Syi'ah Ahl Bayt

Syi'ah Ahl Bayt0%

Syi'ah Ahl Bayt pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Rasulullah & Ahlulbait

Syi'ah Ahl Bayt

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

pengarang: Muhammad Mahdi Al-Ashifi
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Pengunjung: 7605
Download: 5984

Komentar:

Syi'ah Ahl Bayt
Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 11 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 7605 / Download: 5984
Ukuran Ukuran Ukuran
Syi'ah Ahl Bayt

Syi'ah Ahl Bayt

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

ELEMEN-ELEMEN WILAYAH

KEPADA AHLULBAIT AS.

Pembicaraan kita selanjutnya akan berkisar tentang elemenelemen

keberwilayahan (berpegang teguh) pada Ahlulbait

as. Kita usahakan untuk lebih sering menarik unsur-unsur

itu dari teks-teks doa ziarah Ahlulbait as. itu sendiri. Karena

teks-teks yang diriwayatkan dari mereka as. ini kaya akan

muatan pemikiran dan konsep tentang wilayah atau kepengikutan

terhadap Ahlulbait as. dan baro’ah atau penolakan

musuh-musuh mereka. Dengan merenungkan teks-teks doa

ziarah itu, kita akan dapat menarik sebuah pandangan yang

menyempurna dari wilayah dan baro’ah tersebut.

Namun pada bagian ini kita tidak ingin mempelajarinya

secara luas. Tulisan ringkas ini tidak cukup ruang untuk

mempelajarinya secara detail dan mengajukan konsep yang

terperinci tentang dua hal di atas. Kita hanya mengisyaratkan

beberapa elemen wilayah atau kepengikutan terhadap

Ahlulabait as. yang dimengerti dari teks doa ziarah dan

hadis Ahlulbait yang lain.

Kesadaran Berwilayah

Elemen pertama wilayah kepada Ahlulbait as. ialah kesadaran,

dan nilai pengikutan seseorang terhadap mereka

dihitung sesuai kadar pengetahuan dan kesadarannya akan wilayah itu sendiri. Maka itu, orang yang lebih sadar akan

konsep wilayah tentu lebih kokoh dalam berwilayah kepada

Ahlulbait as.

Disinyalir dalam doa ziarah Jami’ah: “Aku bersaksi kepada

Allah dan bersaksi kepada kalian (Ahlulbait as.) bahwasanya

aku beriman pada kalian dan pada apa yang kalian

imani, aku ingkar terhadap musuh kalian dan terhadap apa

yang kalian ingkari, aku sadar akan kedudukan dan urusan

kalian, begitu juga mawas akan kesesatan mereka yang

menentang kalian, aku beriman pada rahasia dan kejelasan

kalian, beriman pada kehadiran dan kegaiban kalian”.

Kami bersaksi pada Allah dan pada Ahlulbait as. atas

pengetahuan dan kesadaran ini, karena kami yakin penuh

dan beriman akan hal itu, serta sama sekali tidak ada keraguan

terhadapnya.

Wilayah dalam penggalan kalimat di atas tersusun dari

dua sisi:

Pertama, sisi positif, yaitu: “beriman pada kalian dan

pada apa yang kalian imani”.

Kedua, sisi negatif, yaitu: “ingkar terhadap musuh kalian

dan terhadap apa yang kalian ingkari”. Ingkar berarti penolakan.

Oleh karena itu, maksud dari kalimat di atas adalah

aku menolak musuh kalian dan menolak apa yang kalian

tolak.

Nilai wilayah terbentuk dari dua sisi positif dan negatif

tersebut secara bersamaan; penerimaan sekaligus penolakan.

Penerimaan semata—tanpa penolakan—tidak menentukan

banyak tugas bagi seseorang selama tidak dibarengi dengan

penolakan terhadap lawannya.

Oleh karena itu, penerimaan dan penolakan harus sekaligus

serta dilandasi oleh pengetahuan dan kesadaran,

bukan sekedar ikut-ikutan seperti sebagian orang yang mengikuti

sebagian lainnya, melainkan “sadar akan kedudukan kalian Ahlulbait dan mawas terhadap kesesatan mereka

yang menentang kalian”.

Penerimaan di sini adalah penerimaan penuh yang

mencakup tiga poin di bawah ini sebagaimana juga termuat

dalam penggalan doa ziarah di atas itu:

Pertama, penerimaan mutlak; “iman pada apa yang

rahasia dan tersembunyi dari kalian”.

Kedua, penolakan mutlak; “menolak musuh kalian serta

apa yang kalian tolak”.

Ketiga, penerimaan dan penolakan ini akan lengkap

apabila didasari oleh pengetahuan dan kesadaran; “sadar

akan kedudukan kalian dan mawas terhadap kesesatan

mereka yang menentang kalian”.

Pengakuan

Wilayah dan kepengikutan pada Ahlulbait as. tidak bisa

dipisahkan dari pengakuan. Tidak ada sesuatu yang lebih

merusak daripada ragu dan bimbang terhadap wilayah, dan

Allah swt. sama sekali tidak meninggalkan kesamaran di

dalamnya. Sungguh Allah telah mengaitkan wilayah dengan

tauhid, menetapkan wilayah sebagai poros gerakan, baik

individu maupun sosial, dan mengarahkan umat manusia

kepada wilayah setelah menyeru mereka kepada pengesaan-

Nya. Dia berfirman:

﴿ اِمنََّا وَلِيُّكُمُ الله وَ رَسُولُهُ وَ المذِينَ آمَنُوا﴾ ...

“Sesungguhnya wali dan pemimpin kalian adalah Allah

dan Rasul-Nya serta mereka yang beriman yang…”[117]

Dia juga berfirman:

﴿ اَطِيعُوا اللهَ وَ اَطِ يعُوا المرسُولَ وَ اُولِِ الأمرِ مِنكُم ﴾

“Taatilah Allah dan Rasul-Nya serta ulul amr (pemimpin)

dari kalian”[118]

Oleh karena itu, sudah menjadi keharusan bahwa jalan

menuju wilayah mesti jelas, sehingga umat manusia berwilayah

atas dasar bukti yang kuat. Singkatnya, wilayah

tidak terpisahkan dari pengakuan, dan pengakuan tidak

terpisahkan dari keyakinan dan keyakinan tidak terpisahkan

dari bukti.

Ziarah Jami’ah memperlihatkan kedudukan Ahlulbait

as. sebagai berikut: “Beruntunglah orang yang berwilayah

pada kalian, binasalah orang yang memusuhi kalian, sengsaralah

orang yang mengingkari kalian, tersesatlah orang

yang berpisah dari kalian, menanglah orang yang berpegang

teguh pada kalian, amanlah orang yang berlindung

pada kalian, selamatlah orang yang membenarkan kalian,

dan berpetunjuklah orang yang memegang erat kalian”.

Ikatan Organik

Untuk berbicara tentang elemen-elemen yang membentuk

wilayah kepada Ahlulbait as., terlebih dahulu kita harus

menerangkan arti harfiah wala’ sebagaimana mestinya dalam

literatur kontemporer. Hal itu penting sekali dan tidak

mudah. Literatur sosial kontemporer kita sekarang tidak

sanggup menjangkau arti kata ini,. Maka dari itu, kita tidak

menemukan hubungan erat antar manusia selain wala’

dalam dua dimensi sekaligus, yaitu hubungan secara

vertikal dan secara horisontal dalam kepemimpinan politik,

hukum, peradaban, ketaatan, pengikutan dan … Hubungan

wilayah adalah hubungan khas di tengah umat manusia

secara vertikal dan horisontal:

Wilayah secara vertikal adalah hubungan antara umat

dengan Allah swt., Rasulullah dan wali amr atau pemimpin

Islam. Hubungan ini akan mengejewantah dalam ketaatan,

cinta, pembelaan, nasihat, pengikutan dan … Semua itu berarti

apabila kita memandang wilayah vertikal ini dari bawah

ke atas. Allah berfirman:

“Taatilah Allah dan taatilah Raslulullah dan wali amr

kalian”.

Sementara, jika kita mengamati wilayah vertikal ini dari atas

ke bawah. yang tampak adalah kekuasaan, pemerintahan

dan perlindungan. Allah swt. berfirman:

“Sesungguhnya wali dan pemimpin kalian adalah Allah,

Rasul-Nya, dan orang-orang beriman yang mendirikan shalat

dan memberi zakat saat mereka rukuk”.[119]

Inilah arti singkat dari wilayah vertikal yang dipandang dari

dua arah atas dan bawah. Yang dimaksud dari arah ke atas

adalah hubungan umat dengan pemimpin-pemimpinnya.

Sedangkan maksud dari arah ke bawah adalah hubungan

para pemimpin Islam dengan umatnya. Dengan demikian,

hubungan wilayah di satu sisi adalah kepemimpinan, dan di

sisi lain adalah kepatuhan.

Adapun wilayah secara horisontal adalah hubungan

yang mengikat manusia antara satu sama yang lain dalam kehidupan sosial mereka. Al-Qur’an mengungkapkan hal ini

dalam kalimat yang singkat, padat dan teliti:

﴿ اِمنََّا المؤُمِنُونَ اِخوَة ﴾

“Sesungguhnya orang-orang beriman adalah saudara”.[120]

Imam Hasan Askari as. menerangkan ayat ini kepada penduduk

kota Abah dan Qom dalam sebuah kalimat yang juga

singkat: “Seorang mukmin adalah saudara seibu dan seayah orang

mukmin yang lain”.[121]

Ini merupakan jalinan istimewa yang tidak kita dapatkan

padanannya di tengah umat, agama dan syariat yang

lain.

Diriwayatkan dari Rasulullah saw. bersabda: “Orangorang

mukmin adalah saudara yang berdarah sama. Mereka

adalah tangan bagi yang lain, yang-di-atas berusaha untuk

menanggung mereka yang-di-bawahnya”[122] .

Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata: “Mukmin adalah

saudara mukmin lainnya. Mereka seperti satu tubuh; apabila

salah satu anggotanya mengadu, maka dia akan merasakan

derita itu pada seluruh anggota tubuhnya yang lain”[123] .

Beliau mewasiatkan orang-orang berimana seraya

berkata: “Hendaknya kalian saling bersilaturrahmi, saling

berbakti dan saling menyayangi, jadilah kalian saudara yang

rukun sebagaimana Allah swt. perintahkan pada kalian”[124] .

Inilah penjelasan tentang wilayah secara horisontal. Dan

berulang kali disebutkan bahwa kita tidak menemukan ikatan sosial di tengah kehidupan manusia yang lebih kuat

dan kokoh dari pada ikatan wilayah.

Uraian di atas menjelaskan bahwa ikatan wilayah merupakan

ikatan organik pada satu bangunan keluarga yang

kokoh bertautan seperti benteng yang kuat, sebagaimana

disinyalir al-Qur’an dengan ibarat bunyanun marshush. Dan

hubungan antara individu-individunya seperti hubungan

yang terjalin antarorgan tubuh. Dan tentunya, hubungan ini

jauh lebih kuat daripada hubungan antaranggota keluarga

biasa.

Dengan demikian, wilayah adalah struktur yang khas

dalam sebuah hubungan umat manusia yang merupakan

ikatan organik bagi seseorang dengan sebuah keluarga atau

anggota dengan satu tubuh.

Pilar-pilar wilayah secara horisontal adalah gotong

royong, silaturahmi, nasihat, kebajikan, persaudaraan, kemurahan,

kasih sayang, bantuan, solidaritas, penyempurnaan

dan … Adapun pilar-pilar wilayah secara vertikal

adalah ketaatan, kepatuhan, kepasrahan, cinta, pembelaan,

pengikutan, komitmen, peneladanan, keakraban, cinta pada

mereka dan pada wali-wali mereka, benci dan perlawanan

terhadap musuh-musuh mereka, dan lain sebagainya.

Tersisa satu poin yang penting untuk disampaikan di

akhir pembahasan tentang ikatan organik ini, bahwa

wilayah atau pengikutan kepada Ahlulbait as. dan baro’ah

atau pelepasan diri dan perlawanan terhadap musuh-musuh

mereka bukan merupakan kasus sejarah yang sama sekali

terputus hubungan dari kehidupan politik dan peradaban

kita sekarang. Jelas wilayah yang dilukiskan oleh Imam

Ja’far Ash-Shadiq as.—begitu besar dalam ucapannya: “Di

Hari Kiamat nanti, tidak ada panggilan yang lebih penting

daripada panggilan mengenai wilayah”, tidak mungkin sebatas kepercayaan yang sama sekali terputus dari realitas

dan gerakan politik yang kita jalani sekarang.

Wilayah adalah ketaatan, cinta, keanggotaan, perlawanan

terhadap musuh, damai, perang, dan penentuan sikap

sosial politik kontemporer di bawah naungan pemimpin

penerus yang sah. Maka selama wilayah dan baro’ah tersebut

tidak berbasis pada kepercayaan akan sebuah gerakan,

tindakan, sikap politik damai atau perang yang menjadi

ketentuan wilayah lanjutan atau pengganti yang sah untuk

masa sekarang niscaya wilayah dan baro’ah tersebut tidak

memiliki nilai yang besar seperti apa yang kita simak dalam

teks-teks riwayat dari Ahlulbait as.

Berikut ini kita akan membicarakan elemen-elemen lain

wilayah secara ringkas yang kita tarik dari teks doa ziarah

Ahlulbait as., karena sungguh doa-doa yang diriwayatkan

dari mereka penuh dengan konsep dan elemen wilayah.

Baro’ah

Wajah lain dari wilayah adalah baro’ah itu sendiri. Wilayah

dan baro’ah merupakan dua wajah dari satu permasalahan

yaitu keterikatan dan keanggotaan pada Ahlulbait as. Bedanya

baro’ah adalah wajah dan dimensi yang lebih berat

dalam keanggotaan tersebut. Wilayah tanpa baro’ah adalah

wilayah yang kurang dan buta.

Ada seorang lelaki mendatangi Amirul Mukminin Ali

as. seraya berkata kepada beliau: “Sungguh aku mencintaimu

juga mencintai musuh-musuhmu”. (Inilah yang kami

maksud dari wilayah yang kurang dan buta).

Amirul Mukminin Ali as. menukas: “Namun sampai ini

kamu masih juling dan bermata satu (pandangan orang

bermata satu adalah pandangan yang setengah dan kurang).

Berikutnya, tidak ada kecuali dua pilihan bagimu yaitu buta

(maka di samping kehilangan wilayah dia juga kehilangan baro’ah) atau melihat (yakni berwilayah kepada Ahlulbait

as. sekaligus menentang musuh-musuh mereka)”.

Dalam ziarah Jami’ah disebutkan: “Aku bersaksi kepada

Allah dan bersaksi kepada kalian (Ahlulbait as.), sesungguhnya

aku beriman pada kalian dan pada apa yang kalian

imani, aku menolak musuh kalian dan apa yang kalian

kafirkan. Aku sadar akan perkara dan kedudukan kalian

dan mawas akan kesesatan mereka yag menentang kalian.

Aku berwilayah dan mendukung kalian serta wali-wali

kalian, aku benci dan melawan musuh-musuh kalian”.

Ziarah Asyura terhitung sebagai ziarah yang paling

banyak menyatakan penolakan dan perlawanan terhadap

musuh-musuh Allah swt., seperti penggalan berikut ini:

“Semoga Allah melaknat umat yang membunuh kalian

(Ahlulbait as.), semoga Allah mengutuk orang-orang yang

membuka jalan bagi mereka dengan cara pengerahan massa

untuk memerangi kalian, aku berlindung dari mereka di

bawah naungan Allah dan kalian, sungguh aku berlindung

dari mereka, dari pengikut dan wali-wali mereka serta siapa

saja yang ikut bersama mereka”.

Teks di atas menyatakan baro’ah bukan hanya terhadap

musuh-musuh Allah, melainkan juga penolakan terhadap

sekutu dan pengikut musuh-musuh Allah serta siapa saja

yang setuju dengan perbuatan mereka. Maka sebagaimana

kita mendekatkan diri pada Allah melalui wilayah, pengikutan

dan cinta terhadap wali-wali Allah, kita juga mendekatkan

diri pada-Nya dan pada wali-Nya melalui perlawanan

terhadap musuh-musuh Allah beserta pengikut mereka.

Disebutkan juga dalam ziarah Asyura sebagai berikut:

“Sesungguhnya aku mendekatkan diri pada Allah dan pada

Rasul-Nya … dengan berwilayah pada kalian, juga dengan

penolakan terhadap mereka yang memerangi kalian, menabuh

genderang pertempuran melawan kalian, dan dengan penolakan terhadap siapa saja yang menyediakan basis

perlawanan serta menyusun barisan penentang kalian”.

Ikatan Imbal Balik Tauhid dalam Kerangka Wilayah

Pada hakikatnya, wilayah masuk kategori tauhid, sebagaimana

berulang kali kita ingatkan sebelum ini. Dan sebetulnya,

nilai wilayah dalam Islam mengalir turun dari

tauhid dan merupakan perpanjangan dari pengesaan Tuhan

itu sendiri. Oleh karena itu, tiada wilayah bagi selain Allah

kecuali dengan seijin dan perintah-Nya. Allah berfirman:

﴿ اَللهُ وَلُِِّ المذِينَ آمَنُوا ﴾

“Allah adalah wali orang-orang yang beriman”.[125]

Adapun wilayah Rasulullah saw. dan para imam atau wali

amr adalah wajib di bawah wilayah Allah dan atas dasar

perintah-Nya. Maka, barang siapa yang berwilayah pada

Allah dalam artian hanya Dia pemimpin jagat raya, maka

dia juga harus menerima wilayah Rasulullah saw. dan para

imam as. setelahnya. Tidak bisa dipisahkan atara wilayah

Rasulullah saw. dengan wilayah Allah, begitu pula tidak

mungkin dipisahkan antara wilayah Ahlulbait as. dan wilayah

Rasulullah saw. Allah berfirman:

﴿ إمنََّا وَلِيُّكُمُ اللهُ وَ رَسُولُهُ وَ المذِينَ آمَنُوا المذِينَ يُقِيمُونَ ال م صلََةَ وَ يُؤتُونَ المزكَاةَ

وَ هُم رَاكِعُونَ ﴾

[126]

“Sesungguhnya wali kalian adalah Allah dan Rasul-Nya

serta orang-orang beriman yang menegakkan shalat dan

memberi zakat ketika rukuk”.

Hadis-hadis yang mengatakan ayat ini turun mengenai Ali

bin Abi Thalib as. mencapai tingkat mustafidh.[127] Hadis-hadis

itu menegas bahwa yang dimaksud oleh al-Qur’an sebagai

orang yang menegakkan shalat dan memberi zakat dalam

keadaan rukuk adalah Ali bin Abi Thalib as.

Dalam ayat itu Allah menegaskan wilayah adalah milik

Dia dan Rasul-Nya serta orang beriman yang menegakkan

shalat dan memberi zakat dalam keadaan rukuk. Mereka

adalah wali amr ‘imam segenap Muslimin’.

Hanya saja, wilayah Rasulullah saw. dan Ahlulbaitnya

hanyalah sebagai lanjutan dari wilayah Allah swt. dan tidak

sejajar, sebagaimana ketaatan kepada Rasulullah dan para

wali amr setelahnya merupakan kelanjutan dari ketaatan

kepada Allah.

Inilah wilayah dan ketaatan. Hal yang sama juga berlaku

dalam cinta. Diriwayatkan dari Rasulullah saw. bersabda:

“Cintailah Allah yang telah memberi nikmat pada

kalian, cintailah aku karena cinta Allah dan cintailah Ahlulbaitku

karena cinta padaku”[128] .

Rasulullah saw. juga bersabda: “Cintailah Allah yang

telah memberi nikmat pada kalian, dan cintailah aku karena

kalian mencintai Allah, dan cintailah Ahlulbaitku karena

kalian mencintaiku”[129] .

Jadi, barang siapa yang berwilayah pada Allah maka dia

juga harus berwilayah pada Rasulullah dan keluarganya.

Dan barang siapa yang mentaati Allah maka dia juga harus

mentaati mereka. Dan barang siapa yang mencintai Allah

maka dia juga harus mencintai mereka.

Ini salah satu sisi keseimbangan tauhid. Adapun sisi

lainnya menyatakan adalah barang siapa yang berwilayah

kepada mereka berarti dia berwilayah kepada Allah, dan

barang siapa mentaati mereka maka dia mentaati Allah, dan

barang siapa yang mencintai mereka maka dia mencintai

Allah Dengan demikian sempurnalah keseimbangan tauhid

tersebut dalam jalinan wilayah dari dua belah pihak.

Coba renungkan teks-teks berikut ini yang menunjukkan

kedua sisi keseimbangan tauhid tersebut:

Dalam ziarah Jami’ah disebutkan: “Barang siapa yang

berwilayah kepada kalian maka dia telah berwilayah kepada

Allah, dan barang siapa yang memusuhi kalian maka dia

telah memusuhi Allah”.

Disebutkan juga di dalamnya: “Barangsiapa yang mentaati

kalian maka dia telah mentaati Allah dan barangsiapa

yang membangkang pada kalian maka dia telah bermaksiat

pada Allah”.

Disebutkan pula di sana: “Barang siapa yang mencintai

kalian maka dia telah mencintai Allah, dan barang siapa

membenci kalian maka dia telah membenci Allah”. Dan kita

semua seyogyanya mendekatkan diri pada Allah swt. melalui

wilayah dan dukungan kita terhadap Rasulullah serta

Ahlulbaitnya serta menolak musuh-musuh mereka.

Disebutkan dalam ziarah Asyura sebagai berikut: “Sesungguhnya

aku mendekatkan diri kepada Allah dengan

berwilayah kepadamu (wahai Imam Husain as.), begitu pula

dengan menentang orang-orang yang membunuhmu dan

menyulut api peperangan melawanmu”.

Dalam sebuah hadis diriwayatkan bahwa Rasulullah

saw. bersabda: “Barang siapa mentaatiku, dia telah mentaati

Allah, dan barang siapa bermaksiat padaku, dia telah bermaksiat

pada Allah, dan barang siapa bermaksiat pada Ali

dia telah bermaksiat padaku”.[130]

Ibnu Abbas meriwayatkan sebuah kejadian; ketika itu

Rasulullah saw. melihat Ali as. seraya bersabda: “Wahai Ali,

aku adalah tuan di dunia dan di akhirat, kekasihmu adalah

kekasihku, dan kekasihku adalah kekasih Allah, musuhmu

adalah musuhku dan musuhku adalah musuh Allah”.[131]

Satu poin yang amat penting dari konsep wilayah dan

baro’ah dalam Islam terletak pada kecermatan kita akan

ikatan tauhid yang berbasis pada wilayah Allah dan wilayah

wali amr (Ahlulbait as). Kita harus mengerti keseimbangan

tauhid yang membaur-utuh antara dua wilayah ini. Dan

wilayah hakiki dalam Islam harus tumbuh sebagai konsekuensi

dari wilayah Allah, dan selain itu hanyalah wilayah

yang batil. Begitu pula ketaatan dan cinta yang sebenarnya,

menurut Islam, harus digenggam sebagai konsekuensi dari

ketaatan dan cinta pada Allah. Maka selain itu sama sekali

tidak berarti menurut tolok ukur dan timbangan Allah swt.

Atas dasar ini, Ahlulbait as. adalah rambu-rambu petunjuk

menuju Allah. Mereka adalah pemimpin sesuai dengan perintah-Nya. Mereka memasrahkan segala urusan kepada

Allah dan orang yang memberi hidayah menuju Allah swt.

Ini dari satu sisi. Adapun di sisi lain, orang yang menghendaki

Allah, jalan, keridhaan, hukum dan batas-batas-

Nya, dia harus menapaki jalan mereka dan menyerap ajaran

mereka.

Untuk lebih jelasnya, marilah kita perhatikan dua sisi

keseimbangan tauhid ini dalam teks-teks berikut:

Disebutkan dalam ziarah Jami’ah: “Kepada Allah kalian

mengajak, kepada-Nya kalian menunjukkan, kepada-Nya

kalian beriman, untuk Dia kamu pasrahkan, sesuai perintah-

Nya kalian beramal, kepada jalan-Nya kalian arahkan, dan

dengan firman-Nya kalian menghakimi”.

Berikut ini dua sisi permasalahan dalam satu kalimat

singkat yang disinyalir juga oleh ziarah Jami’ah: “Barang

siapa menghendaki Allah, dia harus memulainya dengan

kalian, dan barang siapa yang mengesakan-Nya dia harus

menerima dari kalian, dan barang siapa yang menuju-Nya

maka dia harus memperhatikan kalian”.

Saya tekankan untuk kesekian kalinya bahwa kita tidak

akan bisa mengerti wilayah kecuali dari sudut pandang

tauhid, dan bahwa wilayah Ahlulbait as. adalah kelanjutan

dari wilayah Allah swt.. Bentuk apapun dari pemahaman

wilayah, ketaatan dan cinta pada Ahlulbait as. yang tidak

bersaambung dengan wilayah Allah, maka itu bertentangan

dengan ucapan dan ajaran Ahlulbait itu sendiri.

Salam dan Nasihat

Dua aspek berikutnya dari wilayah adalah salam dan nasihat

dalam kaitannya dengan wali amr atau para imam.

Salam adalah sisi negatif dari hubungan ini, sedangkan

nasihat adalah sisi positif jalinan bersama pemimpin Islam.

Berikut ini penjelasannya:

Salam

Arti salam kepada wali amr ‘para imam as.’ yaitu hendaknya

kita tidak membiarkan mereka sendiri dalam kesulitan dan

bahaya, hendaknya kita tidak melawan, tidak berontak atau

berdurhaka kepada mereka, tidak mengusir mereka, tidak

menentang mereka dalam urusan apa pun, tidak memihak

pada yang lain dalam mengambil keputusan, tidak menghinakan

mereka, tidak mengharapkan keburukan menimpa

mereka, tidak merusak kehormatan mereka baik saat hadir

ataupun gaib, tidak berbuat makar dan tipu daya terhadap

mereka, tidak berjalan bersama musuh-musuh mereka, tidak

memperdaya mereka, tidak merekayasa mereka, tidak

melangkahi mereka, tidak menelantarkan mereka, tidak menyerahkan

mereka kepada musuh, tidak menzalimi mereka,

tidak berkedok di hadapan mereka dan lain sebagainya.

Itu aspek peniadaan dari hubungan dan pergaulan

dengan Ahlulbait as. sebagai wali amr dan pemimpin Islam.

Salam kepada wali amr as. memanjang dari salam dalam

hubungan kita dengan Allah swt. Dan seperti halnya elemen

lain, salam juga masuk dalam kategori tauhid, karena

salam kepada wali-wali amr as. adalah juga salam kepada

Allah, dan sungguh Allah telah memerintahkan kita untuk

menyikapi-Nya dengan salam dan damai serta hendaknya

kita tidak masuk ke lingkungan musuh-Nya atau orang

yang memihak kepada selain-Nya. Allah swt. berfirman:

﴿يََ أيُّ هَا المذِينَ آمَنُوا ادخُلُوا فِِ ال سلمِ كَافمةً وَ لَا تَ تمبِعُوا خُطُوَاتِ ال م شيطَان﴾

“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah dalam

kedamaian dan Islam secara utuh, dan janganlah kalian

mengikuti langkah-langkah setan”.[132]

Silm ‘salam’ yang dianjurkan oleh Allah dalam ayat di atas

adalah salam itu sendiri dalam hubungan kita dengan-Nya.

Dan lawan dari salam dalam berhubungan dengan Allah

adalah memerangi, memihak pada yang lain dan menentang-

Nya. Allah berfirman:

﴿ فَإن لََ تَفعَلُوا ف أذَنُوا بَِِربٍ مِنَ اللهِ وَ رَسُولِهِ ﴾ََ

“Apabila kalian tidak melakukannya, maka ijinkan peperangan

Allah dan Rasul-Nya”.[133]

﴿ اِمنََّا جَزَاءُ المذِينَ يََُارِبُونَ اللهَ وَ رَسُولَهُ وَيَسعَونَ فِِ الاَرضِ فَسَادًا أن

يُقتَلُوا ...﴾َ

“Sesungguhnya balasan orang-orang yang memerangi

Allah dan Rasul-Nya dan berusaha menebarkan kerusakan

di muka bumi ialah dibunuh dan diperangi …”.[134]

﴿ وَ ذلِكَ بَِنم هُم شَاقُّوا اللهَ وَ رَسُولَهُ وَ مَن يُشَاقِقِ اللهَ وَ رَسُولَهُ فَإ م ن اللهَ شَدِيدُ

العِقَاب ﴾

“Hal itu karena mereka telah memihak pada selain Allah

dan Rasul-Nya, dan barang siapa memihak pada yang

lain dan menentang Allah dan Rasul-Nya, maka Allah

sungguh keras dalam siksa-Nya”.[135]

﴿ اَلََ تَعلَمُوا أنمهُ مَن يََُادِدِ اللهَ وَ رَسُولَهُ فَإ م ن لَهُ نَا رَ جَهَنممَ خَالِدًا فِيهَا ذلِكَ هُوَ

الخِزيُ العَظِيمُ ﴾

“Tidakkah kalian tahu bahwa orang yang menentang

keras Allah dan Rasul-Nya akan masuk neraka jahanam

selama-lamanya dan itu kehinaan yang sangat besar”.[136]

Maksud dari kata muhadadah dalam ayat ini adalah sikap

seseorang yang berpihak pada selain garis dan batas yang

ditentukan Allah swt.

Demikian arti salam kita kepada Allah swt. Adapun

salam antara kita dan pemimpin-pemimpin Islam atau wali

amr as. adalah kepanjangan dari salam kita kepada Allah

dan bagian dari prinsip tauhid.

Secara umum, semua elemen wilayah kepada Ahlulbait

as. sebagai pemimpin Islam berpijak pada asas tauhid; pengesaan

Allah dan menolak wujud sesuatu yang independen

dari ijin dan perintah Allah swt.

Salam kepada wali amr atau pemimpin Islam (yaitu

Rasulullah dan Ahlulbaitnya), sebagaimana termuat dalam

teks-teks ziarah, bukan dari kategori sapa dan pesan, tetapi

dari kategori sikap, pergaulan dan hubungan.

Kedalaman arti dari salam kepada mereka yaitu hendaknya

kita tidak mengusik mereka dengan tingkah laku yang

buruk, karena sesungguhnya mereka hadir dalam tindakan

kita sebagaimana ditegaskan oleh surah al-Qadr dan hadis.

Oleh karena itu, perilaku buruk, maksiat dan dosa pengikut

Rasulullah saw. dan Ahlulbait as. akan mengganggu mereka

sebagaimana mengganggu dua malaikat pencatat amal.

Sebaliknya, perbuatan saleh akan menyenangkan mereka.

Kiranya cukup sampai di sini saja perbincangan kita

seputar salam kepada wali amr dan tidak perlu diperpanjang

lebih dari ini.

Ziarah-ziarah para iamam maksum penuh dengan salam

dan pengulangan salam kepada mereka, seperti dalam

ziarah Jami’ah Kedua yang tidak begitu populer, yaitu

ziarah Jami’ah yang diriwayatkan oleh Syaikh Shaduq dari

Imam Ali Ridha as. dalam kitab Man La Yahdluruhul Faqih,

terdapat sekelompok salam kepada mereka. Berikut ini kami

akan menyebutkan sebagian salam-salam itu sebagai bukti:

“Salam kepada wali-wali Allah dan pilihan-pilihan-Nya,

salam kepada orang-orang terpercaya Allah dan kekasihkekasih-

Nya, salam kepada penolong-penolong Allah dan

para khalifah-Nya (khalifah artinya pemimpin yang dilantik

Allah untuk mengatur urusan umat manusia, bukan khalifah

yang dicatat dalam sejarah pasca wafat Rasul), salam

kepada ruang-ruang makrifat Allah, salam kepada rumahrumah

zikir Allah, salam kepada pemenang perintah Allah

dan larangan-Nya, salam kepada penuntun-penuntun yang

mengajak kepada Allah, salam kepada mereka yang

bersemayam dalam keridhaan Allah, salam kepada mereka

yang ikhlas dalam ketaatan Allah, salam kepada petunjukpetunjuk

Allah, salam kepada mereka yang barang siapa

berwilayah kepada mereka niscaya Allah berwilayah kepadanya

dan mencintainya, salam kepada mereka yang

barang siapa memusuhi mereka Allah akan memusuhinya,

salam kepada mereka yang barang siapa yakin pada mereka

niscaya telah yakin pada Allah, salam kepada mereka yang

barang siapa bodoh akan mereka ia telah bodoh akan Allah,

salam kepada mereka yang barang siapa berpegang teguh

pada mereka dia telah berpegang teguh pada Allah, dan

salam kepada mereka yang barang siapa menyempal dari

mereka dia telah menyempal dari Allah”.

Nasihat

Nasihat adalah aspek positif dari hubungan manusia dengan

wali amr ‘pemimpin Islam’ as. Nasihat pada mereka

juga masuk kategori tauhid, dan merupakan kepanjangan

dari nasihat untuk Allah dan Rasul-Nya. Nasihat adalah

salah satu dari tiga perkara politik yang diumumkan oleh

Rasulullah di masjid Khif, di Mina, kepada mayoritas Muslimin

yang hadir di tahun Haji Wada’ atau Haji Perpisahan.

Syaikh Shaduq meriwayatkan dalam kitab Khisal dari

Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata: “Rasulullah saw. Berpidato

pada Haji Wada’ di Mina tepatnya di masjid Khif.

Beliau memuja dan memuji Allah kemudian bersabda:

‘Semoga Allah menyegarkan dan peduli pada hamba-Nya

yang mendengar sabdaku kemudian menyadarinya, lalu

menyampaikan sabdaku ini pada orang yang belum mendengarnya.

Dan betapa banyak pembawa ilmu agama atau

fiqih yang tidak alim dan faqih, dan betapa banyak pembawa

ilmu agama kepada orang yang lebih alim dan faqih

daripada dirinya. Ada tiga perkara yang tidak akan menimbulkan

dengki pada hati seorang Muslim: pertama, ikhlas

dalam beramal hanya demi Allah. Kedua, nasihat terhadap

pemimpin-pemimpin Muslimin. Ketiga, komitmen terhadap

masyarakat Islam. Sesungguhnya dakwah dan doa mereka

mencakup masyarakat Muslim yang lain. Dan orang-orang

Muslim adalah saudara yang berdarah sama, orang yang

unggul berupaya untuk menanggung orang yang di bawahnya,

dan mereka adalah tangan bagi yang lain’”.[137]

Nasihat untuk wali amr dan pemimpin Muslimin as.

yaitu seorang Muslim harus menjadi pembela dan mata bagi

mereka mengajukan aspirasi dan konsultasi yang tulus kepada

mereka, melindungi mereka, memaparkan problem,

kegelisahan dan penderitaan Muslimin pada mereka, dan

inilah sisi positif yang dimaksudkan.

Figur Keteladanan

Salah satu elemen wilayah kepada Ahlulbait as. adalah

peneladanan pada mereka. Allah swt. telah menjadikan

Nabi Ibrahim as. sampai Rasulullah saw. sebagai teladan

yang unggul bagi umat manusia. Mereka harus mengikuti figur-figur teladan tersebut dan mengukur diri dengan

keutamaan mereka. Allah berfirman:

﴿ قَد كَانَت لَكُم اُسوَةٌ حَسَنَةٌ فِِ اِبرَاهِيمَ وَ المذِينَ مَعَه ﴾

“Sungguh terdapat teladan yang baik bagi kalian pada

diri Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya”.[138]

﴿ لَقَد كَانَ لَكُم فِِ رَسُولِ اللهِ اُسوَةٌ حَسَنَة ﴾

“Sungguh, sungguh dan sungguh terdapat teladan yang

baik bagi kalian pada diri Rasulullah”.[139]

Adapun setelah Rasulullah saw., teladan baik yang harus

kita panuti dalam hidup ini adalah Ahlulbait sebagai

pengganti beliau, baik dalam hubungan kita bersama

keluarga maupun hubungan kita dengan diri kita sendiri.

Tentunya, awal dari semua hubungan ini adalah hubungan

kita dengan Allah swt.

Peneladanan bukan pelajaran. Di samping sebagai guru

kita, Ahlulbait as. juga teladan kita. Mereka adalah guru

yang kita serap anjuran dan ajaran mereka, teladan yang

kita tapaki bekas-bekas langkah mereka, kita jalani jalur

mereka, kita ikuti aliran mereka dalam kehidupan, dan kita

hidup sebagaimana mereka hidup serta bergaul bersama

masyarakat dan keluarga sebagaimana mereka bergaul.

Imam-imam Ahlulbait as. adalah maksum atau suci dari

dosa dan kesalahan. Artinya, mereka adalah model yang

sempurna bagi kemanusiaan. Allah telah menjadikan mereka

sebagai tolok ukur dan timbangan yang harus kita

gunakan untuk mengukur diri kita dengan mereka. Maka,

apa yang sesuai dengan mereka dalam praktek, ucapan, diam, gerak perilak serta sikap kita adalah kebenaran. Dan

sebaliknya, segala hal yang bertentangan dengan mereka

adalah kesalahan, entah itu karena berlebihan atau kekurangan.

Hakikat ini juga termuat dalam ziarah Jami’ah:

“Orang yang tertinggal dari kalian adalah celaka, dan orang

yang melampaui kalian adalah binasa, sedangkan orang

yang bersama kalian adalah ikut bergabung”.

Marilah kita membaca sejarah dan tradisi Ahlulbait as.

untuk menyesuaikan perilaku kita dengan mereka. Amirul

Mukminin as. sering berkata: “Sadarlah bahwa kalian tidak

akan mampu untuk itu, tapi bantulah aku dengan warak

dan kesungguhan”.

Ziarah Jami’ah menyifati Ahlulbait as. dengan matsal a’la

atau model tertinggi, yaitu standar yang benar bagi umat

manusia untuk mengukur dirinya dengan mereka sebisa

mungkin untuk berjalan bersama mereka.

Ahlulbait as. mewarisi hal-hal berharga dari Nabi Ibrahim

dan Rasulullah saw., seperti akhlak, penyembahan,

ikhlas, ketaatan dan takwa. Dengan demikian, orang yang

ingin mendapatkan petunjuk para nabi dan mengikuti jalan

mereka, dia bisa mendapatkannya dengan mengikuti petunjuk

Ahlulbait as. dan meneladani mereka. Ziarah Jami’ah

membawakan sebuah doa yang berbunyi: “Semoga Allah

menggolongkanku bersama orang yang mengikuti jejak

mereka, menempuh jalur mereka, dan mengambil petunjuk

hidayah mereka”.

Sedih dan Gembira

Sedih dan gembira adalah kondisi kejiwaan dalam berwilayah

dan merupakan tanda-tanda cinta. Orang yang mencintai

seseorang secara alami akan sedih karena kesedihan

kekasihnya, dan gembira karena kegembiraannya. Imam

Ja’far Ash-Shadiq as. berkata: “Syi’ah kami adalah dari kami, apa-apa yang menyakitkan kami akan menyakitkan

mereka dan apa-apa yang menggembirakan kami juga akan

menggembirakan mereka”.[140]

Ada sebuah riwayat sahih dari Rayyan bin Syabib,

paman Mu’tasim Abbasi dari ibunya; dia meriwayatkan dari

Imam Ali Ar-Ridha as. yang berkata: “Wahai putera Syabib,

apabila kamu ingin bersama kami pada derajat-derajat

tertinggi di surga maka bersedihlah karena kesedihan kami,

dan bergembiralah karena kegembiraan kami, dan hendaknya

kamu berwilayah kepada kami dan mencintai kami,

karena sesungguhnya seseorang mencintai batu sekalipun,

niscaya Allah akan mengumpulkannya bersama batu itu di

Hari Kiamat nanti”.[141]

Masma’ meriwayatkan: “Abu Abdillah Imam Ja’far Ash-

Shadiq as. berkata kepadaku: ‘Wahai Masma’ kamu adalah

orang Irak, apakah kamu mendatangi kuburan Husain bin

Ali?’ Aku menjawab: “Tidak, aku dikenal dari kota Basrah

dan di tengah kita ada orang-orang yang menuruti keinginan

khalifah sekarang, musuh-musuh kita banyak dari

berbagai kabilah; mulai dari mereka yang mencaci maki

keluarga Nabi sampai yang lain. Aku tidak aman dari

mereka yang kapan saja melaporkan keadaanku ini pada

putera Sulaiman sehingga mereka pun mengejarku”.

“Maka beliau berkata kepadaku: “Apakah kamu ingat

apa yang telah diperbuat terhadap Husain bin Ali?”

“Iya”, jawabku pendek.

Beliau berkata lagi: “Apakah kamu sedih?”

Aku menjawab: “Demi Allah iya, aku menangis karenanya

sehingga keluargaku melihat bekas tangisan itu pada diriku sampai-sampai aku meninggalkan makan sehingga

tanpak kelesuan pada wajahku”.

“Imam as. berkata: ‘Semoga Allah merahmati tetesan air

matamu! Sungguh kamu dari orang-orang yang gelisah

karena kami, gembira karena kami gembira, sedih karena

kami sedih, takut karena kami takut, aman karena kami

aman. Sungguh kamu akan menyaksikan kehadiran ayahayahku

untukmu, mereka mewasiatkan pada malaikat maut

untukmu, dan apa yang mereka kabarkan baik kepadamu

akan menjadi cendra matamu sebelum mati, malaikat maut

akan lebih lembut dan sayang padamu daripada seorang ibu

yang sayang pada anaknya’”.[142]

Aban bin Taghlib meriwayatkan dari Imam Ja’far Ash-

Shadiq as.: “Nafas orang yang sedih karena ketertindasan

kami adalah tasbih, kegelisahan karena kami adalah ibadah,

dan menjaga rahasia kami adalah jihad fi sabilillah”.[143]

Kita adalah bagian dari keluarga ini; kita beranggota

bersama mereka dalam keyakinan, asas-asas agama, cinta,

kebencian, wilayah dan baro’ah. Tanda kecintaan dan wilayah

itu adalah kesedihan kita atas kesedihan mereka dan

kegembiraan kita atas kegembiraan mereka.

Hanya pertanyaan yang muncul di sini: kenapa kita

menampakkan kesedihan dan kegembiraan kita serta mengeluarkannya

dari kondisi subjektif menjadi slogan dan

syiar yang kita tunjukkan di ruang sosial di hadapan kawan

dan lawan? Dan kenapa hadis-hadis Ahlulbait menekankan

agar kita menampakkan kesedihan dan tangisan itu, khususnya

dalam menangisi kesyahidan Imam Husain as.?

Bakar bin Muhammad Azdi meriwayatkan: “Berkata

Abu Abdillah Imam Ja’far Ash-Shadiq as. kepada Fudlail:

“Apakah kalian duduk (membuat majlis) dan membicarakan?”

Dia menjawab: “Iya, semoga aku menjadi tebusan

untukmu!”

Beliau berkata: “Sungguh aku mencintai majlis-majlis

itu. Maka hidupkanlah urusan kami, dan semoga Allah

merahmati orang yang menghidupkan urusan kami!”[144]

Motif penampakkan dan penyi’aran itu dalam rangka

menyatakan identitas iman kita; yaitu keanggotaan kita

dalam peradaban, politik dan kultur Ahlulbait as. Penampakkan

seperti inilah yang telah mampu menjaga kita

sepanjang abad, dan melindungi kita dari gelombang peradaban

serta politik zalim musuh-musuh sampai detik ini.

Kebersamaan dan Keikutsertaan

Mungkin kata kebersamaan merupakan ungkapan terindah

tentang keanggotaan dalam mazhab Ahlulbait as. Kebersamaan

dalam suka dan duka, kesulitan dan kemudahan,

kedamaian dan peperangan. Kata-kata ini juga dimuat oleh

ziarah Jami’ah dengan alunan syahdu yang menggairahkan

seakan lirik-lirik dari lagu wilayah:

مَعَكُ ن م مَعَكُ ن م لَا مَعَ عَدُ وِكُ ن م

“Bersama kalian, bersama kalian tidak bersama musuh

kalian”.

Di doa ziarah yang lain disebutkan:

لَا مَعَ غَنيرِكُ ن م

“Tidaklah bersama selain kalian”.

Kalimat ini lebih luas daripada kalimat pertama itu, yakni

“Tidak bersama musuh kalian”.

Kesertaan Kultural

Kesertaan dan pengikutan adalah konsep yang luas dalam

berwilayah; mencakup ikut serta dalam perang dan damai,

ikut serta dalam cinta dan benci, ikut serta dalam pemikiran,

budaya, makrifat dan hukum.

Kita bebas mengambil pengetahuan dari mana saja kita

temukan, baik dari timur maupun dari barat. Akan tetapi,

tidak dibenarkan kita mengambil peradaban dan makrifat

kecuali dari sumber wahyu. Nah, Ahlulbait as. menyerap

jernihnya makrifat dan peradaban dari sumber wahyu

tersebut. Mereka adalah rumah kenabian, wadah kerasulan,

tempat kunjung malaikat, alamat turunnya wahyu dan

penyimpan ilmu sebagaimana disebutkan juga dalam ziarah

Jami’ah.

Berbeda antara pengetahuan dan peradaban. Pengetahuan

tidak memiliki hasil yang secara langsung berhubungan

dengan perilaku manusia, kepercayaan atau akidah,

metode berpikir, cara beribadah, relasi, pergaulan, gerakan,

aksi sosial, aktivitas politik dan komunikasi serta hal-hal

lain yang berkaitan. Adapun peradaban dan budaya

memiliki hasil yang secara langsung berhubungan dengan

perilaku manusia, intelektualitas, gaya hidup dan pergaulan,

ibadah, dan gambarannya tentang Allah, jagat raya

serta manusia … dan seterusnya.

Ilmu pengetahuan banyak sekali seperti kedokteran,

bisnis, ekonomi, akuntansi, matematika, teknik arsitektur,

elektronika, ilmu atom, bedah, kedokteran, fisiologi, mekanik,

fisika dan lain sebagainya. Manusia bebas mengambil

pengetahuan dari sumber ilmu manapun yang dia dapatkan.

Bahkan dari orang kafir sekalipun, dia bebas mempelajari

ilmu pengetahuan, karena ilmu adalah senjata dan

kekuatan. Dan seyogyanya orang mukmin menerima senjata

dan kekuatan itu dari musuh mereka juga.

Adapun peradaban adalah seperti etika, irfan, filsafat,

akidah, fikih atau hukum, doa, pendidikan, pembersihan,

tradisi pergaulan, gaya hidup sosial, perjalanan spiritual,

adab dan lain sebagainya.

Peradaban tidak seperti pengatahuan. Seyogyanya kita

tidak mengambil peradaban dan makrifat kecuali dari

sumber wahyu. Hal itu karena peradaban memiliki pengaruh

yang secara langsung berhubungan dengan perilaku

manusia, pemahamannya, jalan hidupnya, pengalaman

spiritualnya, hubungannya dengan Allah swt, hubungannya

dengan masyarakat, hubunganya dengan diri sendiri dan

dengan alam. Peradaban menjaga ilmu pengetahuan. Ilmu

pengetahuan yang tidak disertai peradaban dan budaya

yang saleh serta terarah akan berubah fungsi menjadi alat

dekonstruksi dan perusak. Sedangkan peradaban yang dewasa

dan berhidayah akan menjaga ilmu pengetahuan dan

menjadikannya sebagai sarana efektif bagi umat manusia.

Al-Qur’an adalah kitab peradaban bagi kehidupan

manusia. Allah swt. menurunkannya untuk mengarahkan

pikiran manusia dan perilakunya. Al-Qur’an bukan buku

ilmu pengetahuan, kendatipun ulama mendapatkan banyak

ilmu di sana seperti astronomi, ilmu bintang, ilmu tumbuhtumbuhan,

ilmu binatang, kedokteran, fisiologi dan lain

sebagainya. Namun, tetap saja al-Qur’an adalah kitab peradaban

dan hidayah. Salah bila kita menerimanya sebagai

buku ilmu pengetahuan yang diturunkan oleh Allah swt.

untuk mengajarkan ilmu fisika, kimia dan ilmu tumbuhtumbuhan

pada manusia. Tidak lain, al-Qur’an adalah kitab

peradaban dan budaya yang diturunkan oleh Allah untuk

membina manusia bagaimana hidup, bagaimana mengenal

Tuhan, alam dan manusia, dan bagaimana menilai sesuatu,

tradisi dan pemikiran. Allah swt. berfirman:

﴿ شَهرُ رَمَضَانَ المذِي اُنزِلَ فِيهِ القُرآنَ هُدًی لِلنماسِ وَ بَ ي نَاتٍ مِنَ الهدَُی وَ

الفُرقَانَ ﴾

“Bulan Ramadhan yang padanya al-Qur’an diturunkan

sebagai petunjuk bagi umat manusia, dan bukti-bukti

dari hidayah dan pemisah antara yang baik dan buruk”.[145]

﴿ وَ اذكُرُوا نِعمَةَ اللهِ عَلَيكُم وَ مَا اُنزِلَ عَلَيكُم مِنَ الكِتَابِ وَ الِْكمَةِ

يَعِظُكُم بِهِ ﴾

“Dan ingatlah kalian pada nikmat Allah terhadap kalian,

dan apa yang telah diturunkan pada kalian berupa kitab

dan hikmah yang menasihati kalian denganya”.[146]

﴿ هذَا بَ يَانٌ لِلنماسِ وَ هُدًی وَ مَوعِظَةً لِلمُتمقِيَْ ﴾

“Ini adalah keterangan bagi umat manusia dan petunjuk

serta nasihat bagi orang-orang yang bertakwa”.[147]

﴿ يََ أيُّ هَا النماسُ قَد جَاءكَُم بُرهَانٌ مِن رَب كُم وَ أنزَلنَا إلَيكُم نُورًا مُبينًا ﴾ “Wahai umat manusia sungguh telah datang pada kalian

bukti dari Tuhan kalian, dan telah kami turunkan pada

kalian cahaya yang menerangi”.[148]

﴿ وَ لَقَد جِئنَاهُم بِكِتَابٍ فَ م صلنَاهُ عَلَی عِلمٍ هُدًی وَ رَحمَةً لِقَومٍ يُؤمِنُ ونَ ﴾ “Dan sungguh telah kami datangkan pada mereka kitab

yang telah kami perinci atas dasar ilmu sebagai hidayah

dan rahmat bagi kaum yang beriman”.[149]

﴿ هذَا بَصَائِرُ مِن رَب كُم وَ هُدًی وَ رَحمَةٌ لِقَومٍ يُؤمِنُونَ ﴾ََ

“Ini adalah saksi-saksi dari Tuhan kalian, dan hidayah

serta rahmat bagi kaum yang beriman”.[150]

Oleh karena itu, al-Qur’an adalah kitab peradaban, cahaya

kehidupan manusia, saksi kebajikan bagi manusia, petunjuk

dan nasihat. Kendatipun dibenarkan bagi kita untuk mengambil

ilmu pengetahuan dari sumber mana saja, dan dari

tangan siapa pun walau dari tangan musuh kita sendiri.

Akan tetapi tidak dibenarkan bagi kita untuk mengambil

peradaban dan budaya kecuali dari media yang suci. Allah

menyampaikannya kepada kita dari sumber wahyu, karena

sesungguhnya kemungkinan salah dan penyimpangan dalam

peradaban adalah malapetaka yang besar, bukan seperti

ilmu pengetahuan.

Rasulullah saw. adalah sumber maksum atau suci yang

kepadanya wahyu diturunkan. Beliau menyampaikannya

kepada kita, dan wahyu itu terputus setelah wafatnya. Akan

tetapi, beliau mengangkat khalifah dari Ahlulbaitnya untuk

kita; mereka adalah padanan-padanan al-Qur’an. Mereka

telah mengambil peradaban dan makrifat dari Rasulullah

saw., mereka telah mewarisi makrifat, budaya, batas-batas

ketentuan Allah, halal dan haram, tradisi dan adab, akhlak,

pokok agama dan cabangnya dari Rasulullah saw. Beliau

melantik mereka sebagai tempat umat merujuk setelah ketiadaannya

dalam segala urusan tersebut di atas. Beliau juga

mengumumkan mereka sebagai padanan al-Qur’an dari

generasi demi generasi sampai akhirnya Allah swt.

mewariskan bumi dan seisinya pada mereka. Kandungan ini

terdapat dalam hadis yang sahih, baik menurut Ahli Sunnah

maupun Syi’ah, yaitu hadis yang dikenal dengan nama

hadis Tsaqalain (dua pusaka). Di sana Rasulullah saw. memerintahkan

umat Islam untuk kembali pada al-Qur’an dan Ahlulbaitnya setelah kepergian beliau sampai Hari Kiamat.

Beliau menetapkan bahwa berpegang teguh pada dua

pusaka itu menjamin manusia keamanan dari kesesatan dan

penyimpangan:[151]

إ نّ تََرِكٌ فِيكُمُ الثمقَلَيِْ كِتَابَ اللهِ وَ عِتََتِِ أهلَ بَيتِِ وَ انم هُمَا لَن يَفتََِقَا حَتمی

يَرِدَا عَلَ م ي الَْوضََ ما إن تَََ م سكتُم بِِِمَا لَن تَضِلُّوا بَعدِي

“Sesungguhnya aku tinggalkan dua pusaka pada kalian,

yaitu kitab Allah dan keluargaku, Ahlulbaitku, dan

sesungguhnya dua pusaka itu tidak akan berpisah sampai

keduanya menjumpaiku di telaga. Selama berpegang

teguh pada keduanya, kalian tidak akan pernah tersesat

setelahku”.

Hadis ini diriwayatkan dengan redaksi-redaksi yang mirip

antara satu dengan yang lain dalam referensi-referensi yang

ada. Dan dari perbedaan literal hadis ini, kita pahami bahwa

Rasulullah saw. telah mengulangnya beberapa kali di

berbagai tempat dan kesempatan, salah satunya di Ghadir

Khum (lembah Khum) seperti yang disinyalir oleh Shahih

Muslim menurut riwayat Zaid bin Arqam.

Rasulullah saw. juga bersabda:

م َثَلُ أهلِ بَيتِِ مَثَلُ سَفِينَةِ نُوحٍ مَن رَكِبَهَا نَََا وَ مَن تَََلمفَ عَنهَا غَرِقَ

“Perumpamaan Ahlulbaitku adalah bahtera Nabi Nuh,

barang siapa yang menaikinya akan selamat dan barang

siapa tertinggal darinya akan tenggelam”.[152]

Beliau juga bersabda:

أهلُ بَيتِِ أمَانٌ لِاُممتِِ مِنَ الَختِلََفِ

“Keluargaku adalah jaminan bagi umatku dari perselisihan”.[153]

Begitu pula hadis-hadis lain yang secara jelas meriwayatkan

bahwa Rasulullah saw. senantiasa mewasiatkan umat Islam

setelahnya agar kembali pada Ahlulbaitnya dan mengambil

ajaran-ajaran agama, makrifat, batas-batas ketentuan Allah,

sunnah nabi, halal dan haram dari mereka as. Fairuz Abadi

mengumpulkan hadis-hadis ini dalam kitabnya yang

berharga Fadlail Khamsah min Shihah Sittah (keutamaankeutaman

lima manusia dari enam kitab Shihah). Karena itu,

kita tidak perlu lagi membahasnya panjang lebar.

Dari uraian di atas, jelas sudah bahwa Ahlulbait as.

adalah ‘wadah kerasulan, tempat kunjung malaikat, alamat

turunnya wahyu, khazanah ilmu Illahi, lentera kegelapan, panji ketakwaan, pemimpin hidayah, pewaris para nabi,

bukti-bukti Allah terhadap penghuni dunia”, sebagaimana

pula termuat dalam ziarah Jami’ah.

Disebutkan juga di sana bahwa mereka adalah “tempattempat

makrifat pada Allah, tambang-tambang hikmah

Allah, pemikul kitab Allah, mereka adalah bukti, shirat,

cahaya dan burhan Allah”.

Maka, orang yang berpisah dari mereka pasti masuk

jalur kesesatan, cepat ataupun lambat, karena shirat Allah

tidak lebih dari satu dan tidak beragam. Orang yang menapaki

jalan mereka menuju Allah akan memperoleh hidayah,

dan orang yang beralih dari mereka dalam suluk tidak akan

pernah mencapai apa yang Dia kehendaki. Sungguh Rasulullah

telah berulang kali mengumumkan hal ini di berbagai

tempat dan kesempatan. Yang kita sebutkan di sini hanya

satu contoh dari semua itu, yaitu hadis Tsaqalain ‘dua

pusaka’; “Yang apabila kalian berpegang teguh pada dua

pusaka itu niscaya kalian tidak akan sesat setelahku”.

Tidak seperti yang mereka katakan. Masalah ini tidaklah

termasuk dalam medan ijtihad sehingga sebagian orang

terarah secara benar dan sebagian yang lain tersesat,

kemudian Allah memberi dua pahala pada mereka yang

benar dan memberi satu pahala pada yang salah.

Maka dari itu, tidak dibenarkan bagi seseorang untuk

berijtihad di saat ada teks yang jelas, dan sungguh Rasulullah

saw. telah bersabda secara nash (teks harfiah yang

jelas, tegas, tidak ambigu atau berkemungkinan lebih dari

satu arti)[154] agar umat manusia merujuk Ahlulbaitnya dalam

segala perkara yang mereka perselisihkan setelah beliau.

Dalam ziarah Jami’ah disebutkan bahwa: “Yang benci

kalian adalah pembangkang, yang bersama kalian adalah

gabung, orang yang lalai akan hak kalian adalah binasa, dan

kebenaran bersama kalian, di dalam kalian, dari kalian, dan

untuk kalian. Kalianlah tambang kebenaran dan keputusan

akhir ada pada kalian, ayat-ayat Allah di sisi kalian, cahaya

dan burhan Allah ber-sama kalian”.

Siapa saja yang hendak menuju Allah dan menginginkan

jalan, hidayah dan sabil-Nya, ia harus mengambil semua

itu dari Ahlulbait as. dan mengikuti jalan mereka, karena

Ahlulbait as. tidak mengajak selain kepada Allah, dan tidak

menunjukkan kecuali kepada-Nya.

Disebutkan dalam ziarah Jami’ah: “Kepada Allah kalian

mengajak, kepada-Nya kalian tunjukkan, untuk-Nya kalian

pasrahkan, sesuai perintah-Nya kalian bertindak, ke jalan-

Nya kalian arahkan, dan atas dasar firman-Nya kalian

menghakimi. Sungguh bahagia orang yang berwilayah pada

kalian, dan celakalah orang yang memusuhi kalian, merugilah

orang yang mengingkari kalian, tersesatlah orang yang

berpisah dari kalian, menanglah orang yang berpegang

teguh pada kalian, amanlah orang yang berlindung pada

kalian, selamatlah orang yang membenarkan kalian dan

terarahlah orang yang memegang erat kalian”.

Ketaatan

Inti sari wilayah adalah ketaatan dan kepasrahan. Ketaatan

akan bernilai positif apabila dilakukan pada tempatnya, dan

sebaliknya akan bernilai negatif apabila bukan pada tempatnya.

Begitu pula maksiat atau pembangkangan dan

penolakan bernilai positif apabila terhadap tiran, dan bernilai

negatif apabila terhadap Allah, Rasulullah dan Ahlulbaitnya

sebagai pemimpin urusan Muslimin.

Ayat ketujuh belas dari surah Az-Zumar mengumpulkan

dua masalah di atas dalam satu firman sebagai berikut:

﴿ وَ المذِينَ اجتَنَبُوا الطماغُوتَ أن يَعبُدُوهَا وَ أنَابُوا إلَی اللهِ لهَمُُ البُشرَی﴾

“Orang-orang yang menghindari pengabdian dari penguasa

zalim dan kembali kepada Allah maka bagi mereka

berita gembira”.

Dalam surah an-Nahl disebutkan:

﴿ أنِ اعبُدُوا اللهَ وَ اجتَنِبُوا الطماغُوتَ ﴾

“Dan hendaknya kalian menyembah Allah dan menghindari

penguasa zalim”.[155]

Taat dan ibadah, penolakan dan penghindaran adalah satu

hal, Allah telah memerintahkan kita untuk taat kepada-Nya,

kepada Rasul-Nya, dan kepada wali amr (imam maksum)

setelah Rasul-Nya:

﴿ أطِيعُوا اللهَ وَ أطِيعُوا المرسُولَ وَ اُولِِ الأمرِ مِنكُم ﴾

“Taatlah pada Allah dan taatlah pada Rasulullah serta

ulul amr (pemimpin-pemimpin Islam) dari kalian”.

Dia juga memerintahkan kita agar menolak orang-orang

zalim dan melawan mereka.

﴿ يُرِيدُونَ أن يَ تَحَاكَمُوا إلَی الطماغُوتِ وَ قَد اُمِرُوا أن يكفُرُوا بِه ﴾

“Mereka ingin mempercayakan pemerintahan kepada

pemimpin zalim padahal mereka diperintahkan untuk

mengingkarinya”.[156]

Ahlulbait as. adalah para wali amr tersebut setelah Rasulullah

saw. yang harus dipatuhi dan pasrah terhadap apa

yang mereka tuntut. Mereka adalah “pemimpin-pemimpin

hamba Allah dan pilar negara”, dan mereka adalah “buktibukti

Allah atas penghuni dunia”.

Tauhid dalam Ketaatan

Kita memiliki iman tertentu. Tidak ada iman yang lebih

tinggi dari itu, yaitu bahwa ketaatan hanya untuk Allah

semata, dan sama sekali tidak ada ketaatan untuk selain

Allah kecuali dengan seijin dan perintah Dia, dan sesungguhnya

ketaatan kepada Rasulullah dan keluarganya adalah

termasuk ketaatan kepada Allah swt.

مَن أطَاعَكُم فَ قَد أطَاعَ اللهَ وَ مَن عَصَاكُم فَ قَد عَصَی الله

“Barangsiapa yang taat pada kalian sungguh dia taat

pada Allah dan barang siapa membangkang pada kalian

sungguh dia membangkang pada Allah”.[157]

Pasrah

Salah satu bukti ketaatan adalah pasrah, yaitu kondisi

kepatuhan yang seutuhnya tanpa perlawanan dan penolakan

sedikitpun. Dan salah satu kepasrahan yang paling

menonjol adalah kepasrahan hati: “Dalam hal itu aku pasrah

pada kalian, kuserahkan hatiku sepenuhnya untuk kalian dan kuikutkan

pendapatku pada kalian”.[158]

Damai dengan Siapa yang Damai dengan Kalian dan Perang dengan Siapa yang Memerangi Kalian

Damai dan perang juga merupakan dua wajah wilayah dan

baro’ah. Wilayah bukan hanya damai dengan para wali amr dan pemimpin Islam, melainkan ada dua kelanjutan yang

sulit yaitu damai dengan mereka dan dengan siapa saja

yang damai dengan mereka. Bahkan ini tidak cukup hanya

dengan mereka saja, tetapi juga perang melawan siapa saja

yang memerangi mereka as.

Pengertian yang dalam akan wilayah dan baro’ah ini,

“silmun li man salamakum wa harbun li man harabakum”, akan

mengatur peta politik masyarakat dalam sistem yang baru

menuju kawasan damai dan kawasan perang. Dan bila saja

diteliti lebih cermat, kata harb berarti pemisahan diri dari

sesuatu, bukan pertempuran, tentu beda antara pemisahan

atau penghindaran diri dari sesuatu dengan pertempuran.

Sesungguhnya hubungan sosial kita tidak tersistem

sesuai dengan maslahat material dan politik, melainkan atas

dasar wilayah dan baro’ah. Maka dari itu, ada kalanya kita

memutuskan hubungan dari kerabat atau tetangga sendiri,

sementara kita mempererat hubungan kita dengan orangorang

yang jauh secara ruang dan waktu.

Dalam ziarah Asyura disebutkan bahwa:

إ نّ سِلمٌ لِمَن سَالَمَكُم وَ حَربٌ لِمَن حَارَبَكُم وَ وَلٌِِّ لِمَن وَالَاكُم وَ عَدُوٌّ لِمَن

عَادَاكُم

“Sesungguhnya aku damai dengan siapa saja yang damai

pada kalian, aku putus dari siapa saja yang memutuskan

hubungan dengan kalian (perang), aku mendukung dan

mencintai siapa yang mendukung kalian, dan aku musuh

bagi siapa saja yang memusuhi kalian”.

Ada sebuah hadis musnad[159] dari Ammar yang meriwayatkan

Rasulullah saw. bersabda tentang Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as.: “Sesungguhnya dia dariku dan aku darinya …

melawan dia berarti melawanku, damai dan pasrah padanya berarti

pasrah padaku, dan pasrah padaku berarti pasrah pada Allah”.

Tirmidzi dalam Shahihnya meriwayatkan dari Zaid bin

Arqam bahwa Rasulullah saw. bersabda tentang Amirul

Mukminin Ali bin Abi Thalib as., Siti Fatimah, Imam Hasan

dan Imam Husain sebagai berikut: “Aku lawan mereka yang

menentang kalian, dan damai dengan mereka yang damai dengan

kalian”.[160]

Diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah dalam Sunan,

Rasulullah bersabda: “Aku damai dengan siapa saja yang damai

dengan kalian dan lawan bagi siapa saja yang melawan kalian”.[161]

Hadis ini diriwayatkan juga oleh Hakim dalam Mustadrak[162]

Begitu pula Ibnu Atsir Jazri dalam Usud ul-Ghabah,[163] Muttaqi

dalam Kanzul Ummal,[164] Suyuthi dalam Durul Mantsur ketika menafsirkan ayat Tathhir dari surah al-Ahzab, juga Haitsami dalam Majma’ Zawa’id..[165]

Inilah arti tauhid dalam perlawanan dan damai. Maka

perlawanan terhadap Ahlulbait as. dan damai dengan mereka

berarti perlawanan terhadap Rasulullah saw. dan damai

dengan beliau. Dan, perlawanan terhadap beliau dan damai

adalah perlawanan terhadap Allah dan pasrah pada-Nya,

begitulah seterusnya unsur-unsur wilayah dan baro’ah yang

merupakan kategori pengesaan Tuhan.

Pembelaan dan Penuntutan

Masalah wilayah adalah masalah yang berat. Ia adalah sikap

damai disertai perlawanan baik dalam kemudahan maupun

dalam kesulitan. Andaikan masalah wilayah terbatas hanya

pada kedamaian dan kemudahan niscaya ia sebagai perkara

yang ringan. Akan tetapi, salah satu tuntutan wilayah yang

berat ini adalah pertolongan dan penuntutan hak. Wilayah

tidak akan berarti tanpa pembelaan sebagaimana Allah swt.

berfirman:

﴿ وَ المذُينَ آوَوا وَ نَصَرُوا اُولئِكَ بَعضُهُم أولِيَاءُ بَعضٍ ﴾

“Orang-orang yang kembali dan membela; sebagian

adalah wali bagi sebagian yang lain”.[166]

Wilayah yang benar juga tidak terlepas dari penuntutan

balas. Wilayah yang tidak menugaskan pemiliknya untuk

bertempur, melawan, memutus hubungan, usaha dan menghadapi

bahaya bukanlah wilayah yang sebenarnya, dan

wilayah seperti itu tidak lebih hanya sebuah gambar saja.

Kita berharap dan meminta pada Allah dalam ziarah

Asyura agar Dia memberi kesempatan kepada kita akan

penuntutan balas darah-darah suci yang tumpah secara

terzalimi di padang Karbala:

فَاسألُ اللهَ ال ذي أكرَمَ مَقَامَكَ وَ أكرَمَنِِ بِكَ أن يَرزُقَنِِ طَلَبَ ثََرِكَ مَعَ إمَامٍ

مَنصُورٍ مِن أهلِ بَيتِ مُحَممدٍ صَلمی اللهُ عَلَيهِ وَ آلِه

“Maka aku memohon pada Allah Yang telah memuliakan

kedudukanmu dan memuliakanku karena dirimu agar

Dia memberiku rejeki menuntut balas darahmu bersama

imam yang tertolong dari Ahlulbait Rasululullah saw.”

Disebutkan juga di sana yang artinya: “Dan aku memohon

Dia agar menyampaikanku pada kedudukan yang termulia (maqom mahmud) bagi kalian di sisi Allah, dan semoga Dia

memberiku rejeki menuntut balas darah kalian bersama

imam pembawa hidayah yang akan menang dan berbicara

secara benar dari Ahlulbait as.”.

Dan di ziarah Jami’ah kita mengikrarkan secara jelas

akan kesiapan kita yang seutuhnya dalam membela: “Dan

pembelaanku terhadap kalian sudah siap”.

Cinta dan Kasih Sayang

Unsur wilayah terhadap Ahlulbait yang berikutnya adalah

cinta dan kasih sayang. Turun satu firman Allah mengenai

masalah ini yang dimuat oleh al-Qur’an dan senantiasa

dibaca oleh orang, yaitu:

﴿ قُل لَا أسألُكُم عَلَيهِ أجرًا إملا الموََمدةَ فِِ القُربَی ﴾

“Katakanlah—wahai Muhammad—aku tidak meminta

kalian upah kecuali cinta kasih terhadap kerabatku”.[167]

Maksud dari kerabat Rasulullah adalah Ahlulbait beliau,

dan tidak ada perselisihan pendapat dalam hal ini.

Inilah cinta kasih yang wajib yang diisyaratkan oleh teks

ziarah Jami’ah: “Dan bagi kalian cinta kasih yang wajib dan

kedudukan-kedudukan yang sangat tinggi”. Taat dan cinta

merupakan ruh wilayah itu sendiri. Pernah suatu saat Imam

Ja’far Ash-Shadiq as. ditanya tentang cinta; apakah cinta

termasuk agama? Beliau menjawab: “Tiada lain agama

adalah cinta, dan andaikan seseorang mencintai batu niscaya

Allah akan mengumpulkannya bersama batu itu di Hari

Kiamat nanti”.

Telah disebutkan berulang kali sebelum ini, cinta juga

masuk dalam kategori tauhid. Barang siapa mencintai Allah

dia harus mencintai Rasulullah dan Ahlulbaitnya. Demikian

juga sebaliknya, orang yang mencintai Rasulullah saw. dan

Ahlulbaitnya, maka dia mencintai Allah swt.

Rasulullah saw. bersabda tentang bagian pertama di

atas: “Cintailah aku karena cinta Allah, dan cintailah Ahlulbaitku

karenca cinta aku”.[168] Dan mengenai bagian kedua

cinta beliau menyebutkan: “Barang siapa mencintai kalian

sungguh dia telah mencintai Allah, dan barang siapa yang

membenci kalian sungguh dia telah membenci Allah”.[169]

Begitu pula, orang yang mencintai Allah tentu mencintai

orang-orang mukmin karena cinta mereka pada Allah, dan

orang yang mencintai orang-orang beriman pasti mencintai

Allah. Sudah barang tentu, seyogyanya kecintaan kepada

Allah berada pada tingkat yang tertinggi dan terkuat dalam

diri manusia. Dan hendaknya cinta kepada Allah mendominasi

kehidupan manusia sehingga dia tidak lagi mencintai

yang lain; hanya di jalan Allah.

Tentang bagian pertama di atas Allah berfirman sebagai

berikut:

﴿ قُل إن كَانَ آبَاؤُكُم وَ أبنَاؤُكُم... أحَ م ب إلَيكُم مِن اللهِ وَ رَسُولِهِ وَ جِهَادٍ فِِ

سَبِيلِهِ فَ تَََبمصُوا حَتمی يََتَِِ اللهُ بَِمرِهِ وَ اللهُ لَا يَهدِي القَومَ الفَاسِقِيَْ ﴾

“Katakanlah –wahai Muhammad- apabila orang-orang

tua dan anak-anak kalian serta… lebih kalian cintai dari

pada Allah dan Rasul-Nya serta jihad di jalan-Nya

maka nantikanlah sampai Allah mendatangkan perkara-

Nya, dan Allah tidak memberi petunjuk pada kaum yang

fasiq”.[170]

Adapun cinta sadar yang berkembang dari cinta pada Allah

adalah cinta yang kita perbincangkan tentang cinta kepada

Ahlulbait as.. Cinta ini bukanlah cinta biasa yang dangkal

sebagaimana dirasakan manusia dalam kehidupan mereka

pada umumnya. Cinta sadar kepada Ahlulbait as. adalah

cinta yang berawal dari cinta Allah swt.

Cinta sadar ini memiliki beberapa kriteria yang menonjol

sebagai berikut:

Kriteria pertama: cinta sadar tidak terpisah dari baro’ah

dan perlawanan. Semua cinta bersisipan dengan permusuhan

dan kebencian, rela dengan amarah, wilayah dengan

baro’ah dan penentangan. Adapun cinta tanpa permusuhan

dan kebencian hanyalah cinta sederhana yang dangkal.

Ada seorang lelaki menemui Amirul Mukminin Ali bin

Abi Thalib as. dan berkata: “Aku mencintaimu dan mencintai

musuh-musuhmu”. Maka beliau berkata padanya: “Adapun

sekarang kamu juling dan bermata satu (kamu melihat

dengan pandangan yang kurang), kamu antara dua pilihan;

buta atau melihat”.

Disebutkan juga dalam ziarah: “Aku berwilayah pada

kalian dan pada wali-wali kalian, dan aku benci pada musuh

kalian serta melawannya”.

Kriteria kedua: cinta sadar memiliki perpanjangan dan

perluasan di tengah masyarakat sebagaimana dia adalah

kelanjutan dari cinta Allah, karena sesungguhnya cinta pada

Allah meluas pada mereka dan juga pada kekasih mereka;

“berwilayah pada kalian dan pada wali atau kekasih kalian”.

Tidak mungkin manusia mencintai seseorang di jalan

Allah tapi tidak mencintai orang yang dicintai-Nya.

Kriteria ketiga: cinta sadar akan berevolusi menjadi sikap

praktis di medan peperangan dan perdamaian; “aku damai

dengan siapa saja yang damai bersama kalian, dan aku

melawan siapa saja yang melawan kalian”.

Kriteria keempat: cinta pada Allah dan benci di jalan Allah

menggariskan peta politik yang sempurna dalam hubungan

sosial, baik konstruktif atau destruktif, damai atau permusuhan,

penyambungan atau pemutusan hubungan di tengah

masyarakat yang luas secara terperinci.

Pembenaran dan Pembatilan

Wilayah kepada Ahlulbait as. mengharuskan kita untuk

melindungi kehormatan budaya dan khazanah ilmu mereka.

Oleh karena itu, kita harus membenarkan apa yang mereka

benarkan dan menyalahkan apa yang mereka salahkan.

Area peradaban dan pemikiran dalam sejarah Ahlulbait

as. merupakan sasaran utama bagi serangan yang dilancarkan

musuh-musuh mereka. Dan para faqih Ahlulbait as.

dan ulama mazhab ini bertanggung jawab menjaga ajaran,

budaya, sistem hukum dan khazanah mereka demi Islam.

Pembenaran dan pembatilan dalam kerangka ini akan

terealisasi dalam bentuk jihad, perlawanan, damai dan

peperangan, sebagaimana dilukiskan juga oleh ziarah

Jami’ah: “Aku damai dengan siapa saja yang damai dengan

kalian, aku lawan siapa saja yang melawan kalian, aku

pembenar apa yang kalian benarkan dan aku penyalah apa

yang kalian batilkan”.

Pusaka dan Penantian

Wilayah dan berwilayah senantiasa berlangsung sepanjang

sejarah sampai masa depan. Jaman tidak akan pernah

mengalami kekosongan dari wilayah sejak awal sejarah

manusia, yaitu Nabi Adam dan Nabi Nuh as. sampai

penghujung sejarah nanti di saat Imam Mahdi af, putera

Nabi, muncul kembali dan memenuhi muka bumi dengan

keadilan serta mewarisi bumi dengan mengambilnya dari

tangan orang-orang yang zalim. Semua itu adalah realisasi dari janji Allah swt. sebagaimana dimuat dalam Taurat dan

Injil.

﴿وَ لَقَد كَتَب نَا فِِ المزبُورِ مِن بَعدِ ال ذِكرِ أ م ن الأرضَ يَرِثُ هَا عِبَادِيَ ال م صالُِْونَ ﴾

“Telah Kami tetapkan dalam Zabur setelah kami

tetapkan juga dalam Taurat, bahwa bumi akan diwarisi

oleh hamba-hambaku yang saleh”.[171]

Kata dzikr dalam ayat itu ialah Taurat. Ini janji Allah dalam

Taurat, Zabur dan al-Qur’an, bahwa Ahlulbait as. mewarisi

para nabi dan orang-orang saleh sepanjang sejarah. Mereka

mewarisi shalat, puasa, zakat, haji dan dakwah kepada

Allah. Ziarah Warits kepada Imam Husain as. mengutarakan

dengan baik kepewarisan ilmu, peradaban, budaya, jihad

dan risalah untuk beliau dari para nabi as. Ziarah ini

memaparkan konsep peradaban dan khazanah yang dalam:

“Salam bagimu—Imam Husain—wahai pewaris Adam,

pilihan Allah. Salam bagimu wahai pewaris Nuh, nabi

Allah. Salam bagimu wahai pewaris Ibrahim, kekasih Allah.

Salam bagimu wahai pewaris Musa, kalimullah. Salam bagimu

wahai pewaris Isa, ruh Allah…!”

Pewarisan ini terus berdenyut di sepanjang nadi sejarah

semenjak Nabi Adam dan Nuh as. sampai Rasulullah saw.

dan Ali bin Abi Thalib as. Sedangkan Imam Husain as. di

padang Karbala, di Hari Asyura, telah mengejewantahkan

semua warisan dan pusaka tersebut; warisan khazanah,

kultur, peradaban dan jihad yang tegar.

Maka dari itu, seperti yang kita amati di atas, wilayah

memiliki gugusan historis yang tertanam sangat dalam di

lubuk sejarah. Ahlulbait as. adalah orang yang mewarisi

perjalanan panjang dan saleh ini dari para nabi. Sementara

kita mewarisi sejarah ini dari Ahlulbait as.

Kita mewarisi shalat, puasa, haji, zakat, amar makruf

dan nahi munkar, jihad, dakwah pada Allah, zikir, ikhlas,

dan seluruh nilai-nilai tauhid yang lain. Dengan demikian

kita tidak menjadi seperti orang yang difirmankan Allah:

﴿ فَخَلَفَ مِن بَعدِهِم خَلفٌ اَضَاعُوا ال م صلََةَ ﴾

“Maka datang generasi berikutnya setelah mereka yang

menghilangkan shalat”.[172]

Melainkan kita senantiasa menjaga dan mendirikan shalat

dan mengajak orang lain kepadanya, sebagaimana ulamaulama

dulu kita menjaganya sebelum kita, dan semoga kita

tergolong orang yang menerima firman Allah swt. ini:

﴿ وَأمُر أهلَكَ بِال م صلََةِ وَ اصطَبَِ عَلَيهَا ﴾

“Dan perintahkan keluargamu untuk shalat dan sabarlah

untuk itu”.[173]

Maka itu, kita akan senantiasa menjaga warisan Ilahi yang

agung ini dan yang telah kita warisi dari salaf kita yang

saleh, dari generasi ke generasi, baik di dalam diri kita

sendiri maupun di tengah keluarga dan masyarakat. Inilah

perjalanan wilayah sepanjang sejarah dan ini adalah warisan

kita dari sejarah masa lalu.

Di samping itu, wilayah juga memiliki perjalanan ke

masa depan menusuk sampai ke era mendatang, di saat kita

menantikan munculnya Imam Mahdi as. dan menunggu

kelapangan serta kemenangannya yang besar. Yaitu sebuah

revolusi universal sebagaimana diberitakan oleh Allah kepada

kita dalam al-Qur’an juga dalam Taurat serta Zabur:

﴿وَ لَقَد كَتَبنَا فِِ المزبُورِ مِن بَعدِ ال ذِكرِ أ م ن الأرضَ يَرِثُها عِبَادِيَ ال م صالُِْونَ ﴾

“Telah Kami tetapkan dalam Zabur setelah kami tetapkan

juga dalam Taurat, bahwa bumi akan diwarisi oleh

hamba-hambaku yang saleh”.

Penantian tidak berarti pasif seperti orang yang menunggu

gerhana bulan atau matahari, akan tetapi aktif dan positif

sebagaimana yang tampak dari teks-teks yang menjelaskan

konsep penantian tersebut; yaitu penyiapan secara politis,

kultur dan aktif di bumi ini demi mempersiapkan tanah air

dan masyarakat untuk kehadiran Imam Mahdi af. sebagai

pemimpin revolusi universal yang besar.

Berdasarkan arti positif, penantian ialah amar makruf

dan nahi munkar, menyeru kepada Allah, berjihad melawan

orang-orang dzalim, mengangkat kalimat Allah, menegakkan

shalat, nilai-nilai Ilahi di bumi dan hal-hal lain yang

berperan dalam persiapan revolusi universal yang besar.

Ziarah Jami’ah juga mengisyaratkan aspek masa depan

dari wilayah ini: “Aku menanti pemerintahan dan negara

kalian”, “Sampai akhirnya Allah menghidupkan agama-Nya

dengan kalian, mengembalikan kalian di hari-hari-Nya,

memenangkan kalian demi keadilan-Nya, dan memudahkan

kalian di muka bumi-Nya”. Kalimat terakhir ini

mengacu pada bagian pertama surah al-Qashash:

﴿وَ نُرِيدُ أن نََُّ م ن عَلَی المذِينَ استُضعِفُوا فِِ الأرضِ وَ نََعَلَهُم أئِممةً وَ نََعَلَهُمُ

الوَارِثِيَْ ﴾﴿ وَ نََُّ كِنَ لهَمُ فِِ الأرضِ ...﴾

“Dan kami hendak memberi anugerah pada mereka yang

tertindas di bumi dan kami jadikan mereka sebagai

pemimpin serta kami jadikan mereka pewaris, dan kami

mudahkan bagi mereka di muka bumi…”.[174]

Penantian ini mengkristal secara praktis dalam gerakan,

kesungguhan, kesabaran, ketegaran, penghancuran, pembangunan,

upaya ke arah penegakan agama Allah di muka

bumi, dan persiapan untuk berdirinya daulat Ilahi di atas

bumi. Caranya ialah mengajak kepada Allah, memerintahkan

yang makruf dan mencegah yang munkar, memerangi

kebatilan dan kemunkaran serta berjuang melawan

pemerintahan dan pemimpin yang kafir.

Berikut ini nada syahdu dari ratapan kaum mukmin

karena berpisah dari imam dan menanti kedatangannya:

Di manakah baqiyyatullah yang tidak akan pernah

kosong dari keluarga pemberi hidayah

Di manakah dia yang dipersiapkan untuk menumpas

pangkal kedzaliman?

Di manakah dia yang dinanti untuk meluruskan yang

simpang?

Di manakah dia yang diharapkan untuk memusnahkan

kezaliman dan kejahatan?

Di manakah dia yang disimpan untuk menghidupkan

kewajiban dan sunnah?

Di manakah dia yang dipilih untuk mengembalikan

agama dan syariat?

Di manakah dia yang didambakan untuk menghidupkan

kitab dan batas-batasnya?

Di manakah dia sang penghidup ajaran-ajaran agama

dan penganutnya?

Di mana dia penghantam kekuatan manusia-manusia

jahat?

Di manakah dia sang penghancur kesyirikan dan

kemunafikan?

Di manakah dia sang pemusnah kaum fasik, durjana

dan tiran?

Di manakah dia sang pemutus jaring kebohongan dan

fitnah?

Di manakah dia sang pemusnah kaum penerjang, sang

pencabut akar para perusak, sesat dan kafir?

Di manakah dia yang memuliakan para wali dan

menghinakan semua lawan?

Di manakah dia sang penghimpun kata takwa?

Di manakah dia sang gerbang Allah yang harus

dimasuki?

Di manakah dia sang pemilik hari kejayaan dan

pengibar bendera hidayah?

Di manakah dia sang penyusun damai dan rela?

Di manakah dia sang penuntut balas para nabi dan

anak-anak mereka?

Di manakah dia sang penuntut darah Husain yang

terbunuh di Karbala?

Di manakah dia yang dibantu melawan para pembangkang

dan penebar fitnah?

Di manakah orang terdesak yang dikabulkan jika

berdoa?

Di manakah dia sang putera Nabi Mustafa, putera

Ali Murtadha, putera Khadijah yang mulia, putera

Fathimah yang agung?”[175]

Penantian adalah gabungan antara ratapan syahdu dan

praktek yang serius dalam amar makruf dan nahi munkar

serta jihad melawan orang-orang zalim demi mempersiapkan

bumi untuk kemunculan, kelapangan dan kebangkitan

Imam Mahdi af.

Ratapan syahdu dalam hati orang mukmin akan berubah

menjadi tindakan, gerakan, usaha keras, revolusi,

kebangkitan, kesabaran, keteguhan, perlawanan, ketabahan,

perjuangan, dakwah, penghancuran dan pembangunan.

Semua itu untuk mempersiapkan bumi untuk kemunculan

Imam Mahdi af. dan kebangkitannya dalam rangka mendirikan

kedaulatan Ilahi yang universal sebagaimana dijanjikan oleh Allah dalam al-Qur’an: “wa laqod katabna fiz zaburi min

ba’diz dzikri”.

Sudah barang tentu, kebangkitan Imam Mahdi af. akan

berlangsung pasca generasi yang melapangkan bumi untuk

kemunculan dan kebangkitan tersebut. Hal ini dipertegas

oleh teks-teks Islam yang mutawatir. Generasi itulah yang

mempersiapkan bumi sehingga Imam Mahdi af. muncul.

Dengan demikian, dapat dimengerti bahwa penantian

adalah gerak mempercepat persiapan tersebut dengan caracara:

amar makruf, nahi munkar, jihad, gerakan dan amal.

Seperti yang telah saya katakan sebelumnya, wilayah

adalah pusaka sekaligus juga penantian. Pusaka, karena

wilayahlah yang menarik kita ke perjalanan para nabi dan

orang-orang saleh sepanjang sejarah silam. Dan penantian,

karena wilayahlah mengajak kita menuju harapan cerah

yang akan dibuka lebar oleh Allah di hadapan kita di masa

yang akan datang. Namun begitu, harapan itu harus selalu

dibarengi dengan usaha keras, jihad dan amal sehingga

dengan ijin Allah menjadi kenyataan, tidak sekedar menanti

dan menunggu tanda-tanda kemunculan Imam Mahdi af.

Ziarah

Elemen dan pengaruh lain dari wilayah adalah ziarah. Yang

dimaksud dengan ziarah di sini adalah kondisi yang sudah

jelas saat kita menjalin hubungan dengan Ahlulbait as. Kita

komitmen pada mereka, mengajak orang lain agar mengikuti

mereka. Ziarah dalam ruang lingkup wilayah memuat

budaya, tradisi, dan teks-teks yang selalu kita baca dan kaya

akan pemikiran serta konsep peradaban tentang wilayah

yang mendalam dan luas dalam kehidupan manusia.

Tujuan dari ziarah adalah solidarisasi organik dan kultural

melalui pembinaan yang terarah sepanjang sejarah.

Dan kita adalah bagian dari perjalanan yang sarat dengan nilai-nilai tauhid ini; penuh ikhlas, takwa, shalat, jihad,

zakat, amar makruf, zikir, syukur, sabar, kekuatan dan…

Kita adalah bagian yang tak terpisahkan dari perjalanan

penuh berkah ini, yang berawal dari Ahlulbait as. dan

bersambung sampai ke gerakan para nabi; mulai dari Nabi

Adam sampai Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan nabi-nabi

yang lain … Ya, inilah bagian dari gugusan panjang, bagian

dari pergulatan sejarah antara Islam dan Jahiliyah, antara

tauhid dan syirik pada setiap fase perjalanan, dan bagian

dari pohon mulia yang akarnya terhujam di lubuk sejarah

yang paling dalam.

Kita adalah dahan-dahan pohon itu, dan sepantasnya

kita menjaga keanggotaan kita dalam pohon tersebut:

﴿ ألََ تَ رَ كَيفَ ضَرَبَ اللهُ مَثَلًَ كَلِمَةً طَي بَةً كَشَجَرَةٍ طَي بَةٍ أصلُهَا ثََبِتٌ وَ

فَرعُهَا فِِ ال م سمَاءِ ﴾

“Tidakkah kamu lihat bagaimana Allah membawakan

perumpamaan kalimat yang indah dengan pohon mulia

yang pokoknya kokoh dan cabangnya di langit”.[176]

Kita harus memperdalam komitmen kita pada keanggotaan

pohon tersebut dalam intuisi, hati dan akal kita. Sejauh

komitmen organik dengan syajarah thayyibah dan Keluarga

penuh berkah ini menguat dan mendalam, sejauh itu pula

kita akan bertambah kesabaran dan kesolidan kita melawan

tantangan yang bertubi-tubi, dan kita akan bertambah teguh

dalam menjalani lintas yang berduri dan melampaui krisis

yang kita hadapi sepanjang jalan.

Dan ziarah merupakan bagian dari faktor utama dalam

upaya penguatan tersebut. Ziarah menciptakan atmosfir

emosional yang kental sehingga keanggotaan kita bersama Keluarga penuh berkah ini dalam peradaban, pergerakan

dan perjalanan yang mulia menjadi lebih kuat.

Teks-teks yang datang dari Ahlulbait untuk berziarah

kepada Rasulullah saw., Imam Ali bin Abi Thalib as.,

Fatimah Az-Zahra, Imam Hasan, Imam Husain dan Imamimam

yang lain serta para nabi, wali Allah dan orang-orang

mukmin yang saleh, penuh dengan kekayaan peradaban

dan budaya yang jelas, memuat konsep-konsep penguatan

jalan yang lurus, keanggotaan dalam Keluarga yang penuh

berkah, dan penegasan atas perlawanan terhadap musuhmusuh

mereka, terhadap siapa saja yang anti mereka serta

yang menyulut api permusuhan terhadap mereka.

Sebelumnya, saya telah menulis kajian seputar ziarah di

pasal akhir dari buku yang berjudul ad-Du’a ‘Inda Ahlilbait

as. (doa menurut Ahlulbait as.), dan saya cukupkan sampai

di sini sekilas tentang ziarah. Adapun perinciannya, pembaca

bisa merujuk buku tersebut.[]