Sejarah Hidup Imam Ali ra

Sejarah Hidup Imam Ali ra0%

Sejarah Hidup Imam Ali ra pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Imam Ali as

Sejarah Hidup Imam Ali ra

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

pengarang: H.M.H. ALHAMID ALHUSAINI
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Pengunjung: 17536
Download: 3990

Komentar:

Sejarah Hidup Imam Ali ra
Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 22 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 17536 / Download: 3990
Ukuran Ukuran Ukuran
Sejarah Hidup Imam Ali ra

Sejarah Hidup Imam Ali ra

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Bab IV : PERANAN KEPAHLAWANAN

Masih ada sementara penulis sejarah yang dengan berbagai dalih dan alasan mengatakan,

bahwa Imam Ali r.a. bukan orang yang pertama-tama beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.

Sebagai alasan dikatakan, bahwa hukum belum berlaku baginya, karena ketika ia memeluk

Islam usianya masih sangat muda, malahan dikatakan "masih kanak-kanak".

Alasan seperti itu tampak sekali dicari-cari. Sebab, seorang remaja yang berusia 13 tahun,

bukan seorang kanak-kanak lagi. Ia sudah mampu berfikir membedakan mana yang baik dan

mana yang buruk. Usia 13 tahun pada umumnya bisa dipandang sebagai tahap permulaan masa

akil baligh. Dalam usia akil baligh itu orang sudah dapat menerima penjelasan-penjelasan dan

keterangan-keterangan tentang sesuatu dengan baik. Fikiran dan perasaannya pun sudah

berada dalam tingkatan aktif, dapat membedakan mana hal-hal yang menyenangkan atau

menyedihkan, mana yang mengagumkan dan mana yang memuakkan, mana yang masuk akal

dan mana yang tidak.

Seperti diketahui, sejak Imam Ali r.a. berusia 6 tahun langsung diasuh, dibimbing dan dididik

oleh Nabi Muhammad s.a.w. Menurut sistem pendidikan modern, tingkat usia 6 tahun itu justru

yang paling tepat bagi seseorang anak memasuki sekolah dasar, yang akan berlangsung selama

6 tahun. Dari usia 6 tahun sampai 12 tahun dapatlah dikatakan, bahwa Imam Ali r.a. telah

mendapat "pendidikan dasar" dari seorang guru yang paling bijaksana.

Selama periode "pendidikkan dasar" itu, Imam Ali r.a. telah dipersiapkan oleh gurunya untuk

menyongsong datangnya masa pancaroba yang akan menjadi ciri perobahan zaman. Ketika

Imam Ali r.a. menginjak usia 13 tahun, terjadilah bi'tsah Muhammad sebagai Nabi dan Rasul,

yang akan menjungkir-balikkan masa jahiliyah dan menggantinya dengan kecerahan masa

hidayah. Masa "pendidikkan dasar" dan persiapan yang sangat tepat waktunya itulah, yang

kemudian mewarnai sikap hidup dan kepribadian Imam Ali r.a. sebagai orang yang teguh

imannya kepada Allah dan Rasul-Nya.

Ketika berlangsung blokade ekonomi dan pemboikotan sosial yang dilancarkan orang-orang kafir

Qureiys terhadap semua keluarga Bani Hasyim, Imam Ali r.a. ikut langsung menghayati

kesengsaraan dan penderitaan yang menjadi akibatnya. Dengan mengikuti bimbingan serta

tauladan Rasul Allah s.a.w. beserta Sitti Khadijah r.a., dengan tangguh, tabah dan sabar, Imam

Ali r.a. ikut berjuang mempertahankan dan membela da'wah Islam.

Tidak hanya itu saja. Selama hampir empat tahun terkepung dalam Syi'ib, Imam Ali r.a.

memperoleh kesempatan yang luar biasa besarnya untuk menerima pendidikan tauhid dan ilmuilmu

Ilahiyah, langsung dari Rasul Allah s.a.w. Satu kesempatan yang tidak pernah didapat oleh

orang mukmin manapun. Dalam keadaan materiil serba kurang, Imam Ali r.a. yang masih

remaja itu fikirannya terbuka seterang-terangnya guna menerima hidayah llahi, dan dengan

tuntunan Rasul Allah s.a.w. ia dapat mengenal hakekat kebenaran Allah 'Azza wa Jalla.

Tentang kedinian Imam Ali r.a. beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi Muhammad s.a.w.

sendiri pernah menegaskannya. Penegasan itu disaksikan oleh para sahabat dekat dan

terkemuka, yaitu Abu Bakar Ash Shiddiq r.a., Umar Ibnul Khattab r.a. dan Abu Ubaidah r.a. Hal

itu tercantum dalam Kitab "Kanzul Ummal", jilid VI, hlm. 393. Riwayatnya berasal dari Ibnu

Abbas.

Umar Ibnul Khattab berkata: "....Aku, Abu Bakar dan Abu Ubaidah bersama beberapa orang

sahabat Nabi lainnya pernah datang ke rumah Ummu Salmah. Setiba disana aku melihat Ali bin

Abi Thalib sedang berdiri di pintu. Kami katakan kepadanya, bahwa kami hendak bertemu

dengan Rasul Allah s.a.w. Ia menjawab, sebentar lagi beliau akan keluar. Waktu beliau keluar,

kami segera berdiri. Kami lihat beliau bertopang pada Ali bin Abi Thalib dan menepuk-nepuk

bahunya sambil berucap: "Engkau unggul dan akan tetap unggul, orang pertama yang beriman,

seorang mukmin yang paling banyak mengetahui hari-hari Allah (hari-hari turunnya nikmat dan

cobaan), paling setia menepati janji, paling adil dalam bertugas melakukan pembagian

ghanimah, paling bercinta-kasih kepada rakyat, dan paling banyak menderita."

Membela Kebenaran

Di samping perjuangannya di bidang aqidah, ilmu dan pemikiran, Imam Ali r.a. juga terkenal

sebagai seorang muda yang memiliki kesanggupan berkorban yang luar biasa besarnya. Ia

mempunyai susunan jasmani yang sempurna dan tenaga yang sangat kuat. Sudah tentu, itu saja

belum menjadi jaminan bagi seseorang untuk siap mempertaruhkan nyawanya membela

kebenaran Allah dan Rasul-Nya. Imannya yang teguh laksana gunung raksasa dan kesetiaannya

yang penuh kepada Allah dan Rasul-Nya, itulah yang menjadi pendorong utama.

Imam Ali r.a. tidak pernah menghitung-hitung resiko dalam perjuangan suci menegakkan Islam.

Dengan jasmani yang tegap dan kuat, serta iman yang kokoh dan mantap, Imam Ali r.a. benarbenar

mempunyai syarat fisik-materiil dan mental-spiritual untuk menghadapi tahap-tahap

perjuangan yang serba berat.

Di saat-saat Islam dan kaum muslimin berada dalam situasi yang kritis dan gawat, Imam Ali r.a.

selalu tampil memainkan peranan menentukan. Selama hidup ia tak pernah mengalami hidup

santai. Sejak muda remaja sampai akhir hayatnya, ia keluar masuk dari kesulitan ke kesulitan

lain, dan dari pengorbanan ke pengorbanan yang lain. Namun demikian ia tak pernah menyesali

nasib, bahkan dengan semangat pengabdian yang tinggi kepada Allah dan Rasul-Nya, ia

senantiasa siap menghadapi segala tantangan. Satu-satunya pamrih yang menjadi pemikirannya

siang dan malam hanya ingin memperoleh keridhoan Allah dan Rasul-Nya. Kesenangan hidup

duniawi baginya bukan apa-apa dibanding dengan kenikmatan ukhrawi yang telah dijanjikan

Allah s.w.t. bagi hamba-hamba-Nya yang berani hidup di atas kebenaran dan keadilan.

berkali-kali imannya yang teguh diuji oleh Rasul Allah s.a.w. Tiap kali diuji, tiap kali itu juga

lulus dengan meraih nilai yang amat tinggi. Ujian pertama yang maha berat ialah yang terjadi

pada saat Rasul Allah s.a.w. menerima perintah Allah s.w.t. supaya berhijrah ke Madinah.

Seperti diketahui, di satu malam yang gelap-gulita, komplotan kafir Qureiys mengepung

kediaman Rasul Allah s.a.w. dengan tujuan hendak membunuh beliau, bilamana beliau

meninggalkan rumah. Dalam peristiwa ini Imam Ali r.a. memainkan peranan besar: Ia diminta

oleh Rasul Allah s.a.w. supaya tidur di atas pembaringan beliau menutup tubuhnya dengan selimut beliau guna mengelabui mata orang-orang Qureiys. Tanpa tawar-menawar Imam Ali r.a.

menyanggupinya. Ia menangis bukan mencemaskan nyawanya sendiri, melainkan karena ia

khawatir atas keselamatan Rasul Allah s.a.w. yang saat itu berkemas-kemas hendak hijrah

meninggalkan kampung halaman.

Melihat Imam Ali menangis, maka Rasul Allah bertanya: "Apa sebab engkau menangis, Apakah

engkau takut mati?".

Imam Ali r.a. dengan tegas menjawab: "Tidak, ya Rasul Allah! Demi Allah yang mengutusmu

membawa kebenaran! Aku sangat khawatir terhadap diri anda. Apakah anda akan selamat, ya

R,asul Allah?"

"Ya," jawab Nabi Muhammad s.a.w. dengan tidak ragu-ragu.

Mendengar kata-kata yang pasti dari Rasul Allah s.a.w., Imam Ali r.a. terus berkata: "Baiklah,

aku patuh dan kutaati perintah anda. Aku rela menebus keselamatan anda dengan nyawaku, ya

Rasul Allah!"

Imam Ali r.a. segera menghampiri pembaringan Rasul Allah s.a.w. Kemudian berselunjur

mengenakan selimut beliau untuk menutupi tubuhnya. Saat itu orang-orang kafir Qureiys sudah

mulai berdatangan di sekitar rumah Rasul Allah s.a.w. dan mengepungnya dari segala jurusan.

Dengan perlindungan Allah s.w.t. dan sambil membaca ayat 9 Surah Yaa Sin, beliau keluar

tanpa diketahui oleh orang-orang yang sedang mengepung dan mengintai. Orang-orang Qureiys

itu menduga, bahwa orang yang sedang berbaring dan berselimut itu pasti Nabi Muhammad

s.a.w. Mereka yang mengepung itu mewakili suku-suku qabilah Qureiys yang telah bersepakat

hendak membunuh Nabi Muhammad s.a.w. dengan pedang secara serentak. Dengan cara

demikian itu, tidak mungkin Bani Hasyim dapat menuntut balas.

Imam Ali r.a. mengerti benar kemungkinan apa yang akan diperbuat orang-orang kafir Qureiys

terhadap dirinya karena ia tidur di pembaringan Rasul Allah s.a.w. Hal itu sama sekali tidak

membuatnya sedih atau takut. Dengan kesabaran yang luar biasa, ia berserah diri pada Allah

s.w.t. Ia yakin, bahwa Dia-lah yang menentukan segala-galanya.

Menjelang subuh, Imam Ali r.a. bangun. Gerombolan Qureiys terus menyerbu ke dalam rumah.

Dengan suara membentak mereka bertanya: "Mana Muhammad? Mana Muhammad?"

"Aku tak tahu di mana Muhammad berada!" jawab Imam Ali r.a. dengan tenang.

Gerombolan Qureiys itu segera mencari-cari ke sudut-sudut rumah. Usaha mereka sia-sia

belaka. Gerombolan itu kecewa benar. Di dalam hati mereka bertanya-tanya: "Kemana ia

pergi?" Dalam suasana gaduh Imam Ali r.a. bertanya: "Apa maksud kalian?"

"Mana, Muhammad? Mana Muhammad?" mereka mengulang-ulang pertanyaan semula.

"Apakah kalian mengangkatku menjadi pengawasnya?" ujar Imam Ali r.a. dengan nada

memperolok-olok. "Bukankah kalian sendiri berniat mengeluarkannya dari negeri ini? sekarang

ia sudah keluar meninggalkan kalian!"

Ucapan Imam Ali r.a. sungguh-sungguh menggambarkan ketabahan dan keberanian hatinya.

Cahaya pedang terhunus yang berkilauan, samasekali tidak dihiraukan, bahkan orang-orang

Qureiys yang kalap itu dicemoohkan. Seandainya ada seorang saja dari gerombolan itu

mengayunkan pedang ke arah Imam Ali r.a., entahlah apa yang terjadi. Tetapi Allah tidak

menghendaki hal itu.

Keesokan harinya, Imam Ali r.a. berkemas-kemas mempersiapkan segala sesuatu untuk berangkat membawa beberapa orang wanita Bani Hasyim, terutama Sitti Fatimah r.a.,

menyusul perjalanan Nabi Muhammad s.a.w. dalam hijrahnya ke Madinah.

Seperti telah diterangkan di muka, rombongan Imam Ali r.a. berangkat secara terang-terangan

di siang hari. Setibanya di Dhajnan ia membuka babak konfrontasi bersenjata antara kaum

muslimin dan kaum musyrikin.

Imam Ali r.a. yang ketika itu berusia 26 tahun, merupakan orang pertama yang menghunus

pedang untuk mematahkan agresi bersenjata orang-orang kafir Qureiys. Terbelahnya tubuh

Jenah menjadi dua dan larinya 7 orang pasukan berkuda Qureiys yang semula mengejar

rombongan, merupakan tonggak sejarah yang menandai akan datangnya masa cerah bagi kaum

muslimin dan masa suram bagi kaum musyrikin.

Bab IV-1 : Perang Badr

Perang Badr merupakan perang pertama yang terpaksa diarungi oleh kaum muslimin

menghadapi musuh yang jauh lebih besar jumlahnya. Perang ini merupakan demonstrasi

pertama dari ketangguhan kaum muslimin melawan serangan kaum musyrikin Qureiys. Untuk

pertama kalinya panji perang Rasul Allah s.a.w. berkibar di medan laga. Dan yang diberi

kepercayaan memegang panji yang melambangkan tekad perjuangan menegakkan agama Allah

s.w.t. itu, ialah Imam Ali bin Abi Thalib r.a.

Tanpa pengalaman perang sama sekali dan dengan kekuatan pasukan yang hanya sepertiga

kekuatan musuh, pasukan muslimin dengan kebulatan iman yang teguh berhasil menancapkan

tonggak sejarah yang sangat menentukan perkembangan Islam lebih lanjut. Perlengkapan dan

persenjataan kaum muslimin waktu itu boleh dibilang nol. Pasukan berkuda dan penunggang

unta, yaitu pasukan yang dipandang paling ampuh dan "modern" pada masa itu, praktis tidak

dipunyai oleh kaum muslimin. Demikian langkanya kuda dan unta dibanding dengan jumlah

pasukan yang ada, sampai-sampai seekor unta dikendarai oleh dua hingga empat orang secara

bergantian. Hanya ada seekor kuda yang tersedia, yaitu yang dikendarai oleh Al Miqdad bin Al

Aswad Al Kindiy. Itulah kekuatan "kavaleri" Rasul Allah s.a.w. di dalam perang Badr.

Dalam perang Badr itu pasukan muslimin tidak sedikit yang menerjang musuh hanya dengan

senjata-senjata tajam yang sangat sederhana. Sedangkan musuh yang dilawan mempunyai

persenjataan lengkap dengan kuda-kuda tunggang dan unta-unta. Tetapi sebenarnya kaum

muslimin mempunyai senjata yang lebih ampuh dibanding dengan lawannya, yaitu

kepemimpinan Rasul Allah s.a.w. dan kepercayaan kuat bahwa Allah pasti akan memberikan

pertolongan-Nya. Allahu Akbar.

Perang Badr sebenarnya terjadi di luar rencana. Pada mulanya kaum muslimin di bawah

pimpinan Rasul Allah s.a.w. bermaksud hendak mencegat kafilah Abu Sufyan bin Harb yang

telah meninggalkan Makkah berangkat menuju negeri Syam, dan akan kembali ke Makkah lewat

sebuah tempat bernama 'Usyaira. Di tempat itulah kaum muslimin siap menghadang, tetapi

ternyata kafilah Abu Sufyan sudah lolos lebih dulu.

Ketika peperangan mulai berkobar, Imam Ali bersama Hamzah bin Abdul Mutthalib dan

beberapa orang lainnya, berada di barisan terdepan. Pada tangan Imam Ali r.a. berkibar panji

perang Rasul Allah s.a.w. Ia terjun ke medan laga menerjang pasukan musuh yang jauh lebih

besar dan kuat. Dalam perang ini untuk pertama kalinya kalimat "Allahu Akbar" berkumandang

membajakan tekad pasukan muslimin.

Saat itu terdengar suara musuh menantang: "Hai Muhammad suruhlah orang-orang yang

berwibawa dari asal Qureiys supaya tampil!"

Mendengar tantangan itu, laksana singa lapar Imam Ali r.a. meloncat maju ke depan mendekati

suara yang menantang-nantang. Terjadilah perang tanding (duel) antara Imam Ali r.a. dengan

Al Walid bin Utbah, saudara Hindun isteri Abu Sufyan. Dalam pertempuran yang seru itu, AlWalid mati di ujung pedang Imam Ali r.a.

Dalam perang Badr ini 70 orang pasukan kafir Qureiys mati terbunuh, dan hampir separonya

mati di ujung pedang Imam Ali r.a. Kecuali itu lebih dari 70 orang pemuka Qureiys berhasil

ditawan dan digiring ke Madinah. Perang Badr yang berakhir dengan kemenangan kaum

muslimin itu merupakan fajar pagi yang menandai pesatnya kemajuan agama Allah s.w.t.

Bab IV-2 : Perang Uhud

Dalam peperangan yang kedua ini, Rasul Allah s.a.w. menyerahkan panji kaum muhajirin

kepada Imam Ali r.a. Sedangkan panji kum Anshar diserahkan kepada salah seorang di antara

mereka sendiri. Peperangan Uhud terkenal dalam sejarah sebagai peperangan yang amat

gawat. 700 pasukan muslimin harus berhadapan dengan 3.000 pasukan kafir Qureiys yang

dipersiapkan dengan perbekalan dan persenjataan serba lengkap. Kecuali itu diperkuat pula

dengan pasukan wanita di bawah pimpinan Hindun binti 'Utbah, isteri Abu Sufyan bin Harb,

guna memberikan dorongan moril, agar orang-orang kafir Qureiys jangan sampai lari

meninggalkan medan tempur.

Untuk menghadapi kaum musyrikin yang sudah memusatkan kekuatan di Uhud, pasukan

muslimin di bawah pimpinan Rasul Allah s.a.w. menuju ke tempat itu, dengan memotong jalan

sedemikian rupa, sehingga gunung Uhud berada di belakang mereka. Kemudian Rasul Allah

s.a.w. mulai mengatur barisan. 50 orang pasukan pemanah ditempatkan pada sebuah lembah di

antara dua bukit. Kepada mereka diperintahkan supaya menjaga pasukan yang ada di belakang

mereka. Ditekankan jangan sampai meninggalkan tempat, walau dalam keadaan bagaimanapun

juga. Sebab hanya dengan senjata panah sajalah serbuan pasukan berkuda musuh dari belakang

dapat ditahan.

Perang Uhud mulai berkobar dengan tampilnya Imam Ali r.a. ke depan melayani tantangan

Thalhah bin Abi Thalhah yang berkoar menantang-nantang: "Siapakah yang akan maju berduel?"

Seperti api disiram minyak semangat Imam Ali r.a. membara. Dengan ayunan langkah tegap dan

tenang, serta sambil mengeretakkan gigi, ia maju dengan pedang terhunus. Baru saja Thalhah

bin Abi Thalhah menggerakan tangan hendak mengayun pedang, secepat kilat pedang Imam Ali

r.a. "Dzul Fikar" menyambarnya hingga terbelah dua. Betapa bangga Rasul Allah s.a.w.

menyaksikan ketangkasan putera pamannya itu. Ketika itu kaum muslimin yang menyaksikan

kesigapan Imam Ali r.a., mengumandangkan takbir berulang-ulang.

Dengan tewasnya Thalhah bin Ahi Thalhah, pertarungan sengit berkecamuk antara dua pasukan.

Sekarang Abu Dujanah tampil dengan memakai pita maut di kepala dan pedang terhunus di

tangan kanan yang baru saja diserahkan oleh Rasul Allah s.a.w. kepadanya. Ia seorang yang

sangat berani. Laksana harimau keluar dari semak belukar ia maju menyerang musuh dan

membunuh siapa saja dari kaum musyrikin yang berani mendekatinya. Bersama Abu Dujanah,

Imam Ali r.a. mengobrak-abrik barisan musuh.

Dalam pertempuran ini Hamzah bin Abdul Mutthalib tidak kalah semangat dibanding dengan

putera saudaranya sendiri, Imam Ali r.a., dan Abu Dujanah. Hamzah demikian lincah dan

tangkas melabrak pasukan musyrikin dan menewaskan tiap orang yang berani mendekat. Ia

terkenal sebagai pahlawan besar dalam menghadapi musuh. Sama seperti dalam perang Badr,

dalam perang Uhud ini Hamzah benar-benar menjadi singa dan merupakan pedang Allah yang

sangat ampuh. Banyak musuh yang mati di ujung pedangnya.

Dalam pertempuran antara 700 pasukan muslimin melawan 3000 pastikan musyrikin itu, kita

saksikan kejantanan trio Imam Ali r.a., Hamzah dan Abu Dujanah. Mereka merupakan tauladan

dan wujud dari kekuatan moril yang sangat tinggi. Suatu kekuatan yang membuat pasukan

Qureiys menderita kehancuran mental, mundur dan surut.

Tiap panji mereka lepas dari tangan pemegangnya dan diganti oleh pemegang panji yang lain, tiap kali itu juga dipangkas habis oleh tiga sejoli pahlawan Islam itu. Thalhah bin Abi Thalhah

kepalanya dibelah dua oleh Imam Ali r.a. Utsman bin Abi Thalhah dipotong gembungnya oleh

Hamzah, Abu Saad lolos dari ujung pedang Abu Dujanah dan berusaha merebut panji musyrikin

Qureiys yang sudah dirobek-robek oleh Abu Dujanah, tetapi keburu dipisahkan kepalanya dari

batang tubuhnya oleh Imam Ali r.a. Sembilan orang pemegang panji musyrikin Qureiys tewas

berturut-turut di ujung pedang Imam Ali r.a., Hamzah dan Abu Dujanah.

Mental pasukan Qureiys sudah patah sama sekali. Pasukan wanita mereka lari terbirit-birit.

Berhala-berhala yang mereka bawa untuk dimintai restu dalam peperangan, sekarang sudah

jatuh terpelanting dari punggung unta. Dalam keadaan masing-masing lari untuk

menyelamatkan diri, semua perbekalan yang mereka bawa dari Makkah ditinggalkan dan

senjata-senjata di buang di kiri-kanan jalan.

Alangkah banyaknya barang-barang itu. Hal ini membuat pasukan muslimin lengah dan lupa

daratan. Fikiran mereka sudah teralih kepada kekayaan duniawi. Pasukan pemanah yang di

wanti-wanti supaya jangan sampai meninggalkan tempat, walau dalam keadaan bagaimanapun

juga, sekarang mulai mengarahkan pandangan-mata kepada teman-teman yang sedang sibuk

mengangkuti barang-barang rampasan. Melihat barang-barang sedemikian banyaknya, mereka

tak dapat lagi menahan air liur. Bahkan khawatir kalau-kalau tak akan mendapat bagian!

Sebagian besar pasukan pemanah itu turun meninggalkan lereng gunung untuk ikut ambil

bagian dalam kesibukan mengumpulkan barang-barang peninggalan musuh. Pesan Rasul Allah

s.a.w. mereka lupakan. Apalagi yang harus dikerjakan, tokh peperangan sudah kita menangkan?

Begitulah fikir mereka. Pada saat itulah Khalid bin Al Walid, seorang komandan pasukan

berkuda Qureiys, mengambil kesempatan untuk menyerbu dari belakang kaum muslimin yang

sedang memperebutkan barang rampasan.

Khalid bin Al Walid melancarkan serangan sengit. Bencana berbalik menimpa kaum muslimin.

Setelah melihat situasi berubah, orang-orang kafir Qureiys yang lari kembali lagi dan melakukan

serangan dahsyat, hingga pasukan muslimin terpaksa melemparkan barang-barang dan senjata

rampasan yang baru dikumpulkan. Mau tidak mau kaum muslimin sekarang harus menghunus

pedang guna menangkis.

Sayang seribu sayang. Mereka hanya berjuang untuk menyelamatkan diri dari ancaman maut.

Iman mereka menjadi kendor, barisan tercerai-berai, terpisah dari pimpinan Rasul Allah s.a.w.

Keadaan mereka sudah sedemikian kacau dirangsek oleh serangan musuh, sehingga tak aneh

kalau sampai terjadi pedang seorang muslim tanpa disengaja mengenai saudaranya sendiri.

Di saat-saat yang genting seperti itu, Imam Ali r.a. dan para sahabat lainnya segera melindungi

Rasul Allah s.a.w. Dengan segenap kekuatan yang ada mereka menangkis tiap serangan yang

datang, guna menyelamatkan Rasul Allah s.a.w. Semua sudah bertekad hendak mati syahid,

lebih-lebih setelah melihat Rasul Allah s.a.w. terkena lemparan batu besar yang dicampakkan

oleh 'Utbah bin Abi Waqqash. Akibat lemparan batu itu geraham Rasul Allah s.a.w. patah,

wajahnya pecah-pecah, bibirnya luka parah, dan dua buah kepingan rantai topi besi yang

melindungi wajah beliau menembus pipinya.

Setelah dapat menguasai diri kembali, Rasul Allah s.a.w. berjalan perlahan-lahan dikelilingi

oleh sejumlah sahabat. Tiba-tiba beliau terperosok ke dalam sebuah liang yang sengaja digali

oleh Abu 'Amir untuk menjebak pasukan muslimin. Imam Ali r.a. bersama beberapa orang

sahabat lainnya cepat-cepat mengangkat beliau. Kemudian dibawa naik ke gunung Uhud untuk

diselamatkan dari pengejaran musuh. Di celah-celah bukit, Imam Ali r.a. mengambil air untuk

membasuh wajah Rasul Allah s.a.w. dan menyirami kepala beliau. Dua buah kepingan rantai

besi yang menancap dan menembus pipi beliau dicabut oleh Abu Ubaidah bin Al Jarrah dengan

giginya, sampai dua buah gigi-serinya tanggal.

Kaum musyrikin Quxeiys dengan kemenangan itu merasa sudah sungguh-sungguh berhasil

menebus kekalahan dalam perang Badr. Seperti yang dikatakan oleh Abu Sufyan: "Yang

sekarang ini untuk menebus peristiwa perang Badr. Sampai jumpa lagi tahun depan!"

Akan tetapi isterinya yang bernama Hindun binti 'Utbah belum merasa cukup dengan

kemenangan itu. Dan belum puas kalau hanya mendengar berita tentang tewasnya Hamzah bin

Abdul Mutthalib, yang telah membunuh seorang saudaranya dalam perang Badr. Bersama

beberapa orang wanita lain ia mencari-cari mayat kaum muslimin. Mereka memotongi telinga

dan hidung mayat-mayat itu dan dijadikan barang mainan. Tidak itu saja, mayat Hamzah

dibedah perutnya, dikeluarkan jantungnya (hatinya), lalu dikunyah-kunyah, tetapi ia tak

sampai dapat menelannya. Demikian kejam dan sadisnya Hindun itu, yang kemudian ditiru oleh

teman-temannya, bahkan tidak sedikit pula orang lelaki musyrikin Qureiys meniru sadisme

Hindun.

Dari sangat kejinya perbuatan mereka itu, sampai pemimpin mereka, yakni suaminya Hindun,

yaitu Abu Sufyan tidak mau bertanggung-jawab dan berusaha mencuci-tangan. Meskipun Abu

Sufyan telah mencuci-tangan, namun kekotoran dirinya tak dapat disembunyikan. Inilah katakata

Abu Sufyan: "Mayat-mayat kalian mengalami penganiayaan. Aku sungguh tidak senang,

tetapi juga tidak benci. Aku tidak memerintahkan, tetapi juga tidak melarang."

Perang Uhud benar-benar memberi pelajaran berharga kepada kaum muslimin. Daya tarik

keduniaan hampir saja menghancurkan kaum muslimin yang masih pada awal pertumbuhannya.

Bab IV-3 : Perang Ahzab (Kandhaq)

Perang ini menjadi abadi dan masyhur dalam sejarah Islam, antara lain karena diikuti dengan

turunnya firman Allah s.w.t. sebagaimana tercantum dalam Al-Qur'an (Surah Al-Ahzab). Untuk

pertama kalinya dalam usia yang masih muda, kaum muslimin di Madinah dikepung oleh kurang

lebih 10.000 orang pasukan musyrikin, yang terdiri dari berbagai suku dan qabilah. Pasukan itu

diperkuat lagi oleh kaum Yahudi Banu Quraidhah, yang mengkhianati perjanjian perdamaian

dengan Rasul Allah s.a.w. Mereka ini bergabung dengan pasukan musyrikin Qureiys yang

membeludak dari Makkah guna mengepung kota Madinah.

Peperangan tersebut dinamakan juga perang Khandaq (Parit), karena untuk menanggulangi

penyerbuan kaum musyrikin Qureiys atas usul dan prakarsa Salman Al Farisi, dengan

persetujuan Rasul Allah s.a.w., kaum muslimin menggali parit-parit yang cukup lebar dan

dalam di sekitar pinggiran kota Madinah

Di perang Khandaq ini keampuhan dan ketangkasan Imam Ali r.a. juga teruji dalam perang

tanding melawan seorang pendekar Qureiys yang terkenal ulung, yaitu 'Amr bin Abdu Wudd

Al'Amiri. 'Amr seorang prajurit berkuda yang gesit dan lincah bermain pedang atau tombak.

Dengan congkak dan sombong 'Amr bin Abdu Wudd berani maju ke depan menyeberangi parit

pertahanan kaum muslimin, lewat bagian yang agak dangkal dan sempit. Sambil membanggakan

kebolehannya mengendalikan kuda, ia berteriak menantang: "Hai . Apakah tak seorang pun

yang berani keluar untuk bertanding?"

Tantangan dari seorang jagoan yang garang itu tidak ditanggapi oleh pasukan muslimin. Kaum

muslimin banyak yang mengenal siapa 'Amr bin Abdu Wudd itu dan betapa tenar namanya

sebagai pendekar yang mahir berperang tanding.

Setelah melihat kenyataan tak ada seorang pun yang menanggapi tantangan 'Amr, Imam Ali r.a.

tidak tahan lagi menahan perasaan geramnya. Ia segera berdiri dan berkata kepada Rasul Allah

s.a.w.: "Ya Rasul Allah, biarlah saya yang menandingi dia!"

Rasul Allah s.a.w. yang mengetahui benar ' Amr itu seorang pendekar yang kenyang makan

"garam" perang tanding, beranggapan, bahwa 'Amr bukanlah tandingan bagi saudara misannya

yang baru berusia kurang dari 30 tahun. Karena itu maka beliau menyahut: "Duduk sajalah engkau, dia adalah 'Amr!"

Karena tidak ada juga jawaban dari fihak muslimin, maka 'Amr yang beringas itu berkoar lagi:

"Mana itu sorga yang akan kalian masuki bila kalian mati terbunuh, hah?!"

Ejekan itu terasa seperti sembilu yang sangat mengiris-iris hati kaum muslimin, tetapi mereka

tetap diam. Dengan darah muda yang mendidih laksana lahar yang menyembur dari kepundan,

Imam Ali r.a. tidak dapat lagi menahan gejolak hatinya mendengar penghinaan yang sangat

menyakitkan itu. Ia mendesak lagi kepada Rasul Allah s.a.w.: "Biarlah saya yang

menghadapinya; ya Rasul Allah!"

Tetapi Rasul Allah s.a.w. kembali memerintahkan supaya Imam Ali r.a. duduk dan tenang,

sebab yang akan dihadapinya bukan sembarang orang. Dengan perasaan yang sudah terbakar

dan dengan nada gemas, Imam Ali r.a. berusaha meyakinkan Rasul Allah s.a.w. bahwa ia

sanggup melawan dedengkot kaum musyrikin itu: "Biar 'Amr sekalipun ya Rasul Allah!"

Mengingat tekad Imam Ali r.a. yang begitu bulat, dan mengingat pula perlu membangkitkan

keberanian kaum muslimin, akhirnya Rasul Allah s.a.w. memberi izin dan restu kepada Imam

Ali r.a. untuk tampil ke depan. Imam Ali r.a. dengan hangat menyambut persetujuan dan idzin

Rasul Allah s.a.w. Ia segera meloncat ke depan menyongsong tantangan seorang lawan yang

bukan sembarangan. Dengan mengenakan baju besi dan menghunus pedangnya yang tersohor

dengan nama "Dzul Fiqar", Imam Ali r.a. maju dengan ayunan langkah yang tegap dan diiringi

doa Rasul Allah s.a.w.: "Ya Allah, dia adalah saudaraku dan putera pamanku. Janganlah

Kaubiarkan aku seorang diri tanpa dia. Sesungguhnya Engkau tempat aku berserah diri yang

sebaik-baiknya."

Setelah berhadap-hadapan dengan 'Amr, tanpa perasaan gentar sedikit pun Imam Ali r.a.

bertanya kepada 'Amr: "Hai 'Amr, bukankah engkau pernah berjanji, bahwa engkau akan

menerima ajakan seorang dari Qureiys untuk menempuh salah satu di antara dua jalan hidup?"

"Ya!" jawab 'Amr dengan singkat dan angkuh.

"Engkau kuajak. ke jalan Allah dan Rasul-Nya, ke jalan Islam", kata Imam Ali r.a. melanjutkan.

Kata-kata Imam Ali r.a. ini diucapkan dengan suara lantang yang memecahkan kesunyian garis

pertempuran. Hampir semua mata dua pasukan yang siap tempur tertuju kepada dua sosok

tubuh yang sedang berhadap-hadapan.

'Amr bin Abdu Wudd yang sudah cukup usia, garang dan banyak pengalaman menghadapi perang

tanding kini bertatap muka dengan seorang anak muda yang berdiri tegak di hadapannya.

Pemuda pemberani, jantan dan perkasa, berbaju besi dengan pedang terhunus di tangan.

Sungguh anggun kelihatannya. Konfrontasi antara dua orang itu melambangkan konfrontasi dari

dua kekuatan yang berlawanan. Kekuatan lama yang sudah lapuk dan kekuatan baru yang

sedang tumbuh, yaitu kekuatan jahiliyah dan kekuatan lslam.

Mendengar pertanyaan yang bernada desakan itu, dengan cepat 'Amr menyahut: "Aku tidak

membutuhkan itu!"

"Kalau begitu, mari kita mulai bertanding!" tantang Imam Ali r.a. sambil siaga menghadapi

gerakan 'Amr. Akan tetapi tantangan Imam Ali r.a. yang serius itu diremehkan saja oleh 'Amr:

"Aku tak suka menumpahkan darahmu. Ayahmu kan teman karibku!"

Tanpa memperdulikan ucapan 'Amr, Imam Ali r.a. dengan perasaan tak sabar lagi berucap:

"Tetapi, demi Allah, aku justru ingin membunuhmu!"

Ucapan seorang muda yang dianggap ketus oleh 'Amr itu, ternyata membangkitkan amarah dan meluapkan emosinya. Cepat saja darah perang yang mengalir dalam tubuh 'Amr mendidih.

Naluri keprajuritannya secara cepat menyentakkan gerak refleksi dan langsung seketika itu

juga Imam Ali r.a. diserang. Demikian gesit dan tangkasnya 'Amr mengayunkan pedang dengan

dorongan tenaga yang luar biasa. Tetapi Imam Ali r.a. tidak kalah tinggi nalurinya dan gerak

refleksinya.

'Amr yang sejak semula meremehkan lawan, ternyata sia-sia belaka dalam mengerahkan segala

kekuatan ototnya untuk menebas leher Imam Ali r.a. Kesempatan yang meleset itu

dipergunakan sebaik-baiknya oleh Imam Ali r.a. Ia mengelak, menangkis dan menyerang dalam

gerak beruntun secara kilat. Pada saat 'Amr kehilangan keseimbangan badan, Pedang Dzul Fiqar

yang diayun kuat-kuat oleh Imam Ali r.a. menyambar bahu kanan 'Amr sampai terbelah dua.

Pendekar kebanggaan Qureiys itu jatuh dari atas kuda menggelepar di tanah mandi darah dan

debu.

Perang tanding berlangsung demikian cepat dan selesai jauh lebih cepat dari yang diperkirakan

orang. Pada mulanya banyak yang menduga bahwa Imam Ali r.a. yang "masih hijau" itu akan

"dibelah dua" oleh pedang 'Amr. Oleh karena itu ketika jagoan Qureiys itu tersungkur tidak

bangkit kembali, banyak orang dari kedua pasukan terkesima. Hampir saja mereka, tidak

mempercayai apa yang sudah terjadi. Baru setelah Imam Ali r.a. menyerukan takbir, kaum

muslimin menyambutnya dengan mengumandangkan kebesaran Allah: Allaahu Akbar ...Allaahu

Akbar.... !

Tanpa perasaan sombong dan tinggi hati Imam Ali r.a. kemudian menuju ke tempat Rasul Allah

s.a.w. Dengan perasaan haru dan syukur ke hadirat Allah s.w.t., Rasul Allah s.a.w.

mengeluarkan pernyataan singkat: "Perang tanding yang dilaksanakan oleh Ali bin Abi Thalib

melawan 'Amr bin Abdu Wudd itu merupakan perbuatan paling mulia yang dilakukan umatku

sampai hari kiyamat."

Akan tetapi terbunuhnya jagoan Qureiys belum menyelesaikan jalannya perang Khandaq.

Namun terbunuhnya tokoh Qureiys itu menimbulkan kegoncangan yang hebat di kalangan

pasukan penyerbu. Semangat pasukan penyerbu makin merosot, setelah harapan mereka untuk

dapat menerobos parit makin tipis.

Dalam keadaan seperti itu terjadilah angin ribut dan hujan deras diiringi suara petir sambar-menyambar.

Kemah-kemah dan perkakas-perkakas masak kaum musyrikin beterbangan dilanda

angin kencang. Kubu pertahanan mereka menjadi porak poranda dan banyak sekali diantara

mereka yang tak tahan menghadapi tekanan udara dingin.

Di tengah-tengah hembusan angin puyuh seribut itu, Abu Sufyan yang dalam perang Khandaq ini

bertindak selaku rimpinan pasukan penyerbu, berkata kepada anak buahnya: "Saudara-saudara,

kita tak perlu lama lagi tinggal di tempat ini. Banyak kuda dan unta kita yang sudah binasa.

Bani Quraidah sudah tak menepati janjinya lagi dengan kita. Bahkan kita mendengar hal-hal

dari mereka yang tidak menyenangkan hati. Tambah lagi kita menghadapi angin kencang begini

ributnya. Maka itu lebih baik kita pulang saja. Aku sendiri akan berangkat pulang!"

Di tengah-tengah angin puyuh yang begitu kencangnya, Abu Sufyan dan rombongan secara

bergelombang meninggalkan tempat dan kembali ke Makkah. Keesokan harinya sudah tak ada

lagi seorang Qureiys atau Yahudi yang masih tinggal. Semuanya sudah jauh meninggalkan parit.

Rasul Allah bersama kaum muslimin lainnya dengan tenang kembali ke tempat kediaman

masing-masing. Semuanya memanjatkan syukur sedalam-dalamnya kepada Allah s.w.t. yang

telah menghindarkan mereka dari marabahaya.

Perjanjian Hudaibiyah

Beberapa waktu sesudah perang Ahzab (Khandaq), Rasul Allah s.a.w. berangkat membawa

kaum muslimin kurang lebih 1500 orang. Beliau berangkat ke Makkah bukan dengan maksud untuk berperang, melainkan untuk menunaikan ibadah haji. Tak ada sebilah pedang yang

terhunus.

Berita tentang keberangkatan Rasul Allah s.a.w. ini sampai juga kepada kaum Qureiys.

Mendengar berita itu kaum Qureiys segera membikin persiapan. Mereka khawatir kalau-kalau

keberangkatan Rasul Allah s.a.w. itu hanya merupakan tipu muslihat untuk menyerbu Makkah.

Khalid bin Al Walid dan pasukannya menghadang kaum muslimin di tempat beberapa mil

jauhnya di luar kota Makkah.

Rasul Allah s.a.w. setelah mendengar berita gerak-gerik pasukan Qureiys itu tetap melanjutkan

perjalanan. Untuk menghindari konflik senjata beliau dengan sejumlah sahabat menempuh

jalan lain, meskipun jalan itu agak sulit dilewati. Akhirnya beliau tiba di sebuah tempat

bernama Hudaibiyah.

Mengetahui perkembangan baru yang ditempuh oleh rombongan Rasul Allah s.a.w. Khalid bin

A1 Walid dan pasukannya segera kembali ke Makkah untuk mempertahankan kota. Ketika itu

semua orang Qureiys sudah dihinggapi kegelisahan dan khawatir menghadapi kaum muslimin.

Walaupun begitu mereka tetap bertekad hendak mencegah masuknya rombongan Rasul Allah

s.a.w. dengan cara apa saja.

Selang beberapa hari, fihak Qureiys mengirim utusan kepada Nabi Muhammad s.a.w. guna

mengetahui benar-benar apa yang sesungguhnya menjadi maksud kedatangan beliau dan

rombongan. Setelah melakukan dialog seperlunya, perutusan itupun kembali. Mereka percaya,

bahwa kedatangan kaum muslimin benar-benar hendak menunaikan ibadah haji. Sewaktu hal

itu dilaporkan, kaum musyrikin Qureiys tak mempercayainya. Malahan perutusan itu dituduh

berkhianat hendak membantu Rasul Allah s.a.w.

Kaum musyrikin mengirim utusan lagi dipimpin seorang gembong terkemuka. Hasilnya sama

saja dengan perutusan yang pertama: Kaum musyrikin Qureiys masih tak percaya. Kini dikirim

utusan seorang saja, yaitu 'Urwah bin Mas'ud Ats Tsaqafiy. Sekembalinya dari perundingan

dengan Nabi Muhammad s.a.w., 'Urwah mengemukakan kepada kaum musyrikin Qureiys, bahwa

"Rasul Allah s.a.w. menawarkan satu rencana yang baik, oleh sebab itu terimalah!"

Sejalan dengan itu Rasul Allah sendiri kemudian mengirim seorang utusan, yaitu Kharrasiy Al

Khuza'iy guna menemui orang Qureiys. Musyrikin Qureiys tidak mau menerima utusan itu.

Bahkan unta kendaraannya dibantai dan hampir saja ia dibunuh, kalau tidak dicegah oleh salah

seorang gembong Qureiys.

Rasul Allah s.a.w. berusaha terus. Kali ini yang dikirim Utsman bin Affan r.a. Ia baru masuk

Makkah setelah ada jaminan dari anak pamannya, Aban bin Sa'id Al Ash. Dalam pertemuannya

dengan orang-orang Qureiys, Utsman bin Affan menjelaskan maksud kedatangan Rasul Allah

s.a.w. dan rombongan tidak lain hanya ingin menunaikan ibadah haji.

Kaum musyrikin Qureiys memang kepala batu. Utsman bin Affan mereka tahan selama 3 hari. Di

kalangan kaum muslimin terdengar desas-desus bahwa Utsman bin Affan telah mati dibunuh.

Untuk menghadapi kemungkinan Utsman bin Affan r.a. benar-benar dibunuh oleh orang-orang

Qureiys, Nabi Muhammad berseru kepada para sahabatnya supaya menyatakan janji setia

(bai'at) guna melancarkan serangan menuntut bela melawan penghianatan Qureiys. Kaum

muslimin berlomba-lomba menyambut seruan beliau. Mereka siap memanggul senjata untuk

berperang melawan Qureiys.

Janji setia kaum muslimin kepada Rasul Allah s.a.w. yang bersejarah itu dilakukan oleh mereka

di bawah sebatang pohon. Peristiwa itu dikenal dengan nama "Bai'atur Ridhwan" (janji setia

yang diridhoi Allah). Satu peristiwa yang dipuji Allah s.w.t., seperti yang termuat dalam S. Al

Fath:l8 (A1 Qur'an).

Mendengarkan kebulatan tekad kaum muslimin di bawah pimpinan Rasul Allah s.a.w. itu, kaum

musyrikin Qureiys merasa gentar. Mereka sudah mengenal betapa gigihnya kaum muslimin

berperang, seperti yang telah dibuktikan pada masa-masa yang lalu. Musyrikin Qureiys

mengirim utusan yang dipimpin oleh Suhail bin Amr. Setelah perutusan itu mengadakan

perundingan dengan Rasul Allah s.a.w., dua belah fihak sepakat untuk menanda-tangani sebuah

perjanjian gencatan senjata.

Nabi Muhammad s.a.w. memerintahkan Imam Ali r.a. supaya menuliskan nashah perjanjian

yang akan ditanda-tangani oleh kedua belah fihak. Sedangkan beliau sendiri mendiktekan

syaratsyarat yang telah disetujui bersama. Pertama-tama beliau berkata: "Tulislah: "Bismillaahi

ar-Rahman ar-Rahim . ."

Mendengar kalimat itu Suhail menukas: "Berhenti dulu. Aku tidak mengerti apa ar-Rahman ar-

Rahim" itu! Tulis saja "Dengan nama-Mu, ya Allah. ."

Tanpa menyangkal lagi Rasul Allah s.a.w. memerintahkan Imam Ali r.a. supaya menulis apa

yang diminta oleh Suhail. Kemudian beliau meneruskan, "Tulislah: 'Inilah perjanjian yang

diadakan oleh Muhammad Rasul Allah dengan Suhail bin 'Amr'…"

Suhail memotong "Berhenti dulu. Kalau aku percaya engkau Rasul Allah, tentu aku tidak akan

memerangimu. Tuliskan saja namamu dan nama ayahmu...!"

Rasul Allah menuruti apa yang diminta oleh Suhail. Beliau memerintahkan Imam Ali r.a. supaya

menuliskan kalimat: "Inilah perjanjian yang telah disepakati Muhammad bin Abdullah..." dst.

Kemudian dilanjutkan dengan penulisan teks syarat-syarat perjanjian yang terdiri dari empat

pokok:

1. Perjanjian gencatan senjata antara kedua belah fihak berlaku selama masa 10 tahun.

2. Jika ada orang dari fihak Qureiys memeluk Islam kemudian bergabung dengan Rasul Allah

s.a.w. tanpa seizin Qureiys, orang itu akan dikembalikan oleh Rasul Allah kepada Qureiys.

Sebaliknya jika ada orang dari fihak Rasul Allah yang murtad dan kembali ke fihak Qureiys,

orang itu oleh Qureiys tidak akan dikembalikan kepada Rasul Allah.

3. Jika ada orang Arab ingin bersekutu dengan Rasul Allah, dibolehkan. Dan apabila ada orangorang

Arab lain ingin bersekutu dengan kaum Qureiys, ia bebas berbuat demikian.

4. Rasul Allah dengan para pengikutnya harus pulang meninggalkan Makkah. Mereka berhak

untuk kembali lagi ke Makkah pada musim haji yang akan datang untuk berziarah ke Baitul

Haram, dengan syarat: mereka hanya akan tinggal di Makkah selama 3 hari, dan tidak akan

mengeluarkan pedang dari sarungnya.

Tidak lama setelah "Perjanjian Hudaibiyah" itu ditandatangani, Banu Khuza'ah segera

menyatakan bersekutu dengan Rasul Allah s.a.w. Sedangkan Banu Bakr menyatakan bersekutu

dengan fihak Qureiys.

Dengan perjanjian tersebut kaum muslimin memperoleh kesempatan leluasa untuk menyiarkan

agama Islam kepada orang-orang Arab di luar kaum musyrikin Qureiys, dan memperoleh waktu

yang cukup untuk membangun dan memperkuat negeri.

Bab IV-4 : Perang Khaibar

Walaupun Rasul Allah s.a.w. telah mengadakan perjanjian perdamaian dengan musyrikin

Qureiys (Perjanjian Hudaibiyah), namun beliau berfikir, bahwa keamanan dan keselamatan

kaum muslimin belum terjamin, selama masih ada kekuatan-kekuatan anti Islam yang bercokol

di utara Madinah. Kekuatan itu ialah kaum Yahudi yang mempunyai beberapa benteng di Khaibar.

Berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, orang-orang Yahudi memang tidak dapat dipercaya

kejujurannya dalam melaksanakan perjanjian perdamaian. Peristiwa pengkhianatan itu telah

terjadi beberapa kali dilakukan oleh orang-orang Yahudi dari Banu Quraidah, Bani Qainuqa' dan

Bani Nadhir.

Sekarang tibalah saatnya untuk mematahkan kekuatan terakhir kaum Yahudi, yang selama ini

dirasakan sebagai duri di dalam daging. Tanpa membuang-buang waktu, Rasul Allah

mempersiapkan pasukan sebanyak 1600 orang dan 100 pasukan berkuda guna diberangkatkan ke

Khaibar. Setelah berjalan tiga hari tibalah pasukan muslimin di depan perbentengan Khaibar.

Mereka telah berada di depan benteng Natat.

Esok paginya pertempuran mati-matian mulai berkobar. 50 orang dari pasukan muslimin gugur

dan dari fihak Yahudi lebih banyak lagi, termasuk pemimpin Yahudi Khaibar, yaitu Salam bin

Misykam. Setelah Salam terbunuh pimpinan Yahudi dipegang oleh Harits bin Abi Zainab. Ia

keluar dari benteng Na'im bersama sejumlah pasukan dengan maksud hendak menggempur

kaum muslimin.

Pasukan Muslimin yang terdiri dari orang-orang Khazraj berhasil memukul mundur pasukan

Harits sampai mereka masuk ke dalam benteng. Pasukan muslimin makin memperketat

pengepungan atas beberapa benteng Khaibar. Pihak Yahudi bertahan mati-matian. Bagi

mereka, jika kali ini kalah, berarti penumpasan terakhir Bani Israil di negeri Arab.

Pengepungan itu berlangsung selama beberapa hari. Untuk melancarkan serangan, Rasul Allah

s.a.w. menyerahkan panji peperangan kepada Abu Bakar As Shiddiq r.a. Dengan tugas supaya

menyerbu dan merebut benteng Na'im. Setelah terjadi pertempuran, Abu bakar r.a. kembali

tanpa berhasil mendobrak benteng tersebut. Keesokan harinya, Rasul Allah s.a.w. menugaskan

Umar Ibnul Khattab r.a. Iapun mengalami nasib yang sama seperti Abu Bakar Ash Shiddiq r.a.

Sekarang Imam Ali r.a. dipanggil oleh Rasul Allah s.a.w. seraya berkata: "Pegang panji ini dan

bawa terus sampai Allah memberikan kemenangan kepadamu!"

Imam Ali r.a. berangkat membawa panji Rasul Allah s.a.w. Setibanya dekat benteng, penghuni

benteng itu keluar serentak menghadapinya. Ketika itu juga terjadi pertempuran. Salah

seorang Yahudi berhasil memukul Imam Ali r.a. sampai perisai yang ada di tangannya terpental.

Tetapi dengan gerakan kilat Imam Ali r.a. segera menjebol salah sebuah daun pintu yang ada di

benteng dan dengan berperisaikan daun pintu itu terus menerjang dan menggempur. Akhirnya

benteng itu dapat didobrak, dan daun pintu yang dipegangnya dijadikan jembatan. Dengan

jembatan itu kaum muslimin menyeberang serentak dan menyerbu ke dalam benteng.

Kaum Yahudi bertahan mati-matian. Benteng Na'im itu baru jatuh sepenuhnya, setelah

komandan pasukan Yahudi, Harits bin Abi Zainab mati terbunuh.

Peristiwa pertempuran itu menunjukkan betapa uletnya kaum Yahudi bertahan, dan

menunjukan pula tingginya semangat juang kaum muslimin dalam perang Khaibar. Dengan

jatuhnva benteng Na'im, praktis tidak banyak lagi kesukaran bagi kaum muslimin untuk

menjebol dan mengobrak-abrik benteng-benteng Khaibar lainnya yang masih tinggal, seperti

benteng Qamus, benteng Sha'b dan lain-lain yang tidak seberapa kokoh.

Dengan jatuhnya semua benteng Yahudi di Khaibar, perasaan putus asa merayap di dalam hati

mereka, kemudian mereka minta damai. Semua harta benda yang ada di dalam perbentengan

diserahkan kepada Rasul Allah s.a.w. sebagai barang ghanimah, dengan syarat mereka

diselamatkan. Rasul Allah s.a.w. menerima usul dan menyetujui permintaan mereka itu.

Mereka dibiarkan tetap tinggal di kampung-halaman mereka, mengerjakan tanah yang kini

menjadi milik kaum muslimin. Sebagai imbalan mereka mendapat upah separuh dari hasil tanaman.

Jatuhnya Makkah

Belum sampai setahun Perjanjian Hudaibiyah berlaku, terjadi bentrokan senjata antara Bani

Khuza'ah yang bersekutu dengan Rasul Allah s.a.w. dan Banu Bakr yang bersekutu dengan fihak

Qureiys. Bentrokan itu terjadi akibat adanya seorang dari Banu Bakr yang mengejek-ejek Rasul

Allah s.a.w. di depan seorang dari Banu Khuza'ah. Oleh orang dari Banu Khuza'ah, orang dari

Banu Bakr itu dipukul. Gara-gara pemukulan itu, bergeraklah orang-orang Banu Bakr menyerang

orang-orang Banu Khuza'ah. Permusuhan lama di antara dua qabilah itu memang sudah ada.

Dalam serangan itu, Banu Bakr dibantu langsung oleh musyrikin Qureiys, hingga jatuh korban

tidak sedikit di kalangan Banu Khuza'ah.

Untuk menanggulangi serangan Banu Bakr yang mendapat bantuan Qureiys, Banu Khuza'ah

minta bantuan Rasul Allah s.a.w. Beliau menyatakan kesediaannya untuk membantu Banu

Khuza'ah.

Mendengar ketegasan sikap Rasul Allah s.a.w. yang akan membantu Banu Khuza'ah, orang-orang

Qureiys di Makkah cemas dan takut. Mereka mengirim Abu Sufyan ke Madinah untuk menghadap

Rasul Allah s.a.w. Tujuan Abu Sufyan ialah untuk memperbaiki keadaan dan mengokohkan

perjanjian Hudaibiyah.

Waktu Abu Sufyan menyampaikan permintaan untuk memperkokoh dan memperpanjang waktu

berlaku perjanjian, Rasul Allah s.a.w. menolak. Abu Sufyan belum putus harapan. Ia menemui

Abu Bakar r.a., kemudian Umar r.a. Dua-duanya juga menolak untuk membantu Abu Sufyan.

Abu Sufyan mencoba membujuk anak perempuannya sendiri, yang sudah menjadi isteri Nabi

Muhammad s.a.w. Baru saja Abu Sufyan masuk dan belum sempat duduk, tikar segera digulung

oleh Ummu Habibah, sambil berkata: "Ini tikar kepunyaan Rasul Allah. Ayah tidak boleh duduk

di atasnya, sebab ayah orang musyrik dan kotor…"

Abu Sufyan belum putus asa. Dicobanya menemui Sitti Fatimah r.a., isteri Imam Ali r.a. Sitti

Fatimah r.a. juga menolak untuk membantu Abu Sufyan. Persoalan datangnya Abu Sufyan itu

disampaikan Sitti Fatimah r.a. kepada suaminya. Waktu bertemu dengan Abu Sufyan, Imam Ali

r.a. berkata: "Mengenai persoalan itu Rasul Allah sudah mengambil pendirian tegas. Kami tidak

dapat mengajaknya berbicara tentang itu..."

Sekarang habislah harapan Abu Sufyan. Ia pulang ke Makkah dengan tangan kosong.

Di Madinah, Rasul Allah s.a.w. mempersiapkan kaum muslimin untuk siaga menghadapi

peperangan. Setelah semua persiapan selesai, beliau berangkat memimpin pasukan muslimin

berkekuatan 10.000 orang. Setibanya dekat Makkah kaum muslimin diperintahkan supaya setiap

orang menyalakan obor, sehingga waktu malam di tengah gurun pasir terang benderang seperti

siang.

Pada malam itu juga Abu Sufyan bersama sejumlah orang Qureiys berangkat ke luar kota

Makkah untuk mencari informasi tentang keadaan kaum muslimin. Sejak beberapa waktu yang

lalu ia tidak mendengarnya lagi, karena Rasul Allah s.a.w. dan para sahabatnya benar-benar

merahasiakan rencana keberangkatan, agar jangan sampai diketahui oleh Qureiys sebelum tiba

di Makkah.

Melihat ribuan obor menyala-nyala dari kejauhan, Abu Sufyan ketakutan. Ia berniat hendak

kembali masuk kota sambil mempercakapkan ribuan obor dengan teman-temannya. Mereka

sama sekali tidak mengerti maksudnya.

Pada malam hari itu juga Abbas bin Abdul Mutthalib keluar dari pemusatan pasukan muslimin

mencari orang-orang dari kaum musyrikin Qureiys, untuk diberi tahu tentang kedatangan kaum muslimin dengan kekuatan yang besar. Dengan cara itu Abbas bermaksud hendak menekan

kaum musyrikin Qureiys supaya menyerah sebelum kaum muslimin masuk ke dalam kota

Makkah.

Waktu itu dari kejauhan Abbas mendengar sayup-sayup suara Abu Sufyan sedang bercakapcakap

dengan teman-temannya tentang obor yang ribuan jumlahnya. Ia mengenal baik suara

Abu Sufyan. Dengan teriakan keras sekali Abbas memanggil-manggil: "Hai Abu Handhalah !"

Terdengar suara Abu Sufyan menyahut dengan teriakan bertanya: "Abu Fadhl…?"

"Ya," jawab Abbas.

"Demi ayah dan ibuku...., ada kabar apa? Tanya Abu Sufyan yang tampak agak terkejut

bercampur takut.

"Inilah Rasul Allah datang membawa pasukan yang tak mungkin dapat kalian hadapi!" Jawab

Abbas menakut-nakuti Abu Sufyan.

"Lantas apa yang kau perintahkan kepadaku ...?" Abu Sufyan bertanya untuk mencari tahu apa

yang diinginkan kaum muslimin. "Ayolah turut naik untaku!" teriak Abbas menghimbau.

Terdorong oleh ketakutannya, tanpa banyak berfikir lagi Abu Sufyan segera mendekati Abbas,

lalu naik ke atas unta, duduk di belakang Abbas. Setibanya di depan Rasul Allah s.a.w., Abbas

minta supaya beliau memberi jaminan keselamatan Abu Sufyan. Nabi Muhammad menjawab:

"Pergilah. Dia kujamin keselamatannya sampai datang lagi besok pagi!"

Pagi-pagi Abbas datang rnembawa Abu Sufyan menghadap Rasul Allah. Kepada Abu Sufyan

beliau bertanya setengah menegor dengan tandas: "Celakalah engkau, hai Abu Sufyan! Apakah

belum juga engkau mengerti bahwa tidak ada tuhan selain Allah!"

"Demi ayah-ibuku", jawab Abu Sufyan. " Itu samasekali tidak ada dalam fikiranku!"

Mendengar jawaban seperti itu Abbas membentak Abu Sufyan: "Celaka sekali engkau! Ucapkan

syahadat sebelum lehermu dipenggal!"

Melihat sikap Abbas sekeras itu barulah Abu Sufyan mengucapkan dua kalimat syahadat. Ia

mengucapkan dua kalimat syahadat pada saat kaum musyrikin Qureiys tidak berdaya lagi

melawan kaum muslimin. Ucapan yang keluar dari hati yang tidak tulus.

Meskipun begitu Rasul Allah s.a.w. tetap bijaksana. Beliau memerintahkan Abbas pergi

membawa Abu Sufyan, dan ditahan di sebuah lembah yang akan dilalui pasukan muslimin dalam

gerakan memasuki kota Makkah.

Gelombang demi gelombang, kelompok demi kelompok pasukan muslimin bergerak masuk ke

Makkah. Dengan suara gemuruh mereka mengumandangkan takbir, bertahlil dan bersyukur ke

hadirat Allah Tabaraka wa Ta'ala. Waktu Abu Sufyan melihat pasukan yang langsung dipimpin

Nabi Muhammad s.a.w. lewat, yang terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar, ia bertanya kepada

Abbas tentang kelompok itu. Abbas menjelaskan: "Itu kelompok pasukan Rasul Allah..... Itulah

beliau, Rasul Allah s.a.w… dan itulah mereka kaum Muhajirin dan Anshar…!"

"Hai Abu Fadl", kata Abu Sufyan yang nampak kagum terhadap kelompok pasukan itu, "putera

saudaramu sudah menjadi raja yang hebat sekali!"

"Itu kenabian ....bukan kerajaan!" bentak Abbas menjelaskan.

"Oh . ya", sahut Abu Sufyan.

Pada saat itu ada dua orang dari kaum musyrikin Qureiys, Hakim bin Hizam dan Badil bin

Warqa, datang menjumpai Rasul Allah s.a.w. untuk menyatakan diri masuk Islam. Kemudian

mengucapkan dua kalimat syahadat di depan beliau.

Pada saat mulai masuk kota Makkah, Rasul Allah s.a.w. mengeluarkan pernyataan yang berisi

jaminan keselamatan bagi kaum Qureiys. Antara lain dikatakan: "Barang siapa masuk ke rumah

Abu Sufyan (terletak di bagian atas kota Makkah), ia terjamin keselamatannya! Barang siapa

masuk ke rumah Hakim bin Hizam (terletak di bagian bawah kota Makkah), ia terjamin

keselamatannya. Barang siapa menutup pintu rumahnya dan tidak mengangkat senjata, ia

terjamin keselamatannya…!"

Untuk menyebar-luaskan pernyataan itu kepada orang-orang Qureiys, Rasul Allah mengutus Abu

Sufyan dan Hakim.

Setelah itu Rasul Allah s.a.w. masuk ke dalam kota Makkah. Semua pasukan muslimin yang

datang melalui berbagai jurusan dipusatkan dalam kota, guna menghindari terjadinya konflik

senjata dengan kelompok-kelompok musyrikin. Rasul Allah s.a.w. bertekad keras untuk jangan

sampai ada setetes darah pun yang mengalir. Oleh karena itu beliau cepat-cepat

memberhentikan Sa'ad bin Ubadah dari jabatannya sebagai komandan pasukan karena diketahui

Sa'ad telah mengeluarkan pernyataan hendak menumpas orang-orang Qureiys; "Hari ini hari

pertarungan. Hari ini wanita-wanita Qureiys boleh dirampas dan diperbudak!"

Sebagai gantinya, Rasul Allah s.a.w. mengangkat Imam Ali r.a. menjadi komandan pasukan.

Setibanya dekat Ka'bah Rasul Allah s.a.w. berdiri di depan pintu sambil berseru kepada orang

orang Qureiys:

"Tiada Tuhan selain Allah tanpa sekutu apa pun juga. Dia telah memenuhi janji-Nya. Dia telah

memenangkan hamba-Nya, dan Dia sendirilah yang telah mengalahkan pasukan Ahzab.

Ketahuilah, bahwa kemuliaan keturunan dan kekayaan terletak di bawah telapak kakiku.

Demikian pula pengurusan Ka'bah dan penyediaan air untuk jema'ah haji!"

"Hai orang Qureiys", kata Nabi Muhammad s.a.w. selanjutnya, "sesungguhnya Allah hendak

menghapuskan adat jahiliyah dari kalian termasuk kebiasaan mengagung-agungkan nenekmoyang.

Semua manusia berasal dari Adam dan Adam terbuat dari tanah."

"Hai manusia, Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang wanita, kemudian

kalian Kami jadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kalian saling kenal-mengenal.

Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah yang paling bertaqwa di antara kalian.

Sesungguhnya bahwa Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal…" (S. Alhujurat: 13).

Selesai mengucapkan ayat tersebut, Rasul Allah s.a.w. bertanya: "Hai orang-orang Qureiys,

apakah yang hendak kalian katakan? Apa yang kalian duga akan kuperbuat?"

Mereka menjawab serentak: "Kami harap kebaikan akan diperbuat oleh saudara yang mulia,

putera dari saudara yang mulia."

Menanggapi jawaban mereka, Rasul Allah s.a.w. berkata lagi: "Yang kukatakan sama seperti

yang dikatakan oleh saudaraku, Yusuf a.s.: Tak ada marabahaya menimpa kalian. Semoga Allah

megampuni kalian, karena Dia adalah Maha Pengasih dan Penyayang. Pergilah, kalian semua

bebas merdeka!"

Dengan kebijaksanaan seperti itu Rasul Allah s.a.w. mengetuk hati manusia untuk berbondongbondong

memeluk agama Islam.

Kemudian Nabi Muhammad s.a.w. menghancurkan berhala-berhala, dan menghapuskan dua

buah gambar yang ada pada dinding Ka'bah dengan baju beliau sendiri. Kepada orang-orang

Qureiys yang ada di sekitar tempat itu, beliau memerintahkan supaya menghancurkan berhala

mereka masing-masing. Saat itu beliau mengucapkan sebuah ayat Al Qur'an, yang artinya:

"Bilamana kebenaran telah tiba, musnahlah kebatilan. Sesungguhnya kebatilan itu pasti

musnah." (S. Al Isra:81).

Dalam pekerjaan menghancurkan berhala-berhala itu, Imam Ali r.a. menyertai beliau. Ketika

melihat sebuah berhala milik Banu Khuza'ah masih terletak di atas Ka'bah, Rasul Allah s.a.w.

memerintahkan Imam Ali r.a. supaya menghancurkannya. Untuk

dapat naik ke atas, Imam Ali r.a. beliau angkat. Kemudian berhala tersebut oleh Imam Ali r.a.

dijebol dan dibanting ke tanah sampai hancur berkeping-keping.

Tengah hari berbondong-bondong kaum pria dan wanita Qureiys menghadap Rasul Allah s.a.w.

untuk menyatakan diri memeluk Islam, dan berjanji akan taat dan setia kepada Allah dan

Rasul-Nya.

Dengan jatuhnya kota Makkah ke tangan Rasul Allah s.a.w., berarti hancurlah sudah benteng

terkuat kaum musyrikin. Benteng yang paling keras dan paling gigih melancarkan

seranganserangan terhadap Islam dan kaum Muslimin. Dengan jatuhnya Makkah, kini kota itu

telah masuk ke dalam pangkuan kaum muslimin.

Di Makkah, Rasul Ailah s.a.w. tinggal selama 15 hari untuk mengatur urusan pemerintahan

setempat. Beliau mengangkat Hubairah bin Asy Syibl sebagai kepala daerah Makkah. Sedangkan

Mu'adz bin Jabal ditugaskan mengajarkan A1 Qur'an dan hukumhukum Islam. Setelah selesai

semuanya, beliau bersama pasukan menuju ke Taif untuk menghabisi kantong terakhir

pertahanan kaum Musyrikin.

Bab IV-5 : Perang Hunain

Perang ini merupakan salah satu peperangan terbesar dan terpenting bagi kaum muslimin.

Setelah berhasil menguasai kota Makkah, pasukan muslimin yang sekarang sudah menjadi

sangat kuat, masih harus menyelesaikan tugas besar. Yaitu menghancurkan pasukan Malik bin

Auf yang terdiri dari qabilah Hawazin dan Tsaqif.

Untuk menumpas perlawanan Malik dan kawan-kawannya, Rasul Allah s.a.w. memimpin

pasukan terdiri dari 12.000 orang. 2000 diantaranya adalah orang-orang Qureiys yang baru

masuk Islam setelah jatuhnya kota Makkah. Pasukan ini merupakan pasukan terbesar yang

pernah dikerahkan oleh Rasul Allah s.a.w. ke medan perang. Di antara komandan-komandan

pasukan banyak yang baru saja memeluk agama lslam, termasuk Khalid bin Al-Walid.

Untuk menghadapi serangan kaum muslimin, Malik bin Auf menempatkan pasukannya pada

posisi yang sangat strategis, yaitu di lambung kiri dan kanan lembah Hunain yang merupakan

jalur lalu lintas sempit. Pada waktu pasukan Muslimin lewat lembah tersebut pasukan Malik

akan menghujani mereka dengan anak panah. Siasat itu nampak berhasil baik.

Di kala fajar mulai menyingsing, pasukan Islam yang berada di baris depan, di bawah komando

Khalid bin Al-Walid, benar-benar masuk perangkap Malik bin Auf. Dengan gencar dan tak hentihentinya

pasukan Malik menghujani pasukan muslimin dengan anak panah dan tombak. Karena

kalah posisi dan diserang secara mendadak dan besar-besaran, pasukan muslimin menjadi

kacau balau. Mereka lari terbirit-birit dan mundur tanpa teratur.

Rasul Allah s.a.w. sendiri yang waktu itu masih berada di barisan belakang tidak dapat

mencegah pasukan yang panik dan berusaha menyelamatkan diri. Jerih payah Rasul Allah s.a.w.

yang selama ini dicurahkan untuk membina pasukan muslimin, hampir saja hancur berantakan

di lembah Hunain ini. Orang-orang munafik sejenis Abu Sufyan bin Harb, yang secara resmi sudaah memeluk Islam dan bergabung dalam pasukan Rasul Allah s.a.w. bersorak-sorai

kegirangan menyaksikan pasukan muslimin kocar-kacir. Demikian juga Syaibah bin Utsman.

Pasukan Malik bergerak terus mengejar pasukan muslimin yang lari mundur dalam keadaan

kacau dan berpencar-pencar. Keadaan menjadi gawat dan mengkhawatirkan. Rasul Allah s.a.w.

merasa sukar sekali mengendalikan pasukan yang sudah kehilangan pamor sama sekali. Namun

beliau tetap tenang dan tabah mengenderai kuda baghalnya yang berwarna putih. Orang-orang

yang tetap mantap menyertai beliau antara lain terdapat Imam Ali r.a., Abbas bin Abdul

Mutthalib r.a., Abu Bakar r.a. dan Umar r.a.

Berkat kegigihan dan ketangguhan para sahabat, berkat keberanian Imam Ali r.a. dan para

sahabat lainnya dalam memukul tiap serangan yang ditujukan terhadap Rasul Allah s.a.w.,

akhirnya kaum muslimin dapat dikendalikan dan diarahkan untuk melancarkan serangan

balasan. Berangsur-angsur situasi berubah dan berbalik, sehingga kemenangan yang sangat

mengesankan akhirnya dapat diraih oleh kaum muslimin.

Dari peristiwa-peristiwa di atas dapat dilihat dengan jelas peranan kepahlawanan Imam Ali r.a.

Tiap keadaan gawat dan genting ia selalu berada di samping Rasul Allah s.a.w.