Syi'ah Ahl Bayt

Syi'ah Ahl Bayt0%

Syi'ah Ahl Bayt pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Rasulullah & Ahlulbait

Syi'ah Ahl Bayt

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

pengarang: Muhammad Mahdi Al-Ashifi
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Pengunjung: 7638
Download: 6004

Komentar:

Syi'ah Ahl Bayt
Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 11 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 7638 / Download: 6004
Ukuran Ukuran Ukuran
Syi'ah Ahl Bayt

Syi'ah Ahl Bayt

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

TINGKATAN DAN RAIHAN

WILAYAH KEPADA AHLULBAIT AS.

Di pasal ini kita akan berbicara tentang poin terakhir dari

rangkaian pembahasan sebelumnya, yaitu tangga wilayah

dan raihannya.

Wilayah dan baro’ah adalah dua tangga pendakian

manusia menuju Allah swt. Dengannya manusia dapat naik

peringkat dekat di sisi Allah serta meraih keridhaan-Nya.

Kedekatan dan keridhaan Allah tidak mungkin tercapai

kecuali dengan dua tangga dan sarana tersebut. Di bawah

ini marilah kita perhatikan beberapa hadis dari Ahlulbait as.

berkaitan dengan tangga wilayah dan baro’ah.

Kehidupan Rasulullah dan Keluarganya di Dunia dan Akhirat

Abdullah bin Walid meriwayatkan bahwa: “Suatu hari kami

menemui Abu Abdillah Imam Ja’far Ash-Shadiq as.. Pada

masa itu Marwan berada di puncak kekuasaan. Beliau berkata

pada kami: 'Kalian datang dari mana?'

"'Kami dari warga Kufah', jawab kami singkat.

"Beliau berkata: 'Tidak ada negeri yang lebih banyak

pecinta Ahlulbaitnya daripada Kufah, khususnya kelompok

ini. Sesungguhnya Allah telah menuntun kalian kepada hal

yang tidak diketahui oleh masyarakat umum. Oleh karena

itu, kalian mencintai dan mengikuti kami di saat mereka

memusuhi, kalian membenarkan kami di saat mereka menentang, dan di saat mereka mendustakan kami, justru

kalian dihidupkan oleh Allah sebagaimana hidup kami dan

dimatikan oleh Allah sebagaimana mati kami. Maka aku

bersaksi atas nama ayahku bahwa dia senantiasa berkata:

'Jarak antara kalian dengan saat kebahagiaan yang membuat

orang lain iri terhadap kalian tidak lebih dari sampainya ruh

ke sini (beliau menunjuk ke tenggorokan dengan tangannya;

artinya saat kematian). Sungguh Allah swt. berfirman dalam

kitab-Nya:

﴿ وَ لَقَد أرسَل نَا رُسُلًَ مِن قَبلِكَ وَ جَعَلنَا لهَمُ أزوَاجًا وَ ذُ ريمة ﴾

“Dan sungguh telah kami utus para rasul sebelum kamu

serta kami berikan pada mereka istri dan keturunan”.[177]

"'Dan kami adalah keturunan Rasulullah saw'".[178]

Dalam ziarah Asyura disebutkan:

وَ أحيِنَا مَحيَا مُحَممدٍ وَ آلِ مُحَممد وَ أمِتنَا مَََاتَ مُحَممدٍ وَ آلِ مُحَممد

“Ya Allah! Hidupkanlah kami sebagaimana kehidupan

Nabi Muhammad dan keluarganya, matikanlah kami sebagaimana

kematian Nabi Muhammad dan keluarganya”.

Allah Menebarkan Kemuliaan pada Mereka

Rasulullah saw. bersabda: “Allah swt. berfirman kepada

Syi’ahku (pengikutku) dan Syi’ah Ahlulbaitku (pengikut

keluargaku) di Hari Kiamat kelak: ‘Kemarilah wahai hambahamba-

Ku, akan Kutebarkan kemuliaan pada kalian, karena kalian

sungguh telah teraniaya di dunia’”.[179]

Mereka Berpegang Teguh pada Kami, Ahlulbait as., dan Kami Berpegang Teguh pada Rasulullah saw.

Abu Abdillah Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata bahwa

ayahnya; Imam Muhammad Baqir as. sering berkata:

اِ ن شيعتَنا آخِذُون بِجزَتِنا و نحنُ آخذون بِجزةِ نبي نا ونبيُنا آخذون بِجزةِ الله

“Sesungguhnya Syi’ah kita berpegang teguh pada kita

dan kita berpegang teguh pada Nabi, dan Nabi berpegang

teguh pada Allah”.[180]

Allamah Majlisi mengatakan: akhodztu bihujzatir rohman

sama dengan I’tashomtu, yakni aku berpegang teguh pada-

Nya.[181]

Abu Abdillah Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata:

“Tatkala Hari Kiamat datang, Rasulullah berpegang teguh

pada Allah, Amirul Mukminin Ali berpegang teguh pada

Rasulullah, kami berpegang teguh pada Ali, dan Syi’ah

kami berpegang teguh pada kami. Maka ke manapun kalian

melihat, niscaya Rasulullah mendatangkan kami”[182] .

Imam Ali bin Husain Zainul Abidin as. berkata: “Orang

yang paling berhak untuk warak dan berupaya keras meraih

cinta dan keridhaan Allah adalah para wasi dan pengikut

mereka. Tidakkah kalian rela ketika tiba-tiba sesuatu yang

sangat menakutkan datang dari langit, lalu setiap kaum

berlindung ke tempat-tempat aman mereka, adapun kalian

berlindung pada kami, dan kami berlindung pada Rasulullah.

Sungguh Rasulullah berpegang teguh pada Allah, dan

kami berpegang teguh padanya dan Syi’ah kami berpegang

teguh pada kami”.

 

Rejeki Allah pada Mereka di Akhirat

Jabir bin Abdillah Ansari berkata: “Suatu hari aku bersama

Rasulullah saw., tiba-tiba Ali bin Abi Thalib as. mengampiri.

Lalu beliau bersabda: 'Apakah kamu tidak ingin berita

gembira dariku wahai Abul Hasan (Ali)?' Ali pun berkata:

'Tentu wahai Rasulullah!' Beliau bersabda: 'Jibril membawa

berita untukku dari Allah, bahwa Dia telah memberikan

sembilan keistimewaan kepada Syi’ahmu dan orang-orang

yang mencintaimu: kelembutan saat mati, kesenangan saat

terasing, cahaya saat kegelapan, aman saat ketakutan, bagian

yang banyak saat timbangan, melintasi shirot (dengan

selamat), masuk surga sebelum semua orang, dan cahaya

mereka bersinar menyelimuti dari depan dan samping”.[183]

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. berkata: “Di

Hari Kiamat nanti, orang yang berwilayah pada kami akan b

bangkit dari kuburnya dalam keadaan wajah bersinar, aurat

tertutup, aman dari segala hal yang menakutkan, lapang

dari semua kesulitan, mudah dalam segala urusan, orangorang

pada ketakutan tapi mereka tidak takut, orang-orang

pada bersedih tapi mereka tidak bersedih”.[184]

Ibnu Abbas berkata: “Aku bertanya kepada Rasulullah

saw. tentang firman Allah yang berbunyi:

﴿ وََ ال م سابِقُونَ ال م سابِقُونَ ﴾َ﴿ اَُولئِكَ المقَُمربُونَ ﴾َ﴿ فَِِ جَنماتِ النمعِيم ﴾َََ

“Dan orang-orang yang mendahului, orang-orang yang

mendahului, mereka adalah orang-orang yang terdekat, di

dalam surga-surga Na’im”.[185]

"Lalu beliau bersabda: 'Jibril as. berkata; mereka adalah Ali

dan Syi’ahnya. Merekalah orang-orang yang mendahului masuk surga dan terdekat di sisi Allah dengan kemuliaan

yang Dia berikan kepada mereka'”.[186]

Bersama dan Dari Kami

Imam Ali Ridha as. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda:

“Aku dan dia, maksud beliau adalah Ali, seperti dua

ini (beliau menggabungkan dua jarinya) dan Syi’ah kami

akan bersama kami, dan orang yang membantu orang zalim

juga bersama kami”.[187]

Umar bin Yazid berkata: "Imam Ja’far Ash-Shadiq as.

berkata: “Wahai Ibnu Yazid, demi Allah kamu termasuk

dari kami Ahlulbait”. Kukatakan pada beliau: “Semoga aku

menjadi tebusan untukmu! Benarkah aku dari keluarga

Muhammad (saw.)?”. Beliau menjawab: “Iya, demi Allah

kamu dari diri mereka sendiri. Tidakkah kamu membaca

firman Allah swt. yang berbunyi:

﴿ اِ م ن اَولَی النماسِ بِِبرَاهِيمَ لَلمذِينَ اتم بَعُوهُ وَ هذَا النم ب الاُ ميُّ ﴾َ

“Sesungguhnya orang yang paling berhak dengan

Ibrahim adalah mereka yang mengikutinya dan Nabi

ini”.[188]

Dan tidakkah kamu membaca firman-Nya:

﴿ فَمَن تَبِعَنِِ فَإ نمهُ مِ نِ ﴾

“Dan barangsiapa yang mengikutiku maka dia adalah

dariku”.[189]

Diriwayatkan juga dari Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata:

“Syi’ah kami adalah bagian dari kami. Apa yang mengganggu mereka juga mengganggu kami, dan apa yang

menyenangkan mereka juga menyenangkan kami. Karena

itu, apabila seorang dari mereka menghendaki kami, maka

hendaknya dia menuju ke arah mereka, karena merekalah

yang mengantarkannya sampai kepada kami”.[190]

Abu Abdillah Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata:

“Siapa yang mendukung keluarga Muhammad dan mendahulukan

mereka dari semua orang sebagaimana Allah

mendahulukan mereka bersama kerabat Rasulullah saw.,

maka dia termasuk keluarga Muhammad karena kedudukannya

di sisi keluarga Muhammad. Kedudukan itu diperoleh

karena dia mendukung dan mencintai serta mengikuti

mereka, begitulah Allah menentukan dalam firman-Nya:

﴿ وَ مَن يَ تَوَملهمُ مِنكُم فَإنمهُ مِنهُم ﴾

“Dan siapa dari kalian yang mencintai dan mendukung

mereka maka dia termasuk golongan mereka”.[191]

“Begitu pula tutur Nabi Ibrahim yang disinyalir al-Qur’an:

﴿ فَمَن تَبِعَنِِ فَإنمهُ مِ نِ ﴾

“Dan orang yang mengikutiku sungguh dia dariku”.[192]

Menang dan Bahagia

Jabir bin Yazid meriwayatkan dari Imam Muhammad Baqir

as., dari Ummu Salamah istri Rasulullah saw. berkata: “Aku

mendengar Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Ali dan

Syi’ahnya adalah orang-orang yang menang”.[193]

Bersama Syuhada’ karena Wilayah dan Baro’ah

Dalam sebuah hadis shahih, Rayyan bin Syubaib, paman

Mu’tashim, berkata: “Di hari pertama Bulan Muharram, aku

menemui Abul Hasan Imam Ali Ridha as. Setelah perbincangan

panjang beliau berkata kepadaku: “Wahai Ibnu

Syubaib, jika kamu menangis karena sesuatu, tangisilah

karena Husain bin Ali bin Abi Thalib as.. Karena sesungguhnya

dia disembelih seperti domba dan (delapan belas)

pria dari keluarga beliau yang tidak ada padanannya di

muka bumi ini telah dibunuh bersamanya.

“Wahai Ibnu Syubaib, jika kamu ingin tinggal bersama

Rasulullah saw. di kamar-kamar surga, maka laknatlah

orang yang memerangi dan membunuh Husain as.

“Wahai Ibnu Syubaib, jika kamu ingin mendapatkan

pahala seperti pahala orang yang syahid bersama Husain

as., maka katakanlah setiap kali mengingatnya:

يََ لَيتَنِِ كُنتُ مَعَهُم فَأفُوزَ فَوزًا عَظِيمًا

“Sekiranya aku bersama mereka sehingga aku pun mendapatkan

kemenangan yang agung!"

“Wahai Ibnu Syubaib, jika kamu ingin bersama kami di

derajat-derajat tinggi surga, maka bersedihlah karena

kesedihan kami, bergembiralah karena kegembiraan kami,

dan berwilayalah kepada kami. Karena seorang yang

mencintai batu pun niscaya dikumpulkan oleh Allah bersama

batu itu di Hari Kiamat”.[194]

Hadis di atas ini shahih dan, tentunya, mengejutkan

setiap pembacanya dan membuatnya tertegun. Kalau bukan

karena keshahihan silsilah sanad hadis ini, niscaya kita akan

mengategorikannya sebagai suatu yang dilebih-lebihkan seperti yang kita dapatkan dalam hadis-hadis mursal dan

dha’if.[195]

Coba bacalah kembali kalimat yang menarik dari hadis

di atas, “Wahai Ibnu Syubaib, jika kamu ingin mendapatkan

pahala seperti pahala orang yang syahid bersama Husain

as., maka katakanlah setiap kali mengingatnya:

يََ لَيتَنِِ كُنتُ مَعَهُم فَأفُوزَ فَوزًا عَظِيمًا

“Seandainya aku bersama mereka sehingga aku pun

mendapatkan kemenangan yang agung”.

Apabila harapan seperti ini tulus dan sungguh-sungguh,

dan jika benar kerelaan terhadap tindakan Imam Husain as.

beserta sahabatnya dan murka atas kejahatan Bani Umayyah

beserta pengikut mereka adalah tulus dan nyata, maka

orang yang berharap, rela dan murka tersebut akan terhitung

sebagai orang yang berwilayah dan mencintai Imam

Husain as., dan mendapatkan pahala sebagaimana sahabat

beliau yang syahid bersamanya. Dengan begitu, niat dan

kesadaran berevolusi menjadi tindakan demi Allah swt.

Yakni; niat digabungkan dengan tindakan demi Allah.

Tentunya, apabila niat itu benar-benar jujur maka ini merupakan

revolusi yang sangat menakjubkan. Hubungan antara

niat dan tindakan dan revolusi niat menjadi tindakan dalam

hal pahala dan balasan. Ini adalah hukum dan satu sistem

sebagaimana terdapat juga perubahan materi menjadi energi

dalam ilmu Fisika. Ini merupakan kaidah yang aneh dalam

segi positif dan negatif, dalam pahala dan siksa dalam arti

yang sesungguhnya.

Sebagaimana niat beramal saleh akan menggabungkan

pemiliknya dengan pahala amal orang saleh, niat berbuat zalim atau rela akan kezaliman juga akan menggabungkan

pemiliknya dengan siksa orang yang zalim.

Muhamad bin Arqath berkata: “Aku menjumpai Imam

Ja’far Ash-Shadiq as. di Madinah”. Beliau berkata: “Apakah

kamu singgah di Kufah?”

Kujawab: “Iya”.

Kemudian beliau bertanya lagi: “Berarti kamu melihat

orang-orang yang memerangi Husain as.?”

Kukatakan padanya: “Semoga diriku menjadi tebusan

untukmu, aku tidak melihat seorang pun dari mereka”.

Beliau menimpali jawabanku: “Itu berarti kamu tidak

melihat pembunuh—atau orang yang memerangi—kecuali

hanya orang yang secara langsung membunuh atau mendukung

pembunuhan itu? Bukankah kamu dengar firman

Allah swt. yang berbunyi:

﴿ قَد جَائَكُم رُسُلٌ مِن قَبلِي بِالبَي نَاتِ وَ بِالمذِي قُلتُم فَلِمَ قَ تَلتُمُوهُم إن كُنتُم

صَادِقِيَْ ﴾

“Telah datang pada kalian utusan-utusan Tuhan sebelumku

dengan membawa bukti-bukti dan dengan apa

yang kalian katakan, lalu kenapa kalian bunuh mereka

jika memang kalian benar”.

“Siapa utusan Allah (rasul) yang telah dibunuh oleh orangorang

yang dihadapi Rasulullah saw., sementara tidak ada

satu utusan pun di masa antara Nabi Isa as. dan Rasulullah

saw.? Sesungguhnya mereka adalah orang yang rela atas

pembunuhan rasul-rasul Tuhan tersebut. Oleh karena itu,

mereka disebut sebagai orang yang zalim dan pembunuh”.

Ayat yang diisyaratkan oleh Imam Ja’far Ash-Shadiq as.

adalah ayat 82 dan 83 dari surah Al-Imran, lengkapnya

adalah sebagai berikut:

اَلمذِينَ قَالُوا إ م ن اللهَ عَهِدَ إلَينَا أملا نُؤمِنَ بِرَسُولٍ حَتمی يََتينَا بِقُربَانٍ تََكُلُهُ

النمارُ قُل قَد جَائَكُم رُسُلٌِ من قَبلِي بِالبَي نَاتِ وَ بِالمذِي قُلتُم فَلِمَ قَ تَلتُمُوهُم إن

كُنتُم صَادِقِيَْ ﴾

“Orang-orang yang berkata sesungguhnya Allah telah

mengambil janji dari kita untuk tidak beriman pada

seorang utusanpun sampai dia bawakan—mukjizat—

korban yang disambar api [semacam petir], katakanlah—

kepada mereka wahai Muhammad—telah datang

kepada kalian utusan-utusan Tuhan sebelumku

dengan membawa bukti-bukti dan dengan apa yang

kalian katakan, lalu kenapa kalian bunuh mereka jika

memang kalian benar”.

Sudah pasti maksud yang dituju oleh firman Allah “lalu

kenapa kalian bunuh mereka jika memang kalian benar” adalah

orang Yahudi yang hidup pada zaman Rasulullah saw. Juga

sudah pasti, mereka tidak membunuh seorang nabi pun.

Ada jarak enam abad antara mereka dengan orang yang

membunuh serta memerangi utusan Allah. Kendatipun

begitu al-Qur’an tetap menisbatkan pembunuhan itu kepada

mereka secara harfiah, bukan secara metaforis seperti ayat

“fas’alul qoryah”.

Tidak ada satu pun alasan atau penafsiran yang dapat

membenarkan penisbatan ini kecuali apabila kita mengerti

dan menerima kaidah umum berupa kesamaan niat, rela

dan murka dengan perbuatan yang diniatkan, direstui atau

dimurkai.

Niat dan harapan yang benar, rela dan murka yang

benar, semua itu bernilai penuh seperti amal yang diniatkan,

diharapkan, diridhoi dan dimurkai. Penisbatan amal pada

orang yang meniatkan, mengharapkan, dan merestuinya

secara sungguh-sungguh adalah benar, sebagaimana disinyalir

oleh al-Qur’an.

Syarif Radhi meriwayatkan dalam Nahjul Balaghah: “Setelah

Allah swt. memenangkan Amirul Mukminin as. terhadap

pasukan musuh di Perang Jamal, sebagian sahabatnya

berkata kepada beliau: ‘Sungguh aku menginginkan saudaraku

juga turut hadir menyaksikan kemenangan yang

diberikan Allah kepadamu atas musuh-musuhmu’. Beliau

berkata: ‘Apakah hati saudaramu bersama kita?’ Dia menjawab:

‘Iya’. Maka beliau berkata: ‘Berarti dia bersama kita,

sungguh telah hadir di tengah pasukan kita suatu kaum

yang masih berada di tulang rusuk pria dan rahim wanita,

zaman akan menjadi baik dengan keberadaan mereka dan

iman akan menguat karena mereka’”.

Ini adalah hukum Allah yang mengumpulkan kita

bersama amal orang yang saleh, dan menggabungkan kita

bersama mereka dalam pahala. Oleh karena itu, kita akan

dipertemukan bersama para nabi, wali Allah, dan orang

yang beramal saleh apabila kita betul-betul meniatkan,

merestui, mencintai, dan mengharapkan amal perbuatan

mereka.

Sebaliknya juga demikian, yakni barang siapa yang

merestui, meniatkan, dan membela perbuatan orang-orang

zalim, kedurjanaan mereka, kesewanangan dan kerusakan

mereka, niscaya akan dikumpulkan oleh Allah bersama

mereka, dan Allah akan menyiksanya, meskipun dia tidak

hadir di sana.

Dalam riwayat tentang Imam Mahdi af. disebutkan,

ketika muncul nanti, beliau akan membunuh orang-orang

yang memerangi Imam Husain as., mendata dan membinasakan

mereka. Itu artinya beliau memburu orang yang

sehati dengan siapa yang membunuh dan memerangi Imam

Husain as. Imam Mahdi af. akan membinasakan mereka

lantaran telah memerangi Imam Husain, sehingga bumi ini

suci dari kebusukan dan kezaliman mereka.

Ziarah Warits; ziarah yang populer untuk Imam Husain

as., menjelaskan ketetapan dan tugas ini secara teliti dan

cermat; melaknat pembunuh Imam Husain as., melaknat

orang yang menzaliminya dan mengutuk orang yang merestui

pembunuhan atau peperangan itu.

Perhatikanlah teks ziarah berikut ini:

“Semoga Allah melaknat umat yang memerangi kalian,

semoga Allah melaknat umat yang menzalimi kalian,

dan semoga Allah melaknat umat yang mendengar hal

itu dan merestui”.

Kelompok pertama, mereka yang secara langsung merupakan

pelaku kriminal pembunuhan.

Kelompok kedua, mereka yang membela, mendukung dan

membekali kelompok pertama.

Kelompok ketiga, mereka yang merestui perbuatan tersebut.

Kelompok ini paling banyak bertebaran sampai

dataran yang sangat luas secara historis dan geografis.

Saya tertarik sekali untuk menutup topik ini dengan

sebuah riwayat dari Athiyyah al-Aufi yang meriwayatkan

dari sahabat besar Rasulullah saw., yaitu Jabir bin Abdillah

Anshari tatkala menzirahi kuburan Imam Husain as. pasca

tragedi Karbala. Berikut ini teks hadis tersebut:

Dalam kitab Bisyaratul Musthafa dinukil dari Athiyah

Aufi berkata: “Aku keluar bersama Jabir bin Abdillah Al-

Anshari untuk ziarah ke makam putra Ali bin Abi Thalib as.;

Imam Husain as. pasca kebangkiran Asyura. Ketika kami

sampai ke Karbala, Jabir mendekati sungai Furat. Di sana ia

mandi lalu mengenakan kain dan pakaian. Setelah itu ia

membuka bungkusan yang di dalamnya terdapat rumput

alang-alang lalu ia taburkan di sekujur tubuhnya. Ia tidak

menginjakkan satu langkah pun kecuali dengan zikir pada

Allah sampai mendekati makam Imam Husain as.”.

Athiyyah melanjutkan: “Jabir memegangku untuk bersandar,

aku pun memegangnya sampai dia bungkuk di atas

kuburan dan pingsan. Aku percikkan air padanya sampai

dia siuman dari pingsan sambil berkata: "Ya Husain’, tiga

kali. Kemudian dia berkata: 'Duhai kekasih yang tidak menjawab

kekasihnya'.

"Jabir berkata lagi: 'Ada apa dengan dirimu, sungguh

urat-urat leher di atas belikatmu telah disembelih secara

keji, antara tubuh dan kepalamu dipisahkan wahai putra

penghulu para nabi dan putera penghulu para mukmin,

putra sekutu takwa, anak keturunan hidayah, anggota kelima

dari pemilik Kisa’[196], putra penghulu para imam, dan

putra Fatimah penghulu para wanita, bagaimana mungkin

engkau tidak seperti itu ketika telapak tangan penghulu

para rasul yang memberimu makan, dan engkau terdidik di

pangkuan orang-orang yang bertakwa, disusui dengan air

iman, dan disapih bersama Islam. Maka sungguh engkau

mulia saat hidup dan mulia pula saat mati. Hanya saja hatihati

orang mukmin yang tidak mulia untuk berpisah darimu,

dan tidak ragu dalam pilihan terbaik untukmu, salam

dan restu Allah semoga senantiasa tercurahkan padamu.

“Engkau telah menjalani apa yang telah dilalui oleh saudaramu,

Yahya bin Zakaria.

“Kemudian Jabir mengelilingkan pandangannya ke sekitar

kuburan seraya berkata: ‘Salam padamu wahai arwah

yang melebur bersama Husain dan menderumkan kendaraan-

Nya. Aku bersaksi bahwa kalian telah mendirikan

shalat, menunaikan zakat, memerintahkan yang makruf dan

mencegah yang munkar, berjuang melawan orang kafir dan menyembah Allah sampai datang yakin. Demi Allah Yang

telah mengutus Muhammad secara benar sebagai nabi,

sungguh aku ikut serta bersama kalian dalam hal yang

kalian masuki’.

“Kukatakan pada Jabir: “Bagaimana mungkin di saat

kita tidak menelusuri lembah, mendaki gunung akan melancarkan

satu pukulan pedang sedangkan mereka telah terpisahkan

tubuh dari kepala, anak-anak mereka jadi yatim

dan istri-istri mereka jadi janda?!”

“Maka Jabir menjawab: ‘Wahai Athiyyah, aku dengar

kekasihku Rasulullah saw. bersabda: ‘Barangsiapa mencintai

sebuah kaum niscaya dia akan dikumpulkan bersama kaum itu, dan

barangsiapa mencintai perbuatan sebuah kaum maka dia akan

diikutsertakan bersama perbuatan mereka’. Demi Allah yang

telah mengutus Muhammad sebagai nabi secara benar,

sesungguhnya niatku dan niat sahabat-sahabatku sesuai dan

bersama dengan niat Imam Husain as. dan sahabatnya.

Bawalah aku ke pemukiman kota Kufah’.

“Ketika kami sampai di pertengahan jalan, Jabir berkata:

‘Wahai Athiyyah, apakah kamu ingin aku mewasiatkan

sesuatu padamu? Karena, firasatku mengatakan setelah

perjalanan ini aku tidak lagi bertemu denganmu! Cintailah

apa yang dicintai keluarga Muhammad saw., dan bencilah

apa yang dibenci oleh keluarga Muhammad saw.. Karena

sesungguhnya apabila satu langkah tergelincir karena dosa,

akan diangkat karena cinta pada mereka. Sesungguhnya pecinta

mereka akan kembali ke surga dan pembenci mereka

ke neraka”.[197] []

Apendiks

SIAPAKAH AHLULBAIT AS.?

Di akhir pembahasan ini, tepat kiranya kita angkat kembali

pertanyaan yang sempat muncul di sela-sela pembahasan

sebelumnya, seperti dalam mukadimah, yaitu siapakah

Ahlulbait as. yang mewarisi imamah atau kepemimpinan

politik, ideologi, hukum dan peradaban dari Rasulullah

saw. sampai Hari Kiamat?

Saya katakan, sebetulnya masalah ini terlalu jelas sehingga

tidak ada alasan lagi bagi seseorang untuk ragu di

sana. Karena tidak mungkin Rasulullah saw. menyerahkan

kepemimpinan umat Islam ke dalam urusan halal, haram,

pokok-pokok agama dan cabangnya sepanjang zaman sampai

Hari Kiamat nanti kepada umat yang tak terbatas. Maka

dari itu, sudah menjadi kelaziman bahwa umat itu harus

terbatas, jelas dan populer.

Sepanjang sejarah Islam, kita tidak melihat sekelompok

manusia dari keluarga Rasulullah saw. yang secara jelas dan

tegas menyatakan kepemimpinannya kepada umat Islam

selain dua belas imam yang masyhur dari Ahlulbait as. Dua

belas imam ini yang diyakini oleh pengikut Syi’ah. Ilmu,

perjuangan, pemahaman, dan literatur warisan mereka telah

sampai pada kita dalam ratusan jilid kitab yang diwariskan

oleh ulama mazhab Ahlulbait as. dari generasi ke generasi.

Mereka yakin bahwa imam dua belas itulah pewaris

Rasulullah saw. dalam kepemimpinan politik dan hukum.

Merekalah manusia-manusia suci setelah beliau.

Hadis-hadis Dua Belas Imam setelah Rasul saw.

Terdapat hadis dari Rasulullah saw. yang diriwayatkan

secara sahih dengan berbagai jalur yang tidak bisa diragukan

lagi bahwa keimaman atau kepemimpinan hidayah

yang bijak berada pada dua belas imam setelah Rasulullah

saw., dan mereka semua dari Quraisy. Riwayat-riwayat ini

sahih juga diakui kebenarannya oleh Muhammad bin Ismail

Bukhari dalam Shahih[198] , Muslim bin Hajjaj Nisyaburi dalam

Shahih[199] , Tirmidzi dalam Shahih[200] , Hakim dalam Mustadrak[201] ,

Ahmad bin Hanbal di berbagai tempat dalam Musnad[202] dan

penghafal-penghafal hadis nabi yang lain.

Di samping itu, kita tidak menemukan di dalam sejarah

Islam dua belas amir atau imam yang adil secara berturutturut,

“Perkara ini tidak akan berakhir sebelum bilangan mereka

sempurna”, “Dan agama senantiasa tegak sampai dua belas imam

ini ada”, “Bilangan mereka seperti bilangan naqib atau pemimpin

bani Israel” dan ibarat lainnya yang disinyalir oleh riwayatriwayat

yang shahih…

Saya katakan bahwa kita tidak melihat dua belas imam

atau amir yang adil dalam sejarah Islam dengan kriteria

yang jelas selain imam-imam Ahlulbait as. yang berjumlah

dua belas dan sudah dikenal serta diyakini oleh Syi’ah

Ahlulbait as. Apabila ini kita tolak, maka hadis Rasulullah

saw. ini tidaklah benar dan tidak berfakta, dan tak seorang pun yang masih shalat ke arah Ka'bah akan mengatakan

Rasulullah saw. berkata salah dan dusta.

Ayat Thathhir (Penyucian)

Bukti lain atas apa yang telah kami sebutkan sebelumnya

adalah ayat penyucian (tathhir) sebagaimana terdapat dalam

surah al-Ahzab:

﴿ اِمنََّا يُرِيدُ اللهُ لِيُذهِبَ عَنكُمُ ال رِجسَ أهلَ البَيتِ وَ يُطَ هرَكُم تَطهِيرًا ﴾

“Sesungguhnya Allah hanya hendak menyingkirkan noda

dari kalian, Ahlulbait, dan menyucikan kalian sesucisucinya”.[203]

Muslimin sepakat bahwa ketika ayat penyucian ini turun,

Rasulullah saw. hanya memasukkan Ali bin Abi Thalib as.,

Fathimah Zahra sa., Hasan as. dan Husain as. ke dalam

selimut.[204]

Banyak sekali hadis-hadis yang diriwayatkan secara

shahih dari Rasulullah saw. yang mengatakan bahwa beliau

mendefinisikan Ahlulbait as. pada saat itu hanya pada mereka

berlima. Beliau bersabda saat firman penyucian ini

turun: “Ya Allah, mereka adalah Ahlulbaitku—beliau menunjuk

pada Ali bin Abi Thalib, Fatimah, Hasan dan Husain as.—maka

hilangkan noda dari mereka dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya”.

Segera Ummu Salamah menimpali dengan sebuah pertanyaan:

“Apakah aku bersama mereka wahai Nabi Allah?”. Beliau

menjawab: “Kamu tetaplah pada tempatmu, sesungguhnya kamu di

atas kebaikan”.[205]

Hadis-hadis yang membatasi Ahlulbait ini hanya pada

lima manusia suci tersebut banyak sekali, dan banyak juga dari riwayat-riwayat itu yang sahih. Namun, bukan tempatnya

di sini untuk mendiskusikannya. Hadis-hadis itu

diriwayatkan oleh Tirmidzi, Thahawi, Ibn Atsir Jazri, Hakim

Nisyaburi dalam Mustadrak, dan Suyuthi dalam Durul Mantsur

meriwayatkannya dari berbagai jalur. Hadis-hadis itu

adalah sahih, jelas dan secara tegas menentukan bahwa

Ahlulbait tersebut adalah manusia-manusia yang beliau

kumpulkan di bawah kisa'.

Pada waktu itu, selama enam bulan, Rasulullah saw.

setiap kali keluar rumah untuk shalat subuh dan melewati

pintu rumah Fatimah Zahra sa. berhenti di depan pintu itu

seraya bersabda: “Shalat wahai Ahlulbait, innama yuridullohu

liyudzhba ankumur rijsa ahlalbaiti wa yutohhirokum tathhiro”.[206]

Suyuthi ketika menafsirkan ayat “Wa’mur ahlaka bis

sholati” dalam Durul Mantsur, meriwayatkan hadis dari Abu

Sa’id Khudri yang berkata: “Ketika ayat “Innama yuridullohu

liyudzhiba ankumur rijsa ahlalbaiti wa yutohhirokum tathhiro”

turun, delapan bulan Rasulullah saw. selalu datang ke pintu

rumah Ali bin Abi Thalib as. menjelang waktu shalat Subuh

seraya bersabda: “Perhatian! Kini tibalah waktu shalat,

semoga Allah merahmati kalian innama yuridullohu liyudzhiba

ankumur rijsa ahlalbaiti wa yutohhirokum tathhiro.[207]

Semua itu berlangsung di hadapan sahabat-sahabat

Rasulullah saw. Dengan cara ini, beliau hendak menentukan

maksud dari Ahlulbait dalam ayat tersebut yang Allah swt.

telah membersihkan mereka dari segala noda dan menyucikan

mereka sesuci-sucinya. Dan ketika sudah jelas bahwa

mereka berempat (Ali, Fatimah, Hasan dan Husain) termasuk

Ahlulbait as. yang dibersihkan dari noda dan disucikan

sesuci-sesucinya, maka melalui mereka juga kita dapat mengetahui ihwal Ahlulbait as. yang melanjutkan serta

meluaskan imamah dan kepemimpinan hukum sampai

akhir zaman. Mereka berlima adalah yang orang-orang

dinyatakan oleh al-Qur’an sebagai manusia-manusia suci.

Itu berarti mereka tidak akan berkata kecuali kebena-ran

dan kenyataan. Keimaman atau kepemimpinan hukum dan

peradaban akan bersambung dengan adanya mereka secara

berantai dan beurutan, sebagaimana diwasiatkan oleh imam

sebelumnya sampai berujung pada imam pertama, yaitu Ali

bin Abi Thalib as.

Dengan demikian, tampak jelas siapa imam dua belas

yang dimaksudkan oleh hadis Rasulullah saw. tersebut.[]