Fatimah atas dasar

maskawin 400 dirham (nilai sebuah baju besi). Mudah-mudahan engkau dapat menerima hal

itu."

"Ya, Rasul Allah, itu kuterima dengan baik", jawab Ali bin Abi Thalib r.a. dalam pernikahan itu.

Rumah Tangga Sederhana

Maskawin sebesar 400 dirham itu diserahkan kepada Abu Bakar r.a. untuk diatur

penggunaannya. Dengan persetujuan Rasul Allah s.a.w., Abu Bakar r.a. menyerahkan 66 dirham

kepada Ummu Salmah untuk "biaya pesta" perkawinan. Sisa uang itu dipergunakan untuk

membeli perkakas dan peralatan rumah tangga.

-sehelai baju kasar perempuan;

-sehelai kudung;

-selembar kain Qathifah buatan khaibar berwarna hitam;

-sebuah balai-balai;.

-dua buah kasur, terbuat dari kain kasar Mesir (yang sebuah berisi ijuk kurma dan yang sebuah

bulu kambing);

-empat buah bantal kulit buatan Thaif (berisi daun idzkir);

-kain tabir tipis terbuat dari bulu;

-sebuah tikar buatan Hijr;

-sebuah gilingan tepung;

-sebuah ember tembaga;

-kantong kulit tempat air minum;

-sebuah mangkuk susu;

-sebuah mangkuk air;

-sebuah wadah air untuk sesuci;

-sebuah kendi berwarna hijau;

-sebuah kuali tembikar;

-beberapa lembar kulit kambing;

-sehelai 'aba-ah (semacam jubah);

-dan sebuah kantong kulit tempat menyimpan air.

Sejalan dengan itu Imam Ali r.a. mempersiapkan tempat kediamannya dengan perkakas yang

sederhana dan mudah didapat. Lantai rumahnya ditaburi pasir halus. Dari dinding ke dinding

lain dipancangkan sebatang kayu untuk menggantungkan pakaian. Untuk duduk-duduk

disediakan beberapa lembar kulit kambing dan sebuah bantal kulit berisi ijuk kurma. Itulah

rumah kediaman Imam Ali r.a. yang disiapkan guna menanti kedatangan isterinya, Sitti Fatimah

Azzahra r.a.

Selama satu bulan sesudah pernikahan, Sitti Fatimah r.a. masih tetap di rumahnya yang lama.

Imam Ali r.a. merasa malu untuk menyatakan keinginan kepada Rasul Allah s.a.w. supaya

puterinya itu diperkenankan pindah ke rumah baru. Dengan ditemani oleh salah seorang

kerabatnya dari Bani Hasyim, Imam Ali r.a. menghadap Rasul Allah s.a.w. Lebih dulu mereka

menemui Ummu Aiman, pembantu keluarga Nabi Muhammad s.a.w. Kepada Ummu Aiman,

Imam Ali r.a. menyampaikan keinginannya.

Setelah itu, Ummu Aiman menemui Ummu Salmah r.a. guna menyampaikan apa yang menjadi

keinginan Imam Ali r.a. Sesudah Ummu Salmah r.a. mendengar persoalan tersebut, ia terus

pergi mendatangi isteri-isteri Nabi yang lain.

Guna membicarakan persoalan yang dibawa Ummu Salmah r.a., para isteri Nabi Muhammad

s.a.w. berkumpul. Kemudian mereka bersama-sama menghadap Rasul Allah s.a.w. Ternyata

beliau menyambut gembira keinginan Imam Ali r.a.

Suami-Isteri Yang Serasi

Sitti Fatimah r.a. dengan perasaan bahagia pindah ke rumah suaminya yang sangat sederhana

itu. Selama ini ia telah menerima pelajaran cukup dari ayahandanya tentang apa artinya

kehidupan ini. Rasul Allah s.a.w. telah mendidiknya, bahwa kemanusiaan itu adalah intisari

kehidupan yang paling berharga. Ia juga telah .diajar bahwa kebahagiaan rumah-tangga yang

ditegakkan di atas fondasi akhlaq utama dan nilai-nilai Islam, jauh lebih agung dan lebih mulia

dibanding dengan perkakas-perkakas rumah yang serba megah dan mewah.

Imam Ali r.a. bersama isterinya hidup dengan rasa penuh kebanggaan dan kebahagiaan. Duaduanya

selalu riang dan tak pernah mengalami ketegangan. Sitti Fatimah r.a. menyadari,

bahwa dirinya tidak hanya sebagai puteri kesayangan Rasul Allah s.a.w., tetapi juga isteri

seorang pahlawan Islam, yang senantiasa sanggup berkorban, seorang pemegang panji-panji

perjuangan Islam yang murni dan agung. Sitti Fatimah berpendirian, dirinya harus dapat

menjadi tauladan. Terhadap suami ia berusaha bersikap seperti sikap ibunya (Sitti Khadijah

r.a.) terhadap ayahandanya, Nabi Muhammad s.a.w.

Dua sejoli suami isteri yang mulia dan bahagia itu selalu bekerja sama dan saling bantu dalam

mengurus keperluan-keperluan rumah tangga. Mereka sibuk dengan kerja keras. Sitti Fatimah

r.a. menepung gandum dan memutar gilingan dengan tangan sendiri. Ia membuat roti,

menyapu lantai dan mencuci. Hampir tak ada pekerjaan rumah-tangga yang tidak ditangani

dengan tenaga sendiri.

Rasul Allah s.a.w. sendiri sering menyaksikan puterinya sedang bekerja bercucuran keringat.

Bahkan tidak jarang beliau bersama Imam Ali r.a. ikut menyingsingkan lengan baju membantu

pekerjaan Sitti Fatimah r.a.

Banyak sekali buku-buku sejarah dan riwayat yang melukiskan betapa beratnya kehidupan

rumah-tangga Imam Ali r.a. Sebuah riwayat mengemukakan: Pada suatu hari Rasul Allah s.a.w.

berkunjung ke tempat kediaman Sitti Fatimah r.a. Waktu itu puteri beliau sedang menggiling tepung sambil melinangkan air mata. Baju yang dikenakannya kain kasar. Menyaksikan

puterinya menangis, Rasul Allah s.a.w. ikut melinangkan air mata. Tak lama kemudian beliau

menghibur puterinya: "Fatimah, terimalah kepahitan dunia untuk memperoleh kenikmatan di

akhirat kelak"

Riwayat lain mengatakan, bahwa pada suatu hari Rasul Allah s.a.w. datang menjenguk Sitti

Fatimah r.a., tepat: pada saat ia bersama suaminya sedang bekerja menggiling tepung. Beliau

terus bertanya: "Siapakah di antara kalian berdua yang akan kugantikan?"

"Fatimah! " Jawab Imam Ali r.a. Sitti Fatimah lalu berhenti diganti oleh ayahandanya

menggiling tepung bersama Imam Ali r.a.

Masih banyak catatan sejarah yang melukiskan betapa beratnya penghidupan dan kehidupan

rumah-tangga Imam Ali r.a. Semuanya itu hanya menggambarkan betapa besarnya kesanggupan

Sitti Fatimah r.a. dalam menunaikan tugas hidupnya yang penuh bakti kepada suami, taqwa

kepada Allah dan setia kepada Rasul-Nya.

Ada sebuah riwayat lain yang menuturkan betapa repotnya Sitti Fatimah r.a. sehari-hari

mengurus kehidupan rumah-tangganya. Riwayat itu menyatakan sebagai berikut: Pada satu hari

Rasul Allah s.a.w. bersama sejumlah sahabat berada dalam masjid menunggu kedatangan Bilal

bin Rabbah, yang akan mengumandangkan adzan sebagaimana biasa dilakukan sehari-hari.

Ketika Bilal terlambat datang, oleh Rasul Allah s.a.w. ditegor dan ditanya apa sebabnya. Bilal

menjelaskan:

"Aku baru saja datang dari rumah Fatimah. Ia sedang menggiling tepung. Al Hasan, puteranya

yang masih bayi, diletakkan dalam keadaan menangis keras. Kukatakan kepadanya "Manakah

yang lebih baik, aku menolong anakmu itu, ataukah aku saja yang menggiling tepung". Ia

menyahut: "Aku kasihan kepada anakku". Gilingan itu segera kuambil lalu aku menggiling

gandum. Itulah yang membuatku datang terlambat!"

Mendengar keterangan Bilal itu Rasul Allah s.a.w. berkata: "Engkau mengasihani dia dan Allah

mengasihani dirimu!"

Hal-hal tersebut di atas adalah sekelumit gambaran tentang kehidupan suatu keluarga suci di

tengah-tengah masyarakat Islam. Kehidupan keluarga yang penuh dengan semangat gotongroyong.

Selain itu kita juga memperoleh gambaran betapa sederhananya kehidupan pemimpinpemimpin

Islam pada masa itu. Itu merupakan contoh kehidupan masyarakat yang dibangun

oleh Islam dengan prinsip ajaran keluhuran akhlaq. Itupun merupakan pencerminan kaidahkaidah

agama Islam, yang diletakkan untuk mengatur kehidupan rumah-tangga.

Rasul Allah s.a.w., Imam Ali r.a. dan Sitti Fatimah r.a., ketiganya merupakan tauladan bagi

kehidupan seorang ayah, seorang suami dan seorang isteri di dalam Islam. Hubungan antar

anggota keluarga memang seharusnya demikian erat dan serasi seperti mereka.

Tak ada tauladan hidup sederhana yang lebih indah dari tauladan yang diberikan oleh keluarga

Nubuwwah itu. Padahal jika mereka mau, lebih-lebih jika Rasul Allah s.a.w. sendiri

mengehendaki, kekayaan dan kemewahan apakah yang tidak akan dapat diperoleh beliau?

Tetapi sebagai seorang pemimpin yang harus menjadi tauladan, sebagai seorang yang

menyerukan prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan serta persamaan, sebagai orang yang hidup

menolak kemewahan duniawi, beliau hanya mengehendaki supaya ajaran-ajarannya benarbenar

terpadu dengan akhlaq dan cara hidup ummatnya. Beliau mengehendaki agar tiap orang,

tiap pendidik, tiap penguasa dan tiap pemimpin bekerja untuk perbaikan masyarakat. Masingmasing

supaya mengajar, memimpin dan mendidik diri sendiri dengan akhlaq dan perilaku

utama, sebelum mengajak orang lain. Sebab akhlaq dan perilaku yang dapat dilihat dengan nyata, mempunyai pengaruh lebih besar, lebih berkesan dan lebih membekas dari pada sekedar

ucapan-ucapan dan peringatan-peringatan belaka. Dengan praktek yang nyata, ajakan yang

baik akan lebih terjamin keberhasilannya.

Sebuah riwayat lagi yang berasal dari Imam Ali r.a. sendiri mengatakan: Sitti Fatimah pernah

mengeluh karena tapak-tangannya menebal akibat terus-menerus memutar gilingan tepung. Ia

keluar hendak bertemu Rasul Allah s.a.w. Karena tidak berhasil, ia menemui Aisyah r.a.

Kepadanya diceritakan maksud kedatangannya. Ketika Rasul Allah s.a.w. datang, beliau

diberitahu oleh Aisyah r.a. tentang maksud kedatangan Fatimah yang hendak minta diusahakan

seorang pembantu rumah-tangga. Rasul Allah s.a.w. kemudian datang ke rumah kami. Waktu

itu kami sedang siap-siap hendak tidur. Kepada kami beliau berkata: "Kuberitahukan kalian

tentang sesuatu yang lebih baik daripada yang kalian minta kepadaku. Sambil berbaring

ucapkanlah tasbih 33 kali, tahmid 33 kali dan takbir 34 kali. Itu lebih baik bagi kalian daripada

seorang pembantu yang akan melayani kalian."

Sambutan Nabi Muhammad s.a.w. atas permintaan puterinya agar diberi pembantu, merupakan

sebuah pelajaran penting tentang rendah-hatinya seorang pemimpin di dalam masyarakat

Islam. Kepemimpinan seperti itulah yang diajarkan Rasul Allah s.a.w. dan dipraktekan dalam

kehidupan konkrit oleh keluarga Imam Ali r.a. Mereka hidup setaraf dengan lapisan rakyat yang

miskin dan menderita. Pemimpin-pemimpin seperti itulah dan yang hanya seperti itulah, yang

akan sanggup menjadi pelopor dalam melaksanakan prinsip persamaan, kesederhanaan dan

kebersihan pribadi dalam kehidupan ini.

Putera-puteri

Sitti Fatimah r.a. melahirkan dua orang putera dan dua orang puteri. Putera-puteranya

bernama Al Hasan r.a. dan Al Husein r.a. Sedang puteri-puterinya bernama Zainab r.a. dan

Ummu Kalsum r.a. Rasul Allah s.a.w. dengan gembira sekali menyambut kelahiran cucucucunya.

Al Hasan r.a. dan Al Husein r.a. mempunyai kedudukan tersendiri di dalam hati beliau. Dua

orang cucunya itu beliau asuh sendiri. Kaum muslimin pada zaman hidupnya Nabi Muhammad

s.a.w. menyaksikan sendiri betapa besarnya kecintaan beliau kepada Al Hasan r.a. dan Al

Husein r.a. Beliau menganjurkan supaya orang mencintai dua "putera" beliau itu dan berpegang

teguh pada pesan itu.

Al Hasan r.a. dan Al Husein r.a. meninggalkan jejak yang jauh jangkauannya bagi umat Islam.

Al Husein r.a. gugur sebagai pahlawan syahid menghadapi penindasan dinasti Bani Umayyah.

Semangatnya terus berkesinambungan, melestarikan dan membangkitkan perjuangan yang

tegas dan seru di kalangan ummat Islam menghadapi kedzaliman. Semangat Al Husein r.a.

merupakan kekuatan penggerak yang luar biasa dahsyatnya sepanjang sejarah.

Puteri beliau yang bernama Zainab r.a. merupakan pahlawan wanita muslim yang sangat

cemerlang dan menonjol sekali peranannya, dalam pertempuran di Karbala membela Al Husein

r.a. Di Karbala itulah dinasti Bani Umayyah menciptakan tragedi yang menimpa A1 Husein r.a.

beserta segenap anggota keluarganya. A1 Husein r.a. gugur dan kepalanya diarak sebagai

pameran keliling Kufah sampai ke Syam.

Setelah hidup bersuami isteri selama kurang lebih 10 tahun Sitti Fatimah r.a. meninggal dunia

dalam usia 28 tahun. Sepeninggal Sitti Fatimah r.a., Imam Ali r.a. beristerikan beberapa orang

wanita lainnya lagi. Menurut catatan sejarah, hingga wafatnya Imam Ali r.a. menikah sampai 9

kali. Tentu saja menurut ketentuan-ketentuan yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Dalam satu periode, tidak pernah lebih 4 orang isteri.

Wanita pertama yang dinikahi Imam Ali r.a. sepeninggal Siti Fatimah r.a. ialah Umamah binti

Abil 'Ashiy. Ia anak perempuan iparnya sendiri, Zainab binti Muhammad s.a.w., kakak

perempuan Sitti Fatimah r.a. Pernikahan dengan Umamah r.a. ini mempunyai sejarah tersendiri, yaitu untuk melaksanakan pesan Sitti Fatimah r.a. kepada suaminya sebelum ia

wafat. Nampaknya pesan itu didasarkan kasih-sayang yang besar dari Umamah ra. kepada

putera-puterinya.

Setelah nikah dengan Umamah r.a., Imam Ali r.a. nikah lagi dengan Khaulah binti Ja'far bin

Qeis. Berturut-turut kemudian Laila binti Mas'ud bin Khalid, Ummul Banin binti Hazzan bin

Khalid dan Ummu Walad. Isteri Imam Ali r.a. yang keenam patut disebut secara khusus, karena

ia tidak lain adalah Asma binti Umais, sahabat terdekat Sitti Fatimah r.a. Asma inilah yang

mendampingi Sitti Fatimah r.a. dengan setia dan melayaninya dengan penuh kasih-sayang

hingga detik-detik terakhir hayatnya.

Isteri-isteri Imam Ali r.a. yang ke-7, ke-8 dan ke-9 ialah As-Shuhba, Ummu Sa'id binti 'Urwah bin

Mas'ud dan Muhayah binti Imruil Qeis. Dari 9 isteri, di luar Sitti Fatimah r.a., Imam Ali r.a.

mempunyai banyak anak. Jumlahnya yang pasti masih menjadi perselisihan pendapat di

kalangan para penulis sejarah.

Al Mas'udiy dalam bukunya "Murujudz Dzahab" menyebut putera-puteri Imam Ali r.a. semuanya

berjumlah 25 orang. Sedangkan dalam buku "Almufid Fil Irsyad" dikatakan 27 orang anak. Ibnu

Sa'ad dalam bukunya yang terkenal, "Thabaqat", menyebutnya 31 orang anak, dengan

perincian: 14 orang anak lelaki dan 17 orang anak perempuan. Ini termasuk putera-puteri Imam

Ali r.a. dari isterinya yang pertama.