peristiwa ghadir dalam perspektif ahlusunnah

peristiwa ghadir dalam perspektif ahlusunnah0%

peristiwa ghadir dalam perspektif ahlusunnah pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Imam Ali as

peristiwa ghadir dalam perspektif ahlusunnah

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

pengarang: Muhammad Ridha Jabbariyan
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Pengunjung: 10929
Download: 4005

Komentar:

peristiwa ghadir dalam perspektif ahlusunnah
Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 12 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 10929 / Download: 4005
Ukuran Ukuran Ukuran
peristiwa ghadir dalam perspektif ahlusunnah

peristiwa ghadir dalam perspektif ahlusunnah

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Bagian Keempat

Selangit Keutamaan

Ghadir merupakan telaga air yang mata airnya bersumber dari keutamaan Amirul Mukminin As. Tentu saja apabila di kalangan para sahabat Rasulullah Saw ada yang lebih utama dari Amirul Mukminin As, ia akan mendapatkan kehormatan dengan kedudukan ini. Akan tetapi, yang benarnya bahwa selepas Rasulullah Saw bukan hanya tidak ada orang yang lebih utama dari Amirul Mukminin, bahkan tidak seorang pun yang dapat mencapai kedudukannya meski hingga kakinya.[185]

Keutamaan-keutamaan Ali As yang dinukil dari Rasulullah Saw dan para sahabat melebihi keutamaan-keutamaan yang dinukil ihwal para sahabat. Padahal dengan politik destruktif yang mencoba menutupi keutamaannya dan memelihara kedudukannya, mereka mencela dan mencibir Amirul Mukminin As.[186]

Imam Ahmad bin Hanbal berkata, ‚Tidak satu pun riwayat yang menukil para sahabat Nabi Saw melebihi riwayat yang dinukil ihwal Ali As.‛[187]

Seseorang datang menghadap Bin Abbas seraya berkata, ‚Mahasuci Allah! Alangkah banyaknya keutamaan dan keistimewaan Ali! Aku mengira ia memiliki tiga ribu keutamaan.‛ Bin Abbas merespon, ‚Mengapa engkau tidak berkata bahwa ia memiliki hampir mendekati tiga puluh ribu keutamaan?‛[188]

Dalam menjawab pertanyaan Manshur Dawaniqi, seorang Khalifah Abbasiyah, yang menanyakan berapa banyak riwayat yang menukil keutamaan Ali As, Sulaiman A’masy berkata, ‚Jumlahnya sedikit yang aku riwayatkan. Kira-kira sepuluh ribu riwayat atau sedikit lebih banyak.‛[189]

Bin Hajar dalam Al-Shawâiq menulis, ‚Tidak satu pun ayat yang turun melebihi ayat yang diturunkan untuk Ali.‛[190]

Hamu menulis, ‚Terdapat tiga ratus ayat Al-Quran yang turun untuk Ali As.‛[191]

Diriwayatkan dari Bin Abbas, ‚Pada setiap ayat, ‚Wahai orang-orang yang beriman, Ali adalah pemimpin dan yang utama. Allah Swt banyak mengecam para sahabat Rasulullah Saw, tetapi tidak menyebut nama Ali kecuali dengan kebaikan.‛[192]

Dalam pembahasan ini, kita akan menghitung penggalan dari keutamaan-keutamaan Amirul Mukminin yang memberikan kelayakan kepadanya untuk mengemban tugas pemimpin kaum Muslimin dan khilâfah Rasulullah Saw.

1. Kesamaan Substansi dengan Rasulullah Saw

Kendati kita tidak dapat menyingkap hakikat kesamaan ini, tetapi melalui jalan riwayat kita dapat memahami hakikat keberadaannya. Banyak riwayat yang dinukil dari Rasulullah Saw, dengan uraian yang beragam, yang menunjukkan bahwa orisinalitas dan substansi Amirul Mukminin ekuivalen dengan orisinalitas dan substansi Rasulullah Saw.

a. Nur (cahaya) Rasulullah Saw dan nur Amirul Mukminin telah ada sebelum penciptaan Adam dan keduanya dicipta dari unsur yang sama.[193]

Yang dimaksud nur di sini adalah unsur maknawi dan fitrah malakuti yang sangat memainkan peran penting dalam membangun struktur wujud para nabi dan para maksum.

b. Allah Swt menciptakan manusia dari pohon yang beragam. Akan tetapi Dia menciptakan Rasulullah Saw dan Imam Ali As dari pohon yang satu.[194]

ياٰ عَلِيُ النَّاسُ مِنْ شَجَرٍ شَتَّى وَأَنَا وَأَنْتَ مِنْ شَجَرَةٍ وَاحِدَة

c. Allah Swt secara bersamaan memilih Ali dan Rasulullah Saw.[195]

d. Ali adalah diri Nabi Saw.

Di samping itu, ayat mubahalah dan riwayat-riwayat yang menjelaskan ayat tersebut, terdapat riwayat tersendiri yang menjelaskan integrasi antara wujud Rasulullah Saw dan wujud Imam Ali As.

Menurut riwayat ini, tatkala diperlukan, Rasulullah Saw memberikan ancaman kepada sebuah kaum atau kabilah, sembari menunjuk Ali, dan bersabda, ‚Ataukah kalian meninggalkan perbuatan itu, atau aku mengirim seseorang kepada kalian yang dirinya seperti aku?‛[196]

e. Darah dan daging Ali adalah darah dan daging Rasulullah Saw.[197]

لَحْمُوُ لَحْمِي ودَمُوُ دَمِي

f. Ali adalah semisal Rasulullah Saw.[198]

g. Ali adalah akar dan fondasi Rasulullah Saw.[199]

عَ لِيٌ أَصْلِي

Mungkin yang dimaksud dari akar dan fondasi di sini bahwa sebagaimana akar yang menjadi sebab tegaknya sebuah pohon, maka keberadaan Ali menjadi sebab tegaknya dan dawamnya agama Rasulullah Saw. Sebagai konsekuensinya, lestarinya nama beliau. Makna urf ini adalah lebih dekat digunakan untuknya.

h. Ali ibarat kepala bagi badan Rasulullah Saw.[200]

عَ لِيٌّ مِنٍّي كَرَأسِي مِنْ بَدَني

2. Tarbiyah Imam Ali As

Seluruh ahli sejarah sepakat, sejak masa kecil Imam Ali As tumbuh dan besar di dalam pangkuan dan di bawah asuhan Rasulullah Saw.[201]

Pada tahun-tahun sebelum bi’tsah Rasulullah Saw di Mekkah terjadi masa paceklik dan kelaparan. Ketika itu Kaum Quraisy berhadapan dengan kesulitan keuangan. Abu Thalib As memiliki banyak anak. Karena itu, Rasulullah Saw memberikan usulan kepada pamannya Abbas untuk mengambil salah satu dari anak Abu Thalib dan memikul tanggung jawab merawat dan mengasuh mereka.

Abbas memikul tanggung jawab merawat dan mengasuh Ja’far, sementara Rasulullah Saw merawat dan mengasuh Ali As.

Bin Atsir menganggap peristiwa ini sebagai nikmat Ilahi yang dianugerahkan kepada Ali. Tulisnya, ‚Setelah itu, Ali As diasuh dan dirawat di haribaan Rasulullah Saw hingga beliau diutus untuk menyampaikan risalah dan Ali menjadi pengikutnya.‛[202]

Ali sendiri berkata tentang masalah ini:

‚Ketika itu aku berusia belia, aku berada di sampingnya dan memberiku tempat di dadanya, menidurkanku dalam pembaringannya sedemikian sehingga seolah-olah badanku menjadi badannya, dan ia menebarkan semerbak bau badannya kepadaku dan terkadang ia menguyah sesuatu kemudian menyuapkannya kepadaku.‛[203]

Sejarawan Syahir Mas’ud dalam kitabnya Itsbât Al-Washiyah menulis, ‚Tatkala Ali lahir, Rasulullah Saw telah berusia tiga puluh tahun. Beliau sangat mencintai dan mengasihi Ali. Ia meminta kepada Fatimah binti Asad untuk meletakkan buaian atau ayunan Ali di samping pembaringannya. Rasulullah Saw mengemban tanggung jawab untuk merawat dan mengasuh Ali. Ia meminumkan susu kepada Ali dan mengayun buaian Ali, hingga ia tertidur pulas. Apabila ia terbangun, Rasulullah Saw akan bermain dengannya. Terkadang beliau menggendong Ali di pundaknya, memeluk dan mendekapnya dan bersabda, ‚Ali adalah saudaraku, penolongku, pilihanku, washiku, bekalku, menantuku dan orang kepercayaanku.‛

Rasulullah Saw membawa Ali di sekitar kota Mekkah dan menghabiskan waktu di sekeliling bukit, gunung dan tempat tinggi. Keadaan ini terus berlangsung hingga masa paceklik datang menimpa penduduk kota Mekkah. Adapun Abu Thalib, ia adalah seorang pemurah, santun dan ramah.

Semenjak masa itu, Rasulullah Saw mengemban tugas dan tanggung jawab membina, merawat dan mengasuh Ali.‛[204]

3. Latar Belakang dalam Islam

Tak syak lagi, Ali adalah orang pertama yang memeluk Islam dan menjadi pengikut Rasulullah Saw. Namun sebelum memasuki pembahasan ini, perlu kiranya menyebutkan dua poin di sini:

Pertama, Keislaman Amirul Mukminin As sangat berbeda dengan keislaman orang lain. Mereka memeluk Islam setelah sekian lama menjadi penyembah berhala, tetapi Amirul Mukminin As sekali-kali tidak pernah menundukkan kepalanya kepada selain Tuhan dan menyembah berhala.

Apabila kita berkata bahwa ia adalah orang pertama yang memeluk Islam, ia serupa dengan makna sabda Nabi Ibrahim Al-Khalil As: ‚Aku adalah Muslim yang pertama .‛ (QS. Al-An’am [6]:163 ).

Apabila kita berkata bahwa ia orang pertama yang menjadi Mukmin, ia selaras dengan makna sabda Nabi Musa As: ‚Aku adalah yang pertama-tama beriman.‛ (QS. Al-A’raf 7:143).

Apabila kita berkata bahwa ia adalah Ali memeluk Islam, ia senada dengan makna Al-Quran yang mengisahkan Nabi Ibrahim:Ketika Tuhan bertanya kepadanya: ‚Tunduk dan patuhlah‛, Ibrahim menjawab: ‚Aku tunduk dan patuh kepada Tuhan semesta alam.‛ (QS. Al-Baqarah [2]:131)

Dan apabila kita berkata bahwa ia adalah seorang mukmin, ketahuilah bahwa hal itu sejalan dengan firman Ilahi yang menarasikan kedudukan Rasulullah Saw:Rasul telah beriman kepada apa yang diturunkan oleh Tuhannya (QS. Al-Baqarah [2]:285)

Kedua, Iman dengan makna kecenderungan atau kepercayaan kepada sesuatu berbeda pada setiap tingkatan pemikiran dan orang. Perbedaan ini adalah tingkatan [kualitas] iman yang menyebabkan adanya kedekatan kepada dan kejauhan dari Allah Swt.

Amirul Mukminin As berada pada tingkatan tertinggi iman dan yakin kepada Allah Swt dan makrifat-makrifat Islam. Ia sendiri berkata, ‚Demi Allah! Sekiranya seluruh tirai tersingkap, tidak akan bertambah keyakinanku.‛[205]

Rasulullah Saw bersabda tentang iman Amirul Mukminin As: ‚Apabila imannya Ali As diletakkan pada sebuah bagian teraju dan langit beserta bumi di bagian sebelahnya, maka iman Ali akan lebih berat.‛[206]

Bahkan apabila terlepas dari dua sisi yang telah disebutkan, kita menganggap Ali seperti sebagian kaum Muslimin, ia tetap menjadi orang yang pertama memeluk Islam, artinya pada hari ketika Rasulullah Saw diutus.

Anas bin Malik berkata, ‚Rasulullah Saw diutus pada hari Senin, dan Ali mendirikan shalat bersamanya pada hari Selasa.‛[207] Atau ia beriman kepadanya.[208] Hari tatkala Rasulullah Saw mengumumkan risalahnya, orang yang pertama mengumumkan dengan jelas beriman dan mendukung Rasulullah Saw adalah Ali. Kendati menurut ukuran usia ketika itu, ia tergolong sebagai orang yang paling muda di antara orang-orang yang hadir.[209] Lantaran ketika itu, Ali masih berusia sepuluh tahun. Ia sendiri bersabda, ‚Aku menjadi Muslim mendahului semua orang. Padahal ketika itu aku belum lagi menginjak masa balig.‛[210]

Latar belakang Ali sedemikian masyhur dan tenar sehingga para sejarawan Ahlu Sunnah berkata, ‚Orang yang pertama masuk Islam adalah Ali. Hal ini merupakan ijma’ (konsensus) seluruh ahli sejarah.‛[211]

Kebanyakan sahabat Rasulullah Saw dan para tabiin mengakui perihal keutamaan ini.

Allamah Amini Ra menyebutkan lima puluh satu orang sahabat dan tabiin serta ulama Ahlu Sunnah yang meriwayatkan keutamaan ini. Ia juga menyebutkan lima belas orang pujangga awal kedatangan Islam mendendangkan syair-syair mereka tentang keutamaan Ali As.[212]

Di samping itu, terdapat banyak hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw bahwa Ali adalah orang yang pertama memeluk Islam.[213]

Rasulullah Saw bersabda, ‚Orang yang pertama akan mendatangiku di samping telaga adalah orang yang pertama masuk Islam. Dan, orang pertama yang masuk Islam itu adalah Ali bin Abi Thalib.‛[214]

Rasulullah Saw bersabda, ‚Orang pertama yang menunaikan shalat bersamaku adalah Ali.‛[215]

Juga, ‚Tidak ada yang shalat bersamaku selama tujuh tahun kecuali Ali. Para malaikat memberikan salam kepada kami berdua.‛[216]

Menurut hadis yang dinukil oleh Mas’udi dalam kitab Itsbât Al-Washiyyah bahwa Ali bin Abi Thalib dua tahun sebelum bi’tsat mengerjakan shalat bersama Nabi Saw di Mekkah.[217]

Berbagai redaksi dalam beberapa riwayat menegaskan makna ini. Sebagai contoh, kami akan menunjukkan beberapa redaksi yang masyhur, di antaranya:

1. Orang pertama yang memeluk Islam;[218]

2. Orang pertama yang beriman;[219]

3. Orang pertama yang mengerjakan shalat;[220]

4. Orang pertama yang memeluk Islam mendahului semua orang;[221]

5. Orang pertama yang mukmin dan pertama yang memeluk Islam mendahului semua orang.[222]

Ali sendiri berkali-kali menegaskan poin ini dengan ucapannya, ‚Aku adalah orang pertama yang beriman kepada Rasulullah Saw.‛[223]

Demikian juga, ia bersabda, ‚Aku adalah orang pertama yang menunaikan shalat bersama Rasulullah Saw.‛[224]

Dalam satu khotbah Nahj Al-Balâgha disebutkan:

‚Aku senantiasa bersamanya, dalam perjalanan (safar) atau mukim, laksana anak unta bersama induknya. Setiap hari ia menunjukkan akhlaknya dan ia memintaku untuk mengikutinya. Setiap tahun ia berkhalwat di Gua Hira dan aku melihatnya. Tidak ada yang melihatnya kecuali aku. Ketika itu, tidak satu pun rumah yang dijumpai yang di dalamnya adalah orang-orang Muslim kecuali rumah Rasulullah Saw dan Khadijah. Aku adalah orang yang ketiga dari mereka. Aku melihat benderangnya wahyu dan kenabian. Aku pun mencium semerbak kenabian (nubuwwah).[225]

Dan ia berujar lagi, ‚Sebelum seseorang dari umat ini menyembah Tuhan, aku menyembah Allah Swt di samping Rasulullah Saw selama tujuh tahun.‛[226]

4. Ilmu dan Pengetahuan

Salah satu sifat yang harus diperhatikan dalam menetapkan pemimpin adalah ilmu dan pengetahuan. Ilmu dan pengetahuan memiliki pengaruh penting dalam menetapkan pemimpin dan imam umat Islam yang harus diatur dan dikelola senapas dengan hukum syariat Islam.

Apabila kita menganggap bahwa ilmu dan pengetahuan merupakan syarat kepemimpinan umat Islam, maka sesuai konsensus (ijma’) seluruh ulama dalam mazhab-mazhab Islam berkata bahwa Ali adalah orang yang paling alim dan berpengetahuan dalam komunitas Islam.

Dalam masa dua puluh tiga tahun bersama dan di samping Rasulullah,[227] Ali begitu menguasai ahkam (masalah-masalah hukum) agama sehingga tidak satu pun yang tertutup olehnya dalam masalah ushul dan furu’ agama. Seluruh sahabat memerlukan ilmunya, sementara ia selepas Rasulullah Saw tidak perlu kepada siapa pun.

Lantaran selama masa dua puluh tiga tahun, setiap kali ia bertanya, ia mendengar jawaban dari Nabi saw. Setiap kali ia diam tanpa soal, Rasulullah Saw yang mengajukan pertanyaan.[228] Rasulullah Saw bersabda kepadanya, ‚Aku memiliki tugas untuk mendekatimu dan mengajarkanmu.‛[229]

Hadis-hadis nabawi yang bercerita tentang ilmu yang melimpah ruah Amirul Mukminin As sangat banyak jumlahnya. Di antaranya:

Orang yang paling berilmu setelahku adalah Ali bin Abi Thalib As.[230]

أعلم أمتي من بعدي علي بن أبي طالب

Ali adalah tempat menyimpan ilmuku.‛[231]

علي أمير المؤمنين . . وعاء علمي

Ali adalah gerbang ilmuku.‛[232]

علي باب علمي

Ali adalah kotak ilmuku.‛[233]

علي عيبة علمي

Engkau adalah telinga yang mendengar ilmuku.‛[234]

أنت أذن واعية لعلمي

Sahabat yang paling alim dan paling teliti dalam mengadili.‛[235]

Ilmu Ali lebih banyak dari yang lain.‛[236]

Aku adalah rumah hikmah dan Ali adalah gerbang rumah ini.‛[237]

أنا دار الحكمة وعلي بابها

Aku adalah kota hikmah dan Ali gerbang kota ini. Barangsiapa yang menghendaki hikmah, ia harus melalui pintunya.‛[238]

أنا مدينة الحكمة وعلي بابها

فمن أراد الحكمة فليأت الباب

Aku adalah kota ilmu dan Ali gerbang kota ini. Barangsiapa yang menghendaki ilmu, harus melalui pintunya.‛[239]

أنا مدينة العلم وعلي بابها

فمن أراد العلم فليأت الباب

Almarhum Allamah Amini Ra pada jilid keenam al-Ghadir (hal. 61 hingga 77) dalam memberikan ulasan atas syair di bawah ini menulis:

وقَالَ رَسُولُ اللهِ إِنّي مَدِينَةُ مِنْ الْعِلْمِ وَىُوَ الْبٰابُ فَاقْصُدِ

Dan bersabda Rasulullah, Aku adalah kota ilmu

Dan ia adalah gerbang, maka tujulah ia

Dan ia menyebut seratus empat puluh tiga orang ulama Ahlu Sunnah yang meriwayatkan hadis:

أَنٰا مَدِينَةُ الْعِلْمِ وَعَلِيٌّ بٰابُها

Ali As sendiri berujar, ‚Rasulullah Saw mengajarkan kepadaku seribu bab ilmu kepadaku dan terbuka dari setiap babnya seribu bab ilmu lagi.‛[240]

Amirul Mukminin As bersabda, ‚Bertanyalah kepadaku sebelum kalian kehilanganku, meski kalian bertanya ihwal segala sesuatu di bawah Arasy, aku akan menjawabnya.‛[241]

Dan sabda beliau lagi, ‚Demi Allah! Aku mengetahui setiap ayat. Sebab apa turunnya dan di mana turunnya. Karena Tuhanku memberkatiku dengan hati yang berpikir dan lisan yang penuh dengan pertanyaan.‛[242]

Juga, ‚Bertanyalah kepadaku tentang kitab Allah (Al-Quran). Demi Allah! Aku mengetahui setiap ayat yang turun pada malam hari, ataukah di siang hari, di padang sahara ataukah di gunung.‛[243]

Khalifah Kedua berkata, ‚’Ali lebih alim dari kami semua dalam mengadili.‛[244]

Bin Mas’ud berkata, ‚Ali lebih alim dari semua penduduk kota Madinah dalam mengadili.‛[245]

Dan, ‚Ali lebih unggul dari seluruh orang dalam umat Islam. Lebih alim dan lebih pandai dalam mengadili.‛[246]

Perlu diingatkan di sini bahwa berpengetahuan atau alim dalam mengadili adalah ungkapan lain dari alim dalam Islam dan Sunnah Rasulullah Saw.

Aisyah berkata, ‚Ali adalah orang yang paling alim terhadap Sunnah.‛[247]

Imam Hasan Mujtaba As bersabda kepada orang-orang pada keesokan hari syahadah ayahandanya, ‚Kemarin seorang dari kalian telah pergi yang ilmu dan pengetahuannya tidak ada yang melebihnya pada masa lalu dan masa akan datang.‛[248]

Bin Abbas juga menambahkan, ‚Ilmu terbagi menjadi enam bagian: kelima bagian ilmu itu berada pada Ali dan satu bagiannya berada pada manusia. Ali juga memiliki bagian dari satu bagian tersebut. Saham Ali lebih banyak dan lebih berilmu.‛[249]

Ia berkata lagi, ‚Hikmah telah dibagi menjadi sepuluh bagian: sembilan bagian diberikan kepada Ali dan satu bagiannya kepada seluruh manusia.‛[250]

5. Pengorbanan dan Pembelaan terhadap Islam

Semua orang ketika menelaah sejarah awal Islam, akan menemukan bahwa Imam Ali As melewatkan seluruh usianya untuk membela Islam. Tidak satu masa pun Islam memiliki pembela yang lebih tinggi dari Ali As. Sebagaimana Bin ‘Abbas katakan, ‚Tidak seorang pun yang melebihi Imam Ali dalam hal mengorbankan jiwanya pada medan tempur yang berbahaya.‛[251]

Dalam kesempatan ini kami akan menunjukkan beberapa periode signifikan sejarah Islam ketika dengan kehadiran Amirul Mukminin As,di medan laga, hak dan Islam meraih kemenangannya.

Setelah pengorbanan Hadrat Amirul Mukminin As, yang ketika itu baru berusia tiga belas tahun, di Mekkah. Epik ini sendiri memiliki kisah yang panjang dan heroisme. Pengorbanan ini merupakan contoh yang pertama. Dengan mengorbankan jiwanya, Amirul Mukminin As tidur di pembaringan Rasulullah Saw pada malam hijrah. Tindakan prawira ini dan penuh dengan pengorbanan ini telah menjadi sebab kelalaian kaum musyrikin akan kehadiran Nabi Saw di Mekkah. Dengan memiliki kesempatan yang cukup dan tanpa kepanikan serta ketakutan dari penguntitan, Nabi Saw merancang rencana hijrahnya.[252]

Mengingat pentingnya malam ini dan nilai tindakan Ali, telah memadai bagi kita untuk mengetahui bahwa ayat ini turun berkenaan dengan tindakan Amirul Mukminin As:

﴿ ومِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرَيِ نَ فْسَوُ اِبْتِغٰاءَ مَرْضٰاةِ الله وَاللهُ رَؤُوفُ بِالْعِبٰاد﴾

Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya. (QS. Al-Baqarah [2]:207][253]

Imam Sajjad As bersabda:

إن أول من شرى نفسو ابتغاء رضوان الله ىو علي بن أبي طالب

‚Orang pertama yang mengorbankan jiwanya di jalan Allah Swt adalah Ali bin Abi Thalib As.‛[254]

Setelah masa hijrah, salah satu contoh pengorbanan Amirul Mukminin As dalam menjaga Islam, adalah keikutsertaannya dalam Perang Badar.

Dari berbagai riwayat yang dinukil dalam bagian ini disebutkan bahwa Amirul Mukminin As sedemikian prawiranya ia rela mengorbankan jiwanya. Lantaran kehadirannya - bahkan setelah syahadahnya tersimpan dalam benak kaum Muslimin - setelah itu, kitab-kitab riwayat dan hadis melimpah menyebutnya.[255]

Pada hari Perang Uhud ia berdiri membela Rasulullah Saw. Sebagian muhaddits (pakar hadis) berkata, ‚Tekanan yang terjadi pada Perang Uhud dapat ditangani dengan kesabaran Ali.‛

Ia sendiri berkata, ‚Pada Perang Uhud aku menerima enam belas kali pukulan.‛[256]

Dalam Usd Al-Ghabah Bin Atsir menulis, ‚Pada hari Perang Uhud, ia [Ali] menderita sebanyak enam belas kali pukulan yang masing-masing dari pukulan itu membuatnya terjatuh; akan tetapi Jibril kemudian mengangkatnya.‛[257]

Dalam sebuah riwayat disebutkan: ‚Orang yang membunuh pembawa panji kaum Musyrikin adalah Ali As. Tatkala mereka terbunuh, Rasulullah Saw melihat sekelompok kaum musyrikin: ‘Wahai ‘Ali! Seranglah mereka.’ Hadrat Amirul Mukminin segera menyerang yang membuat pasukan musyrikin kocar-kacir dan sebagian mereka terbunuh.

Setelah itu, Rasulullah Saw melihat sekelompok yang lain. Ia memerintahkan Ali untuk menyerang. Beliau pun menyerang. Laskar musuh pun kocar-kacir dan sebagian mereka terbunuh. Karena kejadian ini berulang sebanyak tiga kali, Jibril berkata kepada Rasulullah Saw, ‚Wahai Rasulullah! Inilah yang disebut pengorbanan.‛

Hadrat Rasulullah Saw bersabda, ‚Iya. Karena ia dariku dan aku darinya.‛

Jibril berkata, ‚Dan aku dari kalian berdua.‛

Kemudian terdengar suara yang menggemakan:

لا سيف إلا ذو الفقار ولا فتى إلا علي

‚Tidak ada pedang kecuali Dzulfiqar dan tidak ada pemuda selain Ali.‛[258]

Dalam Perang Khandaq, tebasan pedang Alilah yang menjadi penentu kemenangan perang. Amru bin Abduwud yang nyaris membuat laskar kaum Muslimin goncang, tersungkur di atas tanah.

Selepas itu, kaum kafir yang menyerang, kabur tunggang langgang karena ketakutan dan Madinah kota Nabi kembali menjadi aman dari gempuran dan serangan kaum musyrikin.

Medali keprawiraan yang dianugerahkan oleh Nabi kepadanya yang senantiasa melekat di dadanya adalah:

‚Tebasan pedang Ali pada Perang Khandaq lebih baik dari seluruh amal kebaikan umatku hingga hari kiamat.‛[259]

Dan tatkala Hadrat Ali As maju ke medan laga, Rasulullah Saw bersabda, ‚Seluruh iman maju ke medan seluruh kekufuran.‛

Dan pembawa wahyu turun membacakan ayat berkenaan dengannya:

﴿وردَّ الله الذين كفروا بغيظهم لم ينالوا خيراً وكفى الله المؤمنين القتال﴾

Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka penuh kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh keuntungan apa pun. Dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan. (QS. Al-Ahzab [33]:25)

Turunnya ayat ini berkaitan dengan Amirul Mukminin sedemikian masyhurnya sehingga – menurut riwayat yang dinukil oleh Suyuthi dalam kitab Al-Durr Al-Mantsur dari Bin Mas’ud – para sahabat besar Rasulullah Saw dan pembaca Al-Quran membaca kalimat ini:

وكفى الله المؤمنين القتال بعليٍ

‚Allah Swt membuat cukup kaum Mukminin yang berperang dengan keberadaan ‘Ali.‚

Sebagai sisipan dari ayat ini, hadis yang diriwayatkan oleh Bin Mas’ud menunjukkan bahwa turunnya ayat ini berkenaan dengan Amirul Mukminin As, adalah sangat pasti di sisi Bin Mas’ud.

Khaibar merupakan satu lagi pentas kehadiran penting Amirul Mukminin As. Artinya, tanpa kehadiran Amirul Mukminin As, Islam akan terhenti di balik gerbang Khaibar yang terkunci. Dan laskar Islam akan kembali ke Madinah dengan kecewa. Kemudian, tidak jelas apa yang akan dilakukan oleh kaum Yahudi terhadap Islam.

Dua hari berturut-turut laskar Islam menelan kekalahan dari Yahudi dan kembali ke barak mereka.

Rasulullah Saw di hadapan seluruh laskar Muslimin bersabda, ‚Besok, aku akan serahkan panji kepada seseorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya. Dan Allah serta Rasul-Nya juga mencintainya; ia adalah seorang penerjang yang tidak pernah kabur dari medan juang.‛

Pada malam hari tersebut, seluruh sahabat melewati malam itu dengan harapan bahwa esok hari, Rasulullah Saw menyerahkan panji kepada mereka.

Akan tetapi tatkala fajar pagi menyingsing, Rasulullah Saw menyerahkan panji peperangan kepada Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As.

Mereka berkata, ‚Wahai Rasulullah! Ali matanya sakit.‛

Rasulullah Saw bersabda,,‚Bawalah ia kemari!‛

Lantas beliau mengoleskan air liurnya ke mata Ali As dan menyerahkan panji kepadanya. Setelah itu, Imam Ali bergegas ke medan tempur.

Akhirnya, Islam meraih kemenangan – yang masyhur dalam sejarah - berkat Amirul Mukminin As. Problema kehadiran Yahudi pun di Jazirah Arab dapat dipecahkan.[260]

Pada hari itu, tameng jatuh ke tangan Amirul Mukminin As. Beliau mengangkat salah satu gerbang hingga akhir peperangan, gerbang yang dijadikan tameng itu senantiasa berada di tangannya.

Setelah peperangan, laskar Islam mengamati dan mengetahui bahwa untuk menyerang gerbang tersebut diperlukan empat puluh orang,[261] sedangkan untuk mengembalikan gerbang tersebut diperlukan sebanyak delapan orang.[262]

Pada Perang Hunain, seluruh laskar Muslimin kabur dari medan perang dan meninggalkan Rasulullah Saw sendiri, kecuali tiga orang yang bertahan setia di samping beliau. Orang itu adalah Abbas bin Abdul Muththalib, Abu Haritsah putra paman Nabi Saw, dan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib. Imam Alilah yang dengan ksatria berperang di samping Nabi Saw dan membelanya, hingga peperangan berakhir dengan kemenangan Islam.‛[263]

Sebelum Perang Hunain meletus, juga pada hari Fathu Makkah (pembebasan kota Mekkah), Imam Alilah yang berdiri di pundak Rasulullah Saw guna menyucikan Ka’bah dari polusi berhala-hala.[264]

Ringkasnya Imam Ali As senantiasa ikut serta dalam setiap peperangan kecuali pada Perang Tabuk yang harus tinggal di Madinah menuruti perintah Rasulullah Saw.[265]

Bin Abbas berkata, ‚Panji Rasulullah Saw dalam setiap penyerangan berada di tangan Ali As.‛[266]

Dan, demikianlah wujud Imam Ali sebagai penegas terhadap wujud mulia Rasulullah Saw.[267]

Rasulullah Saw bersabda:

لما عُرِج بي رأيت على ساق العرش مكتوب اً

لا إلو إلا الله محمد رسول الله أيدتو بعلي ونصرتو بعلي

‚Tatkala aku dibawa mikraj, aku melihat di bawah singgasana Arasy tertulis: ’Tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah. Bersama Ali aku menegaskannya, bersama Ali aku menolongnya.’‛[268]

6. Kekerabatan

Kekerabatan dengan Rasulullah Saw sepanjang perjalanan sejarah dapat dijadikan sandaran sebagai salah satu keutamaan bagi orang yang menjalankan kursi khilâfah.

Selama tidak dapat dijumpai seseorang yang mampu menjalankan roda khilâfah, ia tidak akan mengklaim kekerabatan dengan Rasulullah Saw.

Keutamaan ini (kekerabatan) telah menjadi kriteria dalam pemilihan khalifah pada Saqifah Bani Saidah. Kaum Muhajir yang hadir di Saqifah menggunakan dalil adanya kedekatan dan kekerabatan mereka dengan Rasulullah Saw. Dengan alasan atau dalil ini, mereka mencegah kaum Anshar untuk memberikan baiat kepada Sa’ad bin Ubadah.[269]

Kami juga berkeyakinan bahwa kekerabatan dengan Rasulullah Saw merupakan syarat untuk menggantikan dan menjadi khalifah Rasulullah Saw, tetapi bukan kekerabatan secara lahir yang dijadikan sebagai dalil oleh orang-orang yang hadir di Saqifah. Kendati Amirul Mukminin As secara lahir juga merupakan orang yang paling dekat kekerabatannya dengan Rasulullah Saw.

Ia adalah putra paman, menantu dan saudara Rasulullah Saw. Dii antara kaum Muslimin tidak seorang pun yang memiliki tiga hubungan seperti ini pada saat yang bersamaan. Ali adalah putra paman Rasulullah Saw, Abu Thalib, yang hubungannya dengan Rasulullah Saw seperti hubungan antara anak dan ayah. Ia melewatkan usianya dalam membela Islam dan Rasulullah Saw. Pada keadaan yang paling genting sekalipun Abu Thalib tidak akan melepaskan dukungannya kepada Rasulullah Saw.[270]

Ali adalah menantu Rasulullah Saw; suami Hadrat Shiddiqah Thahirah Fatimah Zahra yang merupakan insan yang paling dicintai oleh Rasulullah Saw.[271]

Siapa saja dari kalangan sahabat yang mencoba mengajukan lamaran untuk meminang putri kinasihnya, Rasulullah Saw menolak hingga Ali datang mengajukan lamarannya.[272]

Dalam hal ini beliau bersabda, ‚Allah Swt menitahkan aku untuk menikahkan Fatimah kepada Ali As.‛[273]

Ali juga adalah saudara Rasulullah Saw. Di kalangan Anshar dan Muhajirin, Rasulullah Saw memilihnya sebagai saudara.[274] Tentang ini, Nabi bersabda:

أنت أخي في الدنيا والْخرة

‚Engkau adalah saudaraku di dunia dan akhirat.‛[275]

أنت أخي وصاحبي

Dan juga: ‚Engkau adalah saudara dan orang yang menyertaiku.‛[276]

Rasulullah Saw terkadang memanggilnya dengan sebutan saudara. Terkadang ia menyebut dirinya sebagai Ali dan terkadang menganggapnya sebagai Ahlul Baitnya.

Tatkala menugaskan kaum Muslimin untuk mencintai Rasulullah Saw sebagai upah risalahnya, Al-Quran mengatakan:

﴿ق لْ لَا أَسْأَلُكُمْ أَجْراً إِلَّاالْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبٰى﴾

‚Wahai (Rasul Kami) katakanlah kepada kaum Muslimin bahwa aku tidak menghendaki upah dari tugas penyampaian risalah kecuali kalian mencintai keluargaku (al-qurba).‛ (QS. Al-Syu’ara 26:23)

Mereka bertanya, ‚Wahai Rasulullah! Siapakah keluargamu (al-qurba)itu?‛

Rasulullah Saw bersabda, ‚’Ali, Fatimah dan kedua putranya.‛[277]

Ya. Ali As memiliki kedekatan yang sangat erat dan lekat dengan Rasulullah Saw. Beliau merasa bangga dengan kedekatan ini. Seluruh sahabat juga mengakui kedekatan tersebut.

Pada hari Syura (musyawarah untuk memilih pengganti Umar, AK), Amirul Mukminin As berbicara kepada mereka, ‚Demi Allah! Apakah di antara kalian ada yang memiliki kedekatan kepada Nabi Saw melebihi kedekatan yang aku miliki kepadanya?‛ Mereka seluruhnya berkata, ‛Demi Allah, tidak ada.‛[278]

Namun kedekatan Ali As kepada Nabi Saw juga lebih erat dan lekat dibandingkan hal ini. Amirul Mukminin As tidak sekedar jiwa Rasulullah Saw tetapi juga merupakan Ahlul Bait Rasulullah Saw.[279]

Tatkala ayat tathhir (QS. Ahzab [33]:33) turun, Hadrat Rasulullah Saw memanggil Ali, Fatimah, Hasan dan Husain untuk mendekat kepadanya dan berkata, ‚Ya Allah, mereka adalah Ahlul Baitku.‛[280]

Supaya kaum Muslimin tahu siapakah Ahlul Bait Rasulullah, tatkala ayat suci turun:

﴿ وأْمُرْ أَىْلَكَ بِالصَّلََة واصطبر عليها﴾

Dan perintahkanlah keluargamu untuk shalat dan bersabarlah atasnya. (QS. Thaha [20]:132)

maka selama beberapa hari saban subuh, Rasulullah Saw datang ke kediaman mereka dan bersabda:

الصلَة رحمكم الله إنما يريد الله أن يذىب عنكم الرجس أىل البيت ويطهركم تطهير اً

‚Waktunya shalat. Semoga Allah merahmati kalian. Sesungguhnya Allah hendak menyucikan kalian dari segala kotor dan nista Ahlul Bait dan membersihkan kalian dengan sebersih-bersihnya.‛

Membacakan ayat ini, memerlukan penjelasan dan elaborasi tersendiri. Maksud Rasulullah Saw ketika melakukan hal ini adalah supaya seluruh kaum Muslimin mengetahui Ahlul Bait Nabi Saw.

Kemudian mengutus Ali As untuk mengambil surah Al-Bara’ah dari Abu Bakar dan menyampaikannya pada orang-orang haji di Mekkah. Dalam menjelaskan perbuatan ini, Rasulullah Saw sendiri bersabda:

لاٰ يَ بْ لُغُها إِلاَّ رَجُلٌ مِنْ أَىلْي

‚Tidak menyampaikan surat ini kecuali orang dari keluargaku.‛[281]

Iya. Ali adalah jiwa Rasulullah Saw juga berasal dari keluarganya. Akan tetapi, ia lebih tinggi kedudukannya dari makna kekerabatan dengan Rasulullah Saw yang kita anggap sebagai syarat khilâfah: Kedekatan merupakan syarat khilâfah yang menyatukan dua hubungan (karena Imam Ali adalah diri Rasulullah Saw sehingga tidak lagi tersisa dua hubungan yang lain). Dan, karena itu, pembahasan hubungan dan kekerabatan ini menjadi tidak perlu.

Al-Quran al-Karim menegaskan:

﴿ق لْ تَ عٰالُوا نَدْعُ أَبْ نٰاءَنٰا وَأَبْ نٰاءكَُمْ وَنِسٰاءَنٰا وَنِسٰاءكَُمْ وَأَنْ فُسَنا وَأَنْ فُسَكُمْ﴾

‚...katakanlah (kepadanya): ‚Marilah kita memanggil anak-anak kami, dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu, diri kami dan diri kamu; ‚ (QS. Ali Imran 3: 61)

Sesuai dengan dawuh Ilahi, Rasulullah Saw harus mengajak anaknya, perempuannya, dan dirinya sendiri, kemudian melakukan mubahalah dengan orang Nasrani dari Najran. Beliau datang beserta Hasan, Husain, Fatimah dan Ali supaya seluruh orang tahu bahwa yang dimaksud ‚dirinya‛ yang harus ia ajak adalah Ali, yakni dirinya Rasulullah Saw.[282]

Pada hari Syura, Ali As bersabda, ‚Demi Allah! Apakah ada orang di antara kalian yang dijadikan sebagai dirinya sendiri oleh Rasulullah Saw?‛ Mereka berkata, ‚Tidak ada. Demi Allah.‛[283]

Demikianlah Rasulullah Saw bersabda,

علي مني وأنا منو لا يؤدي عني إلا أنا أو علي

‚’Ali adalah dariku dan aku dari Ali. Tidak ada yang dapat menyampaikan pesanku kecuali aku dan Ali.‛[284]

Dan sabdanya juga:

لَحْمُوُ لحَمْ ي وَدَمُوُ دَمِي

‚Dagingnya dan darahnya adalah dagingku dan darahku.‛[285]

Saat memberikan ancaman kepada kaum kafir, Rasulullah Saw bersabda, ‚Aku akan mengutus seseorang kepada mereka orang yang seperti denganku.‛[286]

Dalam menjawab pertanyaan kedudukan Ali As dalam hati Rasulullah Saw, beliau menghadapkan wajahnya kepada para sahabat dan bersabda, ‚Orang ini bertanya pada hatiku tentang kedudukanku.‛[287]

Demikianlah perbandingan antara Hadrat Amirul Mukminin As dan Rasulullah Saw. Barangsiapa yang tidak mengetahui dan menganggap bahwa kekerabatan dengan Rasulullah Saw merupakan salah satu syarat khilâfah, dengan kehadiran Ali As, giliran orang lain bakal tidak kesampaian.

7. Zuhud

Khalifah dan pengganti Rasulullah Saw berada pada puncak piramida di tengah umat Islam. Seluruh kekayaan harta dan benda milik kaum Muslimin berada dalam kekuasaannya. Ia memiliki keluasaan untuk menggunakan apa pun bentuknya. Secuil saja keinginan pada dunia telah memadai bagi pemimpin umat Islam untuk menyimpang dari jalan keadilan menuju pada pemanfaatan kesempatan (aji mumpung, AK), penyelewengan kekuasaan, banyak tuntutan dan menghamburkan uang sebanyak-banyaknya.

Umat Islam banyak memiliki pengalaman getir dalam masalah ini. Beberapa orang menjadi khalifah Rasulullah Saw dengan berdalih sebagai pemimpin umat, tetapi bertingkah laku bak kaisar dan kisra kepada umat. Karena itu, salah satu sifat yang harus, niscaya dan tidak dapat dihindari oleh pemimpin umat Islam adalah zuhud dan tuna hasrat kepada dunia.

Sifat zuhud mengejewantah dalam diri Amirul Mukminin As sebagaimana sabda Rasulullah Saw:

يا علي أن الله زينك بزينة لم يزين العباد بزينة أحبَّ منها وىي زينة الأبرار عند الله

وىي الزىد في الدنيا فجعلك لا ترزء من الدنيا شيئاً ولا ترزَء الدنيا منك شيئ اً

‚Wahai Ali! Allah Swt telah memberikan keindahan kepadamu yang paling indah dan tidak seorang pun diberikan keindahan yang paling dicintai selainnya dan keindahan itu adalah keindahan yang baik di sisi Allah Swt adalah zuhud di dunia.‛[288]

Zuhud Amirul Mukminin As baik pada masa khilâfah atau selepasnya sedemikian terkenalnya sehingga seperti sebuah legenda. Sekarang kami akan tunjukkan beberapa teladan dari zuhud Amirul Mukminin As terhadap dunia.

Pada masa kekhalifahannya dan pada saat seluruh harta kaum Muslimin berada dalam kekuasaannya, Amirul Mukminin Ali As mengenakan pakaian bertambal.[289] Beliau menyantap makanan kering dan sederhana. Biaya hidup sehari-hari keluarganya didapatkan dari hasil kerja kerasnya.

Suwaidah bin Ghafalah berkata, ‚Aku datang menghadap Amirul Mukminin di Darul Imarah (Balai Kota). Aku melihat di hadapan Amirul Mukminin terdapat susu masam yang bau masamnya tercium dari kejauhan dan sepotong roti kering di tangannya yang potongan-potongan kulit gandumnya terlihat dari permukaannya.

Ia memotong kecil-kecil roti tersebut dengan tangannya dan terkadang dengan lututnya dan mencampur roti tersebut dengan susu.

Tatkala melihatku, ia bersabda, ’Mendekatlah dan makanlah makanan kami.’ Aku berkata, ’Aku sedang berpuasa.’ Beliau berkata lagi, ‚Aku mendengar dari Rasulullah Saw bahwa barangsiapa yang berpuasa, menghindarkan diri dari memakan yang ia senangi, maka Allah Swt akan menjamunya dengan makanan dan minuman surga.‛

Suwaid berkata, ‚Kaniz (budak) Imam Ali As berdiri di situ. Aku berkata kepadanya, ‘Mengapa engkau tidak menunaikan hak orang tua ini. Tidakkah engkau takut kepada Allah? Mengapa engkau tidak menyaring tepung roti ini dan tidak mengambil biji-biji besar dan kasar ini darinya?’

Kaniz berkata, ’Amirul Mukminin As memerintahkan untuk tidak menyaring tepung rotinya dengan apapun.’ Hadrat Amirul Mukminin As mengetahui perbincangan kami. Ia bertanya, ‚Apa yang engkau katakan kepadanya?‛

Aku mengulang kembali ucapanku kepadanya. Dalam menjawab pertanyaanku, Hadrat Amirul Mukminin bersabda, ’Ayah dan ibuku menjadi tebusannya orang yang tidak pernah menyaring tepung rotinya dan selama tiga hari berturut-turut tidak pernah kenyang dari roti gandum hingga Tuhannya menjemputnya.‛[290]

Maksud Hadrat Amirul Mukminin Ali As adalah kebiasaan (sunnah) Rasulullah Saw.

Seseorang berkata, ‚Pada hari ‘Idul Qurban, aku datang menghadap Amirul Mukminin As. Ia menawarkan sup kambing kepadaku. Aku berkata, ‘Dengan segala nikmat Tuhan yang diberikan, alangkah baiknya sekiranya engkau memberikan daging bebek kepada kami. Hadrat Amirul Mukminin As bersabda, ‚Aku mendengar dari Rasulullah Saw bersabda: ‚Khalifah tidak memakan dari harta Tuhan kecuali dua mangkuk. Satu mangkuk untuknya dan keluarganya dan semangkuk lainnya untuk ia tawarkan kepada masyarakat.’‛[291]

Yang dapat disimpulkan dari sabda mulia ini adalah bahwa Hadrat Amirul Mukminin mendapatkan pelajaran dari Rasulullah Saw tentang metode pemerintahan dan mengurus umat. Amirul Mukminin As mengikuti Rasulullah Saw dalam setiap langkahnya. Segala yang dilihat dari kehidupan Amirul Mukminin baik kehidupan personal atau kehidupan sosial, masing-masing mengandung pelajaran selama dua puluh tiga tahun bersama Rasulullah Saw.

Dalam sebuah kitab ditulis: ‚Beberapa orang datang kepada Amirul Mukminin membawa hadiah sejenis kue manis. Ia meletakkan tempat kue manis itu di depan dan melihatnya sekilas lalu bersabda: ‘Engkau memiliki bau, warna dan rasa yang baik, tetapi aku tidak ingin membiasakan diriku pada sesuatu yang asing bagiku.‛

Pada masa kekhalifahannya, orang-orang melihatnya di pasar Kufah membawa pedangnya untuk dijual. Ia berkata setengah berteriak, ‚Siapakah yang ingin membeli pedang ini? Demi Allah! Dengan pedang ini, acapkali aku membersihkan duka Rasulullah Saw. Apabila aku memiliki uang setara dengan nilai satu pakaian, aku tidak akan menjual pedang ini.‛[292]

Sementara pada waktu itu, ia memiliki penghasilan pertahun yang ia wakafkan mencapai empat puluh ribu Dinar, ia sendiri mengikat perutnya dengan batu untuk menahan lapar.[293]

Orang-orang melihatnya di pasar Kufah, kurma yang ia beli untuk keluarganya ia tumpahkan ke dalam karung lalu ia pikul di pundaknya.

Orang-orang yang mencintainya segera menawarkan bantuan untuk mengantarkannya sampai depan pintu rumah Amirul Mukminin As.

Beliau bersabda, ‚Kepala keluargalah yang lebih patut untuk membawa karung ini.‛[294]

Atas alasan ini, ketika orang-orang berkata tentang zuhud dan menyebut nama orang-orang zuhud di hadapan Umar bin Abdulaziz, ia berkata, ‚Orang yang paling zuhud di dunia adalah Ali bin Abi Thalib As.‛

Ketika menjelaskan penghasilan Amirul Mukminin As pada masa itu, disebutkan bahwa setiap dinar ekuivalen dengan 18 gram emas. Oleh karena itu, 40.000 dinar setara dengan 30 mitsqal emas. Selanjutya, apabila kita asumsikan dengan harga emas hari ini, yaitu setiap mitsqal sama dengan 4.000.000 Rial maka penghasilan maksimum Amirul Mukminin ketika itu setara dengan 16.000.000.000.000 Rial.[]