Peri Kehidupan 14 Manusia Suci

Peri Kehidupan 14 Manusia Suci0%

Peri Kehidupan 14 Manusia Suci pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Rasulullah & Ahlulbait

Peri Kehidupan 14 Manusia Suci

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

pengarang: Penerjemah Ansariyan
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Pengunjung: 13304
Download: 7819

Komentar:

Peri Kehidupan 14 Manusia Suci
Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 17 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 13304 / Download: 7819
Ukuran Ukuran Ukuran
Peri Kehidupan 14 Manusia Suci

Peri Kehidupan 14 Manusia Suci

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Manusia Suci Keempat

Imam Kedua

Imam Hasan Mujtaba As

Manusia Suci Keempat

Imam Kedua

Imam Hasan Mujtaba As

Nama : al-Hasan

Gelar : al-Mujtaba

Panggilan : Abu Muhammad

Nama Ayah : 'Ali bin Abi Thalib

Nama Ibu : Fatimah binti Muhammad Saw

Wiladah : Madinah, Selasa, 15 Ramadan 3 H

Syahadah : Syahid pada usia 46 tahun, di Madinah, Kamis, 28 Safar 50 H.

Haram : Jannatul Baqi Madinah

Imam Hasan merupakan putra sulung dari Imam 'Ali dan Hadrat Fatmiah. Ketika Nabi Saw menerima berita gembira kelahiran cucunya, ia datang ke rumah putri kinasihnya, menggendongnya, membacakan adzan di telinga kanannya dan iqamah di telinga kirinya, dan sesuai dengan perintah Allah Swt, Nabi Saw memberikan nama anak tersebut dengan nama al-Hasan.

Masa Kanak-kanak

Masa tujuh tahun pertama dari masa kecilnya diberkati dengan perlindungan Nabi Saw, yang menganugerahkan kepadanya seluruh keutamaan dan menghiasinya dengan ilmu-ilmu Ilahi, toleransi, intelegensi, sikap pemurah dan keberanian. Karena maksum sejak kecil dan dihiasi dengan ilmu-ilmu Ilahiah oleh Allah Swt, cakrawala pemikirannya menembus hingga al-Lawhul Mahfuz.

Imam yang suci ini segera menjadi akrab dengan seluruh kandungan al-Qur'an yang diwahyukan kepada Rasulullah Saw. Rasulullah Saw menyingkapkan kandungan-kandungan ayat suci al-Qur'an kepada kerabat dekatnya. Nabi Saw bahkan terkejut ketika Hadrat Fatimah As membacakan ayat-ayat dengan tepat persis setelah baru saja diwahyukan sebelum Nabi Saw menyingkapkannya kepadanya. Ketika Hadrat Zahra ditanya, dia menjawab bahwa melalui al-Hasan dia belajar Wahyu.

Mengingat Allah (Dzikrullah)

Imam As banyak menyibukkan dirinya dengan ibadah sedemikian banyaknya, sehingga seluruh anggota badannya disibukkan dengan sujud sampai menyisakan goresan dan bekas-bekas sujudnya. Hampir seluruh malam dihabiskan dalam doa dan munajat. Perasaan tawadu' dan asyik dalam ibadah kepada Allah Swt membuat air matanya tumpah-ruah karena takut kepada Allah Swt. Pada waktu mengerjakan wudu, ia bergetar takut dan raut wajahnya menjadi pias tatkala waktu shalat tiba. Kegemarannya dalam mengerjakan shalat dan keasyikannya yang luar biasa dalam bercengkerama dengan Allah Swt membawanya tidak sadar terhadap keadaan di sekelilingnya.

Ketakwaan dan Sifat Qana'ah

Imam Hasan memiliki harta dunia dan dapat menikmati kehidupan yang mewah, akan tetapi seluruh harta dan kesempatan untuk menikmati kehidupan mewah itu digunakan untuk membantu memperbaiki keadaan orang-orang miskin disekitarnya.

Dia sangat pemurah dan rendah-hati sehingga tidak pernah ragu untuk duduk bersama para pengemis di jalan-jalan kecil dan dalam perjalanan safar menuju ke Madinah untuk memenuhi taklif mereka. Karena sikapnya yang ramah dan hangat, dia tidak pernah membiarkan kaum fakir dan orang-orang miskin merasa rendah di hadapannya ketika mereka mengunjunginya.

Imâmah

Wafatnya Rasulullah Saw yang disusul oleh sebuah peristiwa di mana dunia Islam (di bawah penguasa sumbang) masuk mengambil alih kendali dengan semangat ekspansionisme dan penaklukan. Namun bahkan di dalam tahap revolusioner seperti itu, Imam Hasan tetap membaktikan dirinya dengan tugas-tugas suci perdamaian dalam mendakwahkan Islam dan ajaran-ajaran kudus Nabi Saw bersama ayahnya Imam 'Ali As.

Syahadahnya Imam 'Ali As yang terjadi pada tanggal 21 Ramadan menandai naiknya Imam Hasan ke kursi Imâmah. Mayoritas kaum Muslimin menyampaikan dukungan kepadanya dan mengakhirinya dengan formalitas bai'at. Tidak lama setelah mengambil alih kendali kepemimpinan, Imam Hasan As harus berhadapan dengan tantangan Mua'wiyah Gubernur Syiri'a, yang menyatakan perang terhadapnya. Sesuai dengan kehendak Allah Swt dan dengan perhitungan yang matang untuk mencegah jatuhnya korban dari pihak kaum Muslimin, Imam Hasan As menyetujui sebuah perjanjian gencatan senjata (damai) dengan Mu'awiyah dengan syarat-syarat (yang tidak diakuri dan dijalankan oleh Mu'awiyah), namun demi menyelamatkan Islam dan menghentikan perang saudara. Akan tetapi, gencatan senjata ini tidak berarti diserahkannya tampuk Imâmah kepada Mua'wiyah. Gencatan senjata hanya bersifat sementara, peralihan administrasi pemerintahan kekuasaan Islam, dengan syarat bahwa administrasi pemerintahan diserahkan kembali kepada Imam Hasan As setelah Mu'wiyah meninggal lalu diserahkan dan diwariskan kepada Imam Husain As. Setelah melepaskan dirinya dari kesemrawutan tanggung jawab administrasi, Imam Hasan menjaga kepemimpinan agama dan membaktikan dirinya untuk penyebaran Islam dan ajaran-ajaran kudus Rasulullah Saw di Madinah.

Syahadah Imam Hasan As

Kejahatan Mu'awiyah terhadap Imam Hasan As makin tak terkendali dan pada akhirnya Mu'awiyah mengadakan persekongkolan dengan istri Imam Hasan, Jadah binti Ash'ath. Dia diperalat oleh Mu'awiyah untuk memberikan racun terhadap makanan Imam Hasan yang mengoyak jantungnya. Imam Hasan jatuh kepada rencana keji Mu'awiyah dan meraih syahadah pada tanggal 28 Safar 50 H. Prosesi penguburan Imam Hasan dihadiri oleh Imam Husain dan anggota keluarga Bani Hasyim. Jasad suci Imam Hasan ketika diusung ke pemakaman dekat haram Rasulullah Saw, panah-panah dilancarkan oleh musuh-musuhnya (di bawah pengawasan dan persetujuan Aisyah), dan jasad Imam Hasan itu harus dialihkan ke pemakaman umum Jannatul Baqi di Madinah. Haram-nya dirubuhkan bersama marqad-marqad (kuburan) lainnya pada tanggal 8 Syawal 1344 H (21 April 1926) oleh penguasa Saudi yang naik ke tampuk kekuasaan di Hijaz.

Syarat-syarat perjanjian segera dilanggar, akan tetapi hanya menyisakan kemenangan yang sekejap bagi Mu'awiyah. Konsekuensinya membawa neraka dan malapetaka bagi nasib anaknya Yazid dan bencana bagi seluruh Bani Umayyah. Setelah kematian Mu'awiyah, Imam Husain muncul sebagai gunung kebenaran yang tak terdaki. Dalam tragedi Karbala, dengan kekuatan pasukan besar, dan dengan mengisolir ke-tujuh puluh dua sahabat Imam Husain dan mencegah mereka untuk mendapatkan air selama tiga hari, Yazid berhasil membunuh ke-tujuh puluh dua sahabat Imam Husain termasuk anggota keluarga Imam Husain yang ikut serta dalam kafilah tersebut.

Kesuksesan pengecut Yazid ini, bagaimanapun, berusia pendek. Kaum Muslimin beralih menentangnya setelah mengetahui perbuatan keji dan kepengecutan yang dia lakukan dan akibatnya Yazid diturunkan dari kekuasaan dan Bani Umayyah punah dari muka bumi.

Allamah Tabataba'i menulis:

Imam Hasan Mujtaba As, adalah Imam Kedua. Dia dan saudaranya Imam Husain merupakan putra Imam 'Ali As dan Hadrat Fatimah As, putri Rasulullah Saw. Berulang kali Nabi Saw bersabda bahwa: "Hasan dan Husain adalah putraku." Karena sabda Rasulullah Saw ini sehingga Imam 'Ali berkata kepada anak-anaknya yang lain, "Kalian adalah anakku dan Hasan dan Husain adalah putra Rasulullah Saw."

Imam Hasan As lahir pada tahun ke-3 Hijriah di Madinah, dan menghabiskan usianya selama tujuh tahun bersama datuknya Rasulullah Saw, tumbuh dewasa pada usia seperti itu di bawah bimbingan kasih Nabi Saw. Setelah wafatnya Nabi Saw yang berlangsung tidak lebih dari tiga –atau beberapa sesuai dengan riwayat yang lain– enam bulan lebih awal dari kematian Rasulullah Saw, Hasan ditempatkan secara langsung di bawah pengawasan ayahnya. Setelah ayahnya wafat, melalui instruksi Ilahi dan sesuai dengan wasiat ayahnya, Imam Hasan menjadi Imam; dia juga menduduki fungsi sebagai khalifah selama enam bulan, dia melaksanakan administrasi urusan-urusan kaum Muslimin. Selama masa itu, Mua'wiyah, yang merupakan musuh bebuyutan Imam 'Ali dan keluarganya dan telah berjuang dengan gigih untuk menduduki kursi khalifah, menggiring pasukannya dari Irak, untuk menjatuhkan Imam Hasan dari khilâfah. Peperangan terjadi selama masa Mu'awiyah secara perlahan menyuap jendral dan pimpinan pasukan Imam Hasan dengan uang banyak dan iming-iming hingga pasukan memberontak terhadap Imam Hasan. Akhirnya, Imam Hasan terpaksa untuk menyetujui gencatan senjata dan menyerahkan khilâfah kepada Mu'awiyah, dengan syarat bahwa khilâfah harus diserahkan kepada Imam Hasan jika Mu'awiyah wafat dan keluarga Imam dan pengikutnya dilindungi dalam setiap keadaan.

Dengan cara seperti ini, Mu'awiyah menduduki khalifah dan memasuki Irak. Dalam sebuah pidato resminya, ia menginjak-injak isi perjanjian itu dan dalam segala kemungkinan menekan keluarga Imam (Ahlulbait Nabi Saw) dan pengikutnya. Selama sepuluh tahun masa Imâmah Imam Hasan As, Imam Hasan menjalani hidup dengan payah dan di bawah tekanan, tanpa rasa aman termasuk di rumahnya sendiri. Pada tahun 50 H, dia diracun dan disyahidkan oleh keluarganya sendiri, seperti yang dicatat sejarah, yang mendapat mandat dari Mu'awiyah.

Dalam hal kesempurnaannya, Imam Hasan merupakan cerminan kesempurnaan ayahnya dan teladan sempurna datuknya. Kenyataannya, selama Rasulullah Saw hidup, dia dan saudaranya senantiasa bersama Rasulullah Saw, terkadang Rasulullah Saw memanggul mereka berdua di pundaknya. Sumber-sumber maktab Sunni dan Syiah meriwayatkan sabda Nabi Saw ini berkenaan dengan Imam Hasan dan Husain:

"Kedua anakku ini adalah Imam, dalam keadaan berdiri atau duduk, (isyarat apakah mereka menjabat khalifah atau tidak)". Juga, terdapat dalam banyak hadis-hadis Nabi dan Imam 'Ali bertalian dengan kenyataan bahwa Imam Hasan akan mendapatkan Imâmah selepas ayahnya. (Shiite Islam).

Mutiara Hadis Imam Hasan

Jika engkau gagal untuk mendapatkan keuntungan dunia, anggaplah seakan-akan pikiran ini tidak pernah terlintas sama sekali.

Tidak bermusyawarah suatu bangsa kecuali mereka dibimbing kepada kedewasaan.

Cintalah yang membawa orang-orang jauh akan mendekat, dan tanpanya akan membawa jauh orang-orang yang dekat.

Kesempatan adalah sesuatu yang cepat perginya dan terlambat kembalinya.[]

Manusia Suci Kelima

Imam Ketiga

Imam Husain as-Syahid As

Manusia Suci Kelima

Imam Ketiga

Imam Husain as-Syahid As

Nama : Al-Husain

Gelar : Sayyidusy Syuhada

Panggilan : Abu Abdillah

Nama Ayah : 'Ali bin Abi Thalib

Nama Ibu : Fatimah binti Muhammad

Wiladah : Madinah, Kamis 3 Sya'ban 4 H.

Syahadah : Syahid di Karbala (Irak) pada usia 57 tahun, Jum'at, 10 Muharram 61 H

Haram : Karbala, Irak.

Di kediaman Nabi Saw, yang merupakan perwakilan citra kedua dunia -langit dan bumi– seorang anak yang dianugerahi kemanusiaan laksana seseorang yang memiliki citra Ilahi memancar di penjuru persada, lahir pada salah satu malam dari bulan Sya'ban. Ayahnya adalah Imam 'Ali, seorang manusia teladan terhadap kawan dan prawira terhadap lawan-lawan Islam, dan bundanya adalah Hadrat Fatimah, putri satu-satunya baginda Rasulullah Saw, yang diakui oleh semesta, mewarisi sifat-sifat mulia ayahnya.

Imam Husain adalah Imam Ketiga dalam hierarki Imâmah. Ketika berita kelahirannya sampai kepada Rasulullah Saw, Nabi Saw segera bertolak menuju ke kediaman putrinya, mengambil bayi merah tersebut ke tangan ia, membacakan adzan dan iqamah masing-masing pada kedua telinganya, dan pada hari ketujuh kelahirannya, setelah melaksanakan ritual aqiqah, ia memberi nama kepada bayi mungil tersebut dengan nama Husain, sesuai dengan perintah Allah Swt.

'Abdullah bin 'Abbas meriwayatkan: "Pada hari Imam Husain lahir, Allah Swt memerintahkan Malaikat Jibril untuk menyampaikan selamat kepada Nabi Saw. Ketika melaksanakan tugas tersebut, Malaikat Jibril melintasi sebuah daerah, tempat Malaikat Futrus dibuang karena kelambatannya menunaikan tugas yang diemban. Sayap Malaikat Futrus dihilangkan dan dibuang di sebuah tempat yang dia huni selama tujuh tahun ibadah dan menyembah Allah Swt dan meminta ampunan-Nya."

"Ketika Malaikat Futrus melihat Malaikat Jibril, "Kemana engkau akan pergi wahai Jibril? Katanya. Malaikat Jibril menjawab "Husain putra Rasulullah Saw telah lahir, dan atas alasan ini Allah telah memerintahkan aku untuk menyampaikan ucapan selamat kepada Rasul-Nya. Lalu, Malaikat Futrus berkata, "Dapatkah engkau membawaku besertamu?"Semoga Muhammad menjadi wasilah atas masalahku ini. Malaikat Jibril membawa Malaikat Futrus bersamanya untuk menyampaikan ucapan selamat kepada Rasulullah dan mengajukan masalah yang dihadapi oleh Malaikat Futrus kepada ia. Nabi Saw berkata kepada Jibril, "Katakan kepada Malaikat Futrus untuk menyentuh badan bayi ini dan kembali ke tempatnya di Surga. Dengan melakukan ini, Malaikat Futrus segera mendapatkan kembali kedua sayapnya dan berterima kasih kepada Nabi Saw dan kepada cucunya yang baru, dan terbang ke langit."

Hasan dan Husain, kedua putra Imam 'Ali As dan Hadrat Fatimah As, dihormati dan dipuja-puja sebagai "Pengulu pemuda di surga" sebagaimana disebutkan oleh Nabi Saw.

Nabi Muhammad Saw secara terbuka menubuwatkan bahwa Islam akan diselamatkan oleh cucunya Husain, ketika Yazid putra Mu'awiyah berupaya untuk menghancurkannya.

Yazid dikenal karena sifatnya yang bejat dan kejam. Dia dikenal sebagai orang paling bejat. Orang-orang yang telah mengetahui dan mengerti sifat keji Yazid ini, membentuk sebuah perjanjian sehingga Muawiyyah tidak akan memilih Yazid sebagai penggantinya. Pelaksanaan pemindahan kekuasaan ini kepada Imam Hasan yang darinya Mua'wiyah merebut kekuasaan. Mu'awiyah melanggar perjanjian ini dan mencalonkan Yazid sebagai penggantinya.

Segera setelah ia naik kursi kekuasaan, Yazid mulai menunjukkan karakter bejatnya ini. Ia mulai campur tangan dalam masalah-masalah fundamental Islam dan berbuat segala kejahatan dan kebejatan secara bebas dan tetap berkeyakinan bahwa ia adalah khalifah Rasulullah Saw, menuntut bai'at dari masyarakat untuk mengakuinya sebagai Amirul Mukminin. Memberikan bai'at kepada Yazid tidak lain mengakui kejahatan sebagai Tuhan. Jika seorang yang memiliki kepribadian takwa seperti Imam Husain menerima Yazid, sejatinya menganjurkan kebejatan kepada manusia sebagai ganti Tuhan. Yazid menuntut bai'at dari Imam Husain, yang tentu saja tidak akan pernah melakukan perbuatan tersebut apapun resikonya. Orang-orang takut celaka dan binasa di tangan seorang tiran seperti Yazid. Imam Husain berkata bahwa apa pun yang terjadi, dia tidak akan menempatkan kejahatan sebagai ganti Tuhan, dan melakukan kembali apa yang telah dibina oleh datuknya, Rasulullah Saw.

Penolakan Imam Husain untum memberikan bai'at kepada Yazid telah menandai bermulanya penindasan kepada Imam As. Sebagai hasilnya, Imam Husain mengungsi ke Madinah di mana ia menjalani uzlah. Bahkan di tempat ini, Imam Husain tidak diizinkan untuk hidup secara damai, dan terpaksa untuk mencari perlindungan di Mekkah – di sana juga ia mendapatkan perlakuan biadab, dan Yazid merencanakan untuk membunuhnya di hadapan Ka'bah.

Dengan maksud untuk menjaga bangunan suci ini, Imam Husain memutuskan untuk meninggalkan Makkah menuju Kufah sehari setelah menunaikan ibadah Haji. Ketika ditanya alasan kepergiannya dari Mekkah padahal hari haji tiba sehari lagi, Imam Husain berkata bahwa ia akan menunaikan ibadah haji tahun ini di Karbala, tidak mengorbankan domba-domba, akan tetapi mengorbankan kerabatnya, keluarganya, sahabatnya. Imam Husain menyebutkan nama-nama para kerabatnya yang mengorbankan hidupnya beserta Imam Husain di Karbala.

Orang-orang Kufah yang telah lelah dan muak dengan kekuasaan tiranik dan setanik Yazid, telah menulis surat-surat yang tak-terbilang banyaknya dan mengutus duta kepada Imam Husain untuk datang ke Kufah dan membimbing mereka jalan Islam. Meskipun Imam Husain tahu kesudahan dari undangan-undangan ini, karena ia adalah Imam yang terpilih, tidak dapat menolak permintaan orang-orang yang meminta petunjuk dan bimbingan darinya. Ketika Imam Husain beserta kafilahnya tiba di bumi Karbala, kudanya secara mengejutkan berhenti dan enggan untuk melangkah lagi. Atas keengganan kuda ini untuk melangkah, Imam Husain mengumumkan "Di sinilah tempatnya, bumi duka dan bala." Ia turun dari kudanya, dan memerintahkan kepada para pengikutnya untuk mendirikan tenda. Imam Husain berkata: "Di sini kita akan disyahidkan dan anak-anak kita akan dibantai. Di sini tenda-tenda kita akan dibakar dan keluarga kita akan ditangkap. Di sini adalah tempat yang telah dinubuwatkan oleh datukku Rasulullah Saw, dan ramalan ia akan terpenuhi."

Pada hari ke-7 Muharram persediaan air ke kemah Imam Husain dipotong dan mulailah derita lapar dan dahaga. Kemah Imam Husain yang didiami oleh wanita-wanita, anak-anak tak-berdosa termasuk bayi-bayi dan beberapa pria dari Ahlulbait Nabi Saw; bersama dengan sahabat-sahabat setia Imam Husain yang telah memilih syahid bersama Imam, berperang melawan kejahatan demi mencari keRidhaan Allah Swt.

'Âsyurâ (Hari kesepuluh Muharam)

Tatkala fajar menyingsing, Imam Husain menengok ke arah lasykar Yazid dan menyaksikan 'Umar bin Sa'ad yang memerintahkan pasukannya untuk bergerak menuju ke arah Imam Husain. Imam Husain mengumpulkan para pasukannya dan menyampaikan kepada mereka: "Hari ini Allah telah mengizinkan kita untuk terjun ke dalam sebuah Perang Suci dan Dia akan memberikan ganjaran yang tinggi atas kesyahidan kita. Oleh karena itu, persiapkan diri kalian untuk bertempur melawan musuh-musuh Islam dengan kesabaran dan perlawanan. Wahai putra-putra kemuliaan dan bermartabat, bersabarlah! Kematian bukanlah sesuatu melainkan sebuah jembatan yang harus kalian seberangi setelah menjalani ujian-ujian dan cobaan-cobaan untuk mencapai Firdaus dan kesenangan di dalamnya. Siapakah di antara kalian yang tidak ingin beranjak dari penjara dunia ini menuju istana-istana yang tinggi Firdaus?.

Setelah mendengar khutbah Imam Husain As, seluruh sahabat-sahabatnya berseru: "Wahai Maulana (Tuan kami)! Kami bersedia membelamu dan Ahlulbaitmu, dan siap mengorbankan jiwa dan raga kami demi membela Islam."

Imam Husain mengutus seorang demi seorang dari tenda sahabat-sahabatnya untuk bertempur dan mengorbankan jiwa mereka di jalan Allah. Akhirnya, ketika seluruh para pengikutnya dan para anak-anak mempersembahkan hidupnya, Imam Husain menggendong 'Ali Asghar, bayi ia yang berusia enam bulan dan meminta air untuk sang bayi, yang telah sekarat karena dahaga. Dahaga sang bayi tertebus dengan sebuah anak panah beracun yang dilancarkan oleh lasykar biadab yang mengoyak pipi si bayi malang hingga ke tangan ayahnya. Akhirnya, ketika jiwa sang bayi melayang, Imam Hasan berseru kepada Allah Swt: "Wahai Tuhan! HusainMu telah mempersembahkan di jalan-Mu apa saja yang Engkau berikan kepadanya. Berkati Husain-Mu Ya Allah! Dengan penerimaan atas pengorbanan ini. Segala yang dapat dilakukan oleh Husain hingga kini melalui pertolongan-Mu dan atas rahmat-Mu." Akhirnya Imam Husain maju ke medan laga dan gugur, musuh-musuh yang tak mengenal belas-kasih. Lasykar Yazid setelah membunuh Imam Husain, memenggal kepala Imam Husain dari raganya dan mengangkatnya di atas tombak. Kepala Imam Husain mulai memuji Allah Swt dari atas tombak, Allahu Akbar. Segala kekuasan di tangan Allah."

Setelah dengan susah-payah, tanpa belas-kasih dan dengan kebrutalan membantai Imam Husain beserta sahabat-sahabatnya, wanita-wanita dan anak-anak malang dengan putra Imam Husain As, Imam 'Ali Zainal Abidin digiring sebagai tawanan.

Beberapa Hadis Nabi Saw ihwal Imam Husain As

1. Hasan dan Husain adalah penghulu pemuda di Surga

2. Husain dariku dan Aku dari Husain, Allah menjadikan teman orang yang menjadikan Husain sebagai temannya dan memusuhi orang yang menjadikan Husain sebagai musuhnya.

3. Barang siapa yang ingin melihat orang yang hidup di dunia namun kemuliaannya dihormati oleh para penghuni langit, lihatlah putraku Husain.

4. Wahai putraku! Dagingmu adalah dagingku dan darahmu adalah darahku; Engkau adalah seorang pemimpin, putra seorang pemimpin dan saudara seorang pemimpin; engkau adalah seorang penuntun ruhani; engkau adalah seorang Imam, putra seorang Imam, dan saudara seorang Imam; Engkau adalah bapak bagi sembilan Imam, dan yang kesembilan adalah Qaim.

5. Hukuman yang dikenakan kepada pembunuh Imam Husain di Jahannam kelak setimpal dengan setengah dari seluruh hukuman yang dikenakan kepada seluruh pendosa yang hidup di dunia.

6. Ketika Nabi Saw mengabarkan Hadrat Fatimah ihwal syahidnya putranya, Hadrat Fatimah As mengucurkan air mata dan bertanya: "Duhai Ayah! Bilamanakah putraku akan disyahidkan? "Dalam keadaan susah-payah, Jawab Nabi Saw, "Ketika Aku, engkau dan 'Ali sudah tidak ada lagi." Jawaban Nabi ini membuat kesedihan Hadrat Fatimah semakin tumpah dan bertanya lagi, "Duhai Ayahku! Lalu, siapakah yang akan memperingati syahdah Husainku? Nabi Saw berkata: "Pria dan wanita dari pengikutku, yang menjadi sahabat Ahlulbaitku, akan menangisi Husain dan memperingati syahadahnya di setiap tahun pada setiap kurun waktu.

Ibn Sa'd meriwayatkan dari asy-Sya'bi:

Imam 'Ali, dalam perjalanannya menuju Siffin, melalui sahara Karbala, di sana ia berhenti dan menangis dengan pilu. Ketika ditanya mengapa dia menangis sedemikian pilu, ia bercerita bahwa suatu hari ia mengunjungi Rasulullah Saw dan mendapatkan ia menangis. Ketika ditanya mengapa ia menangis, ia menjawab: "Duhai 'Ali! Jibril baru saja bersamaku dan mengabarkan bahwa putraku Husain akan disyahidkan di Karbala, sebuah tempat di tepi sungai Eufrat. Cerita Nabi ini yang membuatku menangis.

Anas bin Harits meriwayatkan:

Pada suatu hari Rasulullah Saw naik mimbar untuk menyampapaikan khutbah kepada sahabat-sahabatnya sementara Imam Husain dan Imam Hasan sedang duduk di hadapan mereka. ketika Nabi selesai menyampaikan khutbahnya, ia menggendong Imam Husain dengan tangan kiri ia dan mengangkat kepalanya ke arah langit sembari berkata: "Wahai Tuhanku! Aku adalah Muhammad, hamba dan rasulMu, dan kedua anak ini adalah anggota keluargaku yang akan membentengi urusanku setelahku. Tuhanku! Jibril telah mengabarkan bahwa putraku Husain akan dibunuh. Tuhanku! Berkati diriku agar dapat membalas syahidnya Husain, jadikanlah dia sebagai pemimpin para syuhada, Engkau sebagai penolongnya dan penjaganya dan jangan Engkau rahmati pembunuhnya."

Sir Muhammad Iqbal berkata:

Imam Husain mencabut akar-akar despotisme selamanya hingga hari kiamat. Dia telah menyirami taman kebebasan yang kering dengan darahnya, dan sesungguhnya dia telah membangunkan umat yang sedang tidur.

Jika Imam Husain memiliki maksud untuk mendapatkan kekuasaan dunia, dia tidak akan mengadakan perjalanan (dari Madinah ke Karbala). Husain lebur dalam darah dan debu demi untuk menegakkan kebenaran. Dengan demikian, sesungguhnya dia telah menjadi landasan kokoh bagi keimanan kaum muslim; laa ilaha illa Allah (Tiada tuhan selain Allah).

Khawaja Mu'inuddin Cyisti berkata:

Ia memberikan kepalanya, tapi tidak menyerahkan tangannya kepada Yazid. Sesungguhnya, Imam Husain adalah landasan kalimat tauhid, laa ilaha illa Allah. Husain adalah tuan dan tuan dari para tuan-tuan.

Husain sendiri adalah Islam dan pelindung Islam. Meskipun dia menyerahkan kepalanya (untuk Islam) namun dia tidak pernah rela memberikan bai'at kepada Yazid. Sesungguhnya Imam Husain merupakan penegak panji "Laa ilaha illa Allah".

Brown dalam A Literary History of Persia menulis:

Sebagai sebuah pengenang, darah-ternoda di padang Karbala tempat cucu Rasulullah Saw jatuh tersungkur, didera oleh dahaga, dan dikelilingi oleh jasad-jasad keluarganya yang terbunuh, senantiasa memadai untuk dikenang kembali, bahkan yang paling hangat-suam dan acuh-tak-acuh sekalipun, emosi yang terdalam, nestapa yang getir, dan ruh yang terbang di hadapan luka, bahaya, dan kematian bersembunyi dari hal-hal remeh. Setiap tahun, pada hari kesepuluh Muharram (Asyura), tragedi getir ini diperagakan kembali di tanah Persia, India, Turki, Mesir, di mana saja komunitas Syiah hidup;...ketika aku menulisnya segalanya kembali; lagu sendu, sedu-sedan, pakaian putih bernoda darah dari luka-luka yang dibuat sendiri, mabuk nestapa dan simpati.

Allamah Thabathaba'i menulis:

Imam Husain As (Sayyidus Syuhada)), putra kedua 'Ali dan Fatimah As lahir pada tahun ke-4 Hijriah, dan setelah syahadah saudaranya Imam Hasan Mujtaba. Imam Hasan menjadi Imam sesuai dengan perintah Allah Swt dan wasiat saudaranya. Imam Husain adalah Imam selama sepuluh tahun, akan tetapi pada enam bulang terakhir bertepatan dengan khalifah Mu'awiyah. Imam Husain hidup di bawah keadaan teror dan tertindas. Keadaan ini terjadi karena, pertama, hukum syar'i dan dustur agama telah kehilangan kredibilitas dan bobotnya, maklumat pemerintahan Mu'awiyah telah meraih kekuasaan dan wewenang. Kedua, Mu'awiyah dan antek-anteknya telah menggunakan berbagai macam cara untuk menyingkirkan dan menjauhkan Ahlulbait Nabi As dan Syiah, dan menjelek-jelekkan nama Imam 'Ali dan keluarganya. Dan di atas segalanya, Mu'awiyah menghendaki semua ini untuk menguatkan landasan khilâfah putranya, Yazid, karena kurangnya prinsip-prinsip dan ketelitian ditentang oleh sebagian besar oleh kaum Muslimin. Dengan demikian, untuk memadamkan api perlawanan, Mu'awiyah telah mengambil langkah-langkah strategis dan licik. Dengan kekuataan dan kepastian Imam Husain harus menerima dan menjalani hari-harinya dengan agoni (luka) dan deraan mental-spritual dari Mu'awiyah dan antek-anteknya – sampai pada pertengahan 60 H, Mu'awiyah wafat dan putranya Yazid naik tahta menggantikannya.

Memberikan bai'at merupakan kebiasaan arab kuno yang dilaksanakan dalam urusan-urusan penting seperti dalam urusan kerajaan (kingship) dan pemerintahan (governorship). Mereka yang berkuasa dan khususnya yang terkenal di kalangan mereka, akan memberikan tangan mereka sebagai tanda bai'at, persetujuan dan ketaatan kepada raja atau pangeran mereka dan cara seperti ini menunjukkan dukungan mereka terhadap perbuatan orang yang dibai'at. Penolakan terhadap bai'at ini dianggap menghina dan merendahkan masyarakat dan, ibarat melanggar perjanjian setelah menandatanganinya secara resmi, dan hal ini dipandang sebagai sebuah kejahatan.

Mengambil contoh dari Nabi Saw, masyarakat meyakini bahwa bai'at, ketika diberikan dengan bebas dan tanpa melalui paksaan, pertanda bai'at ini memiliki keabsahan dan bobot.

Mu'wiyah telah meminta para pembesar di kalangan masyarakat untuk memberikan bai'atnya kepada Yazid, tapi tidak meminta kepada Imam Husain. Dia secara khusus berkata kepada Yazid dalam wasiat terakhirnya bahwa jika Husain menolak untuk memberikan bai'at maka ia harus berdiam diri dan tidak mengindahkan masalah ini, karena dia sangat mengerti akibat-akibat serius yang akan terjadi jika masalah ini ditekan. Akan tetapi karena rasa egois dan keras-kepala, Yazid mengabaikan nasihat ayahnya dan segera setelah kematian ayahnya memerintahkan kepada gubernur Madinah mengambil bai'at dari Imam Husain secara paksa atau mengirim kepalanya ke Damaskus.

Setelah gubernur Madinah memberikan kabar kepada Imam Husain tentang tuntutan Yazid ini, Imam meminta waktu untuk memikirkan masalah ini dan memulai perjalanan beserta keluarganya menuju Makkah. Imam Husain mencari suaka di bawah lindungan Tuhan yang dalam Islam merupakan perlindungan dan tempat aman yang resmi. Peristiwa ini berlangsung pada akhir bulan Rajab dan permulaan Sya'ban tahun 60 H.

Selama hampir empat bulan Imam Husain bermukim di Makkah sebagai orang yang mencari suaka. Kabar ini menyebar ke seluruh penjuru dunia Islam. Di satu sisi, banyak orang-orang yang telah muak dengan pemerintahan zalim Mu'awiyah dan semakin kecewa ketika Yazid menjadi khalifah, berhubungan dengan Imam Husain dan menyampaikan rasa simpati mereka kepada Imam Husain. Di sisi lain, banjir surat yang berdatangan, khususnya dari Irak dan Kufah, mengundang Imam Husain untuk datang ke Irak dan menerima kepemimpinan masyarakat di sana dengan maksud untuk memulai pemberontakan melawan kezaliman dan ketidakadilan. Secara tabiat, keadaan seperti ini sangat berbahaya bagi Yazid.

Imam Husain bermukim di Makkah hingga musim haji ketika kaum Muslimin dari seantero dunia datang ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Imam mendapatkan beberapa antek-antek Yazid memasuki Makkah menyamar sebagai penziarah (haji) dengan misi untuk membunuh Imam selama ritual haji berlangsung dengan senjata yang mereka bawah di balik pakaian ihram mereka.

Imam mempersingkat masa ritual hajinya dan memutuskan untuk meninggalkan Mekkah. Di tengah lautan manusia yang berziarah, Imam Husain berdiri menyampaikan pidato singkat yang berisikan bahwa ia akan bertolak menuju Irak. Dalam pidato singkat ini, ia juga menyatakan bahwa ia akan disyahidkan dan meminta kaum Muslimin untuk menolong untuk mencapai tujuan yang telah ia canangkan dan mempersembahkan hidup mereka di jalan Allah. Pada hari berikutnya Imam Husain bertolak menuju Irak ditemani oleh keluarga dan para sahabatnya.

Tekad Imam Husain untuk tidak memberikan bai'at kepada Yazid sudah bulat dan mengerti akibat dari penolakan ini. Ia sadar bahwa kematian tidak dapat dihindari dalam berhadapan dengan lasykar raksasa Mu'awiyah, dengan didukung oleh keadaan yang telah rusak, kemerosotan ruhani dan kurangnya tekad dari orang-orang, khususnya di Irak.

Beberapa orang-orang terkemuka di Makkah berdiri menghadang jalan Imam Husain dan memperingatkan akan bahaya jalan yang ia pilih. Namun Imam Husain menjawab bahwa ia menolak untuk memberikan bai'at dan persetujuan kepada sebuah pemerintahan zalim dan tiranik. Imam Husain menambahkan bahwa di mana pun dan ke manapun ia berada atau pergi ia akan tetap dibunuh. Ia meninggalkan Mekkah demi menjaga kehormatan Ka'bah dan tidak rela bangunan kudus ini dihancurkan dengan menumpahkan darahnya di sekitar Ka'bah.

Dalam perjalanannya menuju Kufah dan beberapa hari perjalanannya menjauh dari kota Makkah, ia menerima kabar bahwa antek-antek Yazid telah membunuh duta Imam Husain di kota itu dan juga salah seorang pendukung setia Imam di Kufah. Kaki-kaki mereka dibelenggu dan mereka diseret di jalan-jalan kota. Kota dan daerah-daerah sekelilingnya berada di bawah pengawasan ekstra-ketat dan lasykar musuh yang tak-berbilang jumlahnya sedang menantikannya. Tidak ada jalan terbuka baginya untuk melangkah ke depan dan menghadapi sang maut. Di sini Imam menyampaikan tekadnya yang bulat untuk tetap maju ke depan dan siap menerima syahid; sehingga Imam Husain melanjutkan perjalanannya.

Kurang-lebih tujuh puluh kilometer dari Kufah di sebuah padang bernama Karbala, Imam dan kafilahnya dikepung oleh pasukan tempur Yazid. Selama delapan hari mereka mendirikan tenda di tempat ini sementara jumlah pasukan musuh semakin bertambah. Akhirnya, Imam bersama Ahlulbaitnya dan beberapa orang sahabat dikelilingi oleh tiga puluh ribu pasukan bersenjata lengkap. Selama masa-masa itu, Imam membentengi posisinya dan membuat sebuah pilihan terakhir kepada para sahabatnya. Pada malam harinya, Imam memanggil para sahabatnya dan memberikan sebuah pidato singkat yang berisikan peringatan bahwa tiada jalan lain di hadapan kita selain mati dan syahadah. Imam menambahkan bahwa karena musuh hanya menghendaki dirinya saja, Imam memberikan kebebasan kepada mereka untuk pergi dan kabur di tengah kegelapan malam dan menyelamatkan jiwa mereka. Lalu ia memerintahkan lentera-lentara untuk dinyalakan dan hampir seluruh sahabatnya, yang bergabung bersama Imam demi kepentingan mereka sendiri, kabur. Hanya beberapa orang yang mencintai kebenaran sekitar empat puluh pengikut setia Imam dan beberapa orang Bani Hasyim bertahan bersama Imam.

Sekali lagi Imam mengumpulkan mereka yang bertahan dan menguji mereka. Ia menyampaikan kepada para sahabatnya dan kerabatnya, bahwa musuh hanya menghendaki dirinya saja. Mereka masih punya kesempatan dengan memanfaatkan kegelapan malam untuk kabur menyelematkan diri mereka dari bahaya yang siap menerjang. Tapi kali ini, sahabat-sahabat setia Imam menjawab bahwa mereka tidak akan menyimpangkan jalan sedetik pun dari jalan kebenaran yang telah ditunjukkan oleh Imam mereka dan tidak akan membiarkan Imam tinggal sendiri. Mereka berkata akan membela Ahlulbait Imam hingga tetes darah penghabisan dan sepanjang mereka mampu mengayunkan pedang mereka.

Pada hari kesembilan Muharram tantangan terakhir untuk memilih antara "bai'at atau perang" yang dibuat oleh musuh kepada Imam. Imam meminta jeda untuk melakukan shalat pada malam itu dan supaya lebih tegar dan segar untuk memasuki medan tempur pada hari berikutnya.

Pada hari kesepuluh Muharram tahun 61 H (680) Imam berbaris di hadapan musuh dengan pengikutnya yang berjumlah kecil, kurang lebih sembilan puluh orang yang berisikan empat puluh sahabatnya, tiga puluh lasykar musuh yang bergabung dengannya siang dan malam peperangan, dan kerabatnya dari Bani Hasyim, anak-anak, saudara-saudaranya, kemenakannya dan saudara sepupunya. Hari itu mereka bertempur dengan gagah berani sejak pagi hingga nafas terakhir, Imam dan pemuda Bani Hasyim, serta para sahabat-sahabatnya telah melewati titian syahadah. Di antara yang terbunuh adalah dua putra Imam Hasan, yang berusia tiga belas dan sebelas tahun; seorang bocah berusia lima tahun dan bayi Imam Husain yang masih dalam susuan ibunya.

Lasykar tempur musuh, setelah mengakhiri perang, merampas kehormatan Imam dan membakar tenda-tenda. Mereka memenggal kepala jasad-jasad para syuhada, menelanjangi mereka dan melemparnya ke tanah tanpa dikubur. Lalu mereka menggiring Ahlulbait Imam Husain, yang terdiri dari wanita-wanita dan gadis-gadis, bersama dengan kepala para syuhada ke Kufah. Di antara para tawanan terdiri dari tiga pria Ahlulbait Imam; putra Imam yang berusia dua puluh dua tahun yang sakit dan tidak dapat bergerak, namanya, 'Ali bin Husain, Imam Keempat; putra 'Ali bin Husain, Imam kelima, Muhamamad bin 'Ali dan akhirnya Hasan al-Mutsanna, putra Imam Hasan Mujtaba yang juga merupakan anak-mantu Imam Husain yang karena terluka, terbaring di antara jasad orang-orang yang gugur. Mereka menemukannya dalam keadaan sekarat dan melalui belas-kasih jendral perang lasykar kepalanya tidak dipenggal. Sebaliknya, mereka membawanya bersama dengan para tawanan ke Kufah dan dari Kufah menuju Damaskus untuk dihadapkan kepada Yazid.

Tragedi Karbala, wanita-wanita dan anak-anak Ahlulbait Nabi Saw menjadi tawanan perang, mereka diseret sebagai tawanan perang dari kota ke kota dan pidato yang disampaikan oleh Zainab binti 'Ali, dan Imam 'Ali Zainal Abidin yang telah membuat citra Bani Umayyah menjadi ambruk. Fitnah yang dipropagandakan oleh Mu'awiyyah yang menghantam Ahlulbait Nabi Saw terbongkar. Keadaan ini mencapai puncaknya Yazid dicela dan dicaci oleh massa akibat perbuatan biadab dan keji antek-anteknya. Tragedi Karbala merupakan faktor utama kejatuhan kekuasaan Bani Umayyah walaupun beberapa lama setelah tragedi ini. Tragedi ini juga yang telah memperkuat posisi Syiah. Di antara buah tragedi ini adalah pemberontakan dan pembangkangan berupa pertempuran berdarah yang berlanjut hingga dua belas tahun. Mereka yang menjadi alat untuk membunuh Imam Husain tidak satu pun yang selamat dari balas-dendam dan mendapatkan hukuman yang setimpal.

Setiap orang yang mengkaji sejarah hidup Imam Husain dan Yazid serta keadaan ketika itu, kemudian menganalisa bagian ini dalam sejarah Islam, tidak akan ragu bahwa dalam keadaan-keadaan seperti itu tidak memberikan pilihan lain kepada Imam Husain melainkan harus dibunuh. Menyampaikan bai'at kepada Yazid berarti penghinaan terang-terangan terhadap Islam, sesuatu yang mustahil dilakukan oleh Imam. Yazid tidak hanya tidak menaruh hormat terhadap Islam tetapi juga membuat demonstrasi yang menginjak-injak hukum-hukum dan fondasi Islam.

Orang-orang di depannya, bahkan jika mereka menentang ajaran-ajaran agama, selalu melakukannya dengan sembunyi-sembunyi, dan sekurang-kurangya menaruh hormat terhadap Islam secara resmi.

Mereka menaruh rasa bangga sebagai sahabat-sahabat Nabi Saw dan agamawan yang diyakini oleh umat. Dari sini, dapat disimpulkan bahwa klaim beberapa mufassir tentang peristiwa ini yang menyoroti tentang dua saudara, Hasan dan Husain, memiliki dua selera yang berbeda. Yang pertama cinta damai dan yang lainnya cinta jalan perang. Sehingga saudara yang pertama membuat perdamaian dengan Mu'awiyah meskipun dia memiliki lasykar yang berkekuatan empat puluh ribu anggota pasukan dan saudara yang kedua mengangkat senjata melawan Yazid dengan lasykar berjumlah empat puluh orang. Karena kita melihat bahwa Imam Husain ini, yang menolak untuk memberikan bai'at kepada Yazid selama sehari, hidup selama sepuluh tahun di bawah kekuasaan Mu'awiyah, adalah sama dengan saudaranya yang juga menjalani masa sepuluh tahun di bawah kekuasaan Mu'awiyah tanpa melakukan perlawanan.

Harus dikatakan dengan benar bahwa jika Imam Hasan atau Imam Husain harus bertempur melawan Mu'awiyah mereka akan dibunuh tanpa sedikitpun manfaat bagi Islam. Kematian mereka tidak akan memiliki pengaruh di hadapan kebijakan saleh lahiriyah Mu'awiyah, seorang politisi yang berkompeten yang menekankan persahabatannya dengan Nabi Saw, "kâtibul wahy" (penulis wahyu) dan "khali al-Mu'minin" (paman orang-orang beriman) dan menggunakan setiap strategi yang mungkin seperti penyamaran religious untuk mejaga kekuasaannya. Terlebih, dengan kemampuannya menata skenario untuk mencapai kehendaknya mereka dapat membunuh keduanya melalui orang-orang suruhannya dan kemudian mengumumkan duka nasional pada pagi harinya dan menuntut balas atas darah mereka, persis sebagaimana ia kesankan menuntut balas atas darah khalifah ketiga. (Shi'te Islam).

Mutiara Hadis Imam Husain As

Berhati-hatilah atas permintaan maaf kalian; karena seorang mukmin sejati tidak melakukan perbuatan dosa dan tidak perlu untuk meminta maaf, sementara kaum munafik melakukan dosa setiap hari dan meminta maaf setiap hari.

Ketika orang lain datang kepadamu menyatakan memiliki hajat, anggaplah hal ini adalah anugerah dari Allah. Jangan engkau ragu atas anugerah ini, atau dia akan beranjak kepada orang lain.

Pengalaman memperkaya akal.[]

Manusia Suci Keenam

Imam Keempat

Imam 'Ali Zainal Abidin As

Manusia Suci Keenam

Imam Keempat

Imam 'Ali Zainal Abidin As

Nama : 'Ali

Gelar : Zainal Abidin

Panggilan : Abu Muhammad

Nama Ayah : Husain bin 'Ali

Nama Ibu : Syarh Banu, putri Yazdeger III, Raja Persia

Wiladah : Sabtu, 15 Jumadil 'Ula 36 H.

Syahadah : Pada usia 58 tahun, di Madinah; diracun oleh al-Walid bin 'Abdil Malik bin Marwan pada tanggal 25 Muharram 95 H

Haram : Jannatul Baqi, Madinah

Imam 'Ali Zainal 'Abidin merupakan Imam Keempat. Panggilan Imam 'Ali Zainal Abidin adalah Abu Muhammad dan masyhurnya dikenal sebagai "Zainal 'Abidin". Ibu Imam Keempat ini adalah seorang putri bangsawan, Syarh Banu, putri Raja Persia, Penguasa terakhir Bangsa Persia pra-Islam.

Imam Zainal 'Abidin meluangkan dua tahun pertama masa kecilnya di pangkuan datuknya 'Ali bin Abi Thalib dan kemudian selama dua belas tahun di bawah perlindungan pamandanya, Imam Kedua, Imam Hasan bin 'Ali. Pada tahun 61 H, dia turut hadir di Karbala, pada saat tragedi memilukan yang menimpa ayahandanya, pamannya, saudaranya, saudara sepupunya, dan komrad setia ayahnya; dan menderita penawanan dan penahanan tanpa belas-kasih di tangan kekuatan setan lasykar Yazid.

Ketika Imam Husain datang untuk terakhir kalinya ke tendanya untuk menyampaikan ucapan selamat tinggal kepada keluarganya, 'Ali Zainal 'Abidin sedang berbaring setengah-sadar di dalam selimutnya dan karena sakit ini, ia selamat dari tragedi nestapa Karbala. Imam Husain hanya dapat berbicara singkat dengan kerabatnya di dalam tenda Imam 'Ali Zainal Abidin dan menunjuk putranya yang sakit itu sebagai Imam setelahnya.

Pengetahuan dan ketakwaan Imam Suci ini tidak ada bandingannya. Az-Zuhri, al-Waqidi dan Ibn 'Uyainah berkata bahwa mereka tidak dapat menemukan seorang pun yang serupa dengan Imam dalam ketakwaan dan ibadah. Dia sangat sibuk dengan Allah sehingga bilamana ia duduk untuk mengambil air wudu', raut wajahnya menjadi pias dan ketika berdiri untuk menegakkan shalat, badannya bergetar. Ketika ditanya mengapa, dia menjawab "Belumkah engkau ketahui di hadapan siapa aku berdiri shalat dan dengan siapa aku bercengkerama?"

Bahkan pada hari duka "Asyura", ketika lasykar Yazid membunuh ayahnya, kerabatnya dan komradnya dan membakar tenda-tenda, Imam Suci ini sedang tenggelam dalam munajat kepada Allah Swt.

Tatkala kekuatan brutal lasykar Yazid mengambil wanita-wanita dan anak-anak sebagai tawanan, mengikatnya dengan rantai, mendudukkan mereka di atas pundak unta-unta tanpa pelana, terikat dengan rantai; Imam Suci ini, meskipun sakit, dibelenggu dengan rantai berat dengan kalung besi di lehernya dan kakinya, dan dipaksa untuk berjalan telanjang kaki di atas duri sahara dari Karbala hingga Kufah dan lanjut ke Damaskus; dan dalam keadaan seperti ini, jiwa Ilahi ini tidak pernah sedetik pun alpa dari beribadah kepada Allah Swt dan senantiasa bersyukur dan bermunajat kepada-Nya.

Amal-salehnya tidak pernah terduga dan sembunyi-sembunyi. Setelah syahidnya, orang-orang berkata bahwa sedekah-jariah yang sembunyi-sembunyi itu terhenti seiring dengan perginya Imam. Laksana datuknya 'Ali bin Abi Thalib, 'Ali Zainal 'Abidin senantiasa memikul sekantung gandum dan roti di pundaknya yang diberikan kepada kaum miskin dan keluarga-keluarga yang membutuhkan di Madinah dan dia memelihara ratusan keluarga miskin di kota tersebut.

Imam Zainal 'Abidin bersama dengan Ahlulbait melalui masa-masa kritis dan berbahaya, karena agresi dan kekejian penguasa zalim telah mencapai klimaksnya. Perampasan, penjarahan, perampokan dan pembunuhan sering terjadi di mana-mana. Ajaran-ajaran suci Islam lebih diamalkan di dada-dada mereka. Seorang tiran bengis Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi mengecam setiap orang yang menganjurkan dan memberikan bai'at kepada Ahlulbait; dan mereka yang tertangkap, dibunuh secara kejam. Gerakan Imam sangat dibatasi dan dilarang untuk berjumpa dengan siapa saja. Mata-mata Hajjaj dipasang di berbagai penjuru kota untuk melacak para pengikut Ahlulbait. Mereka menggeledah para pengikut Ahlulbait di setiap rumah dan keluarga dengan sangat teliti.

Imam Zainal 'Abidin tidak diberikan waktu untuk mengerjakan ibadah dengan tenang, juga tidak diberikan waktu untuk menyampaikan khutbah. Oleh karena itu, Khalifah Tuhan ini menggunakan jalan alternatif yang terbukti sangat bermanfaat bagi para pengikutnya. Jalan alternatif ini berupa munajat dan doa sehari-hari dalam upaya dan usaha untuk taqarrub kepada Allah Swt.

Kumpulan doa yang penuh nilai dari Imam Zainal 'Abidin dikenal sebagai as-Sahifah al-Kamilah atau as-Sahifah as-Sajjadiyah; dikenal juga sebagai az-Zabur Muhammad. Kumpulan doa ini merupakan khazanah tak-ternilai doa kepada Tuhan dalam bahasa yang indah dan memukau. Hanya orang-orang yang pernah menjumpai doa-doa ini yang tahu keunggulan dan pengaruh baik doa dari doa-doa dan munajat ini. Melalui doa-doa ini, Imam memberikan tuntunan penting bagi orang-orang Mukmin dalam masa pengasingannya.

Pada tanggal 25 Muharram 95 H ketika dia berada di Madinah, al-Walid bin Abdil Malik bin Marwan, penguasa zalim ini melalui orang suruhannya meracun Imam, sehingga Imam syahid akibat racun ini. Ritus penguburan Imam Suci ini dilakukan oleh putranya yang merupakan Imam Kelima, Muhammad al-Baqir dan jasadnya dikebumikan di pemakaman Jannatul Baqi di Madinah.

Allamah Tabataba'i menulis:

Imam Sajjad ('Ali bin Husain digelari dengan Zainal Abidin dan Sajjad) merupakan putra dari Imam Ketiga dan istrinya, adalah ratu di antara wanita-wanita, putri Yazdegerd Raja Iran. Imam Sajjad merupakan satu-satunya putra Imam Husain yang selamat, karena ketiga saudaranya 'Ali Akbar yang berusia dua puluh lima tahun, Ja'far berusia lima tahun, 'Ali Asghar (atau 'Abdullah) yang masih menyusu kepada ibunya mereka semua syahid pada tragedi Karbala. Imam juga menemani ayahnya dalam perjalanan menuju Karbala hingga ayahandanya syahid di tempat naas itu.

Namun lantaran menderita sakit dan tidak mampu untuk mengangkat pedang atau turut serta dalam peperangan, ia tertahan untuk terjun dalam perang suci sehingga mereguk cawan syahadah. Dia dikirim dengan keluarganya ke Damaskus. Setelah menghabiskan waktu sebagai tawanan perang dia dikirim dengan hormat ke Madinah karena Yazid hendak menenangkan opini publik. Tapi untuk yang kedua kalinya, atas perintah khalifah Bani Umayyah, 'Abdul Malik, dia ditangkap dan dikirim dari Madinah ke Damaskus dan kembali lagi ke Madinah.

Imam Keempat, sekembalinya dari Madinah, mengasingkan diri dari kehidupan masyarakat sama sekali, menutup pintu rumahnya dari orang-orang asing dan menghabiskan waktu untuk beribadah. Dia hanya berhubungan dengan kaum elit Syiah seperti Abu Hamzah ats-Tsumali, Abu Khalid Kabuli dan orang-orang besar lainnya. Dari orang-orang elit Syiah ini menyebarkan ilmu-ilmu agama yang mereka dapatkan dari Imam kepada Syiahnya. Dengan cara seperti ini, ajaran Syiah menyebar dengan baik dan menunjukkan hasilnya pada masa Imam Kelima. Di antara karya-karya Imam Keempat adalah sebuah buku yang disebut sebagai Sahifah Sajjadiyah. Kitab doa ini terdiri dari lima puluh tujuh doa ihwal ilmu Tauhid dan dikenal sebagai "Kitab Zabur Ahlulbait Nabi Saw."

Imam Keempat syahid (menurut beberapa hadis-hadis Syiah diracun oleh al-Walid bin Abdil Malik bin Marwan melalui anjuran Khalifah Umayyah, Hisyam pada tahun 95 H/712 M setelah menjalani masa Imâmah selama tiga puluh lima tahun.

Mutiara Hadis Imam Sajjad:

Cegahlah diri kalian dari berdusta dalam segala hal, kecil atau besar, dalam keadaan serius atau bercanda. Karena ketika seseorang berdusta dalam hal-hal sepele, segera dia akan berdusta dalam hal-hal besar.

Seseorang tidak perlu takut kepada Allah kecuali karena dosa-dosanya, dan seharusnya menempatkan harapannya hanya kepada Tuhannya. Ketika tidak mengetahui, seseorang seharusnya tidak merasa malu untuk belajar tentangnya. Dan sifat sabar adalah meyakini terhadap apa yang utama bagi raga; seseorang yang tidak memiliki sifat sabar pertanda lemahnya iman.[]