Mizan Keadilan Tuhan

Mizan Keadilan Tuhan0%

Mizan Keadilan Tuhan pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Ushuludin

Mizan Keadilan Tuhan

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

pengarang: Sayyid Sa‘id Akhtar Rizvi
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Pengunjung: 6608
Download: 3644

Komentar:

Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 9 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 6608 / Download: 3644
Ukuran Ukuran Ukuran
Mizan Keadilan Tuhan

Mizan Keadilan Tuhan

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

MIZAN KEADILAN TUHAN

Mengkaji Doktrin Keadilan Tuhan

SAYID AKHTAR RIZVI

Bagian Ke 1

Perbedaan dalam Agama

Iman pada permulaannya merupakan sesuatu yang senantiasa sederhana dan bersahaja. Seiring dengan perjalanan waktu, manusia mulai mengelaborasi iman yang sederhana itu dan berangkat dari situ, perbedaan muncul dan ragam mazhab didirikan. Hal ini terjadi pada seluruh agama-agama sebelum Islam dan Islam tidak terkecuali dalam hal ini. Islam mula-mula merupakan sebuah seruan untuk meyakini dan beriman kepada ke-Esaan Tuhan, pada kenabian Muhammad dan Hari Kiamat. Pada ketiga usul dasar ini tidak ada pertentangan. Demikian juga, tiada syak bahwa agama Tuhan adalah agama Islam, artinya bahwa satu-satunya jalan untuk mengenal Islam adalah melalui Kitab Allah dan Sunnah Nabi Saw, dan bahwa Kitab Allah yang dikenal sebagai al-Qur’an adalah sebuah kitab yang di dalamnya tiada penambahan atau pengurangan.

Perbedaan-perbedaan terjadi dalam penafsiran sebagian ayat-ayat al-Qur’an dan otensisitas beberapa hadis-hadis Nabi Saw, serta dalam penafsiran dan implikasinya. Perbedaan-perbedaan ini telah memunculkan banyak pertanyaan yang telah memecah kaum Muslimin. Terdapat banyak perbedaan tentang sosok Tuhan dan sifat-sifat-Nya: Apakah Tuhan memiliki badan? Dapatkah Dia dilihat? Apakah Tuhan itu adil? Apakah manusia dipaksa Tuhan dalam perbuatannya atau ia bebas?

Sepanjang yang bertautan dengan wujud, sosok dan keesaan Tuhan, perkara-perkara ini berada pada pembahasan awal ushuluddin yang dikenal sebagai tauhid dan telah disinggung dalam buku atau kitab yang berkenaan dengannya.

Yang berkaitan dengan perbuatan Tuhan, pembahasan ini berada pembahasan kedua ushuluddin yang dikenal sebagai Keadilan. Menurut keyakinan Syiah Itsna Asyariah, keadilan (‘adl) merupakan sifat yang terpenting dari sifat-sifat Tuhan; dan atas alas an itu dibahas secara terpisah. Alasan mengapa pembahasan kedua ushuluddin ini bertautan dnegan perbuatan-perbuatan Tuhan dinamakan seabgai Keadilan lantaran perbedaan-perbedaan di antara kaum Muslimin ihwal keadilan Tuhan sangat luas dan menjuntai.

Karena beberapa perbedaan yang beragam di kalangan mazhab Muslim merupakan poin-poin teologis, maka dipandang penting untuk mengkaji tahapan-tahapan tulisan ini dengan baik. Mengingat bahwa setiap terma dan tahapan dari tulisan ini memiliki signifikansi, dan jika para pembaca mencoba untuk merubah setiap terma dan tahapan dari tulisan ini, maka ia menempatkan dirinya pada kerancuan dan ketidakselarasan berpikir tentang masalah ini.

Sebuah Catatan ihwal Makna Keadilan

Derivasi redaksi al-‘adl pada asalnya dicipta untuk membawa maksud menjadikan dua benda itu sama dan distribusi secara saksama. Demikian juga dalam masalah Ansaf yang bermakna secara literal sebagai persamaan atau keadilan, dan sebagai hasilnya, ‘Adl merujuk kepada keadilan, persamaan, berada di jalan yang lurus, ke arah kebenaran, berada di pihak yang benar, tidak berkurang atau berlebih dan juga meletakkan sesuatu pada tempatnya.

Lawan kata kalimat al-’Adl adalah al-Jaur dan al-Zulm. Al-Jaur bermakna cenderung kepada sebelah pihak, yang akhirnya menyiratkan pengertian tidak memihak kepada keadilan, dan berlaku berat sebelah dan memihak. Kalimat Zulm juga bermakna meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. Seseorang hakim (Qadi) yang zalim membuat keputusan atau hukuman yang salah dengan tidak membela pihak yang tertindas haknya.

Mazhab yang Sering disebutkan dalam Tulisan ini

Para pembaca akan banyak menjumpai mazhab-mazhab berikut dalam tulisan ini:

Syiah Itsna ‘Asyariyah: Kaum Muslimin yang meyakini dua belas imam yang bermula dari Imam Ali, Imam Hasan, Imam Husain dan sembilan keturunannya. Imam Keduabelas adalah Muhammad al-Mahdi, Sang Messiah yang Dinantikan. Mazhab ini juga dikenal sebagai mazhab Imamiyah.

Asy’ariah: Seluruh kaum Muslimin yang bermazhab Sunni adalah Asy’ariah dalam keyakinan mereka. Mazhab ini merupakan pengikut Abu l-Hasan al-Asy’ari (w 324 H/936 M).

Mu’tazilah: Sebelum Abul Hasan al-Asy’ari, banyak orang-orang Sunni adalah Mu’tazilah dalam keyakinan mereka. Mereka merupakan pengikut Wasil bin ‘Atha’ (w 131 H/748 M). Namun, mazhab Mu’tazilah merupakan mazhab yang hampir punah pada abad keempat Hijriah.

Kedudukan Akal dalam Agama

Perbedaan pertama dan utama di antara kaum Muslmin adalah berkenaan dengan peran akal manusia dalam agama. Asya’riyah berada pada satu sisi masalah, dan Syiah Itsna ‘Ashariyyah dan Mu’tazilah pada sisi lainnnya.

Mazhab Syiah berkata bahwa terlepas dari perintah-titah agama ada baik (husn) dan buruk (qubh) yang dapat ditimbang dengan akal, dan bahwa Tuhan memerintah perbuatan-perbuatan tertentu lantaran dalam timbangan akal (baca: rasional) hal itu adalah baik dan Dia melarang perbuatan tertentu karena dalam teraju akal hal itu adalah buruk. Kaum Asy’ari menolak konsep ini. Mereka berkata bahwa tiada sesuatu yang baik atau buruk. Hanya apa yang diperintahkan Tuhan kepada kita itulah yang baik dan apa yang Dia larang adalah buruk bagi kita.[1]

Dengan kata lain, Syiah, misalnya berkata bahwa Tuhan melarang kita untuk berkata dusta lantaran perbuatan dusta itu merupakan Sesutu yang buruk; sementara Asy’ari menegaskan bahwa dusta adalah perbuatan buruk lantaran Tuhan melarangnya.

Abul Hasan al-Asy’ari menulis, “Pertanyaan: Lalu dusta adalah buruk hanya karena Tuhan telah mendeklarasikan hal itu sebagai perbuatan buruk? Jawab: Tentu saja. Dan jika Dia mendeklarasikan dusta sebagai perbuatan baik, maka hal itu akan tergolong perbuatan baik; dan jika Dia memerintahkannya, tiada yang dapat menentang-Nya.[2]

Perbedaan lain bertalian dengan masalah kedudukan akal dalam agama adalah ihwal hubungan natural sebab dan akibat. Syiah dan Mu’tazilah mengakui hubungan antara sebab dan akibat. Namun Asy’ari mengingkari hal ini. Mereka berkata tiada sebab kecuali Allah, dan merupakan kebiasaan Tuhan dimana apabila, misalnya, kita minum air, ia melepaskan dahaga kita.[3]

Allamah Hilli berkata: “Inti argumen Asy’ari adalah menurut mereka bahwa segala sesuatu dapat terwujud karena Kehendak Allah dan Dia berkuasa untuk menjadi sebab keberadaan segala sesuatu. Jadi, karena kekuasaan Tuhan merupakan penyebab, maka tidak niscaya sesuatu dapat terwujud ketika sebab-sebab fisikalnya yang menyebabkan ia mewujud; atau berhenti mewujud ketika sebab-sebab fisikalnya menyebabkan ia berhenti mewujud dan tiada hubungan apa pun antara kejadian-kejadian yang menimpa satu dengan yang lain kecuali hal itu merupakan kebiasaan Tuhan yang mencipta sesuatu; misalnya, terbakarnya tangan setelah menyentuh api dan meminum air tidak ada hubungannya dengan pembakaran dan pelepasan dahaga, semua hal ini terjadi dan terwujud mengikut kehendak dan kekuasaan Tuhan; dan Dia dapat menciptakan sentuhan api tanpa membakar tangan dan terbakarnya tangan tanpa sentuhan, dan demikian seterusnya.” (al-Hilli, Kashfu ‘l-Haq)

Sebagaimana yang Anda lihat dalam pembahasa tulisan ini, perbedaan mencolok antara Syiah dan Sunni Asy’ari bersumber dari pandangan mereka ihwal kedudukan akal dalam agama dan hubungan natural antara sebab dan akibat.[]

Bagian Ke-2

Tuhan Tiada Melakukan Kesalahan

Syiah mengatakan bahwa Allah tidak melakukan perbuatan, yang dalam timbangan akal merupakan, keburukan atau kejahatan.[4] Di sini tidak digunakan terminologi yang mengandung muatan makna “The King can do no wrong.” Lantaran adagium “raja tidak melakukan kesalahan” sejatinya bermakna bahwa ia tidak berbuat sesuatu apa pun, yang ia lakukan hanyalah menandatangani apa yang telah diratifikasi oleh parlemen. Jadi, penghormatan ini tidak didasari oleh perbuatan raja, melainkan tiadanya aksi darinya. Namun “God does no wrong” bermakna bahwa kendati dia aktif dan Mahakuasa, Tuhan tetap tidak dapat melakukan kesalahan dan keburukan. Mengapa?

Siapa pun yang melakukan kesalahan atau kezaliman melakukan hal tersebut karena satu atau beberapa alasan di bawah ini:

1. Ia melakukan perbuatan tersebut karena tidak mengetahui bahwa hal itu salah;

2. Atau ia memerlukan sesuatu yang tidak dapat ia peroleh kecuali dengan melakukan kesalahan;

3. Atau ia dipaksa oleh orang lain untuk melakukan kesalahan tersebut.

Tetapi Allah Mahakuasa dan Mahatahu; Dia bebas dari kebutuhan dan tidak memerlukan apa pun. Dan Dia Mahakuasa dan tiada seorang pun yang dapat memaksa-Nya melakukan sesuatu. Oleh karena, secara logis adalah mustahil bagi Allah melakukan perbuatan kezaliman atau kesalahan.

Sebaliknya, Asya’irah berkata bahwa tiada sesuatu yang secara rasional buruk atau baik. Mereka berkata bahwa “Apa saja yang dilakukan Tuhan adalah baik, lantaran tiada sesuatu yang buruk bagi-Nya atau memaksa-Nya.[5] Abdulaziz Dehlawi, seorang ulama Sunni yang ternama, menulis “Adalah mazhab Ahlusunnah bahwa tiada sesuatu yang buruk bagi-Nya; bahwa segala sesuatu yang, jika dilakukan oleh manusia atau setan disebut kejahatan dan atas alasan itu mereka disalahkan dan dicela, adalah bukan kejahatan jika dilakukan oleh Tuhan Yang Mahakuasa.”[6]

Tiada Sesuatu Tanpa Tujuan

Syiah berkata bahwa Tuhan tidak pernah bertindak sesuatu tanpa tujuan atau maksud lantaran perbuatan ini dalam timbangan akal bukan merupakan sebuah perbuatan terpuji. Seluruh perbuatan dan tindakan-Nya adalah berdasarkan kepada hikmah dan kebijaksanaan, meski boleh jadi kita tidak mengetahui hal tersebut.

Mazhab Imamiyah berkata bahwa Allah Yang Mahakuasa tidak melakukan sesuatu tanpa tujuan melainkan dengan maksud dan tujuan.”[7]

Asya’irah berpandangan, lantaran penolakan mereka ihwal kebaikan dan keburukan yang dapat di timbang dalam teraju akal, bahwa tiada salahnya jika Tuhan bertindak tanpa alasan. “Merupakan mazhab Asya’irah bahwa perbuatan-perbuatan Tuhan tidak disebabkan oleh tujuan apa pun; dan mereka berkata bahwa tidak dibenarkan berkata bahwa perbuatan-perbuatan-Nya dilatari oleh tujuan-tujuan tertentu. Dan Dia melakukan apa pun yang Dia kehendaki, dan menitahkan apa pun yang Dia inginkan; Jika Dia menghendaki untuk menjerumuskan seluruh makhluk-Nya untuk selamanya di Neraka, Dia adalah Penguasa dan pemilik Otoritas; dan dosa (makhluk) tiada hubungannya dalam masalah ini. Dia adalah Sebab segala sesuatu.”[8] (Fadl, op. cit)

Dapatkah Kita Mengetahui Semua Hikmah?

Seperti yang telah disebutkan bahwa Tuhan tidak melakukan sesuatu tanpa tujuan atau alasan. Tentunya ada alasan bagi setiap sesuatu yang diciptakan oleh Tuhan, tetapi tidaklah wajib bagi kita mengetahui semua alasan tersebut.

Kami katakan bahwa setiap perbuatan Allah sedemikian sehingga jika kita dibolehkan mengetahui alasannya, kita niscaya mengakui bahwa ia adalah sesuatu yang memang patut kita lakukan. Kita sering merasa terganggu dengan sebuah peristiwa atau masalah lantaran kita tidak tahu tujuan yang sebenarnya di balik peristiwa dan masalah tersebut. Gambaran itu dapat dijumpai dalam al-Qur’an ihwal kisah pertemuan antara Nabi Musa As dan seseorang (yang lebih berilmu dari Nabi Musa As). Orang alim itu telah membolehkan Nabi Musa As untuk mengikutinya dengan syarat bahwa “ Ia tidak boleh bertanya kepadanya mengenai apa yang ia tahu, sehingga ia sendiri memberitahukannya kepadamu.”

Berikut ini adalah penggalan cerita itu:

“Lalu mereka meneruskan perjalanan dengan bahtera. Ketika mereka berada dalam bahtera, orang alim tersebut melubangi bahtera tersebut. Musa menentang perbuatan tersebut kemudian ia diperingatkan akan janjinya. Kemudian, orang alim itu membunuh seorang anak. Melihat itu, Musa tidak dapat menahan dirinya lalu mencelanya dengan bahasa yang keras. Sekali lagi, dia diperingatkan akan janjinya agar tidak bertanya.

Mereka berjalan terus hingga sampai ke sebuah kota dimana tidak seorang pun yang memberikan makanan kepada mereka. Di tempat itu, mereka menemui dinding yang runtuh lalu orang alim itu memperbaikinya. Musa berkata, “Kalau engkau ingin, tentulah engkau boleh mendapat bayaran untuknya.”

Dengan hujah yang ketiga ini, orang alim itu memberitahu Musa: “Inilah perpisahan antara engkau dan aku.”

Lalu sebelum berpisah, ia menerangkan alasan-alasan terhadap perbuatannya itu.

“Berkenaan dengan bahtera itu, ia adalah milik orang-orang miskin yang bekerja di sungai dan aku merusaknya karena ada seorang raja di belakang mereka yang merampas setiap bahtera yang baik yang lalu-lalang di hadapannya.”

“Berkenaan dengan anak itu, ibu- bapaknya adalah orang-orang yang saleh dan aku risau ia akan menindas kedua-duanya dengan memberontak dan mengingkarinya, dan aku ingin agar Tuhan menggantikannya untuk mereka dengan seorang anak yang lebih baik dan saleh.”

“Mengenai tembok dinding itu, ia adalah milik dua orang anak yatim di kota itu, dan di situ terdapat harta milik mereka, dan ayah mereka adalah seorang yang saleh dan Tuhanmu menghendaki agar apabila mereka besar nanti, mereka dapat mengambil harta itu sebagai suatu rahmat dari Tuhan mereka dan tidaklah aku melakukan perbuatan-perbuatan itu menurut kehendakku sendiri.”[9]

Kami berharap contoh ini sudah memadai untuk menjelaskan pandangan kami tentang perbuatan-perbuatan Allah.

Sekelompok ulama pernah berkata:

“Setiap sesuatu yang ditetapkan oleh akal adalah ditetapkan oleh syariat dan setiap sesuatu yang ditetapkan oleh syariat ditetapkan oleh akal.”

Orang awam sering kali salah memahami ucapan ini. Mereka berfikir bahwa setiap sesuatu yang kita tetapkan sebagai baik, mestilah dihukumkan oleh syariat sebagai baik juga, padahal ia tidak seperti itu. Maksud ucapan tersebut adalah seandainya kita boleh mengetahui alasan di balik hukum syariat, akal kita pasti akan mengakui bahwa hukum itu sepatutnya demikian, dan seluruh hukum syariat itu adalah berdasarkan kepada hikmah (akal).

Aslah: Yang Paling Bermanfaat

Mazhab Syiah meyakini bahwa semua perbuatan Allah adalah bertujuan untuk kebaikan para makhluk-Nya. Aslah bermakna yang paling menguntungkan dan membawa manfaat. Dan kalimat ini kami gunakan untuk menggambarkan perbuatan-perbuatan Tuhan.

Keyakinan ini berdasarkan kepada beberapa alasan rasional berikut ini: Pertama, Dia Sendiri tiada membutuhkan, dan oleh karena itu apa pun yang Dia lakukan adalah untuk seluruh makhluk-Nya. Kedua, jika perbuatan-Nya tanpa kemaslahatan bagi seluruh makhluk-Nya, maka seluruh makhluk tersebut tiada akan memiliki tujuan; dan melakukan sesuatu tanpa tujuan, sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, buruk dalam pandangan akal.[10] Boleh jadi manusia yang membaiki atapnya merasa terganggu karena hujan yang turun begitu lebat, tetapi hujan adalah untuk maslahah (manfaat) yang berbentuk umum; bahkan seseorang yang merasa teraniaya pada masa itu akan mendapat kebaikan darinya di masa yang akan datang.

Asya’irah mengingkari bahwa seluruh perbuatan Tuhan adalah untuk kepentingan dan manfaat bagi seluruh makhluk-Nya karena mereka menolak konsep kebaikan dan keburukan yang dapat ditimbang oleh akal (husn wa qubh aqli).[11]

Berdasarkan keyakinan terhadap aslah, Syiah meyakini bahwa setiap insting dan nafsu yang terdapat dalam diri manusia diciptakan lantaran beberapa alasan dan tujuan. Seluruh insting atau nafsu ini tidak boleh diabaikan tapi diberdayakan untuk kemaslahatan umum umat manusia.

Misalnya, nafsu seks yang telah diciptakan Tuhan dalam diri manusia. Memberangus insting ini bermakna protes kepada Sang Pencipta. Ia tidak boleh dan tidak dapat diberangus; namun, tentu saja, fungsinya harus diatur untuk kemaslahatan umat manusia. Dan oleh karena itu, manusia harus melakukan pernikahan untuk menyalurkan anugerah nafsu ini dalam kehidupannya.

Demikian juga, ketakutan dan keinginan merupakan naluri-naluri natural dan sepatutnya dimanfaatkan bagi kepentingan manusia. Orang Islam diajar agar tidak takut kepada sesiapa atau sesuatu selain dari Allah, dan tidak menghendaki sesuatu di dunia ini, sebaliknya bersiap sedia untuk menerima karunia dari Allah.

Janji dan Ancaman

Seperti yang telah dijelaskan, Allah telah menetapkan Hari Pengadilan. Dia (Allah) telah menjanjikan balasan ganjaran pahala yang banyak untuk seluruh perbuatan baik dan mengancam untuk menghajar seluruh perbuatan jahat yang dilakukan oleh manusia. Terdapat perbedaan di kalangan orang-orang Islam apakah Allah wajib memenuhi janji dan ancaman-Nya.

1. Mu‘tazilah mengatakan wajib bagi Allah; yaitu Allah tidak boleh memaafkan perbuatan-perbuatan jahat seseorang yang mati tanpa bertaubat.[12]

2. Asya‘irah mengatakan Allah tidak wajib memenuhi janji dan ancaman-Nya; yaitu Dia (Allah) boleh memasukkan orang-orang yang baik ke neraka dan memasukkan Iblis ke surga. Kepercayaan mereka ini adalah berdasarkan kepercayaan mereka bahwa tidak ada sesuatu yang baik atau buruk dengan sendirinya; dan hanya apa yang Allah perintahkan kita melakukannya itu baik dan apa yang dilarang-Nya itu tidak baik. Menurut mereka, tidak ada sesuatu mengandungi keburukan atau keburukan kecuali apa yang Allah perintah atau larang.[13] Oleh karena itu, seandainya Dia memasukkan Iblis ke syurga dan memasukkan para nabi ke neraka, hal mereka anggap sebagai cermin keadilan Tuhan.

3. Syiah berkata bahwa wajib bagi Tuhan memenuhi janji-janji-Nya mengganjari perbuatan yang baik lantaran apabila Tuhan tidak memenuhi janji-Nya maka hal ini bertentangan dengan kaidah keburukan dan kebaikan yang dapat ditimbang dalam neraca akal (husn wa qubh aqli); tapi tidak wajib bagi-Nya untuk memenuhi ancaman-Nya menghajar perbuatan yang buruk lantaran memaafkan para pendosa merupakan cermin kebaikan. Jadi apabila Tuhan menghajarnya, menurut keadilan-nya; dan apabila Dia maafkan, menurut kepada kemurahan dan kasih-Nya.[14] []