KEBENARAN SEJATI

KEBENARAN SEJATI0%

KEBENARAN SEJATI pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Akidah

KEBENARAN SEJATI

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

pengarang: Tim penyusun Majma' 'Alami li Ahli Bayt
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Pengunjung: 4442
Download: 6099

Komentar:

Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 8 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 4442 / Download: 6099
Ukuran Ukuran Ukuran
KEBENARAN SEJATI

KEBENARAN SEJATI

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Mazhab Syiah

Ja’fariyah

1.

Mazhab Syiah Ja’fariyah adalah sekelompok

besar dari umat Islam pada

masa sekarang ini. Jumlah mereka

diperkirakan seperempat dari jumlah

keseluruhan umat Islam. Latar belakang

sejarahnya berakar dari masa

permulaan Islam, yaitu saat turunnya

sebuah ayat dari surah Al-Bayyinah:

إِّنَّ الَّذِّينَ آمَنُوا وَعَمِّلُوا

الصَّالِّحَاتِّ أُو لَئِّكَ هُمْ خَيْرُ

الْبَرِّيَّة

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman

dan beramal shaleh, mereka adalah sebaikbaiknya

penduduk bumi.”[2]

Selekas itu, Rasulullah saw. meletakkan

tangannya di atas pundak Ali bin Abi

Thalib a.s., sedang para sahabat hadir

dan menyaksikannya, seraya bersabda,

“Wahai Ali! Engkau dan pengikutmu

(syiah) adalah sebaik-baiknya penduduk

bumi.”[3]

Dari sinilah kelompok ini disebut dengan

nama ‘Syiah’, dan dinisbatkan

kepada Ja’far Al-Shadiq a.s. karena

mengikuti beliau dalam bidang fiqih.

2.

Banyak dari kelompok ini yang tinggal

di Iran, Irak, Palestina, Afganistan,

India, dan tersebar secara luas ke

negara-negara republik yang memisahkan

diri dari Rusia, juga ke negaranegara

Eropa, seperti Inggris, Jerman,

Perancis, Amerika, dan benua Afrika

serta Asia timur. Mereka memiliki

masjid-masjid, pusat-pusat kegiatan

budaya dan sosial.

3.

Kaum Syiah Ja’fariyah terdiri dari

bangsa, suku, bahasa dan warna yang

berbeda-beda. Mereka hidup secara

berdampingan dengan saudara-saudara

Muslim yang lain dari golongan

dan mazhab yang berbeda dengan penuh kedamaian dan kasih sayang.

Mereka juga saling membantu dan

bekerja sama di segala bidang dengan

penuh kejujuran dan ketulusan. Ini

semua berpijak pada ayat Al-Quran:

إِّنَّمَا الْمُؤْمِّنُونَ إِّخْوَةٌ

“Sesungguhya orang-orang

mukmin adalah saudara.”[4]

Dan firman Allah swt.:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبر وَالتَّقْوَى

“Saling tolong-menolonglah dalam

kebaikan dan taqwa.”[5]

Juga sabda Nabi saw.,

 “Orang-orang

Muslim satu sama lainnya laksana tangan yang satu.”[6]

Demikian sabda

lain dari beliau,

“Orang-orang mukmin

(satu sama lainnya) seperti satu

tubuh.”[7]

4.

Sepanjang sejarah Islam, mereka memiliki

sikap yang disegani dan posisi

yang cemerlang dalam membela Islam

dan kaum Muslimin. Mereka juga

telah mampu mendirikan pemerintahan

dan negara yang berkhidmat pada

peradaban Islam. Begitu juga, mereka

memiliki ulama-ulama serta ahli-ahli

yang telah menyumbangkan tenaga

dan seluruh pikiran mereka untuk

memperkaya warisan-warisan Islam

dengan cara menulis ratusan ribu

karangan, buku-buku kecil dan besar di bidang tafsir       Al-Quran, Hadis,

Kalam, Fiqih, Ushul Fiqih, Akhlak,

Dirayah, Rijal, Filsafat, sistem sosial

dan politik, Bahasa dan Sastra, bahkan

Kedokteran, Fisika, Kimia, Matematika,

Astronomi, ilmu-ilmu biologi, dan cabang ilmu lainnya. Dalam berbagai disiplin ilmu mereka berperan sebagai perintis dan pencetus aneka bidang keilmuan.[8]

5.

Mereka percaya kepada Allah Yang

Maha Esa, tempat bergantung segala

sesuatu, yang tidak beranak, tidak pula diperanakkan, serta tak ada sekutu

bagi-Nya. Mereka menafikan dari

Allah swt. segala sifat kebendaan, anak,

tempat, zaman, perubahan, gerak, naik

dan turun, dan lain sebagainya yang

tidak layak bagi keagungan, kesucian,

kesempurnaan dan keindahan wujud-

Nya. Mereka juga meyakini bahwa

hanya Dialah yang layak disembah,

bahwa hukum serta syariat hanyalah

milik dan hak-Nya, dan bahwa kemusyrikan

dengan segala macamnya,

secara terbuka maupun rahasia, adalah

kezaliman yang amat besar dan dosa

yang tak terampuni.

Mereka percaya bahwa semua ini dapat

dibuktikan atas dasar akal yang sehat

dan sejalan dengan Al-Quran dan hadis

sahih, dari manapun sumbernya.

Mereka tidak bersandar pada hadis hadis Israiliyyat dalam bidang apa pun,

tidak pula mengambil ajaran dari hadis

yang diriwayatkan oleh orang-orang

Majusi yang menggambarkan Allah

swt. dengan bentuk manusia, menyerupakan-

Nya dengan makhluk, atau

menisbatkan perbuatan zalim dan

kesia-siaan kepada-Nya. Sesungguhnya

Allah Mahasuci dan Mahaluhur dari

apa yang mereka duga atau mereka

menisbatkan perbuatan tercela kepada

para nabi a.s. secara mutlak.

6.

Mereka meyakini bahwa Allah swt.

Mahaadil dan Maha Bijaksana; Dia

menciptakan alam semesta atas dasar

keadilan dan kebijaksanaan. Dia tidak

pernah menciptakan sesuatu secara siasia,

baik benda-benda mati, tumbuhtumbuhan,

hewan, manusia, langit

atau bumi, karena kesia-siaan itu bertentangan dengan keadilan dan kebijaksanaan,

juga bertentangan dengan

sifat-Nya, serta penafian segala kekurangan

dari zat-Nya.

7.

Mereka meyakini bahwa Allah swt.

dengan keadilan dan kebijaksanaan

Nya telah mengutus kepada manusia

para nabi dan rasul yang diangkat

sebagai manusia-manusia maksum dan

memiliki pengetahuan yang luas, yang

bersumber dari wahyu untuk memberi

hidayah kepada manusia, membantu

mereka mencapai kesempurnaan yang

diharapkan, dan mengarahkan mereka

kepada ketaatan yang mendatangkan

surga, dan menyampaikan mereka kepada

rahmat dan keridhaan Allah swt.

Di antara para nabi dan rasul itu

adalah Adam a.s., Nuh a.s., Ibrahim

a.s., Musa a.s. dan nama-nama lainnya yang telah disebutkan Al-Quran, atau

yang disebutkan nama dan keadaankeadaan

mereka dalam hadis-hadis

yang mulia.

8.

Mereka percaya bahwa siapa yang

taat kepada Allah swt., melaksanakan

perintah dan hukum-Nya dalam segala

bidang kehidupan, akan selamat dan

beruntung, serta layak mendapatkan

pujian dan pahala, meskipun ia hamba

sahaya dari Afrika. Dan sebaliknya,

siapa yang bermaksiat kepada Allah

swt. dan mengabaikan segala perintah-

Nya dan menerapkan hukum selain

hukum Allah, akan rugi dan layak

mendapatkan kutukan dan siksa, meskipun

ia seorang tuan dari bangsa

Quraisy, sebagaimana yang terdapat

dalam hadis Nabi saw.

Mereka meyakini bahwa tempat pahala

dan siksa adalah Hari Kiamat, yang di

dalamnya terdapat perhitungan, timbangan,

surga, dan neraka. Itu semua

akan terjadi setelah melewati alam

kubur dan alam barzakh. Mereka juga

menolak reinkarnasi (tanâsukh) yang

dianut oleh sebagian pengingkar Hari

Kebangkitan, karena mempercayainya

berarti mendustakan Al-Quran dan

hadis-hadis Nabi saw.

9.

Mereka meyakini bahwa nabi, rasul

terakhir dan yang paling utama adalah

Muhammad bin Abdillah bin Abdul

Muthalib saw., yang telah dijaga dari

kesalahan dan ketergelinciran, dan

Allah telah memeliharanya dari segala

maksiat, baik yang besar maupun

yang kecil, sebelum dan sesudah

menjadi nabi, dalam tablig maupun di luar tablig. Dan Allah swt. telah menurunkan

Al-Quran kepadanya untuk

dijadikan sebagai pedoman hidup

manusia sepanjang masa. Nabi saw.

telah meyampaikan risalah Allah swt.

dan menunaikan amanat-Nya dengan

benar dan ikhlas. Kaum Syiah mempunyai

puluhan ribu karya di bidang

penulisan sirah nabawi, kepribadian,

sifat-sifat, keistimewaan dan mukjizatmukjizat

Nabi saw.[9]

10.

Mereka meyakini bahwa Al-Quran

kitab suci yang diturunkan kepada

Rasulullah saw. melalui Jibril a.s. dan

ditulis oleh sekelompok sahabat besar generasi pertama. Di antara mereka

adalah Ali bin Abi Thalib a.s. pada

masa Nabi saw. dan melakukan penulisan

wahyu di bawah pengawasannya.

Dengan perintah dan petunjuknya,

mereka menghafal dan menyempurnakannya,

menghitung huruf-hurufnya,

kata-katanya, surat-surat dan ayat-ayatnya.

Lalu mereka mengamanatkan ke

generasi berikutnya. Kitab suci inilah

yang dibaca kaum Muslimin saat ini

dengan berbagai macam kelompok,

siang dan malam, tanpa ada penambahan,

pengurangan dan perubahan.

Kaum Syiah dalam bidang ini memiliki

karya-karya tulis yang banyak, baik

yang besar maupun yang kecil.[10]

11.

Mereka meyakini bahwa tatkala

Rasulullah saw. sudah dekat ajalnya,

beliau mengangkat Imam Ali bin Abi

Thalib sebagai khalifah dan pemimpin

umat Islam sepeninggalnya secara

politis. Beliau mengarahkan mereka

kepada Imam Ali untuk mengikutinya,

baik dalam pemikiran atau dalam

pemecahan persoalan hidup mereka,

dan meneruskan pendidikan dan pembinaan

mereka. Pengangkatan itu atas

dasar perintah dari Allah swt. di sebuah

tempat yang dikenal dengan

nama “Ghadir Khum” di akhir usia

dan haji terakhir beliau, dan di tengah

kumpulan manusia yang ikut berhaji

dengan Nabi saw. Menurut sebagian riwayat, jumlah mereka lebih dari 100

ribu orang.

Pada kesempatan itu, beberapa ayat

Al-Quran telah turun, di antaranya:

يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا

أُنزِّلَ إِّلَيْكَ مِّن رَّ بِّكَ وَإِّن

لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ

رِّسَالَتَهُ وَا للّ ه ُ يَعْصِّمُكَ مِّنَ

النَّاسِّ إِّنَّ ا للّهَ لاَ يَهْدِّي

الْقَوْمَ الْكَافِّرِّين

 “Hai Rasul! Sampaikanlah apa yang

diturunkan kepadamu dari Tuhanmu,

dan jika engkau tidak

melaksanakannya berarti engkau tidak

menyampaikan risalah-Nya. Dan

Allah akan melindungimu dari

manusia. Sesungguhnya Allah tidak akan memberi pentunjuk kepada kaum

yang kafir.”[11]

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِّينَكُمْ

وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِّعْمَتِّي وَرَضِّيتُ

لَكُمُ الإِّسْلاَمَ دِّينًا

“Pada hari ini Aku sempurnakan untukmu

agamamu dan Aku cukupkan nikmat-Ku

kepadamu dan Aku relakan Islam sebagai

agamamu.”[12]

الْيَوْمَ يَئِّسَ الَّذِّينَ كَفَرُواْ مِّن

دِّينِّكُمْ فَلاَ تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْن

“Pada hari ini orang-orang kafir telah putus

asa dari agamamu, maka janganlah kamu

takut kepada mereka dan takutlah

kepada-Ku.”[13]

سَأَلَ سَائِّلٌ بِّعَذَابٍ وَاقِّع لِّلْكَافِّرينَ لَيْسَ لَهُ دَافِّع

“Seorang penanya bertanya tentang suatu

kejadian ke atas orang-orang kafir, azab

yang tidak ada penghalang (langsung).”[14]

Begitu juga Nabi saw. meminta umat

Islam agar berbaiat kepada Imam Ali

dengan berjabat tangannya. Maka mereka

pun segera berbaiat. Dan orang

pertama yang berbaiat dari mereka

adalah tokoh-tokoh Muhajirin dan Anshar,

serta sahabat-sahabat ternama.[15]

12.

Mereka meyakini bahwa imam setelah

Rasulullah saw. harus melakukan apa-apa yang pernah dilakukan beliau

semasa hidup beliau, yaitu tugas-tugas

memimpin dan memberikan petunjuk,

pendidikan dan pengajaran, menjelaskan

hukum-hukum, mengatasi

problematika pemikiran, serta menjelaskan

urusan sosial yang penting.

Maka, imam juga harus menjadi kepercayaan

umat, agar mereka bisa

diarahkan pada ketentraman. Oleh

karena itu, seorang imam menyerupai

Nabi saw. dalam kemampuan dan

sifat, di antaranya kemaksuman

('ishmah) dan ilmu yang luas. Karena,

imam sama seperti Nabi saw. dalam

kewenangan dan tanggung jawab kecuali

menerima wahyu dan kenabian,

sebab kenabian telah tertutup dan

berakhir pada Nabi Muhammad saw.;

beliau adalah penutup para nabi dan rasul. Agamanya adalah pemungkas

seluruh agama, syariatnya pemungkas

seluruh syariat, kitabnya pemungkas

seluruh syariat, kitabnya pemungkas

seluruh kitab. Tidak ada nabi setelahnya,

tidak ada agama setelah agamanya,

tidak ada syariat setelah syariatnya.

Dalam hal ini Syiah memiliki karyakarya

tulis yang banyak dan berbagai

corak.

13.

Mereka meyakini bahwa kebutuhan

umat terhadap pemimpin yang laik

dan maksum, mengharuskan agar tidak

cukup dengan penunjukan Ali a.s.

saja sebagai khalifah dan pemimpin

setelah Nabi, tetapi ini harus berkesinambungan

sampai masa yang panjang

dan sampai akar-akar Islam mengokoh

dan dasar-dasar syariat terjaga,

serta pilar-pilarnya terpelihara dari segala bahaya yang mengancam setiap

akidah dan hukum-hukum Allah swt.

Hendaknya para imam dapat memberikan

contoh praktis dan agenda yang

sesuai dengan kondisi-kondisi yang

akan dialami umat Islam setelahnya.

14.

Mereka meyakini bahwa karena sebab

tersebut di atas dan karena

adanya hikmah yang tinggi, dengan

perintah Allah swt., Nabi saw. telah

menentukan 11 imam setelah Imam

Ali bin Abi Thalib a.s. Dengan demikian,

jumlah mereka adalah 12 imam.

Dalam jumlah ini bahkan nama etnis

mereka (Quraisy) telah disinggung,

meski tidak disebutkan nama dan ciriciri

khasnya, dalam kitab Shahîh

Bukhôrî, Shahîh Muslim, dengan beragam

redaksi, seperti yang diriwayatkan

dari Rasulullah saw., “Sesungguhnya agama ini senantiasa berjalan, tegak,

mulia dan kuat selama di tengah umat

ada dua belas pemimpin atau khalifah

yang semuanya berasal dari Quraisy”

(atau Bani Hasyim, sebagaimana yang

terdapat dalam sejumlah referensi).

Bahkan disebutkan pula nama-nama

mereka dalam sebagian kitab selain

Kutub Al-Sittah, yaitu buku-buku tentang

keutamaan (manâqib), syair dan

sastra. Meskipun hadis-hadis ini tidak

secara langsung menyebutkan dan

menentukan dua belas imam, yaitu

Imam Ali dan 11 imam dari keturunannya,

hanya saja hadis-hadis tersebut

tidak bisa dimaknai kecuali berdasarkan

keyakinan Syiah Ja’fariyah.

Dan tidak ada penafsiran yang relevan untuk hadis-hadis tersebut kecuali

penafsiran mereka.[16]

15.

Syiah Ja’fariyah meyakini bahwa 12

imam itu ialah :

1. Imam Ali bin Abi Thalib Al-Mujtaba

a.s.

2. Imam Hasan Al-Mujtaba a.s.

3. Imam Husain Sayyid Al-Syuhada

a.s. (keduanya adalah putra Imam

Ali dan Sayidah Fatimah a.s. dan

cucunda Nabi saw.).

4. Imam Ali Zainal Abidin Al-Sajjad

a.s.

5. Imam Muhammad bin Ali Al-Bagir a.s.

6. Imam Ja’far bin Muhammad Al-

Shadiq a.s.

7. Imam Musa bin Ja’far Al-Khadzim

a.s.

8. Imam Ali bin Musa Al-Ridha a.s.

9. Imam Muhammad bin Ali Al-Jawad-

Al-Taqi a.s.

10. Imam Ali bin Muhammad Al-

Hadi- Al-Naqi) a.s.

11. Imam Hasan bin Ali Al-‘Askari

a.s.

12. Imam Muhammad bin Hasan

Al-Mahdi Al-Muntazhar a.s. yang dijanjikan

dan dinantikan.

Para ahli sastra terkemuka dari luar mazhab Syiah, baik dari kalangan Arab

ataupun non-Arab, telah membuat

bait-bait puisi secara terinci yang memuat

nama-nama 12 imam seperti:

Haskafi, Ibnu Thulun, Fadhl bin Ruz

Dahan, Al-Jamiy’ Athar Naisyabur

dan Maulawi dari pengikut Imam

Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan imam

lainnya. Di sini kami hanya sebutkan

dua qasidah sebagai contoh: pertama

kasidah Haskafi Al-Hanafi, ulama

abad VI Hijriah:

“Haidar (gelar imam Ali) dan setelahnya

Hasan dan Husain, kemudian

Ali Zainal Abidin dan putranya Muhammad

Al-Bagir.

Ja’far Al-Shadiq dan putranya Musa

Al-Khazim, dan setelahnya

Ali (Al-Ridha) yang menjadi waliyulAhad, kemudian putranya Muhammad

(Al-Jawad).

Kemudian Ali (Al-Hadi) dan putranya

yang benar dan jujur, Hasan (Al-

Askari)

Selanjutnya Muhammad bin Hasan

yang diyakini oleh orang-orang bahwa

mereka adalah imam-imamku, tuanku.

Meskipun orang-orang mencaciku dan

mendustakannya dan mencaci para

imam, ketahuilah, muliakanlah mereka

para imam yang namanya telah terjaga

dan tidak bisa ditolak.

Mereka itu hujah-hujah Allah atas

hamba-Nya, mereka adalah jalan dan

tempat tujuan.

Mereka di waktu siang berpuasa untuk

Tuhan, dan di malam hari mereka rukuk dan sujud di hadapan Tuhan-

Nya”.

Qasidah yang kedua dari Syamsuddin

bin Muhammad bin Thulun Ulama

abad X Hijriah:

“Kalian harus berpegang pada 12 imam

dari keluarga Musthafa Rasul, sebaikbaik

manusia, yaitu

Abu Thurab (imam Ali), Hasan dan

Husain.

Ketahuilah, membenci Ali Zainal Abidin

perbuatan tercela

Muhammad Al-Bagir yang mengetahui

betapa banyak ilmu.

Al-Shadiq yang dipanggil Ja’far di antara

manusia

Musa yang diberi gelar Al-Khazim dan putranya Ali.

Al-Ridha yang tinggi kedudukannya.

Muhammad Al-Taqi yang hatinya

penuh dan makmur dengan cahaya dan

hikmah

Ali Al-Naqi yang mutiara-mutiaranya

tersebar.

Hasan Al-Askaryi yang telah disucikan

Dan muhammad Al-Mahdi yang akan

muncul.

Sesungguhnya mereka adalah Ahlul

Bait yang, berdasarkan perintah Allah

swt., telah ditentukan oleh Nabi saw.

sebagai pemimpin umat Islam, karena

kemaksuman dan kesucian mereka

dari kesalahan dan dosa, dan karena

ilmu mereka yang luas yang telah

mereka warisi dari Nabi saw. yang telah memerintahkan kita untuk mencintai

dan mengikuti mereka. Dalam

hal ini Allah swt. berfiman:

قُل لَّا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِّ أَجْرًا إِّلَّا

الْمَوَدَّةَ فِّي الْقُرْبَى

“Katakan hai Muhammad, Aku tidak

meminta kepada kalian upah atas apa

yang aku lakukan kecuali kecintaan

kepada keluargaku.”[17]

Dan dalam ayat yang lain Allah swt.

berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِّينَ آمَنُواْ

اتَّقُواْ ا للَّ ه وَكُونُواْ مَعَ

الصَّادِّقِّين

“Hai orang-orang yang beriman,

bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang benar.”[18]

16.

Syiah Ja’fariyah meyakini bahwa

para imam suci dimana sejarah belum

pernah mencatat dari mereka penyelewengan

atau kemaksiatan, baik

dalam ucapan ataupun perbuatan,

dengan bekal ilmu yang luas telah

berkhidmat kepada umat Islam dan

memperkaya mereka dengan pengetahuan

yang dalam serta pandangan

yang benar dalam akidah, syariat,

akhlak, sastra, tafsir, sejarah serta

membuka cakrawala masa depan.

Demikian juga, mereka telah mendidik

atau membina melalui ucapan

atau perbuatan sekelompok laki-laki

dan perempuan yang unggul di mana

semua orang telah mengenal mereka dengan keutamaannya, ilmunya dan

kebaikan prilakunya.

Syiah Ja’fariyah memandang bahwa

meskipun para imam telah dijauhkan

dari kedudukan kepemimpinan politis,

tetapi mereka telah menunaikan dan

menyampaikan misi intelektual dan

tugas sosial mereka dengan sebaikbaiknya,

karena mereka telah menjaga

dasar-dasar akidah dan pilar-pilar syariat

dari ancaman penyimpangan.

Sekiranya umat Islam memberikan

kesempatan kepada para imam untuk

melakukan peran politik yang telah

Nabi saw. berikan kepada mereka (para

imam) atas dasar perintah Allah swt.,

niscaya umat Islam akan mencapai

kebahagian dan kemuliaan, serta keagungannya

secara penuh, dan mereka

akan menjadi satu, bersatu, dan tidak mengalami perpecahan, ikhtilaf, pertentangan,

peperangan, saling bunuhmembunuh,

dan mereka tidak hina

dan diremahkan.

17.

Dengan menunjuk dalil-dalil

Naqli dan Aqli, yang begitu banyak

disebutkan dalam buku-buku Akidah,

mereka meyakini bahwa umat Islam

hendaknya mengikuti Ahlul Bait Nabi

saw., dan senantiasa berada di jalannya,

karena jalan Ahlul Bait adalah

jalan yang telah digariskan oleh Nabi

saw. untuk umat dan beliau telah

mewasiatkan kepada umat agar menapaki

jalan mereka dan berpegang teguh

pada mareka, sebagaimana dalam

hadis “Tsaqalain” yang mutawatir,

seraya berkata:

“Sesungguhnya aku telah tinggalkan

untuk kalian dua pusaka: kitabullah (Al-Quran) dan keturunanku—Ahlul

Bait. Selama berpegang teguh pada

keduanya, kalian tidak akan tersesat.”

Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim

dalam shahihnya dan oleh puluhan

ahli-ahli hadis dan ulama-ulama di

setiap abad.

Begitu pula, pengangkatan khalifah

dan pewasiatan seperti ini adalah hal

yang lazim dalam kehidupan para

nabi-nabi terdahulu.

18.

Syiah Ja’fariyah meyakini bahwa

umat Islam hendaknya mendiskusikan

dan mempelajari masalah-masalah

seperti ini dengan menjauhkan diri

dari fitnah, prasangka, caci maki,

tuduhan yang tak beralasan. Dan hendaknya

para ulama dan cendikiawan

dari seluruh kelompok dan golongan Islam berkumpul dalam forum-forum

ilmiah, mempelajari dengan lapang

dada dan ikhlas serta dengan semangat

persaudaraan dan kejujuran

seputar klaim-klaim saudara-saudara

mereka dari kaum Syiah Ja’fariah,

serta dalil-dalil yang mereka bawakan

untuk membuktikan pendapat dan

pandangannya berdasarkan Al-Quran,

hadis mutawatir dari Rasulullah saw.,

akal sehat, fakta sejarah, keadaan

politik dan sosial secara umum pada

masa Nabi saw. dan setelahnya.

19.

Syiah Ja’fariyah meyakini bahwa

para sahabat dan orang-orang yang

berada di sekeliling Nabi dari kaum

laki-laki dan perempuan telah berkhidmat

kepada Islam dan mereka

telah mengerahkan seluruh jiwa dan

raga di jalan penyebaran Islam.

Hendaknya umat Islam menghormati

mereka, menghargai perjuangan dan

bakti mereka serta memohon kerelaan

mereka. Hanya saja, hal ini tidak

berarti menganggap semua yang hidup

semasa Nabi saw. sebagai manusiamanusia

yang mutlak adil, tidak pula

berarti sebagian sikap dan perbuatanperbuatan

mereka tidak bisa dikritik,

karena mereka adalah manusia yang

juga bisa salah dan bisa benar.

Sejarah telah menyebutkan bahwa

sebagian mereka telah menyimpang

dari jalan yang benar meskipun di

masa hidup Nabi saw. Bahkan Al-

Quran secara eksplisit menyebutkan

adanya penyimpangan itu di sebagian

surat dan ayat-ayatnya, seperti surat

Al-Munafiqun, Al-Ahzab, Al-Hujarat,

Al-Tahrim, Fath, Muhammad dan Al-Taubah.

Kritik yang sehat terhadap suatu

golongan tidaklah dinyatakan kafir,

karena tolak ukur iman dan kufur

sangat jelas, yaitu mengakui atau

menafikan tauhid dan kenabian, serta

hal-hal yang sangat mudah dimengerti

(badihi) dari masalah agama, seperti

kewajiban shalat, puasa, haji, haramnya

arak, khamar, judi dan hukumhukum

lainnya.

Memang, lidah harus dijaga dari

perbuatan mencaci maki, juga pikiran

harus dijaga dari cara bernalar yang

dangkal, karena hal ini bukanlah

karakter seorang Muslim yang terdidik,

yang mengikuti prilaku Nabi

Muhammad saw. Bagaimanapun kebanyakan

para sahabat itu adalah orangorang

baik yang layak untuk dihormati dan dimuliakan. Tetapi perlu

diketahui bahwa ketundukan mereka

pada kaidah jarah wa ta’dil (yaitu

sebuah kaidah ilmu Rijal yang mempertimbangkan

kualitas kepribadian

para perawi hadis, -peny.), yaitu

meneliti hadis-hadis Nabi saw. yang

shahih dan dianggap kuat, padahal

telah diketahui pula banyaknya kebohongan

yang telah dinisbatkan kepada

beliau, sebagaimana yang telah banyak

diketahui. Nabi saw. sendiri

bahkan telah mengabarkan akan

terjadinya hal itu, dan kalian pula

yang mendorong ulama-ulama kedua

kelompok (Sunnah-Syiah) seperti: Suyuthi,

Ibnu Jauzi dan lain-lain untuk

menulis buku-buku yang berbobot

yang dapat menyaring mana hadis

yang benar-benar keluar dari Nabi dan mana hadis maudhu’ (palsu).

20.

Syiah Ja’fariyah meyakini adanya

Imam Mahdi a.s. yang dinanti

berdasarkan riwayat-riwayat yang

begitu banyak dari Nabi saw. yang

menyebutkan bahwa dia dari keturunan

Siti Fatimah, dan dia keturunan

yang kesembilan dari Imam Husain

a.s., karena anak atau keturunan yang

kedelapan dari Imam Husain adalah

Imam Hasan Al-Askari yang telah

meninggal pada tahun 260 H dan

tidak mempunyai anak kecuali anak

laki-laki yang bernama Muhammad.

Dialah Imam Mahdi a.s. yang diberi

nama panggilan Abul Qasim. Banyak

orang-orang terpercaya dari umat

Islam yang telah melihatnya. Dan

mereka telah mengabarkan akan kelahirannya,

ciri-ciri khasnya, keimama hannya dan pernyataan ayahnya yang

menetapkan kepemimpinannya.

Imam Mahdi a.s. telah gaib setelah 50

tahun dari kelahirannya, karena

musuh-musuh ingin membunuhnya.

Oleh karena itu, Allah swt. menyimpannya

untuk menegakkan pemerintahan

yang adil, universal pada akhir

zaman, dan mensucikan bumi dari

kezaliman dan kerusakan setelah dipenuhi

oleh keduanya.

Maka tidak aneh dan tidak pula

mengherankan akan panjangnya usia

Imam Mahdi a.s. dan masih hidup

sampai sekarang, meskipun sudah

melampaui abad 20 dari kelahirannya.

Sebagaimana Nabi Nuh a.s. pernah

hidup sampai 950 tahun di tengah

umatnya, dan menyeru mereka kepada

Allah swt., atau Nabi Haidir a.s. yang hidup sampai saat ini.

Allah swt. Mahakuasa atas segala sesuatu,

dan kehendaknya berjalan tanpa

ada yang bisa mencegah dan menolaknya.

Bukankah Allah swt. telah

menegaskan ihwal Nabi Yunus a.s.

dalam firmannya:

فَلَوْلَا أَنَّهُ كَانَ مِّنْ الْمُسَبحِّينَ

لَلَبِّثَ فِّي بَطْنِّهِّ إِّلَى يَوْمِّ

يُبْعَثُون

“Maka, sekiranya ia tidak termasuk

orang-orang yang banyak mengingat Allah,

niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan

itu sampai Hari Kebangkitan.”[19]

Sebagian besar ulama Ahli Sunnah

meyakini kelahiran Imam Mahdi a.s.

dan keberadaannya, dan mereka menyebutkan

nama kedua orang tuanya,

serta sifat-sifatnya. Di antara mereka

ialah:

1. Abdul Mu’min Syablanji Al-

Syafi’i dalam Al-Abshûr fi Manâqib

Nabî Al-Muchtâr.

2. Ibnu Hajar Haitami Makki Al-

Syafi’i, Al-Showâ‘iq Al-Muhriqah. Ia

menulis, “Dialah Al-Hujjah, ditinggal

wafat oleh ayahnya pada usia lima

tahun, tetapi Allah swt. memberikan

hikmah padanya. Dia juga disebut

sebagai “Al-Qaim Al-Muntazhar”.

3. Al-Qunduzi Al-Hanafi Al-

Balkhi dalam bukunya, Yanâbî‘ Al-

Mawaddah, yang dicetak di ibukota

Turki masa Dinasti Otoman.

4. Sayyid Muhammad Shiddiq Hasan Al-Qanuji Al-Bukha dalam Al-

Izhaa’ah li man Kana wa man Yakunu

baina Yaday Al-Sâ’ah.

Mereka ini termasuk ulama-ulama

terdahulu. Adapun dari ulama-ulama

mutakhir seperti: Dr. Musthafa Rafi’i

dalam bukunya Islâmunâ, telah

memaparkan masalah ini secara

panjang lebar dan menjawab seluruh

kritik seputar masalah ini.

21.

Kaum Syiah Ja’fariyah melakukan

shalat, puasa, haji, membayar khumus

(1/5) dari pendapatan mereka, haji ke

Mekkah yang mulia, melaksanakan

manasik umrah dan haji seumur

hidup sekali, memerintahkan yang

makruf dan melarang yang munkar,

berpihak kepada wali-wali Allah dan

para nabi-Nya, dan memusuhi musuh-musuh Allah dan musuh-musuh nabi-

Nya, berjihad di jalan Allah terhadap

setiap orang kafir atau musyrik yang

terang-terangan memerangi Islam,

dan terhadap setiap orang yang berbuat

makar terhadap umat Islam.

Mereka melakukan kegiatan-kegiatan

ekonomi, sosial, keluarga, seperti jual

beli, penyewaan, nikah, talak, warisan,

pendidikan, menyusui, hijab dan lain

sebagainya, sesuai dengan hukumhukum

Islam yang benar dan lurus.

Mereka mengamalkan hukum-hukum

ini dari proses ijtihad yang dilakukan

oleh ulama-ulama ahli fiqih mereka

yang warak dengan berdasarkan pada

hadis yang shahih, hadis-hadis Ahlul

Bait, akal dan ijma’ ulama.

22.

Mereka percaya bahwa setiap kewajiban yang bersifat harian memiliki

waktu tertentu, dan waktu-waktu

shalat harian adalah Subuh, Zuhur,

Ashar, Maghrib dan Isya. Yang paling

penting adalah melakukan setiap

shalat pada waktunya yang khusus.

Hanya saja, mereka melakukan jamak

antara dua shalat Zuhur dan Ashar

dan antara Magrib dan Isya karena

Rasulullah saw. melakukan jamak dua

shalat tanpa uzur, tanpa sakit dan

tidak dalam berpergian, sebagaimana

yang disebutkan dalam Shahih Muslim

dan kitab hadis lainnya, “Sebagai

keringanan untuk umat serta untuk

mempermudah bagi mereka”. Dan itu

telah menjadi masalah biasa pada

masa kita sekarang ini.

23.

Mereka mengumandangkan azan

sebagaimana azannya umat Islam yang lain. Bedanya, setelah bait hayya

‘alal falâh, mereka menyebutkan hayya

‘alâ khayril ‘amal, karena bait ini telah

ada sejak zaman Nabi saw. Hanya

saja, pada zaman Umar bin Khaththab,

bait itu dihapus atas dasar

ijtihad pribadinya, dengan alasan

bahwa hal itu dapat memalingkan

umat Islam dari berjihad, padahal

mereka tahu bahwa shalat adalah

sebaik-baik perbuatan sebagaimana

pengakuan Allamah Qusyji Al-Asy‘ari

dalam Syarh Tajrîd Al-I’tiqad, Al-

Mushannaf, Muttaqi Hindi, Kanz Al-

Ummal.

24.

Umar bin Khaththab telah

menambahkan sebuah bait Ashalâtu

khairul minan Naûm, dimana bait ini

tidak pernah ada di zaman Nabi saw.

Dan sesungguhnya ibadah dan syaratsyaratnya

dalam Islam harus berdasarkan

pada perintah dan izin syariat

yang suci. Artinya, segalanya harus

berlandaskan pada nash yang khusus

ataupun yang umum dari Al-Quran

dan hadis. Bila tidak, maka hal itu

dikatakan sebagai bid’ah yang tertolak.

Oleh karena itu, dalam ibadah,

bahkan dalam setiap masalah syariat,

tidak boleh ada penambahan atau

pengurangan atas dasar pendapat

pribadi.

Adapun apa yang ditambahkan Syiah

Ja’fariyah setelah bait syahadah kepada

Rasulullah saw. (Asyhadu anna

Muhammadan Rasûlullah), yaitu bait

Asyhadu anna Aliyan waliyullah, adalah

karena adanya riwayat-riwayat dari Nabi saw. dan Ahli Baitnya a.s. yang

menjelaskan bahwa tidaklah disebutkan

kalimat “Muhammad Rasulullah”

atau tidaklah ditulis kalimat tersebut

di atas pintu surga, kecuali diikuti

dengan kalimat ‘Aliyan waliyullah, yaitu

sebuah kalimat yang menjelaskan

bahwa Syiah tidak mempercayai kenabian

Ali bin Abi Thalib, apa lagi

sampai mengatakan ketuhanannya.

Karena itu, diperbolehkan membaca

kalimat itu setelah dua syahadat

dengan niat bahwa itu tidak termasuk

bagian atau kewajiban dari azan.

Inilah pendapat mayoritas ulamaulama

ahli fiqih Syiah Ja'fariyah.

Oleh sebab itu, kalimat tambahan

yang dibaca ini bukan bagian dari

azan sebagaimana yang telah kami

katakan. Dengan demikian bukan termasuk dari yang tidak ada pada

mulanya dalam syariat, tidak pula

termasuk bid’ah.

24.

Mereka sujud di atas tanah , debu,

kerikil, atau di atas batu dan apa saja

yang termasuk bagian dari bumi atau

tanah dan yang tumbuh di atasnya,

seperti tikar yang bukan terbuat dari

kain dan bukan pula yang dimakan,

dan yang manis. Karena ada banyak

riwayat di dalam sumber-sumber

Syiah dan Ahli Sunnah, bahwa kebiasaan

Nabi saw. adalah sujud di atas

debu atau tanah, bahkan memerintahkan

Muslimin agar mengikutinya.

Suatu hari, Bilal sedang sujud di atas

sorban, karena takut akan panas yang

menyengat. Maka Nabi saw. menarik

sorban dari dahinya dan berkata, “Ratakan dahimu dengan tanah, hai

Bilal!” Begitu juga, Nabi saw. pernah

mengatakan kepada Shuhaib dan Rabah,

“Ratakan wajahmu, hai Shuhaib,

dan ratakan pula wajahmu, wahai

Rabah!”

Sebagaimana yang disebutkan dalam

Sahih Bukhari dan lainnya, Nabi saw.

juga bersabda, “Bumi atau tanah ini

telah dijadikan untukku sebagai tempat

sujud yang suci.”

Oleh karena itu, sujud dan meletakkan

dahi di atas tanah merupakan hal

yang paling layak dihadapan Allah

swt., dimana hal itu mendatangkan

kekhusyukan dan cara terdekat untuk

merendahkan diri di hadapan Allah

swt., juga dapat mengingatkan manusia

akan asal muasal wujudnya.

Allah swt. berfiman:

مِّنْهَا خَلَقْنَاكُمْ وَفِّيهَا

نُعِّيدُكُمْ وَمِّنْهَا نُخْرِّجُكُمْ تَارَةً

أُخْرَى

“Dari bumi (tanah) itulah kami

menjadikan kamu dan kepadanya kami

akan kembalikan kamu sekalian, serta

darinya kami akan mengeluarkan

(membangkitkan) kamu pada kali yang

lain.”[20]

Sesungguhnya sujud adalah puncak

ketundukan yang tidak bisa terealisir

dengan sujud di atas sajadah, karpet

atau batu-batuan permata yang berharga.

Puncak ketundukan itu hanya

terealisir dengan meletakkan anggota

badan yang paling mulia, yaitu dahi,

di atas benda yang paling murah dan sederhana, yaitu tanah.[21]

Tentunya, debu tersebut harus suci.

Orang-orang Syiah selalu membawa

sepotong dari tanah yang sudah

dipres dan sudah jelas kesuciaannya.

Mungkin juga tanah ini diambil dari

tanah yang penuh berkah, seperti

tanah Karbala. Di sanalah Imam

Husain (cucu Rasulullah saw.) gugur

sebagai syahid sehingga tanah itu

penuh berkah. Sebagaimana sebagian

sahabat Nabi saw. menjadikan batu

Mekkah sebagai tempat sujud dalam

perjalanan-perjalanan mereka dan

untuk mendapatkan berkahnya.

Meski demikian, Syiah Ja’fariyah tidak memaksakan hal itu, juga tidak menyatakannya

sebagai suatu keharusan.

Mereka hanya membolehkan Sujud di

atas batu apa saja yang bersih dan

suci seperti lantai masjid Nabawi

yang mulia dan lantai Masjidil Haram.

Begitu juga, tidak bersedekap (meletakkan

tangan kanan di atas tangan

kiri) ketika melakukan shalat, karena

Nabi saw. tidak pernah melakukan

hal itu, juga karena tidak ada nash

yang kuat dan jelas yang menganjurkan

hal itu. Karenanya, penganut

mazhab Maliki juga tidak melakukan

sedekap dalam shalat.[22]

25.

Syiah Ja’fariyah berwudhu dengan

membasuh kedua tangan; dari sikusiku

sampai ujung jari-jari, bukan

kebalikannya, karena mereka mengambil

cara berwudhu para imam

Ahlul Bait yang telah mengambilnya

dari Nabi saw. Tentunya, para imam

lebih mengetahui dari pada yang

lainnya tentang apa yang dilakukan

oleh kakek mereka. Rasulullah saw.

Telah berwudhu dengan cara demikian

itu, dan tidak menafsirkan kata

(ilaa/الی ) dalam ayat wudhu (Al-

Maidah [5]: 6) dengan kata (ma’a/ .(مع

Hal ini juga dinyatakan Imam Syafi’i

dalam Nihâyat Al-Muhtaj. Begitu juga

dalam berwudhu, mereka mengusap kaki dan kepala (dan tidak membasuh

keduanya), dengan alasan yang sama

yang telah dijelaskan di atas. Juga

karena Ibnu Abbas mengatakan, “Wudhu

itu dengan dua basuhan dan dua

usapan.”[23]

26.

Syiah Ja’fariyah membolehkan nikah

mut’ah berdasarkan nash Al-Quran,

sebagaimana dalam firman-Nya:

فَمَا اسْتَمْتَعْتُم بِّهِّ مِّنْهُنَّ

فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُن

“Maka istri-istri yang telah kalian

nikmati di antara mereka, berikanlah

mahar mereka sebagai suatu kewajiban”.[24]

Di samping itu, para sahabat dan

orang-orang Islam pada masa Rasulullah

saw. sampai pertengahan masa

khilafah Umar bin Khaththab telah

melakukan nikah mut’ah.

Mut’ah adalah pernikahan syar’i yang

persyaratannya sama dengan nikah

permanen (da’im), yaitu:

b. Hendaknya status pihak wanita tidak

bersuami, dan membaca shighah

ijab, sementara pihak laki-laki melaksanakan

shighah kabul.

c. Pihak laki-laki wajib memberikan

harta kepada wanita yang disebut

mahar dalam nikah da’im dan dalam

nikah mut’ah disebut upah, sebagaimana

yang disebutkan dalam Al-

Quran.

d. Wanita harus menjalani iddah (setelah cerai dengan suaminya).

e. Wanita harus menjalani iddah setelah

masa mut’ahnya habis. Apabila

ia melahirkan seorang anak, maka

nasab anak itu ikut kepada ayahnya.

Juga seorang wanita hanya dapat

memiliki satu suami saja.

f. Dalam pewarisan antara anak dan

ayahnya, antara anak dan ibunya, dan

begitu juga sebaliknya.

Yang membedakan nikah da’im dengan

nikah mut’ah adalah bahwa

dalam nikah mut’ah, terdapat penentuan

masa, tidak adanya kewajiban

memberikan nafkah dan masa gilir

atas suami untuk istri mut’ah, tidak

adanya saling mewarisi antara suami

dan istri, tidak perlu adanya talak,

tetapi cukup dengan habisnya masa yang telah ditentukan, atau menghibahkan

sisa masa yang telah di

tentukan tersebut.

Hikmah disyariatkannya nikah semacam

ini adalah tuntunan yang disyariatkan

dan bersyarat untuk kebutuhan

biologis laki-laki dan perempuan

yang tidak mampu menjalankan setiap

kewajiban-kewajiban dalam nikah da’im

(permanen), atau karena adanya halangan

dari istri yang terjadi akibat

kematian atau sebab yang lainnya,

begitu pula sebaliknya. Semua ini

masih dalam rangka membina kehidupan

yang terhormat dan mulia.

Maka itu, nikah mut’ah adalah salah

satu solusi bagi kebanyakan problematika

sosial yang cukup serius dan

berbahaya, dan juga untuk mencegah

terperosoknya masyarakat Islam dalam kerusakan dengan menghalalkan

segala macam cara.

Terkadang, nikah mut’ah digunakan

dengan tujuan agar kedua calon suami

istri saling mengenal sebelum

memasuki jenjang pernikahan permanen.

Hal demikian ini dapat mencegah

perjumpaan yang diharamkan, zina,

mengkebiri, atau cara-cara lain yang

diharamkan seperti masturbasi, bagi

orang yang tidak sabar atas satu orang

istri atau lebih dari satu, misalnya,

secara ekonomi dan nafkahnya, serta

pada saat yang sama dia tidak ingin

terjerumus ke dalam yang haram.

Yang jelas, nikah mut’ah bersandar

pada Al-Quran dan sunnah, dan

sahabat pernah melakukan itu selama

beberapa masa. Seandainya nikah

mut’ah dianggap sama dengan zina, maka itu berarti Al-Quran, Nabi saw.

dan para sahabat telah menghalalkan

zina dan para pelakunya telah berbuat

zina dalam masa yang cukup lama.

Kami berlindung kepada Allah dari

keyakinan seperti ini.

Di samping itu, penghapusan hukum

nikah mut’ah tersebut tidak berdasarkan

Al-Quran dan sunnah, dan

tidak ada dalil yang kuat dan jelas.[25]

Akan tetapi, meskipun Syiah Ja'fariyah

menghalalkan nikah mut‘ah

dengan adanya nash Al-Quran dan

sunnah, mereka sangat menganjurkan

dan mengutamakan nikah daim dan

menegakkan nilai-nilai keluarga, karena hal itu adalah dasar dan pilar

masyarakat yang kuat dan sehat, dan

tidak condong kepada nikah sementara

yang dalam bahasa syariat dinamakan

mut’ah, meskipun halal dan

disyariatkan.

Sehubungan dengan itu, Syiah Ja‘fariyah

bersandar pada Al-Quran, hadis

dan nasehat-nasehat para imam Ahlul

Bait a.s. yang memberikan nilai yang

besar kepada kaum wanita; kedudukan

mereka, masalah-masalah serta

hak-hak mereka, terutama dalam

pergaulan etika seperti: kepemilikan,

nikah, talak, pengasuhan, penyusuan,

ibadah, al-mu’amalat (hukum-hukum

syar’i yang mengatur hubungan kepentingan

individual dan layak untuk

dicermati dalam riwayat-riwayat para

imam dan fiqih mereka).

27.

Syiah Ja’fariyah mengharamkan

zina, homoseks, riba, membunuh

orang yang terhormat, minuman arak,

berjudi, melanggar janji, menipu,

memalsu, menimbun, merampok,

mencuri, khianat, dendam, bernyanyi

dan menari, memfitnah dan menuduh

palsu, adu domba, berbuat kerusakan,

mengganggu orang mukmin, menggibah,

mencaci-maki, berdusta dan

dosa-dosa lainnya, baik yang kecil

ataupun yang besar.

Mereka selalu berusaha selalu menjauhi

semua itu dan mengerahkan

segala upayanya untuk mencegah itu,

agar tidak sampai menimpa masyarakat

dengan berbagai sarananya,

seperti menyebarkan buku-buku dan

masalah-masalah etika dan pendidikan,

serta mendirikan acara-acara pengajian, khotbah Jum’at dan lain

sebagainya.

28.

Mereka peduli pada keutamaan dan

kemuliaan akhlak, selalu menyambut

nasehat dan antusias dalam mendengarkannya.

Mereka mengadakan

majelis pengajian dan acara di rumahrumah,

masjid-masjid dan tempattempat

lainya dalam acara peringatanperingatan

hari-hari besar dan berbagai

peringatan lainnya untuk tujuan

tersebut, karena kecintaan mereka

akan nasehat. Karena itu, mereka

mencurahkan doa-doa yang memiliki

manfaat yang besar, kandungannya

agung, yang datang dari Rasulullah

saw. dan para imam yang suci a.s.

Ahlul Bait Nabinya, seperti; doa

Kumail, doa Abu Hamzah, doa Simaat,

dan Jausyan Kabir (doa yang mencakup seribu nama dari nama-nama

Allah swt.), doa Makarimul Akhlak,

doa Iftitah (yang dibaca setiap bulan

Ramadhan). Mereka membaca doadoa

dan munajat-munajat yang amat

agung kandungannya ini dengan penuh

kekhusyukan dan dalam suasana

yang penuh dengan tangisan dan

kerendahan diri, karena hal itu dapat

membersihkan jiwa-jiwa mereka, serta

dapat mendekatkan mereka kepada

Allah swt.[26]

29.

Mereka memberikan perhatian besar pada makam-makam Nabi saw.

dan para imam Ahlul Bait beliau di

Baqi’, Madinah Al-Munawarah, yang

mana di sana terdapat makam Imam

Hasan Al-Mujtaba, Imam Ali Zainal

Abidin, Imam Muhammad Al-Bagir

dan Imam Ja’far Al-Shadiq a.s.

Di Najaf, Irak, terdapat makam

Imam Ali bin Abi Thalib a.s, dan di

Karbala, makam Imam Husain bin

Ali a.s. beserta saudara-saudaranya,

anak-anaknya, anak-anak pamannya

dan para sahabatnya yang syahid

bersamanya pada Hari Asyura. Juga

di Samarra terdapat makam Imam Al-

Hadi a.s. dan Imam Hasan Al-Askari

a.s.

Di Kazhimain terdapat makam Imam

Al-Jawad a.s. dan Imam Musa Al-

Kazhim a.s. Semua itu berada di Irak.

Dan di kota Masyhad-Iran, terdapat

makam Imam Ali Al-Ridha a.s., serta

di kota Qom dan Syiraz kuburan

putra-putri beliau. Di Damaskus,

Syiria, ada makam pahlawan wanita

Karbala yaitu Sayyidah Zainab a.s. Di

Kairo, Mesir, ada makam Sayyidah

Nafisah a.s. Hal itu karena penghormatan

mereka kepada Rasulullah

saw., karena seorang laki-laki itu terjaga

dalam keturunannya, dan menghormati

keturunan tersebut berarti

menghormati orang tersebut. Al-

Quran telah menyanjung mereka dan

sebagian mereka ada yang bukan

Nabi, Al-Quran mengatakan:

ذُر يَّةً بَعْضُهَا مِّن بَعْضٍ

“Yaitu serta keturunan yang sebagiannya (keturunan) dan yang lain.”[27]

Yaitu, kami akan membangun dan

mendirikan di atas makam-makam

Ashabul Kahfi tempat peribadatan

untuk menyembah Allah swt. di sisi

mereka. Dan Al-Quran mensifati

perbuatan mereka dengan syirik,

pertama, karena seorang Muslim yang

beriman akan berukuk dan bersujud

hanya kepada Allah dan menyembah

hanya kepada-Nya semata.

Seorang mukmin tidak akan datang

ke makam wali-wali Allah yang telah

Allah sucikan, kecuali karena kemuliaan

dan kesucian tempat tersebut

dengan adanya mereka, sebagaimana

yang terjadi pada makam Ibrahim a.s.

yang memiliki kesucian dan kemuliaan,

Allah swt. dalam surat

وَاتَّخِّذُواْ مِّن مَّقَامِّ إِّبْرَاهِّيمَ

مُصَلًّى

“Dan jadikanlah maqam Ibrahim (tempat

berdiri Nabi Ibrahim diwaktu membangun

Ka’bah) tempat mendirikan shalat.”[28]

Orang yang shalat di belakang

makam itu tidak berarti ia telah

menyembah makam, juga orang yang

beribadah kepada Allah swt. dengan

sa’i (lari-lari kecil dalam haji) antara

bukit Shafa dan Marwah bukanlah

orang yang menyembah dua gunung.

Sesungguhnya Allah swt. memiliki

tempat yang suci dan penuh berkah

untuk beribadah kepada-Nya, karena hal itu di nisbatkan kepada Allah swt.

sendiri dalam kembali kepada-Nya.

Begitu juga waktu-waktu dan tempat

itu juga memiliki kesucian, seperti

hari Arafah, tanah Mina. Sebab

kesucian tempat-tempat dan hari-hari

itu adalah karena dinisbatkan kepada

Allah swt.

30.

Karena sebab ini pula, Syiah

Ja’fariyah mempunyai perhatian sebagaimana

umat Islam lainnya, yang

sadar dan mengerti kedudukan

Rasullah saw. beserta keluarga beliau

yang suci, yaitu dengan berziarah ke

kuburan Ahlul Bait Nabi karena kemuliaan

mereka, dan mengambil

pelajaran dari mereka, serta memperbaharui

bai’at kepada mereka dan

sebagai pengokohan perjuangan mereka dan tugas-tugas mereka. Karena,

mereka telah mencapai kesyahidan

saat menjaga nilai-nilai luhur tersebut.

Para penziarah makam-makam ini

akan mengingat dan mengenang

keutamaan-keutamaan sahabat yang

disebutkan dalam riwayat tersebut,

juga tentang perjuangan mereka, penegakan

mereka terhadap shalat, zakat

dan tugas yang mereka pikul, dan

bersabar atas gangguan dan siksaan

dalam mengemban tugas tersebut. Di

samping itu, melakukan demikian

karena keikutsertaan dalam kesedihan

Nabi saw. lantaran kemazluman (keteraniayaan)

keturunan beliau.

Bukankah beliau yang mengatakan

dalam peristiwa kesyahidan Hamzah

“Akan tetapi Hamzah, tak ada seorang

yang menangisinya”, sebagai mana tercatat dalam buku-buku

sejarah. Dan bukankah Nabi Muhammad

saw. telah menangis saat

kematian putra beliau, Ibrahim?!,

bukankah Nabi saw. sering pergi ke

Baqi’ untuk berziarah?!, bukankah

Nabi saw. telah mengatakan, “Ziarahilah

kubur! karena itu mengingatkan

kalian kepada akherat.”[29]

Memang, menziarahi kubur para

Imam Ahlul Bait a.s. dan apa yang

telah disebutkan dalam sejarah mereka,

sikap jihad dan perjuangan mereka

mengingatkan dan memberikan

pendidikan kepada generasi-generasi

berikutnya tentang apa yang telah

disumbangkan oleh para orang besar mereka di jalan Islam dan kaum

Muslimin, dan tentang pengorbanan

mereka yang begitu besar. Begitu

juga, hal itu dapat menanamkan jiwa

kesatria serta jiwa pengorbanan dan

kesyahidan di jalan Allah swt.

Sesungguhnya hal itu adalah suatu

perbuatan manusiawi yang berperadaban

dan logis. Maka tidaklah aneh

bila umat-umat itu berupaya mengabadikan

tokoh-tokoh besar dan para

pencetus peradaban mereka, serta

menghidupkan acara-acara yang mengenang

jasa mereka dengan segala

bentuk dan coraknya. Karena demikian

itu dapat membangkitkan kebanggaan

dan penghormatan terhadap

perjuangan mereka, mengundang

umat yang lain untuk bergabung

bersamanya.

Dan itulah yang diharapkan Al-Quran

ketika menjadikan ayat-ayatnya kepada

tempat-tempat para nabi, wali, dan

orang-orang shalihin serta menyebutkan

kisah-kisahnya.

31.

Syiah Ja’fariyah meminta syafaat

kepada Nabi saw. dan para imam

Ahlul Bait yang suci, serta berwasilah

melalui mereka kepada Allah swt.

untuk pengampunan dosa-dosa, pengkabulan

hajat, penyembuhan orangorang

yang sakit, karena Al-Quran

yang membolehkan hal itu dan bahkan

menganjurkannya:

وَلَوْ أَنَّهُمْ إِّذ ظَّلَمُواْ أَنفُسَهُمْ

جَآؤ وكَ فَاسْتَغْفَرُواْ ا للَّ ه

وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ

لَوَجَدُواْ ا للَّه تَوَّابًا رَّحِّيمًا

“Sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya sendiri (berhakim

kepada selain dari Nabi) datang

kepadamu, lalu memohon ampun kepada

Allah dan Rasul pun memohonkan ampun

untuk mereka, tentulah mereka mendapati

Allah Maha penerima taubat lagi Maha

penyayang.”[30]

Dan dalam ayat lain juga disebutkan :

وَلَسَوْفَ يُعْطِّيكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى

“Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan

karunia-Nya kepadamu, lalu hati kamu

menjadi puas.”[31]

Yakni kedudukan syafaat.

Bagaimana masuk akal Allah swt.

akan memberikan kepada Nabi-Nya kedudukan syafa’at untuk orangorang

yang berdosa dan memberikan

maqam wasilah (perantara) bagi orangorang

yang memiliki hajat kemudian

dia menolak manusia yang meminta

syafa’at darinya, atau dia akan melarang

Nabi-Nya untuk menggunakan

kedudukan ini?!

Bukankah Allah swt. telah menceritakan

kepada anak-anak Ya’qub, yaitu

di saat mereka meminta syafaat dari

orang tuanya dan berkata:

يَا أَبَانَا اسْتَغْفِّرْ لَنَا

ذُنُوبَنَا إِّنَّا كُنَّا خَاطِّئِّين

“Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun

bagi kami terhadap dosa-dosa kami,

sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah.”[32]

Maka, Nabi Ya’qub tidak menolak

permohonan mereka, dan menjawab:

سَوْفَ أَسْتَغْفِّرُ لَكُم

“Aku akan memohonkan ampun untuk

kalian kepada tuhanku.”[33]

Tidak mungkin seseorang mengatakan

bahwa Nabi saw. dan para Imam

Maksum a.s. adalah orang-orang yang

telah mati, lantas orang itu meminta

doa dari mereka kemudian tidak ada

faedahnya. Mengapa?, karena para

nabi itu hidup, khususnya Rasulullah

saw. sebagaimana telah dinyatakan

di dalam Al-Quran:

وَكَذَلِّكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا

لِّتَكُونُواْ شُهَدَاء عَلَى النَّاسِّ

وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِّيدًا

“Dan demikian pula kami telah menjadikan

kalian sebagai umat yang adil dan pilihan

agar kalian menjadi saksi atas perbuatan

manusia dan agar Rasulullah menjadi

saksi atas perbuatan kalian.”[34]

Juga ditegaskan:

وَقُلِّ اعْمَلُواْ فَسَيَرَى ا للُّ ه

عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِّنُون

“Dan berbuatlah, maka Allah dan Rasul-

Nya serta orang-orang yang beriman akan

melihat pekerjaanmu itu.”[35]

Ayat-ayat ini akan terus berlaku

sampai Hari Kiamat, selama matahari

dan bulan beredar, serta malam dan

siang silih berganti. Di samping itu,

karena Nabi dan para imam Ahlul

Bait a.s. adalah orang-orang yang

syahid (penyaksi), dan dalam pandangan

Al-Quran, mereka hidup sebagaimana

Allah swt. mengatakannya

dalam banyak ayat.

32.

Syiah Ja’fariyah mengadakan peringatan

atas kelahiran Nabi dan para

imam Ahlul Baitnya. Mereka mendirikan

peringatan atas hari wafat manusia-

manusia suci itu dengan tujuan

mengenang keutamaan, kebajikan dan

sikap mereka yang bijak dan terpuji,

sebagaimana telah disebutkan dalam

riwayat yang sahih dan sesuai dengan

apa yang telah disebutkan oleh Al-Quran dalam menunjukkan kebajikan

dan keutamaan Nabi saw. dan para

rasul lainnya. Al-Quran telah memuji

mereka serta mengarahkan perhatian

umat islam kepada mereka supaya

bisa mencontoh, mengikuti dan

mengambil pelajaran dari mereka.

Memang, Syiah Ja’fariyah dalam

acara-acara ini sangat menghindari

perbuatan-perbuatan yang diharamkan,

seperti percampuran pertemuan

antara laki-laki dan perempuan, makanan

dan minuman yang diharamkan,

berlebihan dalam memuji, yakni

mengangkat manusia sampai kepada

tingkat pengultusan, atau menyakini

bahwa dia dapat berbuat sesuatu di

luar kehendak Tuhan, sebagaimana

yang dilakukan orang-orang Yahudi

dan Nasrani, dan lain sebagainya dari tindakan-tindakan dan kepercayaankepercayaan

yang bertentangan dengan

ruh syariat Islam yang suci, dan

melampui batas-batas yang sudah

jelas, atau tidak sesuai dengan ayat

atau riwayat yang sahih, atau tidak

sesuai dengan kaidah umum yang

telah disimpulkan dari Al-Quran dan

hadis, secara benar.

33.

Syiah Ja’fariyah mengunakan bukubuku

hadis yang mencakup hadis

Nabi saw. dan Ahlul Bait beliau a.s.

seperti: Al-Kâfi karya Kulaini, Al-

Istibshôr dan Tahdzîb karyaThusi, serta

Man La Yahdûruhu Al Faqîh oleh

Syeikh Shaduq. Buku-buku tersebut

sangat bernilai sekali di bidang hadis.

Hanya saja, meskipun buku-buku

tersebut mencakup hadis-hadis sahih,

para penulis atau pengarangnya dan orang-orang Syiah Ja’fariyah sendiri

tidak memutlakkan dengan judul

shahih, karena para ulama fiqih tidak

meyakini kesahihan seluruh hadisnya,

mereka hanya mengambil hadis-hadis

tersebut bila dari beberapa sudut

pandang telah terbukti kesahihannya

dan meninggalkan riwayat-riwayat

yang tidak dianggap sahih, atau akan

mengambil hadis-hadis tersebut yang,

menurut ilmu Dirayah, ilmu Rijal dan

kaidah-kaidah ilmu Hadis, tidak bermasalah

dan tidak cacat.

34.

Begitu juga di bidang Akidah,

Fiqih, Doa dan Akhlak, mereka

menggunakan buku-buku lain yang di

dalamnya terdapat aneka macam

riwayat dari imam-imam Ahlul Bait

a.s. seperti kitab Nahj Al-Balâghah

yang dicatat oleh Sayyid Murtadha dari kumpulan-kumpulan khutbah Imam

Ali, surat-suratnya, hikmah-hikmah

pendeknya, Risâlah Al-Huquq, Shahifah

Sajjadiyah karya imam Ali Zainal

Abidin a.s. At-Tauhid, Al-Khisyâ, ‘Ilâlu

Al-Syara’i dan Ma’ani Al-Akhbâr karya

Syeikh Shaduq.

35.

Terkadang, Syiah Ja’fariyah bersandar

pada hadis-hadis shahih Nabi

saw. yang terdapat di dalam bukubuku

atau sumber-sumber hadis Ahli

Sunnah wal Jamaah. Perlu diketahui

pula, bahwa Syiah Imamiah juga

seperti Ahli Sunnah; mereka mengambil

apa-apa yang datang dari Nabi

saw., baik berupa ucapan, perbuatan

atau-pun restu Nabi saw., termasuk

juga riwayat tentang wasiat Nabi saw.

berkenaan dengan hak Ahlul Baitnya.

Dan mereka berpegang teguh kepadanya, baik di bidang akidah maupun

di bidang fiqih. Bukti yang paling

jelas adalah adanya buku-buku hadis

mereka, khususnya yang baru diterbitkan

akhir-akhir ini, dalam bentuk

Ensiklopedia terperinci yang terdiri

lebih dari 10 jilid, mencakup riwayatriwayat

Nabi saw. dari referensi dan

sumber Syiah yang diberi nama Sunan

Nabi (sunnah-sunnah Nabi saw.)

dalam berbagai bidang tanpa fanatisme

buta juga sebagai bukti, adanya

karangan-karangan mereka baik yang

dahulu maupun yang baru.

Dan banyak didapati hadis-hadis dari

sahabat-sahabat Nabi saw., istri beliau,

sahabat-sahabat yang masyhur serta

perawi-perawi besar, seperti Abu

Hurairah, Anas bin Malik dan namanama

lainnya dengan syarat shahih dan tidak bertentangan dengan Al-

Quran dan riwayat shahih lainya, juga

tidak bertentangan dengan akal budi

dan ijma’ ulama.

36.

Syiah Ja’fariyah memandang bahwa

bencana yang telah menimpah umat

Islam dahulu maupun sekarang adalah

disebabkan dua fakta:

Pertama: Umat Islam tidak mengenal

Ahlul Bait Nabi a.s. sebagai pemimpin

yang memiliki kelayakan untuk

memimpin, dan juga karena mereka

tidak mengetahui Ahlul Bait sebagai

pembimbing dan pengajar memberi

pengetahuan, khususnya sebagai penafsir

Al-Quran.

Kedua: Adanya perpecahan di antara

mazhab dan golongan Islam.

Karena itu, Syiah Ja’fariyah berupaya selalu untuk menyatukan barisan

umat Islam dan mengulurkan jabat

persaudaraan dan cinta kasih kepada

sesama, dengan cara menghormati

hasil-hasil ijtihad ulama dari golongan

dan mazhab serta menghormati kesimpulan

hokum mereka.

Dalam hal ini, ulama Syiah Ja’fariyah

sejak abad pertama telah terbiasa

dalam membawakan berbagai pendapat

ulama fiqih selain Syiah dalam

karya-karya tulis mereka, baik di

bidang Fiqih, Tafsir maupun Teologi,

seperti buku Al-Khilâf (di bidang

fiqih) karya Syaikh Thusi, Majma Al-

Bayân (di bidang tafsir) karya Thabarsi

yang telah mendapatkan pujian

ulama Al-Azhar, juga Tajrîd Al-‘Itiqôd

(di bidang teologi) karya Nashiruddin

Thusi yang telah diberi syarah oleh Alauddin Al-Qusyji Al-Asy’ari dari

ulama Ahli Sunnah.

37.

Ulama Syiah Ja’fariyah memandang

penting adanya dialog di antara ulama

berbagai mazhab di bidang Fiqih,

Akidah dan Syariat, juga memandang

penting upaya saling memahami

untuk mengatasi problema-problema

umat Islam dewasa ini, menjauhi

segala bentuk tuduhan yang tak

beralasan, serta menjauhi sikap saling

mencaci-maki, sehingga tercipta kondisi

yang stabil guna mewujudkan

pendekatan yang logis antara golongan

umat Islam, dan guna menutup

jalan bagi musuh-musuh Islam dan

Muslimin yang selalu mencari celahcelah

yang tepat untuk menghantam

habis seluruh umat Islam.

Oleh karena itu, dalam Islam, Syiah

Ja’fariyah tidak mengkafirkan seorang

pun dari ahli kiblat, apapun mazhab

fiqih dan aliran akidahnya, kecuali

dalam perkara yang umat Islam sepakat

atas pengkafirannya. Syiah Ja’fariyah

tidak memusuhi mereka, tidak

mengizinkan untuk menguasai mereka,

menghormati ijtihad masing-masing

golongan dan mazhab. Syiah Ja’fariyah

memandang benar perbuatan

orang yang berpindah mazhabnya

kepada Syiah Ja’fariyah, dan telah

gugur dari kewajibannya jika amal

perbuatannya sesuai dengan mazhab

sebelumnya dalam shalat, puasa, haji,

zakat, nikah, talak, jual-beli dan

lainnya, serta tidak wajib mengqadha

kewajiban-kewajiban yang lalu. Syiah

juga tidak mewajibkannya untuk memperbaharui akad nikah atau

talaknya selama pelaksanaan dua hal

ini pada mulanya sesuai dengan

mazhab yang dianutnya.

Kaum Syiah hidup bersama-sama

dengan saudara-saudara Muslim yang

lain di setiap tempat, sebagaimana

layaknya saudara dan kerabat sendiri.

Memang, mereka tidak sepakat dengan

mazhab penjajah, seperti aliran

Bahaiyah dan Qadiani, atau mazhabmazhab

yang serupa dengan mereka,

bahkan berupaya memerangi mereka

dan mengharamkan untuk bergabung

dengan mereka.

Dan Syiah Ja’fariyah menggunakan

taqiyah, yaitu menyembunyikan sesuatu

yang penting dari ajaran mazhab

dan keyakinannya, dan itu sering dilakukan oleh mazhab-mazhab yang

lain dalam situasi kemelut antara

golongan yang penting. Taqiyah dilakukan

karena dua hal:

Pertama: menjaga jiwa dan darah

mereka supaya tidak tertumpahkan

sia-sia.

Kedua: menjaga persatuan umat Islam

dan tidak menimbulkan perpecahan.

38.

Syiah Ja’fariyah memandang bahwa

di antara sebab-sebab kemunduran

umat Islam dewasa ini ialah kemunduran

pemikiran, budaya, pengetahuan,

sains dan teknologi. Dan jalan

keluarnya adalah menyadarkan umat

Islam, baik laki-laki maupun perempuan,

serta mengangkat taraf pemikiran,

budaya dan sainsnya dengan cara

menciptakan pusat-pusat pengembangan ilmiah, seperti universitasuniversitas,

pesantren-pesantren, serta

menggunakan hasil-hasil ilmu modern

dalam mengatasi persoalan ekonomi,

pembangunan fisik dan teknologi,

serta menanamkan kepercayaan diri

pada jasa-jasa putra bangsa untuk ikut

serta terjun di lapangan dan aktif

hingga terwujud swasembada dan kemandirian

dan mengikis kebergantungan

kepada Barat.

Oleh karena itu, penganut Syiah Ja‘-

fariyah, di mana saja mereka berada,

telah membangun pusat-pusat ilmiah,

dan mendirikan lembaga-lembaga

pendidikan untuk melahirkan ahli-ahli

dan para pakar di berbagai cabang

ilmu, sebagaimana mereka telah masuk

di berbagai universitas dan di

berbagai lembaga pendidikan di seluruh negara, dan sebagian telah menghasilkan

ulama-ulama dan pakarpakar

di berbagai bidang dan kancah

kehidupan yang telah menjadi pusatpusat

ilmiah tersebut.

39.

Syiah Ja’fariyah senantiasa menjalin

hubungan dengan ulama-ulama dan

ahli-ahli fiqih mereka lewat apa yang

dinamakan ‘taqlid’ dibidang hukumhukum.

Mereka merujukkan problem-

problem fiqihnya kepada para

mujtahid, dan mereka beramal dalam

seluruh aspek kehidupan mereka

sesuai dengan fatwa-fatwa ahli-ahli

fiqih mereka. Karena, ahli-ahli fiqih

dalam pandangan mereka adalah

wakil-wakil Imam Zaman a.s. Oleh

karena itu, ulama-ulama dan fuqaha

mereka tidak bersandar pada negaranegara

dan rezim-rezim dalam urusan kehidupan dan ekonomi. Mereka

mendapatkan kepercayaan yang besar

dari para pengikut mazhab yang besar

ini.

Perekonomian hauzah ilmiah (pesantren)

dan pusat pendidikan agama

dalam rangka melahirkan para fuqaha

ditanggung dan ditutupi dari khumus

dan zakat yang ditunaikan oleh masyarakat

kepada para fuqaha, sebagai

kewajiban dari sekian kewajiban syariat

lainnya, seperti shalat dan puasa.

Dalam masalah kewajiban membayar

khumus dari keuntungan usaha, Syiah

Ja’fariyah memiliki dalil-dalil yang

jelas yang termuat dalam sejumlah kitab-kitab shahih dan sunan.[36]

40.

Syiah Ja’fariyah memandang bahwa

termasuk hak umat Islam ialah hidup

di bawah naungan pemerintahanpemerintahan

Islam yang memberlakukan

huku-hukum sesuai dengan

Al-Quran dan hadis, menjaga hal-hak

kaum Muslimin dan menyelenggarakan

hubungan yang adil dan bersih

dengan negara-negara lain. Selain itu,

Pemerintahan Islam juga berupaya

menjaga batas-batasnya dan menjamin

kebebasan umat Islam dalam

kegiatan budaya, ekonomi, dan politik

supaya mereka bisa hidup secara

mulia, sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah inginkan dalam firman-

Nya:

وَلّله الْعِّزَّةُ وَلِّرَسُولِّهِّ

وَلِّلْمُؤْمِّنِّين

“Segala kemulyaan hanyalah milik Allah

dan Rasulnya dan orang-orang yang

beriman.”[37]

Juga dalam firmannya:

وَلاَ تَهِّنُوا وَلاَ تَحْز نُوا وَأَنتُمُ

الأَعْلَوْنَ إِّن كُنتُم مُّؤْمِّنِّين

“Janganlah kamu merasa lemah, jangan

pula kamu bersedih hati, padahal kamulah

orang-orang yang paling tinggi derajatnya,

jika kamu benar-benar orang yang

beriman.”[38]

Syiah Ja'fariyah Imamiyah memandang bahwa Islam sebagai agama

yang sempurna dan paripurna yang

mengandung program yang sangat

tepat mengenai sistem perundangundangan.

Dan ulama Islam harus

berkumpul untuk membahas program

ini untuk menjelaskan gambaran

yang sempurna tentang undangundang

ini, supaya umat Islam ini

keluar dari kebim-bangan dan dari

problem yang terus berkepanjangan.

Hanya Allah swt. sebagai pembela

dan penolong:

إِّن تَنصُرُوا الَّلَّ ه يَنصُرْكُمْ

وَيُثَبتْ أَقْدَامَكُم

“Bila kalian menolong Allah, Dia

akan menolong kalian dan

mengokohkan langkah-langkah kalian.”[39]

Dalam pandangan Syiah Imamiah, ini

merupakan paling jelasnya langkah dan

rencana di bidang akidah dan syariat

atau dikenal juga dengan sebutan Syiah

Jafariyah.

Saat ini para pengikut Syiah Imamiyah

hidup berdampingan dengan saudara

Muslim yang lainya di seluruh negaranegara

Islam, dan mereka gigih dalam

menjaga dan mempertahankan eksistensi

umat Islam dan kemuliaannya.

Mereka juga telah siap untuk menyumbangkan

dan mengorbankan jiwa dan

harta bendanya di jalan Allah swt.