Sejarah Hidup Imam Ali ra

Sejarah Hidup Imam Ali ra0%

Sejarah Hidup Imam Ali ra pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Imam Ali as

Sejarah Hidup Imam Ali ra

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

pengarang: H.M.H. ALHAMID ALHUSAINI
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Pengunjung: 17230
Download: 3958

Komentar:

Sejarah Hidup Imam Ali ra
Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 22 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 17230 / Download: 3958
Ukuran Ukuran Ukuran
Sejarah Hidup Imam Ali ra

Sejarah Hidup Imam Ali ra

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Bab VIII : KHALIFAH UTSMAN BIN AFFAN R.A.

Setelah jenazah Umar Ibnul Khattab r.a. dimakamkan, Abu Thalhah Al Anshariy segera

mengumpulkan 6 orang Ahlu Syuro yang ditunjuk Umar r.a., di sebuah rumah. Sesuai dengan

wasiyat Khalifah Umar r.a. maka 50 orang Anshar lengkap dengan pedangnya rnasing-masing,

ditugaskan menjaga pintu-pintu rumah. Kepada 6 orang itu dipersilakan berunding untuk

memilih siapa di antara mereka yang akan ditetapkan sebagai Khalifah pengganti Umar Ibnul

Khattab r.a.

Pelaksanaan Pemilihan

Tentang pelaksanaan pemilihan Khalifah pengganti Umar r.a. terdapat beberapa riwayat.

Menurut Abu Utsman Al-Jahidz, pelaksanaannya sebagai berikut:

Keenam Ahlu Syuro itu mulai bermusyawarah dan berdebat. Thalhah bin Ubaidillah tampil

sebagai pembicara pertama. Ia langsung saja mengatakan mendukung Utsman bin Affan sebagai

calon Khalifah. Alasan yang diajukannya untuk bersikap demikian, karena ia yakin tidak akan

ada seorang pun yang akan mencalonkan dirinya (Thalhah) sebagai Khalifah, selama Imam Ali

r.a. dan Utsman bin Affan r.a. masih ada.

Kemudian tampil Zubair bin Al 'Awwam. Ia menentang pencalonan Utsman bin Affan r.a.,

seperti yang diajukan Thalhah. Ia memberikan dukungan kepada Imam Ali r.a. Orang

memperkirakan bahwa Zubair mencalonkan Imam Ali r.a. karena hubungan kekeluargaan.

Seperti diketahui Zubair adalah anak lelaki bibi Imam Ali Shafiyyah binti Abdul Mutthalib, dan

ayah Imam Ali r.a. sendiri adalah saudara ibu Zubair.

Setelah ini muncul usul ketiga, yang datangnya dari Sa'ad bin Abi Waqqash. Ia mengajukan

misanannya sendiri, anak pamannya, yaitu Abdurrahman bin 'Auf sebagai Khalifah. Usul Sa'ad ini

pun masih berbau fikiran kekerabatan. Kedua-duanya berasal dari qabilah Bani Zuhrah. Selain

itu Sa'ad sendiri pun sudah merasa kecil kemungkinannya untuk terpilih sebagai Khalifah.

Sekarang tinggal 3 orang yang belum mengajukan usul pencalonan. Abdurrahman kemudian

bertanya kepada Imam Ali r.a. dan Utsman bin Affan r.a.: "Siapa di antara kalian berdua yang

bersedia mengundurkan diri sebagai calon? Sebab, masalah pemilihan sekarang ini hanya

bergantung kepada kalian berdua."

Ternyata tak seorang pun di antara dua tokoh itu yang menanggapi pertanyaan Abdurahman bin

Auf. Setelah beberapa saat lamanya tidak ada jawaban dan semua mata tertuju kepada Imam

Ali r.a. dan Utsman bin Affan r.a. Abdurrahman bin Auf berkata lagi: "Sekarang aku menyatakan

menarik diri dari pencalonan." Seterusnya ditambahkan: "Dengan demikian aku dapat memilih

salah seorang di antara kalian berdua."

Pernyataan Abdurrahman ini pun tidak ditanggapi, baik oleh kedua orang calon, maupun orang

lainnya. Abdurrahman bin Auf kembali mengambil prakarsa untuk melancarkan jalannya

pemilihan. Kepada Imam Ali r.a. ia bertanya: "Bagaimana kalau aku membai'at anda untuk

bekerja berdasarkan Kitab Allah, Sunnah Rasul s.a.w. dan mengikuti jejak dua orang Khalifah

yang lalu?"

Menghadapi pertanyaan yang agak mendadak itu, dengan cepat Imam Ali r.a. menjawab:

"Tidak! Aku menerima (pembai'atan itu) jika didasarkan kepada Kitab Allah, Sunnah Rasul

s.a.w. dan ijtihadku sendiri."

Tanpa mengajukan pertanyaan lebih lanjut kepada Imam Ali r.a., Abdurrahman bin Auf mengajukan pertanyaan yang sama kepada Utsman bin Affan r.a. Dengan singkat dan tegas

Utsman bin Affan r.a. menjawab: "ya!"

Mendengar jawaban Utsman bin Affan r.a. itu, Abdurrahman masih tiga kali lagi mengajukan

pertanyaan yang sama kepada Imam Ali r.a. Imam Ali r.a. tetap pada jawaban semula. Akhirnya

Abdurrahman bin Auf mendekati Utsman bin Affan r.a. kemudian memegang tangannya. Ini

sebagai tanda pembai'atan yang diberikannya kepada Utsman bin Affan r.a. Prakarsa

Abdurrahman bin Auf ternyata berhasil menyelesaikan pembai'atan Khalifah baru, untuk

menggantikan Khalifah Tlmar r.a. yang telah wafat.

Di samping versi Abu Utsman Al Jahidz ini, ada pula versi lain tentang pemilihan Khalifah

Utsman r.a. Di dalam versi lain itu dikatakan, bahwa setelah beberapa hari melakukan

penjajagan, akhirnya pada suatu hari Abdurrahman bin Auf, meminta kepada kaum muslimin

supaya berkumpul di masjid Rasul Allah s.a.w. Dengan menggunakan sorban yang dahulu pernah

dipakai oleh Rasul Allah s.a.w., dan dengan berdiri di atas mimbar pada jenjang tempat Rasul

Allah s.a.w. dulu selalu berdiri, Abdurrahman bin Auf mengucapkan do'a dengan suara lirih.

Sebenarnya perbuatan Abdurrahman seperti di atas menimbulkan keheranan di kalangan

hadirin. Sebab, baik Khalifah Abu Bakar r.a. maupun Khalifah Umar r.a. sendiri, belum pernah

berbuat demikian.

Sambil memandang ke tempat Imam Ali r.a. duduk, Abdurrahman berseru dengan gaya penuh

wibawa: "Hai Ali, majulah engkau!"

Imam Ali r.a. segera memenuhi permintaan Abdurrahman bin Auf. Sebelum Imam Ali r.a.

mengetahui benar apa yang menjadi maksud sahabatnya itu, tiba-tiba Abdurrahman memegang

tangannya sambil mengucapkan kata-kata dengan suara keras. Isi kata-katanya sama dengan

apa yang telah dikemukakan oleh Abu Utsman Al-Jahidz di dalam bukunya. Begitu pula proses

seterusnya.

Hanya dalam versi ini ditambahkan, bahwa Abdurraman bin Auf menyambut kesanggupan

Utsman bin Affan r.a. yang sudah berusia lanjut itu dengan berkata : "Ya Allah, saksikanlah! Ya

Allah, saksikanlah!"

Imam Ali r.a., para sababat Rasul Allah s.a.w. lainnya, dan semua yang hadir dalam masjid itu

tanpa ragu-ragu menerima Usman bin Affan r.a. yang sudah berusia lanjut itu sebagai

pemimpin tertinggi mereka yang baru.

Pembai'atan seorang Khalifah melalui pemilihan salah satu di antara 6 orang Ahlu Syuro,

merupakan kejadian pertama dalam sejarah kekhalifahan ummat Islam. Khalifah Abu Bakar r.a.

dibai'at langsung oleh kaum muslimin. Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a. ditetapkan berdasarkan

wasiyat Kahlifah Abu Bakar r.a.

Akan tetapi sejalan dengan pembai'atan Utsman bin Affan r.a. sebagai Khalifah, banyak sekali

orang bertanya-tanya tentang jawaban yang diberikan Imam Ali r.a. kepada Abdurrahman bin

Auf. Mengapa ia mengatakan "Tidak?"

Tidak ada seorang pun yang dapat memberikan jawaban pasti. Imam Ali r.a. sendiri tidak

pernah mengemukakan secara terbuka alasan apa yang melandasi jawabannya. Yang pasti,

Imam Ali r.a. tidak pernah menyesal karena ia gagal menjadi Khalifah disebabkan jawabannya

itu. Dengan ikhlas ia menerima Utsman bin Affan r.a. sebagai Amirul Mukminin.

Sementara itu ada yang menafsirkan, bahwa perkataan "Tidak!" itu bukan ditujukan kepada

pertanyaan Abdurrahman bin Auf yang berkaitan dengan keharusan berpegang kepada Kitab

Allah dan Sunnah Rasul Allah, melainkan tertuju kepada keharusan mengikuti jejak Khalifah Abu Bakar r.a. dan Khalifah Umar r.a.

Imam Ali r.a. tidak dapat membenarkan kebijaksanaan Khalifah Abu Bakar r.a. dalam

mengambil keputusan tentang tanah Fadak. Yaitu tanah hak-guna Rasul Allah s.a.w. yang

dicabut oleh Khalifah Abu Bakar r.a. sepeninggal beliau dan dijadikan hak milik kaum muslimin

(Baitul Mal). Demikian juga terhadap kebijaksanaan Khalifah Umar r.a. yang mengadakan

penggolongan-penggolongan dalam membagi-bagikan kekayaan Baitul Mal kepada kaum

muslimin.

Terbuka Kesempatan

Peristiwa yang berlangsung secara wajar menurut norma kaum muslimin pada masa itu,

ternyata ditanggapi secara lain oleh tokoh-tokoh Bani Umayyah. Peristiwa terbai'atnya Utsman

bin Affan r.a. sebagai Khalifah, diartikan oleh mereka, sebagai awal kemenangan Bani Umayyah

atas orang-orang Bani Hasyim.

Padahal Rasul Allah s.a.w. sendiri tidak pernah memandang ummatnya dari kaum apa atau dari

keturunan mana. Semua kaum muslimin adalah saudara. Prinsip yang mulia itu nampaknya

tidak mudah direalisasi, karena adat istiadat dan tradisi kuat yang berabad-abad bercokol di

kalangan orang-orang Arab.

Waktu Utsman bin Affan r.a. terpilih sebagai Khalifah, penyakit sukuisme dan keqabilahan

muncul kembali dan malah dibesar-besarkan oleh orang-orang Bani Umayyah. Imam Ali r.a. dan

orang-orang dari Bani Hasyim lainnya, mereka nilai sebagai mengalami kekalahan dalam

persaingan melawan Utsman bin Affan r.a.; yang berasal dari Bani Umayyah.

Padahal Utsman bin Affan r.a. sendiri pada saat terbai'at sebagai Khalifah, sama sekali tidak

menyimpan fikiran seperti yang diteriakkan oleh kaum kerabatnya. Utsman bin Affan r.a.

seorang sahabat terdekat Rasul Allah s.a.w., bahkan sampai dua kali ia

menjadi menantu Nabi. Pertama kali ia nikah dengan Roqayah binti Muhammad Rasul Allah

s.a.w. Kemudian setelah Roqayah r.a. meninggal, ia nikah lagi dengan Ummu Kaltsum binti

Muhammad Rasul Allah s.a.w. Oleh karena itu Utsman bin Affan r.a. terkenal dengan sebutan

"Dzun Nurain" (pemilik dua cahaya). Ia memeluk Islam di tangan Abu Bakar r.a. dan setelah

menjadi orang beriman, ia sangat besar taqwanya kepada Allah dan setia kepada Rasul-Nya.

Dalam perjuangan untuk kepentingan agama Allah dan perjuangan Rasul-Nya, Utsman bin Affan

r.a. tidak pernah menghitung-hitung untung rugi. Hampir semua kekayaannya, harta benda dan

jiwanya diserahkan untuk kepentingan menegakkan agama Allah. Ia terkenal pula dengan amal

perbuatannya, yang dengan uang dari kantong sendiri membeli sumber air jernih "Bir Romah"

untuk kepentingan semua kaum muslimin.

Utsman bin Affan r.a. jugalah yang dengan uangnya sendiri membayar harga tanah sekitar

masjid Rasul Allah s.a.w., ketika masjid itu sudah terlampau sempit untuk menampung jemaah

yang bertambah membeludak. Pada waktu kaum muslimin menghadapi paceklik hebat, pada

saat mana Rasul Allah s.a.w. telah mengambil keputusan untuk memberangkatkan pasukan

guna menghantam perlawanan Romawi, Utsman bin Affan r.a. lah yang mengeluarkan uang dari

koceknya untuk membeli senjata dan perlengkapan perang lainnya. Ia memang seorang

hartawan dan hartanya dihabiskan untuk kepentingan Islam dan kaum muslimin.

Pada saat menerima tugas dan tanggung jawab sebagai Khalifah, Utsman bin Affan sudah lanjut

usia. Kesempatan ini dipergunakan sebaik-baiknya oleh tokoh-tokoh Bani Umayyah yang ada di

sekelilingnya. Dalam hal ini yang paling menonjol peranannya ialah Marwan bin Al Hakam,

misanannya, yang menjadi pembantu utama paling dipercaya. Demikian juga Muawiyyah bin Abi

Sufyan, seorang Gubernur atau Kepala Daerah Syam, daerah yang sangat makmur dan subur di

sebelah utara jazirah Arab. Kedua tokoh Bani Umayyah itu mempergunakan peluang secara

maksimal ketika usia Khalifah Utsman r.a. makin lanjut dan tidak lagi aktif sepenuhnya mengatur kehidupan negara, pemerintahan dan ummat. Secara pandai orang-orang itu merebut

hati Khalifah, menanamkan pengaruh dan memperkuat posisi mereka di bidang kekuasaan.

Gejala individualisme, mementingkan diri sendiri dan golongan, yang pada masa Khalifah Umar

r.a. berhasil dipangkas tunas-tunasnya, ternyata tumbuh kembali dengan suburnya, terutama

pada masa-masa terakhir Khalifah Utsman r.a. Sistem pemerintahan yang sangat demokratis

yang telah dirintis oleh Rasul Allah s.a.w., Khalifah Abu Bakar r.a. dan Khalifah Umar r.a.

setapak demi setapak digantikan dengan sistem oligarki (pemerintahan keluarga) oleh para

pembantu Khalifah Utsman r.a. Harta Baitul Mal yang seharusnya digunakan untuk

kemaslahatan ummat Islam, mulai banyak disalahgunakan. Muncullah penguasa-penguasa

hartawan yang mempunyai ratusan ekor unta, kuda dan hamba sahaya, serta rumah-rumah

indah di Bashrah, Kufah dan Iskandariyah.

Melihat perkembangan ummat meluncur ke bawah ini, Imam Ali r.a. tidak dapat berdiam diri.

Sebagai sahabat baik, dengan tulus ikhlas, diminta atau tidak diminta, ia menyampaikan saransaran,

nasehat-nasehat serta gagasan-gagasan kepada Khalifah Utsman r.a. Tentu saja sikap

dan tindakan yang diambil Imam Ali r.a. menimbulkan rasa tidak senang, bahkan sikap

permusuhan, dari mereka-mereka yang sedang menikmati hasil perjuangan ummat Islam untuk

kepentingan diri mereka sendiri.

Cara hidup yang mementingkan kesenangan duniawi di kalangan para penguasa pemerintahan

Khalifah, dan sistem kekuasaan yang berdasarkan kerabat dan keluarga, telah membangkitkan

rasa tidak puas yang semakin merata di kalangan ummat Islam, khususnya di kalangan qabilahqabilah

tertentu yang hidup merana.

Khalifah Utsman r.a. sendiri dalam batas kemampuan yang ada pada dirinya, telah berusaha

untuk mengatasi keadaan yang semakin kritis itu, karena ia menyadari bahayanya bilamana

dibiarkan begitu saja. Akan tetapi karena usianya yang telah lanjut

ia tidak berdaya menghadapi "permainan" Marwan bin Al-Hakam dan Muawiyah bin Abi Sufyan.

Khalifah Utsman praktis sudah tidak dapat lagi mengendalikan aparaturnya.

Dikorbankan

Apa yang di ramalkan oleh Khalifah Umar r.a. pada saat menjelang ajalnya, ternyata memang

benar-benar terjadi. Beberapa waktu setelah terbai'at sebagai Khalifah, Utsman bin Affan r.a.

mengangkat orang-orang dari kalangan Bani Umayyah dan di tempatkan pada kedudukankedudukan

penting atau lebih penting dibanding dengan orang-orang dari qabilah lain. Posisiposisi

penting dalam kekuasaan negara dibagi-bagikan kepada mereka. Kalau tidak sebagai

Kepala Daerah atau Gubernur, mereka diangkat sebagai panglima-panglima pasukan, atau

diserahi tanah-tanah yang sangat luas.

Salah satu prestasi besar selama kakhalifahan Utsman r.a., ummat lslam berhasil membebaskan

Afrika Utara dari kekuasaan Byzantium. Sayangnya, seperlima dari hasil harta jarahan

(ghanimah) yang didapat oleh kaum muslimin dari daerah-daerah Afrika Utara, banyak yang

dihadiahkan oleh Khalifah Utsman r.a. kepada para pembantunya, terutama Marwan bin Al

Hakam. Marwan ini adalah kerabatnya dan kemudian dipungut sebagai menantu.

Ibnu Abil Hadid dalam bukunya Syarh Nahjil Balaghah, jilid I, halaman 97-152 telah

mengungkapkan kebijaksanaan Khalifah Utsman r.a. yang dikendalikan oleh Marwan dan kawankawannya,

yang sangat meresahkan kaum muslimin.

Diantara tindakan-tindakan itu disebut pemberian uang sebanyak 400.000 dirham kepada

Abdullah bin Khalid bin Asid. Khalifah Utsman r.a. juga merehabilitasi dan membolehkan Al-

Hakam bin Al-Ash kembali bermukim di Madinah. Padahal Al-Hakam ini dahulu telah diusir oleh

Rasul Allah s.a.w. dari kota suci itu, karena penghianatannya terhadap kaum muslimin. Bahkan

oleh Khalifah ia diberi modal hidup berupa uang sebesar 100.000 dirham. Sedangkan Khalifah khalifah yang terdahulu tidak ada yang berani melanggar keputusan yang telah diambil oleh

Rasul Allah s.a.w. mengenai pengusiran Al-Hakam.

Masih ada lagi serentetan tindakan atau kebijaksanaan yang dilakukan oleh Khalifah Utsman

r.a. atas desakan para penasehat dan pembantunya. Yaitu tindakan atau kebijaksanaan yang

menyuburkan benih-benih ke-tidak-puasan di kalangan kaum muslimin. Sebuah tempat pusat

perdagangan di kota Madinah, yang waktu itu terkenal dengan nama "Mazhur", oleh Khalifah

Utsman dikuasakan kepada Al-Harits bin Al-Hakam, saudara Marwan bin Al-Hakam. Padahal

tempat itu dahulunya oleh Rasul Allah s.a.w. telah diserahkan kepada kaum muslimin sebagai

milik umum.

Begitu pula daerah Fadak, yang dahulunya berupa tanah hak-guna Rasul Allah s.a.w.; oleh

Khalifah diserahkan kepada pembantu dekatnya. Padahal tanah Fadak ini menurut hukum di

bawah kekuasaan pribadi Rasul Allah s.a.w.

Dalam sejarah Islam, daerah Fadak ini menjadi sangat terkenal, karena tuntutan dan gugatan

yang diajukan oleh Sitti Fatimah r.a. kepada Khalifah Abu Bakar r.a., untuk memperoleh hak

atas tanah yang dahulu berada di bawah kekuasaan ayahandanya.

Khalifah Utsman r.a. juga mengeluarkan sebuah peraturan yang menggelisahkan penduduk

Madinah. Di dalam peraturan itu ditetapkan, bahwa padang ilalang sekitar kota, yang secara

tradisional sudah menjadi padang penggembalaan umum, dinyatakan tertutup kecuali bagi

ternak milik orang-orang Bani Umayyah.

Lebih dari itu, daerah Afrika Barat bagian utara, yang sekarang dikenal dengan wilayah-wilayah

Marokko, Aljazair, Tunisia, Libya dan terus ke timur sampai Mesir, dikuasakan seluruhnya

kepada Abdullah bin Abi Sarah dengan wewenang penuh. Abdullah adalah saudara sesusuan

dengan Khalifah. Dengan kekuasaan penuh itu Abdullah mempunyai posisi penguasa mutlak di

daerah itu, seolah-olah seorang penguasa negara di dalam negara.

Kepada Abu Sufyan bin Harb, yang dahulu terkenal peranannya sebagai salah seorang tokoh

paling getol memerangi Rasul Allah s.a.w., dan baru terpaksa masuk Islam setelah jatuhnya

kota Makkah ke tangan kaum muslimin, oleh Khalifah Utsman r.a. diberi hadiah sebesar 200.000

dirham. Uang itu diambil dari Baitul Mal. Sedangkan ketika Marwan bin Al-Hakam dipungut

sebagai menantu untuk dinikahkan dengan puterinya yang bernama Aban, Khalifah Utsman r.a.

membekalinya lagi dengan uang sebesar 100.000 dirham, juga diambil dari Baitul Mal.

Sebenarnya semua kebijaksanaan yang dilakukan Khalifah Utsman r.a. merupakan pelaksanaan

imla (dikte) yang disodorkan para pembantu yang diberi kepercayaan penuh. Khalifah Utsman

r.a. menyadari bahwa pribadinya ditunggangi sedemikian rupa dan sedang digiring ke

marabahaya yang sangat fatal oleh orang-orang kepercayaannya. Seorang Khalifah yang kurang

lebih berusia 80 tahun itu, oleh tokoh-tokoh Bani Umayyah dikorbankan untuk kepentingan

pribadi-pribadi, golongan dan qabilah.

Penyalahgunaan harta Baitul Mal seperti tersebut di atas, sudah tentu menimbulkan

kegelisahan masyarakat muslimin pada masa itu. Sebuah riwayat mengisahkan, ketika Khalifah

Utsman r.a. mengambil uang 100.000 dirham dari Baitul Mal untuk diserahkan kepada

menantunya, Marwan bin Al Hakam, datanglah pengurus Baitul Mal bernama Zaid bin Arqam,

menghadap Khalifah. Ia datang sambil menangis untuk menyerahkan kunci Baitul Mal.

Dengan keheran-heranan. Khalifah bertanya kepada Zaid bin Arqam: "Mengapa engkau

menangis? Apakah karena aku hendak memungut Marwan bin Al-Hakam jadi menantu?"

"Tidak", jawab Zaid sambil menundukkan kepala dan mengusap air mata. "Aku menangis karena

aku menduga anda mengambil harta Baitul Mal itu sebagai pengganti kekayaan anda yang dahulu anda infakkan di jalan Allah, yaitu pada masa Rasul Allah

s.a.w. masih hidup. Demi Allah, uang 100.000 dirham yang anda berikan kepada Marwan itu

sungguh terlampau banyak."

"Hai Ibnu Arqam, letakkan kunci itu!" hardik Khalifah dengan wajah merah padam. "Kami bisa

mendapatkan orang lain yang tidak seperti engkau."

Pada masa itu kaum muslimin benar-benar merasakan adanya perbedaan yang sangat menyolok

antara kebijaksanaan yang dilakukan Khalifah-khalifah terdahulu dengan penerusnya yang

sekarang ini. Aparatur pemerintahan Khalifah tidak mau menanggulangi, sehingga keamanan

dan ketertiban sangat terganggu. Ini menambah keresahan dan kecemasan penduduk.

Banyak para sahabat Rasul Allah s.a.w. yang heran menyaksikan tindakan-tindakan Khalifah

Utsman r.a. Sebab mereka tahu, ia terkenal sebagai seorang sahabat terdekat Nabi Muhammad.

Seorang mukmin yang taqwa dan shaleh, tidak pernah mementingkan diri sendiri atau

golongannya. Dermawan besar yang tak pernah menghitung-hitung untung-rugi dan resiko

dalam berjuang untuk kejayaan Islam dan kaum muslimin.

Abu Dzar dibuang

Abu Dzar Al-Ghifari adalah salah seorang sahabat Rasul Allah s.a.w. yang paling tidak disukai

oleh oknum-oknum Bani Umayyah yang mendominasi pemerintahan Khalifah Utsman r.a.,

seperti Marwan bin Al-Hakam, Muawiyyah bin Abu Sufyan dan lain-lain.

Ia berasal dari qabilah Bani Ghifar. Suatu qabilah yang pada masa pra-Islam terkenal amat liar,

kasar dan pemberani. Tidak sedikit kafilah Arab yang lewat daerah pemukiman mereka menjadi

sasaran penghadangan, pencegatan dan perampasan. Abu Dzar sendiri seorang pemimpin

terkemuka di kalangan mereka.

Ia mempunyai sifat-sifat pemberani, terus terang dan jujur. Ia tidak menyembunyikan sesuatu

yang menjadi pemikiran dan pendiriannya.

Ia mendapat hidayat Allah s.w.t. dan memeluk Islam di kala Rasul Allah s.a.w. menyebarkan

da'wah risalahnya secara rahasia dan diam-diam. Ketika itu Islam baru dipeluk kurang lebih

oleh 10 orang. Akan tetapi Abu Dzar tanpa menghitung-hitung resiko mengumumkan secara

terang-terangan keislamannya di hadapan orang-orang kafir Qureiys. Sekembalinya ke daerah

pemukimannya dari Makkah, Abu Dzar berhasil mengajak semua anggota qabilahnya memeluk

agama Islam. Bahkan qabilah lain yang berdekatan, yaitu qabilah Aslam, berhasil pula di

Islamkan.

Demikian gigih, berani dan cepatnya Abu Dzar bergerak menyebarkan Islam, sehingga Rasul

Allah s.a.w. sendiri merasa kagum dan menyatakan pujiannya. Terhadap Bani Ghifar dan Bani

Aslam, Nabi Muhammad s.a.w. dengan bangga mengucapkan: "Ghifar…, Allah telah

mengampuni dosa mereka! Aslam…, Allah menyelamatkan kehidupan mereka!"

Sejak menjadi orang muslim, Abu Dzar benar-benar telah menghias sejarah hidupnya dengan

bintang kehormatan tertinggi. Dengan berani ia selalu siap berkorban untuk menegakkan

kebenaran Allah dan Rasul-Nya.Tanpa tedeng aling-aling ia bangkit memberontak terhadap

penyembahan berhala dan kebatilan dalam segala bentuk dan manifestasinya. Kejujuran dan

kesetiaan Abu Dzar dinilai oleh Rasul Allah s.a.w. sebagai "cahaya terang benderang."

Pada pribadi Abu Dzar tidak terdapat perbedaan antara lahir dan batin. Ia satu dalam ucapan

dan perbuatan. Satu dalam fikiran dan pendirian. Ia tidak pernah menyesali diri sendiri atau

orang lain, namun ia pun tidak mau disesali orang lain.

Kesetiaan pada kebenaran Allah dan Rasul-Nya terpadu erat degan keberaniannya dan ketinggian daya-juangnya. Dalam berjuang melaksanakan perintah Allah s.w.t. dan Rasul-Nya,

Abu Dzar benar-benar serius, keras dan tulus. Namun demikian ia tidak meninggalkan prinsip

sabar dan hati-hati.

Pada suatu hari ia pernah ditanya oleh Rasul Allah s.a.w. tentang tindakan apa kira-kira yang

akan diambil olehnya jika di kemudian hari ia melihat ada para penguasa yang mengangkangi

harta ghanimah milik kaum muslimin. Dengan tandas Abu Dzar menjawab: "Demi Allah, yang

mengutusmu membawa kebenaran, mereka akan kuhantam dengan pedangku!"

Menanggapi sikap yang tandas dari Abu Dzar ini, Nabi Muhammad s.a.w. sebagai pemimpin yang

bijaksana memberi pengarahan yang tepat. Beliau berkata: "Kutunjukkan cara yang lebih baik

dari itu. Sabarlah sampai engkau berjumpa dengan aku di hari kiyamat kelak!" Rasul Allah

s.a.w. mencegah Abu Dzar menghunus pedang. Ia dinasehati berjuang dengan senjata lisan.

Sampai pada masa sepeninggal Rasul Allah s.a.w., Abu Dzar tetap berpegang teguh pada

nasehat beliau. Di masa Khalifah Abu Bakar r.a. gejala-gejala sosial ekonomi yang dicanangkan

oleh Rasul Allah s.a.w. belum muncul. Pada masa Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a., berkat

ketegasan dan keketatannya dalam bertindak mengawasi para pejabat pemerintahan dan kaum

muslimin, penyakit berlomba mengejar kekayaan tidak sempat berkembang di kalangan

masyarakat. Tetapi pada masa-masa terakhir pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan r.a.,

penyakit yang membahayakan kesentosaan ummat itu bermunculan laksana cendawan di musim

hujan. Khalifah Utsman bin Affan r.a. sendiri tidak berdaya menanggulanginya. Nampaknya

karena usia Khalifah Utsman r.a. sudah lanjut, serta pemerintahannya didominasi sepenuhnya

oleh para pembantunya sendiri yang terdiri dari golongan Bani Umayyah.

Pada waktu itu tidak sedikit sahabat Rasul Allah s.a.w. yang hidup serba kekurangan, hanya

karena mereka jujur dan setia kepada ajaran Allah dan tauladan Rasul-Nya. Sampai ada salah

seorang di antara mereka yang menggadai, hanya sekedar untuk dapat membeli beberapa

potong roti. Padahal para penguasa dan orang-orang yang dekat dengan pemerintahan makin

bertambah kaya dan hidup bermewah-mewah. Harta ghanimah dan Baitul Mal milik kaum

muslimin banyak disalah-gunakan untuk

kepentingan pribadi, keluarga dan golongan. Di tengah-tengah keadaan seperti itu, para

sahabat Nabi Muhammad s.a.w. dan kaum muslimin pada umumnya dapat diibaratkan seperti

ayam mati kelaparan di dalam lumbung padi.

Melihat gejala sosial dan ekonomi yang bertentangan dengan ajaran Islam, Abu Dzar Al-Ghifari

sangat resah. Ia tidak dapat berpangku tangan membiarkan kebatilan merajalela. Ia tidak

betah lagi diam di rumah, walaupun usia sudah menua. Dengan pedang terhunus ia berangkat

menuju Damsyik. Di tengah jalan ia teringat kepada nasihat Rasul Allah s.a.w.: jangan

menghunus pedang. Berjuang sajalah dengan lisan! Bisikan suara seperti itu terngiang-ngiang

terus di telinganya. Cepat-cepat pedang dikembalikan kesarungnya.

Mulai saat itu Abu Dzar dengan senjata lidah berjuang memperingatkan para penguasa dan

orang-orang yang sudah tenggelam dalam perebutan harta kekayaan. Ia berseru supaya mereka

kembali kepada kebenaran Allah dan tauladan Rasul-Nya. Pada waktu Abu Dzar bermukim di

Syam, ia selalu memperingatkan orang: "Barang siapa yang menimbun emas dan perak dan

tidak menginfaqkannya di jalan Allah maka beritahukanlah kepada mereka bahwa mereka akan

mendapat siksa yang Pedih. Pada hari kiamat

Di Syam Abu Dzar memperoleh banyak pendukung. Umumnya terdiri dari fakir miskin dan

orang-orang yang hidup sengsara. Makin hari pengaruh kampanyenya makin meluas. Kampanye

Abu Dzar ini merupakan suatu gerakan sosial yang menuntut ditegakkannya kembali prinsipprinsip

kebenaran dan keadilan, sesuai dengan perintah Allah dan ajaran Rasul-Nya.

Muawiyah bin Abi Sufyan, yang menjabat kedudukan sebagai penguasa daerah Syam, memandang kegiatan Abu Dzar sebagai bahaya yang dapat mengancam kedudukannya. Untuk

membendung kegiatan Abu Dzar, Muawiyyah menempuh berbagai cara guna mengurangi

pengaruh kampanyenya. Tindakan Muawiyyah itu tidak mengendorkan atau mengecilkan hati

Abu Dzar. Ia tetap berkeliling kemana-mana, sambil berseru kepada setiap orang: "Aku sungguh

heran melihat orang yang di rurnahnya tidak mempunyai makanan, tetapi ia tidak mau keluar

menghunus pedang!"

Seruan Abu Dzar yang mengancam itu menyebabkan makin banyak lagi jumlah kaum muslimin

yang menjadi pendukungnya. Bersama dengan itu para penguasa dan kaum hartawan yang telah

memperkaya diri dengan cara yang tidak jujur, sangat cemas.

Keberanian Abu Dzar dalam berjuang tidak hanya dapat dibuktikan dengan pedang, tetapi

lidahnya pun dipergunakan untuk membela kebenaran. Di mana-mana ia menyerukan ajaranajaran

kemasyarakatan yang pernah didengarnya sendiri dari Rasul Allah s.a.w.: "Semua

manusia adalah sama hak dan sama derajat laksana gigi sisir…," "Tak ada manusia yang lebih

afdhal selain yang lebih besar taqwanya…", "Penguasa adalah abdi masyarakat," "Tiap orang

dari kalian adalah penggembala, dan tiap penggembala bertanggung jawab atas

kegembalaannya...." dan lain sebagainya.

Para penguasa Bani Umayyah dan orang-orang yang bergelimang dalam kehidupan mewah

sangat kecut menyaksikan kegiatan Abu Dzar. Hati nuraninya mengakui kebenaran Abu Dzar,

tetapi lidah dan tangan mereka bergerak di luar bisikan hati nurani. Abu Dzar dimusuhi dan

kepadanya dilancarkan berbagai tuduhan. Tuduhan-tuduhan mereka itu tidak dihiraukan oleh

Abu Dzar. Ia makin bertambah berani.

Pada suatu hari dengan sengaja ia menghadap Muawiyah, penguasa daerah Syam. Dengan

tandas ia menanyakan tentang kekayaan dan rumah milik Muawiyyah yang ditinggalkan di

Makkah sejak ia menjadi penguasa Syam. Kemudian dengan tanpa rasa takut sedikit pun

ditanyakan pula asal-usul kekayaan Muawiyyah yang sekarang! Sambil menuding Abu Dzar

berkata: "Bukankah kalian itu yang oleh Al-Qur'an disebut sebagai penumpuk emas dan perak,

dan yang akan dibakar tubuh dan mukanya pada hari kiyamat dengan api neraka?!"

Betapa pengapnya Muawiyah mendengar kata-kata Abu Dzar yang terus terang itu! Muaw iyah

bin Abu Sufyan memang bukan orang biasa. Ia penguasa. Dengan kekuasaan di tangan ia dapat

berbuat apa saja. Abu Dzar dianggap sangat berbahaya. Ia harus disingkirkan. Segera ditulis

sepucuk surat kepada Khalifah Utsman r.a. di Madinah. Dalam surat itu Muawiyah melaporkan

tentang Abu Dzar menghasut orang banyak di Syam. Disarankan supaya Khalifah mengambil

salah satu tindakan. Berikan kekayaan atau kedudukan kepada Abu Dzar. Jika Abu Dzar

menolak dan tetap hendak meneruskan kampanyenya, kucilkan saja di pembuangan.

Khalifah Utsman r.a. melaksanakan surat Muawiyah itu. Abu Dzar dipanggil menghadap. Kepada

Abu Dzar diajukan dua pilihan: kekayaan atau kedudukan. Menanggapi tawaran Khalifah itu,

Abu Dzar dengan singkat dan jelas berkata: "Aku tidak membutuhkan duniamu!"

Khalifah Utsman r.a. masih terus menghimbau Abu Dzar. Dikemukakannya: "Tinggal sajalah di

sampingku!"

Sekali lagi Abu Dzar mengulangi kata-katanya: "Aku tidak membutuhkan duniamu!"

Sebagai orang yang hidup zuhud dan taqwa, Abu Dzar berjuang semata-mata untuk menegakkan

kebenaran dan keadilan yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Abu Dzar hanya menghendaki

supaya kebenaran dan keadilan Allah ditegakkan, seperti yang dulu telah dilaksanakan oleh

Rasul Allah s.a.w., Khalifah Abu Bakar r.a. dan Khalifah Umar r.a. Memang justru itulah yang

sangat sukar dilaksanakan oleh Khalifah Utsman r.a., sebab ia harus memotong urat nadi para

pembantu dan para penguasa bawahannya.

Abu Dzar tidak bergeser sedikit pun dari pendiriannya. Akhirnya, atas desakan dan tekanan

para pembantu dan para penguasa Bani Umayyah,Khalifah Utsman r.a. mengambil keputusan:

Abu Dzar harus dikucilkan dalam pembuangan di Rabadzah. Tak boleh ada seorang pun

mengajaknya berbicara dan tak boleh ada seorang pun yang mengucapkan selamat jalan atau

mengantarkannya dalam perjalanan.

Bagi Abu Dzar pembuangan bukan apa-apa. Sekuku-hitam pun ia tidak syak, bahwa Allah s.w.t.

selalu bersama dia. Kapan saja dan di mana saja. Menanggapi keputusan Khalifah Utsman r.a.

ia berkata: "Demi Allah, seandainya Utsman hendak menyalibku di kayu salib yang tinggi atau di

atas bukit, aku akan taat, sabar dan berserah diri kepada Allah. Aku pandang hal itu lebih baik

bagiku. Seandainya Utsman memerintahkan aku harus berjalan dari kutub ke kutub lain, aku

akan taat, sabar dan berserah diri kepada Allah. Kupandang, hal itu lebih baik bagiku. Dan

seandainya besok ia akan mengembalikan diriku ke rumah pun akan kutaati, aku akan sabar dan

berserah diri kepada Allah. Kupandang hal itu lebih baik bagiku."

Itulah Abu Dzar Ghifari, pejuang muslim tanpa pamrih duniawi, yang semata-mata berjuang

untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, demi keridhoan Al Khalik. Ia seorang pahlawan

yang dengan gigih dan setia mengikuti tauladan Nabi Muhammad s.a.w. Ia seorang zahid yang

penuh taqwa kepada Allah dan Rasul-Nya, tidak berpangku tangan membiarkan kebatilan

melanda ummat.

Peristiwa dibuangnya Abu Dzar Al Ghifari ke Rabadzah sangat mengejutkan kaum muslimin,

khususnya para sahabat Nabi Muhammad s.a.w. Imam Ali r.a. sangat tertusuk perasaannya.

Bersama segenap anggota keluarga ia menyatakan rasa sedih dan simpatinya yang mendalam

kepada Abu Dzar.

Abu Bakar Ahmad bin Abdul Aziz Al Jauhariy dalam bukunya As Saqifah, berdasarkan riwayat

yang bersumber pada Ibnu Abbas, menuturkan antara lain tentang pelaksanaan keputusan

Khalifah Utsman r.a. di atas:

Khalifah Utsman r.a. memerintahkan Marwan bin Al Hakam membawa Abu Dzar berangkat dan

mengantarnya sampai di tengah perjalanan. Tak ada seorang pun dari penduduk yang berani

mendekati Abu Dzar, kecuali Imam Ali r.a., Aqil bin Abi Thalib dan dua orang putera Imam Ali

r.a., yaitu Al-Hasan r.a. dan Al Husein r.a. Beserta mereka ikut pula Ammar bin Yasir.

Menjelang saat keberangkatannya, Al Hasan mengajak Abu Dzar bercakap-cakap. Mendengar itu

Marwan bin Al-Hakam dengan bengis menegor: "Hai Hasan, apakah engkau tidak mengerti

bahwa Amirul Mukminin melarang bercakap-cakap dengan orang ini? Kalau belum mengerti,

ketahuilah sekarang!"

Melihat sikap Marwan yang kasar itu, Imam Ali r.a. tak dapat menahan letupan emosinya.

Sambil membentak ia mencambuk kepala unta yang dikendarai oleh Marwan: "Pergilah engkau

dari sini! Allah akan menggiringmu ke neraka."

Sudah tentu unta yang dicambuk kepalanya itu meronta-ronta kesakitan. Marwan sangat marah,

tetapi ia tidak punya keberanian melawan Imam Ali r.a. Cepat-cepat Marwan kembali

menghadap Khalifah untuk mengadukan perbuatan Imam Ali r.a. Khalifah Utsman meluap

karena merasa perintahnya tidak dihiraukan oleh Imam Ali r.a. dan anggota-anggota

keluarganya.

Tindakan Imam Ali r.a. terhadap Marwan itu ternyata mendorong orang lain berani mendekati

Abu Dzar guna mengucapkan selamat jalan. Di antara mereka itu terdapat seorang bernama

Dzakwan maula Ummi Hani binti Abu Thalib.

Dzakwan di kemudian hari Menceritakan pengalamannya sebagai berikut: Aku ingat benar apa

yang dikatakan oleh mereka. Kepada Abu Dzar, Ali bin Abi Thalib mengatakan: "Hai Abu Dzar

engkau marah demi karena Allah! Orang-orang itu, yakni para penguasa Bani Umayyah, takut

kepadamu, sebab mereka takut kehilangan dunianya. Oleh karena itu mereka mengusir dan

membuangmu. Demi Allah, seandainya langit dan bumi tertutup rapat bagi hamba Allah, tetapi

hamba itu kemudian penuh taqwa kepada Allah, pasti ia akan dibukakan jalan keluar. Hai Abu

Dzar, tidak ada yang menggembirakan hatimu selain kebenaran, dan tidak ada yang

menjengkelkan hatimu selain kebatilan!"

Atas dorongan Imam Ali r.a., Aqil berkata kepada Abu Dzar: "Hai Abu Dzar, apa lagi yang

hendak kukatakan kepadamu! Engkau tahu bahwa kami ini semua mencintaimu, dan kami pun

tahu bahwa engkau sangat mencintai kami juga. Bertaqwa sajalah sepenuhnya kepada Allah,

sebab taqwa berarti selamat. Dan bersabarlah, karena sabar sama dengan berbesar hati.

Ketahuilah, tidak sabar sama artinya dengan takut, dan mengharapkan maaf dari orang lain

sama artinya dengan putus asa. Oleh karena itu buanglah rasa takut dan putus asa."

Kemudian Al-Hasan berkata kepada Abu Dzar: "Jika seorang yang hendak mengucapkan selamat

jalan diharuskan diam, dan orang yang mengantarkan saudara yang berpergian harus segera

pulang, tentu percakapan akan menjadi sangat sedikit, sedangkan sesal dan iba akan terus

berkepanjangan. Engkau menyaksikan sendiri, banyak orang sudah datang menjumpaimu.

Buang sajalah ingatan tentang kepahitan dunia, dan ingat saja kenangan manisnya. Buanglah

perasaan sedih mengingat kesukaran di masa silam, dan gantikan saja dengan harapan masa

mendatang. Sabarkan hati sampai kelak berjumpa dengan Nabi-mu, dan beliau itu benar-benar

ridho kepadamu."

Setelah Al Hasan, kini berkatalah Al Husein: "Hai paman, sesungguhnya Allah s.w.t. berkuasa

mengubah semua yang paman alami. Tidak ada sesuatu yang lepas dari pengawasan dan

kekuasaan-Nya. Mereka berusaha agar paman tidak mengganggu dunia mereka. Betapa

butuhnya mereka itu kepada sesuatu yang hendak paman cegah! Berlindunglah kepada Allah

s.w.t. dari keserakahan dan kecemasan. Sabar merupakan bagian dari ajaran agama dan sama

artinya dengan sifat pemurah. Keserakahan tidak akan mempercepat datangnya rizki dan

kebatilan tidak akan menunda datangnya ajal!"

Dengan nada marah Ammar bin Yasir menyambung: "Allah tidak akan membuat senang orang

yang telah membuatmu sedih, dan tidak akan menyelamatkan orang yang menakut-nakutimu.

Seandainya engkau puas melihat perbuatan mereka, tentu mereka akan menyukaimu. Yang

mencegah orang supaya tidak mengatakan seperti yang kaukatakan, hanyalah orang-orang yang

merasa puas dengan dunia. Orang-orang seperti itu takut menghadapi maut dan condong

kepada kelompok yang berkuasa. Kekuasaan hanyalah ada pada orang-orang yang menang. Oleh

karena itu banyak orang "menghadiahkan" agamanya masing-masing kepada mereka, dan

sebagai imbalan, mereka memberi kesenangan duniawi kepada orang-orang itu. Dengan

berbuat seperti itu, sebenarnya mereka menderita kerugian dunia dan akhirat. Bukankah itu

suatu kerugian yang senyata-nyatanya?!"

Sambil berlinangan air mata Abu Dzar berkata: "Semoga Allah merahmati kalian, wahai Ahlu

Baitur Rahman! Bila melihat kalian aku teringat kepada Rasul Allah s.a.w. Suka-dukaku di

Madinah selalu bersama kalian. Di Hijaz aku merasa berat karena Utsman, dan di Syam aku

merasa berat karena Muawiyah. Mereka tidak suka melihatku berada di tengah-tengah saudarasaudaraku

di kedua tempat itu. Mereka memburuk-burukkan diriku, lalu aku diusir dan dibuang

ke satu daerah, di mana aku tidak akan mempunyai penolong dan pelindung selain Allah s.w.t.

Demi Allah, aku tidak menginginkan teman selain Allah s.w.t. dan bersama-Nya aku tidak takut

menghadapi kesulitan…"

Tutur Dzakwan lebih lanjut: Setelah semua orang yang mengantarkan pulang, Imam Ali r.a.

segera datang menghadap Khalifah Utsman bin Affan r.a. Kepada Imam Ali r.a. Khalifah bertanya dengan hati gusar: "Mengapa engkau berani mengusir pulang petugasku --yakni

Marwan-- dan meremehkan perintahku?"

"Tentang petugasmu," jawab Imam Ali r.a. dengan tenang "ia mencoba menghalang-halangi

niatku. Oleh karena itu ia kubalas. Adapun tentang perintahmu, aku tidak meremehhannya."

"Apakah engkau tidak mendengar perintahku yang melarang orang bercakap-cakap dengan Abu

Dzar?" ujar Khalifah dengan marah.

"Apakah setiap engkau mengeluarkan larangan yang bersifat kedurhakaan harus kuturut?"

tanggap Imam Ali r.a. terhadap kata-kata Khalifah tadi dalam bentuk pertanyaan.

"Kendalikan dirimu terhadap Marwan!" ujar Khalifah memperingatkan Imam Ali r.a.

"Mengapa?" tanya Imam Ali r.a.

"Engkau telah memaki dia dan mencambuk unta yang dikendarainya" jawab Khalifah.

"Mengenai untanya yang kucambuk," Imam Ali menjelaskan sebagai tanggapan atas keterangan

Khalifah Utsman r.a., "bolehlah ia membalas mencambuk untaku. Tetapi kalau dia sampal

memaki diriku, tiap satu kali dia memaki, engkau sendiri akan kumaki dengan makian yang

sama. Sungguh aku tidak berkata bohong kepadamu!"

"Mengapa dia tidak boleh memakimu?" tanya Khalifah Utsman r.a. dengan mencemooh. "Apakah

engkau lebih baik dari dia?!"

"Demi Allah, bahkan aku lebih baik daripada engkau!" sahut Imam Ali r.a. dengan tandas. Habis

mengucapkan kata-kata itu Imam Ali r.a. cepat-cepat keluar meninggalkan tempat.

Beberapa waktu setelah terjadi insiden itu, Khalifah Utsman r.a. memanggil tokoh-tokoh kaum

Muhajirin dan Anshar termasuk tokoh-tokoh Bani Umayyah. Di hadapan mereka itu ia

menyatakan keluhannya terhadap sikap Imam Ali r.a.

Menanggapi keluhan Khalifah Utsman bin Affan r.a., para pemuka yang beliau ajak berbicara

menasehatkan: "Anda adalah pemimpin dia. Jika anda mengajak berdamai, itu lebih baik."

"Aku memang menghendaki itu," jawab Khalifah Utsman r.a. Sesudah ini beberapa orang dari

pemuka muslimin itu mengambil prakarsa untuk menghapuskan ketegangan antara Imam Ali

r.a. dan Khalifah Utsman r.a. Mereka menghubungi Imam Ali r.a. di rumahnya. Kepada Imam Ali

r.a. mereka bertanya: "Bagaimana kalau anda datang kepada Khalifah dan Marwan untuk

meminta maaf?"

"Tidak," jawab Imam Ali r.a. dengan cepat. "Aku tidak akan datang kepada Marwan dan tidak

akan meminta maaf kepadanya. Aku hanya mau minta maaf kepada Utsman dan aku mau

datang kepadanya."

Tak lama kemudian datanglah panggilan dari Khalifah Utsman r.a. Imam Ali r.a. datang

bersama beberapa orang Bani Hasyim. Sehabis memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah

s.w.t., Imam Ali r.a. berkata: "Yang kauketahui tentang percakapanku dengan Abu Dzar, waktu

aku mengantar keberangkatannya, demi Allah, tidak bermaksud mempersulit atau menentang

keputusanmu. Yang kumaksud semata-mata hanyalah memenuhi hak Abu Dzar. Ketika itu

Marwan menghalang-halangi dan hendak mencegah supaya aku tidak dapat memenuhi hak yang

telah diberikan Allah 'Azza wa Jalla kepada Abu Dzar. Karena itu aku terpaksa menghalanghalangi

Marwan, sama seperti dia menghalang-halangi maksudku. Adapun tentang ucapanku

kepadamu, itu dikarenakan engkau sangat menjengkelkan aku, sehingga keluarlah marahku, yang sebenarnya aku sendiri tidak menyukainya."

Sebagai tanggapan atas keterangan Imam Ali r.a. tersebut, Khalifah Utsman r.a. berkata

dengan nada lemah lembut: "Apa yang telah kau ucapkan kepadaku, sudah kuikhlaskan. Dan

apa yang telah kaulakukan terhadap Marwan, Allah sudah memaafkan perbuatanmu. Adapun

mengenai apa yang tadi engkau sampai bersumpah, jelas bahwa engkau memang bersungguhsungguh

dan tidak berdusta. Oleh karena itu ulurkanlah tanganmu....!"

Imam Ali r.a. segera mengulurkan tangan, kemudian ditarik oleh Khalifah Utsman r.a. dan

dilekatkan pada dadanya.

Bagaimana keadaan Abu Dzar Al Ghifari di tempat pembuangannya? Ia mati kelaparan bersama

isteri dan anak-anaknya. Ia wafat dalam keadaan sangat menyedihkan, sehingga batu pun bisa

turut menangis sedih!

Menurut riwayat tentang penderitaannya dan kesengsaraannya di tempat pembuangan,

dituturkan sebagai berikut:

Setelah ditinggal mati oleh anak-anaknya, ia bersama isteri hidup sangat sengsara. Berhari-hari

sebelum akhir hayatnya, ia bersama isteri tidak menemukan makanan sama sekali. Ia mengajak

isterinya pergi ke sebuah bukit pasir untuk mencari tetumbuhan. Keberangkatan mereka berdua

diiringi tiupan angin kencang menderu-deru. Setibanya di tempat tujuan mereka tidak

menemukan apa pun juga. Abu Dzar sangat pilu. Ia menyeka cucuran keringat, padahal udara

sangat dingin. Ketika isterinya melihat kepadanya, mata Abu Dzar kelihatan sudah membalik.

Isterinya menangis, kemudian ditanya oleh Abu Dzar: "Mengapa engkau menangis?"

"Bagaimana aku tidak menangis," jawab isterinya yang setia itu, "kalau menyaksikan engkau

mati di tengah padang pasir seluas ini? Sedangkan aku tidak mempunyai baju yang cukup untuk

dijadikan kain kafan bagimu dan bagiku! Bagaimana pun juga akulah yang akan mengurus

pemakamanmu!''

Betapa hancurnya hati Abu Dzar melihat keadaan isterinya. Dengan perasaan amat sedih ia

berkata: "Cobalah lihat ke jalan di gurun pasir itu, barangkali ada seorang dari kaum muslimin

yang lewat!"

"Bagaimana mungkin?" jawab isterinya. "Rombongan haji sudah lewat dan jalan itu sekarang

sudah lenyap!"

"Pergilah kesana, nanti engkau akan melihat," kata Abu Dzar menirukan beberapa perkataan

yang dahulu pernah diucapkan oleh Rasul Allah s.a.w. "Jika engkau melihat ada orang lewat,

berarti Allah telah menenteramkan hatimu dari perasaan tersiksa. Tetapi jika engkau tidak

melihat seorang pun, tutup sajalah mukaku dengan baju dan letakkan aku di tengah jalan. Bila

kaulihat ada seorang lewat, katakan kepadanya: Inilah Abu Dzar, sahabat Rasul Allah. Ia sudah

hampir menemui ajal untuk menghadap Allah, Tuhannya. Bantulah aku mengurusnya!"

Dengan tergopoh-gopoh isterinya berangkat sekali lagi ke bukit pasir. Setelah melihat ke sanake

mari dan tidak menemukan apa pun juga, ia kembali menjenguk suaminya. Di saat ia sedang

mengarahkan pandangan mata ke ufuk timur nan jauh di sana, tiba-tiba melihat bayang-bayang

kafilah lewat, tampak benda-benda muatan bergerak-gerak di punggung unta. Cepat-cepat

isteri Abu Dzar melambai-lambaikan baju memberi tanda. Dari kejauhan rombongan kafilah itu

melihat, lalu menuju ke arah isteri Abu Dzar berdiri. Akhirnya mereka tiba di dekatnya,

kemudian bertanya: "Hai wanita hamba Allah, mengapa engkau di sini?"

"Apakah kalian orang muslimin?" isteri Abu Dzar balik bertanya. "Bisakah kalian menolong kami

dengan kain kafan?"

"Siapa dia?" mereka bertanya sambil menoleh kepada Abu Dzar.

"Abu Dzar Al-Ghifari!" jawab wanita tua itu.

Mereka saling bertanya di antara sesama teman. Pada mulanya mereka tidak percaya, bahwa

seorang sahabat Nabi yang mulia itu mati di gurun sahara seorang diri. "Sahabat Rasul Allah?"

tanya mereka untuk memperoleh kepastian.

"Ya, benar!" sahut isteri Abu Dzar.

Dengan serentak mereka berkata: "Ya Allah...! Dengan ini Allah memberi kehormatan kepada

kita!"

Mereka meletakkan cambuk untanya masing-masing, lalu segera menghampiri Abu Dzar.

Orangtua yang sudah dalam keadaan payah itu menatapkan pendangannya yang kabur kepada

orang-orang yang mengerumuninya. Dengan suara lirih ia berkata:

"Demi Allah…, aku tidak berdusta…, seandainya aku mempunyai baju bakal kain kafan untuk

membungkus jenazahku dan jenazah isteriku, aku tidak akan minta dibungkus selain dengan

bajuku sendiri atau baju isteriku.....Aku minta kepada kalian, jangan ada seorang pun dari

kalian yang memberi kain kafan kepadaku, jika ia seorang penguasa atau pegawai."

Mendengar pesan Abu Dzar itu mereka kebingungan dan saling pandang-memandang. Di antara

mereka ternyata ada seorang muslim dari kaum Anshar. Ia menjawab: "Hai paman, akulah yang

akan membungkus jenazahmu dengan bajuku sendiri yang kubeli dengan uang hasil jerihpayahku.

Aku mempunyai dua lembar kain yang telah ditenun oleh ibuku sendiri untuk

kupergunakan sebagai pakaian ihram…"

"Engkaukah yang akan membungkus jenazahku? Kainmu itu sungguh suci dan halal….!" Sahut

Abu Dzar.

Sambil mengucapkan kata-kata itu Abu Dzar kelihatan lega dan tentram. Tak lama kemudian ia

memejamkan mata, lalu secara perlahan-lahan menghembuskan nafas terakhir dalam keadaan

tenang berserah diri ke hadirat Allah s.w.t. Awan di langit berarak-arak tebal teriring tiupan

angin gurun sahara yang amat kencang menghempaskan pasir dan debu ke semua penjuru. Saat

itu Rabadzah seolah-olah berubah menjadi samudera luas yang sedang dilanda tofan.

Selesai di makamkan, orang dari Anshar itu berdiri di atas kuburan Abu Dzar sambil berdoa: "Ya

Allah, inilah Abu Dzar sahabat Rasul Allah s.a.w., hamba-Mu yang selalu bersembah sujud

kepada-Mu, berjuang demi keagungan-Mu melawan kaum musyrikin, tidak pernah merusak atau

mengubah agama-Mu. Ia melihat kemungkaran lalu berusaha memperbaiki keadaan dengan

lidah dan hatinya, sampai akhirnya ia dibuang, disengsarakan dan di hinakan sekarang ia mati

dalam keadaan terpencil. Ya Allah, hancurkanlah orang yang menyengsarakan dan yang

membuangnya jauh dari tempat kediamannya dan dari tempat suci Rasul Allah!"

Mereka mengangkat tangan bersama-sama sambil mengucapkan "Aamiin" dengan khusyu'.

Orang mulia yang bernama Abu Dzar Al-Ghifari telah wafat, semasa hidupnya ia pernah

berkata: "Kebenaran tidak meninggalkan pembela bagiku..."

Krisis politik dan pemberontakan

Krisis politik yang menggoncangkan pemerintahan Khalifah Utsman r.a. di Madinah prosesnya di

mulai dari Mesir. Dalam bukunya 'Aisyah was Siyasah, halaman 48, Said Al-Afghani, sejarawan

Islam terkemuka, menuturkan proses terjadinya pemberontakan terhadap Khalifah Utsman r.a. sebagai berikut:

Abdullah bin Abi Sarah, yang dalam periode kekhalifahan Utsman r.a. menjadi Gubernur atau

Kepala Daerah Mesir dengan kekuasaan penuh, banyak rnelakukan tindakan yang menimbulkan

rasa tidak puas dan jengkel di kalangan penduduk. Keluhan penduduk Mesir itu mendapat

tanggapan baik dari Khalifah Utsman r.a. Tetapi Khalifah sendiri tidak dapat bertindak tegas.

Bahkan orang-orang Mesir yang mengadu kepada Khalifah, sekembalinya dari Madinah dibunuh

oleh Abdullah bin Abi Sarah.

Peristiwa semacam itu mengugah kemarahan rakyat yang semakin memuncak. Hampir 700

orang bersenjata meninggalkan Mesir. Mereka menuju Madinah untuk menghadap Khalifah.

Khalifah didesak supaya bertindak terhadap Abdullah bin Abi Sarah dan memecatnya dari

kedudukan sebagai Kepala Daerah.

Semua sahabat Rasul Allah s.a.w., termasuk Imam Ali r.a. dan Sitti 'Aisyah r.a. turut mendesak

Khalifah Utsman r.a. agar memenuhi tuntutan rakyat Mesir. Bagaimana pun juga alasannya

tindakan Abdullah bin Abi Sarah itu bertentangan dengan hukum Islam dan tidak dapat

dipertanggung jawabkan oleh Khalifah. Khalifah Utsman. r.a. menyatakan persetujuannya dan

akan bertindak memecat Abdullah bin Abi Sarah.

Sejalan dengan pengangkatan Kepala Daerah baru (yang berangkat langsung dari Madinah ke

Mesir), berangkat juga kurir khusus membawa surat rahasia untuk diserahkan kepada Abdullah

bin Abi Sarah. Dalam surat rahasia itu terdapat tanda-tangan Khalifah Utsman r.a. Isinya

memerintahkan Abdullah bin Abi Sarah supaya segera membunuh Kepala Daerah baru setibanya

di Mesir. Kepala Daerah baru itu ialah Muhammad bin Abu Bakar Ash shiddiq.

Celakanya, kurir yang membawa surat rahasia itu dipergoki di tengah jalan oleh iring-iringan

Kepala Daerah yang baru diangkat dan yang akan melakukan timbang terima jabatan dari

Kepala Daerah yang lama. Terbongkarlah permainan politik yang sangat curang dan kotor itu.

Kemarahan rakyat Mesir tambah meningkat dan mendidih.

Penduduk Mesir menuding bahwa Marwan Al-Hakam-lah biang keladi permainan politik yang

sangat berbahaya itu. Mereka menuntut agar Khalifah Utsman r.a. menyerahkan Marwan

kepada mereka atau menyingkirkan Marwan dari kekuasaan. Tetapi Khalifah bertahan. Banyak

yang memberi nasehat kepada Khalifah supaya Marwan dikeluarkan saja dari pemerintahan.

Nasehat para sahabat ini tidak dapat mengubah pendirian Khalifah yang tetap mempertahankan

Marwan. Ia mengakui, bahwa Marwan memang membikin kesalahan, tetapi tidak usah diambil

tindakan sejauh itu. Inilah yang mendorong timbulnya krisis politik yang dengan hebat akan

melanda kota Madinah.

Sikap Khalifah Utsman r.a. itu seolah-olah katup-lemah dari suasana tertekan yang siap

meledak. Dan benarlah, rasa tidak puas rakyat terhadap kepemimpinan Khalifah Utsman bin

Affan r.a. akhirnya menggelegar dalam bentuk pemberontakan.

Peristiwa penggantian Kepala Daerah Mesir sebenarnya hanya merupakan sinyal saja bagai

pecahnya pemberontakan terhadap Khalifah Utsman r.a. Api dalam sekam sudah lama

membara, menunggu hembusan angin yang bertiup dari kantong seorang kurir yang membawa

surat rahasia ke Mesir.

700 orang dari Mesir, berhasil memperoleh dukungan dari sebagian besar penduduk Madinah.

Dengan senjata di tangan masing-masing, mereka berbondong-bondong menuju tempat

kediaman Khalifah dan dengan ketat mengepungnya. Tindakan pengepungan ini pada mulanya

dimaksud untuk menekan Khalifah supaya cepat-cepat mengambil langkah yang tegas terhadap

orang-orang kepercayaannya, yang selalu menjadi biang keladi timbulnya keresahan dalam

masyarakat.

Pengepungan total dan ketat itu ternyata menimbulkan akibat yang dari hari ke hari makin

buruk bagi kehidupan keluarga Khalifah. Yang paling cepat terasa ialah kekurangan air minum.

Pada suatu hari dalam suasana kepungan rakyat itu masih berlangsung dan tambah keras,

Khalifah Utsman r.a. dari anjungan berteriak kepada kerumunan orang yang sedang gaduh dan

hirukpikuk: "Adakah Ali di antara kalian?"

"Tidak!" dijawab dengan singkat dan dengan nada kesal oleh kerumunan orang yang berada di

bawah anjungan.

"Apakah ada di antara kalian yang mau menyampaikan kepada Ali supaya kami bisa mendapat

air minum?" teriak Khalifah Utsman r.a. pula.

Teriakan Khalifah Utsman r.a. itu bermaksud hendak memberitahu kepada rakyat yang

memberontak, bahwa persediaan air minum bagi keluarganya. sudah habis. Teriakan terakhir

dari Khalifah ini tidak disahuti sama sekali.

Setelah Imam Ali r.a. diberi tahu oleh seseorang, bahwa Khalifah dan keluarganya sangat

membutuhkan air, tanpa ragu-ragu ia memerintahkan supaya kepada keluarga Khalifah yang

sedang terkepung itu dikirim air 3 qirbah (kantong wadah air terbuat dari kulit kambing atau

unta). Guna melaksanakan perintah itu, putera-putera Imam Ali r.a. sendiri, yaitu Al-Hasan dan

Al-Husein membawa air ke rumah Khalifah. Berkat kewibawaan Imam Ali r.a., tidak ada orang

yang berani menghalang-halangi pengiriman air itu.

Suasana yang tegang itu memang sangat menyulitkan kedudukan Imam Ali r.a. Di satu fihak ia

menghormati Khalifah Utsman r.a. sebagai pemimpin ummat yang telah dibai'at secara sah.

Khalifah Utsman r.a. adalah sahabat karibnya dan kawan seperjuangan dalam menegakkan

Islam, dalam waktu yang panjang mereka terikat oleh tali persaudaraan, karena masing-masing

pernah menjadi menantu Rasul Allah s.a.w. Tetapi di fihak lain, Khalifah yang telah lanjut usia

itu tidak berdaya mengendalikan pembantu-pembantunya. Bahkan kepada pembantupembantunya

ia memberikan kepercayaan penuh.

Berfihak kepada Khalifah berarti membela Marwan dan kawan-kawannya yang terang dibenci

oleh kaum muslimin. Berfihak kepada kaum muslimin yang memberontak, berarti melawan

Khalifah yang sah. Usahanya untuk menyadarkan Khalifah tentang gawatnya akibat perbuatan

pembantu-pembantunya, tidak pernah berhasil. Khalifah Utsman r.a. memang terkenal sejak

dulu sebagai orang yang keras dalam berpegang pada pendiriannya.

Pertentangan batin benar-benar bergolak dalam hati Imam Ali r.a. Ia merasa wajib

menyelamatkan keadaan dari bencana fitnah, tetapi apa daya jika fihak yang bersangkutan

sendiri tidak menghiraukan nasehat-nasehat. Bahkan dalam keadaan yang sangat kritis itu

Khalifah Utsman r.a. lebih dekat kepada pembantu-pembantunya. Sementara itu kaum

pemberontak makin hari makin hilang kesabarannya. Blokade terhadap rumah kediaman

Khalifah tidak berhasil mengubah pendirian pemimpin yang sudah lanjut usia itu.

Para sahabat Rasul Allah s.a.w. yang lain, seperti Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Al-'Awwam

dan Sa'ad bin Abi Waqqash, posisi mereka hampir sama dengan posisi Imam Ali r.a. Nasehatnasehat

mereka sudah tidak mempan bagi Khalifah. Padahal tuntutan kaum muslimin yang

berontak benar-benar adil dan masuk akal.

Setelah pengepungan makin hari makin berlarut dan Khalifah juga tidak bersedia memenuhi

tuntutan kaum pemberontak, akhirnya kaum pemberontak mengambil jalan pintas. Mereka

merencanakan pembunuhan diam-diam terhadap Khalifah Utsman r.a.

Rencana kaum pemberontak ini cepat tercium oleh Imam Ali r.a. Ia segera memerintahkan dua orang puteranya, guna melindungi keselamatan Khalifah: "Berangkatlah kalian ke rumah

Utsman. Bawa pedang dan berjaga-jagalah di ambang pintu rumahnya. Jaga, jangan sampai

terjadi suatu bencana menimpa Utsman!

Tindakan pencegahan yang dilakukan oleh Imam Ali r.a. diikuti oleh para sahabat Nabi

Muhammad s.a.w. yang lain. Thalhah dan Zubair juga memerintahkan puteranya masing-masing

untuk bersama-sama Al-Hasan r.a. dan Al-Husein r.a. melindungi Khalifah Utsman r.a.

Langkah-langkah pencegahan yang diambil oleh Imam Ali r.a. itu ditulis. oleh Said Al-Afghaniy

dalam bukunya Aisyah was Siyasah. Bahkan kata penulis ini, ketika kaum pemberontak makin

gusar dan menghujani rumah Khalifah dengan anak panah, beberapa putera sahabat Rasul Allah

s.a.w. yang berjaga-jaga itu ada yang terluka, antara lain Al-Hasan bin Ali dan Muhammad bin

Thalhah. Terlukanya putera-putera para tokoh Islam itu menimbulkan kekhawatiran kaum

pemberontak, yang nampaknya di pimpin oleh Muhammad bin Abu Bakar Ash shiddiq.

"Kalau orang-orang Bani Hasyim datang," kata Muhammad bin Abu Bakar , "dan melihat darah

mengalir dari tubuh Al-Hasan dan Al-Husein, mereka pasti akan bertindak terhadap kita.

Rencana kita akhirnya akan gagal." Berdasarkan jalan fikiran yang demikian, diusulkan kepada

teman-temannya agar Khalifah Utsman dibunuh saja secara diam-diam.

Gugur di tangan pemberontak

Proses terjadinya pembunuhan atas diri Khalifah Utsman r.a. ternyata banyak diteliti oleh para

sejarawan, terutama para penulis sejarah Islam. Ada beberapa versi yang muncul mengenai

siapa sebenarnya yang membunuh Khalifah Utsman r.a. Said Al-Afghaniy, yang bukunya

dianggap autentik oleh para sejarawan menunjuk bahwa Muhammad bin Abu Bakar Ash Shiddiqlah

yang merencanakan pembunuhan itu, tetapi yang melaksanakan rencana dua orang

temannya.

Menurut Said Al-Afghaniy, Muhammad bin Abu Bakar bersama dua orang temannya memanjat

dinding belakang kamar Khalifah. Ketika itu Khalifah sedang membaca Al-Qur'an dan hanya

ditemani oleh isterinya yang bernama Na'ilah. Setelah berhasil memasuki kamar Khalifah,

Muhammad langsung menyerbu Khalifah. Lalu janggutnya yang sudah memutih dipegangnya

keras-keras. Khalifah dengan nada sedih berkata: "Lepaskan janggutku, hai putera saudaraku!

Jika ayahmu melihat perbuatan yang kau lakukan ini… aah, alangkah kecewanya dia!"

Hati Muhammad bin Abu Bakar justru terharu, cair dan luluh. Tanpa disadari, tangan yang

sedang memegang erat janggut memutih itu mengendor perlahan-lahan dan lepaslah. Tetapi

malang, dua orang teman Muhammad yang turut masuk menyerbu tidak dapat menguasai

hatinya masing-masing. Tombak pendek yang mereka pegang segera dihunjamkan ke lambung

Khalifah Utsman r.a. Seketika itu juga Khalifah gugur. Na'ilah yang menyaksikan adegan itu

melolong dan menjerit-jerit histeris bersamaan dengan melesatnya tiga orang pemuda itu lari

melompat jendela. Na'ilah terus menerus menjerit: "Amirul Mukminin terbunuh! Amirul

Mukminin terbunuh!"

Dalam versi yang sama, tetapi dengan pendekatan yang sedikit berbeda, buku yang berjudul Al-

Iqdul Farid, jilid III, halaman 78-82, juga mengungkapkan proses pembunuhan atas diri Khalifah

Utsman r.a. Segera setelah mendengar berita tentang terbunuhnya Khalifah Utsman r.a., Imam

Ali r.a. termasuk orang pertama yang menuju ke kamar maut. Duka hatinya yang mendalam

terpancar terang sekali pada wajahnya ketika menyaksikan sahabatnya gugur secara

menyedihkan. Tetapi wajah sendu itu kemudian berubah merah padam waktu ia menoleh

kepada dua orang puteranya. "Bagaimana ia bisa terbunuh? Bukankah kalian berdua sudah

kuperintahkan supaya berjaga-jaga di depan pintu rumahnya?" tegor Imam Ali r.a. kepada dua

orang puteranya dengan suara membentak.

Tampaknya kemarahan Imam Ali r.a. demikian hebatnya, sampai kedua orang puteranya itu dipukulnya sendiri. Kemudian kepada Na'ilah, janda Khalifah Utsman r.a. yang sedang

dirundung malang ia bertanya tentang siapa sebenarnya yang membunuh Khalifah.

"Aku tak tahu," jawab Na'ilah. "Yang kulihat ada dua orang tak kukenal masuk bersama

Muhammad bin Abu Bakar…" ujarnya sambil menangis. Lalu diceritakan oleh Na'ilah apa yang

telah dilakukan oleh Muhammad bin Abu Bakar.

Ketika Imam Ali r.a. mengecek keterangan Na'ilah kepada Muhammad bin Abu Bakar, putera

Khalifah pertama itu hanya mengatakan: "Wanita itu tidak berdusta. Aku memang masuk ke

kamar itu dengan rencana hendak membunuh Utsman. Tetapi pada saat ia mengingatkan aku

tentang ayahku, aku sadar kembali dan bertaubat."

Dengan nada sungguh-sungguh dan penuh penyesalan, putera Khalifah Abu Bakar r.a itu

kemudian melanjutkan kata-katanya: "Demi Allah, aku tidak membunuhnya!"

Menanggapi keterangan Muhammad bin Abu Bakar itu, Na'ilah pada lain kesempatan berkata

kepada Imam Ali r.a.: "Bahwa apa yang dikatakan oleh Muhammad itu benar. Tetapi dialah

yang membawa masuk dua orang pembunuh itu."

Agak berbeda dengan dua riwayat tersebut di atas, versi lain lagi yang ditulis oleh sejarawan

terkemuka juga, At-Thabariy, dalam bukunya Tarikh, jilid III, mengatakan pada halaman 421

sebagai berikut:

Seorang demi seorang memasuki kamar Khalifah yang sedang membaca Al-Qur'an. Tapi orangorang

itu mundur kembali karena ragu-ragu hendak membunuh Khalifah yang sudah lanjut usia.

Kemudian masuklah Qutairah dan Saudan bin Hamran bersama seorang lagi yang dipanggil

dengan nama Al-Gafhiqiy. Dengan sebatang besi yang dibawanya, Al-Gafhiqiy menghantam

Khalifah Utsman. Qur'an yang sedang dibaca oleh Khalifah ditendang sampai jatuh di depan

orangtua itu, kemudian memerah dibasahi cucuran darah yang mengalir dari luka-luka Khalifah.

Saudan segera maju untuk menebas leher Khalifah, tetapi isterinya yang menyaksikan kejadian

itu cepat-cepat bergerak maju untuk menahan pedang yang sedang diayun, sehingga putuslah

jari-jarinya.

Habis melakukan pembunuhan kejam itu, tidak lupa mereka merampas benda-benda berharga

yang ada dalam ruangan. Bahkan mereka mencoba melucuti perhiasan yang sedang dipakai oleh

anak-anak dan isteri Khalifah Utsman. Tetapi ketika mereka mendengar pekik dan jerit para

wanita, terpaksa mereka buru-buru lari keluar. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 18

bulan Dzulhijjah, tahun 35 Hijriyah, yaitu waktu Khalifah Utsman genap berusia 82 tahun.

Terbunuhnya Khalifah ketiga ini merupakan alamat buruk yang menandai akan terjadinya krisis

baru yang lebih hebat lagi di kalangan ummat Islam masa itu. Bagi Imam Ali r.a. sendiri,

peristiwa itu menempatkan dirinya pada kedudukan yang serba sulit. Sebab terbunuhnya

Khalifah berarti terjadinya kekosongan pimpinan yang serius dan tak mudah diatasi. Sedang

wilayah Islam sudah sedemikian luasnya membentang dari barat sampai ke timur.

Tokoh-tokoh seperti Abu Sufyan bin Harb, Muawiyah bin Abi Sufyan, Marwan bin Al-Hakam,

Abdullah bin Abi Sarah dan lain-lain, itulah pada hakekatnya yang menggali liang kubur bagi

Khalifah Utsman r.a. Mereka itulah sebenarnya yang harus bertanggung jawab atas terjadinya

malapetaka yang menimpa diri Khalifah itu. Tetapi rasa tanggung jawab itu tidak ada pada

mereka. Malahan setelah pemberontakan terjadi dan Khalifah mati terbunuh, mereka cepatcepat

membersihkan diri dan cuci tangan, serta menjadikan Imam Ali r.a. sebagai kambing

hitam.