peristiwa ghadir dalam perspektif ahlusunnah

peristiwa ghadir dalam perspektif ahlusunnah0%

peristiwa ghadir dalam perspektif ahlusunnah pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Imam Ali as

peristiwa ghadir dalam perspektif ahlusunnah

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

pengarang: Muhammad Ridha Jabbariyan
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Pengunjung: 10930
Download: 4005

Komentar:

peristiwa ghadir dalam perspektif ahlusunnah
Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 12 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 10930 / Download: 4005
Ukuran Ukuran Ukuran
peristiwa ghadir dalam perspektif ahlusunnah

peristiwa ghadir dalam perspektif ahlusunnah

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Bagian Pertama

Kisah Al-Ghadir

Ahli bahasa beranggapan bahwa derivasi ‘ied adalah dari kata ‘aud, yang bermakna kembali. Oleh karena itu, setiap ied adalah berarti kembali atau mudik.

Kembali secara berulang adalah sebuah gerakan yang muncul setelah melintasi kausa nuzuli (kurva turun) dan mulai beranjak naik menuju kausa su’udi (kurva naik). Sebagaimana kita memperingati tahun baru (nawruz, tahun baru Persia--AK) sebagai saat-saat kembalinya kehidupan kepada tabiat (alam).

Sebuah kehidupan yang terpasung dalam tawanan suasana dingin, dan pada puncak kedinginan musim salju (winter, semiztân) dan bahkan pada batas ketiadaan – hingga seolah-olah tiada – dan kemudian lahir kembali dengan tibanya musim semi dan ibarat melodi yang mengalun naik.

Kembalinya kehidupan kepada suasana musim semi ini harus diperingati. Hal ini merupakan puncak semangat sebuah maktab yang dipersembahkan kepada dunia materi.

Kini apabila alegori (kiasan) ini kita aplikasikan pada teks-teks agama bahwa seluruh semesta merupakan mukadimah bagi wujud manusia dan tujuan penciptaan manusia adalah untuk beribadah, maka seyogianya hari raya harus dimeriahkan sebagai hari kembalinya kehidupan maknawi manusia.

Dalam madrasah seperti ini, hari raya manusia, adalah hari kembalinya ia kepada kesejatiannya dan menemukan kembali dirinya yang hilang; Hari ketika manusia meninggalkan derâkât (pada hal-hal yang negatif disebut derâkât dan pada hal-hal yang positif disebut derajat, AK) kehidupan bendawi dan menuju kepada derajat kehidupan maknawi. Hari tatkala manusia menemukan taufik, topeng tanah yang merupakan roman jiwa sucinya ia hadapkan kepada Sang Pencipta.

Bulan suci Ramadhan merupakan bulan ketika sâlik (orang yang meniti jalan suluk, 'irfan dan tazkiyatun nafs, AK) yang berpuasa mendapatkan taufik dengan perjuangan dalam menghadapi angin-angin jahat keterikatan-keterikatan duniawi, api cinta Ilahi yang terpasung dalam peti-peti es bendawi, membara dan kembali ia nyalakan, dan melakukan muraqabah (menjaga api tersebut tetap menyala) hingga lisan api itu menjilat seluruh wujudnya dan meleburkan segala ketidaktulusan eksistensinya. Hingga akhirnya, penghambaan tulus dan murni menjelma serta tujuan penciptaan mengejewantah dalam dirinya. Kemudian sâlik merayakan hari Idul Fitri.

Ibadah haji merupakan kesempatan yang lain. Orang-orang yang melaksanakan setelah melintasi pelbagai tingkatan mendapatkan taufik, ia sembelih segala sesuatu yang selain-Nya di tempat penyembelihan hewan kurban di Mina dan membebaskan dirinya dari penghambaan diri lalu melambung melintasi kausa su’udi (kurva naik) gerakan manusia. Sebagai hasilnya, ia mencapai derajat yang tinggi dalam penghambaan, kemudian ia merayakan hari Idul Qurban.

Dari sini perbedaan antara ied dan perayaan atau festival menjadi jelas. Perayaan atau festival adalah dalih untuk mendapatkan kesenangan dan kegembiraan, sedangkan ied adalah ditemukannya kembali kehidupan manusia.

Atas alasan ini juga, ied-ied memiliki sumber syariat dan ied-ied dalam Islam telah disyariatkan. Sementara, perayaan atau festival tidak demikian adanya.

Oleh karena itu, hakikat ied dalam Islam adalah ditemukannya kembali kehidupan dan penetapannya berada di pundak syariat.

Kita percaya bahwa hari Al-Ghadir juga memiliki kekhususan sebagai sebuah ied dalam Islam. Peletak hukum Islam, Rasulullah Saw memperkenalkan Idul Ghadir sebagai hari raya umat Islam.

Buku yang ada di hadapan pembaca budiman ditulis dengan motivasi untuk membuktikan (itsbât) dua klaim di atas ini dan menjelaskan secara ringkas adab-adab hari bahagia ini.

Menelaah sebagian dalam tulisan ini, akan membina keyakinan bahwa hari Al-Ghadir merupakan salah satu hari raya besar Islam. Bahkan termasuk hari raya yang paling besar. Apabila kita melihatnya dengan rigoris dan kecermatan (researchfull), kita akan memahami bahwa hari Al-Ghadir adalah hari raya terbesar bagi umat manusia.

Al-Ghadir

Al-Ghadir secara lughawi (leksikal) berarti telaga, kolam dan rawa. Lubang-lubang yang terletak pada sahara yang menanti hingga rintik air hujan atau lintasan bah memenuhi lubang tersebut sehingga musafir sahara yang dahaga dengan setangkup air dari anugerah berharga ini dapat menarik nafas lega dan memenuhi kantung kulit keringnya dari telaga ini. Telaga, rawa dan kolam ini disebut sebagai al-ghadir.

Ghadir Khum

Musafir yang melakukan perjalanan dari kota Madinah menuju Mekkah, menempuh perjalanan sepanjang 500 kilometer. Selepas melewati 270 kilometer, ia akan sampai pada sebuah daerah yang disebut sebagai ‚rabigh‛.[1]

Rabigh merupakan daerah belantara yang terletak berdampingan dengan daerah Juhfa. Daerah ini merupakan salah satu miqat dalam ibadah haji yang terdiri dari lima miqat; tempat dimana para haji dari Syam (Suriah) dan orang-orang yang ingin pergi ke Mekkah melalui kota Jeddah, di tempat ini mereka akan mengenakan pakaian ihram.

Jarak Juhfah ke Mekkah kira-kira 250 kilometer dan ke Rabigh kurang-lebih 26 kilometer.[2] Di tempat itu terdapat ghadir (kolam) yang airnya busuk dan beracun dan tidak dapat dimanfaatkan oleh para musafir. Kafilah-kafilah yang lewat di dekat oase itu tidak akan berhenti.[3] Tampaknya dengan alasan ini ghadir (kolam) ini disebut khum lantaran khum digunakan pada segala sesuatu yang rusak dan bau. Kandang ayam juga dengan alasan ini disebut khum.

Laporan dari Hajjatul Wida’

Tahun ini adalah tahun kesepuluh Hijriah. Islam telah menyebar ke seantero Jazirah Arab dan orang-orang di sana memberikan pengakuan terhadap risalah Nabi Muhammad Saw. Tanda dan bekas dari berhala-berhala setiap kabilah tidak lagi terlihat. Upaya dan kerja keras yang dilakukan oleh Nabi Saw menuai hasil dan buah manisnya. Berhala yang disembah tumbang di hadapan uluhiyyat, dan kalimat tauhid (thayyibah) lâ ilâha illallâh merebak di setiap penjuru Jazirah Arab.

Kini satu-satunya perbedaan yang ada di antara masyarakat adalah iman yang terdapat dalam hati dan latar belakang mereka dalam Islam. Selama kurang lebih 23 tahun, Nabi Saw memikul seberat-beratnya beban, dan selama kurun waktu yang panjang ini pula semangatnya sedetik pun tidak pernah kendor dalam menunaikan tugas menyampaikan risalah kepada manusia. Sedetik pun beliau tidak pernah merasa lelah.

Kini telah datang kabar bahwa ia segera akan meninggalkan dunia fana ini dan berjumpa dengan Tuhan Yang Esa. Maka tanpa henti ia berusaha mengajarkan ajaran-ajaran Islam kepada umat

Namun, masih ada tersisa sedikit dari ahkam (plural dari hukum) yang harus disampaikan dan diajarkan kepada umat. Namun waktu yang tepat belum tersedia. Ahkam yang belum sempat disampaikan itu misalnya kewajiban penting yang harus ditunaikan dalam menjalankan ibadah haji. Hingga hari itu Nabi Saw belum menemukan waktu yang tepat untuk mengajarkan ahkam haji kepada umat sebagaimana ahkam salat. Sekarang ini satu-satunya kesempatan yang tersisa.

Warta umum telah disiarkan bahwa Rasulullah Saw akan menunaikan ibadah haji. Kaum Muslimin dari setiap kabilah berduyun-duyun bergerak ke kota Madinah. Pada hari Kamis, selama enam hari, atau hari Sabtu selama empat hari akhir Dzulqaidah[4] Nabi Saw menugaskan Abu Dujanah sebagai man in charge (deputi).[5] Sementara Nabi Saw beserta para istri dan keluarganya berangkat bersama menyertainya[6] berikut seratus unta[7] bertolak meninggalkan Madinah.

Pada masa-masa itu, (penyakit cacar atau tipes) menyebar di kota Madinah yang membuat banyak di antara kaum Muslimin tidak dapat ikut serta bersama Nabi Saw.[8]

Dalam keadaan ini, masih terdapat puluhan ribu kaum Muslimin yang ikut serta bersama Nabi Saw. Para sejarawan menulis angka orang-orang yang ikut beserta Nabi Saw, empat puluh ribu, sembilan puluh ribu, seratus empat belas ribu, seratus dua puluh ribu dan seratus dua puluh empat ribu.[9] Kendati dengan adanya perbedaan ini, yang benar kita berkata bahwa sedemikian banyak orang yang ikut bersama Nabi meninggalkan Madinah sehingga hanya Tuhan yang tahu berapa jumlah pasti dari orang-orang yang ikut bersama Nabi Saw.[10]

Mereka adalah orang-orang yang datang dari Madinah. Akan tetapi jumlah jamaah haji tidak bisa dibatasi dengan angka-angka yang disebutkan di atas. Lantaran penduduk kota Mekkah dan kota-kota di sekelilingnya serta orang-orang Yaman yang datang bersama dengan Amirul Mukminin Ali As juga ikut serta dalam ibadah haji musim itu.

Baginda Nabi Saw mandi, melumuri tubuhnya dengan minyak, menggunakan minyak wangi dan menyisir rambutnya,[11] dan meninggalkan Madinah. Tatkala bertolak menuju kota Madinah, ia hanya mengenakan dua lembar pakaian. Salah satunya diletakkan di atas bahu dan yang lainnya diikat pada pinggangnya. Ia melalui pintu demi pintu, rumah demi rumah.

Ketika sampai di Dzil Hulaifah, ia mengenakan pakaian ihram.[12] Demikianlah seterusnya hingga pada hari Selasa,[13] Dzulhijjah tiba di kota Mekkah. Ia memasuki Masjidil Haram melalui pintu Bani Syaibah,[14] melakukan thawaf, menunaikan salat thawaf, sa’i antara Shafa dan Marwa dan seterusnya secara beruntun amalan-amalan umrah berakhir.[15] Beliau bersabda bahwa barangsiapa yang tidak membawa hewan kurban bersamanya, ia telah melakukan kesalahan dan hendaknya keluar dari keadaan ihram.[16] Karena beliau membawa hewan kurban bersamanya, beliau tetap dalam keadaan mengenakan pakaian ihram sehingga dapat melakukan pemotongan hewan kurban di kota Mina.[17]

Amirul Mukminin As telah mendapat berita tentang kepergian Nabi Saw ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Ia bergerak dari Yaman beserta pasukannya, sembari membawa 37 hewan kurban, untuk ikut serta bersama Rasulullah Saw dalam menunaikan ibadah haji.

Di miqât orang Yaman, sebagaimana Nabi Saw dengan niat mengenakan pakaian ihram, ia juga berniat mengenakan pakaian ihram. Seperti Nabi Saw, selepas menjalankan sa’i antara Shafa dan Marwah, Amirul Mukminin Ali As tetap dalam keadaan mengenakan pakaian ihram.[18]

Pada hari ke delapan Dzulhijjah, Rasulullah Saw bergerak menuju sahara di bilangan Arafah untuk memulai ibadah haji. Hingga matahari terbenam pada hari kesembilan, ia tinggal di kota Mina, kemudian bertolak menuju Arafah. Setiba di Arafah, ia berhenti di kemahnya sendiri.

Di Arafah, di hadapan massa kaum Muslimin, ia menyampaikan khotbah. Dalam khotbah ini, Nabi Saw memberikan wejangan untuk menggemarkan persaudaraan dan sikap saling menghormati, mengganggap seluruh ajaran jahiliah sebagai ajaran yang sesat dan mengumumkan ihwal berakhirnya (khatam) silsilah kenabian (nubuwwah).[19]

Nabi Saw tetap tinggal di Arafah hingga matahari tenggelam pada hari kesembilan Dzulhijjah. Ketika matahari terbenam dan keadaan menjadi remang dan sedikit gelap, Nabi Saw bertolak menuju Muzdalifah.[20] Ia melewati malam di Muzdalifah. Pada waktu subuh, hari kesepuluh, Rasulullah Saw bergerak menuju Mina. Ia melaksanakan adab-adab tatkala mampir di kota Mina. Demikianlah Nabi Saw mengajarkan manasik haji kepada kaum Muslimin.

Nabi Saw menyebut musim haji ini sebagai hajjatul wida’ (haji perpisahan), hajjatul Islâm, hajjatul balâgh (haji penyampaian), hajjatul kamâl (haji sempurna), hajjatul tamâm (haji penghabisan).[21] Dengan selesainya ibadah haji, Nabi Saw bergerak kembali menuju kota Madinah. Tatkala sampai di bumi Rabigh, di tempat yang bernama Khum; Malaikat Jibril As turun, menyampaikan, dan membacakan pesan dari Allah Swt:

﴿ يَا أَيُّ هٰا الرَّسُولُ بلٍّغْ مٰا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبٍّك وَإِنْ لَمْ تَ فْعَلْ

فَمٰ ا بَ لَّغْتَ رِسٰالَتَوُ وَاللهُ يَ عْصِمُكَ مِنَ النّٰاسِ إِنَّ اللهَ لٰا يَ هْدِي القَوْمَ الكٰافِرِينَ ﴾

‚Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika engkau tidak kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) engkau tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memeliharamu dari gangguan manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (QS. Al-Maidah [5]:67)[22]

Pesan Ilahi ini meninggalkan tugas yang sangat riskan di atas pundak Rasulullah Saw: mengumumkan sesuatu yang seluruh orang harus tahu, dan apabila ia tidak melakukan hal ini, seolah-olah tugas risalah tidak tertunaikan.

Oleh karena itu, sebaik-baik keadaan untuk menyampaikan pesan seperti ini adalah di tempat ini, tempat yang di dalamnya orang-orang yang berjalan ke arah Mesir, Irak, Madinah, Hadramaut, dan Tahamah berpisah. Hal ini akan membuat para haji tidak dapat menghindar dari penyampaian pesan ini. Ghadir Khum merupakan tempat yang paling tepat dan pas untuk menyampaikan pesan samawi ini kepada seluruh orang yang baru saja menunaikan ibadah haji.

Kemudian perintah untuk berhenti dikeluarkan. Nabi Saw memerintahkan agar orang-orang yang telah pergi untuk kembali dan bersabar hingga mereka mudik ke tempatnya masing-masing.[23] Perhelatan akbar pun digelar di padang sahara. Hari itu panas terik membakar dan tempat itu segera saja menjadi tempat yang panas. Sedemikian panasnya sehingga orang-orang menanggalkan setengah pakaiannya dan meletakkannya di atas kepala, sedangkan setengah lainnya dililitkan di kaki-kaki mereka.[24]

Seluruh orang bertanya-tanya dan ingin tahu ada apa gerangan Nabi Saw memerintahkan untuk berhenti di tempat yang secara lahir tidak pantas bagi mereka untuk berhenti. Rasa dahaga bercampur dengan panasnya udara membuat para haji surut semangatnya.

Rasulullah Saw memerintahkan kepada mereka untuk menebang beberapa pohon tua dan mengumpulkannya dengan pelana-pelana unta supaya berdirilah sebuah mimbar. Menjelang zuhur, ketika seluruh haji telah berkumpul, Nabi Saw naik ke atas mimbar dan menyampaikan khotbah:

‚Segala puji hanya bagi Allah Swt. Kita meminta pertolongan dari-Nya dan beriman kepada-Nya. Kita bertawakal ke atas-Nya dan berlindung dari segala keburukan dan kejahatan dari diri kita; tiada diberi petunjuk orang-orang yang sesat, dan tidak akan tersesat orang-orang yang mendapatkan petunjuk-Nya. Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.

Wahai manusia, Allah Swt yang Maha Pemurah dan Mahatahu memberikan kabar kepadaku bahwa tidak seorang nabi yang akan hidup melebihi setengah dari usia nabi-nabi sebelumnya.‛

Orang-orang berkata, ‚Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan risalah Ilahi, memberikan nasihat dan telah berupaya keras dalam menyampaikan risalah Tuhan. Semoga Allah Swt memberikan ganjaran yang setimpal kepadamu.‛

Nabi Saw bersabda, ‚Apakah kalian tidak ingin memberikan kesaksian bahwa tiada tuhan yang layak disembah selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, surga, neraka dan kematian adalah benar adanya (hak) dan tanpa ragu hari kiamat akan datang dan Allah Swt akan membangkitkan seluruh orang yang telah mati?‛

Mereka berkata, ‚Benar, kami memberikan kesaksian bahwa semuanya itu adalah benar.‛

Nabi Saw bersabda, ‚Tuhanku saksikanlah.‛[25]

Lalu Nabi Saw bertanya, ‚Wahai manusia, apakah kalian mendengarkan suaraku?‛

Mereka menjawab, ‚Iya, kami mendengarnya.‛

Nabi Saw bersabda, ‚Aku akan tiba lebih dahulu dari kalian di telaga Kautsar dan kalian akan masuk dari tepi telaga untuk bertemu denganku.

Telaga Kautsar merupakan telaga yang lebarnya antara Sana’ (Yaman) hingga Busrah (Suriah) dan di telaga itu terdapat piala-piala untuk minum yang terbuat dari perak sebanyak jumlah bintang-bintang. Kini perhatikanlah bahwa selepasku apa yang kalian lakukan dengan dua pusaka yang aku wariskan kepada kalian.‛

Seorang tiba-tiba menyeruak di tengah-tengah kerumunan massa itu, ‚Wahai Rasulullah! Apakah gerangan dua pusaka berharga itu?‛

Rasulullah Saw bersabda, ‚Salah satu dari kedua itu yang lebih besar adalah Kitabullah (Al-Quran). Satu sisinya di sisi Allah Swt dan sisi lainnya di tangan kalian, maka berpegang teguhlah kepadanya hingga kalian tidak tersesat. Yang satunya yang lebih kecil adalah itrah-ku dan keluargaku.

Allah yang Maha Pemurah mengabariku bahwa kedua pusaka ini tidak akan berpisah satu dari yang lain hingga keduanya berjumpa denganku di telaga Kautsar pada hari kiamat. Aku juga telah bermohon demikian kepada Allah Swt. Hendaklah kalian menjaga keduanya supaya kalian tidak celaka. Lantaran kalau kalian membiarkannya niscaya kalian akan binasa.‛

Kemudian Nabi Saw meraih dan mengangkat tangan Ali bin Abi Thalib As sedemikian sehingga warna putih dari bawah ketiak mereka terlihat dan seluruh manusia yang hadir di tempat itu mengenal Amirul Mukminin Ali As.

Kemudian Nabi Saw bersabda, ‚Wahai manusia,! Siapakah yang lebih utama bagi kaum Mukminin daripada diri mereka sendiri?‛

Mereka menjawab, ‚Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.‛

Rasulullah Saw bersabda, ‚Allah Swt adalah Mawla dan junjunganku dan aku adalah mawla dan junjungan kaum Mukminin. Dan aku lebih utama dari kaum Mukminin melebihi keutamaan atas diri mereka sendiri. Maka barangsiapa yang menjadikanku sebagai mawla-nya, maka Ali adalah mawla dan junjungannya.‛[26] Nabi Saw mengulang sebanyak tiga kali pernyataan ini.

Lalu ia bersabda, ‚Allahumma! Lindungilah orang yang berwilayah kepada Ali dan musuhilah orang-orang yang memusuhinya; cintailah orang yang mencintainya; bencilah orang yang membencinya;[27] bantulah orang yang membantunya dan tinggalkanlah orang yang meninggalkannya[28] dan jadikan kebenaran senantiasa bersama Ali di manapun ia berada.[29]

Wahai manusia, hendaknya yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir.‛[30]

Lantaran khotbah telah usai, Sang Pembawa Wahyu, Malaikat Jibril turun untuk yang kedua kalinya. Ia mendapat kehormatan dengan membawa pesan ini:

﴿اَلْيَ وْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيكُمْ نِعمَتي﴾

‚Hari ini telah Kusempurnakan agama bagimu dan telah Kucukupkan nikmat bagimu.....[31]

Rasulullah Saw setelah mendapatkan wahyu ini, ia meneruskan kepada khalayak. Nabi Saw bersabda, ‚Allah Mahabesar yang telah menyempurnakan agama dan nikmat dan Tuhanku telah ridha dengan risalah yang aku bawa dan wilâyah Ali setelahku.‛[32]

Seremoni Ucapan Selamat

Setelah menyelesaikan khotbah Nabi Saw turun dari mimbar dan duduk dalam kemah dan memerintahkan supaya Ali duduk di kemah yang lain. Setelah itu, Nabi Saw memerintahkan para sahabat untuk segera berjumpa dengan Amirul Mukminin dan menyampaikan ucapan selamat kepadanya atas makam wilâyah yang kini diembannya.

Penulis kitab Raudha Al-Syifa setelah menukil peristiwa Al-Ghadir, menulis:

‚Setelah itu Nabi Saw turun dari mimbar dan duduk di sebuah kemah khusus. Beliau lalu bersabda bahwa Amirul Mukminin duduk di kemah yang lain. Lantas beliau memerintahkan kepada khalayak agar bergegas menuju ke kemah Amirul Mukminin As untuk menyampaikan ucapan selamat kepadanya. Setelah kaum Muslimin menyampaikan ucapan selamat, giliran para ummâhat (para istri Rasulullah Saw yang disebut sebagai ummâhatul mukminin), sesuai dengan tuturan Khawajah Kaniyat, menyampaikan selamat kepada Amirul Mukminin As.‛[33]

Disebutkan dalam kitab sejarah Habib Al-Siyar setelah menukil hadis Al-Ghadir bahwa ‚setelah Amirul Mukminin – karramallâhu wajhah – menjawab titah Rasulullah Saw untuk duduk di kemah agar supaya khalayak yang terdiri dari berbagai kabilah dan suku datang menyampaikan ucapan selamat kepadanya. Dari kalangan sahabat, Umar bin Khaththab ra menyampaikan selamat kepada Ahli Wilayat,

بخ بخ لك يا بن أبي طالب أصبحت وأمسيت مولاي ومولى كل مؤمن ومؤمنة

‚Alangkah beruntungnya engkau wahai putra Abu Thalib! Engkau telah menjadi mawla-ku dan mawla seluruh kaum Mukminin dan Mukminat .‛[34]

Setelah itu, ummahatul mukminin berdasarkan petunjuk Sayyidul Mursalin datang kepada Amirul Mukminin As untuk menyampaikan ucapan selamat.

Almarhum Thabarsi Ra, mufassir (ahli tafsir) dan muhaddits (ahli hadis) Mazhab Syi’ah Imamiyah juga meriwayatkan hadis yang sama dalam kitabnya I’lâm Al-Wara.[35]

Semua sahabat kembali membaiat Rasulullah Saw dan pada saat yang sama juga membaiat Amirul Mukminin Ali As. Orang-orang yang pertama kali memberikan tangannya (membaiat) Nabi Saw dan Imam Ali As adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, Thalhahh dan Zubair.[36] Sebelumnya kami telah menyebutkan bahwa untuk menyenangkan Nabi Saw dan Imam Ali As, Umar mengatakan sesuatu yang terekam baik dalam sejarah:

بخ بخ لك يا بن أبي طالب أصبحت وأمسيت مولاي ومولى كل مؤمن ومؤمنة

‚Alangkah beruntungnya engkau wahai putra Abu Thalib! Engkau telah menjadi mawla-ku dan mawla seluruh kaum Mukminin dan Mukminat.‛ [37]

Tak terbilang para muhaddits Ahlu Sunnah menukil ucapan ini dan meriwayatkan orang-orang yang hadir di tempat itu. Di antara orang yang menukil ucapan ini adalah sahabat-sahabat seperti Bin Abbas, Abu Hurairah, Burai bin Azib, Zaid bin Arqam, Sa’ad bin Abi Waqqas, Abu Said Khudri, dan Anas bin Malik.

Allamah Amini ra dalam kitabnya Al-Ghadir menyebutkan tiga ratus nama ulama Ahlu Sunnah yang menukil riwayat ini dalam kitab-kitab mereka. Sebagian yang lain menisbahkan hadis ini kepada Abu Bakar.[38]

Tatkala seremoni ucapan selamat selesai, Hassan bin Tsabit seorang pujangga masa itu, bangkit dan berkata, ‚Wahai Rasulullah! Izinkan aku untuk mendeklamasikan syair di hadapanmu tentang Ali As.‛

Nabi Saw bersabda, ‚Dengan berkat Allah Swt, lantunkanlah.‛

Kemudian Hassan bin Tsabit naik ke atas mimbar dan mendeklamasikan syair berikut.

 Kepada kaum Muslimin pada hari Ghadir Nabi menyeru,

Bagaimanakah pesuruh Allah berseru,

Ia bersabda: Siapakah mawla dan nabi kalian?

Di tempat itu semua berkata terang tanpa keraguan

Dan tidaklah layak bagi kami untuk menentang dan bermaksiat kepadamu dalam urusan wilâyah,

Tuhanmu adalah mawla kami dan engkau adalah nabi kami,

Ia berkata kepadanya, bangkitlah wahai Ali

Sesungguhnya aku rela engkau menjadi imam dan pemberi petunjuk selepasku

Maka barangsiapa yang menjadikan aku sebagai pemimpin dan junjungannya, maka Ali adalah pemimpin dan junjungannya. Ikutilah dan taatilah perintahnya.

Dan di tempat itu Sang Nabi Agung berdoa, ‚Allahumma, cintailah orang yang mencintai Ali dan musuhilah orang yang memusuhinya.‛[39]

Penyematan Jubah Kebesaran pada Hari Al-Ghadir

Seremoni ucapan selamat dan baiat itu berlangsung selama tiga hari.[40] Kini khilâfah besar Ilahi telah menjadi diketahui dan khalifah Rasulullah Saw telah ditetapkan. Masyarakat mengenal Imam Ali As dan memberikan baiat kepadanya. Kini tiba giliran upacara penyematan dilangsungkan. Rasulullah Saw meminta Amirul Mukminin As untuk maju dan ia mengenakan ammamahnya (sebuah pakaian khusus) yang disebut sebagai sahab itu kepada Imam Ali As sehingga sahab itu bergantung di kedua bahunya dan bersabda:

يا علي العمائم تيجان العرب

"Amamah merupakan pakaian kebesaran orang Arab .‛[41]

Supaya orang-orang di bawahnya melihatnya, maka Nabi Saw bersabda, ‚Menghadaplah kepadaku.‛

Imam Ali As berdiri menghadap Nabi Saw. Kemudian beliau bersabda lagi, ‚Kembali.‛ Imam Ali As pun kembali.[42]

Lantas Nabi Saw menghadap ke arah para sahabat dan bersabda, ‚Para malaikat yang turun membantuku pada hari Badar dan Hunain mengenakan amamah seperti ini.‛[43]

Beliau bersabda lagi, ‚Amamah merupakan roman wajah Islam,[44] amamah adalah sebuah perlambang yang memisahkan seorang Muslim dengan seorang musyrik.‛[45]

Kata beliau lagi, ‚Para malaikat dengan cara seperti ini datang kepadaku.‛[46]

Demikian seterusnya, peristiwa Al-Ghadir berakhir. Akhirnya, para haji kembali ke kampung mereka masing-masing yang bertebaran di seantero Jazirah Arabia.

Sekarang peristiwa Al-Ghadir secara ringkas telah menjadi maklum. Ada dua poin yang layak untuk disimak.

A. Kebenaran peristiwa Al-Ghadir dalam perspektif sejarah;

B. Muatan sabda Rasulullah Saw pada khotbah Al-Ghadir.

Kebenaran Peristiwa Ghadir dalam Perspektif Sejarah

Al-Ghadir merupakan mata air yang darinya kemurnian Islam bersumber. Barangsiapa yang mengakui realitas ini dan jiwanya karam dalam kemurniannya, ia akan mendapatkan keselamatan dalam lindungan Islam. Barangsiapa yang menutup mata dan telinga atas realitas ini, dengan segala dalih dan alasan, tidak akan mendapatkan sesuatu kecuali suara bel dari jauh.

Al-Ghadir bukanlah sebuah tempat atau kediaman untuk berhenti ketika Rasulullah Saw memperkenalkan penggantinya kepada umat. Nabi yang mulia ini berkali-kali dalam setiap kesempatan dan penjelasan telah memperingatkan umat atas realitas ini dalam bentuk yang beragam serta memperkenalkan pemimpin umat masa datang

Mereka yang memiliki hubungan baik dengan baginda Nabi Saw dan senantiasa berhubungan dengan apa saja yang terjadi pada sentral pemerintahan Islam, tahu bahwa Ali As merupakan khalifah belâ fashl (immediate, segera setelah Rasulullah Saw), orang yang paling dicintai Rasulullah dan sahabat terdekat Rasulullah Saw.

Khilâfah bukanlah merupakan sebuah masalah yang didiamkan hingga tahun sepuluh Hijriah. Khalifah Rasulullah Saw telah diketahui semenjak pemakluman kenabian (nubuwwah) di kota Mekkah.[47]

Selepas itu, khususnya hingga tahun kesepuluh Hijriah sedemikian masalah ini berulang-ulang dibicarakan sehingga seluruh penduduk kota Madinah tahu masalah ini. Semua hadis seperti hadis manzilah, hadis râyat dan hadis thayir[48] telah mereka dengar. Hadis tsaqalain[49] telah berkali-kali dibacakan kepada mereka. Turunnya ayat seperti ayat ‚mawaddah‛,[50] ayat ‚mubahalah‛[51] dan ayat wilâyah[52] telah menjadi sebab mentari pribadi Amirul Mukminin As semakin bertambah terang dan kemilau.

Dengan semua hadis ini, hadis Al-Ghadir jauh lebih populer. Seluruh hadis yang telah diriwayatkan dalam bidang ini merupakan hadis-hadis sahih dan masyhur dan sebagian mutawatir (banyak orang yang menukilnya); akan tetapi hadis Al-Ghadir bahkan melebihi tingkatan tawatur.

Almarhum Allamul Huda Sayyid Murtada ra bertutur tentang masalah ini:

‚Barangsiapa yang menghendaki dalil dari riwayat ini, seolah-olah menghendaki dalil kebenaran riwayat ghazawat dan keadaan Rasulullah Saw dan sedemikian terang sehingga ia seakan-akan meragukan akan kebenaran riwayat hajjatul wida’. Lantaran kesemua ini dari sisi kemasyhuran berada pada satu tingkatan.

Lantaran seluruh ulama Syi’ah menukil riwayat ini dan demikian juga para muhaddits (ahli hadis) dengan sanad-sanad meriwayatkan hadis tersebut. Para sejarawan dan penulis sejarah sebagaimana mereka menarasikan peristiwa-peristiwa penting, tanpa sanad tertentu melalui generasi demi generasi, meriwayatkan peristiwa-peristiwa tersebut. Para ahli hadis memverifikasi riwayat Al-Ghadir dan menggolongkannya sebagai hadis sahih.

Riwayat ini memiliki keistimewaan. Sementara riwayat-riwayat yang lain tidak memiliki keistimewaan sebagaimana riwayat ini. Karena khabar atau riwayat terdiri dari dua bagian:

Bagian pertama adalah khabar atau riwayat yang tidak memerlukan sanad yang bersambung; seperti riwayat Perang Badar, Khaibar, Jamal, Shiffin dan seluruh kejadian penting yang diketahui oleh orang-orang melalui generasi demi generasi tanpa bersandar pada sanad.

Bagian kedua adalah khabar atau riwayat yang memerlukan sanad yang bersambung; misalnya riwayat yang berkenaan dengan hukum-hukum syariat.

Riwayat Al-Ghadir telah dinukil melalui dua jalan ini. Maksudnya di samping riwayat tentang Al-Ghadir sedemikian makruf dan masyhurnya dan tidak memerlukan sanad, ia juga memiliki sanad yang bersambung.

Terlebih riwayat yang dinukil dengan hukum-hukum syariat semuanya merupakan khabar wahid (riwayat tunggal). Akan tetapi, riwayat tentang Al-Ghadir banyak yang merawikannya.‛[53]

Bukan di sini tempatnya untuk menyebutkan satu persatu perawi yang meriwayatkan hadis atau kabar Al-Ghadir, lantaran tidak hanya tempatnya yang terbatas tetapi juga kita tidak terlalu berkepentingan kepadanya. Almarhum Allamah Amini Ra menyebutkan para perawi hadis ini sesuai dengan urutan masa hidupnya. Kami hanya akan mencukupkan diri dengan menyebut jumlah perawi hadis Al-Ghadir pada setiap zamannya. Bagi mereka yang ingin mengkaji lebih jeluk, silahkan rujuk kepada kitab Al-Ghadir karya Allamah Amini.[54]

Di antara para sahabat Rasulullah Saw terdapat 110 sahabat yang meriwayatkan hadis Al-Ghadir ini.

Di antara para tabi’in terdapat 84 orang;

Di antara ulama abad kedua Hijriah terdapat 56 orang;

Di antara ulama abad ketiga Hijriah terdapat 92 orang;

Di antara ulama abad keempat Hijriah terdapat 43 orang;

Di antara ulama abad kelima Hijriah terdapat 24 orang;

Di antara ulama abad keenam Hijriah terdapat 20 orang;

Di antara ulama abad ketujuh Hijriah terdapat 21 orang;

Di antara ulama abad kedelapan Hijriah terdapat 18 orang;

Di antara ulama abad kesembilan Hijriah terdapat 16 orang;

Di antara ulama abad kesepuluh Hijriah terdapat 14 orang;

Di antara ulama abad kesebelas Hijriah terdapat 12 orang;

Di antara ulama abad keduabelas Hijriah terdapat 13 orang;

Di antara ulama abad ketigabelas Hijriah terdapat 12 orang;

Di antara ulama abad keempatbelas Hijriah terdapat 19 orang;

Dan Hamu menulis:

Ahmad bin Hanbal meriwayatkan hadis ini dengan 40 sanad, Bin Jarir Thabari dengan tujuh puluh dua sanad, Jazari Muqarri dengan delapan puluh sanad, Bin Uqdah dengan seratus lima sanad, Abu Sa’ad Mas’ud Sajistani dengan seratus dua puluh sanad, dan Abu Bakar Jua’bi dengan seratus dua puluh lima sanad.[55]

Bin Hajar dalam kitabnya Al-Shawâiq al-Muhriqah menulis, ‚Hadis ini diriwayatkan oleh tiga puluh orang sahabat Rasulullah Saw. Sanad-sanad hadis tersebut adalah sanad-sanad sahih dan hasan.‛[56]

Bin Maghazali dalam kitabnya Manâqib menulis:

‚Hadis Al-Ghadir adalah hadis sahih dimana kira-kira seratus orang sahabat yang di antara mereka adalah sepuluh orang yang mendapatkan berita gembira masuk surga (‘asyara mubasyarah) meriwayatkan hadis ini dari Nabi Saw. Hadis ini adalah hadis yang sifatnya tsâbit (tetap) dan tidak ada persoalan (isyakalan) atasnya. Kenyataan ini merupakan keutamaan Imam Ali As yang tidak dimiliki oleh seorang pun.‛[57]

Sayyid Bin Thawus salah seorang ulama besar Syi’ah dalam kitabnya Iqbâl Al-A’mâl menulis:

‚Abu Sa’ad Mas’ud bin Nasir Sajistani menyusun sebuah kitab yang terdiri dari sepuluh juz yang bernama Al-Dirâyah fii hadis Al-Wilâyah. Hadis [Al-Ghadir] ini ia riwayatkan dari seratus dua puluh sahabat.‛

Muhammad bin Jarir Thabari dalamnya kitabnya Al-Rad ‘ala al-Hurqusha menulis, ‚Hadis wilâyah diriwayatkan dari tujuh puluh lima jalan.‛

Abul Qasim Abdullah Huskani dalam masalah ini menyusun sebuah kitab tersendiri yang berjudul Du’a Al-Hudat ilaa Ada Haqqi Al-Walât. Abul Abbas Ahmad bin Sa’id bin ‘Uqda juga menulis sebuah kitab yang diberi judul Hadits Al-Wilâyah dan hadis ini ia nukil dari seratus lima puluh orang. Setelah menukil redaksi para perawi, ia menulis:

‚Seluruh kitab ini selain kitab Al-Thabari ada pada perpustakaan pribadi penulis; khususnya kitab Bin Uqdah yang telah disusun pada masa hidupnya (tahun 330 H).‛[58]

Yang terpenting dari itu, semenjak abad kedua hingga masa-masa munculnya mazhab, tidak satu pun dari perawi hadis ini berasal mazhab Syi’ah. Di kalangan Syi’ah sendiri jarang dijumpai seorang alim yang tidak menukil hadis ini dengan sanad yang berbeda.

Signifikansi hadis Al-Ghadir ini sedemikian asasinya sehingga banyak ulama Islam menulis atau menyusun kitab perihal peristiwa Al-Ghadir. Sesungguhnya Allamah Amini dalam kitab Al-Ghadir, hingga masanya terdapat dua puluh enam kitab tersendiri telah ditulis atau diriset oleh para ulama dalam membuktikan tawatur-nya hadis Al-Ghadir.[59]

Masalah ini sedemikian terangnya dan jelasnya dan merupakan perkara yang pasti pada semua orang sehingga Ahlul Bait As dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam pelbagai kesempatan berdalil dan berdebat menggunakan hadis Al-Ghadir ini.

Kita jumpai dalam riwayat-riwayat yang beragam ketika Amirul Mukminin As sepanjang tahun pascawafatnya Nabi Muhammad Saw, dalam berbagai majelis, bersumpah bahwa apakah kalian tidak mengingat Rasulullah Saw bersabda pada hari Al-Ghadir: ‚Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai mawla-nya, maka Ali adalah mawla-nya?‛ Mereka bersumpah bahwa mereka telah mendengarnya dari Nabi Saw.[60]

Sesuai dengan apa yang telah dibahas sebelumnya, hadis Al-Ghadir merupakan peristiwa yang tidak dapat disepelekan oleh orang-orang jahat dan atau ditutup-tutupi oleh sekelompok orang-orang jahil; apatah lagi untuk menutupi mentari benderang hakikat Imam Ali As.

Dengan alasan ini, seorang ulama, Abdul Fattah Abdul Maqsud Misri yang menyusun kitab Imam Ali As, sembari memberikan pujian atas kitab Al-Ghadir, menulis:

‚Hadis Al-Ghadir tanpa syak, merupakan sebuah kenyataan yang dengan sendirinya tidak akan pernah sirna; Hadis Al-Ghadir merupakan hadis yang jelas dan terang, seperti terangnya siang hari. Hal ini merupakan salah satu kenyataan yang jelas bahwa Al-Ghadir adalah sumber ilham yang tersebar dari dada Nabi Saw hingga ia memaklumkan orang pilihan dan binaannya di antara umat.‛[61]

Kandungan Hadis Al-Ghadir

Kalimat yang menjadi saksi pada peristiwa Al-Ghadir dan pada hakikatnya pesan utama Al-Ghadir terkandung di dalamnya adalah sabda Nabi Saw bersabda:

مَنْ كُنْتُ مَوْلاهُ فَ عَليٌّ مَولاه “ “

‚Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai mawlanya, maka Ali adalah mawlanya.‛

Orang-orang yang ber-istidlal (bernalar dan berdalil) dengan hadis ini memaknai mawla sebagai awla. Dan awla bermakna orang yang lebih layak untuk mengatur. Dengan ungkapan yang lebih sederhana adalah bahwa yang layak untuk membina dan memimpin. Dengan demikian, makna hadis ini adalah: Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai pemimpin dan pembinanya, Ali As adalah pemimpin dan pembinanya.‛

Oleh karena itu, barangsiapa yang menerima Nabi Saw sebagai pemimpin dan pembinanya konsekuensinya menerima Ali As sebagai pemimpin dan pembinanya.

Kini yang harus diketahui adalah apakah dalam bahasa Arab, makna ini digunakan atau tidak? Dan yang lainnya adalah apabila kita menerima bahwa mawla dalam bahasa Arab sesuai dengan makna ini, apakah dalam khotbah Al-Ghadir kata mawla bermakna yang sama atau tidak?

Almarhum Allamah Amini menyebutkan empat puluh dua ulama besar dalam bidang tafsir dan bahasa yang dua puluh tujuh dari mereka berkata: ‚Mawla bermakna awla.‛ Lima belas orang yang lain berkata: ‚Awla merupakan salah satu makna dari mawla.‛[62]

Akan tetapi tentang masalah apakah dalam hadis ini kata mawla bermakna yang sama (awla), dengan memperhatikan situasi dan kondisi tatkala hadis ini disampaikan dan menelaah khotbah yang memuat hadis ini, tidak secuil pun syak yang akan tersisa bahwa kata mawla dalam hadis ini adalah bermakna awla.

Lantaran sosok agung seperti Nabi Saw yang merupakan akal keseluruhan (aql kul), insan paripurna dan Nabi teragung dan duta langit, pada hari yang sedemikian panas dan sahara yang sedemikian membakar kaki-kaki para pengelana dan sinar matahari yang sedemikian terik yang membuat otak manusia mendidih, pada sahara yang membara dan tanpa adanya fasilitas[63] yang apabila daging diletakkan di atas tanah, maka akan terpanggang.[64] Sebuah tempat yang tidak satu pun kafilah yang mau berhenti di situ.

Nabi Saw menahan puluhan ribu haji di tempat itu dan orang-orang yang telah pergi untuk menantikan orang-orang yang masih tinggal dan menyampaikan khotbah pada saat-saat yang paling terik. Di samping itu, Nabi Saw berkali-kali bertanya kepada khalayak ketika itu untuk mencari tahu apakah mereka mendengarkan suara Nabi Saw dengan baik. Pada akhirnya, beliau menunjukkan Ali As kepada mereka. Nabi Saw menyebutkan nama dan nasabnya lalu bersabda:

مَنْ كُنْتُ مَوْلاهُ فَ عَليٌّ مَولاهُ “ “

(Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai mawlanya maka Ali adalah mawlanya)

Lalu ia menugaskan orang-orang yang hadir untuk menyampaikan warta penting ini kepada orang-orang yang tidak hadir di tempat itu. Setelah itu, ia meminta orang-orang untuk berbaiat kepadanya dan menyampaikan ucapan selamat, serta mengenakan amamah kepunyaannya di atas kepala Ali As dan bersabda kepadanya, ‚Pakaian kebesaran bangsa Arab adalah ammamah.‛ Nabi Saw bersabda kepada para sahabatnya, ‚Para malaikat yang turun membantuku pada hari Badar mengenakan ammamah seperti ini.‛

Sekarang apabila kita berasumsi hadis ini sampai di tangan seseorang tanpa qarinah (indikasi), tafsir dan penjelasan dan tanpa ada tujuan memperhatikan hadis ini, ia akan menjumpai - berseberangan dengan ucapan sebagian orang-orang jahil - bahwa Nabi Saw tidak pada tempatnya berkata, ‚Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai temannya, maka Ali adalah temannya.‛ Atau ‚Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai penolongnya, maka Ali adalah penolongnya!‛

Lantaran teman dan penolong tidak memerlukan adanya ucapan selamat, pengenaan ammamah dan secara umum sabda Nabi Saw ini tidaklah sedemikian penting sehingga harus disampaikan pada situasi dan kondisi seperti itu dan dengan adanya pengumuman pendahuluan.

Atas alasan-alasan ini, Sibt bin Jauzi seorang ulama Ahlu Sunnah, setelah membahas tuntas masalah ini, sampai pada sebuah kesimpulan bahwa hadis ini (mawla) adalah bermakna awla.[65]

Bin Thalhahh dalam kitab Mathâlib Al-Su’âl menulis:

‚Setiap makna mawla yang dinisbahkan kepadanya, Baginda Nabi Saw nisbahkan juga kepada Ali. Nisbah ini merupakan kedudukan tinggi yang diberikan kepada Ali As.‛[66]

Hal ini merupakan konklusi yang ditunjukkan dari kandungan khotbah Rasulullah Saw dengan seluruh kalimatnya. Hal itu adalah yang dipahami dari sabda Nabi Saw oleh seratus dua puluh ribu Arab, tanpa adanya syak dan keraguan. Atas alasan ini, Hassan bin Tsabit bangkit dan berdiri mendeklamasikan syair untuk memuji Amirul Mukminin As dan aksinya itu mendapat sokongan dari Nabi Saw.

Setelah itu, siapa saja yang mendengar berita tentang peristiwa Al-Ghadir memahami bahwa Nabi Saw telah menetapkan pengganti dan khalifah selepasnya.

Sepanjang abad selanjutnya, seluruh pakar bahasa dan ulama Islam juga demikian memahami peristiwa Al-Ghadir itu. Ratusan pujangga Arab dan non-Arab mendendangkan syair perihal Ghadir. Dalam lirik-lirik syair, mereka menjelaskan bahwa Nabi Saw memilih Amirul Mukminin Ali As sebagai penggantinya dan karena itu mereka memuliakan hari Al-Ghadir.

Pada masa khilâfah zhahiri-nya (secara resmi) di Kufah, Amirul Mukminin As acapkali berdalil dengan hadis ini dan meminta para sahabat Nabi Saw untuk bersumpah supaya memberikan kesaksian atas peristiwa Al-Ghadir ini. Padahal kurang-lebih peristiwa Al-Ghadir telah berlalu selama empat puluh tahun dan banyak dari kalangan sahabat Nabi Saw telah meninggal dan yang masih hidup di penjuru negeri. Di samping itu, kota Kufah terletak jauh dari pusat pemukiman para sahabat di Madinah.

Tanpa prediksi dan persiapan pendahuluan Amirul Mukminin As meminta kesaksian dari mereka. Jumlah orang-orang yang memberikan kesaksian ini layak untuk diperhatikan. Orang-orang yang memberikan kesaksian cukup banyak dan membenarkan perkataan Imam Ali As. Jumlah saksi yang disebutkan dalam riwayat beragam. Menurut sebagian riwayat terdapat lima atau enam orang,[67] sebagian riwayat melaporkan terdapat sembilan orang[68] , riwayat yang lain menyebutkan dua belas orang[69] , riwayat yang lain menukil dua belas orang ahli Badar (orang-orang yang ikut perang Badar, -AK)[70] , riwayat yang lain terdapat tiga belas orang[71] , dan riwayat yang lain enam belas orang[72] , dan pada riwayat yang lain terdapat delapan belas orang[73] , dan dalam riwayat yang lain terdapat tiga puluh orang[74] , sesuai dengan riwayat yang lain sekelompok orang[75] , sesuai dengan salah satu riwayat terdapat lebih dari sepuluh orang[76] , sesuai dengan salah satu riwayat menyebutkan sebagian[77] dan riwayat yang lain sekelompok orang banyak[78] , dan riwayat lain terdapat tujuh belas orang[79] yang memberikan kesaksian bahwa Nabi Saw pada hari Al-Ghadir bersabda:

مَنْ كُنْتُ مَوْلاهُ فَ عَليٌّ مَولاهُ “ “

Demikian juga Ahlul Bait As dan para pengikutnya dalam banyak hal berdalil dan berdebat dengan menggunakan hadis ini. Almarhum Allamah Amini Ra menukil dua puluh dua entri dari perdebatan (ihtijâjâj) ini. Di sini, kita hanya akan menyebutkan beberapa matlab sebagai contoh:

1. Istidlâl Ummu Aimmah, Fatimah Zahra As

Apakah kalian telah melupakan sabda Nabi Saw yang menyerukan: ‚Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai mawla-nya, maka Ali adalah mawla-nya.‛[80]

2. Istidlâl Imam Hasan Mujtaba As

Tatkala Imam Hasan Mujtaba mengambil keputusan untuk berdamai dengan Muawiyah, ia menyampaikan khotbah. Sebagian dari khotbah tersebut tertoreh dalam sejarah:

Umat ini mendengar dari datukku Rasulullah Saw yang bersabda: ‚Setiap umat yang mewakilkan urusan mereka kepada seseorang yang lebih alim dan lebih layak di antara mereka, mereka akan mengalami kejatuhan dan degradasi; kecuali mereka memprioritaskan orang yang lebih layak di kalangan mereka.‛ Kalian juga mendengar ia bersabda kepada ayahku: ‚Engkau bagiku ibarat Harun bagi Musa; hanya saja tidak ada nabi selepasku.‛ Kalian mendengar bahwa pada Ghadir Khum ia mengangkat tangan ayahku dan bersabda:

مَنْ كُنْتُ مَوْلاهُ فَ عَليٌّ مَولاه ‚Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai mawlanya, maka Ali adalah mawlanya. Allahumma, cintailah orang yang mencintainya dan musuhilah orang yang memusuhinya. Kemudian ia bersabda, ‘orang-orang yang hadir hendaknya menyampaikan kepada orang-orang yang tidak hadir.’‛[81]

3. Istidlâl ‘Ammar Yasir

Pada Perang Shiffin, tatkala Ammar Yasir berhadap-hadapan dengan Amr bin Ash, ia berkata:

‚Rasulullah Saw memberikan titah kepadaku untuk berperang melawan Nakitsin dan aku telah memenuhi titah tersebut. Ia menitahkan untuk berperang dengan Qâsithin. Kalian adalah orang-orang Qâsithin itu yang kini aku perangi dan aku tidak tahu apakah aku dapat menuruti titah baginda Nabi Saw untuk memerangi Mariqin atau tidak. Wahai pria abtar (orang yang keturunannya terputus, -AK), apakah engkau tidak tahu bahwa Rasulullah Saw bersabda ihwal Ali As:

اَللّهُمَّ والَ مَنْ وَالاهُ وَعادَ مَنْ عادَاه ¸ مَنْ كُنْتُ مَوْلاهُ فَ عَليٌّ مَولاهُ ‚Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai mawlanya, maka Ali adalah mawlanya. Ya Allah, cintailah orang yang mencintainya dan musuhilah orang yang memusuhinya. Mawlaku adalah Allah dan Rasul-Nya dan setelahnya Ali. Tetapi engkau tidak memiliki mawla.

Amr bin Ash menjawab: ‚Wahai Aba Yaqzhan, mengapa engkau mencibir aku sementara aku tidak mencibirmu?‛[82]

4. Istidlâl Ashbagh bin Nabatah

Pada Perang Shiffin Amirul Mukminin As menulis surat dan ia menugaskan Ashbagh bin Nabatah untuk menyampaikan surat itu kepada Muawiyah. Tatkala Ashbagh memasuki majelis Muawiyah, sekelompok laskar juga hadir di tempat itu. Di antara laskar tersebut, dua orang sahabat Rasulullah Saw yaitu Abu Hurairah dan Abu Darda berada dalam majelis tersebut. Ashbagh berkata, ketika Muawiyah membaca surat itu, ‚Mengapa Ali tidak menyerahkan kepada kita orang yang membunuh Utsman.‛ Aku berkata, ‚Wahai Muawiyah! Jangan engkau berdalih dengan darah Utsman; Engkau adalah orang yang mengejar kekuasaan dan pemerintahan. Apabila engkau ingin membantu Utsman, sebenarnya engkau dapat membantunya pada masa hidupnya. Akan tetapi. kini engkau berdalih atas darahnya (kematian Utsman). Engkau sangat dahaga kekuasaan hingga ia terbunuh.‛

Muawiyah menjadi bungkam dengan ucapan Ashbagh ini.

‚Dan aku yang lebih ingin menumpahkan amarah berkata kepada Abu Hurairah, ’Wahai sahabat Rasulullah Saw! Aku bersumpah kepada Tuhan yang Esa, Yang Mahatahu yang lahir dan gaib dan kepada kekasih-Nya Muhammad Saw, apakah engkau hadir pada hari Ghadir Khum?’ Ia menjawab, ’Iya aku hadir di tempat itu.’

Aku berkata: ’Apakah yang engkau dengar dari Rasulullah Saw perihal Ali?’

Ia berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda: Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai mawlanya, maka Ali adalah mawlanya. Ya Allah, cintailah orang yang mencintainya dan musuhilah orang yang memusuhinya. Bantulah orang yang membantunya dan tinggalkanlah orang yang meninggalkannya.’

Aku berkata: ’Wahai Abu Hurairah! Lalu mengapa engkau bersahabat dengan musuhnya dan memusuhi orang yang bersahabat dengannya?’

Abu Hurairah berseru, ‘Duhai,’ dan berkata, ‘Inna lillahi wa inna ilahi raji’un.‛[83]

Lebih jauh dari itu, dalam banyak perkara, orang-orang awam beristidlal dan bersandar pada hadis Al-Ghadir di hadapan orang-orang masyhur yang tidak mengamalkan tuntutan hadis ini dan bahkan menentang Amimrul Mukminin As. Di antara orang-orang awam itu adalah:

5. Istidlâl Istri Darami

Ia adalah seorang wanita hitam dari Syi’ah Imam Ali As yang berasal dari keluarga besar Daram yang bermukim di daerah Hujun Mekkah. Atas alasan ini, ia disebut sebagai Daramiyah Hujuniyyah.

Tampaknya lantaran kemasyhuran dan popularitas gelar ini, namanya tidak disebut dalam sejarah. Dalam perjalanan haji, Muawiyah memanggil wanita itu dan berkata, ‚Apakah engkau tahu mengapa aku memanggilmu?‛

Wanita itu berkata, ‚Mahasuci Allah! Aku tidak mengetahui perkara gaib.‛

Muawiyah berkata, ‚Aku ingin bertanya, mengapa engkau mencintai Ali dan membenciku? Engkau menerima wilâyahnya dan memusuhiku?‛

Ia berkata, ‚Apabila mungkin engkau membolehkan aku untuk tidak menjawab pertanyaan itu.‛

Muawiyah berkata, ‚Aku tidak membolehkanmu.‛

Ia berkata, ‚Karena engkau mendesakku untuk menjawab pertanyaanmu. Kini aku berkata, ‘Aku cinta kepada Ali, lantaran perilakunya mencerminkan keadilan dan membagi harta baitul mal dengan rata. Aku membencimu karena engkau berperang dengan orang yang paling pantas untuk menjadi khalifah, dan engkau menuntut sesuatu yang bukan hakmu. Aku menerima wilâyah Ali lantaran Nabi Saw menyematkannya kepada Ali. Karena ia mencintai orang-orang miskin dan menghormati orang-orang beragama. Aku memusuhimu karena engkau menumpahkan darah dan menyebarkan perpecahan; engkau bertindak zalim mengikuti hawa nafsu dalam peradilan.’‛[84]

6. Istidlâl Pemuda Tak Dikenal

Suatu ketika Abu Hurairah masuk ke Masjid Kufah. Orang-orang segera mengerumuninya. Setiap orang mengajukan pertanyaan kepadanya. Seorang pemuda bangkit dan bertanya, ‚Aku bersumpah kepada Allah, apakah engkau mendengar Rasulullah Saw bersabda: ’Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai mawlanya, maka Ali adalah mawlanya. Ya Allah! Cintailah orang yang mencintainya dan musuhilah orang yang memusuhinya.’‛ Abu Hurairah berkata, ‚Aku bersaksi bahwa aku mendengar Rasulullah Saw bersabda demikian.‛[85]

Demikian juga sepanjang sejarah, bahkan orang-orang yang berada dalam jajaran orang yang bermusuhan dengan Ali, ber-istidlal dengan hadis Al-Ghadir. Di antaranya:

7. Istidlâl Amr bin Ash

Semua orang tahu bahwa Amr bin Ash merupakan salah seorang musuh bebuyutan Amirul Mukminin As. Ialah yang menjadi penasihat dan kontributor pemikiran bagi Muawiyah sekaligus ia juga yang merancang Muawiyah untuk berhadapan dengan Ali.

Dengan intriknya yang licin, ia yang membuat Imam Ali bungkam (selama 25 tahun), dan dengan mengajukan usulan hakamiyat (Al-Quran yang menjadi hakim atas pertikaian mereka, AK), ia memberikan kekuatan kepada laskar Syam dan menyebarkan perpecahan di kalangan prajurit Kufah. Dari tempat itulah, nutfah Khawarij bersemi. Berkat jasa besar ini, ia mendapatkan ganjaran pemerintahan Mesir dari Muawiyah.

Dalam sepucuk suratnya, Muawiyah memohon bantuan darinya: ‚Ali yang menyebabkan Utsman terbunuh dan aku adalah khalifah Utsman.‛

Dalam menjawab surat Muawiyah, Amr bin Ash menulis:

Aku telah membaca surat dan telah memahaminya dengan baik. Adapun engkau memintaku untuk keluar dari agama Islam, aku telah mengucapkan selamat tinggal kepada Islam dan memasuki lembah kesesatan dan membantumu pada jalan-jalan batil dan menghunus pedang di hadapan Amirul Mukminin, padahal ia adalah saudara, wali, washi, dan pewaris Rasulullah Saw dan ialah yang telah menunaikan agama Rasulullah dan memenuhi janji-janjinya, ia adalah menantu Nabi dan suami dari penghulu wanita seluruh alam, bapak dari Hasan dan Husain penghulu pemuda di surga. Aku tidak dapat menerima permintaanmu ini.

Adapun engkau berkata: ‚Aku adalah khalifah Utsman‛, dengan tewasnya Utsman engkau telah tergeser. Kekhalifahanmu akan sirna. Engkau berkata: ‚Amirul Mukmininlah yang menggerakkan sahabat untuk membunuh Utsman‛. Perkataan ini adalah dusta dan palsu. Celakalah engkau wahai Muawiyah! Tidakkah engkau tahu bahwa Abul Hasan telah mempersembahkan jiwanya di jalan Allah dan tidur di pembaringan Rasulullah Saw dan Rasulullah Saw bersabda tentangnya: ‚Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai mawla, maka Ali adalah mawlanya.‛[86]

8. Istidlâl Umar bin Abdul Azis

Seseorang yang bernama Yazid bin Umar berkata, ‚Aku berada di Syam. Umar bin Abdul Azis membagi-bagikan harta. Untuk mendapatkan saham dari harta tersebut, aku juga turut ke sana. Tatkala giliranku tiba, ia berkata, ‘Engkau berasal dari kabilah mana?’ ‘Aku berasal dari Quraisy.’

Ia bertanya lagi, ’Dari thaifah mana?’

’Dari thaifah Bani Hasyim,’ jawabku.

Ia bertanya lagi, ’Dari keluarga mana?’

Aku berkata, ’Dari keluarga Ali – dalam riwayatnya redaksinya ‘dari mawla Ali’.

Ia berkata, ’Ali yang mana?’

Aku tidak menjawab pertanyaan itu.

Umar bin Abdul Azis sembari meletakkan tangannya di dada, ia berkata, ’Demi Tuhan, aku juga berasal dari keluarga Ali.’

Sekelompok orang meriwayatkan hadis kepadaku bahwa Nabi Saw bersabda, ‚Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai mawla-nya, maka Ali adalah mawla-nya.‛

Kemudian ia menghadap ke arah stafnya yang membagikan harta lalu bertanya, ‘Berapa yang engkau berikan kepada orang seperti ini?’ ‘Seratus atau dua ratus dirham,’ jawabnya. Ia berkata, ‘Sekarang berikan kepadanya lima puluh dinar.[87] Karena ia memiliki wilâyah Ali bin Abi Thalib.’ Kemudian ia berkata kepadaku, ’Kembalilah ke kotamu. Bagianmu dari baitul mal engkau akan dapatkan di tempat itu juga.’‛[88]

9. Istidlâl Makmun, Khalifah Bani Abbasiyah

Pada saat terjadi perdebatan antara Makmun dan Ishaq bin Ibrahim, hakim agung pada masanya, tentang keutamaan sahabat-sahabat Nabi Saw, Makmun bertanya kepadanya, ‚Apakah engkau pernah meriwayatkan hadis wilâyah?‛ Ia berkata, ‚Iya.‛

Makmun bertanya, ‚Coba engkau sebutkan hadis itu.‛

Kemudian Yahya menyampaikan hadis tersebut.

Makmun bertanya lagi, ‚Menurutmu, apakah hadis ini menetapkan kewajiban yang harus ditunaikan oleh Abu Bakar dan Umar di hadapan Ali ataukah tidak?‛

Ishaq menjawab, ‚Mereka berkata, ‘Nabi menyampaikan hadis ini tatkala terjadi perbedaan antara Ali dan Zaid bin Haritsah. Zaid menegasikan kekerabatan Ali dengan Rasulullah Saw; karena alasan ini Nabi Saw bersabda: ‚Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai mawla-nya, maka Ali adalah mawla-nya.‛

Makmun bertanya, ‚Apakah Nabi Saw menyampaikan hadis ini pada saat kembalinya dari Hajjatul Wida’?‛

Ishaq menjawab, ‚Iya.‛

Makmun berkata, ‚Zaid bin Haritsah telah meninggal sebelum peristiwa Al-Ghadir. Bagaimana engkau dapat menerima bahwa Nabi Saw menyampaikan hadis ini karena Zaid. Coba katakan kepadaku, apabila seorang pemuda lima belas tahun berkata kepada orang-orang: Wahai manusia, ketahuilah! Siapa saja yang menjadi kerabatku adalah kerabat putra pamanku juga.‛

Apakah engkau tidak akan berkata kepadanya bahwa mengapa Anda menyampaikan kembali sesuatu yang bukan rahasia lagi dan diketahui oleh semua orang?‛

Ia berkata, ‚Tentu, aku akan bertanya kepadanya.‛

Makmun berkata, ‚Wahai Ishaq! Anda tidak menerima perbuatan pemuda lima belas tahun tetapi menerima perbuatan Rasulullah Saw? Celakalah engkau, mengapa engkau menyembah para fuqahamu.‛[89]

Sebagaimana yang kita lihat pada seluruh perbincangan ini yang menjadi pembahasan adalah khilâfah Baginda Amirul Mukminin As. Orang-orang yang bersandar pada hadis ini telah menetapkan khilâfah Baginda Amirul Mukminin As. Orang-orang yang diajak berdialog atau berdebat tidak berkata bahwa mawla dalam hadis ini bukan bermakna pemimpin atau junjungan.

Apabila hadis ini tidak bermakna kepemimpinan Baginda Ali maka Abu Hurairah tidak akan berkeluh sendu, ‚Duhai‛ (tanda penyesalan) dan takluk serta menahan malu di hadapan Ashbagh. Demikian juga Amr bin Ash di hadapan Ammar bin Yasir.

Oleh karena itu, apabila ada seseorang – apapun motivasinya – meragukan muatan hadis Al-Ghadir, maka ia tidak hanya menutupi hakikat yang sebenarnya, tetapi juga telah mendistorsi sabda Rasulullah Saw. Dan, menyitir Makmun bahwa sesuatu yang dinisbahkan kepada Rasulullah Saw tidak dapat dinisbahkan kepada pemuda lima belas tahunan.[]